Laporan Bacaan
Filsafat Sejarah Naratif
Kelompok 8 :
Kusumo Ratri W. (4415131190)
Bianda Fiarty A.
(4415131213)
Advent Silaban
(4415133834)
Triawan Herdian
(4415133809)
Model ini berupaya menyusun kembali masa lalu dengan berdasarkan bukti
bukti yang tersedia seperti sisa sisa jejak peninggalan masa lampau khususnya
dokumen sebagai data konkrit dengan asumsi mereka mampu membebaskan diri dari
prasangka ideologis dan subjektivitas.
2. Model Konstruksionis
Para penggagas model ini berasal dari tradisi pemikiran strukturalisme dimana
kenyataan sejarah hanya dapat dipahami bila dikenali strukturnya. Struktur yang
dimaksud disisni adalah jaringan sistem sistem yang dapat diidentifikasi melalui
penyelidikan ilmiah. Dengan kata lain tugas sejarawan bukan merekonstruksi masa
lampau melainkan menstrukturkan, memolakan kenyataan sejarah dan menjelaskan
hubungan hubungan kausal seperti yang dikerjakan teoretisi sosial
3. Model Dekonstruksionisme
Sejarah dekonstruksionisme adalah produk filsafat sejarah naratif. Bagi mereka
kajian sejarah diubah menjadi semacam ilmu baru yaitu ilmu cerita. Dengan demikian
sejarah masa silam tidak ditemukan dalam kenyataan empiris, melainkan hanya
dalam teks. Tugas seorang sejarawan hanyalah mengolah data sejarah dalam bentuk
teks dan hasilnya juga dalam bentuk teks. Teks adalah sejarah dan sejarah adalah teks.
Oleh sebab itu dekonstruiksionis berupaya merelokasi sejarah sebagai bagian dari
karya karya sastra, sama halnya dengan memahami puisi, novel dan drama sebagai
teks.
Asumsi yang paling mendasar bagi mereka adalah pengetahuan seseorang tentang
dunia termasuk pengetahuan sejarah adalah suatu yang dikonstruksikan oleh
sejarawan atas dasar konsep konsep dan menurut bahasa yang digunakannya. Kita
tidak punya cara untuk mengenal seperti apa sejarah yang sebenarnya kecuali melalui
sumber sumber sejarah yang secara kultural menentukan persepsi persepsi dan
pengertian pengertian seseorang tentang masa silam.
Tugas sejarawan dalam pandangan ini adalah untuk mengidentifikasi kesadaran sejarah
yang terkandung dalam teks dan teks memberikan dan membatasi makna sejarah. Kedua, bahwa
sejarah adalah tekstual, maksudnya karya sejarah berawal dari dan berakhir dengan teks.
Sejarawan juga tidak bebas dari nilai nilai kebenaran yang dianutnya dan jiwa zaman yang
mengitarinya. Tugas sejarawan menurut pendekatan dekonstruksionis adalah berupaya
menyelami historitas dari teks dan menyatakannya dalam bentuk teks atau tekstualitas dari
sejarah. Dalam hermeneutika penghayatan seorang peneliti sejarah biasanya mengandaikan
bahwa pelaku sejarah menanggapi lingkungannya dengan cara yang tidak berbeda dengan
dirinya. Filsuf sejarah R.G. Collingwood memperkenalkan konsep hermeneutik melalui apa yang
disebutnya reenactment, yakni upaya menghidupkan kembali pengalaman pelaku sejarah
dalam benak peneliti. Penafsiran sejarah sama artinya dengan menafsirkan sebuah teks. Tidak
perlu ada upaya untuk menerapkan pola pola hukum umum, sebab lingkup perbuatan manusia
tidak terarah, dan tidak dibatasi. Dasar pikiran ini adalah bahwa dunia kehidupan manusia
merupakan suatu dunia yang penuh arti. Dunia yang penuh arti itu hanya dapat di tangkap
melalui bahasa atau sebuah teks sebagai sebagai suatu kesatuan yang dibangun dengan arti arti.
Para filsuf sejarah naratif menyarankan bahwa untuk mempelajari masa silam, seolah olah
merupakan suatu teks.
