Anda di halaman 1dari 16

NARATIVISME DALAM FILSAFAT SEJARAH

OLEH : MUTHIAH.S

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Narativisme yang biasanya dijumpai pada penelitian sejarah yang pada umumnya digunakan

oleh para ahli yang ingin mengungkap masa lalu dengan cara menceritakan kejadian yang terjadi

di masa lalu. Dalam narativisme semua perhatian ditujukan pada kenyataan bahwa pengetahuan

historis terwujud dari cerita historis.Sekalipun ada kemiripan antara historisme dan narativisme

namun ada pula perbedaan-perbedaan.Ide-ide historis memang imanen di dalam kenyataan

bahwa ide-ide historis itu merupakan prinsip aktif yang memberi bentuk kepada masa silam.

Narasi itu hendaknya kita pandang dalam keseluruhannya sebagai usul untuk memandang masa

silam dari sudut tertentu untuk memandang kenyataan dari sudut pandang tertentu. Narasi dapat

di umpamakan dengan sebuah metafora di sini pun dimensi faktual tentu saja hadir artinya sama

seperti narasi tersusun dari fakta-fakta sebelumnya.

Menurut teori sejarah ajaran tentang kaidah atau asas-asas mengenai penyusunan kembali

kepingan-kepingan mengenai masa silam sehingga kita dapat mengenal kembali wajahnya. Teori

sejarah diberi tugas untuk menyajikan teori-teori dan konsep-konsep yang memungkinkan

seorang ahli sejarah mengadakan integrasi terhadap semua pandangan fragmentaris mengenai

masa silam seperti yang dikembangkan oleh macam-macam spesialisasi didalam ilmu sejarah.
Sedangkan filsafat sejarah sendiri terdiri atas tiga unsur yang saling berhubungan, namun

masing-masing berdasarkan permasalahannya sendiri-sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh filsafat sejarah yang bersifat deskriptif. Bagian filsafat sejarah ini

dinamakan sejarah penulisan sejarah atau historiografi. Unsur kedua yang mendasari filsafat

sejarah barasal dari kedua arti yang dapat diberikan kepada kata sejarah itu sendiri. (kata sejarah

dapat diperuntukkan bagi proses historis itu sendiri dan baru kemudian bagi penulisan proses

historis menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah). Filsafat sejarah yang kritis, berdasarkan arti kedua

kata sejarah dan meneliti sebagai obyeknya bagaimana masa silam dilukiskan.

Perkembangnya studi-studi sosial di Eropa abad ke-17 ditandai dengan munculnya berbagai

analisis terhadap fenomena kemanusiaan seperti sosial, ekonomi dan politik. Keadaan ini

menyadarkan para ilmuan bahwa kontribusi analisis-analisis sosial itu telah menawarkan peluang

dan jalan baru bagi sejarah untuk memasuki kordinat disiplin ilmu yang nyaris setara dengan

ilmu-ilmu lainnya. Pertemuan antara ilmu sosial dan sejarah terletak pada realitas sosial yang

menjadi obyek pengamatannya dan, dalam beberapa bagian, studi-studi terhadap struktur sosial

dan ekonomi ternyata lebih memperlihatkan kecendrungan historis meski menggunakan analisis-

analisis struktural.

Hal yang kemudian menjadi perdebatan dikalangan sejarawan sosial berkaitan dengan persoalan

perubahan sosial ialah perbedaan ide tentang fungsi atau struktur pada satu sisi dan ide tentang

peranan manusia selaku aktor pada sisi lainnya dan antara tinjauan kebudayaan sebagai supra

struktur belaka dan kebudayaan sebagai suatu kekuatan yang aktif dalam sejarah, demikian juga

perbedaan pandangan yang menyangkut analisis-analisis yang diperlukan untuk menjelaskan


perubahan sosial itu secara teoritis dan metodologis. Maka dari itu pendapat para ahli yang

dipandang masih bertolak belakang dan banyak pendapat yang mengemukan tetang terjadinya

masa lalu maka dibutuhkan sebuah metodolgi sejarah yang mengumpulakan fakta – fakta yang

sudah banyak ditemukan oleh para terdahulu. Dengan penemuannya terdahulu dan bukti – bukti

yang didapatkan maka para ahli bisa menceritakan suatu peristiwa di masa lalu

Dalam perkembangannya, metodologi sejarah, kita dapat menjumpai tiga aliran besar metodologi

sejarah, yaitu narativisme, strukturalisme, dan strukturisme. Maka dalam makalah sederhana ini

akan mencoba memaparkan salah satu dari metodologi sejarah tersebut yaitu mengenai

Narativisme.

