OLEH : MUTHIAH.S
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Narativisme yang biasanya dijumpai pada penelitian sejarah yang pada umumnya digunakan
oleh para ahli yang ingin mengungkap masa lalu dengan cara menceritakan kejadian yang terjadi
di masa lalu. Dalam narativisme semua perhatian ditujukan pada kenyataan bahwa pengetahuan
historis terwujud dari cerita historis.Sekalipun ada kemiripan antara historisme dan narativisme
bahwa ide-ide historis itu merupakan prinsip aktif yang memberi bentuk kepada masa silam.
Narasi itu hendaknya kita pandang dalam keseluruhannya sebagai usul untuk memandang masa
silam dari sudut tertentu untuk memandang kenyataan dari sudut pandang tertentu. Narasi dapat
di umpamakan dengan sebuah metafora di sini pun dimensi faktual tentu saja hadir artinya sama
Menurut teori sejarah ajaran tentang kaidah atau asas-asas mengenai penyusunan kembali
kepingan-kepingan mengenai masa silam sehingga kita dapat mengenal kembali wajahnya. Teori
sejarah diberi tugas untuk menyajikan teori-teori dan konsep-konsep yang memungkinkan
seorang ahli sejarah mengadakan integrasi terhadap semua pandangan fragmentaris mengenai
masa silam seperti yang dikembangkan oleh macam-macam spesialisasi didalam ilmu sejarah.
Sedangkan filsafat sejarah sendiri terdiri atas tiga unsur yang saling berhubungan, namun
Penelitian yang dilakukan oleh filsafat sejarah yang bersifat deskriptif. Bagian filsafat sejarah ini
dinamakan sejarah penulisan sejarah atau historiografi. Unsur kedua yang mendasari filsafat
sejarah barasal dari kedua arti yang dapat diberikan kepada kata sejarah itu sendiri. (kata sejarah
dapat diperuntukkan bagi proses historis itu sendiri dan baru kemudian bagi penulisan proses
historis menurut kaidah-kaidah ilmu sejarah). Filsafat sejarah yang kritis, berdasarkan arti kedua
kata sejarah dan meneliti sebagai obyeknya bagaimana masa silam dilukiskan.
Perkembangnya studi-studi sosial di Eropa abad ke-17 ditandai dengan munculnya berbagai
analisis terhadap fenomena kemanusiaan seperti sosial, ekonomi dan politik. Keadaan ini
menyadarkan para ilmuan bahwa kontribusi analisis-analisis sosial itu telah menawarkan peluang
dan jalan baru bagi sejarah untuk memasuki kordinat disiplin ilmu yang nyaris setara dengan
ilmu-ilmu lainnya. Pertemuan antara ilmu sosial dan sejarah terletak pada realitas sosial yang
menjadi obyek pengamatannya dan, dalam beberapa bagian, studi-studi terhadap struktur sosial
dan ekonomi ternyata lebih memperlihatkan kecendrungan historis meski menggunakan analisis-
analisis struktural.
