Anda di halaman 1dari 19

Oleh

Prof.Dr. Bambang Purwanto, M.A.

Resume

By

LALU MURDI

Tem Terbit :..... Jogjakarta

Penerbit :..... Ombak

Tahun Terbit :..... 2006


PENGANTAR QUUU...!!!!!

Perkembangan ilmu sejarah bisa dikatakan seusia dengan manusia itu


sendiri telah melhirkan berbagai macam ide dalam penulisannya, mulai dari
belahan dunia Barat pada masa Yunani melahirkan bapak sejarah
Herodotus, Timur Tengah Islam melahirkan Ibnu Khaldun, sampai pada
Leopold Von Rangke yang dikatakan sebagai peletak keilmuan sejarah
modern. Di Indonesia tidak ketinggalan juga mencetak sejarawan yang
berkaliber internasional, sebut saja Sartono Kartodirdjo, Taufik
Abdullah, Kuntowijoyo dll, sampai penulis buku ini Bambang Purwanto
telah menghasilkan ide-ide segar di dalam mengembangkan metode
sejarah sebagai penelitian maupun metode sejarah sebagai bahan
interpretasi.

Seperti dikatakan diatas ahli sejarah yang meletakan dasar-dasar


penelitian sejarah (metode sejarah) yang bersifat ilmiah adalah Leopold
von Ranke, guru besar sejarah pada universitas Berlin yang di dirikan
pada tahun 1810. Menurutnya setiap laporan mencerminkan perkembangan
intelektual, situasi dan kepentingan penulisnya. Selain menetapkan cara-
cara menguji isi dokumen (kritik intern), Ranke juga menetapkan bahwa
penelitian sejarah ditujukan untuk menetapkan fakta yang benar. Karena
menurutnya, apa yang dilaporkan dalam sumber sejarah bukan fakta
karena hanya merupakan pandangan dari penulis dokumen yang
bersangkutan. Fakta sejarah adalah hasil pekerjaan ahli sejarah yang
harus merekonstruksikannya berdasarkan sumber-sumber yang tersedia.
Ranke adalah ahli sejarah pertama yang mensyaratkan penelitian
kearsipan sebagai pokok kegiatan.

Sejalan dengan perkembangan waktu penulisan ilmu sejarah hingga


tahun 1970-an telah melahirkan empat metodologi sejarah sosial
berbeda-beda . Pertama adalah historiografi aliran empiris positifis,
kedua adalah aliran yang melihat individu saja sebagai faktor utama
perubahan sosial yang bersifat intensional dengan hermeneutika sebagai
metodologinya. Ketiga, adalah aliran struktural dari Perancis yang dikenal
sebagai “Aliran Annales” yang deterministis. Keempat tergolong
struktural juga tapi lebih dikenal sebagai metodologi fungsional atau
struktural sistematis yang bertumpu pada “grand theory” Talcott
Parsons dan Neil Smelser.

Berawal dari berkembangnya aliran struktural (Aliran Annales)


kalangan ahli sejarah strukturis meninggalkan pendekatan empiris dalam
ilmu sejarah dan memanfaatkan teori-teori sosiologi tertentu, khususnya
konsep-konsep “emergency” dan “agency”. Pendekatan ini mengacu pada
cara kerja (“structure of reasoning”) dalam ilmu-ilmu alam, tetapi
disesuaikan dengan ilmu sejarah dimana data hanya dapat diperoleh dari
peninggalan-peninggalan dari masa lampau (sumber sejarah).

Pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam metodologi sejarah diatas telah


mengilhami bapak sejarah kritis UGM Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo
ketika studi di Belanda, sehingga melahirkan karangan penomenal yang
berawal dari desertasinya dengan judul The Peasants Revolt of Banten in
1888, dan untuk menguatkan atau paling tidak bisa dikatakan pertanggung
jawaban dari metode yang digunakannya maka terbti juga buku yang tidak
kalah penting sebagai rujukan wajib di setiap jurusan sejarah yaitu buku
yang berjudul Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, di
samping buku-bukunya yang lain. Aliran Bulaksumur (sebutan bagi
sejarawan pengikit Sartono) ini begitu kuat pengaruhnya dalam penulisan
sejarah Indonesia.

Bertolak dari sedikit penjelasan di atas lalu apakah tidak timbul


masalah jika sudah ditemukannya metode alternatif yang di gagas oleh
almarhum Dr. Sartono mengenai pendekatan ilmu sosialnya? Inilah yang di
jawab oleh buku yang saya resum ini.

Pada intinya buku karangan Prof.Dr. Bambang Purwanto, M.A., ini


menitik beratkan pada masalah kekacauan Sejarawan memaknai
pendekatan ilmu-ilmu sisial dalam penulisan sejarah. Seperti yang beliau
katakan... Sementara itu penulisan sejarah kritis, struktural dan
multidimensional diartikan sebagai sekedar penggunaan konsep dan teori
ilmu-ilmu sosial dalam merekonstruksi masa lalu..... padahal prinsip
miltidimensional ini lebih didasari oleh perlunya sejarawan memperhatikan
berbagai aspek yang tercakup di dalam sebuah pristiwa, sehingga
kehadiran konsep dan teori ilmu bantu mengikuti cara berpikir yang
multidimensi itu, bukan sebaliknya (2006).

Buku yang berjudul Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Dengan


penjabaran dalam 7 bab ini telah mengantarkan kita pada pemahaman
baru dalam penulisan sejarah. Bukan hanya kritikan pedasnya terhadap
kesalahan dalam pemaknaan pendekatan konsep-konsep teori sosial dalam
metodologi sejarah, lebih jauh Dr. Bambang mengajak kita memahami
sejarah dengan pandangan yang manusiawi dan bukan melihat hitam putih
atau benar salah dalam penulisan sejarah. Handout ini untuk diri saya
pribadi yang berisi ringkasan isi bukunya Prof. Bambang di atas. Dengan
keberadaan catatan tipis ini sedikit tidak akan mempermudah kita
mendapatkan alur berpikir daripada buku yang cukup gerang ini. Semoga
bermanfaat untuk saya pribadi dan untuk orang-orang yang mencintai ilmu
dan kebenaran.

