Anda di halaman 1dari 104

Sejarah Asia Timur

Tugas ini disusun sebagai tugas pengganti


Dosen Pengampu: Dr. Agus Rustamana
.............................................................................................................................................................................

Nama: Muhammad Ibnu Fadillah


NIM: 2288190031
Mata kuliah: Sejarah Asia Timur
Dosen: Dr. Agus Rustamana
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-
Nya karya tulis ilmiah yang berjudul ”Menggagas Ragi (Yeast) Sebagai Alternatif Alat
Kontrasepsi (Kajian Teoritis Tentang Pemanfaatan Ragi Sebagai Alat Kontrasepsi Untuk
Menekan Pertumbuhan Penduduk di Indonesia)” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Karya ilmiah remaja ini disusun untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali Tahun 2016. Dalam penyusunan karya tulis
ilmiah ini, penulis mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari
berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang
tulus kepada:

1. Bapak Dr. Agus Rustamana S. Pd, M. Pd., selaku dosen pengampu Sejarah Asia Timur
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun karya tulis
ilmiah ini.
2. Bapak Tb. Umar Syarif Hadi Wibowo, M. Pd., selaku guru pembimbing karya tulis
ilmiah ini yang telah memberikan banyak bantuan, masukan, dan dukungan terkait
penyusunan karya tulis ilmiah ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Penulis
berharap semoga gagasan pada karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan
dan pendidikan pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Jakarta , 19 Juni 2020

Penulis
BAB I: SEJARAH BANGSA TIONGKOK
1. Dinasti-dinasti yang memerintah Tiongkok
1.1 DINASTI CHOU (1222 -221 BC)
Dinasti Chou yang lama masa pemerintahannya, dalam sejarah Cina dapat dibagi menjadi
dua bagian, yakni : Chou Barat dan Chou Timur*
A. Chou Barat (122^3 -771 BC)
Asal – Usui Orang Chou
Orang-orang Chou semula bertempat tinggal di lembah sungai Wei yang terletak didaerah
antara Shansi dan Kansu. Pada masa mereka dipimpin oleh Pangeran K’an Fu, mereka
mengada- kan migrasi dan menetap di lembah sungai Chou Yuan. Di daerah ini mereka
bercampur dengan suku-suku lain yang secara keselu- ruhan kemudian disebut orang-
orang Yin. Dalam perkembangan selanjutnya mereka menjadi kuat ketika dipimpin oleh
Wen Wang.; karena kuatnya mereka sering disebut sebagai penguasa daerah barat. Dia-
lah yang berusaha untuk memperluas kekuasaan orangorang Chou. Orang-orang Chou
baru berhasil merebut kekuasaan Dinasti Shang pada tahun 1222/3 ketika Chou dibawah
pimpman Wu Wang (anak Wen Wang), dan selanjutnya mendirikan Dinasti Chou.
Chou Masa Pemerintahan Wu Wang
Wti Wang menjadikan kota Chang An sebagai ibukota. Ia memerintah dengan adil dan
bijaksana. Untuk mewujudkan kesejahteran dan kemakmuran kerajaan, Wu Wang
membuat kebijaksanaan dalam pemerintahan antara lain :
Kekuasan raja sebagai penguasa tertinggi.
Raja dalam menjalankan pemerintahan didampingi oleh Perdana Menteri sebagai
penasehat raja. Di samping itu juga dibantu oleh 5 (lima) orang menteri, yakni:
Menteri Upacara, tugasnya tiap tahun menyusun dan membuat penanggalan dan
mengadakan pengawasan upacara di lingkungan kerajaan.
Menteri Pertahanan, yang bertanggung jawab atas per- tahanan dan keamanan negara.
Menteri Pertanian, yang bertugas memberi penerangan terhadap kaum tani bagaimana
cara menanam dengan baik dan dapat mengahasilkan sebanyak-banyaknya.
Menteri Kehakinian, yang bertugas mengadili dan meng- hukum orang-orang jahat.
Menteri Pekerjaan Umum, berkewajiban mengurus pekerjaan umum seperti jalan,
jembatan, benteng, saluran dan sebagainya.
Kerajaan dibagi dalam daerah-daerah propinsi.
Wu Wang hanya memerintah sampai tahun 1116 BCZ kemu- dian digantikan oleh
putranya yang masih kecil yakni Cheng Wang. Karena masih kecil maka dalam
menjalankan pemerintahan didampingi oleh seorang wali yang bernama Chou Kung. Pada
masa pemerintahan Chou Kung ini berkali-kali Cina mendapat serangan yang dilakukan
oleh orang-orang barbar (bangsa Hsiung Nu).
Pada abad ke-8 dan ke-9 BC kekuasaan Chou Barat makin merosot; kerajaan Chou
terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Raja terakhir Chou Barat ialah Yu Wang
yang lemah tapi kejam. Pada masa Yu Wang inilah Chou Barat mengalami ke- runtuhan.
Setelah Yu Wang, tampilan P’ing, yang kemudian me- mindahkan pusat pemerintahannya
ke timur, maka mulailah masa Chou Timur.
B. Chou Timur (771 – 221 BC)
Setelah Ping memerintah maka ibukota dipindahkan dari Chang An ke Loi atau Loyang.
Perpindahan ibukota ini dimaksud- kan untuk menghindari serangan dari bangsa barbar.
Bagaimana- pun setelah Chou Barat mengalami keruntuhan, Chou Timur tidak mengalami
kebesaran bahkan sebaliknya semakin merosot.

1.2 Dinasti Ch’in (221 – 207 BC).


Dalam waktu tiga puluh tahun setelah Dinasti Chou berakhir, negara vassal Ch’in telah
berhasil menaklukkan 6 (enam) negara vassal yang lain di bawah pimpinan Ch”eng.;
selanjutnya berhasil mendidikan Dinasti Ch’in. Setelah menjadi penguasa Ch’eng
menggunakan gelar Shih Huang Ti (Ch’in Shih Huang Ti).
Memang raja Ch’eng menganggap dirinya lebih kuat dari Tiga Raja dan Lima Kaisar (San
Huang Ti – Tiga Huang dan Lima Ti)z untuk menunjukkan kebijaksanaannya dan
kepandaiannya ia menggunakan gelar Huang Ti, di mana dalam gelar ini terhimpun gelar
Tiga Raja dan Lima Kaisar tersebut. Sebutan Huang Ti pada umumnya sama dengan kaisar.
Oleh karena itu dinasti ini penting dalam sejarah Cina, karena dinasti ini berhasil
mencetuskan sistem pemerintahan kekaisaran yang dapat berlangsung sampai dengan
awal abad ke-20. Di bawah pemerintahan Shih Huang Ti, seluruh Cina berhasil
dipersatukan.
Seumur hidupnya Shih Huang Ti memperlihatkan tenaga kerja yang jarang terdapat dalam
keluarga raja-raja. Ia dilukiskan sebagai berikut : “ Raja negara Ch’in adalah seorang ynng
berhidung besar, bermata besar dan mernpunyai dada seperti ciada seekor burung elang,
suaranya seperti seekor anjing hutan, ia sedikit sekali menarult rasa kasihan dan ia berani
seperti seekor hariman atau seekor srigala”.
Shih Huang Ti memegang kendali pemerintahan sejak ber- umur 13 tahun. Keberhasilan
Shih Huang Ti mempersatukan seluruh Cina. Pertama, karena negara Ch’in terletak di
antara Shensi dan Kansuz letak yang sangat strategis yakni mudah mengadakan serangan
dan sulit untuk diserang, Kedua, karena ia mempunyai banyak ahli tata negara yang
pandai, seperti Hertog Mu, Hertog Hsiao, Shang Yang, Lu Pu Wei, Han Fei Tze dan Li Ssu.
Memang pada masa ini’ di Ch’in banyak orang-orang pandai di bidang pemerintahan,
Berdirinya Dinasti Ch’in membuka lembaran baru dalam sejarah Cina. Dinasti Ch’in
dibangun di atas konsepsi ajaran golongan le^alitas di bawah pimpinan Perdana Menteri
Shang Yang, hirrgga keraja^n Ch’ili m§njadi> kuat... Pada tahun 214 BC ^hzin telah
berhasil mengadakan ekspansi ke Chekiang, Fukien dan Kwangtung sampai di Sungai
Merah di Indocina. Tahun 215 BC ekspansi dilanjutkan ke daerah-daertah Hunan,
Szechuan, Kweichow bahkari sampai ke Korea.
Penasehat utama Ch’in Shih Haung Ti ialah Li Ssu’ murid Shun Tze. Yang diingat oleh Li Ssu
dari ajaran-ajaran gurunya hanya bagiaii yang menyatakan bahwa sifat manusia pada
dasar- nya buruk dan ia berharap memperbaiki itu bukan dengan mem- berikan pelajaran
melainkan dengan menggunakan hukuman- hukuman yang berat.
Tindakan-tindakan Ch’in Shih Huang Ti:
Untuk menahan serangan dari luar atau serangan dari bangsa bar-bar (bangsa Hsiung Nu),
maka Ch’in Shih Huang Ti mem- buat tembok besar yang terkenal dengan nama “Great
Wall,f (Tembok Raksasa = Wan Li Chang Cheng. Panjang tembok kurang lebih 10.000 li
(kurang lebih 6.450 km) tembok ini me- manjang dari barat daya yakni dari wilayah Kansu,
melintasi sungai Hoang Ho dan masuk wilayah Mongolia Dalam, terus menembus ke arah
selatan ke Shensi dan Hopei dan membelok ke arah timur sampai ke Teluk Liaotung di
Lautan Pasifik.
1.3 Dinasti Han
Dinasti Han (Hanzi: 漢朝; Pinyin: Hàncháo) adalah dinasti kekaisaran Tiongkok (206 SM–
220 M) yang kedua, berkuasa setelah Dinasti Qin (221–206 SM) dan sebelum Zaman Tiga
Negara (220–280 M). Dinasti ini bertahan selama lebih dari empat abad, dan periode
selama dinasti ini berkuasa dianggap sebagai zaman keemasan dalam sejarah Tiongkok..
Hingga saat ini, kelompok etnis mayoritas Tiongkok menyebut diri mereka “suku Han” dan
aksara Tionghoa disebut “aksara Han”. Dinasti ini didirikan oleh pemimpin pemberontak
Liu Bang, yang dikenal secara anumerta dengan nama Kaisar Gaozu. Sejarah dinasti ini
sempat diselingi oleh Dinasti Xin (9—23 M) yang didirikan oleh seorang mantan wali
penguasa, Wang Mang. Periode selingan ini membagi Dinasti Han menjadi dua periode:
Han Barat atau Han Awal (206 SM—9 M) dan Han Timur atau Han Akhir (25—220 M).
Kaisar berada di puncak masyarakat Han. Ia tidak hanya memegang tampuk
pemerintahan Dinasti Han, tetapi juga berbagi kekuasaan dengan bangsawan Tiongkok
dan para menteri pilihannya yang sebagian besar berasal dari golongan elit terpelajar.
Kekaisaran Han dibagi menjadi daerah-daerah yang secara langsung dikendalikan oleh
pemerintah pusat (yang disebut jun), serta sejumlah kerajaan semiotonom. Kerajaan-
kerajaan ini secara bertahap kehilangan kemerdekaannya yang masih tersisa, khususnya
setelah Pemberontakan Tujuh Negara. Sementara itu, dari masa pemerintahan Kaisar Wu
(berkuasa 141–87 SM), pemerintah Tiongkok secara resmi mendukung ajaran Kong Hu Cu
sebagai ideologi pendidikan dan politik, yang digabungkan dengan kosmologi yang
dicetuskan oleh para cendekiawan seperti Dong Zhongshu. Kebijakan ini bertahan sampai
jatuhnya Dinasti Qing pada tahun 1911 M.
Dinasti Han menikmati kemakmuran ekonomi dan pertumbuhan pesat ekonomi uang
yang sebelumnya diperkenalkan pada masa Dinasti Zhou (sekitar tahun 1050–256 SM).
Koin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada tahun 119 SM tetap menjadi koin
standar Tiongkok sampai masa Dinasti Tang (618–907 M). Untuk membiayai perang dan
permukiman di wilayah perbatasan yang baru ditaklukkan, pemerintah Han
menasionalisasi industri garam dan besi pada tahun 117 SM, tetapi monopoli pemerintah
ini dicabut pada masa Dinasti Han Timur. Dinasti Han juga mencatat kemajuan yang
signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya adalah dalam
pembuatan kertas, pemakaian kemudi di kapal, penggunaan bilangan negatif dalam
matematika, serta penemuan peta timbul, bola dunia armiler bertenaga hidrolik untuk
keperluan astronomi, dan seismometer dengan bandul terbalik yang dapat digunakan
untuk mengetahui tempat terjadinya gempa bumi berdasarkan arah mata angin.

Konfederasi suku nomaden yang disebut Xiongnu berhasil mengalahkan Han pada tahun
200 SM dan memaksa mereka untuk membayar upeti, tetapi Xiongnu tetap melanjutkan
serangan militer mereka di perbatasan Han. Kaisar Wu melancarkan sejumlah perang
melawan mereka. Kemenangan besar Han dalam perang ini akhirnya memaksa Xiongnu
untuk menerima status sebagai negara pembayar upeti. Peperangan ini memperluas
wilayah Han hingga ke Cekungan Tarim di Asia Tengah, membagi Xiongnu menjadi dua
konfederasi terpisah, dan turut andil dalam membangun jaringan perdagangan luas yang
dikenal dengan sebutan Jalur Sutra, yang menjangkau hingga kawasan Laut Tengah.
Wilayah utara perbatasan Han kemudian diserbu oleh konfederasi nomaden Xianbei.
Kaisar Wu juga memperluas wilayah ke Kawasan Selatan Tiongkok dan menaklukkan
Nanyue pada 111 SM dan Dian pada 109 SM. Selain itu, ia juga melancarkan ekspedisi
militer ke Semenanjung Korea dan mendirikan Jun Xuantu dan Lelang di wilayah tersebut
pada 108 SM.

Setelah tahun 92 M, para kasim semakin terlibat dalam panggung perpolitikan istana.
Mereka turut campur dalam perebutan kekuasaan antara klan berbagai maharani
(permaisuri) dan ibu suri, dan hal inilah yang mengakibatkan kejatuhan Han. Wewenang
kekaisaran juga ditantang oleh perkumpulan keagamaan Taoisme yang mengobarkan
Pemberontakan Serban Kuning dan Pemberontakan Wu Dou Mi Dao. Sesudah kematian
Kaisar Ling (berkuasa 168–189 M), para kasim dibantai oleh para panglima militer.
Kemudian, para ningrat dan gubernur militer menjadi panglima perang dan membagi-bagi
wilayah kekaisaran. Dinasti Han secara resmi bubar setelah Cao Pi, Raja Wei, merebut
takhta dari Kaisar Xian pada tahun 220 M. Menurut Catatan Sejarawan Agung, setelah
runtuhnya Dinasti Qin, Yang Dipertuan Agung Xiang Yu mengangkat Liu Bang menjadi
pangeran atas daerah kecil Hanzhong, yang dinamai sesuai letaknya di Sungai Han (di
Shaanxi barat daya saat ini). Setelah kemenangan Liu Bang dalam Perang Chu-Han, Dinasti
Han diberi nama sesuai dengan nama daerah tersebut.
Dinasti kekaisaran pertama Tiongkok adalah Dinasti Qin (221–207 SM). Qin menyatukan
Negara-Negara Berperang Tiongkok melalui penaklukan, tetapi kekaisarannya menjadi
tidak stabil setelah kematian kaisar pertama Qin Shi Huang. Dalam waktu empat tahun,
kekuasaan dinasti tersebut telah runtuh akibat pemberontakan. Dua mantan pemimpin
pemberontak, Xiang Yu (meninggal 202 SM) dari Chu dan Liu Bang (meninggal 195 SM)
dari Han, saling berperang untuk menentukan siapa yang akan menjadi penguasa
Tiongkok. Tiongkok sendiri telah terpecah menjadi 18 kerajaan, masing-masing
menyatakan kesetiaan pada Xiang Yu atau Liu Bang. Meskipun Xiang Yu terbukti
merupakan panglima yang cakap, Liu Bang mengalahkannya dalam Pertempuran Gaixia
(202 SM), di wilayah Anhui modern. Liu Bang mengambil gelar “kaisar” (huangdi) atas
desakan para pengikutnya dan dikenal secara anumerta dengan nama Kaisar Gaozu
(berkuasa 202–195 SM).[11] Chang’an (kini dikenal sebagai Xi’an) dipilih sebagai ibu kota
baru dari kekaisaran yang dipersatukan kembali di bawah Han.