Tugas subjek peneliti adalah mengungkapkan kebenaran kebenaran realitas. Membuka
teks untuk diinterpretasikan kembali oleh subjek secara terus menerus, berarti berketerusan pula
membuat makna makna baru, dan dengan demikian teks selalu terbuka dan dapat dikritik.
Pengetahuan selalu dibentuk dalam wacana sebelum pengalaman manusia dapat ditangkap dan
dimengerti, kemudian dituangkan kembali kedalam wacana teks. Hyden White adalah seorang
filsafat sejarah naratif, dalam karyanya ia menyebut gagasan filosofinya dengan new
historisisme, tetapi pada dasarnya tetap kembali ke bahasa atau teks. Disini timbul kesulitan
sebab orang mudah keliru karena beberapa alasan berikut:
1. Sebuah teks dapat mengacu pada bermacam macam arti dan beragam hal
(informasi) tentang masa silam, sementara sumber sumber yang tersedia amat
terbatas. Arti teks dalam bahasa tertentu, apa lagi jika di terjemahkan ke dalam bahasa
berbeda beda, tidaklah seragam atau stabil sebagaimana yang dikira banyak orang.
2. Setiap teks memiliki konteks sosial dan makna teks di tentukan atau di konstruksikan
melalui bahasa pembuatnya di masa lalu.
disebut new historisisme yaitu sejalan dengan tesisnya tentang sejarah sebagai karya sastra,
berkenaan dengan ilmu cerita. Akhirnya mengenai ideology mencakup empat macam yaitu
anarkhis, konservatif, radical dan liberal. Intinya ialah bahwa dunia masa lalu adalah teks yang
harus dibaca dan ditafsirkan dalam kacamata newhistorisme atau berdasarkan naratif. Naratif
sejarah bagaimanapun berkaitan erat dengan Bahasa sebagai instrument menyampaikan
diskursus sejarah. Maka tidaklah terlalu heran jika ada sejarawan atau filsuf seperti White yang
membandingkan masa silam dengan sebuah teks dan hamparan teks yang belum selesai harus
dibaca terus.
E. Menggugat Metanaratif
Erat kaitannya dengan filsafat sejarah naratif kita berjumpa dengan istilah metanaratif.
Istilah ini pada dasarnya mengandung pengertian yang lebih kurang sama dengan metasejarah.
Istilah metanarrative yakni teori-teori umum atau cerita-cerita besar tentang bagaimana
seseorang mendapatkan pengetahuan yang benar dan ide-ide tentang kemajuan sebagai proses
sejarah yang linear dan teleogis kea rah dunia modern yang sempurna dan ideal, tidak bisa lagi
dipercaya dank arena itu harus dirombak.
membebaskan diri sepenuhnya dari metanaratif dengan memperkenalkan naratif kecil yakni
memberi tempat pada pengungkapan keberagaman dan bukan penyeragaman, subyektifitas dan
bukan obyektifitas, kekhususan dan bukan kesamaan.
G. Ringkasan
Filsafat sejarah naratif, yang telah dibahas dalam bab ini dapat disimpulkan sebagai suatu
upaya sekelompok sarjana untuk mengajukan suatu bentuk pengetahuan baru tentang sejarah
dengan menggambungkan antara filsafat sejarah dan kritik sastra. Akar pemikiran ini berasal dari
iklim intelektual postmodernisme yang didukung oleh sejumlah keahlian dari berbagai disiplin.
Sejarah seperti halnya dengan sastra, juga meletakkan naratif sebagai komponen utama
dalam wacana tentng dunia. Tanpa naratif, sejarah kehilangan ciri aslinya. Namun konsep sejarah
yang dipahami sejarawan selama ini sangat berbeda dengan naratif sastra. Yang pertama selalu
berkenaan dengan fakta-fakta, suatu penceritaan tentang kehidupan, yang kedua berurusan
dengan teks; tidak ada pemisahan yang tegas antara sejarah (fakta) dan fiksi. Kendatipun sejarah,
seperti halnya sastra, sama-sama melibatkan imajinasi, Bahasa atau lebih khusus gaya Bahasa,
menurut pandangan aliran baru ini, bukan mustahil terjadi fiktifisasi fakta atau sebaliknya
faktualisasi fiksi. Namun imajinasi dalam sejarah bukanlah hal yang semena-mena dalam arti
tanpa batas, atau membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin, melainkan dibatasi oleh
komitmen epistemologis dari disiplinnya.