JADIKANLAH MEMBACA SEBAGAI SEBUAH KEWAJIBAN DAN


BUKAN SEKEDAR HOBI... PAHAMI BACAAN ITU DAN JANGAN
HANYA MENGENA DASARNYA SAJA....!!!!!!!!!!

Makassar, 13-08-2011

LALU MURDI
1. Kesadaran Dekonstruktif Dan Historiografi Indonesia
 Antara Fakta dan Fiksi
- Apakah ada fiksi dalam sejarah dan apakah ada fakta dalam sastra?...
menurut pendapat itu, pada tataran praktis antara fakta dan fiksi tidak
ada perbedaan yang berarti secara tekstual, sehingga sastra dan
sejarah dapat diasosiasikan bergulat di dalam satu bidang yang sama,
yaitu bahasa (3).
- Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses
pemahaman intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol
kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari
satu tempat ke tempat lain, atau dari satu orang ke orang yang lain (3-
4).
- Hal itu berarti, kebenaran sejarah maupun sastra adalah naratif.
Demikian juga tidak ada kebenaran absolut yang dapat ditemukan,
sehingga tidak selalu diperlukan teori penjelasan yang dapat diverifikasi
melelui pengujian empirik (4)
- Dalam bahasa Stephen Greenblatt yang dianggap sebagai pioner
historisme baru “ historisme dianggap bersifat monologis, hanya
tertarik untuk menemukan visi politik tunggal, percaya bahwa sejarah
bukan hasil interpretasi sejarawan, dan juga dianggap sebagai hasil
kepentingan kelompok sosial tertentu dalam pertentangannya dengan
kelompok lain”. (5)
- Eric Hobsbawm yang sering dianggap bersebrangan dengan para
pendukung post-modernisme berpendapat “ idiologisasi dan mitologisasi
sejarah yang menjadi dasar dari subjektivitas sejarah dibangun tidak
didasarkan pada kebohongan atau fiksi melainkan karena anakronisme
(6)
- Jorn Rusen mengatakan bahwa “ kebenaran sejarah sebagai sebuah
naratif baru akan masuk akal jika didukung tidak hanya oleh validitas
empiris melainkan juga validitas normatif. Oleh karena itu seperti
kebanyakan para relativistis di masa lalu, Rusen mengatakan bahwa “
neutrality is the end of histiry” (8)
- Jika sejarah yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu sosial
menghalangi aspek kualitatif dari masa lalu, maka sejarah mikro
menampilkan wajah manusiawi dari masa lalu. Menurut pendapat ini,
sejarah struktural yang hanya terpaku pada pendekatan ilmu-ilmu sosial
gagal merekonstruksi dan memahami aspek kemanusiaan dari fakta-
fakta sejarah yang ada. Akibatnya, sejarah hanya dijelaskan sebagai
realitas hubungan antara struktur yang rasional dan logis, sebaliknya
mengesampingkan sejarah sebagai hasil dari tindakan atau prilaku
manusia yang tidak selalu seragam, rasional dan logis. (8-9).
- Sedangkan para pengkritik tradisi sejarah mikro lebih lanjut
mengatakan bahwa “ secara metodis sejarah mikro telah mereduksi
sejarah menjadi antikuarianisme anekdotal, meromantisasi budaya masa
lalu, tidak mempu menjelaskan dunia modern serta kontemporer yang
ditandai oleh perubahan yang cepet. (9).
 Perkembangan Tanpa Perubahan Secara Struktural
Dalam pembahasan ini yang ingin di gugat oleh Bambang Purwanto adalah
mengenai pemaknaan terhadap peristiwa sejarah, atau bagaimana seorang
sejarawan seharusnya menginterfretasi peristiwa sejarah. Adaapun dalam
hal ini di cantumkan garis besarnya saja untuk mendapatkan pesan dari
buku ini.
- Padahal sebagai sebuah proses historis, sejarah pada masa kolonial
tidak selalu identik dengan kekuasaan kolonaial, karena sejarah yang
terjadi merupakan hasil dari interrelasi antara berbagai elemen yang
ada pada waktu itu. Kekuasaan kolonial pada prinsipnya hanya merupakan
satu dari berbagai elemen yang menjadi bagian dari proses sejarah pada
waktu itu. (16)
- Dalam kata- kata yang lain historiografi indonesia sentris yang
dipraktikkan oleh sebaian besar sejarawan indonesia pada prinsipnya
memiliki premis dasar yang tidak berbeda secara metodologis jika
dibandingkan dengan historiografi kolonial (18).
Hal ini bisa terjadi karena babarapa alasan, dan contoh kecil di
cantumkan di bawah ini:
 Narasi faktual yang dipahami saat ini menunjukkan bahwa faktor-
faktor penyebab perang padri tidak sekedar minum tuak, judi,
sabung ayam atau eksploitasi kolonial melainkan sebauh produk
dari rivalitas sosial, ekonomi, kultural dan bahkan politik antara
dua kelompok sosial yang berbeda didalam masyarakat
Minangkabau sendiri atau tanpa adanya kolonialisme belanda. (24)
 (sikap ultra nasionalistik)..... persoalan yang dihadapi bukan hanya
sekedar kesalahan karena menempatkan Sultan Hasanuddin,
Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, atau Teuku Umar sebagai
pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda, namun
memahami peristiwa itu sebagai dari proses perjuangan nasional
Indonesia telah mengakibatkan terdapat banyak anakronisme
dalam rekonstruksi sejarah Indonesia. (26).
 Historiografi Indonesia pascakolonial juga terlalu menitik
beratkan pada penjelasan polotik dan peranan penting yang selalu
dimainkan oleh orang besar dalam kejadian sejarah. (27).
Padahal>>>
 Kajian yang dilakukan terhadap babarapa tema seperti karet
rakyat di Sumatra Timur dan Sumtra Bagian
Selatan.....membuktikan bahwa konteks sosially important yang
melekat pada sejarah Indonesia, tidak hanya berhubungan dengan
orang besar, politik dll. (29)
 Perempuan baik sebagai objek maupun wacana sejarah merupakan
salah satu unsur yang juga hilang dalam historiografi Indonesia
pascakolonial. (29)... padahal dalam hal ini> husus berkaitan
dengan pembantu rumah tangga. Ann Stoler secara jelas
menggambarkan tentang hubungan antara perempuan bumiputra
dengan moderenisasi masyarakatnya (32). Mereka tidak selalu
terhanyut dengan “kebodohan” selamanya, tanpa mengalami
perubahan. Para pekerja perempauan itu ternyata juga menjadi
agen atau perantara dari moderenisasi dan perubahan gaya hidup,
termasuk penyebarluasan jenis masakan Barat, Cina atau Jepang
ke dalam masyarakat melalui keluarga atau juga secara komersial.
(32-33).
- Cara berpikir diatas juga menimbulkan marginalisasi terhadap unsur
Cina dalam proses sejarah Indonesia, karena Islam dan Cina diibaratkan
seperti air dan minyak yang tidak mungkin bercampur. Terlepas dari
adanya persoalan secara metodologis, tidak mengherankan jika buku
Slamet Muljana yang mengatakan ada wali diantara para Wali Songo
yang asal usulnya berhubungan dengan Cina mendapat reaksi yang sangat
keras hingga buku itu dilarang pada tahun 1960-an dan baru boleh
diedarkan kembali secara resmi akhir-akhir ini. (39-40).
 Mencari Format Baru Historiografi
- (terkait dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial)... ketidak mampuan
memahami secara kritis perbedaan antara sejarah sebagai sebuah
realitas objektif masa lalu dengan sejarah sebagai sebuah hasil proses
intelektual kekinian. Disamping itu para sejarawan juga melupakan
sebuah kenyataan penting bahwa sejarah sebagai realitas objektif yang
terjadi di masa lalu merupakan tindakan apa saja yang bersifat sangat
manusiawi, bukan sesuatu yang seharusnya dilakukan manusia secara
normatif (41).
- (kehidupan sehari-hari masyarakat)... seperti yang dilakukan oleh John
Ingelson dan William Frederick terhadap buruh pelabuhan, prostitusi
serta kehidupan sehari-hari di kampung pada masa depresi pada tahun
1930-an, atau Ann Stoler yang menulis tentang para House Maid pada
masa kolonial (42).
- Setelah Peter Boomgard menulis hubungan antara perubahan ekonomi
dengan Tuyul, Gundul, atau Ki dan Nyi Blorong pada masa kolonial, baru
muncul kesadaran bahwa “ yang tidak ada” dan “ yang tidak terjadi “ itu
ternyata juga bagaian dari sejarah indonesia (44).
- Biarpun di dalam ilmu sejarah dikenal generalisasi sejarah, pemehaman
terhadap peristiwa sejarah tidak didasarkan dan bertujuann
menggeneralisasi seluruh fakta sejarah.... Belanda di Indonesia tidak
dapat dipahami secara umum dalam konteks politik devide et impera
atau eksploitasi. Sebagai sebuah proses sejarah, kolonialisme belanda
merupakan produk dari interaksi berbagai faktor internal dan eksternal
yang akhirnya membuat sebuah struktur tertentu (44).
- Meninjau istilah Alun Munslow, yang paling penting adalah adanya
kesadaran dekonstruktif untuk merekonstruksi masa lalu yang tetap
didasarkan pada fakta (45).
- Penggunaan konsep dan teori-teori ilmu sosial - yang beberapa
diantaranya hanya hasil generalisasi dan tidak historis – dalam analisis
dan sintesis sejarah, sebenarnya juga merupakan sebuah bentuk dari
penisbian terhadap fakta (46)
- Periode revolusi bukan lagi sesuatu yang sakral, segala hal yang baik
maupun buruk bisa terjadi waktu itu. Revolusi tidak hanya menghasilkan
pahlawan, melainkan juga para pecundang. Desakralisasi terhadap
revolusi nasional Indonesia secara Historiografis tidak akan mengurangi
arti penting periode itu dan perjuangan para pahlawan yang tidak
pernah bercita-cita jadi pahlawan itu dalam proses sejarah bangsa ini
(47).
- Oleh karena itu pepatah “ setitik nila rusak susu sebelanga” tidak selalu
tepat untuk di berlakukan dalam konteks revolusi dan kepehlawanan
seseorang. Sejarah adalah refleksi kemanusiaan, maka historiografi
yang manusiawi merupakan jawaban untuk melakukan konstruksi dan
memaknai masa lalu (48).