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana pengertian Narativisme pada umumnya?

2. Bagaimana pendapat tokoh – tokoh yang menganut paham narativisme?

3. Bagaimana ciri – ciri yang menonjol dari narativisme?

4. Bagaimana perkembangan Narativisme dalam penelitian sejarah pada saat ini?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian Narativisme pada umumnya

2. Mengetahui pendapat tokoh –tokoh yang menganut paham narativisme.

3. Mengetahui ciri –cirri yang menonjol dari Narativisme.

4. Mengetahui perkembangan Narativisme dalam penelitian sejarah pada saat ini


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Narativisme

Narativisme berasal dari bahasa latin naratio yang berarti cerita. Dalam Narativisme cerita

merupakan sumber utama dari pengetahuan historis. Yang berarti bahwa kisah memiliki

kemampuan merangkaikan peristiwa-peristiwa dalam suatu bentuk utuh (holistik). Dengan

pendekatan ini, sejarawan diharapkan dapat menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran

melalui cerita narasi. Kebenaran mengenaiperistiwa masa lalu dapat dipaparkan dengan cara

menjelaskan fakta-fakta yang terdapat di dalam sumber sejarah. Pandangan ini beranggapan

bahwa pengetahuan historis pertama-tama terwujud dalam sebuah cerita historis bukan dalam

bagian-bagiannya. Cerita dalam tradisi narativistis huan historis terwujud dari cerita

historis.Sekalipun ada kemiripan antara historisme dan narativisme namun ada pula perbedaan-

perbedaan.Ide-ide historis memang imanen di dalam kenyataan bahwa ide-ide historis itu

merupakan prinsip aktif yang memberi bentuk kepada masa silam.

Narativisme dikembangkan oleh Ankersmit yang mengikuti pendapat Johann Gustav Droysen

(1808-1886) bahwa kisah memiliki kemampuan merangkaikan peristiwa-peristiwa dalam suatu

bentuk utuh atau holistik (Leirissa 2002:16). Inti dari metode ini adalah kemampuannya untuk

memahami identitas dan pandangan dunia seseorang dengan mengacu pada cerita-cerita (narasi)

yang di dengarkan ataupun tuturkan di dalam aktivitasnya sehari-hari (baik dalam bentuk gosip,

berita, fakta, analisis, dan sebagainya, karena semua itu dapat disebut sebagai ‘cerita’). Fokus

penelitian dari metode ini adalah cerita-cerita yang didengarkan di dalam pengalaman kehidupan
manusia sehari-hari. Di dalam cerita/narasi, kompleksitas kultural kehidupan masyarakat dapat

ditangkap dan dituturkan di dalam bahasa.

Dalam perkebangannya narativisme sering digunakan oleh para sejarawan untuk menjelaskan

sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. Narativisme sering digunakan untuk

menjelaskan peristiwa orang orang besar atau para tokoh besar di masa lalu. Penulisan sejarah

secara naratif dilakukan karena adanya fakta fakta historis yang berupa kebenaran subjektif yang

tidak boleh dimasuki unsur-unsur opini oleh penulisannya (subjektif) (Hamdan, 2011:282).

Narasi itu hendaknya kita pandang dalam keseluruhannya sebagai usul untuk memandang masa

silam dari sudut tertentu untuk memandang kenyataan dari sudut pandang tertentu. Narasi dapat

disusun dari fakta-fakta sebelumnya.

Kelebihan dari narativisme ialah detail-detail dalam cerita, dan juga mampu menunjukkan

jalannya suatu peristiwa sebagai sebuah cerita yang berkaitan. Sebagai karya sejarah, tulisan

narativisme menjadi suatu kisah yang enak di baca. Apalagi didalamnya ada tokoh sentral dan

pembantu, serta figuran. Narativisme juga menarik untuk membangkitkan daya imajinasi.

