Krisis Maroko Pertama (juga dikenal sebagai Krisis Tangier) adalah krisis
internasional atas status internasional Maroko antara Maret 1905 dan Mei 1906. Maroko
terletak di Afrika bagian utara sebelah barat, letaknya sangat strategis di selat Gibraltar dan berhadapan langsung dengan Spanyol bagian selatan. Selat ini satu-satunya pintu masuk- keluar dari dan ke Laut Tengah. Dari abad ke 17 sampai awal abad 19 Maroko mampu bertahan sebagai negara berdaulat. Letak Maroko yang sangat strategis ini pada akhirnya justru telah menjadi incaran bagi Negara-negara Eropa yang tengah gencar-gencarnya meluaskan kekuasaan khususnya di wilayah Afrika, apalagi Maroko begitu dekat dengan Eropa. Spanyol sebagai negara Eropa yang terdekat wilayahnya dengan Maroko mencoba mengirimkan pasukannya ke Maroko tetapi dapat di halau oleh Inggris. Pada prinsipnya Inggris tidak menginginkan adanya kekuasaan permanen siapapun di Maroko, karena bagaimanapun penguasaan Maroko oleh satu kekuatan Barat tertentu akan dapat memicu bagi terjadinya krisis Internasional. Sebaliknya Perancis justru sangat berkeinginan untuk menguasai Maroko, meskipun Jerman sejak 1873 sudah menempatkan perwakilannya di Maroko. Itulah sebabnya ketika Perancis mendirikan pangkalan militer di Fez maka Negara-negara Eropa ramai-ramai melakukan protes. Maka untuk menghindarkan konflik yang lebih besar, diadakanlah suatu konvensi yang membahas masalah Maroko pada tahun 1880, yang dihadiri oleh 15 negara Eropa dan Amerika Serikat di Madrid. Hasilnya “Status quo Sultan Maroko harus dipertahankan dan Maroko tetap menjalankan politik pintu terbuka”. Sejak itu maka banyak Negara yang berlomba menanamkan modal di Maroko. Mundurnya Perancis dari Fashoda (dalam kriris Fashoda) bagaimanapun merupakan tamparan dahsyat bagi Perancis, dan jelas negara ini pun tidak bisa melupakannya begitu saja, demikian pula kekalahan yang dirasakan setelah mundur dari Suez pada saat terjadinya perang melawan rakyat Mesir. Kekalahan demi kekalahan yang diderita Perancis, tentu membutuhkan suatu tirai untuk menyembuhkannya. Maka hal yang paling tepat yang dapat dilakukan Perancis, adalah menduduki Maroko. Kalau Inggris telah menduduki pintu keluar menuju India yaitu Suez, maka Perancis seharusnya dapat menguasai pintu masuk yaitu Maroko. Disaat Inggris sibuk menghadapi perjuangan bangsa Boer di Afrika Selatan, maka Perancis secara diam-diam melakukan perjamjian dengan Italia yang isinya “Italia tidak keberatan apabila Perancis di Maroko, sebaliknya Perancis juga tidak akan menghalangi keinginan Italia di Tripoli dan Cyrenaica”. Perjanjian ini di ratifikasi pada tahun 1902 dengan memasukkan “apabila salah satu Negara diserang musuh maka yang lain akan bersikap netral”. Langkah Perancis berikutnya adalah melakukan perjanjiaan dengan Spanyol tahun 1904 yang intinya “Spanyol mendapatkan Panati utara termasuk Tanjir dan Fez serta sedikit di bagian selatan, selebihnya menjadi milik Perancis”. Perjanjian ini penting artinya bagi Perancis yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk mewujudkan impian bagi mendapatkan Maroko, lebih-lebih bila Spanyol nanti akan berhadapan langsung dengan Maroko, dan secara historis merasa memiliki wilayah ini. Tapi tampaknya Spanyol masih ragu-ragu untuk merealisasikan isi perjanjian ini karena takut akan terjaadi krisis internasional. Usaha lain yang sangat penting yang dilakukan Perancis, adalah menerima tawaran Inggris untuk mengakhiri pertikaian dengan Perancis khususnya mengenai Afrika yang menempatkan kedua Negara besar itu sebagai musuh bebuyutan. Bagi Perancis yang telah membangun Suez sejak awal dan harus menelan pil pahit mundur dari