2. Sejarah Lisan dan Wacana Baru Historiografis


 Sentrisme Baru yang Menjadi Beban
- Sementara itu penulisan sejarah kritis, struktural dan multidimensional
diartikan sebagai sekedar penggunaan konsep dan teori ilmu-ilmu sosial
dalam merekonstruksi masa lalu..... padahal prinsip miltidimensional ini
lebih didasari oleh perlunya sejarawan memperhatikan berbagai aspek
yang tercakup di dalam sebuah pristiwa, sehingga kehadiran konsep dan
teori ilmu bantu mengikuti cara berpikir yang multidimensi itu, bukan
sebaliknya (63).
- Teori dalam pengertian epistemologi yang merupakan kaedah pokok ilmu
sejarah dan menjadi satu kesatuan dalam filsafat sejarah kritis seperti
yang dikatakan Kuntowidjoyo..... Didalam konteks ini, teori sejarah
dapat dibedakan antara “ teori sejarah konseptual” dan “ teori sejarah
empirik”. Istilah teori sejarah konseptual dapat disebut sebagai
epistemologi, sedangkan teori sejarah empirik dapat disejajarkan
dengan teori yang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial (64).
- Selain itu Taufik Abdullah juga menyatakan bahwa “... disamping
sebagai sumber sejarah yang di harapkan untuk memberikan berbagai
kepastian tentang fakta-fakta sejarah, sebagai unsur-unsur peristiwa
yang didapatkan melalui proses kritik sumber, historiografi tradisional
dapat pula dipakai sebagai alat untuk memahami berbagai pola perilaku
kesejarahan dari masyarakat penganutnya”. Taufik Abdullah lebih
lanjut berpendapat bahwa”...ketika sejarah kritis ingin di tulis maka
masalah pertama yang harus dihadapi ialah mencari “fakta” di belakang
historiografi tradisional, yang memantulkan hayat “ kewajaran sejarah”,
dan tradisi lisan, yang merupakan mirage of reality (67).
- Historiografi lama yang merupakan kelanjutan dari konstruksi kolonial
telah tercebur dari realitas historis yang melekat pada masyarakatnya,
yang menggunakan ukuran-ukuran rasionalitas umum barat untuk
merekonstruksi masa lalu (68).
- Oleh sebab itu batasan antara sejarah dan bukan sejarah adalah
tulisan, dan dalam konteks sumbersejarah maka sumber tertulis
dihargai lebih tinggi dari sumber lisan..... berdasarka ukuran itu, apakah
kemudian akan disimpulkan bahwa komunitas-komunitas atau
masyarakatitu tidak memiliki sejarah atau tidak ada masa lalu mereka
yang dapat dikatagorikan sebagai sejarah? (69).
 Sejarah Lisan dan Terbentuknya Wacana Baru
- Sejak Allan Nevins dari Columbia University mulai bekerja dengan
metode sejarah lisan pada tahun 1948 untuk merekonstruksi masa lalu
para pria kulit putih di Amerika Serikat, sejarah lisan telah
perkembangan yang luar biasa.... dan kajian-kajian sejarah mulai
berorientasi pada penulisan sejarah dari bawah atau history from below
(69).
- Tidak seperti dokumen tertulis yang dianggap bebas dari subjektivitas,
sumber-sumber lisan dianggap penuh dengan intervensi dan manipulasi
baik yang dilakukan oleh informan maupun sejarawan didalam proses
pengumpulannya (70).....( padahal pada sumber tertulis
juga)....kekurangan yang terkandung di dalam sumber tertulis menjadi
semakin besar, karena banyak informasi yang dibutuhkan dan relevan
dengan fokus kajian yang dilakukan oleh para sejarawan tidak terekam
dalam dokumen-dokumen tertulis (71).
- Sebagai cabang ilmu sejarah yang sangat tergantung pada ingatan
daripada teks, sejarah lisan mengartikan ingatan tidah hanya sebagai
kesatuan dokumen yang ada di kepala manusia melainkan juga seperti
dokumen yang ada di kepala manusia meleinkan juga seperti dokumen
yang tersimpan di rak-rak kantor arsip..... menurut kajian yang dilakukan
oleh James Fentress dan Chris Wickham, mengingat merupakan
pengalaman, atau aktivitas yang dilakukan oleh pikiran sebagai sebuah
kesadaran (73)..... Para penutur tidak hanya menceritakan kembali masa
lalu, tetapi juga membuat penilaian atau interpretasi sendiri terhadap
masa lalu (75).
- Dalam konteks ini, ingatan adalah fakta sosial, biarpun tidak bisa
dipungkiri adanya subjektivitas di dalam ingatan. Dalam upaya mengatasi
berbagai kesulitan subjektif itu, para sejarawan kemudian
mengembangkan kerangka kerja sistematik yang “ menganalisa teks
lisan, dan mengembangkannya dengan yang lain dalam bentuk dokumen
tertulis atau informasi yang lain (75).
- Sejarah lisan merupakan alat yang sangat berguna untuk menemukan,
mengeksplorasi, dan mengevaluasi ciri-ciri dari proses ingatan sejarah,