Hal yang kemudian menjadi perdebatan dikalangan sejarawan sosial berkaitan dengan persoalan
perubahan sosial ialah perbedaan ide tentang fungsi atau struktur pada satu sisi dan ide tentang
peranan manusia selaku aktor pada sisi lainnya dan antara tinjauan kebudayaan sebagai supra
struktur belaka dan kebudayaan sebagai suatu kekuatan yang aktif dalam sejarah, demikian juga
dipandang masih bertolak belakang dan banyak pendapat yang mengemukan tetang terjadinya
masa lalu maka dibutuhkan sebuah metodolgi sejarah yang mengumpulakan fakta – fakta yang
sudah banyak ditemukan oleh para terdahulu. Dengan penemuannya terdahulu dan bukti – bukti
yang didapatkan maka para ahli bisa menceritakan suatu peristiwa di masa lalu
Dalam perkembangannya, metodologi sejarah, kita dapat menjumpai tiga aliran besar metodologi
sejarah, yaitu narativisme, strukturalisme, dan strukturisme. Maka dalam makalah sederhana ini
akan mencoba memaparkan salah satu dari metodologi sejarah tersebut yaitu mengenai
Narativisme.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
A. Pengertian Narativisme
Narativisme berasal dari bahasa latin naratio yang berarti cerita. Dalam Narativisme cerita
merupakan sumber utama dari pengetahuan historis. Yang berarti bahwa kisah memiliki
pendekatan ini, sejarawan diharapkan dapat menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran
melalui cerita narasi. Kebenaran mengenaiperistiwa masa lalu dapat dipaparkan dengan cara
menjelaskan fakta-fakta yang terdapat di dalam sumber sejarah. Pandangan ini beranggapan
bahwa pengetahuan historis pertama-tama terwujud dalam sebuah cerita historis bukan dalam
bagian-bagiannya. Cerita dalam tradisi narativistis huan historis terwujud dari cerita
historis.Sekalipun ada kemiripan antara historisme dan narativisme namun ada pula perbedaan-
perbedaan.Ide-ide historis memang imanen di dalam kenyataan bahwa ide-ide historis itu
Narativisme dikembangkan oleh Ankersmit yang mengikuti pendapat Johann Gustav Droysen
bentuk utuh atau holistik (Leirissa 2002:16). Inti dari metode ini adalah kemampuannya untuk
memahami identitas dan pandangan dunia seseorang dengan mengacu pada cerita-cerita (narasi)
yang di dengarkan ataupun tuturkan di dalam aktivitasnya sehari-hari (baik dalam bentuk gosip,
berita, fakta, analisis, dan sebagainya, karena semua itu dapat disebut sebagai ‘cerita’). Fokus
penelitian dari metode ini adalah cerita-cerita yang didengarkan di dalam pengalaman kehidupan
manusia sehari-hari. Di dalam cerita/narasi, kompleksitas kultural kehidupan masyarakat dapat
Dalam perkebangannya narativisme sering digunakan oleh para sejarawan untuk menjelaskan
sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. Narativisme sering digunakan untuk
menjelaskan peristiwa orang orang besar atau para tokoh besar di masa lalu. Penulisan sejarah
secara naratif dilakukan karena adanya fakta fakta historis yang berupa kebenaran subjektif yang
tidak boleh dimasuki unsur-unsur opini oleh penulisannya (subjektif) (Hamdan, 2011:282).
Narasi itu hendaknya kita pandang dalam keseluruhannya sebagai usul untuk memandang masa
silam dari sudut tertentu untuk memandang kenyataan dari sudut pandang tertentu. Narasi dapat
Kelebihan dari narativisme ialah detail-detail dalam cerita, dan juga mampu menunjukkan
jalannya suatu peristiwa sebagai sebuah cerita yang berkaitan. Sebagai karya sejarah, tulisan
narativisme menjadi suatu kisah yang enak di baca. Apalagi didalamnya ada tokoh sentral dan
pembantu, serta figuran. Narativisme juga menarik untuk membangkitkan daya imajinasi.
Terdapat perbedaan antara kausalitas dengan narativisme, yaitu kausalitas menyatakan bahwa
sebab dan akibat ada di masa silam, sedangkan narativisme menyatakan bahwa pemakaian sebab
dan akibat tidak dapat digunakan karena penafsiran dilakukan berdasarkan fakta. Konsep historis
menolak kausalitas.
beberapa operasi militer selama Perang Pembebasan , ayahnya saat itu menjadi pendeta di
Greifenhagen. Ia dididik di gimnasium dari Stettin dan di Universitas Berlin , pada tahun
1829 ia mendapatkan gelar master di Graues Kloster , salah satu sekolah tertua di Berlin ,
Droysen mempelajari zaman klasik , ia mempublikasikan terjemahan Aeschylus pada tahun 1832
dan parafrase dari Aristophanes ( 1835-1838 ), Droysen telah belajar dari ajaran Hegel. Droysen
mengikuti biografi Alexander dengan karya-karya lain yang berhubungan dengan penerus
Yunani , yang diterbitkan dengan judul Geschichte des Hellenismus ( Hamburg , 1836-1843 ) .