Mesir merupakan tamparan yang sangat dahsyat. Berbagai cara telah dilakukan agar dapat kembali ke Mesir tapi selalu mengalami kegagalan. Sedangkan bagi Inggris, Maroko sangat vital, Inggris tidak menginginkan satu Negara pun menguasai wilayah itu. Lebih-lebih kalau yang menguasainya adalah Perancis. Pintu masuk laut tengah menjadi sangat berbahaya bagi Inggris. Untuk itu Inggris menempuh jalan damai dengan Perancis. Maka pada tahun 1904 disepakati “Marocco Egyption Agreement” yang dikenal pula dengan sebutan Entente Cordiale.. Inti dari perjanjian ini adalah “Perancis akan melupakan/meleepaskan kepentingannya di Mesir, sebagai imbalannya Inggris tidak keberatan apabila Perancis berda di Maroko, dengan catatan tidak boleh ada benteng di Jabaltarik”. Sementara Spanyol tetap mendapat Fez sebagaimana perjanjian sebelumnya, Tanjir berada di bawah pengawasan internasional demi menjaga kelancaran pelayaran internasional. Bagi Perancis berakhirnya pertentangan dengan Inggris berarti tidak ada kekuatan besar yang akan menghalanginya lagi di Maroko. Maka sejak itu Perancis semakin menanamkan pengaruh di Maroko. Penanaman modal Perancis semakin intensif dan di pihak lain secara bersamaan keuangan Maroko mengalami kebangkrutan akibat tidak mampu mengelola dengan baik, maka dengan alasan ini Perancis masuk semakin dalam didalam urusan dalam negeri Maroko seperti mengatasi masalah keuangan, pemerintahan, keamanan dan lain-lain. Tindakan Perancis di Maroko ini mendapat protes dari Jerman. Jerman pun harus mengetahui bahwa telah terjadi berbagai perjanjian rahasia antara Perancis dengan sekutu- sekutunya. Bagi Jerman, Maroko tetaplah Negara bebas sesuai perjanjian Madrid tahun 1880. Konflik ini memuncak dengan adanya kunjungan kaisar Williem II mengunjungi Tanjir dan menyatakan mengakui kedaulatan Maroko. Untuk menghindarkan konflik yang lebih besar maka Perancis menerima tuntutan Jerman untuk mengadakan konferensi bagi Maroko yang diikuti oleh Negara-negara Perancis, Inggris, Rusia, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Italia dan Austria. Konferensi itu diberi nama konferesi Algeciras tahun 1806. Dengan di tandatanganinya perjanjian Algeciras ini, maka Krisis Maroko episode Pertama inipun dapat diatasi secara damai tahun 1806. Krisis Maroko kedua (yang juga dikenal sebagai Krisis Agadir, atau Panthersprung). Sesuai dengan konferensi diatas, maka Perancis merasa perlu untuk memantapkan kedudukannya di Maroko. Tetapi kondisi didalam negeri Maroko sendiri menjadi bergolak, karena munculnya perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Perancis. Pergolakan-pergolakan yang tertjadi dan sikap Perancis dalam mengahadapi pergolakan tersebut, membuat Jerman masuk kembali ke masalah Maroko dengan mengakui kemerdekaan Maroko tahun 1808. Akibatnya pemberontakan-pemberontakanpun semakin hebat. Pada tahun 1911 ibukota Maroko, Fez bahkan dapat dikepung oleh kaum pemberontak dan tentara Perancis-pun menduduki kota tersebut. Tindakan ini memaksa Jerman mengirimkan kapal-kapal perangnya ke Maroko yang merupakan tantangan bagi Perancis dan Inggris. Menurut Inggris tindakan Jerman tersebut mengancam perdamaian dunia karena melibatkan tiga Negara besar yaitu, Perancis, Jerman dan Inggris. Tetapi kondisi ini dapat diakhiri dengan perjanjian yang intinya Jerman harus meninggalkan Maroko dan mengakui kekuasaan Perancis atas Maroko. Dan sebagai imbalannya Jerman mendapatkan sebagian daerah Perancis di Kongo. Dengan adanya perjanjian ini maka krisis Maroko episode ke II inipun berakhir dan Perancis makin memantapkan kedudukannya di Maroko, dan pada tahun 1918, Maroko dijadikan wilayah protektorat Prancis.