Anda di halaman 1dari 17

SEJARAH HUBUNGAN INTERNASIONAL

(KERJA SAMA INTERNASIONAL INDONESIA ERA REFORMASI)


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Hubungan Internasional
Dosen Pengampu: Tsabit Azinar Ahmad, S.Pd., M.Pd.

Oleh:
Bagas Yusuf Kausan
Asep Syaeful Bachri
Saiful Anwar
Ervan Nur Septian Ardhi

JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah hubungan internasional merupakan salah satu mata kuliah dalam
disiplin Ilmu sejarah. Mata kuliah diambil karena dirasa perlu untuk mengkaji
hubungan internasional yang terjadi di masa lalu. Sudah sejak lama masyarakat
Indonesia melaksanakan hubungan dengan masyarakat luar.
Pembagian sejarah hubungan Internasional dibagi menjadi tujuh yakni;
1. Hindu-Buddha
2. Islam
3. Kolonial
4. Orde lama demokrasi liberal
5. Orde lama demokrasi terpimpin
6. Orde baru
7. Reformasi.
Reformasi 1998 telah membawa Indonesia pada zaman baru. Indonesia
memasuki era keterbukaan informasi dan pendapat. Era ini ditandai dengan
lengsernya Soeharto dari singgasana Presiden Indonesia setelah berkuasa 32 tahun.
Era Reformasi disambut dengan gegap-gempita jutaan rakyat Indonesia karena
dianggap membawa harapan baru Indonesia, namun tak sedikit pula yang
menyambutnya dengan pesimis karena reformasi juga ditandai dengan krisis yang
menghantam Indonesia.
Selama masa reformasi Indonesia telah menjalin hubungan dengan banyak
negara. Terhitung sejak negara Indonesia terbentuk tahun 1945 hingga tahun 1998
sudah banyak negara yang melakukan hubungan dengan Indonesia. Hubungan yang
terjalin antara Indonesia dengan negara luar tentu memiliki banyak motif dan maksud.
Hubungan tersebut, biasanya berada dalam bidang ekonomi, militer, ekstradisi, dan
lain sebagainya.
Era reformasi menjadi titik balik sejarah hubungan internasional Indonesia.
Indonesia pada masa reformasi menjalin hubungan kerjasama dengan memasukkan

diri kedalam organisasi-organisasi tertentu. Tujuannya jelas, untuk melaksanakan citacita bangsa yang ada dalam UUD 1945. Dari sekian banyak hubungan yang terjalin
pasca reformasi, setidaknya terdapat sebuah hubungan internasional yang dilakukan
Indonesia, yang dirasa menarik untuk diulas. Adapun hubungan internasional tersebut
ialah; World Trade Organisation (WTO).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola kebijakan luar negeri dan corak hubungan internasional Indonesia era
reformasi?
2. Bagaimana sejarah bergabungnya Indonesia ke dalam WTO serta perkembangannya
3.

pada masa reformasi?


Dampak apa saja yang diperoleh Indonesia dalam hubungan internasional tersebut?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi keperluan tugas mata kuliah Hubungan Internasional
2. Untuk sedikit mengetahui perihal hubungan Internasional yang dilangsungkan
Indonesia, pada masa-masa reformasi dan pasca reformasi.
BAB II
PENJELASAN
A. Hubungan Internasional
Hubungan internasional merupakan kegiatan manusia dimana manusia yang berasal
dari satu negara atau lebih, baik secara individual maupun secara kelompok, berinteraksi.

Disamping itu, hubungan Internasional dapat pula dipandang sebagai sebuah kegiatan
komunikasi dengan jejaring Internasionalbaik dengan bentuk kontak langsung maupun
dengan kontak tidak langsung.
Hubungan internasional bertujuan untuk meneguhkan eksistensi suatu negara, dan
merupakan forum komunikasi lintas-negarabaik bersifat bilateral, multilateral, atupun
secara global. Disamping itu, hubungan Internasional memuat pula sebuah upaya negara
1 Frans. S Fernandes, Hubungan Internasional dan Peranan Bangsa Indonesia Suatu
Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 1986) hlm. 20.