Edisi baru dan revisi dari seluruh pekerjaan yang diterbitkan pada tahun 1885 , dan
1. White Hiden, lahir12 Juli 1928, Martin, adalahseorang sejarawan dalam tradisi kritik sastra,
mungkin paling terkenal untuk Metahistory karyanya: The Imagination Sejarah di Nineteenth-
Century Europe(1973). Dia telah menyatakan bahwa penulisan sejarah cermin menulis sastra
dalam banyak hal, berbagi ketergantungan yang kuat pada narasi makna, karena itu
berpendapat, bagaimanapun sejarah yang paling berhasil bila itu mencakupi “narrativity”,
karena itu adalah apa yang memungkinkan sejarah menjadi berarti. Saat ini ia adalah profesor
emeritus di University of California, SantaCruz, setelah baru saja pensiun dari posisi Profesor
2. Alasdair MacIntyre Chalmers lahir pada 12 Januari 1929 di Glasgow. Ia dididik di Queen
MaryCollege,London, dan memiliki gelar Master of Arts dari University of Manchester dan
dari University of Oxford. Ia memulai karir mengajar pada tahun 1951 di Universitas
Oxford di Inggris, sebelum pindah ke Amerika Serikat pada sekitar tahun 1969 MacIntyre
telah sesuatu dari pengembara intelektual, yang pernah mengajar dibanyak universitas di
Amerika Serikat.
Setelah Hegel dan Collingwood ia menawarkan ” sejarah filsafat ” ( yang ia membedakan dari
kedua pendekatan analitis dan fenomenologis filsafat ) di mana ia mengakui dari awal bahwa ”
tidak ada standar netral tersedia dengan banding yang agen rasional pun bisa menentukan ”
1. Profesor David M. Carr menerima B.A. a dalam bidang Filsafat dari Carleton College pada
tahun 1980, sebuah MTS dari Candler School of Theology pada tahun 1983 , dan gelar MA
dan Ph.D. dalam Agama dari Claremont Graduate University pada tahun 1988 . Sebelum
datang ke Union pada Agustus 1999 , Dr Carr menjabat sebagai asisten , asosiasi , dan
profesor penuh Perjanjian Lama di Methodist Theological School di Ohio 1988-1999 , yang
di anugerahi Williams Chair dalam Penafsiran Alkitab pada tahun 1998 . Di tahun 1993-1994
menerima Alexander von Humboldt Fellowship dari Asosiasi Sekolah Teologi Young
Scholars Theological Fellowship dalam mendukung proyek penelitian selama setahun pada
bentuk dan pembentukan Genesis ( 1993-1994 ) . Mulai tahun 2005, ia mulai menjabat
sebagai Amerika co-ketua dewan editorial untuk baru Internasional Eksegetikal Commentary
Pengajaran dan penelitian kepentingan Profesor Carr meliputi pembentukan dan bentuk Alkitab ,
seksualitas dan gender dalam Alkitab , persimpangan pendekatan historis-kritis dan sastra
Alkitab, dan munculnya Kitab Suci dalam tradisi Yahudi dan Kristen . Buku Alkitab di mana
Carr memiliki keahlian tertentu termasuk Genesis , Exodus , Yesaya dan Kidung Agung .
Profesor Carr baru-baru ini didesain ulang dua mata kuliah inti dalam Program M.Div di Uni,
Pengantar Perjanjian Lama dan Tafsir Praktikum , memberikan perangkat tambahan logistik dan
teknologi .
1. Leopold Von Ranke lahir pada tanggal 21 Desember 1795 di Wiehe/Unstrut, ia dilahirkan
ditengah-tengah keluarga teolog Lutheran tua. Ranke lahir pada masa revolusi Perancis. Ia
tetap hidup damai tanpa mengalami benturan kekerasan sama sekali. Setelah menerima
Ranke menghadiri Pforta sekolah swasta yang terkenal, setelah studi lanjut di Universitas
Leipzig dan Halle, ia bekerja sebagai pengajaran guru pria dan Romawi klasik Yunani di
mulai mempertimbangkan untuk mencoba serius terlibat dalam studi sejarah, awalnya dengan
tujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang usia klasik untuk menjadi guru yang lebih
baik.