Pada permulaan Dinasti Han Barat (Hanzi tradisional: 西漢; Hanzi sederhana: 西汉; Pinyin:
Xīhàn), juga dikenal dengan nama Han Awal (Hanzi tradisional: 前漢; Hanzi sederhana: 前
汉; Pinyin: Qiánhàn), tiga belas jun yang dikendalikan secara terpusat (termasuk wilayah
ibu kota) berdiri di bagian barat yang mencakup sepertiga wilayah kekaisaran, sedangkan
dua pertiga wilayah Han yang berada di timur dibagi menjadi sepuluh kerajaan
semiotonom. Untuk memuaskan para panglima yang mendukungnya dalam perang
melawan Chu, Kaisar Gaozu mengangkat beberapa dari mereka menjadi raja. Pada tahun
157 SM, istana Han telah mengganti semua raja-raja ini dengan para anggota keluarga
kekaisaran Wangsa Liu karena kesetiaan mereka yang bukan kerabat kaisar
dipertanyakan. Setelah meletusnya sejumlah pemberontakan yang dilancarkan oleh raja-
raja Han (yang terbesar adalah Pemberontakan Tujuh Negara pada tahun 154 SM),
pemerintah Han melancarkan sejumlah reformasi yang dimulai pada tahun 145 SM.
Tindakan-tindakan yang diambil meliputi pembatasan luas dan kekuatan kerajaan-
kerajaan ini serta pembagian bekas wilayah mereka menjadi jun-jun baru yang
dikendalikan secara terpusat. Para raja tidak bisa lagi mengangkat pegawai mereka
sendiri; tugas ini diemban oleh istana kekaisaran. Para raja menjadi penguasa wilayahnya
di atas kertas saja dan menarik sebagian dari penerimaan pajak sebagai pendapatan
pribadi mereka. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah sepenuhnya dibubarkan dan tetap
bertahan pada masa Han Barat maupun Timur.
Di sebelah utara Tiongkok pada masa itu, kepala suku Xiongnu yang nomaden, Modu
Chanyu (berkuasa 209–174 SM), menaklukkan suku-suku lain yang mendiami bagian timur
Stepa Eurasia. Pada akhir masa pemerintahannya, ia menguasai Manchuria, Mongolia,
dan Cekungan Tarim, serta menundukkan lebih dari dua puluh negara di sebelah timur
Samarkand. Kaisar Gaozu merasa resah dengan banyaknya senjata besi buatan Han yang
diperdagangkan ke Xiongnu di sepanjang perbatasan utara, dan ia memberlakukan
embargo perdagangan terhadap mereka. Sebagai balasan, Xiongnu menyerbu wilayah
yang sekarang merupakan Provinsi Shanxi, dan kemudian mereka mengalahkan pasukan
Han di Baideng pada tahun 200 SM. Setelah berlangsungnya beberapa perundingan,
perjanjian heqin pada tahun 198 SM menjadikan para pemimpin Xiongnu dan Han sebagai
mitra dengan kedudukan yang setara dengan menikahkan putri Han dengan pemimpin
Xiongnu. Namun, Han dipaksa untuk mengirim banyak upeti seperti pakaian sutra,
makanan, dan minuman anggur kepada Xiongnu.
Walaupun upeti telah dibayarkan dan meskipun Laoshang Chanyu (berkuasa 174—160
SM) dan Kaisar Wen (berkuasa 180–157 SM) berunding untuk membuka kembali pasar
perbatasan, banyak bawahan sang Chanyu yang memilih untuk tidak mematuhi
perjanjian. Mereka secara berkala menyerbu wilayah Han di sebelah selatan Tembok
Besar untuk memperoleh barang-barang tambahan. Dalam sebuah konferensi istana yang
diselenggarakan oleh Kaisar Wu (berkuasa 141—87 SM) pada 135 SM, para menteri
bersepakat untuk mempertahankan perjanjian heqin. Kaisar Wu menerima keputusan ini,
meskipun serangan Xiongnu terus berlanjut. Namun, dalam sebuah konferensi istana yang
diselenggarakan pada tahun berikutnya, para menteri menyusun sebuah rencana
penyergapan di Mayi, dengan harapan bahwa sang Chanyu tewas dalam pertempuran
tersebut sehingga Xiongnu akan terjerumus dalam kekacauan yang akan menguntungkan
Han. Setelah upaya persekongkolan ini mengalami kegagalan pada tahun 133 SM, Kaisar
Wu melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Xiongnu. Serangan itu mencapai
puncaknya pada tahun 119 SM dalam Pertempuran Mobei, dan panglima Han Huo Qubing
(meninggal 117 SM) and Wei Qing (meninggal 106 SM) berhasil memaksa penguasa
Xiongnu melarikan diri ke wilayah di sebelah utara Gurun Gobi.

Setelah masa pemerintahan Wu, pasukan Han terus menang melawan Xiongnu. Pemimpin
Xiongnu Huhanye Chanyu (berkuasa 58—31 SM) akhirnya tunduk kepada Han sebagai
pembayar upeti pada tahun 51 SM. Pesaingnya dalam klaim perebutan takhta, Zhizhi
Chanyu (berkuasa 56—36 SM), tewas terbunuh oleh Chen Tang dan Gan Yanshou dalam
Pertempuran Zhizhi di Taraz, Kazakhstan.

Pada tahun 121 SM, pasukan Han mengusir Xiongnu dari wilayah yang terbentang dari
Koridor Hexi hingga Lop Nur. Mereka juga berhasil menghalau serangan gabungan
Xiongnu-Qiang di wilayah barat laut ini pada tahun 111 SM. Pada tahun yang sama,
pemerintah Han membentuk empat jun baru di wilayah tersebut: Jiuquan, Zhangyi,
Dunhuang, dan Wuwei. Mayoritas penduduk di kawasan ini adalah para tentara. Kadang-
kadang pemerintah secara paksa memindahkan para petani ke permukiman perbatasan
baru bersama dengan para budak dan narapidana yang melakukan kerja paksa.
Pemerintah juga mendorong rakyat jelata seperti para petani, pedagang, pemilik tanah,
dan pekerja bayaran, untuk bermigrasi secara sukarela ke perbatasan.

Bahkan sebelum Han memperluas wilayah ke Asia Tengah, Tiongkok sudah menjalin
hubungan dengan banyak peradaban di sekitarnya melalui perjalanan diplomat Zhang
Qian dari tahun 139 hingga 125 SM. Zhang bertemu dengan negara Dayuan (Fergana),
Kangju (Sogdiana) dan Daxia (Baktria, sebelumnya Kerajaan Yunani-Baktria); ia juga
menghimpun informasi tentang Shendu (lembah Sungai Indus di India Utara) dan Anxi
(Kekaisaran Parthia). Semua negara ini akhirnya menerima para utusan Han. Hubungan ini
menandai awal dari jaringan perdagangan Jalur Sutra yang menjangkau hingga Kekaisaran
Romawi. Melalui jalur ini, barang-barang Han seperti sutra dapat menjangkau Roma, dan
begitu pula barang-barang Romawi seperti barang kaca yang diperdagangkan hingga ke
Tiongkok.

Dari sekitar tahun 115 hingga 60 SM, pasukan Han bertempur melawan Xiongnu untuk
menguasai negara-negara di Cekungan Tarim. Han akhirnya menang dan mendirikan
Protektorat Wilayah Barat pada tahun 60 SM, sehingga Han menjadi pihak yang mengatur
pertahanan dan urusan luar negeri wilayah tersebut. Han juga memperluas wilayahnya ke
selatan. Penaklukan Nanyue pada tahun 111 SM memperluas wilayah Han hingga ke
kawasan yang sekarang berada di Guangdong, Guangxi, dan Vietnam Utara. Yunnan
dimasukkan ke dalam wilayah Han melalui penaklukan terhadap Kerajaan Dian pada
tahun 109 SM, diikuti oleh Semenanjung Korea melalui Penaklukan Gojoseon oleh Han
dan pembentukan Jun Xuantu dan Lelang pada tahun 108 SM. Menjelang penghujung
periode Han Barat, dalam sensus nasional pertama yang diketahui di Tiongkok yang
dilakukan pada tahun 2 M, jumlah penduduk di wilayah Han yang membentang luas
terdaftar sebanyak 57.671.400 jiwa dalam 12.366.470 rumah tangga.

Untuk membiayai perang dan perluasan wilayah, Kaisar Wu menasionalisasi beberapa


industri swasta. Ia membentuk monopoli pemerintah yang sebagian besar dikelola oleh
mantan pedagang. Monopoli-monopoli ini termasuk dalam produksi garam, besi, dan
minuman keras, serta koin perunggu. Monopoli minuman keras hanya berlangsung dari
tahun 98 hingga 81 SM, dan monopoli garam dan besi akhirnya dihapuskan pada awal
periode Han Timur. Penerbitan koin tetap menjadi monopoli pemerintah pusat hingga
akhir Dinasti Han. Monopoli pemerintah di berbagai sektor ekonomi akhirnya dicabut
ketika faksi Reformis memperoleh pengaruh yang lebih besar di istana. Kelompok
Reformis menentang faksi Modernis yang telah mendominasi politik istana pada masa
pemerintahan Kaisar Wu dan kemudian selama masa perwalian Huo Guang (meninggal 68
SM). Kelompok Modernis memperjuangkan kebijakan luar negeri yang agresif dan
ekspansif yang didukung oleh pendapatan dari campur tangan pemerintah dalam
ekonomi swasta. Akan tetapi, kelompok Reformis membatalkan kebijakan-kebijakan ini
dan memilih pendekatan kebijakan luar negeri yang berhati-hati dan tidak memperluas
wilayah. Mereka juga mendukung reformasi penghematan anggaran dan penurunan pajak
untuk pengusaha.

1.4 Dinasti T’ang (618 – 960)


Masa Dinasti T’ang merupakan masa gemilang juga dalam sejarah Cina . Pendiri dinasti ini
adalah Li Yuan, setelah naik tahta bergelar T’ang Kao Tsu (618-627). Setelah ia meninggal
kemudian digantikan oleh putranya Li Shih Min dengan gelar T’ang Tai Tsung (627-649). Ia
dapat dikatakan kaisar terbesar dalam sejarah Cina, seorang jenderal perang yang cakap,
seorang negarawan, sastrawan dan imperalis. Di bawah pemerintahan T’ang Tai Tsung,
Cina menjadi suatu kerajaan yang lebih megah dari pada Han. Selain sebagai seorang
kaisar yang cakap dan bijaksana, T’ang Tai Tsung terkenal sebagai seorang pencipta
kesusasteraan. Umumnya zaman Tang sering disebut sebagai zaman berkem- bangnya
kesusasteraan. Sebagai seorang sastrawan, ia terkenal sebagai pelindung sastra dan seni
dan pemersatu kebudayaan Cina. Pada masa T’ang Tai Tsung inilah musafir Cina Hsuan
Chang mengunjungi India untuk mempelajari ajaran Budha. Pengalaman perjalanan ke
daerah-daerah barat ini akhimya di- kumpulkan dalam sebuah karangan dengan judul “Hsi
Yu Chi” (Catatan Daerah-Daerah Barat).
Di zaman T’ang Tai Tsung diadakan sistem ketentaraan yang menetapkan bahwa orang-
orang tani yang berumur 20-60 tahun wajib menjadi serdadu dan menjaga tempat-tempat
penting. Untuk mengurus soal-soal pemerintahan didirikan tiga kantor tinggi dan
pemerintahannya terdiri dari enam departemen.
Kaisar T’ang Tai Tsung
Di zaman ini juga banyak disusun peraturan perundangan- undangan, yang kemudian
diikuti oleh dinasti-dinasti berikutya. Pada masa ini juga telah terjalin hubungan dengan
dunia luarz seperti Yunani yang pada tahun 640 mengirim utusan ke Cina. Demikian juga,
India yang mengirim utusan ke Cina tahun 643 dan 647.
Pada masa T’ang Tai Tsung di Thibet memerintah seorang raja besar yakni Srong Btsang
Sam Po. Dengan raja ini Tang Tai Tsung berperang untuk memperebutkan daerah
Kokonor, tetapi peperangan berakhir dengan perkawinan antara raja Srong Bstang Sam Po
dengan putri Tang Tai Tsung yakni Wen Ceng. Wen Cheng inilah yang banyak andilanya
dalam kaitannya dengan masuknya agama Budha ke Cina. Pada puncak kemegahannya,
Tang Tai Tsung berdaulat atas Manchuria, Amur, Korea, Mongolia Dalam dan Mongolia
Luar, Turkestan, Thibet, Tashkent, Samarkand, Bokhara, Fergana dan Anam.
Usaha untuk menguasai seluruh Korea menga- lami kegagalan, setelah itu ia meninggal
dunia dan digantikan oleh putranya Tang Kao Tsung (648-683). Sesu- dah itu yang menjadi
kaisar ialah Hui Tsung (683-690), Wu Tse-tian (190-702) dan Yui Hui Tsung (1902-712).
Dinasti Tang mengalami masa kejayaan lagi ketika Tang di bawah pemerintahan Li Lung
Chi dengan gelar T’ang Hsuan Tsung (712-756). Pada masa pemerintahannya, Cina
mengalami kemaju- an pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesenian. Ia berhasil
mendirikan sekolah kesenian dengan nama “ Li Yuan Chiao Fang” (Sekolah Kesenian dan
Sandiwara Li Yuan) sebagai peringatan atau penghormatan kepada pendiri Dinasti T’ang,
yakni Li Yuan. Penyair yang terkenal pada masa itu ialah Li Po atau Li Tai Po dan Kan Fu.
Sedangkan pelukisnya yang terkenal ialah Wang Wei, Wu
1.5 Dinasti Sung
Dinasti Song (Hanzi: 宋朝; Pinyin: Sòng Cháo; Wade-Giles: Sung Ch’ao) adalah salah satu
dinasti yang memerintah di Tiongkok antara tahun 960 sampai dengan tahun 1279
sebelum Tiongkok diinvasi oleh bangsa Mongol. Dinasti ini menggantikan periode Lima
Dinasti dan Sepuluh Negara dan setelah kejatuhannya digantikan oleh Dinasti Yuan.
Dinasti ini merupakan pemerintahan pertama di dunia yang mencetak uang kertas dan
merupakan dinasti Tiongkok pertama yang mendirikan angkatan laut. Dalam periode
pemerintahan dinasti ini pula, untuk pertama kalinya bubuk mesiu digunakan dalam
peperangan dan kompas digunakan untuk menentukan arah utara.
Dinasti Song dibagi ke dalam dua periode berbeda, Song Utara dan Song Selatan. Semasa
periode Song Utara (Hanzi: 北 宋 , 960–1127), ibu kota Song terletak di kota Bianjing
(sekarang Kaifeng) dan dinasti ini mengontrol kebanyakan daerah Tiongkok dalam (daerah
mayoritas suku Han). Song Selatan (Hanzi: 南 宋 , 1127–1279) merujuk pada periode
setelah dinasti Song kehilangan kendali atas Tiongkok Utara yang direbut oleh Dinasti Jin.
Pada masa periode ini, pemerintahan Song mundur ke selatan Sungai Yangtze dan
mendirikan ibu kota di Lin’an (sekarang Hangzhou). Walaupun Dinasti Song telah
kehilangan kendali atas daerah asal kelahiran kebudayaan Tiongkok yang berpusat di
sekitar Sungai Kuning, ekonomi Dinasti Song tidaklah jatuh karena 60 persen populasi
Tiongkok berada di daerah kekuasaan Song Selatan dan mayoritas daerah kekuasaannya
merupakan tanah pertanian yang produktif. Dinasti Song Selatan meningkatkan kekuatan
angkatan lautnya untuk mempertahankan daerah maritim dinasti Song. Untuk mendesak
Jin dan bangsa Mongol, dinasti Song mengembangkan teknologi militer yang
menggunakan bubuk mesiu. Pada tahun 1234, Dinasti Jin ditaklukkan oleh bangsa
Mongol. Möngke Khan, khan keempat kekaisaran Mongol, meninggal pada tahun 1259
dalam penyerangan ke sebuah kota di Chongqing. Saudara lelakinya, Kublai Khan
kemudian dinyatakan sebagai khan yang baru, walaupun klaim ini hanya diakui oleh
sebagian bangsa Mongol di bagian Barat. Pada tahun 1271, Kubilai Khan dinyatakan
sebagai Kaisar Tiongkok. Setelah peperangan sporadis selama dua dasawarsa, tentara
Kubilai Khan berhasil menaklukkan dinasti Song pada tahun 1279. Tiongkok kemudian
disatukan kembali di bawah Dinasti Yuan (1271–1368).

Dinasti Song melakukan penyatuan dan membuat Tiongkok pada masa dinasti Song
menjadi kerajaan terkaya, paling berkeahlian, dan paling padat di bumi.[4] Populasi
Tiongkok meningkat dua kali lipat semasa abad ke-10 dan ke-11. Pertumbuhan ini
didukung oleh perluasan pertanian padi di Tiongkok tengah dan selatan, penggunaan
kultivar padi genjah dari Asia Selatan dan Tenggara (Vietnam), dan surplus produksi bahan
pangan. Sensus Dinasti Song Utara mencatat penduduk sekitar 50 juta. Angka ini
menyamai populasi Tiongkok pada saat Dinasti Han dan Dinasti Tang. Data ini diperoleh
dari sumber catatan Dua Puluh Empat Sejarah (Hanzi: 二 十 四 史 ). Namun demikian,
diperkirakan bahwa Dinasti Song Utara berpopulasi sekitar 100 juta jiwa. Pertumbuhan
populasi yang dramatis ini memacu revolusi ekonomi Tiongkok pramodern. Populasi yang
meningkat ini merupakan salah satu penyebab lepasnya secara perlahan peranan
pemerintah pusat dalam mengatur ekonomi pasar. Populasi yang besar ini juga
meningkatkan pentingnya peranan para bangsawan rendah dalam menjalankan
administrasi pemerintahan tingkat bawah.