sehingga dapat diketahui bagaimana manusia mengartikan masalalunya,
menghubungkan pengalaman individu dengan konteks sosialnya, masa lalu
menjadi bagaian dari masa kini, dan orang menggunakannya untuk
mengiterpretasi hidup mereka serta dunia sekelilingnya (76).
- Pernyataan Passerini yang tidak konvensional yang akan di tolak oleh
para sejarawan konvensional, bersambut dengan pendapat Alessandro
Portelli yang tidak lagi melihat sejarah benar atau selah secara faktual
melainkan sejarah adalah realitas intelektual masyarakat memahami
masa lalu (76).
- Sumber lisan memberi informasi tidak hanya tentang apa yang dilakukan
orang di masa lalu, tapi apa yang mereka percaya tentang hal yang
sedang dilakukan, dan apa yang mereka pikirkan tentang apa yang telah
terjadi (77).
 Sejarah Lisan Indonesia dan Historiografi Alternatif
- ..... adanya keterlibatan setiap orang yang tahu tentang masa lalu untuk
menginterpretasi sejarahnya sendiri, dan pentingnya arti ingatan
sebagai sebuah naratif.. (79).
- Waktu sejarag tidak pernah berubah, yang berubah adalah penafsiran
orang terhadap muatan yang ada di dalam waktu itu (80).
- Proses keragaman telah menggantikan penjelasan tunggal, prinsip yang
selama ini menjadi salah satu ciri penting dari kegagalan historiografi
indonesiasentris menghadirkan kebenaran sejarah (80).
- Di luar konteks masa lalu yang kontroversial, berbagai publikasi yang
dilakukan oleh kelompok kajian sejarah Post-Kolonial yang diseponsori
lembaga penelitian Realino, Machigan University, dan Ford Foundation
sebagai contoh, sekali lagi menunjukkan pitensi besar yang ada pada
kajian sejarah lisan dan sumber lisan untuk menghadirkan masa lalu
Indonesia yang jauh lebih luas dan bermakna secara sosial sebagai
sebauah historiografi alternatif (85).
3. Naskah Tradisi dan Historiografi Jawa
.....
 Biarpun dalam kenyataannya banyak masa lalu Jawa yang telah di
rekonstruksi, hal itu tidak berarti semuanya harus di terima begitu saja
dan tidak perlu dipertanyakan kembali secara historiografis. (88).
 Oleh karena itu bukan suatu hal yang mengejutkan jika ada yang
berpendapat bahwa betapa pun biadabnya, perang merupakan bagian
dari peradaban umat manusia dan perang pula yang menghasilkan
peradaban. (89).
 Lebih lanjut Taufik Abdullah menyatakan bahwa karya sastra
merupakan “pengalaman kolektif “ dan “ merefleksikan suasana waktu
ketika karya itu diciptakan”. (90).
 Karya Sastra, Legitimasi, dan Realitas Masa Lalu
 Merujuk pendapat R.G. Collingwood yang menyatakan bahwa seluruh
sejarah adalah sejarah intelektual, maka dapat di katakan bahwa
karya-karya sastra sezaman tidak hanya merupakan potret dari
berbagai realitas sosial melainkan juga refleksi intelektual dari
masyarakat ketika karya sastra itu di tulis. (97).
 Lebih lanjut Taufik Abdullah mengatakan bahwa karya seperti
serat, babad, dan dokumen dinasti lainnya “ yang berbentuk karya
sastra dapat pula dipakai sebagai alat untuk memahami berbagai
pola perilaku kesejarahan dari masyarakat penganutnya”. (97).
 Paling tidak ada empat fungsi utama dari karya-karya sastra seperti
itu. Pertama, sebagai alat dokumentasi. Kedua, sebagai media untuk
mentransfer memori masa lalu antar generasi. Ketiga, sebagai alat
untuk membangun legitimasi. Keempat, sebagai bentuk ekspresi
intelektual. (98).
 Kuntowijoyo berpendapat bahwa historiografi tradisional berakhir
sejak Hoesein Djajadiningrat menulis desertasinya tentang sejarah
Banten dengan menggunakan sumber lokal secara kritis pada tahun
1913, sementara itu Kuntowijoyo lebih lanjut menyatakan bahwa era
hostoriografi indonesia modern dimulai sejak Seminar Sejarah
Nasional pertama tahun 1957. (98).
 Seprti dikatakan oleh Alessandro Portelli, sejarah merupakan “
studi tentang bentuk-bentuk kultural dan proses bagaimana individu-
individu mengekspresikan rasa diri mereka dalam sejarah. (101).
 Penelitian yang telah banyak dilakukan selama ini menunjukkan bahwa
karya-karya sastara tradisi jawa itu tidak hanya sebagai ikspresi
intelektual para pengekor setia atau loyalis melainkan juga
merupakan “ pemberontakan yang sopan” dari pujangga, atau sebagai
cara paling selamat yang ditempuh oleh para demagog. (101)......
padahal dalam satu kalimat sederhana dapat dikatakan , karya-karya
tradisi itu memuat realitas yang berbungkus fantasi. (102).