Semasa mudanya ia banyak dipengaruhi oleh agama Kristen. Von Ranke banyak mempelajari
tentang dunia. Menurutnya dunia telah diandaikan dengan karakter-karakter dan jejak-jejak yang
mengarah kepada bentuk Tuhan. Walaupun demikian, ia tidak berkeinginan menjadi pastur. Ia
lebih memilih untuk menjadi pengajar. Ia menganggap dirinya dilahirkan hanya untuk belajar
dan mempelajari alam sekitar. Sehingga ia tertarik menjadi seorang pengajar. Ia pun menjadi
sebutan sejarah kritik modern. Hal itu berdasarkan pada metode yang ia kembangkan, yaitu
metode kritik sumber. Menurutnya sumber sejarah hendaknya merupakan sumber primer yang
dapat menyajikan gambaran sesuai dengan fakta-fakta yang ada. Ia tidak ingin sejarah hanya
dijadikan sebagai cerita belaka, melainkan sejarah dijadikan sebagai studi ilmu untuk
mempelajari sisi kehidupan manusia, baik tentang orang-orang maupun institusi-institusi yang
Von Ranke merupakan sosok yang sangat memperhatikan alur sejarah sebagai peristiwa yang
saling bersangkutan antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain. Pandangan yang ia
kemukakan dikenal dengan pandangan Historisme. Menurutnya pandangan ini merupakan satu-
satunya cara untuk mempelajari manusia. Historisme yang ia kemukakan menuai banyak kritik.
Menurut para kritikus, sejarah tidak bisa menjelaskan segala-galanya. Oleh karena itu, sejarah
membutuhkan ilmu bantu khusunya ilmu-ilmu sosial. Kemungkinan hal ini merupakan salah satu
kekurangan dari metode yang ia cetuskan. Walau bagaimanapun Von Ranke telah membuka
mata para sejarawan untuk lebih memperdalami sejarah sebagai peristiwa yang dapat
Narativisme sendiri yang merupakan berasal dari bahasa latin yaitu berupa Narratio yang
berarti cerita. Dimana pandangan ini beranggapan bahwa pengetahuan histori pertama-tama
terwujud dalam sebuah cerita historis bukan dalam bagian-bagiannya. Pandangan narativisme
dalam sejarah sendiri lebih dekat dengan pandangan presentisme dalam pandangan Adam
Sschaff atau relativisme dalam pandangan Llyod. “para sejarawan yang menganutnya
beranggapan, bahwa ilmu sejarah adalah subyektif, karena realitas sejarah betapapun juga tidak
bisa diungkapkan secara obyektif. Sebab itu mereka berpendapat, bahwa sejarawan perlu
menolak yang lain” (Leirissa, 1994:4).Terkait dengan sifat subyektifitas ini, ada beberapa ciri
1. Sejarah adalah kisah (history is story), sehingga narasi merupakan sesuatu primer.
2. Interpretasi bersifat menjadi sesuatu yang primer karena fakta tidak dapat berbicara tanpa ada
4. Berorientasi pada masa kini. Dimana masa lampau tidak dapat diungkap dari kemampuannya,
Sedangkan menurut ahli filsafat sejarah dari Inggris yaitu Arkersmit juga menjelaskan
1. Sejarah bukan cermin dari masa lampau (seperti pendapat empirisme), tetapi sejarah adalah
2. Konstruksi yang mengaitkan fakta-fakta itu bukan kenyataan dari masa lampau, tetapi produk
dari kisah, yaitu suatu konstruksi berdasarkan cara pandang tertentu dari ahli sejarah
3. Hasil rekontruksi tersebut merupakan suatu pilihan dan kecenderungan sejarawan yang
bersangkutan dalam melihat suatu peristiwa sejarah dari cara pandang tertentu.
