Resume
By
LALU MURDI
Makassar, 13-08-2011
LALU MURDI
1. Kesadaran Dekonstruktif Dan Historiografi Indonesia
Antara Fakta dan Fiksi
- Apakah ada fiksi dalam sejarah dan apakah ada fakta dalam sastra?...
menurut pendapat itu, pada tataran praktis antara fakta dan fiksi tidak
ada perbedaan yang berarti secara tekstual, sehingga sastra dan
sejarah dapat diasosiasikan bergulat di dalam satu bidang yang sama,
yaitu bahasa (3).
- Rekonstruksi sejarah adalah produk subjektif dari sebuah proses
pemahaman intelektual yang dilambangkan dalam simbol-simbol
kebahasaan atau naratif dan dapat berubah dari waktu ke waktu, dari
satu tempat ke tempat lain, atau dari satu orang ke orang yang lain (3-
4).
- Hal itu berarti, kebenaran sejarah maupun sastra adalah naratif.
Demikian juga tidak ada kebenaran absolut yang dapat ditemukan,
sehingga tidak selalu diperlukan teori penjelasan yang dapat diverifikasi
melelui pengujian empirik (4)
- Dalam bahasa Stephen Greenblatt yang dianggap sebagai pioner
historisme baru “ historisme dianggap bersifat monologis, hanya
tertarik untuk menemukan visi politik tunggal, percaya bahwa sejarah
bukan hasil interpretasi sejarawan, dan juga dianggap sebagai hasil
kepentingan kelompok sosial tertentu dalam pertentangannya dengan
kelompok lain”. (5)
- Eric Hobsbawm yang sering dianggap bersebrangan dengan para
pendukung post-modernisme berpendapat “ idiologisasi dan mitologisasi
sejarah yang menjadi dasar dari subjektivitas sejarah dibangun tidak
didasarkan pada kebohongan atau fiksi melainkan karena anakronisme
(6)
- Jorn Rusen mengatakan bahwa “ kebenaran sejarah sebagai sebuah
naratif baru akan masuk akal jika didukung tidak hanya oleh validitas
empiris melainkan juga validitas normatif. Oleh karena itu seperti
kebanyakan para relativistis di masa lalu, Rusen mengatakan bahwa “
neutrality is the end of histiry” (8)
- Jika sejarah yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu sosial
menghalangi aspek kualitatif dari masa lalu, maka sejarah mikro
menampilkan wajah manusiawi dari masa lalu. Menurut pendapat ini,
sejarah struktural yang hanya terpaku pada pendekatan ilmu-ilmu sosial
gagal merekonstruksi dan memahami aspek kemanusiaan dari fakta-
fakta sejarah yang ada. Akibatnya, sejarah hanya dijelaskan sebagai
realitas hubungan antara struktur yang rasional dan logis, sebaliknya
mengesampingkan sejarah sebagai hasil dari tindakan atau prilaku
manusia yang tidak selalu seragam, rasional dan logis. (8-9).
- Sedangkan para pengkritik tradisi sejarah mikro lebih lanjut
mengatakan bahwa “ secara metodis sejarah mikro telah mereduksi
sejarah menjadi antikuarianisme anekdotal, meromantisasi budaya masa
lalu, tidak mempu menjelaskan dunia modern serta kontemporer yang
ditandai oleh perubahan yang cepet. (9).
Perkembangan Tanpa Perubahan Secara Struktural
Dalam pembahasan ini yang ingin di gugat oleh Bambang Purwanto adalah
mengenai pemaknaan terhadap peristiwa sejarah, atau bagaimana seorang
sejarawan seharusnya menginterfretasi peristiwa sejarah. Adaapun dalam
hal ini di cantumkan garis besarnya saja untuk mendapatkan pesan dari
buku ini.
- Padahal sebagai sebuah proses historis, sejarah pada masa kolonial
tidak selalu identik dengan kekuasaan kolonaial, karena sejarah yang
terjadi merupakan hasil dari interrelasi antara berbagai elemen yang
ada pada waktu itu. Kekuasaan kolonial pada prinsipnya hanya merupakan
satu dari berbagai elemen yang menjadi bagian dari proses sejarah pada
waktu itu. (16)
- Dalam kata- kata yang lain historiografi indonesia sentris yang
dipraktikkan oleh sebaian besar sejarawan indonesia pada prinsipnya
memiliki premis dasar yang tidak berbeda secara metodologis jika
dibandingkan dengan historiografi kolonial (18).
Hal ini bisa terjadi karena babarapa alasan, dan contoh kecil di
cantumkan di bawah ini:
Narasi faktual yang dipahami saat ini menunjukkan bahwa faktor-
faktor penyebab perang padri tidak sekedar minum tuak, judi,
sabung ayam atau eksploitasi kolonial melainkan sebauh produk
dari rivalitas sosial, ekonomi, kultural dan bahkan politik antara
dua kelompok sosial yang berbeda didalam masyarakat
Minangkabau sendiri atau tanpa adanya kolonialisme belanda. (24)
(sikap ultra nasionalistik)..... persoalan yang dihadapi bukan hanya
sekedar kesalahan karena menempatkan Sultan Hasanuddin,
Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, atau Teuku Umar sebagai
pahlawan nasional yang berjuang melawan Belanda, namun
memahami peristiwa itu sebagai dari proses perjuangan nasional
Indonesia telah mengakibatkan terdapat banyak anakronisme
dalam rekonstruksi sejarah Indonesia. (26).