untuk memenuhi kebetuhan nasional nyaterutama terkait masalah perdagangan, perjanjian,


keuangan, keamanan, dan perdamaian.
Dalam sebuah negara, kepemimpinan nasional pun turut mempengaruhi corak dan
pola hubungan Internasionalyang dengan itu, akan mempengaruhi pula penampakan politik
luar negeri yang di ambil oleh negara tersebut. Atau dalam artian, setiap pemimpin negara,
memiliki pola dan kecenderungan tertentu mengenai hubungan Internasional nya dengan
negara lain, ataupun dalam forum lintas-negara yang diikuti. Hal ini berkaitan dengan hakikat
Hubungan Internasional dalam kacamatanya sebagai sebuah ilmu, yang mencakup analisa
kekuatan politik Internasional, nasional, dan Imprealisme. 2 Yang semua hal tersebut, berkait
erat dengan corak dan kecenderungan pemimpin negarasebagai manifestasi dari
masyarakat negara itu sendiri.
B. Hubungan Internasional dari Awal Kemerdekaan Hingga Reformasi
Sebelum menelisik sejauh mana Politik Luar Negeri ( PLN ) pada era Reformasi,
alangkah baiknya jika didahului dengan mengetahui PLN pada masa-masa sebelumnya. Hal
ini disebabkan karena Politik luar Negeri pada era Reformasi memiliki kaitan penting dengan
konteks zaman pada Reformasi, karena peta politik dunia sudah sangat berbeda dengan era
Orde Lama maupun Orde baru. Pada prinsipnya Indonesia sejak merdeka cenderung
menganut mazhab Politik Luar Negeri ( PLN ) bebas aktif, akan tetapi dalam
implementasinya sangat ditentukan oleh presiden, sehingga ada ketidakkonsistenan PLN dari
masa kepemimpinan satu kemasa kepemimpinan yang lain.
Perlu diketaui bahwa PLN sangatlah tergantung dengan orientasi yang dikehendaki
oleh suatu kepemimpinan, hal ini serupa dengan implementasi bebas aktif yang sesuai siapa
yang memimpin. Pada awal kemerdekaan dengan presiden Soekarno, kebijakan luar negeri
2 Ibid. Hlm. 22.

Indonesia dipengaruhi oleh semangat patriotisme pasca kolonial dan juga pada awal Perang
Dingin ditingkat internasional. Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, agenda utama
kebijakan luar negeri Indonesia, seperti halnya yang dilakukan oleh negara lain didunia ini
ketika baru memproklamirkan kemerdekaannya, adalah mencari pengakuan dari negaranegara lain didunia. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat itu
sehingga fokus utama kebijakan luar negeri Indonesia saat itu diarahkan kepada upaya
pencarian pengakuan dari negara lain yang diikuti dengan pembukaan hubungan diplomatik
dengan berbagai negara di dunia.
Kemudian perkembangan politik internasional yang saat itu sedang memasuki babak
awal Perang Dingin di era tahun 1960-an. Dengan kondisi domestik Indonesia, sebagai
sebuah negara yang baru berdiri, negara ini kemudian mencoba mencari sosok atau
membangun profilnya dalam dunia internasional. Kondisi ekonomi yang relatif lemah namun
memiliki semangat patriotisme yang besar membuat pemerintah Indonesia harus menentukan
arah kebijakannya diluar negeri untuk membangun citra Indonesia.
Mohammad Hatta mengatakan bahwa politik luar negeri Indonesia bagaikan
mendayung diantara dua karang. Artinya, politik luar negeri Indonesia berada pada posisi
yang netral diantara dua kekuatan besar dunia (Amerika Serikat dan Uni Soviet). Kebijakan
luar negeri yang dilakukan oleh Soekarno cenderung mendekati kelompok sosialis China.
Sebenarnya kebijakan ini tidak secara langsung berkaitan dengan pertentangan ideologi yang
sedang berkembang saat itu, namun lebih diwarnai oleh semangat menentang kolonialisme
yang masih berlangsung di beberapa negara di Asia dan Afrika. Dan kebetulan, negara-negara
yang melakukan praktik kolonialisme adalah negara-negara Barat yang pada umumnya
adalah negara-negara kapitalis. Sedangkan negara-negara yang mengalami penjajahan Barat
memiliki pemikiran dan penentangan yang serupa dengan ide-ide yang diusung oleh negaranegara Sosialis.