Dalam aliran narativisme beranggapan bahwa dalam sejarah yang baik ialah sejarah yang
berhasil menampilkan sebuah kisah yang sangat menarik dan berhasil mengaitkan antara fakta
yang satu dengan fakta yang lain. Dimana dalam perkembangannya para sejrawan berusaha
secara ketat bahwa sejarah sebagai kisah yang baik harus didukung oleh suatu fakta.
Narativisme dalam penceritaannya melalui tahap metode sejarah. Sejarawan bertugas untuk
menguraikan fakta dalam dokumen secara kronologis sebagai sebuah kesatuan cerita. bahwa
kisah yang baik mengenai suatu peristiwa adalah kisah yang banyak mengandung detail fakta-
fakta. Kendati demikian, narativisme bukan hanya menafsirkan masa silam dan menyusun
laporan secara kronologis. Narativisme juga ingin melukiskan sifat-sifat khas bagi suatu kurun
tertentu. Dalam narativisme, Aktor memiliki kedudukan penting, karena sejarah berbicara
mengenai tokoh, dan tokoh itu harus memiliki kategori yang menentukan perubahan. Sejarah
tercipta, karena adanya individu/tokoh yang melakukan sesuatu, karena aktorlah perubahan
tercipta. Dalam menyontohkannya sejarawan biasanya mengambil dari peristiwa yang akan
diingat oleh banyak orang, sangatlah sukar untuk mendefinisikan terjadinya suatu peristiwa yang
terjadi pada masa lampau untuk itulah diperlukanya Narativisme dalam pencapaian bukti yang
memperkuat bahwa peristiwa itu benar – benat terjadi di masa lalu, bukan hanya
penyampaiannya saja yang disampaikan kepada banyak orang namun juga pembuktian yang
akurat oleh sejarawan dalam menyingkap suatu peristiwa di masa lalunya. Misalnya peristiwa
Perang Dunia II, yang diandaikan bahwa seandainya Hittler tidak dilahirkan ke dunia. Jadi
individualisme Hitler, adalah penting untuk menggambarkan terjadinya perang yang
Dengan kelebihan dari narativisme ialah detail-detail dalam cerita, dan juga mampu
menunjukkan jalannya suatu peristiwa sebagai sebuah cerita yang berkaitan. Sebagai karya
sastra, tulisan narativisme menjadi suatu kisah yang enak di baca. Apalagi didalamnya ada tokoh
sentral dan pembantu, serta figuran. Narativisme juga menarik untuk membangkitkan daya
imajinasi.
Hal tersebutlah yang digunakan oleh para sejarawan untuk digunakan dalam kajian dengan
menunjukan keberkaitan dalam suatu materi (bahasa) yang semula kelihatan tidak koheren dan
tanpa struktur hingga terlukiskan sifat sifat yang khas bagi suatu kurun waktu tertentu. jadi bisa
kita ambil sedikit gambaran bahwa dalam kajian ini,bukan semata mata untuk mencoba berusaha
peristiwa sejarah namun juga bagaimana suatu peristiwa mempengaruhi disekitarnya. Melalui
pendekatan ini sejarawan diharapkan dapat menggambarkan keadaan yang mendekati kebenaran
dari peristiwa masa lalu dengan cara menjelaskan fakta-fakta yang terdapat dalam sumber
sejarah.