4. VOC Dalam Tradisi Historiografi Indonesia


.....Paling tidak ada empat fenomena historis penting yang perlu di
perhatiakn untuk memehami proses perkembangan VOC..... Empat
fenomena itu adalah, kompetisi dan konflik antara bangsa barat,
kompetisi dan konflik antara kerajaan-kerajaan lokal dengan bangsa
barat, kompetisi dan konflik di dalam kerajaan-kerajaan lokal, yang
semuanya bermuara pada terbantuknya jaringan, kompetisi yang
berdimensi banyak untuk memperebutkan monopoli dan hegemoni (132).
 Kebimbangan Historiografis
- Sejarawan muda Belanda Vincent Houben dalam tulisannya
mengatakan..., sejarah indonesia sebagai sebuah koloni dimulai dari
tahun setelah 1800. Hal serupa dapat dilihat dalam bukunya M.C.
Ricklefs yang berjudul History of Modern Indonesia. Ia juga
menyebutkan bahwa pembentukan negara kolonial dimulai sejak sekitar
tahun 1800 (134)..... begitu juga dengan kuku SNI yang kerangka dasar
berpikirnya sangat dipengaruhi oleh Sartono Kartodirdjo menempatkan
pengasaan Hindia Belanda sejak abad XIX, sedangkan sebelumnya
diidentifikasikan sebagai reaksi kerajaan-kerajaan islam terhadap
panetrasi Barat (135).
- Dalam bahasa sejarawan Indonesia Moh. Ali, “ VOC adalah negeri
Belanda dengan nama VOC”. Lebih lanjut menurut C.R. Boxer dalam
buku klasiknya yang berjudul The Dutch Seaborne Empire 1600-1800,
hak istimewa yang diberikan oleh Staten-General menjadikan institusi
yang pada waktu pendiriannya mendapat dukungan kuat dari Pangeran
Mourice serta salah satu negarawan utama Belanda saat itu Johan Van
Oldenbarnevelt, tidak lebih dan tidak kurang merupakan bentuk virtual
dari negara di dalam negara. (136).
 Kompetisi, Komplik , dan Kejayaan Jan Compagnie
- Dalam upaya mamperlancar aktivitas organisasi, VOC pada tahun 1610
memutuskan untu membentuk jabatan Gouverneur General sebagai wakil
Heren XVII di Asia, yang pada waktu itu berkedudukan di Ambon. (140)
- Jan Pieterszoon Coen.. Figur yang telah menjadi direktur jendral VOC
di Banten sejak tahun1613 itu berhasil meyakinkan para petinggi VOC di
Amsterdam bahwa “ tidak ada perdagangan tanpa perang dan juga tidak
ada perang tanpa perdagangan”. Kebijakan itu semakin mudah untuk
diwujudkan ketuka diangkat menjadi Gouverneur General pada tahun
1619. (141).
- (kebijakan VOC menguasai lawan)....diantaranya dengan jalan:
 Ekspansi ekonomi dan politik VOC menjadi semakin lancar, ketika
Compagnie ini secara cerdas memenfaatkan kompetisi dan konflik
antara kerajaan kerajaan lokal serta konflik-konflik internal di
dalam kerajaan-kerajaan lokal. (142)
 Salah satu kunci lain dari keberhasilan VOC adalah sifatnya yang
sangat adaptif terhadap kondisi yang telah ada di sekitarnya.....
VOC secara cerdik menggunakan lemnaga dan aturan-aturan yang
telah ada dalam masyarakat lokal untuk menjalankan roda
Compagnie-nya. Hak monopoli, penyerahan wajib, penanaman
wajib, tenaga kerja wajib, dan pajak yang diberlakukan VOC
sebenarnya telah menjadi bagian dari setruktur dan kultur yang
telah ada sebelumnya. Kecuali kebijakan Prengestelsel dalam arti
tertentu yang diberlakukan di Jawa Barat..... VOC hanya
membungkusnya secara legal dan normatif dengan sesuatu yang
dibwawanya dari Belanda untuk menunjukkan bahwa apa yang
dilakukannya lebih beradab dan legal, atau memang pantas untuk
diberlakukan pada orang yang memang tidak beradab menurut
perspektif mereka. (145).
 Kelanjutan Sebuah Warisan
- Namun sejarah juga membuktikan bahwa bukan hanya VOC yang
berprilaku ekspansif di kepualauan Indonesia. Wilayah ini antara abad
XVI dan XVII merupakan sebuah arena perebutan yang melibatkan
banyak pihak, dan masing-masing ingin berkuasa atas yang lain.
(148).....penyerangan Demak ke Malaka atau Mataram ke Batavia (baca
Jakarta) tidak dapat dilihat sebagai embrio dari nasionalisme,
melainkan bagian dari persaingan memperebutkan hegemoni atas wilayah
itu..... Serangan Sultan Agung terhadap VOC dapat disejajarkan dengan
serangan Raja Mataram itu terhadap Surabaya, Banyuangi, atai Pati. Hal
serupa dapat diperlakukan pada Bugis, Mkassar, atau Aceh. (149).
- Di dalam proses sejarah, dewi fortuna ternyata berpihak kepada VOC,
dan bangsa Belanda memenangkan persaingan itu selama berabad-abad.
Jika tidak, walaupun memang tidak pernah terjadi, bukan tidak mungkin
bahwa Mataram melalui Sultan Agung yang sangat ekspansif akan
menjadi penguasa kolonial atas wilayah kepulauan yang kemudian di kenal
sebagai Indonesia ini, dan bukan Belanda..... Oleh karena itu tidak
mengherankan jika ada sejarawan yang tetap percaya bahwa sejarah
sebagai sebuah produk merupakan takdir. (150).
- Akhirnya satu hal yang perlu di camkan, sejarah bukan peluru untuk
perang kembali, melainkan patuah untuk kearifan dan perdamaian di
masa kini yang sangat pendek itu dan masa depan yang masih panjang.
Melestarikan dendam sejarah dan melupakan masa lalu sama-sama akan
membutakan mata, menutup hati, dan menyia-nyiakan kecerdasan. (151).
5. Sejarah Dan Pemahaman Kembali Nasionalisme Indonesi
 Identitas Negara Bangsa yang Terancam
- Oleh sebab itu tidak mengherankan jika Ernest Gelner dan Eric
Hobsbawm kemudian masing-masing mengatakan bahwa nasionalisme
adalah bagian dari high culture dan invented tradition. Hal senada juga
dinyatakan oleh Karl. W. Deutsch, yang memahami nasionalisme
sebagai salah satu elemen yang disebut sebagai kebudayaan. (154).
- Nasionalisme Indonesia adalah nilai-nilai yang sengaja diformulasikan
sebagai antitesa terhadap dominasi kolonialisme Belanda yang oleh
kelompok masyarakat yang sebelumnya memiliki identitas masing-masing
yang terpisah. Sebagai sebuah ikatan kebangsaan, entitas Indonesia
tidak pernah ada sebelumnya dan baru muncul pada awal abad ke XX,
serta mencapai puncaknya ketika sebuah bangsa dan negara baru di
proklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. (155)
- (terkait dengan penguasaan asing dan penjualan aset negara ke negara
asing)..... logika seperti itu tentu saja sama dengan mengatakan lebih
baik menjual atau menggabungkan secara sukarela Indonesia kepada
Amerika Serikat, yang penting penjualan dan penggabungan itu akan
memberikan kemakmuran ekonomis kepada pendudukanya. (158).
 Antara Identitas Etnik dan Identitas Kebangsaan