Kebijakan luar negeri Indonesia pada masa Orla cenderung bersifat hard profile. Hal
ini didasarkan pada pola interaksi dan hubungan luar negeri yang dibangun pada masa
Soekarno. Soekarno secara tegas dan jelas melakukan penentangan terhadap bentuk-bentuk
penjajahan yang dilakukan oleh Barat dan berhasil menggalang persatuan diantara negaranegara terjajah dalam Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Kritikan-kritikan tajam yang
dilontarkan oleh Soekarno kepada negara-negara Barat serta beberapa kampanye besarnya
seperti Ganyang Malaysia merupakan buah dari pemikirannya yang ingin menempatkan
Indonesia dalam posisi strategis, sebagai wakil dari negara-negara bekas jajahan Barat.
Akan tetapi setelah tumbangnya Orde Baru, ada perubahan 180 derajat PLN yang
dilakukan Soeharto, sebagai pemangku rezim Orde Baru. Jika pada masa Orla, profil
kebijakan luar negeri Indonesia cenderung bersifat hard profile dengan pendekatan yang
keras, hal tersebut tidak dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru (Orba). Pemerintahan Orba
cenderung menerapkan kebijakan luar negeri Indonesia yang berubah 180 derajad dari
pendahulunya yaitu pendekatan yang lebih bersifat low profile. Pendekatan low profile
dilakukan oleh Soeharto dengan melakukan pendekatan yang lebih lunak dan terkesan
bersahabat dalam hubungannya dengan luar negeri. Dari sinilah kemudian Soeharto berhasil
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa tercapainya stabilitas politik
pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar,
TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi. Eksploitasi sumber
daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber
daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak
merata di Indonesia dan terjadi sentralisasi yang berpusat di Jakarta sebagai ibukota negara.
1. Perubahan Politik Luar Negeri Pasca Lengsernya Soeharto ( Era
Reformasi )

Memasuki masa Reformasi dengan tumbangannya kepemimpinan Soeharto, ketika


masih dalam kepemimpinan B.J Habibie, PLN masih bercorak Orde Baru. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya dilema politik luar negeri Indonesia pada era Habibie, sehingga
Habibie harus menemukan bagaimana mengakomodasikan aspirasi Islam sebagai 1 kesatuan
dan peran IMF serta kekuatan eksternal lainnya seperti AS dalam keberlangsungan Indonesia.
Pada akhirnya politik luar negeri Indonesia era Habibie tetap melanjutkan politik luar negeri
era Suharto.3
Pada awal kepemimpinan Gus Dur mulailah orientasi Politik Luar Negeri mengalami
perubahan. Hal ini dibuktikan dengan gebrakan yang dilakukan oleh Gus Dur yang berupa
rencana peningkatan hubungan dengan Israel. Bersamaan dengan kunjungannya kebeberapa
negara dikawasan Asia, Gus Dur Kembali membuat kejutan dengan gagasan pembentukan
aliansi strategis Indonesia-China-India. Dalam Persoalan HAM, pemerintah pasca Soeharto
juga membuka kesempatan kepada lembaga internasional untuk menyelidiki perwira-perwira
militer yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor-timor.4 Kemudian Gus Dur
juga ingin menghilangkan dominasi Negara barat dalam hal politik dan ekonomi, akan tetapi
kearena terlalu mengakarnya liberalisme dan kapitalisme Negara barat, sangatlah sulit untuk
mengurangi dominasi tersebut. Usaha itu benar-benar pudar ketika Gus Dur harus
dilengserkan dari kepemimpinannya menjadi Presiden.
Akan tetapi setidaknya ada empat hal yang mendasari PLN pada era Reformasi yang
mencakup pada kepemimpinan Gus Dur dan Megawati. Pertama, melalui PLN pemerintah
3 Rizal Sukma, Islam in Indonesia Foreign Policy, Taylor & Francis e-Library, 2004, hlm.
85.