Kehidupan sosial semasa Dinasti Song cukup bergairah. Elite-elite sosial saling berkumpul
untuk memamerkan dan memperdagangkan karya-karya seni berharga, masyarakat saling
berkumpul dalam festival-festival publik dan klub-klub pribadi, dan di kota-kota terdapat
daerah perempatan dengan hiburan yang semarak. Penyebaran ilmu dan literatur
didorong oleh pemutakhiran teknik percetakan balok kayu yang sudah ada dan penemuan
percetakan huruf lepas pada abad ke-11. Teknologi, sains, filsafat, matematika, dan ilmu
teknik pra-modern berkembang dengan pesat pada masa Dinasti Song. Walaupun institusi
seperti ujian pegawai sipil telah ada sejak masa Dinasti Sui, institusi ini menjadi lebih
menonjol pada periode Song. Hal inilah yang menjadi faktor utama bergesernya elite
bangsawan menjadi elite birokrat.
1.6 Dinasti Yuan (1260-1368)
Pendiri Dinasti Yuan adalah Kublai Khan, dengan gelar Yuan Shi Chou (1260-1293). Setelah
Sung runtuh maka bangsa Mongol di bawah pimpinan Kublai Khan berhasil menguasai
seluruh Cina. Di bawah bangsa Mongol, Cina menjadi suatu imperium yang terluas di
dunia yang dapat dilihat pada masa itu. Dinasti Yuan yang didirikan, berhasil berkuasa
dari tahun 1260 sampai dengan 1368; dan merupakan suatu masa yang cukup lama untuk
dapat membentuk suatu imperium yang besar. Daerah kekuasaan Kublai Khan
membentang dari Venesia di Eropa, Rusia, Persia dan Mesopotamia di bagian barat dan di
bagian timur dibatasi oleh Laut Cina Timur, dan dari Mongolia di utara melintang sampai
Indo China di selatan. Sebagai pusat pemerintahannya di Cam- balug (Peking). Masa
pemerintahan Kublai Khan merupakan puncak kekuasaan Dinasti Yuan, sebab setelah ia
meninggal kekuasaan bangsa Mongol mengalami kemunduran dan hancur.
Setelah Kublai Khan naik tahtaz ia juga segera mengadakan perluasan wilayah ke daerah-
daerah sekitamya. Kublai Khan merupakan seorang imperialis tetapi sayang bahwa dalam
melaksa- nakan politik luar negerinya boleh dikatakan mengalami ke- gagalan.
Sebagai bukti kegagalannya, yakni dalam usaha melaksana- kan cita-citanya
imperialismenya tidak terwujud.
Ekspansi ke Jepang, dua kali Kublai Khan mengirim ekspedisi ke Jepang (1274 dan 1281)
keduanya mengalami kegagalan, karena mendapat serangan angin topan.
Ekspansi ke Birma dan Vietnam, juga tidak berhasil.

Usaha untuk menanamkan pengaruhnya terhadap Keraja- an Singasari di Jawa (zaman


raja Kertanegara) juga mengalami kegagalan.
Itu semua membuktikan bahwa sebenarnya Kublai Khan bukan seorang negarawan, akan
tetapi hanyalah seorang imperia- lis tanpa perhitungan strategi yang matang. Ia memiliki
daerah yang luas, bukanlah hasil usaha- nya sendiri; melainkan hanyalah warisan dari
pembentuk imperium Mongol yakni Jengis Khan.
Sebagai penguasa, dalam usaha meningkatkan kesejah- teraan rakyatnya, Kublai Khan
melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
Mengadakan pengawasan keliling, dengan maksud mengetahui situasi dan kondisi
daerah.
Mendirikan lumbung-lumbung umum.
Mendirikan rumah-rumah/ tempat-tempat penampungan orang sakit, lanjut usia dan
yatim piatu.
Berusaha memajukan pendidikan.
Perlu dicatat pula, peristiwa penting pada masa kekuasaan Kublai Khan adalah perjalanan
Marco Polo ke Cina. Semula dua orang saudara Venesia, Nicolo Polo dan Maffeo Polo
tahun 1260 ingin pergi ke Rusia Selatan yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan
bangsa Mongol, namun kemudian mengikuti utusan Persia menuju Cina. Di Cina diterima
baik oleh Kublai Khan dan tidak lama kemudian mereka disuruh pulang untuk meminta
kepada Paus di Roma agar mengirimkan 100 padri/pendeta Kristen ke Cina. Tiga tahun
kemudian saudagar-saudagar itu sampai di Roma dan meminta kepada Paus Gregorius X
untuk mengirim 100 pendeta ke Cina seperti permintaan Kublai Khan. Namun dalam
kenyataan hanya ada dua pendeta yang mau ke Cina, namun karena sesuatu hal kedua
pendeta inipun akhirnya tidak sampai ke Cina. Dan mereka memutuskan untuk kembali ke
Roma. Dengan kedua saudagar itu ikut pula Marco Polo.
1.7 DINASTI MANCHU (1644 -1912)
Dinasti Manchu (Ch’ing) adalah suatu dinasti asing yang didirikan oleh bangsa Manchu.
Dinasti ini termasuk salah satu dinasti yang lama masa pemerintahannya dalam sejarah
Cina yakni hampir 3 abad.
Di bawah kekuasaan Dinasti Ch’ing, yakni pada masa pemerintahan kaisar-kaisar terkenal
seperti K’ang Hsi dan Ch’ien Lung, Cina mengalami masa kejayaan. Di bawah
pemerintahan kedua kaisar tersebut wilayah kekuasaan Cina sangat luas, yakni meliputi
seluruh wilayah Cina Dalam (China Proper) dan Cina Luar (I’he Outlying Section, Mongolia,
Manchuria, Sinkiang, dan Tibet). Pengaruhnya juga terasa sampai ke Nepal, Birtna, Laos,
Siam, Annanif Korea dan Ryukyu. Pada masa Ch’ing pula, penduduk Cina berkembang
cepat sebab masa ini merupakan masa keniakmuran Cina. Pada akhir akab ke-17 dan awal
abad ke-18 memang penduduk Cina berkembang cepat, karena mengalami kemakmuran
yang melimpah. Pada masa ini juga sudah banyak orang-orang Eropa yang datang ke Cina,
terutama Inggris, Perancis, Spanyol dan Portugis.
Selama itu dalam bidang kebudayaan Cina tidak mengalami banyak kemajuan. Perubahan
terjadi setelah datangnya bangsa Barat. Bangsa Manchu ini termasuk penganut
kebudayaan Cina, dan mereka ini menggunakan adat kebiasaan atau tradisi Tiong- hoa
(Cina) sebagai kebudayaannya sendiri.
A. Muncul dan Berkembanganya Kekuasaan bangsa Manchu
Bangsa Manchu adalah sekeluarga dengan bangsa Yurchen yang bertempat tinggal di
Manchuria. Pada awal abad ke-17 mereka berhasil membentuk pertahanan di bawah
pimpinan Nurhachu (Nurhachi). Sedangkan yang dianggap sebagai kaisar pertama dari
Dinasti Ch’ing ialah cucu Nurhachu, yakni Shun Chih (1644-1662). Tugasnya yang utama
adalah memperkuat kerajaan, karena masih terdapat sisa-sisa keluarga Dinasti Ming dan
munculnya pemberontakan-pemberontakan di bawah pimpinan Wu San Kuei dan Li Tsu
Cheng. Pemberontakan-pemberontakan tersebut akhirnya terpecah. Li Tsu Cheng
menggabungkan diri dengan bangsa Manchu, sedangkan Wu San Kuei menyatakan diri
dengan sisa-sisa keluarga Ming yang bertahan di Hangchow, Canton dan Foochow; namun
akhirnya berhasil dihancurkan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Shun Chih, dalam upaya memperkuat kekuasaan, antara
lain :
Tiap-tiap orang Tionghoa harus berkucir sebagai tanda takluk dan untuk membedakan
dengan bangsa Manchu.
Pejabat tinggi dalam pemerintahan di jabat oleh dua orang, yakni seorang bangsa
Tionghoa dan seorang bangsa Manchu. Ini membuktikan bahwa bangsa Manchu meng-
gunakan adat tradisi Tionghoa sebagai kebudayaan sendiri.
Negara dibagi menjadi 18 propinsi, untuk memudahkan pengaturan adminsitrasi. Di
samping itu tetap dilakukan sistem ujian jabatan.
Melarang orang kebiri, yaitu penjaga-penjaga harem untuk menjabat jabatan dalam
pemerintahan. Begitu juga melarang perkawinan campur.
Mengadakan hubungan persahabatan dengan bangsa-bangsa Barat (Belanda).
Persahabatan tersebut diperkuat dengan dikirimkannya utusan ke Peking di bawah
pimpinan Pieter de Goyer dan Jacob de Keyser pada tahun 1656.
Sesudah Shun Chin meninggal (1662), kemudian digantikan oleh putranya yakni K’ang Hsi
(1662 – 1722) yang pada waktu itu baru berumur 9 tahun. Semula ia didampingi oleh
seorang Wali, tapi sejak tahun 1669, ia mulai memerintah tanpa Wali.
Pada masa pemerintahannya bersamaan dengan Louis XIV di Perancis, Peter Agung di
Rusia, Aurangzeb di India dan William III di Inggris. Dalam kecakapannya kemungkinan
sama dan bahkan lebih unggul dari mereka.
2. Revolusi Cina dan peran tokoh-tokoh Cina
A. Revolusi Cina 1911
1. Latar Belakang Timbulnya Nasionalisme Cina
Penyelewengan dan Kelemahan Dinasti Manchu
Dinasti Manchu memerintah di Cina sejak tahun 1644-1911. Pemerintahan ini adalah
pemerintahan asing, sebab bangsa Manchu bukan penduduk asli Cina. Maka tidak
mengherankan jika rakyat Cina merasakan penderitaan. Melihat keburukan- keburukan
atau penyelewengan-penyelewengan Dinasti Manchu mereka bergerak untuk melawan
dan membebaskan diri dari cengkeraman dinasti asing tersebut.
Sesudah kaisar besar dari Manchu meninggal dunia, lenyaplah pulalah masa kemakmuran
Cina; selanjutnya terjadilah kekacauan-kekacauan yang berpangkal adanya perebutan
kekuasaan di antara putra-putra kaisar. Masa kekacauan ini memberi kesempatan pada
bangsa-bangsa Barat untuk mengeksploitasi kekayaan Cina. Banyak bangsa Barat yang
dengan paksa minta agar diperbolehkan mendirikan pabrik-pabrik serta penguasaan
terhadap sumber-sumber bahan mentah.
Dinasti Manchu memerintah secara feudal, meniperbudak Cina. Seolah-olah menjual
negara Cina kepada negara-negara Barat Inilah yang sebenarnya menyebabkan rakyat
Cina tidak lagi menaruh kepercayaan terhadap pemerintah Manchu. Ketidakpercayaan ini
akan diwujudkan dalam berbagai pemberontakan misalnya pemberontakan Tzai Ping.
Kekalahan Cina dalam perang melawan Jepang tahun 1895. Kekalahan Cina dalam perang
tersebut mengakibatkan prestise bangsa dan negara Cina menurun. Dulu sebagai guru,
kini dikalahkan oleh bekas muridnya. Kekalahan ini membuktikan kelemahan
pemerintahan Manchu. Kekalahan ini juga membuka kesempatan bagi bangsa-bangsa
Barat untuk menjadikan Cina sebagai daerah pengaruh mereka. Dalam hal ini pemerintah
Manchu tidak berdaya mencegahnya.
Adanya korupsi dan pemborosan yang merajalela. Semuanya berpangkal pada tindakan
ibu Tzu Hsi (kaisar janda tua) yang memiliki tentara nasional secara tidak sah, untuk
kepentingan pribadi. Tzu Hsi mengijinkan para pejabat untuk menjual jabatannya untuk
kepentingan diri sendiri.
B. Kesadaran bangsa Cina
Perang Cina-Jepang membuka mata golongan progresif di Cina, sehingga mereka bukan
saja mengetahui bahwa Cina telah begitu lemah sehingga kalah dalam perang melawan
bekas muridnya. Mereka juga mengetahui bahwa Jepang yang kecil itu telah menarik
keuntungan dari ilmu pengetahuan Barat sehingga dapat memodernisir diri dan bahkan
akhimya dapat memenang- kan perang melawan Cina. Siapa yang dimaksud dengan
golongan progresif? Golongan ini tidak lain terdiri dari kaum intelektual (pelajaran,
mahasiswa maupun cendekiawan). Dari golongan ini muncullah gerakan yang bercita-cita
untuk menggulingkan pemerintahan Manchu. Jadi keburukan-keburuhan para pembesar
Dinasti Manchu menambah berkobarnya semangat nasionalisme Cina. Kekalahan dinasti
Manchu dalam pergulatan militer atau perang dan diplomatik dengan negara-negara
Barat semakin melenyapkan kepercayaan rakyat. Semuanya ini menyebabkan golongan
progresif atau revolusioner semakin agresif. Mereka makin merasakan bahwa saat-saat
untuk bergerak telah diambang pintu.
Adanya kekacauan di Cina yang terwujud dalam peperangan dan diakhiri dengan
perjanjian yang banyak merugikan pihak Cina semakin menyadarkan bahwa meluasnya
pengaruh bangsa- bangsa asing (Barat) sangat membahayakan.
Didalam periode modern Cina diawali dengan kekalahan pertama dari barat dalam perang
candu yang terjai pada waktu 1842. Header Toggle
Revolusi Cina merupakan revolusi yang berhasil mengalahkan dinasti kekaisaran terakhir
di Cina yaitu Dinasti Qing.
Dan mendirikan Republik Tiongkok (ROC), Revolusi Cina mengawali suatu rangkaian
revolusi yang terjadi di Cina pada waktu abad ke 20.
Didalam periode modern Cina diawali dengan kekalahan pertama dari barat dalam perang
candu yang terjai pada waktu 1842.
Waktu itu orang-orang etnis Mancu yang memerintah di istana Qing berjuang untuk
melawan gangguan asing ke Cina. Tetapi upaya yang dilakukan untuk menyesuaikan dan
mereformasikan metode-metode pemerintahan tradisional dibatasi oleh suatu budaya
pengadilan yang sangat konservatif. Dan tidak ada suatu keinginan untuk memberikan
terlalu kesempatan untuk melakukan reformasi.
Setelah kekalahan didalam perang candu ke dua yang terjadi pada tahun 1860. Qing
berusaha untuk memoderasi dengan mengadopsi teknologi barat dan melalui penguatan
diri dari tahun 1861.
2.1 Proses revolusi Cina
Di tahun 1851-1864 melawan taiping, 1851 melawan Nian, 1856-1868 kaum muslim
Yunan, dan 1862-1877 lautan Barat. Pasukan dari imperial tradisional terbukti tidak
kompeten dan menunjukan lemahnya dari pemerintahan imperialis. Di tahun 1895
Tiongkok mengalami kekalahan yang lain didalam periode perang Tiongkok-Jepang
pertama. Kekalahan tersebut menunjukan bahwa masyarakat feodal Cina tradisional juga
perlu modernisasi jika berkeinginan untuk mencapai suatu teknologi dan komersial.

Frustasi istana Qing karena meningkatnya tuntutan tuntutan imperialis dari Jepang dan
Barat. Dan juga keinginan untuk melihatCina yang bersatu mendorong munculnya
gerakan-gerakan nasionalisme yang membawa suatu ide revolusioner. Ide revolusioner
yang dibesarkan oleh orang Tionghoa yang tinggal disuatu tempat di luar negeri. Yang
utama di Asia Yenggara dan Amerika. Umunya mereka akademis berpendidikan Barat
mulai mendesak untuk revolusi atau reformasi langsung. Pembentukan Monarki
Konstitusional diusulkan oleh Kang Youwei dan Liang Qichao yang merupakan pemimpin
mereka.