Terdapat perbedaan antara kausalitas dengan narativisme, yaitu kausalitas menyatakan bahwa

sebab dan akibat ada di masa silam, sedangkan narativisme menyatakan bahwa pemakaian sebab

dan akibat tidak dapat digunakan karena penafsiran dilakukan berdasarkan fakta. Konsep historis

menolak kausalitas.

1. B. Tokoh-Tokoh Yang Menganut Paham Narativisme

Adapun ahli-ahli filsafat yang menganut narativisme adalah sebagai berikut :


1. Johann Gustav Droysen lahir di Treptow di Pomerania. Ayahnya adalah seorang tentara pada

pengepungan Kolberg pada 1806-1807 . Sebagai seorang anak , Droysen menyaksikan

beberapa operasi militer selama Perang Pembebasan , ayahnya saat itu menjadi pendeta di

Greifenhagen. Ia dididik di gimnasium dari Stettin dan di Universitas Berlin , pada tahun

1829 ia mendapatkan gelar master di Graues Kloster , salah satu sekolah tertua di Berlin ,

selain bekerja di sana ia memberi kuliah di Universitas Friedrich Wilhelm.

Droysen mempelajari zaman klasik , ia mempublikasikan terjemahan Aeschylus pada tahun 1832

dan parafrase dari Aristophanes ( 1835-1838 ), Droysen telah belajar dari ajaran Hegel. Droysen

mengikuti biografi Alexander dengan karya-karya lain yang berhubungan dengan penerus

Yunani , yang diterbitkan dengan judul Geschichte des Hellenismus ( Hamburg , 1836-1843 ) .

Edisi baru dan revisi dari seluruh pekerjaan yang diterbitkan pada tahun 1885 , dan

diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis , tapi tidak ke dalam bahasa Inggris .

1. White Hiden, lahir12 Juli 1928, Martin, adalahseorang sejarawan dalam tradisi kritik sastra,

mungkin paling terkenal untuk Metahistory karyanya: The Imagination Sejarah di Nineteenth-

Century Europe(1973). Dia telah menyatakan bahwa penulisan sejarah cermin menulis sastra

dalam banyak hal, berbagi ketergantungan yang kuat pada narasi makna, karena itu

mengesampingkan kemungkinan sejarah obyektif atau benar-benar ilmiah. White juga

berpendapat, bagaimanapun sejarah yang paling berhasil bila itu mencakupi “narrativity”,

karena itu adalah apa yang memungkinkan sejarah menjadi berarti. Saat ini ia adalah profesor

emeritus di University of California, SantaCruz, setelah baru saja pensiun dari posisi Profesor

sastra komparatif di Stanford.

2. Alasdair MacIntyre Chalmers lahir pada 12 Januari 1929 di Glasgow. Ia dididik di Queen

MaryCollege,London, dan memiliki gelar Master of Arts dari University of Manchester dan
dari University of Oxford. Ia memulai karir mengajar pada tahun 1951 di Universitas

Manchester. Dia mengajar di University of Leeds, University of Essex dan University of

Oxford di Inggris, sebelum pindah ke Amerika Serikat pada sekitar tahun 1969 MacIntyre

telah sesuatu dari pengembara intelektual, yang pernah mengajar dibanyak universitas di

Amerika Serikat.

Setelah Hegel dan Collingwood ia menawarkan ” sejarah filsafat ” ( yang ia membedakan dari

kedua pendekatan analitis dan fenomenologis filsafat ) di mana ia mengakui dari awal bahwa ”

tidak ada standar netral tersedia dengan banding yang agen rasional pun bisa menentukan ”

kesimpulan dari filsafat moral .