Teranglah bahwa filsafat sejarah naratif yang dipaparkan dalam bab ini hanyalah bersifat
sugestif tentang bagimana bentuk pengetahuan dan analisis sejarah dekonstruksionis yang sering
dinilai terlalu reaktif.
Terdapat dua cara yang paling umum bagi sejarawan untuk menghasilkan naratif naratif
yang dapat dikritisi dengan kuat. Yang pertama adalah, untuk menyusun naratif berdasarkan
beberapa prasangka tentang subyek, tanpa memeriksa apakah sifat tersebut secara akurat
mempresentasikan tentang informasi yang detail tentang subyek. Yang kedua adalah,
memfokuskan hanya pada bagian dari subyek historis, dengan cara demikian memberikan kesan
menyesatkan secara keseluruhan, hal ini seringkali dilakukan untuk alasan moral dan politis.
Permasalahan dengan sejarah Top Down adalah ditulis dalam penyesuaian dirinya
dengan metanaratif yang umum (prevailing), bahwa hal ini secara umum tidak sensitif terhadap
pengecualian pengecualian dan terhadap bacaan bacaan alternatif tentang bukti yang relevan
dan fakta fakta tentang masa lalu yang dapat diperoleh dari bukti tersebut. Sejarawan yang
bertanggung jawab akan mencoba untuk lebih adil dalam mempertimbangkan bukti dan fakta
fakta historis, sehingga tidak akan menyesatkan orang orang tentang apa yang telah terjadi.
Sejarah yang bertanggung jawab adalah sejarah Bottom Up, dimana sejarawan memulai
dengan menyusun sebanyak mungkin informasi tentang topik yang mereka pilih semampu
mereka, lalu mempertimbangkan umumnya.
Dalam rangka untuk menilai kredibilitas, keadilan, dan kejelasan (intelligibility) dari
sebuah naratif historis, penting untuk mengidentifikasikan jenis naratif yang dimaksud. Naratif
naratif yang komprehensif diharapkan untuk memberikan tulisan tulisan tentang subyeknya
yang bukan hanya kredibel dan jelas, namun juga adil. Naratif naratif parsial, di sisi lain, ketika
mereka mengharapkan utnutk kredibel dan jelas, tidak diharapkan menjadi adil (pemisahan ini
didiskusikan dalam McCullaugh, 2004).
Untuk menilai kredibilitas dan kejelasan tentang naratif naratif historis, disini penting
untuk dicatat cara cara yang berbeda dimana di dalamnya mereka membentuk naratif naratif
tersebut. Untuk menggarisbawahi beberapa perbedaan perbedaan ini, terdapat tiga tipe ideal
naratif yaitu: struktur struktur yang logis (commonsense), pola pola koligatori, dan
rangkuman rangkuman interpretasi interpretasi. Dalam praktiknya, pemisahan antara
semuanya tidak selalu jelas, seperti yang akan kita lihat, namun terdapat cukup perbedaan
perbedaan diantara tiga tipe naratif tersebut yang menjustifikasi karakteristik ketiganya secara
terpisah.
Sementara kata Revolusi adalah kata benda umum, yang dapat digunakan untuk memaknai
rangkaian revolusi.
W. H. Walsh adalah orang pertama yang menggunakan kata koligasi dalam sejarah
(Walsh, 1958: 59 64), ketika dia menekankan bahwa sejarahwan sering menulis tindakan
tindakan dan peristiwa peristiwa secara jelas dengan menunjukkan sebagai bagian dari sebuah
pola. Contoh pertamanya adalah beberapa peristiwa dideskripsikan sebagai alat, dimana dengan
alat tersebut Hitler membawa kebijakannya tentang tuntutan Jerman dan ekspansi.
***