Sun Yat-sen sementara memimpin kelompok yang campur aduk dengan bersama-sama
membentuk Aliansi Revololusi atau Tongmenghui. Aliansi Revolusioner tersebut memiliki
misi untuk mengganti suatu pemerintahan Qing dengan pemerintahan republik. Sun
adalah seseorang yang nasionalis dengan beberapa kecenderungan sosialis

Dari pemimpin revolusioner dan orang-orang Cina di luar negeri ikut membantu
membiayai upaya mereka berakar di Cina Selatan. Di tahun-tahun menjelang revolusi,
aliansi revolusioner melakukan beberapa usaha pemberontakan melawan Qing, tetapi
semuanya dapat dihentikan oleh tentara Qing.
Revolusi Cina terjadi pada tanggal 11 Oktober 1911 yang dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen
dan berhasil mengalahkan Dinasti Qing. Revolusi tersebut menyebabkan rakyat kecewa
dengan kepemimpinan Dinasti Qing, semacam kalah perang melawan bangsa barat,
ketidak berhasilan para kaisar-kaisar memimpin.
Serta rakyat menderita semakin berat yang menyebabkan revolusi tidak bisa terhindarkan
lagi. Pada tanggal 1 Januari 1912, Dr, Sun Yat Set diangkat sebagai Presiden. Dan Republik
Tiongkok dianggap mulai berdiri pada hari tersebut. Dr. Sun Yat Sen mengundurkan diri
sebagai presiden dan membuat partai Kuo Min Tang. Dan di gantikan oleh Yuan Shih Kai
pada 12 februari 1912. Masa pemerintahan Yuan Shih Kai tidak berlangsung lama karena
meninggal dunia pada tahun 1916.
Pemerintahan akhirnya dipimpin kembali oleh Dr. Sun Yat Sen, tetapi hanya sampai tahun
1924. Kedudukan Sun Yat Sen digantikan oleh Chiang Kai Shek dan berhasil
mempersatukan bagian selatan dan utara. Tetapi didalam masa pemerintahanya harus
melawan dari Mao Zesong yang mempunyai paham komunis. Mao Zedong berhasil
mengalahkan Chiang Kai Shek dan akhirnya pada tahun 1949 ia mendirikan Republik
Rakyat tiongkok yang berpaham komunis. Dan sedangkan Chiang Kai Shek mendirikan
negara Taiwan. Dan akhirnya paham komunis semakin berkembang di Asia.
Pemberontakan di Wunchang telah menjadi suatu titik tolak untuk munculnya
pemberontakan pada skala masional. Disaat kerugian meningkat, tanggapan positif dari
istana Qing untuk serangkaian tuntutan yang dimaksud untuk mengubah otoriter
kekaisaran berubah menjadi monarki konstitusional. Yuan Shikai ditunjuk sebagai
perdana menteri baru di Cina. Tetapi sebelum Yuan Shikai mampu merebut kembali
wilayah-wilayah yang direbut oleh kaum revolusioner.
Kesetiaan mulai dinyatakan oleh provinsi-provinsi mereka kepada aliansi revolusioner
yang dipimpin oleh Sun Yat Sen. Dr. Sun yang masih berada di Amerika Serikat dalam
didalam tur penggalangan dana pada saat pemberontakan dimulai. Dr. Sun langsung
bergegas menuju London dan Paris. Untuk memastikan kedua negara tersebut tidak
memberikan bantuan keuangan atau militer kepada pemerintahan Qing didalalm
perjuangannya.
Kaum revolusioner telah mengambil alih Nanjing disaat ia kembali ke Cina. Nanjing adalah
bekas ibu kota di bawah Dinasti Ming. Dan perwakilan dari provinsi mulai berdatangan
untuk pertemuan nasional yang pertama kali. Mereka bersama-sama memilih Dr. Sun
sebagai presiden sementara Republik tiongkok yang baru berdiiri.
Sun Yat Sen yang bermimpi untuk membentuk Republik China telah tercapai. Tapi proses
dari konsolidasi pemerintahan yang baru ini jauh lebih sulit dari pada yang diperkirakan
oleh kaum revolusioner.

Kekalahan dinasti Qing tidak pula membawa kepada era kemakmuran dan perdamaian.
Melainkan kepada periode keresahan sosial, kekacauan, kekecewaan, dan perang
berkepanjangan. Didalam ingatan yang kolektif, era Republik tidak ada kaitanya dengan
kelahiran kembali Cina. Tetapi panglima perang korupsi, kelemahan ekonomi, agresi asing
dan perselisihan sipil.

Tidak banyak pengaruh pada stabilitas negara baru disaat Sun Yat Sen ditunjuk sebagai
presiden sementara. Dinasti Qing tidak melepaskan gelarnya begitu saja meskipun
proklamasi Republik telah diproklamasikan pada saat januari 1912. Dan tidak mengakui
pemerintahan republik sebagai pemerintahan yang sah. Dikarenakan tidak ada
pengunduran diri yang resmi, Cina memiliki dua pemerintahan secara de facto yaitu
Republik dan Kekaisaran. Tugas dari Sun Yat Sen memimpin kembali republik Cina sampai
waktu dinasti Qing mengundurkan diri dan sampai kondisi negara stabil.

Disaat revolusi Yuan Shikai muncul sebagai politiknya tidak akan bisa bertahan lama jika
mengorbankan dirinya untuk dinasti Qing. Oleh karena itu ia kemudian mengubah
strateginya. Kemudian ia mencoba untuk memecahkan krisis dengan cara memastikan
transisi yang mulus dari kekaisaran ke Republik. Yuan menampilkan dirinya dengan cara
juru damai dan pelayan yang setia bagi negara baru. Keluarga kekaisaran yang terbagi
antara menyukai pengunduran diri dan yang ingin menekan revolusi.

Yuan Shikai juga menjelaskan kepada keluarga kekaisaran. Jika ingin melawan kaum
revolusioner mereka harus menyiapkan dana sebesar 12 juta Tael untuk biaya perang.
Akan tetapi keuangan dari kekaisaran telah kosong. Dan pangeran Manchu tidak ada yang
siap untuk mengorbankan kekayaan pribadi untuk biaya tentara. Di tanggal 26 Januari
1912 kabinet kekaisaran yang bertemu di Rumah yuan Shikai. 40 perwira tinggi telah
mengirim telegram yang mendesak Manchu untuk turun dari tahtanya.

Pada malam itu kepala staf angkatan darat dibunuh oleh seseorang revolusioner yang
fanatik didalam perjalan pulang. Setelah kejadian tersebut keluarga kekaisaran menjadi
ketakutan akan hal keamanan. Pada tanggal 27 Januari, istri dari almarhum Kaisar
guangxu dan ibu angkat dari kaisar tiongkok terakhir Puyi. Dalam keadaan yang panik
memohon kepada deputi Yuan Shikai. Untuk menyampaikan kepada jenderal pesan
bahwa kaisar dan hidupnya sendiri berada ditangannya, sehingga ia harus
menyelamatkanya.

Tiga hari setelah kejadian tersebut keputusan yang dibuat Longyu untuk mengahiri
kekaisaran yang sudah berumur 2.000 tahun. Dan ia akhirnya setuju untuk mengakhiri
pemerintahan Dinasti Qing. Dan kaum revolusioner yang berkeinginan untuk menghindari
konflik yang lebih lanjut memberikan suatu keistimewaan yang khusus seperti. Kaisar
tetap mempertahankan gelar dan diperlakukan oleh pemerintah Republik dengan hormat.
Di antara hal tersebut Ia akan menerima anuitas, dan diizinkan tinggal di istana kekaisaran
dan tetap melakukan ritual keagamaan tradisional.

Ratu mengeluarkan Dekrit Abdikasi yang berisikan tentang penyerahan kekuasaan kepada
Pemerintahan Republik pada tangggal 12 Februari (pemerintahan Kaisar Xuantong).
Berdasarkan dekrit tersebut Yuan Shikai mendapatkan wewenang untuk mereorganisasi
Ccina Setelah berita pengunduran diri tersebut, Sun Yat Sen menyatakan ketersediaanya
untuk secepatnya mengundurkan diri. Dan akhirnya memenuhi sumpah menjadi Presiden
Sementara.

Tindakan tanpa pamrih tersebut mendapatkan rasa hormat yang besar diantara orang
Cina. Tetapi didalam waktu jangka panjang tindakan tersebut terbukti kurang bijak sana.
Yuan Shikai didesak Sun untuk melepaskan kekuasaan yang telah diberikan oleh Manchu.
Karena kaisar tidak berhak untuk memberikan kekuatan semacam itu. Hanya rakyat yang
berhak memilik hak ini. Tetapi Sun terlalu naif untuk menerima janji dari Yuan Shikai
bahwa ia akan membela dan melayani Republik. Sun Yat Sen menyarankan Majelis
Nasional di Nanjing untuk memilih Yuan Shikai sebagai Presiden.

Pemilu merupakan merupakan hal bersejarah di Guomindang dan Tiongkok muncul


sebagai kekuatan yang paling posesif di negara Cina. Partai tersebut mendapatkan 169
kursi dari 596 di dewan perwakilan rakyat. Dan 123 dari 274 di Senat, sehingga posisi
guomindang dalam posisi terbaik untuk mengatur pemerintahan. Dan Yuan Shikai
diharuskan mengundurkan diri dan parlemen yang terpilih secara demokratis bisa
menunjukan seseorang presiden baru.

Disaat Sun Yat Sen dan kaum revolusioner telah menaruh kepercayaan kepada Yuan
Shikai telah membuat kekeliruan. Alih-alih melepaskan jabatan presiden seperti yang
dijanjikan, Yuan memerintahkann pembunuhan terhadap Song Jiaoren. Song jiaoren
merupakan salah satu pemimpin terkemuka di Guomindang. Setelahnya Yuan melarang
438 dari anggota Guomindang di parlemen dan setelah itu membubarkan parlemen itu
sendiri. Ia menghapus dan menyatakan dirinya sebagai kaisar pada tahun 1916. Tetapi hal
tersebut menyebabkan kemarahan publik yang sangat besar dan tidak mungkin untuk
diabaikan. Karena hal tersebut menjadi ketakutan jika terjadi kerusuhan sipil. Ia
memulihkan Republik kembali, tetapi tetap memerintah dengan cara diktator sampai
pada kematianya di bulan Juni 1916. Disaat pemerintahan Yuan berakhir, Republik China
akhirnya runtuh. Dan panglima perang merebut kekuasaan, dan menciptakan kerajaan
pribadi dimana raja memerintah. Dan terlepas dari pemerintah pusat yang hanya tinggal
nama.
2.2 Peran Dr. Sun Yat Sen Dalam Nasionalisme di China

Dr. Sun Yat Sen bercita- cita terbentuknya China baru yang didasarkan San Min Chu I (Tiga
Sendi Kedaulatan Rakyat) yaitu nasionalisme, demokrasi dan sosialisme. Ia berhasil
mengadakan pendekatan kepada rakyat dan menghimpun kekuatan rakyat di Cina Selatan
untuk menggulingkan Manchu. Pada tanggal 10 Oktober 1911 meletuslah revolusi di
Wuchang (Wuchang Day) di bawah pimpinan Li Yuan Hung dan berhasil menggulingkan
kekuasaan Manchu. Itulah sebabnya, tanggal 10 Oktober 1911 kemudian dijadikan hari
Kemerdekaan Cina.

Munculnya nasionalisme cina semakin memuncak Dengan adanya Revolusi Cina 1911 M,
menandakan runtuhnya kekuasaan Manchu. Pada tanggal 1 Januari 1912 Sun Yat Sen
dipilih sebagai Presiden Cina yang baru. Saat itu, wilayah Cina baru meliputi wilayah Cina
Selatan dengan Nanking sebagai ibu kotanya. Sementara itu, Cina Utara diperintah oleh
Kaisar Hsuan Tsung (yang masih kanak kanak) dengan didampingi oleh Yuan Shih Kai
menyerahkan kekuasaan kepada rakyat Cina (12 Februari 1912). Dengan demikian,
berakhirlah kekuasaan Manchu di Cina. Wilayah Cina Selatan dan Cina Utara berhasil
dipersatukan.

2.3 Peran Chiang Kai-shek


Chiang Kai-shek (31 Oktober 1887 – 5 April 1975) adalah seorang Pemimpin politik dan
militer Cina abad ke-20. Dalam Bahasa Mandarin dia Dikenal sebagai Jiang Jieshi atau
Jiang Zhongzheng. Chiang adalah seorang Anggota berpengaruh di Partai Kuomintang
(KMT), atau Partai Nasionalis. Ia Juga merupakan sekutu dekat Sun Yat-sen. La menjadi
Komandan AkademivMiliter Whampoa milik partai Kuomintang, dan menggantikan Sun
menjadi Pemimpin KMT ketika Sun meninggal pada tahun 1925. Pada tahun 1926, Chiang
memimpin Ekspedisi Utara dalam misi penyatuan negara, serta menjadi pemimpin
penting di Tiongkok.
Dia menjabat sebagai Ketua Dewan Militer Nasional pemerintahan Nasionalis Republik
Tiongkok (RC) pada Tahun 1928-1948. Chiang memimpin Cina dalam Perang Cina Jepang
Kedua. Pada saat itu kekuasaan pemerintah Nasionalis sangat lemah, namun ia Semakin
menonjol. Tidak seperti Sun Yat-sen, Chiang Kai-shek secara sosial Berpaham konservatif.
Ia mempromosikan budaya tradisional Tionghoa Melalui Gerakan Hidup Baru dan
menolak demokrasi Barat. Dia pun menolak Sosialisme demokratis nasionalis yang
didukung oleh Sun Yat Sen dan Beberapa anggota untuk menuju terbentuknya
pemerintahan otoriter Nasionalis.
Sun Yat Sen, pendahulu Chiang, sangat disukai dan dihormati oleh Kelompok komunis.
Setelah Sun Yat Sen wafat, Chiang Kai Sek tidak mampu Menjaga hubungan baik dengan
Partai Komunis Tiongkok. Perpecahan besar Antara kelompok Nasionalis dengan Komunis
terjadi pada tahun 1927. Di Bawah kepemimpinan Chiang, kelompok nasionalis
mengobarkan perang Saudara melawan Komunis. Setelah Jepang menyerang Cina pada
tahun 1937, Ching menyetujui gencatan senjata sementara dengan partai Komunis.
Hingga Jepang menyerah kepada sekutu pada tahun 1945, baik Partai Komunis Maupun
Partai Kouomintang tidak saling mempercayai maupun aktif bekerja Sama. Perang
saudara kembali berlanjut setelah upaya negosiasi untuk Membentuk pemerintahan
koalisi pada tahun 1946 mengalami kegagalan.
Pada tahun 1949 kelompok Komunis mengalahkan kelompok Nasionalis. Memaksa
pemerintah Chiang mundur ke Taiwan, di mana Chiang dikenakan Darurat militer dan
orang-orang teraniaya kritis pemerintahannya dalam Periode yang dikenal sebagai “Teror
Putih”. Setelah mengevakuasi ke Taiwan, Pemerintahan Chiang terus menyatakan niatnya
untuk merebut kembali Daratan Tiongkok. Chiang memerintah pulau aman sebagai
Presiden Republik Tiongkok dan Jenderal Kuomintang sampai kematiannya pada tahun
1975. Dia memerintah daratan Tiongkok selama 22 tahun, dan Taiwan selama 26 Tahun.
2.4 Zhou Enlai

Zhou Enlai (Hanzi: 周恩来; Wade–Giles: Chou En-lai; 5 Maret 1898 – 8 Januari 1976)


adalah seorang negarawan penting di Tiongkok yang menjabat sebagai Perdana
Menteri Republik Rakyat Tiongkok Pertama dari sejak berdirinya negara Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) pada tahun 1949 sampai dengan sepeninggalnya. Zhou
bertugas di bawah Ketua Mao Zedong dan berperan penting dalam perjalanan Partai
Komunis Tiongkok (PKT) menjadi partai penguasa, kemudian mengonsolidasikan
kendalinya, membentuk kebijakan luar negeri, serta mengembangkan ekonomi
Tiongkok. Seorang diplomat yang cakap dan handal, Zhou juga pernah menjabat
sebagai Menteri Luar Negeri Republik Rakyat Tiongkok Pertama dari tahun 1949 hingga
1958. Mendukung perdamaian dan hidup berdampingan dengan Blok
Barat setelah Perang Korea, ia berpartisipasi dalam Konferensi Jenewa
1954 dan Konferensi Asia-Afrika 1955, serta membantu mengatur kunjungan Nixon ke
Tiongkok 1972. Dia juga membantu menyusun kebijakan untuk mengatasi
perselisihan yang getir dengan Amerika Serikat, Taiwan, perpecahan Tiongkok-
Soviet, India dan Vietnam.
Zhou selamat dari pembersihan para pejabat tinggi PKT selama masa Revolusi
Kebudayaan. Sementara Mao mendedikasikan sebagian besar tahun-tahun
terakhirnya untuk perjuangan politik dan menjalankan ideologinya, Zhou adalah
kekuatan pendorong utama dalam urusan negara selama masa Revolusi
Kebudayaan. Usahanya untuk mengurangi tindakan perusakan yang dilakukan
oleh Pengawal Merah dan upayanya untuk melindungi orang-orang dari amukan para
Pengawal Merah tersebut membuatnya sangat populer di tahap akhir masa Revolusi
Kebudayaan.
Ketika kesehatan Mao mulai menurun pada tahun 1971-1972 dan setelah kematian
jenderal Lin Biao yang dinyatakan sebagai seorang pengkhianat, Zhou terpilih
menjadi Wakil Ketua Partai Komunis Tiongkok oleh Komite Tetap Politbiro Partai
Komunis Tiongkok ke-10 pada tahun 1973 dan dengan demikian ditunjuk sebagai
penerus Mao, tetapi ia masih tetap harus berjuang melawan Kelompok Empat secara
internal perihal kepemimpinan Tiongkok. Penampilan terakhirnya di depan umum
adalah pada pertemuan pertama Kongres Rakyat Nasional ke-4 tanggal 13 Januari
1975, di mana ia mempresentasikan laporan kerja pemerintah.
Setelah itu ia menjauh dari publik karena perlu mendapat perawatan medis
sehubungan dengan penyakit kankernya dan meninggal satu tahun kemudian.
Kesedihan publik yang begitu besar di Beijing berubah menjadi kemarahan terhadap
Kelompok Empat, yang memicu terjadinya Insiden Tiananmen 1976. Meskipun Zhou
kemudian digantikan oleh Hua Guofeng, namun sekutu Zhou: Deng Xiaoping dapat
mengalahkan Kelompok Empat secara politis dan menggantikan Hua
sebagai Pemimpin Tertinggi Tiongkok pada tahun 1978.