1. Profesor David M. Carr menerima B.A. a dalam bidang Filsafat dari Carleton College pada

tahun 1980, sebuah MTS dari Candler School of Theology pada tahun 1983 , dan gelar MA

dan Ph.D. dalam Agama dari Claremont Graduate University pada tahun 1988 . Sebelum

datang ke Union pada Agustus 1999 , Dr Carr menjabat sebagai asisten , asosiasi , dan

profesor penuh Perjanjian Lama di Methodist Theological School di Ohio 1988-1999 , yang

di anugerahi Williams Chair dalam Penafsiran Alkitab pada tahun 1998 . Di tahun 1993-1994

menerima Alexander von Humboldt Fellowship dari Asosiasi Sekolah Teologi Young

Scholars Theological Fellowship dalam mendukung proyek penelitian selama setahun pada

bentuk dan pembentukan Genesis ( 1993-1994 ) . Mulai tahun 2005, ia mulai menjabat

sebagai Amerika co-ketua dewan editorial untuk baru Internasional Eksegetikal Commentary

on Perjanjian Lama . ( IECOT ) .

Pengajaran dan penelitian kepentingan Profesor Carr meliputi pembentukan dan bentuk Alkitab ,

seksualitas dan gender dalam Alkitab , persimpangan pendekatan historis-kritis dan sastra

Alkitab, dan munculnya Kitab Suci dalam tradisi Yahudi dan Kristen . Buku Alkitab di mana
Carr memiliki keahlian tertentu termasuk Genesis , Exodus , Yesaya dan Kidung Agung .

Profesor Carr baru-baru ini didesain ulang dua mata kuliah inti dalam Program M.Div di Uni,

Pengantar Perjanjian Lama dan Tafsir Praktikum , memberikan perangkat tambahan logistik dan

teknologi .

1. Leopold Von Ranke lahir pada tanggal 21 Desember 1795 di Wiehe/Unstrut, ia dilahirkan

ditengah-tengah keluarga teolog Lutheran tua. Ranke lahir pada masa revolusi Perancis. Ia

tetap hidup damai tanpa mengalami benturan kekerasan sama sekali. Setelah menerima

pendidikan awal di sekolah-sekolah lokal di Donndrof dan Pforta, ia pun menghadiri

universitas Leipzig (1814-1818), ia melanjutkan kuliahnya di filologi kuno dan teologi.

Ranke menghadiri Pforta sekolah swasta yang terkenal, setelah studi lanjut di Universitas

Leipzig dan Halle, ia bekerja sebagai pengajaran guru pria dan Romawi klasik Yunani di

Gymnasium di Frankfurt, ia hanya sementara bekerja sebagai seorang guru di Frankfurt, ia

mulai mempertimbangkan untuk mencoba serius terlibat dalam studi sejarah, awalnya dengan

tujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang usia klasik untuk menjadi guru yang lebih

baik.

Semasa mudanya ia banyak dipengaruhi oleh agama Kristen. Von Ranke banyak mempelajari

tentang dunia. Menurutnya dunia telah diandaikan dengan karakter-karakter dan jejak-jejak yang

mengarah kepada bentuk Tuhan. Walaupun demikian, ia tidak berkeinginan menjadi pastur. Ia

lebih memilih untuk menjadi pengajar. Ia menganggap dirinya dilahirkan hanya untuk belajar

dan mempelajari alam sekitar. Sehingga ia tertarik menjadi seorang pengajar. Ia pun menjadi

sejarawan besar di Jerman sekaligus seorang pendidik.


Penulisan sejarah atau historiografi yang dilakukan oleh Leopold Von Ranke dikenal dengan

sebutan sejarah kritik modern. Hal itu berdasarkan pada metode yang ia kembangkan, yaitu

metode kritik sumber. Menurutnya sumber sejarah hendaknya merupakan sumber primer yang

dapat menyajikan gambaran sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Ia tidak ingin sejarah hanya

dijadikan sebagai cerita belaka, melainkan sejarah dijadikan sebagai studi ilmu untuk

mempelajari sisi kehidupan manusia, baik tentang orang-orang maupun institusi-institusi yang

menghasilkan pengetahuan yang unik dan cemerlang.

Von Ranke merupakan sosok yang sangat memperhatikan alur sejarah sebagai peristiwa yang

saling bersangkutan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain. Pandangan yang ia

kemukakan dikenal dengan pandangan Historisme. Menurutnya pandangan ini merupakan satu-

satunya cara untuk mempelajari manusia. Historisme yang ia kemukakan menuai banyak kritik.