- Disebagian besar negara-negara baru itu oleh Gerd Baumann diartikan
sebagai identitas pascaetnik yang menafikkan kenyataan multikultural
namun ironisnya cendrung tidak netral secara etnik. (162).
- Dalam mencapai persatuan dan menjaga kesatuan identitas kebangsaan
itu, Eric Hobsbawm menyatakan bahwa negara bisanya melakukan
idiologisasi dan mitologisasi historis melalui kreativitas penulisan
sejarah dalam rangka menemukan kesamaan warisan kultur, kesamaan
pahlawan, kesamaan norma, kesamaan adat istiadat dan lain sebagainya.
(163).
 Sejarah dan Legitimasi Kesadaran Kebangsaan Indonesia
- Seperti dakatakan Eric Hobsbowm,” sejarah adalah bahan mentah bagai
idiologi nesionalisme, etnik, atau fundamentalis, sama seperti apun
menjadi bahan mentah bagi ketergantungan heroin”. (171).
- Jiaka Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa nasionalsime merupakan
penomena atau idiologi modern yang muncul pada akhir abad XIX dan
awal abad ke XX sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme
Barat, mengapa akar historisme Indonesia selalu dikaitkan dengan
perlawanan terhadap VOC, Majapahit, Sumpah Palapa Patih Gajah
Mada dan bahkan Sriwijaya? (173).
- Dalam salah satu tulisannya di Daoelat Rakyat pada tahun 1932, Hatta
menganggap pernyataan tentang adanya “ demokrasi Indonesia” yang
akan dijadikan sebagai dasar bagai Indonesia yang merdeka sebagai
sebuah semboyan yang kosong. Bagi Hatta, yang ada adalah “ Desa-
demokrasi” akan tetapi tidak ada “Indonesia- demokrasi”.....seperti yang
dijelaskan oleh Sartono Kartodirdjo bahwa nilai-nilai demokrasi dan
nasionalisme dapat dikatakan seperti dua sisi dari satu mata uang yang
mendorong perkembangan pergerakan nasionalisme Indonesia (176).
- Apa yang terjadi berkaitan dengan Sriwijaya bukan merupakan
representasi dari nasionalisme melainkan bagian dari sebuah ekspansi
kolonialis yang ingin membangun sebuah imperium. Hal serupa dapat
digunakan untuk menjelaskan Majapahit atau Gajah Mada. (177).
- Penelitian yang dilakukan oleh David Henley tentang Minahasa
menunjukkan adanya kesadaran yang sangat besar di dalam bangsa
Minahasa untuk mengembangkan nasionalisme Minahasa sebelum mereka
menjadi bagaian dari perjuangan Indonesia..... (begitu juga).....Selain itu
sampai tahun akhir 1910-an dan awal 1920-an pun, para pemuda Sumatra
seperti Bahder Djohan, Muhammad Amir, dan bahkan Muhammad
Yamin yang menjadi aktivis Jong Sumatramen Bond tetap menulis
tentang sumatra, bukan Indonesia sebagai Tanah Air mereka tercinta.
(179).
 Memahami Kembali Nasionalisme Indonesia
- Identitas nasional sebagai Indonesia merupakan sebuah kesadaran
kolektif dari mereka yang sebelumnya telah terlebih dahulu
memperjuangkan “ nasionalisme nasionalnya” yang didasarkan pada
ikatan tertentu, terutama ikatan primordial. (184).
- Satu hal lagi yang harus dicatat, bahwa secara historis dan
konstitusional kata “ persatuan dan kesatuan” atau bahkan Bhinneka
Tunggal Ika lebih banyak diartikan selama ini sebagai perlunya
keseragaman. Padahal dua kalimat diatas lebuh pantas diartikan sebagai
pengakuan terhadap keragaman dan sepakat untuk berbeda dalam
sebuah kesadaran kolektif atas nama Indonesia. (186).
6. Militer Indonesia Dan Legitimasi Historiografis
 Sipil dan Militer dalam Wacana Historiografis
- Di Jawa, struktur birokrasi kerajaan Majapahit menempatkan jabatan
Rakyan Mapati, Patih Hamengkubumi, atau di sebut juga Apatih ring
Tiktawilwadhika seperti yang telah dijabat oleh Gajah Mada, sebagai
pemimpin politik dan sekaligus sebagai panglima perang pada struktur
birokrasi kerajaan di tingkat pusat. (194).
- Peristiwa Thermidor di Prancis pada tahun 1794 merupakan salah satu
contoh dari sikap partisan militer dalam kehidupan politik dan
terjadinya pengelompokan politik di dalam militer..... berdasarkan
sejarah tentara di Inggris dan Perancis itu, juga nampak bahwa tentara
bergerak ke kiri dan ke kanan tergantung pada kepintaran masing-
masing kelompok penguasa sipil memanfaatkannya. (196)..... ada juga
pembangkangan militer terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sebagai
contoh krisis Ulster yang melibatkan Partai Liberal dan Partai
Konservatif sejak 1832 dan puncaknya tahun 1914, dalam hal itu
petinggi militer Inggris menolak tugas ketentaraan yang diperintah
oleh pemerintah yang didukung oleh Partai Liberal, karena dianggap
akan menimbulkan perang saudara, dan pendukung Partai Konservatif.
(196-197).
 Historiografi dan Terbentuknya Dominasi Wacana Militer
- Berbeda dengan masa penjajahan Belanda, ketika mobilitas sosial
horizontal sebagian besar penduduk bumuputera harus dilakukan melalui
proses pempriyayian yang didukung oleh pendidikan Barat, struktur
birokrasi kolonial dan ekonomi kapitalistik. Masa pendudukan Jepang
menawarkan pola mobilitas sosial baru bagi penduduk bumiputra dengan
jalur pensatriaan, melalui pembentukan kelompok-kelompok militer dan
semi militer. (199).
- Persepsi historis yang mengandung nilai militerisme itu terus hidup
sampai sekarang, yang dibuktikan dalam polemik tentang penggagas
umum Serangan Umum 1 maret 1949. Menempatkan serangan Umum 1
Maret 1949 sebagai sesuatu yang teramat istimewa dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. (202).
- Dalam konteks itu, nasionalisme Indonesia dianggap akan terus
terancam jika tanpa keikut sertaan militer. Padahal dalam konteks
teoritis mengenai evolusi perkembangan nasionalisme, penggunaan
prinsip-prinsip militer untuk menyatukan sebuah negara bangsa
merupakan tahap nasionalisme yang paling primitif. (203).
 Logika Historiografis dan Legitimasi
- Pada bagian ini penulis buku ini ingin mengklarifikasi dasar historis TNI
yang dimulai dari pembentukan BKR oleh PPKI dan TKR oleh pemerintah
resmi 5 oktober 1945. Adapaun kutipan di bawah ini adalah gambaran
umum dari ide yang ingin ditungkan dalam buku ini mengenai akar
historis TNI yang disebut diatas.
 Pada tanggal 20 agustus 1945, diputuskan pembentukan sebuah
lembaga bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan
bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP).
Menurut laporan penetapannya yang di sampaikan pada rapat
PPKI tanggal 22 agustus 1945, BKR bertugas untuk memelihara
keamanan bersama-sama rakyat dan jawatan pemerintah lainnya