4 Atom Ginting Munthe, Postur Rasionalis dalam Politik Luar Negeri Indonesia Pasca
Soeharto dalam Jurnal Hukum Pro Justitia, Juli 2006, Volume 24 No.04.

berharap dapat memulihkan nama baik di mata internasional setelah tercemar oleh berbagai
kasus pelanggaran HAM dan KKN. Kedua, melalui PLN pemerintah berharap dapat
menyelesaikan persoalan-persoalan separatis di Aceh dan Papua. Patut diakui bahwa
kemenangan telah dicapai ketika banyak negara termasuk anggota OKI dan ASEAN
menyatakan dukungannya terhadap kedaulatan pemerintah di Aceh ; dan bukan tidak
mungkin hal yang sama dapat terjadi pada masalah Papua. Ketiga, melalui PLN pemerintah
berharap dapat memobilisasi bantuan luar negeri untuk untuk menyelesaikan krisis ekonomi
yang kunjung tiada akhir. Prioritas pemerintah RI adalah mengajak para Insvestor negara
maju ( AS, Jepang, Eropa ) dan NICs ( Korea Selatan, Hong Kong dan Singapura). Keempat,
memalui PLN pula berupaya untuk membuat agar Indonesia memainkan peran internasional
baru dengan menggalang kembali solidaritas Selatan-Selatan yang sudah sekian dekade
terlupakan.5
Dari orientasi Politik Luar Negeri pada Reformasi mulai mengalami perubahan dari
Orde Baru, akan tetapi dalam hal ekonomi, masih belum dapat mandiri dan masih memiliki
ketergantungan dengan pasar global, sehingga salah satu kerjasama yang masih langgeng
dalam perdagangan pasar bebas yaitu WTO secara terus menerus meriberalisasi ekonomi
Indonesia.
C. Hubungan Dengan WTO
Wujud pemikiran dari kelompok pandangan liberalis internasional adalah munculnya
organisasi internasional sebagai salah satu aktor dalam hubungan internasional. Dengan
adanya organisasi internasional, diharapkan setiap negara-negara dapat mencapai
kepentingannya secara bersama-sama.

5 Ibid. Hlm. 192.

WTO (world trade organization) merupakan sebuah organisasi internasional yang


mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan
serangkaian perjanjian yang di negosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di
dunia dan diratifikasi oleh anggota (konsensus). Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO
adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan
kegiatannya.
Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang dikenal dengan Uruguay Round (19861994) serta perundingan sebelumnya dibawah General Agreement On Tariffs and Trade
(GATT). WTO saat ini terdiri dari 154 negara dimana 117 diantaranya adalah negara
berkembang.
Pada tahun 1995 Indonesia masuk anggota WTO. Namun diawal keanggotaannya
Indonesia belum terlihat aktif dalam keanggotaan WTO. Baru setelah reformasi hubungan
dengan WTO semakin intens. Setelah rezim orde baru runtuh, Indonesia tetap melanjutkan
kerjasama dengan WTO bahkan pada tahun 2011 Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi
tingkat menteri WTO, saat itu dilaksanakan di Bali. Indonesia pada masa reformasi pun
terlihat sangat tergantung terhadap organisasi ini. Dengan masuk sebagai anggota WTO,
Indonesia bisa memasarkan hasil produksi dalam negerinya kepada negara-negara anggota
WTO dan sebaliknya.
Hingga saat ini Indonesia sangat tergantung pada WTO karena Indonesia masuk
kategori berkembang yang masih membutuhkan bantuan dari negara lain. Bantuan ekonomi
dari pihak luar dapat didapatkan apabila terdaftar sebagai anggota WTO. Indonesia mau tidak
mau harus masuk dalam WTO mengingat manfaat menjadi anggota WTO antara lain:
1. Persengketaan antar negara dapat ditangani secara konstruktif
2. Memudahkan perdagangan antar negara
3. Mendorong pengurangan tarif dan hambatan non tarif