Menurut para kritikus, sejarah tidak bisa menjelaskan segala-galanya. Oleh karena itu, sejarah

membutuhkan ilmu bantu khusunya ilmu-ilmu sosial. Kemungkinan hal ini merupakan salah satu

kekurangan dari metode yang ia cetuskan. Walau bagaimanapun Von Ranke telah membuka

mata para sejarawan untuk lebih memperdalami sejarah sebagai peristiwa yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

C. Ciri – Ciri Narativisme

Narativisme sendiri yang merupakan berasal dari bahasa latin yaitu berupa Narratio yang

berarti cerita. Dimana pandangan ini beranggapan bahwa pengetahuan histori pertama-tama

terwujud dalam sebuah cerita historis bukan dalam bagian-bagiannya. Pandangan narativisme

dalam sejarah sendiri lebih dekat dengan pandangan presentisme dalam pandangan Adam
Sschaff atau relativisme dalam pandangan Llyod. “para sejarawan yang menganutnya

beranggapan, bahwa ilmu sejarah adalah subyektif, karena realitas sejarah betapapun juga tidak

bisa diungkapkan secara obyektif. Sebab itu mereka berpendapat, bahwa sejarawan perlu

menjelaskan subjektivitasnya, atau mengapa ia memilih suatu permasalahan historis dan

menolak yang lain” (Leirissa, 1994:4).Terkait dengan sifat subyektifitas ini, ada beberapa ciri

yang menonjol dalam narativisme, antara lain:

1. Sejarah adalah kisah (history is story), sehingga narasi merupakan sesuatu primer.

2. Interpretasi bersifat menjadi sesuatu yang primer karena fakta tidak dapat berbicara tanpa ada

intrepetasi dari sejarawan.

3. Kebenaran berada dalam posisi relative.

4. Berorientasi pada masa kini. Dimana masa lampau tidak dapat diungkap dari kemampuannya,

karena setiap kisah hanya ditulis dari perspektif jaman penulisnya.

Sedangkan menurut ahli filsafat sejarah dari Inggris yaitu Arkersmit juga menjelaskan

beberapa anggapan yang terkait dengan narativisme, sebagai berikut:

1. Sejarah bukan cermin dari masa lampau (seperti pendapat empirisme), tetapi sejarah adalah

suatu konstruksi yang dibuat oleh ahli sejarah.

2. Konstruksi yang mengaitkan fakta-fakta itu bukan kenyataan dari masa lampau, tetapi produk

dari kisah, yaitu suatu konstruksi berdasarkan cara pandang tertentu dari ahli sejarah

mengenai suatu peristiwa.

3. Hasil rekontruksi tersebut merupakan suatu pilihan dan kecenderungan sejarawan yang

bersangkutan dalam melihat suatu peristiwa sejarah dari cara pandang tertentu.

4. Kisah yang holistik dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat.


5. Semakin banyak kisah suatu peristiwa dari perbagai sudut pandang tertentu akan menjadikan

peristiwa tersebut lebih mudah dan jelas untuk dipahami.

Dalam aliran narativisme beranggapan bahwa dalam sejarah yang baik ialah sejarah yang

berhasil menampilkan sebuah kisah yang sangat menarik dan berhasil mengaitkan antara fakta

yang satu dengan fakta yang lain. Dimana dalam perkembangannya para sejrawan berusaha

secara ketat bahwa sejarah sebagai kisah yang baik harus didukung oleh suatu fakta.

1. D. Perkembangan Narativisme dalam penelitian sejarah pada saat ini

Narativisme dalam penceritaannya melalui tahap metode sejarah. Sejarawan bertugas untuk

menguraikan fakta dalam dokumen secara kronologis sebagai sebuah kesatuan cerita. bahwa

kisah yang baik mengenai suatu peristiwa adalah kisah yang banyak mengandung detail fakta-

fakta. Kendati demikian, narativisme bukan hanya menafsirkan masa silam dan menyusun

laporan secara kronologis. Narativisme juga ingin melukiskan sifat-sifat khas bagi suatu kurun

tertentu. Dalam narativisme, Aktor memiliki kedudukan penting, karena sejarah berbicara