2.5 Mao Zedong


Mao Zedong lahir di Shaoshan, Hunan, 26 Desember 1893 dan meninggal di Beijing 9
september 1976 pada umur 82 tahun dia Adalah seorang tokoh filsuf dan pendiri negara
Republik Rakyat Cina dan dia Adalah salah satu seorang yang terpenting dalam sejarah
modern Cina.
Pada tahun 1911, Mao Zedong terlibat dalam Revolusi Xinhai yang Merupakan revolusi
melawan Dinasti Qing yang berakibat keruntuhan Kekaisaran Cina yang sudah berkuasa
lebih 2000 tahun sejak Tahun 1912, Republik Cina diproklamasikan oleh Sun Yat-sen dan
Cina dengan resmi Masuk ke zaman republik. Mao Zedong lalu melanjutkan sekolahnya
dan Mempelajari banyak hal antara lain budaya barat. Pada tahun 1918 ia lulus, Dan Mao
melanjutkan kuliah di Universitas Beijing. Partai Mao zedong didirikan pada tahun 1921
dan Mao semakin hari Semakin berkembang. Antara tahun 1934 – 1935 ia memegang
peran utama Dalam memimpin Tentara Merah Cina menjalani “Mars Panjang”. Lalu
Semenjak tahun 1937 ia ikut menolong memerangi Tentara Dai Nippon yang Menduduki
banyak wilayah Cina. Akhirnya Perang Dunia II berakhir dan Perang saudara berkobar lagi.
Dalam perang yang melawan kaum nasionalis Ini, Mao menjadi pemimpin kaum Merah
dan akhirnya ia menang pada tahun 1976 dan digantikan oleh Chiang Kai Shek. Mao
Zedong dikenal sebagai Orang yang berani, tegas, dan adil. Dan semua itu akan di kenang
oleh rakyat RRC untuk selamanya karna Moe Zedong adalah Pahlawan rakyat RRC. Mao
Zedong membedakan dua jenis konflik yaitu konflik antagonis dan konflik non-antagonis.
Konflik antagonis menurutnya hanya bisa Dipecahkan dengan sebuah pertempuran saja
sedangkan konflik non-antagonis Bisa dipecahkan dengan sebuah diskusi. Menurut Mao
Zedong konflik antara Para buruh dan pekerja dengan kaum kapitalis adalah sebuah
konflik antagonis Sedangkan konflik antara rakyat Cina dengan Partai adalah sebuah
konflik Non-antagonis.
Dan Pada tahun 1956 Mao memperkenalkan sebuah kebijakan Politik baru di mana kaum
intelektual boleh mengeluarkan pendapat mereka Sebagai kompromis terhadap Partai
yang menekannya karena ia ingin menghindari penindasan yang kejam karna menurut
Mao Zedong tidak semua Pikiran manusia yang sama, dan pada saat itulah ratusan pikiran
yang berbeda-Beda bersaing.” Tetapi ironisnya kebijakan politik ini gagal,dan kaum
Intelektual merasa tidak puas dan banyak mengeluarkan kritik.
Mao sendiri Berpendapat bahwa ia telah dikhianati oleh mereka dan ia membalas
dendam. Sekitar 700.000 anggota kaum intelektual ditangkapinya dan disuruh bekerja
Secara paksa di daerah pedesaan. Dan pada saat itu Mao Zedong percaya akan sebuah
revolusi yang Kekal sifatnya. Ia juga percaya bahwa setiap revolusi pasti menghasilkan pro
Dan kontra Oleh karena itu secara teratur ia memberantas dan menangkapi apa Yang ia
anggap lawan-lawan politiknya dan para pengkhianat atau kaum Kontra-revolusioner.
Yang paling dramatis dan mengenaskan hati ialah Peristiwa Revolusi Kebudayaan yang
terjadi pada tahun 1966. Pada tahun 1960an para mahasiswa di suruh memberontak
terhadap apa yang mereka nggap The Establishment atau kaum yang memerintah. Begitu
pula di Cina. Mereka didukung oleh para dosen-dosen mereka dan pembesar-pembesar
partai termasuk Mao sendiri.
Para mahasiswa dan dosen mendirikan apa yang disebut Garda Merah, yaitu sebuah unit
paramiliter. Dibekali dengan Buku Merah Mao Zedong, mereka menyerang angota
kapitalisme dan pengaruh-pengaruh Barat serta kaum kontra-revolusioner lainnya.
Sebagai contoh Fanatisme mereka, antara lain menolak berhenti di jalan raya apabila
lampu merah menyala karena mereka berpendapat bahwa warna merah yang merupakan
simbol sosialisme tidak mungkin mengartikan sesuatu yang berhenti. Maka para anggota
Garda Merah ini pada tahun 1966 sangat membabi buta dalam memberantas kaum
kontra revolusioner sehingga negara Cina dalam keadaan amat genting dan hampir
hancur, ekonominyapun tak jalan. Akhirnya Mao terpaksa menurunkan Tentara
Pembebasan Rakyat untuk menanggulangi mereka dan membendung fanatisme mereka.
Hasilnya adalah perang saudara yang baru berakhir pada tahun 1968.
3. Kepentingan negara-negara Barat di Cina
Inggris adalah negara eropa pertama yang membuka jalan masuk ke cina (Tiongkok) sejak
tahun 1800, inggris menyelundupkan candu atau opium ke cina (Tiongkok) dan sejak saat
itu perdagangan candu di cina meluas. Inggris mendapat keuntungan besar sedangkan
Rakyat cina (Tiongkok) menjadi korban.

3.1 Peranan dan Dominasi Inggris


Pengunjung non Asia pertama yang tiba di Cina lebih tepatnya adalah di Hongkong adalah
penjelajah Portugis, Jorge Alvares. Jorge mendarat di wilayah tersebut kira-kira pada
tahun 1513, ekspedisi yang dilakukan oleh bangsa portugis ini sebenarnya adalah untuk
mencari sumber-sumber perdagangan di wilayah tersebut, selain untuk mencari sumber-
sumber perdagangan, portugis juga mengklaim tanah tersebut atau tanah di sekitar delta
Sungai Perl adalah tanah untuk raja Portugal dengan cara mendirikan salib “Padrao”.
Kunjungan Jorge ini dilanjutkan dengan pembentukan sejumlah pemukiman Poetugis dan
pos-pos perdagangan di kedua sisi delta. Kekaisaran Cina menolak kedatanga portugis di
tanah mereka dengan serangkaian bentrokan bersenjata , hingga akhirnya portugis
berhasil diusir dari daerah tersebut. Pemikiman yang berada di barat muara Sungai Pearl
yang didirikan oleh bangsa portugis akhirnya di konsolidasikan ke dalam koloni Makau.

Sebenarnya sebelum portugis datang ke daerah Cina telah ada pedagang Eropa yang
berkunjung di daerah Cina, yakni Niccolo dan Maffeo Polo. Pedagang Eropa ini sampai di
Cina kira-kira tahun 1259. Akan tetapi hal ini tidak banyak yang tahu, karena memang
perdagangan yang dilakukan Niccolo tidak begitu memberikan dampak yang begitu besar
terhadap bangsa Cina. Setelah kedatangan dari Jorge Alvares, banyak sekali bangsa-
bangsa barat yang ikut berkunjung ke daerah Cina, yakni seperti bangsa Inggris, Belanda.
Kedatangan mereka tidak mendapat sambut baik dari bangsa Cina, karea setelah
mendapat pengalaman yang tidak menyeanangkan dengan bangsa portugis, kaisar Ming
(kaisar yang berlaku pada waktu itu) memberlakukan peraturan tentang larangan yang
dikenal dengan Jin Hai , dan juga memberlakukan tentang peratutan untuk membatasi
semua bentuk kegiatan maritim. Tujuan dari larangan itu adalah untuk memerangi
penyelundupan dan untuk membatasi intervensi internasional dalam urusan Cina,
sehingga dapat dikatakan bangsa Cina menutup diri terhadap bangsa Luar hal ini jugalah
yang menjadikan bangsa Cina identik atau hampir sama dengan bangsa Jepang. Sebagai
bagian dari larangan tersebut, penduduk desa pantai dipaksa untuk pindah ke daratan
dan nelayan, serta penyelam mutiara, tidak dapat membuat hidup dari laut. Sekitar tahun
1550 larangan tersebut akhirnya dicabut, karena memang terbukti larangan tersebut tidak
efektif untuk tujuannya. Namun, pembatasan perdagangan dengan asing tetap di tempat
selama bertahun-tahun sesudahnya, lama setelah transisi dari Ming untuk Dinasti Qing.
Setelah peraturan itu dicabut, Inggris berani untuk mulai melakukan kerjasama atau
perdagangan dengan Negara Cina, begitu pula sebaliknya Negara Cina sudah berani untuk
melakukan hubungan dengan bangsa barat.

3.2 Perang Candu


Ekspedisi pertama yang dilakukan bangsa Inggris yang biasa disebut dengan British East
India Company ini sampai di wilayah tersebut pada tahun 1699. Seperti perdagangan-
perdagangan sebelumnya perdagangan antara Cina dengan Inggris berjalan dengan baik
dan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Perusahaan-perusahaan mulai
mendirikan pos-pos perdagangan, hal ini terjadi pada tahun 1711. Yang menjadi
komoditas utama dan merupakan andalan dari Negara Cina adalah teh. Teh Cina sendiri
menjadi sangat popular di Inggris pada abad ke-18 dan menyumbangkan 10% pendapatan
Cina, selain teh yang menjadi komoditas utama Cina, rempah-rempah dan sutra juga ikut
andil dalam proses perdagangan ini. Selama tahun-tahun awal perdagangan, ekspor Cina
yang berupa teh mendominasi perdagangan dan memiliki kemajuan yang pesat dibanding
ekspor Inggris ke Cina dan menjadi komiditi yang sangat diperlukan oleh bangsa Inggris.
Ekspor Inggris ke Cina yang berupa produk-produk mewah seperti jam, jam tangan, kotak
keramik dan lain sebagainya belum mampu menjadi komoditas yang sangat diperlukan
oleh bangsa Cina, malahan barang-barang ekspor yang mewah-mewah ini belum bisa
menandingi atau setidaknya mengimbangi komoditi Cina, yakni teh. Sehingga dapat
dikatakan terjadi ketimpangan dalam perdagangan ini, hal ini pun berdampak pada
pedagang dan pemerintah Inggris yang mulai merugi dan mengalami masalah yang serius
karena memang terjadi keputusasaan yang diderita oleh pedagang Inggris untuk
mengimbangi perdagangan yang tidak seimbang dengan teh, sehingga diperlukan solusi
atau jalan keluar untuk mengatasi ketimpangan ini. Solusi pun datang dari arah yang
sangat mengejutkan, yakni pada saat Inggris berhasil menaklukan wilayah Bengal di India
bagian utara (perang ini disebut dengan pertempuran Plassey). Hasil dari penaklukan ini
adalah Inggris berhasil mendapatkan akses ke Cina yang berupa produksi opium,
perdagangan yang dilakukan Inggris ini merupakan perdagangan yang ilegal. Karena
memang opium memiliki sifat Adiktif (ketergantungan), opium menjadi sangat populer di
Cina dan pedagang Inggris mendapat keuntungan yang sangat besar, sehingga pedagang
Inggris berencana untuk meningkatkan volume perdagangan secara signifikan.
Perdagangan opium yang dilakukan oleh pedagang Inggris membuat pemerintah Cina
merugi dan juga membuat bangsa Cina sendiri menjadi bangsa yang sangat hancur karena
memang masyarakat di sana telah tercandu oleh opium sehingga membuat watak
masyarakat disana sudah tidak mampu lagi bersaing dengan bangsa Cina.

Melihat perdagangan yang tidak seimbang dan di dalam nya juga berisi kecurangan-
kecurangan yang dilakukan oleh bangsa Inggris, dan langkah pertama yang dilakukan oleh
pemerintah Cina adalah pengiriman surat kepada Ratu Victoria oleh Lin Zexu (pejabat
senior pemerintah Qing) pada tahun 1839. Isi dari surat tersebut adalah desakan oleh
pemerintah Cina kepada Ratu Victoria untuk bertindak sesuai dengan perasaan yang layak
dan mengakhiri perdagangan opium ini, akan tetapi surat tidak mendapatkan respon.
Melihat perdagangan opium yang makin tidak bisa terkontrol dan juga kesulitan dalam
penanggulangan, tentu saja membuat kekaisaran penguasa Cina sangat tidak senang dan
curiga terhadap orang asing tentunya orang-orang barat. Akhirnya jalan keluar dari
permasalahan ini adalah pemerintah Cina memutuskan untuk menghentikan perdagangan
candu atau opium dan pengimriman disita dan dihancurkan. Tentu saja hal ini membuat
marah pemerintah Cina, yang akhirnya menjadi perang yang sering kita dengar dengan
perang candu.
Nafsu dunia dapat membutakan akal dan hati manusia. Segala cara dapat ditempuh untuk
mendapatkan kekayaan di dunia. Tidak peduli itu cara yang baik atau jahat, asalkan dapat
memperoleh harta maka itu bukan lah suatu persoalan. Salah satu peristiwa masa lalu
yang menggambarkan fenomena ini adalah Perang Candu (opium).

Perang Candu merupakan dua perang yang terjadi pada pertengahan abad ke-19, antara
orang China dan Inggris di kedaulatan China. Pada perang tersebut pedagang Eropa
menggunakan kekuatan adiktif candu untuk memperoleh hubungan dagang penting
dengan Cina, negara yang mengisolasi diri dari dunia luar.

Latar Belakang Perang Candu

Selama ratusan tahun, Orang-orang Cina tidak berhubungan dengan kegiatan ekonomi
dunia lain. Meskipun demikian, banyak pedagang Eropa sangat ingin berdagang di Cina.
Wilayah Cina saat itu terkenal sebagai produsen sutera, rempah-rempah, teh, dan
porselan berkualitas. Komoditi tersebut sangat populer di Eropa. Namun, pemerintah Cina
di bawah Dinasti Qing hanya mengizinkan perdagangan dilaksanakan di satu pelabuhan,
yakni di Guangzhou (Kanton).

Di sisi lain, pengembangan East India Company oleh Inggris berarti menjadikan candu


dalam jumlah besar yang diproduksi di Bengali, India membutuhkan pasar baru.  Untuk
menyiasati kebijakan pemerintah Cina, pedagang Inggris mulai merencakan strategi agar
Cina mau membuka perdagangan dengan mereka.

Para pedagang asing mulai menyelendupkan candu ke negara Cina, sehingga penduduk
Cina terpaksa menjual barang-barang berharga mereka untuk ditukar dengan candu.
Bangsa Cina sendiri sebenarnya telah mengenal candu sejak abad ke-15, namun Dinasti
Qing melarang penghisapan candu pada tahun 1729, karena efeknya yang merusak.

Perdagangan candu sebelumnya dipelopori oleh bangsa India di bawah daulah Mughal, di
mana perdagangan candu ilegal melalui Cina Selatan mendatangkan keuntungan besar.
Ketika Inggris menguasai India, mereka melihat perdagangan candu sebagai peluang emas
untuk memperbesar devisa.

Penyelundupan candu ke Cina meningkat pesat pada abad ke-18. Pada tahun 1730, 15 ton
candu diselendupkan dan pada tahun 1773 mengalami peningkatan menjadi 75 ton.
Candu-candu diselundupkan melalui laut dalam ribuan peti, yang masing-masing memuat
sekitar 64 kilogram.

Membanjirnya candu di cina melemahkan rakyat Cina, jumlah pencandu mengalami


peningkatan. Puncaknya ketika seorang pangeran menjadi pecandu, hal ini membuka
mata Kaisar Daoguang akan bahaya terlarang ini. Pelarangan candu pun kembali
ditegaskan pada tahun 1799, dan pada tahun 1810 dikeluarkan lah titah pelarangan dari
kaisar.

Meskipun demikian, letak pusat pemerintahan yag terlalu jauh di sebelah utara,
menyebabkan kerajaan tidak sanggup mengendalikan para pedagang dan pejabat korup
yang menyelundupkan candu lewat Cina Selatan. Minimnya tindakan pemerintah
menyebabkan penyelundupan candu terus mengalami peningkatan. Tercatat pada tahun
1820-an, penyelundupan candu meningkat drastis mencapai 900 ton per tahun Untuk
mengatasi kondisi memprihatinkan masyarakat, pada tahun 1838 pemerintah Cina
menjatuhkan hukuman mati bagi para penyelundup candu lokal. Penyelundupan saat itu
telah mencapai angka 1.400 ton.

Pada bulan Maret tahun 1839, Kaisar mengangkat pejabat bernama Lin-Zexu untuk
mengatasi penyelundupan candu di Kanton dengan kekuasaan penuh. Komisioner Tinggi
Cina di Goungzhou, Lin Zexu segera mendatangi gudang penyimpanan candu Inggris. Lin
meminta pihak Inggris agar menyerahkan candu di tempat tersebut. Namun, Charles
Elliot, kepala perdagangan Inggris, menolak tuntutan ini. Akibatnya, Lin mengepung
gudang tempat penyimpanan candu, yang di dalamnya terdapat 300 pekerja.
Pengepungan berlangsung selama 40 hari, para pekerja baru menyerah setelah menderita
kelaparan.

Selanjutnya, candu sebanyak 22.291 peti ditenggelamkan ke laut. Lin juga memaksa
Inggris agar menanda-tangani perjanjian untuk tidak menyelundupkan candu lagi. Pada
bulan Mei 1839, seluruh pejabat East India Company dipaksa meninggalkan Kkanton
Inggris menganggap tindakan pemerintah Cina sebagai penyitaan properti milik pribadi
dan tidak dapat dibenarkan. Maka, Inggris mengirim kapal-kapal perang untuk
mengancam pemerintah Cina dan mengepung pelabuhan.
Cina menolak membayar kompensasi, dan tetap melarang perdagangan dengan bangsa
Inggris. Pada bulan November 1839, kapal perang Cina tanpa pernyataan perang
ditembaki oleh kapal perang Inggris yang dikirim dari India. Akibatnya, Perang Candu I
(1839-1842) antara Cina dan Inggris pun dimulai.
Perang Candu I (1839-1842) dan Perjanjian Nanjing

Perang Candu I sebagaian besar berlangsung di pantai dan di laut. Pada perang tersebut
kapal-kapal Inggris yang notabene lebih modern dari kapal-kapal Cina, membombardir
pantai tenggara Cina. Keunggulan persenjataan membuat armada Inggris dengan mudah
menguasai kota-kota pelabuhan Xianggang (Hongkong), Kanton, Xiamen, Ningbo, Fuzho
dan Shanghai. Bahkan, pada bulan Agustus 1842, dengan kekuatan 80 kapal perang,
mereka maju menuju Nanjing.