4. Memberikan banyak pilihan atas produk dengan kualitas berbeda kepada


konsumen
5. Mendorong perumbuhan ekonomi
6. Mendorong perdagangan berjalan lebih efisien.
Namun disisi lain, dengan masuknya Indonesia dalam keanggotaan WTO tidak
menjamin Indonesia memperoleh semua manfaat tersebut, ada sisi negatifnya juga. Beberapa
kali hubungan Indonesia dengan WTO mengalami pasang surut. Dengan masuknya Indonesia
ke WTO Indonesia harus menyesuaikan dengan standar internasional yang ditetapkan WTO,
selain itu produk asing banyak yang masuk ke Indonesia membuat ekonomi Indonesia
mengalami tantangannya sendiri.
Sebagai salah satu anggota WTO, posisi Indonesia dapat dilihat dalam konferensi
WTO ke-IV di Doha, Qatar, pada tahun 2001. Hal ini tergambar dalam pidato delegasi
Indonesia, yang menunjukkan sifat tidak tegas dan terlihat adem ayem dengan WTO
walaupun ditempa krisis liberal dan globalisasi yang luar biasa. Sebagaimana yang
disampaikan Menperindag waktu itu, Rini Suwandi, meski indonesia terkena dampak luar
biasa krisis keuangan dalam jangka waktu yang lama, kita tidak akan mengingkari WTO, dan
secara unilateral serta secara konsisten akan tetap mengupayakan liberalisasi perdagangan,
dan bahkan dalam beberapa kasus yang lebih tinggi dari komitmen yang ada di WTO.6
Hal menarik lainya dapat kita lihat dari keikutsertaan Indonesia dalam Cairns Group dan
keengganan Indonesia untuk menyinggung salah satu pokok masalah, yaitu tentang
liberalisasi pertanian melalui ratifikasi AoA dalam forum-forum WTO. Chairns Group sendiri
berisi negara-negara pengekspor hasil pertanian yang dibentuk pada tahun 1986 di kota
Cairns, Australia. Pada dasarnya Indonesia tidak pada tempatnya berada di Chairns Group,

6 Bonnie Setiawan, Mau Kemana Posisi Indonesia di WTO? Dalam Jurnal Keadilan
Global: Krisis Kapitalisme Global, Volume I Tahun I 2003. Hlm. 77.

karena Indonesia bukanlah negara pengekspor produk-produk pertanian, bahkan sejak krisis
Indonesia menjadi negara pengimpor bahan pangan bersih. Indonesia hanya melakukan
ekspor dibidang produk tropis seperti minyak sawit, rotan, karet, dan lainnya. WTO disatu
sisi merupakan perang modern yaitu perpindahan dari perang fisik di masa lalu menjadi
perang dagang lewat negosiasi dan aturan-aturan yang dibuat oleh negara yang mendominasi.

D. Dampak Keikutsertaan Indonesia Dalam WTO


Seperti kita ketahui, sampai saat ini dunia masih dipilah-pilah dan terbagi menjadi dua
kutub; negara maju dan negara berkembang. Dalam kelanjutanya, WTO sebagai organisasi
perdagangan internasional, beranggotakan kedua kutub tersebut. Untuk menilai dampak yang
diterima oleh Indonesia, hal diatas perlu dipahami terlebih dahulu, terutama agar memahami
peta keanggotaan dalam WTOyang berisi negara-negara maju dan negara berkembang.
Sebagai negara berkembang dan negara dunia ketiga, Indonesia tentu kerap
dipersepsikan mendapat banyak sekali keuntungan dengan bergabung ke dalam tubuh WTO.
Hal ini lumrah terjadi, manakala konsepsi ekonomi semacam Trickle Down Effect, masih
dipergunakan sebagai pandangan tunggal atas ekonomi bangsa. Seperti telah diulas pada
bagian sebelumnya, WTO merupakan organisasi internasional yang mengatur masalah
perdagangan antar negarayang dengan itu, tentu dengan sendirinya akan dianggap
menguntungkan seluruh anggotanya.
Berkaca pada hal-hal diatas, maka pendekatan dependensia-nya Andre Gunder Frank,
menjadi menarik untuk menganalisa terkait dampak yang diperoleh Indonesia sebagai
anggota WTO. Teori keterbelakangan dan ketergantungan (dependensia) merupakan sebuah
konsepsi dan pandangan atas realita sosio-ekonomi di negara-negara Amerika Latin. Teori ini

dikembangkan diantaranya oleh; Paul Baran, Andre Gunder Frank, dan Dos Santos. Secara
garis besar, teori ini membuat konteks ekonomi global terbagi menjadi negeri-negeri
metropolis maju dan negeri-negeri satelit yang terbelakang.