di bawah koordinasi Komite Nasional Indonesia (KNI). (208).
 Berdasarkan identifikasi historis, dua legitimasi historiografis
TNI itu sebenarnya lebih cocok ditempatkan pada keberdaan
BKR daripada TKR. (210)..... Penolakan tersebut dapat dijelaskan
melalui beberapa alasan, antara lain karena BKR belum memiliki
struktur keorganisasian tentara, belum memiliki garis koimando
yang jelas, atau menurut Sajiman Surjohadiprodjo tidak ada
usaha rekrutmen (210-211)..... (padahal)....perkembangan BKR di
tingkat daerah , seperti yang dilakukan Soedirman di Banumas,
A.K. Gani di Sumatra Selatan, atau Dahlan Jambek di Sumatra
Barat, sangat sulit untuk mengatakan BKR merupakan organisasi
bersenjata yang tidak teratur tanpa garis komando. (211).
 Jika BKR dijadikan dasar untuk menunjukkan awal organisasi
bersenjata Indonesia, secara historis terbukti bahwa BKR
terbentuk oleh PPKI dan diselenggarakan di bawah koordinasi
KNI. (212)..... Walaupun menurut M. Hatta dalam memoarnya,
pengangkatan Mayor Oerip Soemohardjo sebagai Kepala Stap
Umum dan perintah untuk membentuk markas besar dan struktue
organisasinya dilakukan oleh M. Hatta sebagai Wakil Presiden
yang mewakili Soekarno. (213).
 Bersembunyi di Balik Kedaruratan
- TNI telah menjadi bagian dari struktur dan sistem kekuasaan sejak
masa Demokrasi Terpimpin. Termasuk A.H. Nasution yang diangkat
sebagai Mentri Pertahanan dan Keamanan di samping tetap sebagai
Kpepala Staf Angkatan Darat..... sebanyak 35 orang dari 283 orang
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang diangkat oleh
Presiden Sukarno pada tahun 1960 adalah anggota TNI. (214).
7. Historiografi Tragedi 1965
..... :
o Seperti pernyataan populer yang ada, tradisi historiografi Indonesia
seolah-olah hanya mengenal sejarah sebagai politik di masa lalu
sedangkan politik adalah sejarah di masa kini. (224).
o Memang tidak ada yang salah jika ada yang berpendapat bahwa
penulisan sejarah berfungsi untuk mencari keadilan bagi mereka yang “
tertindas “ dan “ terabaikan” karena seperti juga dikatakan oleh
Kuntowijoyo, historiografi Indonesia di masa depan adalah historiografi
bersifat profetik yang berfungsi sebagai keritik sosial. (225).
 Carut Marut Historiografi dan Memori
- Adanya keterlibatan orang-orang penting PKI dalam proses terjadinya
peristiwa itu merupakan sesuatu yang sulit di bantah, namun kemudian
adanya rekayasa politik yang mengabaikan “ korban” jiwa yang banyak
dan penindasan terhadap orang “ berdosa” tidak berdosa” juga
merupakan realitas lain yang juga harus di terima. (230).
- Di tempat lain, banyak orang tiba-tiba menjadi terkait dengan kelompok
komunis hanya karena hal itu merupakan jalan satu-satunya mendapat
tambahan beras 10 kilo gram setiap bulan, hadiah atas prestasi kerja
dan intelektual yang cemerlang, tempat untuk menyalurkan bakat seni
yang sesuai dengan hati nuraninya, tempat untuk berbakti kepada
desanya, atau kesempatan untuk membantu pada petani dan buruh yang
telah “ tertindas” sejak zaman kolonial. (232).
- Bagi para “ penganiaya “, di dalam memori sosial mereka tertanam
dengan kuat hal-hal seperti aksi para pendukung PKI mengambil alih
tanah milik perorangan maupun perusahaan yang disertai penganiayaan
dan pembunuhan, seperti yang terjadi di Klaten, Indramayu,
Banyuwangi, atau Bandar Betasi. Cerita tentang Letda Sudjono yang
meninggal karena kepalanya di cangkul oleh anggota organisasi
pendukung PKI dalam kasus Bandar Betasy tidak pernah dilupakan,
pelarangan tulisan yang dianggap kontra revolusioner, pemenjaraan
terhadap Hamka dan teman-temannya, pelarangan terbit bagi media
massa yang kritis terhadap politik Presiden Sukarno dan PKI,
penyerangan terhadap kelompok intelektual muda yang sedang
melaksanakan ibadah shalat di Kanigoro, hingga teror berkepanjangan
yang harus dihadapi para intelektual seniuor kampus yang kritis
terhadap Manipol Usdek. (238-239).
- Sementara itu bagi kelompok “ korban”....kekerasan sampai pemenjaraan
terhadap seniman, wartawan, atau para lawan polotik mereka dalam
kelompok Badan Pendukung Sukarnoisme dan Manikebu yang disebut
Taufik Ismail sebagai peristiwa “ prahara budaya”, dianggap kelompok “
korban “ sebagai sesuatu yang wajar karena ‘musuh” itu bersikap kontra
revolusioner dan menghina presiden yang sedang berkuasa. (239).
- Oleh karena itu tidak mengherankan jika di dalam memori sosial mereka
yang “ tertindas “itu, semua hal yang dilakukan oleh M. Hatta, A.H.
Nasution, Divisi Siliwangi, M. Natsir, atau Sjafrudin Prawiranegara
sejak awal kemerdekaan sebagai contoh, selalu dikatagorikan salah,
sama seperti mereka memaknai tindakan yang dilakukan Soeharto, Orde
Baru, dan Angkatan Darat setelah pergantian kekuasaan dari tangan
Presiden Sukarno. (241).
- Salah satu alternatif priodesasi itu adalah sebagai berikut. pertama,
periode sebelum peristiwa aksi gerakan 30 September. Kedua, periode
penculikan dan pembunuhan terhadap perwira Angkatan Darat, usaha
kudeta oleh Untung, dan aksi militer tandingan yang dipimpin oleh
Soeharto. Ketiga, periode konsolidasi politik, munculnya Supersemar,
pembunuhan masal, dan penghancuran PKI. Keempat, periode
peningkatan kompetisi politik di kalangan elite, melemahnya posisi
Presiden Soekarno, dan munculnya Soeharto figur politik baru. Kelima,
pengambilalihan kekuasaan dan menguatnya peran militer dalam politik.
Keenam, Orde Baru, kekerasan serta diskriminasi terhadap semua
elemen yang berhubungan dengan PKI dan Sukarno. (243).
 Tragedi 1965 dalam Pendidikan Sejarah di Sekolah
- (Terkait dengan penerapan pembelajan sejarah pada kelas 3 dalam
mengajarkan tentang peristiwa G 3O S dalm kurukulum KTSP 2004)
 Paling tidak ada empat sub-pokok bahasan yang akan dipelajari
oleh para siswa. Pertama, siswa diminta untuk mengumpulkan data
dari berbagai sumber untuk menyusun kronologi proses historis
gerakan 30 September. Kedua, siswa melakukan klasifikasi dan
membandingkan beberapa pendapat tentang seputar Gerakan 30
September . Ketiga, siswa mendeskrisikan dampak sosial- politik
dari kasus Gerakan 30 September. Dan yang terakhir, siswa
menjelaskan kompleksitas proses peralihan kekuasaan politik
setelah Gerakan 30 September melakukan aksi usaha kudetanya.
(267).

Anda mungkin juga menyukai