Di tengah kondisi Cina yang semakin terdesak. Kaisar Daoguang tidak menemukan jalan
yang lebih baik selain menyerah kepada pihak Inggris. Pemerintah Cina dipaksa
menyetujui Perjanjian Nanjing, yang banyak merugikan mereka.

Berikut point-point penting dari perjanjian Nanjing:

1. Cina menyewakan Xianggang (Hongkong) pada Inggris.


2. Pelabuhan-pelabuhan Kanton, Xiamen, Ningbo, Fuzhou, dan Shanghai harus
dibuka bagi perdagangan dengan pihak Inggris.
3. Cina diwajibkan membayar kerugian perang sebesar 21 juta mata uang perak.
4. Memberikan hak istimewa bagi Inggris, serta membuka daerah khusus
(ekstrateritorial) sebagai tempat tinggal warga Inggris.
5. Hubungan antara pejabat-pejabat Cina dan Inggris harus berdasarkan asas sama
rata.
6. Inggris berhak mengangkat konsul di tiap-tiap pelabuhan yang dibuka bagi
aktivitas perdagangan mereka.
7. Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1842, sama sekali tidak
menyelesaikan masalah penyelundupan candu. Penyelundupan masih
berlangsung, meskipun secara resmi tetap dilarang.

Setelah perjanjian Nanjing tercetus, Amerika Serikat juga menuntut hak yang sama
dengan Inggris. Amerika mengirimkan utusan bernama Caleb Cushing untuk
merundingkan hal itu dengan pemerintah Cina. Usaha Cushing berhasil, Cina dan Amerika
menyepakati perjanjian bilateral pada tahun 1844. Perjanjian tersebut membuat Amerika
mendapatkan pula seluruh hak istimewa yang didapatkan Inggris. Di dalam perjanjian
bilateral ini, hakim-hakim Cina tidak memiliki wewenang untuk mengadili warga Amerika
yang melakukan pelanggaran hukum dan harus menyerahkannya pada pengadilan
konsulat Amerika. Selain Amerika, Prancis juga menyusul perjanjian bilateral dengan Cina
pada tahun yang sama guna memperoleh hak-hak istimewa. Sebagai hasilnya, Cina
mengizinkan penyebaran agama Katolik dan mengembalikan hak milik gereja yang telah
dilarang seabad sebelumnya.

Perang Candu II (1856-1860 M)

Perang Candu II dapat dianggap sebagai kelanjutan dari ambisi imperialisme Eropa di Cina.
Pihak Eropa yang telah mendapatkan hak-hak dagang khusus di Cina, masih berambisi
untuk memperluas kekuasaannya. Pihak Inggris ingin memperkuat pengaruhnya di Cina
dengan memaksa Dinasti Qing memperluas wilayah perjanjian Nanjing. Pada tahun 1854,
mereka menuntut seluruh Cina dijadikan wilayah dagang terbuka bagi East India
Company, perdagangan candu dilegalkan, dan diperbolehkannya duta besar Inggris
ditempatkan di Beijing. Tuntutan serupa juga datang dari Amerika Serikat dan Prancis.
Akan tetapi, pemerintah Dinasti Qing menolak semua tuntutan tersebut, sehingga
hubungan Cina dan Barat menjadi memanas.

Meskipun demikian, Perang Candu II secara khusus dipicu oleh tindakan pejabat Dinasti
Qing yang menghentikan kapal bernama Arrow, kapal Cina yag telah diregistrasi di
Hongkong (kapal tersebut dikapteni orang Inggris dan seluruh awaknya merupakan warga
Cina). Telah menjadi kebiasaan, jika kapalTiongkok hendak menyelundupkan sesuatu,
mereka meregistrasikan terlebih dulu kapalnya di Hongkong, sehingga dapat berlayar di
bawah bendera Inggris dan terhindar dari jeratan hukum Cina.

Pada tanggal 8 Oktober 1856 kapal tersebut berlabuh di Kanton. Pada pagi harinya,
mereka dihentikan oleh 4 pejabat dan 60 pasukan bersenjata. Mereka mencurigai Arrow
hendak menyelundupkan sesuatu ke wilayah Cina. Kapten kapal mendatangi konsulat
Inggris untuk melaporkan penahanan yang dilakukan pejabat Cina. Konsul Inggris, Harry
Parkes, segera meresponnya dengan mendatangi pejabat Cina yang melakukan
penahanan serta memprotes tindakan mreka.
Meskipun telah diprotes, 12 orang di antara awak kapal itu tetap ditahan karena dianggap
melakukan tindak kriminal penyelundupan. Pihak Inggris ngotot, bahwa kapal itu telah
diregistrasi di Hongkong, oleh karena itu hukum khusus berlaku terhadap mereka, dan
meminta agar kapal dan awaknya dibebaskan. Pihak Cina menolak permintaan Parker,
karena gagal membebaskan para awak Konsul Inggris kembali ke kantornya dan
menyurati Gubernur Ye Mingchen. Ia membuat tuduhan bahwa para pejabat Cina telah
menghina bendera Inggris. Selain itu, ia juga menuduh pihak Cina telah melanggar
perjanjian ekstrateritorial dengan Inggris.
Parker juga mengirimkan surat kepada Gubernur Sir John Bowring dan Admiral Sir Michael
Seymour di Hongkong, meminta Inggris menuntut permintaan maaf Cina. Mungkin Parker
melihat peristiwa ini sebagai salah satu kesempatan untuk memperluas imperialisme
Inggris di Cina. Dari hasil penyelidikan pejabat Cina yang berwenang mendapati bahwa
sembilan di antara dua belas orang yang ditangkap tidak bersalah. Gubernur Ye dengan
tenang dan sopan menjawab tuntutan sepihak Inggris. Dijelaskannya alasan penangkapan
serta penyesalan terhadap kesalah-pahaman yang terjadi.

Ia juga mengatakan tidak ada sedikit pun keinginan untuk menghina bendera Inggris.
Gubernur Ye lalu menawarkan untuk menyerahkan 12 orang yang di tahan itu pada
tanggal 12 Oktober 1856. Akan tetapi, Parker menolak tawaran tersebut meskipun pihak
Cina telah menyampaikan rasa penyesalan. Ia tetap bersikeras agar Gubernur Ye
mengeluarkan permintaan maaf secara tertulis serta pembebasan awak kapal yang tidak
bersalah dengan segera. Ye merespons kesombongan pihak Inggris dengan menyatakan
bahwa hukum ekstrateritorial hanya berlaku bagi kapal Inggris, sedangkan Arrow adalah
kapal Tiongkok. Ia juga mempertanyakan kewenangan pihak Inggris untuk ikut campur
urusan penangkapan warga negara Cina oleh pejabat berwenangan Cina, apalagi saat itu
kapal juga berada di perairan Cina. Gubernur menyimpulkan insiden tersebut bukan lah
merupakan pelanggaran perjanjian apa pun.

Pihak Inggris menolak penjelasan pihak Cina di aas, meskipun bukti-bukti dan saksi
menguatkan pembelaan Ye. Mereka tetap ngotot bahwa kapal itu tetap kapal Inggris dan
warga negara mana pun yang berada di atas kapal Inggris berada di bawah naungan
hukum Inggris. Polemik ini terus berlanjut hingga tanggal 21 Oktober 1856, di mana sekali
lagi Parker menuntut permintaan maaf Cina. Keesokan harinya, Gubernur Ye mengirim
para tahanan itu ke konsulat Inggris, termasuk yang terbukti bersalah melakukan
penyelundupan, namun pihak Inggris menanggapi dingin usaha tersebut. Gubernur Ye
tetap bersikeras tidak perlu mengeluarkan permintaan maaf, karena tidak ada
pelanggaran yang dilakukan.

Setelah Cina tidak kunjung meminta maaf, arogansi Inggris pun semakin menjadi. Mereka
mengerahkan angkatan perangnya pada tahun 1857 untuk menggempur Kanton. Prancis
ikut bergabung dengan Inggris setelah hukuman mati yang dijatuhkan terhadap seorang
misionaris Prancis bernama August Chapdelaine. Kanton berhasil dirbeut dan mereka
bergerak menuju Beijing. Sementara itu, Kaisar Xianfeng (1851-1860) yang ketakutan
melarikan diri ke Jehol. Perang Candu II baru berakhir setelah pihak Cina bersedia
menandatangani Perjanjian Tianjin pada bulan Juni 1858. Berikut isi dari perjanjian
Tianjin:
1. Inggris, Prancis, Amerika, dan Rusia diizinkan membuka kedutaan di Beijing, yang
saat itu merupakan kota tertutup bagi orang asing.
2. Sepuluh pelabuhan baru dibuka bagi bangsa Barat, termasuk Danshui, Hankou,
Niuzhuang, dan Nanjing.
3. Pemberian izin kunjungan orang asing ke pedalaman Cina, baik untuk urusan
dagang atau kegiatan misionaris.
4. Cina harus membayar kerugian perang sebesar 4 juta tail perak pada Inggris dan 2
jut apada Prancis.
5. Pelarangan menyebut bangsa Barat sebagai yi (barbar).
Walaupun perjanjian telah ditandatangani, kerajaan tetap tidak mengizinkan pendirian
kedutaan di Beijing. Oleh karena itu, pada tahun 1860, kekuatan gabungan Inggris dan
Prancis kembali melancarkan serangan, dan berhasil menaklukan Beijing pada tanggal 6
Oktober 1860.

Kaisar Xiangfeng kembali melarikan diri ke istananya di Chengde, di mana sebelumnya ia


telah memerintahkan Pangerang Gong untuk bernegosiasi dengan bangsa Barat. Di saat
yang bersamaan, bangsa Barat membakar istana kekaisaran dan menjarahnya. Untuk
meredam kekejaman bangsa Barat, pangerang Gong menyampaikan kembali kesediaan
Dinasti Qing untuk menjalankan seluruh isi perjanjian Tianjin dalam wujud Konvensi
Beijing yang diratifikasi pada tanggal 18 Oktober 1860. Adapun isi dari ratifikasi adalah
sebagai berikut:

Cina mengakui kembali Perjanjian Tianjin. Menjadikan Tianjin sebagai pelabuhan terbuka.
Kerugian yang harus diganti Cina kepada Inggris dan Prancis ditingkatkan menjadi 8 juta
nail perak. Perdagangan candu dilegalkan. Dengan keluarnya ratifikasi ini sekaligus
mengakhiri sepenuhnya Perang Candu dan menjadikan candu sebagai barang yang legal di
dataran Cina.

Bentuk dan Dampak Dari Pengaruh Bangsa Barat Di Cina

Bentuk dari pengaruh bangsa Barat yang sangat besar adalah pengaruh dalam hal
perdagangan, yakni perdagangan opium, selain itu bangsa barat juga mempengaruhi
dalam hal kebudayaan yakni seperti kebudayaan dari bangsa Cina yang selalu mengikuti
ujian sipil yang diadakan oleh pemerintah untuk mengubah status mereka lama kelamaan
hilang yang diganti dengan kebudayaan-kebudayaan bagsa barat dan menghilangkan
kebudayaan tua tersebut dan juga pengeruh-pengaruh pemerintahan, karena memang
bangsa-bangsa barat juga melakukan kolonialisme dan imperalisme di wilayah tersebut,
contohnya saja Inggris di wilaya Hongkong dan Portugis di wilayah Makau. Akan tetapi
tidak semua dampak dari kolonaialisme dan imperalisme bangsa barat buruk, contohnya
saja yang dilakukan bangsa Inggris terhadap Hong Kong, Hong Kong menjadi daerah yang
bisa dibilang makmur, padahal awalnya Hong Kong bukanlah daerah yang diperhitungkan
dalam Negara Cina. Begitu pula di daerah makau, Portugis berhasil menjadikan daerah
makau daerah yangsangat penting, dengan pelabuhan-pelabuhan yang memegang peran
penting dalam jalur perdagagan membuat makau benar-benar daerah yang berpengaruh
pada zaman itu. Adapun pengaruh-pengaruh dan dampak yang diberikan bangsa barat di
Cina, yakni sebagai berikut :

1. Perubahan Politik internasional di Asia Timur yang terjadi akhir 1940-an. Pada
bulan Oktober 1949, Pemerintah Rakyat China (CPG) didirikan di Cina, dan, setelah
beberapa negosiasi sangat sulit, Mao Zedong dan Joseph Stalin menandatangani
Perjanjian Sino-Soviet, yang disediakan negara baru dengan bantuan ekonomi dan
militer dari Uni Soviet . Pada saat yang sama, Nasionalis Cina (Guomindang, GMD),
dikalahkan di daratan Cina oleh pasukan militer Komunis Cina, laki-laki dievakuasi
dan sumber daya untuk pulau Taiwan, di mana mereka mendirikan sebuah rezim
baru. Perang saudara China dilanjutkan setelah 1949: Pada tahun 1950 GMD
memblokade pantai China dan mengebom kota-kota seperti Shanghai, dan, dari
pertengahan 1950-an, kekuatan-kekuatan CPG berkala dikupas GMD-pulau
diselenggarakan di lepas pantai Cina. Pada tahun 1950 pemerintah AS, dengan
mengadopsi kebijakan garis keras terhadap penahanan CPG dan dengan
memberikan pemerintah GMD di Taiwan dengan bantuan ekonomi dan militer,
diperkuat keberpihakan perang dingin politik di Asia Timur. Hubungan
internasional di daerah itu tidak bergeser lagi sampai akhir dekade, ketika ada
skisma diplomatik antara Uni Soviet dan Cina.

2. Kebijakan pemerintah Inggris terhadap Komunis Cina membentuk subplot kecil


untuk cerita di atas. Pada Januari 1950 pemerintah Buruh Inggris mengakui strategi
CPG (Pemerintah Rakyat Cina) dan dikejar untuk mengamankan integrasi Cina ke
dalam dunia diplomatik dan komunitas perdagangan. Tujuan dari pemerintah
Buruh Inggris mengadopsi kebijakan ini karena ingin mempertahankan
kepentingan ekonomi Inggris di Asia (termasuk yang di Hong Kong) dan untuk
mencegah aliansi Sino-Soviet dekat – dengan menyediakan Cina dengan dukungan
diplomatik dan ekonomi dari Barat. Pemerintah juga ingin mempertahankan
hubungan diplomatik yang erat dengan bagian-bagian dari Persemakmuran Asia
bersimpati pada kebangkitan komunisme di Cina. Namun demikian, setelah
pecahnya Perang Korea, pemerintah Partai Buruh Inggris, dan dari Oktober 1951
satu Konservatif, kebijakan Inggris secara bertahap disesuaikan terhadap China.

3. Pada tahun 1949 pemerintah Buruh Inggris juga secara terbuka menyatakan
keinginannya untuk mempertahankan dan membela Crown Colony di Hong Kong
untuk menghadapi ancaman tinggi dari daratan Cina. Para CPG bisa dengan mudah
menginvasi wilayah ini, karena memang keadaan militer tidak aman, atau, dengan
menghasut kerusuhan sosial yang bisa membuat pemerintahan kolonial Inggris
secara politik dan finansial unviable. Pada 1951-1952, negara kolonial di Hong
Kong, dipimpin oleh Gubernur Alexander Grantham, dan didukung sepenuhnya
oleh pemerintah Konservatif di London, turun berencana untuk memperkenalkan
demokrasi lebih untuk sistem politik Hong Kong dan ditekan pengaruh komunis di
daerah koloni itu, serikat buruh dan media. Anehnya mengingat ideologi yang anti-
imperialis, CPG menerima kebijakan-kebijakan Inggris terhadap Hong Kong. Para
sejarawan tidak yakin mengapa hal ini terjadi tetapi kebanyakan berspekulasi
bahwa itu karena koloni itu salah satu sumber utama Cina pendapatan devisa.
Selain itu, Hong Kong yang disediakan perusahaan negara perdagangan Cina
dengan akses ke pasar dunia.

4. Adanya pembentukan kelompok-kelompok bisnis, yakni Asosiasi Cina (CA), yang


berbasis di kota London asosiasi ini terdiri dari kepentingan sektor jasa terutama
ekspatriat, adalah terpanjang-berdiri Sino-Inggris kelompok usaha. Itu adalah
sebuah organisasi saudara dari berbagai kamar Inggris commerce di Cina dan Hong
Kong dan juga memiliki hubungan dengan pedagang lainnya yang didominasi ruang
di Inggris seperti Manchester Kamar Dagang, yang memiliki China dan Timur Jauh
Komite Eksekutif, dan London Chamber of Commerce, yang memiliki Bagian Cina.
Dari 1954 Sino-British Council Perdagangan (selanjutnya SBTC) didirikan sebagai
sebuah badan payung yang dibawa bersama-sama oleh pemerintah dalam rangka
bersaing untuk anggota dengan kelompok bisnis ‘anti-kemapanan’. Dalam teori itu
menawarkan bisnis sebuah badan perwakilan yang lebih, sedikit dinodai oleh
asosiasi dengan ‘Tangan Cina Tua’ dari Asosiasi Cina. Fungsi resmi adalah ‘untuk
menyediakan media melalui mana negosiasi dan pertukaran informasi dapat
terjadi, antara perusahaan perdagangan negara China dan organisasi perdagangan
barat di satu pihak, dan industri Inggris dan perdagangan di sisi lain. Itu disponsori
oleh Federasi Industri Inggris, Uni Nasional Produsen, Asosiasi Kamar Dagang
Inggris, London Kamar Dagang dan CA.