Iklim metropolis-satelit inilah

yang terinstitusionalisasi dalam tubuh WTOyang sebenarnya, tidak bersifat netral terhadap
seluruh anggotanya dan cenderung merugikan negara-negara satelit atau negara berkembang.
Dalam negara-negara satelit terdapat dua sektor yang terpisah, yaitu sektor modern dan sektor
tradisional, yang keduanya mengalami sejarah yang berbeda-beda dan tidak saling
bersangkut-paut diantara keduanya. Dalam proses hubungan ekonomi antar negeri-negeri
kapitalis maju dengan negeri-negeri miskin ternyata hanya sektor modern lah yang mendapat
efek8. Atau dalam artian, hanya iklim ekonomi modern pasar bebas yang digaungkan oleh
WTO lah yang sebenarnya diuntungkan. Sementara ekonomi nasional di tiap-tiap negara
berkembang, terus tergerus dan dipaksa untuk mengintegrasikan diri pada sistem ekonomi
global.
Tabel II. 1.
Kesepakatan Agreement on Agriculture WTO

Kewajiban

Negara Maju

Negara Berkembang

Akses Pasar

Penentuan Tarif

Wajib

Wajib

Penurunan Tarif

36% dalam 6 tahun

24% dalam 6 tahun

Minimum akses

Ya, pada tingkat 3%

Ya, pada tingkat 3%

7 Sritua Arief dan Adi Sasono, Indonesia: ketergantungan dan Keterbelakangan, (Jakarta:
Mizan, 2013) hlm. 20.

8 Ibid. Hlm. 21.

Subsidi Domestik

Penurunan subsidi domestik


Subsidi Ekspor

20% dalam 6 tahun

13% dalam 10 tahun

Penurunan nilai subsidi

36% dalam 6 tahun

24% dalam 10 tahun

Penurunan volume subsidi

21% dalam 6 tahun

14% dalam 10 tahun

Sumber: Syamsul Hadi, dkk, Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi
Indonesia, Jakarta: Indonesia Berdikari, 2012, hal. 142.

Dengan kondisi demikian, maka Indonesia secara sadar telah mempersilahkan dirinya sendiri
untuk terus terbelakang, ketergantungan, dan didikte dalam hal regulasioleh sebuah
lembaga perdagangan Internasional yang memihak perusahaan-perusahaan negara-negara
maju. Hal ini terlihat dalam kesepakatan AoAyang menyangkut liberalisasi pertanian, yang
ternyata memang dikonsepsikan demi keuntungan industri pertanian, melalui mekanisme
pasar bebas. Rekayasa GATT/WTO dalam mendorong liberalisasi pertanian, lebih didasarkan
pada maksud untuk memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi perusahaan agribisnis
raksasa multinasional dan transnasional untuk melakukan investasi, produksi, dan
perdagangan komoditi pertanian tanpa adanya hambatan, regulasi dan tanggungjawab sama
sekali. Sementara negara-negara berkembangyang dalam hal ini Indonesiajustru
memiliki kecenderungan untuk menerima dengan melakukan perubahan kebijakan mengenai
tanah, pajak, investasi, yang memudahkan perusahaan transnasional untuk beroprasi. 9 Maka
sudah dapat dipastikan, liberalisasi pertanian tersebut, perlahan-lahan telah mencekik dan
membunuh jutaan petani Indonesiayang secara bersamaan, sedang dicekik pula oleh
beragam perampasan lahan pertanian, yang terkadang disponsori oleh negara itu sendiri.
9 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Insist Press,
2013) Hlm. 221.