mengenai tokoh, dan tokoh itu harus memiliki kategori yang menentukan perubahan. Sejarah

tercipta, karena adanya individu/tokoh yang melakukan sesuatu, karena aktorlah perubahan

tercipta. Dalam menyontohkannya sejarawan biasanya mengambil dari peristiwa yang akan

diingat oleh banyak orang, sangatlah sukar untuk mendefinisikan terjadinya suatu peristiwa yang

terjadi pada masa lampau untuk itulah diperlukanya Narativisme dalam pencapaian bukti yang

memperkuat bahwa peristiwa itu benar – benat terjadi di masa lalu, bukan hanya

penyampaiannya saja yang disampaikan kepada banyak orang namun juga pembuktian yang

akurat oleh sejarawan dalam menyingkap suatu peristiwa di masa lalunya. Misalnya peristiwa

Perang Dunia II, yang diandaikan bahwa seandainya Hittler tidak dilahirkan ke dunia. Jadi
individualisme Hitler, adalah penting untuk menggambarkan terjadinya perang yang

menghancurkan kemanusiaan tersebut.

Dengan kelebihan dari narativisme ialah detail-detail dalam cerita, dan juga mampu

menunjukkan jalannya suatu peristiwa sebagai sebuah cerita yang berkaitan. Sebagai karya

sastra, tulisan narativisme menjadi suatu kisah yang enak di baca. Apalagi didalamnya ada tokoh

sentral dan pembantu, serta figuran. Narativisme juga menarik untuk membangkitkan daya

imajinasi.

Hal tersebutlah yang digunakan oleh para sejarawan untuk digunakan dalam kajian dengan

pendekatan Narativisme,suatu pengkajian sejarah dengan menafsirkan masa silam dengan

menunjukan keberkaitan dalam suatu materi (bahasa) yang semula kelihatan tidak koheren dan

tanpa struktur hingga terlukiskan sifat sifat yang khas bagi suatu kurun waktu tertentu. jadi bisa

kita ambil sedikit gambaran bahwa dalam kajian ini,bukan semata mata untuk mencoba berusaha

berkhayal,mendikte ataupun memberikan a judgement tertentu untuk menggambarkan suatu

peristiwa sejarah namun juga bagaimana suatu peristiwa mempengaruhi disekitarnya. Melalui

pendekatan ini sejarawan diharapkan dapat menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran

dari peristiwa masa lalu dengan cara menjelaskan fakta-fakta yang terdapat dalam sumber

sejarah.

Kisah atau naratif bertitik tolak dari gagasan yang dipilih oleh sejarawan bersangkutan yang

dijadikan acuan untuk membuat seleksi atas fakta-fakta dalam sumber sejarah. Dengan kata lain

bukanlah masa lampau tersebut yang menjadi patokan melainkan gagasan dari sejarawan,

misalnya mengenai peristiwa-peristiwa seperti perang, renaissance atau peristiwa lainya.


Narasi sejarah adalah rekonstruksi yang tidak sempurna dari masa lalu yang disusun dari

kepingan-kepingan bukti, Sejarah harus dilihat bukan sebagai gambaran sederhana yang pernah

terjadi tetapi sebagai upaya yang berorientasi praktis untuk membentuk kembali pemahaman

efektif kolektif kita terhadap masa lalu. Dalam perkembangannya saat ini, hal yang dilakukan

para sejarawan adalah merekonstruksi masa lalu yang masih tidak sempurna yang bagaimana

masih terdapat banyak hal yang masih simpang siur kebenarannya. Sejarawan yang menemukan

suatu peristiwa penting dan mendapatkan bukti – bukti yang sudah ada, lalu menemukan bukti

lagi yang dapat memperkuatnya, maka sejawan wajib untuk menceritakan secara sederhana tidak

dilebih – lebihkan namun tetap konsisten terhadap peristiwa yang terjadi.