Historiografi Indonesia pascakolonial juga terlalu menitik
beratkan pada penjelasan polotik dan peranan penting yang selalu
dimainkan oleh orang besar dalam kejadian sejarah. (27).
Padahal>>>
Kajian yang dilakukan terhadap babarapa tema seperti karet
rakyat di Sumatra Timur dan Sumtra Bagian
Selatan.....membuktikan bahwa konteks sosially important yang
melekat pada sejarah Indonesia, tidak hanya berhubungan dengan
orang besar, politik dll. (29)
Perempuan baik sebagai objek maupun wacana sejarah merupakan
salah satu unsur yang juga hilang dalam historiografi Indonesia
pascakolonial. (29)... padahal dalam hal ini> husus berkaitan
dengan pembantu rumah tangga. Ann Stoler secara jelas
menggambarkan tentang hubungan antara perempuan bumiputra
dengan moderenisasi masyarakatnya (32). Mereka tidak selalu
terhanyut dengan “kebodohan” selamanya, tanpa mengalami
perubahan. Para pekerja perempauan itu ternyata juga menjadi
agen atau perantara dari moderenisasi dan perubahan gaya hidup,
termasuk penyebarluasan jenis masakan Barat, Cina atau Jepang
ke dalam masyarakat melalui keluarga atau juga secara komersial.
(32-33).
- Cara berpikir diatas juga menimbulkan marginalisasi terhadap unsur
Cina dalam proses sejarah Indonesia, karena Islam dan Cina diibaratkan
seperti air dan minyak yang tidak mungkin bercampur. Terlepas dari
adanya persoalan secara metodologis, tidak mengherankan jika buku
Slamet Muljana yang mengatakan ada wali diantara para Wali Songo
yang asal usulnya berhubungan dengan Cina mendapat reaksi yang sangat
keras hingga buku itu dilarang pada tahun 1960-an dan baru boleh
diedarkan kembali secara resmi akhir-akhir ini. (39-40).
Mencari Format Baru Historiografi
- (terkait dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial)... ketidak mampuan
memahami secara kritis perbedaan antara sejarah sebagai sebuah
realitas objektif masa lalu dengan sejarah sebagai sebuah hasil proses
intelektual kekinian. Disamping itu para sejarawan juga melupakan
sebuah kenyataan penting bahwa sejarah sebagai realitas objektif yang
terjadi di masa lalu merupakan tindakan apa saja yang bersifat sangat
manusiawi, bukan sesuatu yang seharusnya dilakukan manusia secara
normatif (41).
- (kehidupan sehari-hari masyarakat)... seperti yang dilakukan oleh John
Ingelson dan William Frederick terhadap buruh pelabuhan, prostitusi
serta kehidupan sehari-hari di kampung pada masa depresi pada tahun
1930-an, atau Ann Stoler yang menulis tentang para House Maid pada
masa kolonial (42).
- Setelah Peter Boomgard menulis hubungan antara perubahan ekonomi
dengan Tuyul, Gundul, atau Ki dan Nyi Blorong pada masa kolonial, baru
muncul kesadaran bahwa “ yang tidak ada” dan “ yang tidak terjadi “ itu
ternyata juga bagaian dari sejarah indonesia (44).
- Biarpun di dalam ilmu sejarah dikenal generalisasi sejarah, pemehaman
terhadap peristiwa sejarah tidak didasarkan dan bertujuann
menggeneralisasi seluruh fakta sejarah.... Belanda di Indonesia tidak
dapat dipahami secara umum dalam konteks politik devide et impera
atau eksploitasi. Sebagai sebuah proses sejarah, kolonialisme belanda
merupakan produk dari interaksi berbagai faktor internal dan eksternal
yang akhirnya membuat sebuah struktur tertentu (44).
- Meninjau istilah Alun Munslow, yang paling penting adalah adanya
kesadaran dekonstruktif untuk merekonstruksi masa lalu yang tetap
didasarkan pada fakta (45).
- Penggunaan konsep dan teori-teori ilmu sosial - yang beberapa
diantaranya hanya hasil generalisasi dan tidak historis – dalam analisis
dan sintesis sejarah, sebenarnya juga merupakan sebuah bentuk dari
penisbian terhadap fakta (46)
- Periode revolusi bukan lagi sesuatu yang sakral, segala hal yang baik
maupun buruk bisa terjadi waktu itu. Revolusi tidak hanya menghasilkan
pahlawan, melainkan juga para pecundang. Desakralisasi terhadap
revolusi nasional Indonesia secara Historiografis tidak akan mengurangi
arti penting periode itu dan perjuangan para pahlawan yang tidak
pernah bercita-cita jadi pahlawan itu dalam proses sejarah bangsa ini
(47).
- Oleh karena itu pepatah “ setitik nila rusak susu sebelanga” tidak selalu
tepat untuk di berlakukan dalam konteks revolusi dan kepehlawanan
seseorang. Sejarah adalah refleksi kemanusiaan, maka historiografi
yang manusiawi merupakan jawaban untuk melakukan konstruksi dan
memaknai masa lalu (48).