Kisah atau naratif bertitik tolak dari gagasan yang dipilih oleh sejarawan bersangkutan yang
dijadikan acuan untuk membuat seleksi atas fakta-fakta dalam sumber sejarah. Dengan kata lain
bukanlah masa lampau tersebut yang menjadi patokan melainkan gagasan dari sejarawan,
kepingan-kepingan bukti, Sejarah harus dilihat bukan sebagai gambaran sederhana yang pernah
terjadi tetapi sebagai upaya yang berorientasi praktis untuk membentuk kembali pemahaman
efektif kolektif kita terhadap masa lalu. Dalam perkembangannya saat ini, hal yang dilakukan
para sejarawan adalah merekonstruksi masa lalu yang masih tidak sempurna yang bagaimana
masih terdapat banyak hal yang masih simpang siur kebenarannya. Sejarawan yang menemukan
suatu peristiwa penting dan mendapatkan bukti – bukti yang sudah ada, lalu menemukan bukti
lagi yang dapat memperkuatnya, maka sejawan wajib untuk menceritakan secara sederhana tidak
“Narasi dari peristiwa masa lalu’ dalam budaya kita merupakan ‘subyek yang telah dikenakan
sanksi ilmu sejarah’ dan secara historis terikat pada standar yang mendasari kenyataan. Ia
menyayangkan hal tersebut dan ia menyimpulkan bahwa ‘klaim mengenai “realisme” naratif
oleh karena itu diabaikan. Fungsi dari naratif bukan untuk “mewakili”, tetapi untuk membentuk
satu pertunjukan utuh. Naratif tidak memperlihatkan dan tidak meniru. Apa yang terjadi dalam
sebuah narasi adalah dari sudut pandang referensial secara harfiah tidak terjadi apa-apa. Justru
Maka dalam anti-referentialisme dapat dilihat sebagai bagian gerakan yang berasal dari
Wittgenstein melalui Austin menuju teori Speech-act (tidak bahasa) untuk mengkoreksi kelalaian
dan kesalahan persepsi yang muncul dari pandangan bahasa sebagai media representasional yang
murni. Hal itu bertujuan untuk menyingkap hal yang sering dikaburkan.secara normatif,
performatif dan dimensi praktis dari penggunaan naratif bahasa. Untuk membuat naratif
diperhitungkan sebagai sejarah dan bukan fiksi, naratif harus memperhatikan fakta-fakta tetapi
pada umumnya upaya penyusunan kembali ini merupakan masalah yang dikesampingkan.
Kenyataannya adalah narasi sejarah merupakan bagian besar yang dimaksudkan untuk
menceritakan kepada kita seperti apakah masa lalu tersebut (what the past was like). Mereka
terdiri dari pernyataan mengenai masa lalu dan mereka berupaya untuk menceritakan kepada kita
apa yang sebenarnya terjadi. Ini berarti bahwa secara tepat narasi sejarah dimaksudkan untuk
Adapun pendekatan narativisme sebagai bagian dari filsafat sejarah digunakan untuk
mengeksplanasi permasalahan disertasi ini sebagai gambaran menyeluruh dari suatu narasi.
Melaui pendekatan tersebut diperoleh keberkaitan interprtatif antara bagian-bagian dari hasil
penelitian masa silam sebagai suatu keseluruhan dari perspektif filsafat sejarah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Narativisme merupakan salah satu teori penulisan sejarah yang menjadikan sebuah cerita lisan
menjadi sebuah cerita historis. Kelebihan dari narativisme ialah detail-detail dalam cerita, dan
juga mampu menunjukkan jalannya suatu peristiwa sebagai sebuah cerita yang berkaitan.Fokus
penelitian dari metode ini adalah cerita-cerita yang didengarkan di dalam pengalaman kehidupan
ditangkap dan dituturkan di dalam bahasa. Dalam perkebangannya narativisme sering digunakan
oleh para sejarawan untuk menjelaskan sebuah peristiwa yang telah terjadi di masa lalu.
Kisah atau naratif bertitik tolak dari gagasan yang dipilih oleh sejarawan bersangkutan yang
dijadikan acuan untuk membuat seleksi atas fakta-fakta dalam sumber sejarah. Dengan kata lain
bukanlah masa lampau tersebut yang menjadi patokan melainkan gagasan dari sejarawan,
3.2 Saran
Untuk memperbaiki makalah ini perlu adanya kritik dan saran yang membangun. Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran guna memperbaiki makalah dan pemahaman kami mengenai
ITB-PIKSI.
Norman, Andrew. P. 1998. Telling It Like It Was: Historical Narratives on Their Own. England.
http://diankurniaa.wordpress.com/2011/05/02/filsafat-sejarah-narativisme-vs-strukturalisme/,
online diakses pada tanggal 1 Februari 2014 pada jam 07.32 WIB