“Narasi dari peristiwa masa lalu’ dalam budaya kita merupakan ‘subyek yang telah dikenakan

sanksi ilmu sejarah’ dan secara historis terikat pada standar yang mendasari kenyataan. Ia

menyayangkan hal tersebut dan ia menyimpulkan bahwa ‘klaim mengenai “realisme” naratif

oleh karena itu diabaikan. Fungsi dari naratif bukan untuk “mewakili”, tetapi untuk membentuk

satu pertunjukan utuh. Naratif tidak memperlihatkan dan tidak meniru. Apa yang terjadi dalam

sebuah narasi adalah dari sudut pandang referensial secara harfiah tidak terjadi apa-apa. Justru

yang terjadi adalah dalam bahasa itu sendiri.

Maka dalam anti-referentialisme dapat dilihat sebagai bagian gerakan yang berasal dari

Wittgenstein melalui Austin menuju teori Speech-act (tidak bahasa) untuk mengkoreksi kelalaian

dan kesalahan persepsi yang muncul dari pandangan bahasa sebagai media representasional yang

murni. Hal itu bertujuan untuk menyingkap hal yang sering dikaburkan.secara normatif,

performatif dan dimensi praktis dari penggunaan naratif bahasa. Untuk membuat naratif
diperhitungkan sebagai sejarah dan bukan fiksi, naratif harus memperhatikan fakta-fakta tetapi

pada umumnya upaya penyusunan kembali ini merupakan masalah yang dikesampingkan.

Kenyataannya adalah narasi sejarah merupakan bagian besar yang dimaksudkan untuk

menceritakan kepada kita seperti apakah masa lalu tersebut (what the past was like). Mereka

terdiri dari pernyataan mengenai masa lalu dan mereka berupaya untuk menceritakan kepada kita

apa yang sebenarnya terjadi. Ini berarti bahwa secara tepat narasi sejarah dimaksudkan untuk

mengacu kebenaran yang mereka klaim.

Adapun pendekatan narativisme sebagai bagian dari filsafat sejarah digunakan untuk

mengeksplanasi permasalahan disertasi ini sebagai gambaran menyeluruh dari suatu narasi.

Melaui pendekatan tersebut diperoleh keberkaitan interprtatif antara bagian-bagian dari hasil

penelitian masa silam sebagai suatu keseluruhan dari perspektif filsafat sejarah.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Narativisme merupakan salah satu teori penulisan sejarah yang menjadikan sebuah cerita lisan

menjadi sebuah cerita historis. Kelebihan dari narativisme ialah detail-detail dalam cerita, dan

juga mampu menunjukkan jalannya suatu peristiwa sebagai sebuah cerita yang berkaitan.Fokus

penelitian dari metode ini adalah cerita-cerita yang didengarkan di dalam pengalaman kehidupan

manusia sehari-hari. Di dalam cerita/narasi, kompleksitas kultural kehidupan masyarakat dapat

ditangkap dan dituturkan di dalam bahasa. Dalam perkebangannya narativisme sering digunakan

oleh para sejarawan untuk menjelaskan sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa lalu.

Kisah atau naratif bertitik tolak dari gagasan yang dipilih oleh sejarawan bersangkutan yang

dijadikan acuan untuk membuat seleksi atas fakta-fakta dalam sumber sejarah. Dengan kata lain

bukanlah masa lampau tersebut yang menjadi patokan melainkan gagasan dari sejarawan,

misalnya mengenai peristiwa-peristiwa seperti perang, renaissance atau peristiwa lainya.

3.2 Saran

Untuk memperbaiki makalah ini perlu adanya kritik dan saran yang membangun. Penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran guna memperbaiki makalah dan pemahaman kami mengenai

filsafat sejarah Narativisme di masa mendatang.


DAFTAR PUSTAKA

Hamdan, Iwan K. 2011. Demokrasi Seolah-olah: Kegetiran terhadap praktek

Demokrasi.Serang. Center For Information Of Regional Development Net-work (CIRED-Net)-

ITB-PIKSI.

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar llmu Sejarah. Yogya: Bentang

Leirissa, R.Z. 2002. Diktat Metodologi Sejarah. Depok: FIB UI

Norman, Andrew. P. 1998. Telling It Like It Was: Historical Narratives on Their Own. England.

http://diankurniaa.wordpress.com/2011/05/02/filsafat-sejarah-narativisme-vs-strukturalisme/,

online diakses pada tanggal 1 Februari 2014 pada jam 07.32 WIB

Anda mungkin juga menyukai