Menimbang hal-hal diatas, maka keikutsertaan Indonesia dalam forum perdagangan WTO,
perlahan-lahan perlu untuk dipertanyakanterutama terkaitan kebermanfaatannya bagi
kemaslahatan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. WTO di satu sisi adalah sebuah
perang modern, yaitu perpindahan perang fisik di masa lalu menjadi perang dagang lewat
negosiasi dan aturan-aturan yang licik, kapitalistik, dan tidak cocok dengan negara-negara
berkembang (Indonesia). Negara berkembang yang serba kecil, lemah, rentan, dan masih
menghadapi masalah-masalah struktural di dalam negerinya, tidak mungkin masuk bulatbulat ke dalam rejim perdagangan bebas semacam WTO, kalau tidak ingin digilas oleh
pemain-pemain raksasa besar dunia. 10

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Melihat corak Politik Luar Negeri era Reformasi, yang masih memperbaiki citra di
dunia internasional dalam pelanggaran HAM, serta dalam ekonomi yang masih bersifat
liberalisme dengan adanya pasar bebas, maka hubungan internasional pada era reformasi,
salah satunya adalah WTO. Sebagai salah satu anggota WTO, posisi Indonesia dapat dilihat
dalam konferensi WTO ke-IV di Doha, Qatar, pada tahun 2001. Hal ini tergambar dalam
10 Bonnie Setiawan, Mau Kemana Posisi Indonesia di WTO? Dalam Jurnal Keadilan
Global: Krisis Kapitalisme Global, Volume I Tahun I 2003. Hlm. 85.

pidato delegasi Indonesia, yang menunjukkan sifat tidak tegas dan terlihat adem ayem dengan
WTOwalaupun ditempa krisis liberal dan globalisasi yang luar biasa. Dapat dikatakan
WTO merupakan perang modern yaitu perpindahan dari perang fisik di masa lalu menjadi
perang dagang lewat negosiasi dan aturan-aturan yang dibuat oleh negara yang mendominasi.
Dampak dari hubungan internasional dalam ekonomi ini, dengan adanya perdangan
bebas, yang merupakan buah hasil dari WTO, perekonomian Indonesia sangat didominasi
oleh pihak asing. Konsep ketergantungan yang telah diciptakan oleh sistem pasar, sangat
berhasil dalam melanggengkan liberalisasi ekonomi warisan Orde Baru, sehingga hal ini juga
berdampak semakin banyaknya perusahaan asing dalam bidang barang maupun jasa bergerak
bebas menguasai pasar tanpa hambatan. Hal ini juga mempengaruhi dalam liberalisasi
pertanian, sehingga para insvestor menang total dalam agribisnis multinasional. Bahkan
dalam bidang agraria yang tidak hanya konsen terhadap pertanian, dapat dikuasai dengan
mudah, seperti pertambangan, perkebunan maupun produksi barang lainnya. Tentu dampak
yang terasa bagi masyarakat adalah konflik agraria terkait lahan yang mereka harus kuasai
dengan cara menggusur para pribumi, semakin terpojoknya dan termarjinalkannya
masyarakat pun tak dapat dielakkan.

DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sritua dan Adi Sasono. 2013. Indonesia: Ketergantungan dan Ketrbelakangan. Jakarta:
Mizan.
Atom Ginting Munthe,. Postur Rasionalis dalam Politik Luar Negeri Indonesia Pasca
Soeharto, Hukum Pro Justitia, Volume 24 No.04. Juli 2006.
Hadi, Syamsul, dkk. 2012. Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing
dalam Ekonomi Indonesia. Jakarta: Indonesia Berdikari.
Fakih, Mansour. 2013. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist
Press.
Fernandez, Frans S. 1988. Hubungan Internasional dan Peranan Bangsa Indonesia Suatu
Pendekatan Sejarah. Jakarta: Depdikbud.
Setiawan, Bonnie. Mau Kemana Posisi Indonesia di WTO? Dalam Jurnal Keadilan
Global: Krisis Kapitalisme Global. Volume I Tahun I 2003.
Sukma, Rizal. 2004. Islam in Indonesia Foreign Policy. Taylor & Francis e-Library.

Anda mungkin juga menyukai