5. Adanya perang candu yang meberikan dampak sangat besar terhadap kehidupan
bangsa Cina. Perang candu adalah perang antara Negara Cina dengan Negara-
negara barat. Perang candu ini terjadi dua kali. Perang candu yang pertama (1840-
1842) adalah perang antara Inggris dengan Cina dan perang candu yang kedua
adalah perang antara Cina dengan Inggris dan Prancis. Dalam sejarah Cina, perang
candu merupakan perang besar karena dampak dari perang tersebut
mempengarhui kehidupan bangsa Cina. Perang candu mampu membuka Cina ke
Dunia Internasional. Pada masa sebelum perang candu, Cina mengisolir dirinya
dari dunia luar, kecuali mengadakan hubungan dagang yang sangat terbatas
dengan bangsa asing di Kanton. Terjadinya perang tersebut menyebabkan Cina dan
bangsa asing bersepakat untuk mengadakan perjanjian, namun demikian
perjanjian tersebut lebih menguntungkan pihak asing. Setelah perang candu
masyarakat Cina berangsur-angsur menjadi semi feudal dan semi koloni. Hal
tersebut dikarenakan masuknya kekuatan asing ke Cina sementara pemerintah
dinasti Qing (pemerintahan yang berkuasa saat itu) tidak dapat berbuat banyak
karena harus tunduk pada perjanjian yang telah disepakati. Perjanjian Nanjing
yang ditandatangani pada tanggal 29 Agustus 1842 menjadi perjanjian awal antara
Cina dengan Inggris. Perjanjan tersebut berisi 12 pasal. Tuntunan yang ada pada
perjanjian Nanjing dikaji dengan seksama oleh bangsa asing lainnya. Pada tahun
1843, presiden John Tyler mengirimkan duta besar ke Cina untuk melakuan
perjanjian yang sama seperti inggris, ditambah dengan sejumlah pasal tambahan
yang meliputi kepentingan misionaris Protestan Amerika yang ingin bekerja di
Cina, pembangunan rumah sakit. Pada bulan Oktober 1844, Perancis juga
mengikuti cara Inggris dan Amerika untuk dapat masuk ke Cina, yakni dengan
adanya perjanjian. Berbagai perjanjian tersebut memaksa pemerintahan Cina saat
itu untuk membayar ganti rugi, membuka pelabuhan-pelabuhan dagang, warga
asing doperbolehkan masuk ke daerah pedalaman Cina serta pemberian beberapa
daerah untuk dikuasai asing dan hak-hak istimewa. Pajak yang disepakati dan hak
ekstrateritorial menjadi dua alat agresi ekonomi yang begitu besar. Sementara itu
hak berlayar di perairan domestik, hak berdagang di sepanjang pesisir, hak
membangun pabrik di pelabuhan-pelabuhan, hak membangun jalan kereta api,
hak membangun, hak mencetak dan mengedarkan mata uang, semakin
meningkatkan pengaruh agresi ekonomi mereka yang menyebabkan ekonomi Cina
menderita kerugian besar bahkan sampai pada kondisi ekonomi rakyat yang
terperosok. Dengan memiliki hak-hak istimewa, bangsa asing lebih mudah mencari
keuntungan dari Cina. Imperalis arat membuang barang manufaktur mereka yang
murah ke pasar Cina, hal itulah yang menhancurkan ekonomi alammi Cina yang
berdasarkan pada pertanian individu dan kerajinan tangan. Di samping itu didalam
Cina sendiri terjadi pemberontakan yang disebut pemberontakan Taiping, yang
dilakukan oleh Hong Xiuquan. Hal ini semakin memperburuk pemerintahan Cina.
Seperti itula pengaruh-pengaruh dan dampak-dampak yang diberikan oleh bangsa
barat kepada bangsa Cina, akan tetapi dari pengaruh-pengaruh inilah Cina mampu
menjadi Negara seperti saat ini.

4. Cina modern dan perkembangan cina kekiniaan


China adalah sebuah fenomena menarik dalam dunia modern. Tidak ada yang pernah
mengerti dengan benar negara bangsa dengan peradaban terlama di dunia ini mampu
menggerakkan kemajuan ekonomi mengikuti selurus asas kapitalistik yang dibungkus
dengan sebutan ekonomi pasar sosialis.
Banyak yang masih mencari apa yang menjadi kekuatan penggerak di balik kemajuan yang
berhasil dicapai dalam kurun 30 tahunan, menjadikan China sebagai negara yang sangat
berpengaruh yang mampu melampaui keberhasilan ekonomi dan perdagangan Jepang,
Jerman, Inggris, dan negara maju lain.
Banyak yang percaya kalau Partai Komunis China (PKC) adalah mesin penggerak utama
yang menghasilkan berbagai perubahan, termasuk memperkenalkan asas kapitalistik dan
menjadikan para pedagang dan pengusaha ikut menjadi bagian sebagai anggota PKC. Dan
tema penting adalah bagaimana menempatkan rakyat ke dalam keseluruhan
pembangunan.
Ada empat aksara China yang menjadi inti penting bagaimana kekuasaan China
menempatkan rakyatnya. Empat aksara yang ditulis tangan oleh Mao Zedong ketika
mendirikan RRC dan menjadi simbol (foto atas) adalah ”wei renmin fuwu”. Mengabdi
untuk rakyat. Aksara yang terpampang di mana-mana, termasuk gerbang utama
Zhongnanhai, tempat para pejabat negara bekerja dan tinggal.

Rakyat menjadi tema sentral kekuasaan PKC dan dilema utama yang ingin diselaraskan
sesuai dengan kemajuan yang dicapai adalah bagaimana menempatkan adat istiadat
sesuai dengan konteks kemajuan modernisasi China.

Kapital-sosialisme

China adalah negara dengan catatan peradaban yang panjang dan agama ataupun
kepercayaan di China sekarang ini menjadi isu penting dalam mengisi kemajuan
pembangunan ekonomi dan menempatkan PKC sebagai penggerak dan pelopor
utamanya.
Salah satu fenomena menarik adalah berdirinya patung Konfusius di Lapangan
Tiananmen, lapangan sakral tempat diproklamasikannya RRC. Selama sejarah kekuasaan
komunis, terutama pada masa Revolusi Kebudayaan, penguasa PKC melakukan
pembatuan total pemikiran rakyat China atas ajaran dan kepercayaan yang dianggap
menghambat terbentuknya masyarakat sosialis.
Setelah kemajuan yang dicapai China selama ini, ada persoalan yang dihadapi bagaimana
mengisi kesejahteraan dalam persaingan ekonomi di kalangan rakyat dalam sistem
terbuka. Kehadiran patung perunggu Konghucu di Lapangan Tiananmen, Beijing,
menunjukkan bahwa ada kesadaran para penguasa Beijing perlunya sebuah pegangan
bagi rakyat yang sesuai dengan karakteristik China.
Robert Lawrence Kuhn buku terbarunya How China’s Leader Think: The Inside Story of
China’s Reform and What This Means for the Fuuture (John Wiley & Sons, 2010)
menceritakan bagaimana dilema para pemimpin China antara tingkat kepercayaan dalam
ekonomi pasar dan rasa bisnis yang harus muncul agar tidak terjadi stagnasi dalam
masyarakat.
Ada semacam upaya untuk menggali kembali nilai-nilai tradisional lama yang pernah
menjadikan berbagai kekaisaran China mengalami masa kejayaannya, dan
menggabungkannya dengan berbagai prinsip yang dianut PKC untuk menghasilkan nilai-
nilai yang berkarakteristik China.
China tidak hanya membangun dengan penuh percaya diri tentang sosialisme ala China,
tetapi juga kapitalisme ala China untuk menjadi kapital-sosialisme ala China yang sesuai
dengan budaya, moral, dan etika yang menjadi fondasi masa kejayaan kekaisaran China
yang lalu. Dan ini upaya dilakukan dengan pemisahan yang jelas dan tegas, persoalan
politik yang tidak bisa bercampur dengan masalah kemajuan pembangunan ekonomi.

BAB II: SEJARAH BANGSA JEPANG

1. Sejarah dan peradaban Jepang kuno (Periode Yomon dan Yayoi)

Periode Yomon berlangsung sangat lama. Kehidupan zaman Yomon masih


mengindikasikan manusia primitif yang hidup dengan mengandalkan alam. Manusia
mencari makanan dengan berburu hewan-hewan di hutan dan mengumpulkan makanan,
seperti umbi-umbian, buah-buahan, sayuran, dan lain sebagainya. Manusia Jepang
periode Yomon tinggal di tempat hunian yang Justru memanfaatkan limbah dari hasil
memakan ikan. Duri ikan yang tajam dimanfaatkan sebagai alat untuk mempermudah,
Jepang Dulu dan Sekarang atasnya didirikan Dibangun di atas tanah yang digali dan
Rumah beratap dari kayu.
Hasil kebudayaan periode Yomon Berupa bejana dari tanah liat dan tembikar. Penduduk
Hokaido Dan bagian utara Pulau Honsu yang dikenal dengan nama suku Ainu merupakan
keturunan orang-orang Yomon dan merupakan
Keturunan dari manusia pertama penghuni Jepang. Pekerjaan utama orang-orang Yomon
adalah berburu, memancing, dan mengembara di sepanjang ladang dan gunung untuk
mencari bahan makanan. Cara hidup ini juga dilakukan oleh masyarakat lainnya yang
hidup sezaman. Manusia masih Sangat tergantung dengan alam untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Masyarakat kuno di beberapa negara lain di Asia mereka saat
melakukan perburuan.

Diterapkan di daerah Timur Laut Honshu yang cukup dingin. Semenjak itu, beras menjadi
makanan utama bagi orang Jepang. Tahap awal pengolahan pertanian berupa padi di
sawah ini membuat masyarakat harus hidup menetap. Kemudian muncul sistem kelas
sosial dalam masyarakat yang membedakan antara masyarakat kaya dan masyarakat
miskin. Para pemimpin pedesaan mulai tampil dan terjalinlah hubungan antardesa
sehingga mengakibatkan terbentuknya negara-negara bagian kecil di wilayah Jepang.

Memasuki periode Yayoi, kehidupan masyarakat Jepang sudah menunjukkan


peningkatan. Masa ini lebih singkat jika dibandingkan dengan periode Yomon. Manusia
periode Yayoi tidak sepenuhnya bergantung pada alam. Mereka telah mengetahui cara
membudidayakan tanaman padi yang kelak menjadi makanan utama penduduk Jepang.
Sistem bercocok tanam ini telah mengubah kehidupan food gathering menjadi food
producing. Perkakas rumah tangga yang ditemukan pada periode ini juga beragam. Ada
yang terbuat dari besi dan ada juga yang terbuat dari perunggu. Banyak dugaan
berdasarkan barang-barang temuan yang mengindikasi bahwa masyarakat Yayoi telah
mengadakan kontak dengan masyarakat lain yang tinggal di sekitar Jepang. Kebudayaan
Yayoi yang berkembang sekitar abad ke 3-2 SM perlahan-lahan mulai menyebar ke timur
dari Kyushu Utara ke seluruh Jepang sampai ke Honshu bagian Timur Laut. Masyarakat
Yayoi mulai memproduksi peralatan yang terbuat dari tembaga untuk membantu
pekerjaan praktis dan selanjutnya berkembang menjadi barang-barang berharga serta
simbol kekuasaan. Orang yang memiliki benda-benda lambang budaya dianggap sebagai
orang yang patut dihormati karena hanya orang berkuasalah yang mampu memiliki
barang tersebut. Masyarakat Yayoi mulai menanam padi di sawah. Teknik pertanian yang
diterapkan di daerah tropis yang cukup sulit, tetapi pada masa selanjutnya menjadi umum
di Jepang dan Diterapkan di daerah timur laut honshu yang cukup dingin. Semenjak itu
beras menjadi makanan utama bagi orang Jepang tahap awal pengolahan pertanian
berupa padi di sawah ini membuat masyarakat harus hidup menetap dan muncul sistem
kelas sosial dalam masyarakat yang membedakan antara masyarakat kaya dan
masyarakat miskin. Para pemimpin pedesaan mulai tampil dan terjadinya hubungan antar
desa sehingga mengakibatkan terbentuknya negara-negara bagian kecil wilayah Jepang.

B. Periode Asuka (592-710)


Memasuki periode Asuka muncul tokoh yang paling berpengaruh, yaitu pangeran Shotoku
Taishi. Di masa ini perkembangan agama Buddha sangat pesat. Hubungan eksternal
dengan Cina pun dibangun dengan baik. Pangeran Shotoku mengirim duta-duta ke Cina
untuk mempelajari agama Buddha dan kebudayaan Cina, seperti sistem pemerintahan,
pembangunan kota, dan lain-lain. Meskipun begitu, kepercayaan asli yang dianut oleh
orang Jepang tidak hilang begitu saja. Shinto yang sudah dianut jauh sebelum kedatangan
Buddha, tetap eksis dan berkembang berdampingan bersama dengan mulai tersebarnya
pengaruh agama Buddha di wilayah Jepang atas dukungan pemimpin baru.
Shotoku mendirikan sistem pangkat resmi dan mulai melaksanakan undang-undang dasar
sistem pangkat itu antara lain membeli topi dengan warna tertentu kepada pegawai
pegawai istana menurut jasa masing-masing. Pangkat seseorang menjadi jelas dan
tercipta hierarki resmi. Sistem perekrutan pegawai pemerintahan ngadopsi dari sistem
yang telah diterapkan oleh pemerintahan China hubungan dekatnya dengan pemerintah
China itu sangat mempengaruhi Shotoku dalam membangun kepemimpinannya di
periode Asuka Shotoku ingin mempunyai pegawai pekerjaan yang benar-benar ahli di
bidangnya dan memiliki prestasi yang baik ia tidak merekrut pegawai berdasarkan
keturunan aristokrat ataupun gelar kebangsawanan orang-orang dari kalangan bawah
boleh mendaftarkan diri sebagai pegawai kerajaan asalkan memiliki keterampilan,
kecerdasan, dan kepiawaian yang dibutuhkan untuk membangun sistem pemerintahan
yang kuat. Hal ini juga diterapkan dinasti-dinasti besar yang pernah berkuasa di China .

Setelah shotoku meninggal timbul pemberontakan dari dalam negeri namun serangan
dari luar kawasan Korea lebih membahayakan lagi. Kerajaan Silla yang berhasil
menyatukan seluruh Korea sedang melaksanakan politik perluasan wilayah di sekitar Asia
Timur, Cina di bawah kepemimpinan Dinasti Tang juga melaksanakan politik yang sama
dengan kerajaan Silla hal ini membuat masyarakat Jepang semakin khawatir

Jika Jepang akan menjadi daerah sasaran dua kerajaan besar yang berambisi mencaplok
kawasan Jepang. Pemerintah Jepang akhirnya memutuskan untuk memperbaiki sistem
pemerintahan dengan mengeluarkan Pembaharuan Taika Reformasi Agung).

Kebijakan pemerintah yang tertera dalam pembaharuan Taika diumumkan secara resmi di
Istana Toyosaki yang memuat
Empat pasal, yaitu:
1. Pasal mengatur pengambil alihan sawah-sawah yang digarap kasar dan kelompok-
kelompok berpengaruh dan Pembebasan budak-budak mereka.
2. Pasal 2 merincikan tiga jenis tingkat pemerintahan daerah, yaitu kuni, kori, sato,
dan tiga golongan pejabat, yakni kokushi, gunji, dan richo. Keseluruhan negeri
berada langsung di bawah kendali perintah Kaisar dan memerlukan sistem
pemerintah daerah yang baru.
3. Pasal 3 memperkenalkan tiga komponen dasarnya, yaitu daftar keluarga, sebuah
undang-undang untuk pembagian Tanah, laporan keuangan tahunan, dan pajak
bumi.
4. Pasal 4 mengenai perpajakan yang merupakan peraturan tentang hasil bumi dan
pajak buruh.
3. Shintoisme dan Bushido.
Shinto ( 神 道 Shintō, secara harfiah bermakna “jalan/jalur dewa”) adalah
sebuah agama yang berasal dari Jepang. Dari masa Restorasi Meiji hingga akhir Perang
Dunia II, Shinto adalah agama resmi di Jepang. Shinto sebagai agama asli bangsa Jepang,
agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk
upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang
sangat rumit. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan
dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari
bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para
dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan untuk
pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan
agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam masehi.

Pertumbuhan dan perkembagan agama serta kebudayaan Jepang memang


memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa
negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari
luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh
dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-
tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu
bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang
terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan
kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan
pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama
Shinto, agama asli Jepang.

Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan
“To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti harfiah “jalannya roh”, baik roh-roh
orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan
dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan
langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang
berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat
hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi paham
keagamaan dari Tiongkok. Sedangkan Shintoisme adalah paham yang berbau keagamaan
yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat
religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang
dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran
Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana
agama dari ajaran ini.
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara paham
serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme
dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang
yang telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan paham ini timbul daripada mitos-mitos
yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya
Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal usul timbulnya
negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya paham ini adalah
budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi
kepercayaan animisme, maka paham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama
alamiah. Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang pada abad
keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang.
Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi percampuran
yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama Shinto berada di bawah pengaruh
kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto senantiasa disibukkan oleh usaha-
usaha untuk mempertahankan kelangsungan “hidupnya” sendiri. Pada perkembangan
selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa
Jepang (Shinto) yang akhirnya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat
antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk
mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan
memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama
Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam
upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak
dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal dalam
agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto
lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang
mencolok.
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain tampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa
dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan
Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan
Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal ini
berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi. Setelah abad ketujuh belas timbul lagi
gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor
Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin
membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa
oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya. Pada abad
kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama
negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya.
Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang
mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti
taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.

Kepercayaan agama Shinto


Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara paham serba jiwa (animisme)
dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda
baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-
kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap
memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut
Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”. Istilah
“Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga
apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami”
dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi
bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda
pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.

Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa


bertambah, hal ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno Kami” yang berarti “delapan
miliun dewa”. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut justru
dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti
menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci
dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500
dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah
para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan seperti halnya jumlah angka dengan
bilangannya yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan
keagungan “Kami”. Pengikut-pengikut agama Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi
“Kami negara – no – mishi” yang artinya: tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada
“Kami” daripada benda-benda dan seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada
“Kami” alam raya menimbulkan kepercayaan kepada dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto)
mengakui adanya dewa bumi dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi
adalah Dewi Matahari (Amaterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi
kamakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian.

Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka


juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat
yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam
Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling
berlawanan yakni “Kami” versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana
kepercayaan dualisme dalam agama Zarathustra.

Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan
agama Shinto, yaitu:
Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu
dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara
langsung.
Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam
di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.

Peribadatan agama Shinto


Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi
terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya
adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan
merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae).
Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan pensucian
dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan
mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.

Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja Dewi
Matahari (Amaterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan
serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan
Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.

Matsuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti
ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian sekularisme
berarti festival, perayaan atau hari libur perayaan. Matsuri diadakan di banyak tempat di
Jepang dan pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri
yang diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi
keagamaan. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut
Kunchi. Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan
keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut,
jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit,
keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam
menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang
berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan arwah tokoh terkenal. Makna
upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan
tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama
dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya. Pada
penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi,
Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami
atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi),
Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik
khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan
pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan.

Matsuri
Matsuri berasal dari kata matsuru (menyembah, memuja) yang berarti pemujaan
terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur
dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta
makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang
dilakukan di depan Amano Iwato. Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa
seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk
didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi).
Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di
tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini,
Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan
matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta
umum tidak dibolehkan ikut serta. Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan
penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya.
Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri,
sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius.

Dewi Matahari Shinto disebut Tensho Daijin yang juga dikenal dengan Amaterasu
Omikami. Amaterasu adalah Ratu dari seluruh “Kami”, ia adalah anak dari Izanagi dan
Izanami (Dewa Pencipta dari mitologi Jepang). Keluarga Kekaisaran Jepang mengatakan
bahwa mereka adalah keturunan langsung dari garis keturunan Dewi Amaterasu. Oleh
karena itu maka para Kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan para dewa. Kamus Istilah
dan Konsep Buddhis menyertakan informasi berikut berkaitan dengannya: “Dewi
Matahari yang terdapat dalam mitologi Jepang, yang belakangan diadopsi menjadi
seorang dewa pelindung dalam Buddhisme. Menurut catatan sejarah tertua, Kojiki
(Catatan tentang Hal-hal Kuno) dan Nihon Shoki (Sejarah Negeri Jepang), ia adalah
pemimpin mahkluk gaib dan juga leluhur dari keluarga kerajaan. Dalam banyak
tulisannya, Nichiren Daishonin memandang Tensho Daijin sebagai personifikasi dari
perbuatan-perbuatan yang melindungi kemakmuran orang-orang yang memiliki hati
kepercayaan dalam Hukum Sejati.”

Kitab suci agama Shinto yang paling tua ada dua buah, yang disusun sepuluh abad
sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM) yang merupakan kaisar Jepang yang pertama, yaitu;
Kojiki (Catatan dari hal-hal Kuno) yang mencatat peristiwa-peristiwa purbakala yang
disusun pada 712 M, dan Nihongi (Sejarah Jepang) yang ditulis pada 720 M oleh seorang
pangeran Jepang. Kemudian terdapat dua karya kemudian, yakni Yengishiki (Lembaga-
lembaga pada masa Yengi), dan Manyoshiu yaitu kumpulan dari 10.000 daun adalah karya
utama, tetapi ini tidak dianggap sebagai kitab suci yang diwahyukan.

Tujuan utama dari Shinto adalah mencapai keabadian di antara mahluk-mahluk rohani,
Kami. Kami dipahami oleh penganut Shinto sebagai satu kekuasaan supernatural yang suci
hidup di atau terhubung dengan dunia roh. Agama Shinto sangat animistik, sebagaimana
kebanyakan keyakinan timur, percaya bahwa semua mahluk hidup memiliki satu Kami
dalam hakikatnya. Hakikat manusia adalah yang paling tinggi, karena mereka memiliki
Kami yang paling banyak. Keselamatan adalah hidup dalam jiwa dunia dengan mahluk-
mahluk suci ini, Kami. Jalan Untuk Mencapai Tujuan Dalam Shinto keselamatan dicapai
melalui pentaatan terhadap semua larangan dan penghindaran terhadap orang atau objek
yang mungkin menyebabkan ketidak sucian atau polusi. Persembahyangan dilakukan dan
persembahan dibawa ke kuil untuk para Dewa yang dikatakan ada sejumlah 800 miliar di
alam semesta. Manusia tidak mempunyai Tuhan tertinggi untuk ditaati, tetapi hanya perlu
mengetahui bagaimana menyesuaikan diri dengan Kami dalam berbagai manifestasinya.
Kami seseorang tetap hidup setelah kematian, dan manusia biasanya menginginkan untuk
berharga dan dikenang dengan baik oleh keturunannya. Oleh karena itu, pemenuhan
kewajiban adalah unsur yang paling penting dari Shinto.

Bushido (Kanji: 武士道 “ tatacara ksatria”) adalah sebuah kode etik keksatriaan golongan
Samurai dalam feodalisme Jepang. Bushido berasal dari nilai-nilai moral samurai, paling
sering menekankan beberapa kombinasi dari kesederhanaan, kesetiaan, penguasaan seni
bela diri, dan kehormatan sampai mati.

Bushido berasal dari dua dasar kata, dimana “Bushi” yang berarti kesatria dan “Do” yang
berarti jalan/tata cara/kode etik. Kata “Bushi” dapat di bagi lagi menjadi kata “Bu” yang
berarti untuk menghentikan, dimana definisi dari kata “Bu” ini adalah menghindari
terjadinya kekerasan dan penggunaan senjata. Sementara kata “Shi” yang dapat diartikan
sebagai seseorang yang mempunyai peringkat dengan cara belajar. Namun arti kata
“Bushi” sepertinya untuk memberikan arti “setiap orang yang menjaga kedamaian baik
secara diplomatis maupun dengan penggunaan senjata. Sehingga secara keseluruhan arti
kata “Bushido” dapat berarti suatu jalan atau metode untuk menjaga perdamaian yang
dilakukan secara diplomasi maupun menggunakan senjata.
Sesungguhnya “Bushido” merupakan suatu kombinasi dari berbagai aturan/ajaran dari
berbagai lembaga kesatuan. Bushido sesungguhnya secara mendasar merupakan suatu
mekanisme dari prinsip-prinsip system moral. Mereka yang mendapatkan pelajaran
mengenai prinsip pedoman aturan itu diharapkan dalam melaksanakannya. Bushido
mengikuti sebuah kerangka dasar yang terdiri dari “chi” (kebijaksanaan), “jin” (kebajikan)
dan “yu” (keberanian). Terdapat beberapa sumber untuk pedoman dari Bushido. Sumber
pertama adalah agama budha. Di agama budha terdapat tiga prinsip dasar yaitu rasa
tenang, percaya pada takdir dan penyerahan diri pada penghinaan yang tidak terelakkan
pada pasangan kehidupan yang dekat dengan kematian serta ketabahan dan ketenangan
dalam menghadapi bencana. Zen adalah sumber yang lain dari Bushido. Zen
mengaplikasikan kontemplasi dan berusaha secara konstan untuk mencapai keunggulan
sehingga untuk mencapai tingkat pemikiran yang berada di luar jangkauan ekspresi
verbal. Agama Shinto juga salah satu sumber dari Bushido. Pada ajaran agama Shinto,
menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi sesuatu dengan menghindari perbuatan
dosa/kesalahan. Dijelaskan pulan bahwa “…hati manusia…ketika benar, tenang dan jelas
akan mencerminkan citra keilaihan/ketuhanan”. Konfusius adalah asal kata akhir dari
Bushido. Konfusius mengatakan bahwa terdapat lima hubungan moral yaitu Majikan-
Pelayan, Ayah-Anak, Suami-Istri, Adik-Kakak, dan Teman-Teman. Kombinasi dari semua
aspek tersebut memberikan dasar pada arti kata Bushido.

Dalam dunia modern seperti sekarang ini, Bushido masih sering dipraktekkan. Walaupun
tidak secara utuh pelaksanaannya, saat ini pelaksanaan Bushido hampir mempunyai
kesamaan dengan Bushido yang dipraktekkan sekitar 800 tahun yang lalu.
Aspek pertama dari Bushido adalah Kejujuran, dimana tugas individual untuk berani
menggunakan penilaian secara benar pada penyebab kemuliaan. Biasanya mereka disebut
dengan nama “Gishi” atau seseorang yang jujur dimana telah menguasai seni pelaksanaan
kejujuran. Mereka yang telah menguasai moral kejujuran juga memiliki keberanian.
Aspek berikutnya pada Bushido adalah “Gagah berani”. Gagah berani tidak hanya
diartikan secara fisik tetapi juga melakukan suatu keberanian secara benar, dilakukan
pada saat yang tepat. Siapa saja dapat berada ditengah-tengah pertempuran dan mungkin
dapat terbunuh, hal ini biasanya disebut dengan “kematian yang sia-sia.” Mengutip dari
kalimat pangeran Mito yang menyatakan bahwa “Ini suatu keberanian yang benar pada
hidup dan mati jika dilakukan dilakukan dengan cara yang benar.”
Aspek ketiga dari Bushido adalah Kebajikan. Samurai di ajarkan untuk memiliki “Bushi no
Nasaki”. Bushi berarti “kesatria”, no berarti “dengan” Nasaki berarti “kelembutan” atau
dapat diartikan secara utuh “kelembutan seorang ksatria”. Meskipun ajaran belas kasihan
dianggap sebagai karakteristik yang feminim, para samurai masih menganut ajaran
tersebut. Seorang pangeran dari Shirakawa menjelaskan bahwa Kebajikan yang baik
adalah “ Meskipun mereka mungkin akan melukai perasaan anda, terdapat tiga hal yang
hanya kamu lakukan untuk memaafkan, hembusan angin yang akan memantulkan belas
kasih anda, amarah anda yang dapat anda kendalikan/sembunyikan, dan seseorang yang
berusaha berselisih dengan anda.”
Aspek berikutnya dari Bushido adalah kesopanan. Setiap orang dapat berpura-pura untuk
tulus dan menjadi panutan orang lain tetapi hal ini bukan nilai dari sopan santun itu.
Orang-orang jepang sangat baik karena satu alasan. Hal itu adalah perasaan pada orang
lain. Sopan santun adalah sebuah kelemahan sifat jika dilakukan hanya pada ketakutan
pada saat takut menyinggung perasaan secara baik.
Sikap berikutnya dari Bushido adalah Kebenaran. Berbohong pada samurai biasanya
dianggap sebagai pengecut dan tidak terhormat. Kata seorang samurai biasanya cukup
dari untuk menggambarkan suatu kesepakatan yang pernah dilakukan yang tidak pernah
dilanggar. Mereka yang mempraktekkan Bushido pada saat ini berusaha untuk melakukan
nilai kejujuran.
Aspek berikutnya dari Bushido adalah kehormatan. Kehormatan adalah seperti sebuah
bekas sayatan atau goresan di pohon pada saat itu, bukannya merendahkan dan
membantu untuk memperbesar sayatan itu. Istilah ini merupakan pepatah kuno samurai.
Kehormatan dapat didefinisikan sebagai kesadaran hidup yang bermartabat secara
pribadi dan layak. Kehormatan selalu berjalan beriringan dengan bunuh diri. Seorang
samurai selalu  menempatkan sedemikian tinggi falsafah kehormatan, dan hal itu
biasanya sering menjadi alasan yang cukup untuk mengambil nyawa sendiri.  Seorang
samurai melaksanakan “Seppuku” dan “hara-kiri”. “Seppuku” berarti membunuh diri
sendiri. Sedangkan “Hara-kiri” terdiri dari dua kata, dimana “Hara” dapat berarti perut
dan “kiri” yang berarti membunuh. Nyawa dikatakan berada pada perut, sehingga praktek
yang mengerikan dari penyiksaan diri sendiri menjadi legal.
Aspek berikutnya adalah Loyalitas/Kesetiaan. Konfusius menggarisbawahi bahwa
loyalitas/kesetiaan adalah hal yang sangat penting. Anak-anak yang diajarkan untuk
mengorbankan sesuatu pada pemimpin. Tetapi kesetiaan ini hampir dilupakan sebagai
sesuatu ajaran feudal yang punah. Padahal kesetiaan pada pemimpin adalah sesuatu yang
dapat ditransformasikan ke dalam sifat patriotism pada Negara dan dapat menginspirasi
perasaan nasionalisme.

Lahir dari Neo-Konfusianisme selama masa damai Tokugawa dan mengikuti teks
Konfusianisme, Bushido juga dipengaruhi oleh Shinto dan Buddhisme Zen, yang
memungkinkan adanya kekerasan dari samurai yang ditempa dengan kebijaksanaan dan
ketenangan.

Samurai sendiri adalah sebuah strata sosial penting dalam tatanan masyarakat feodalisme
Jepang. Secara resmi, Bushido dikumandangkan dalam bentuk etika sejak zaman Shogun
Tokugawa. Biasanya para samurai dan Shogun rela mempartaruhkan nyawa demi itu, Jika
gagal, ia akan melakukan seppuku (harakiri). Bushido sudah dilakukan pada saat Perang
Dunia II, yaitu menjadi prajurit berani mati.

Kode Bushido ditandai dengan tujuh kebajikan:

 Kesungguhan (义 gi)
 Keberanian (勇 yu)
 Kebajikan (仁 jin)
 Penghargaan (礼 rei)
 Kejujuran (诚 makoto)
 Kehormatan (名誉 meiyo)
 Kesetiaan (忠义 chūgi)

Kebajikan terkait

 Kesalehan (孝 ko)
 Kebijaksanaan (智 chi)
 Merawat orang tua (悌 tei)

Tokoh yang terkait dengan Bushido:

 Asano Naganori
 Imagawa Ryōshun
 Kato Kiyomasa
 Sakanoue no Tamuramaro
 Tadakatsu Honda
 Tokugawa Ieyasu
 Torii Mototada
 Sasaki Kojiro, lawan utama dari Musashi Miyamoto
 Yamaga Soko
 Yamamoto Tsunetomo
 Yamaoka Tesshu
 Kazu Kim
 Yukio Mishima, pengarang Jepang yang mati dengan cara seppuku

4. Masuk dan berkembangnya konfusianisme di Jepang

Kong Hu Cu atau Konfusius, terkadang sering hanya disebut Kongcu (Hanzi: 孔夫子、孔子,
hanyu pinyin: Kongfuzi、Kongzi) (551 SM – 479 SM) adalah seorang guru atau orang bijak
yang terkenal dan juga filsuf sosial Tiongkok. Filsafahnya mementingkan moralitas pribadi
dan pemerintahan, dan menjadi populer karena asasnya yang kuat pada sifat-sifat
tradisonal Tionghoa. Oleh para pemeluk agama Kong Hu Cu, ia diakui sebagai nabi.
Konfusianisme adalah kemanusiaan, suatu filsafat atau sikap yang berhubungan dengan
kemanusiaan, tujuan dan keinginannya, daripada sesuatu yang bersifat abstrak dan
masalah teologi. Dalam Konfusianisme manusia adalah pusat daripada dunia: manusia
tidak dapat hidup sendirian, melainkan hidup bersama-sama dengan manusia yang lain.
Bagi umat manusia, tujuan akhirnya adalah kebahagiaan individu. Kondisi yang diperlukan
untuk mencapai kebahagiaan adalah melalui perdamaian. Untuk mencapai perdamaian ,
Khonghucu (Confucius) menemukan hubungan antar manusia yang meliputi Lima
hubungan (Ngo Lun) berdasarkan Cintakasih dan Kewajiban. Khonghucu berbicara, hidup
dan mendambakan dimana ada kebahagiaan di dunia ini, kebaikan dan perdamaian yang
akan menggantikan kesengsaraan, kejahatan, dan peperangan.

Lima Sifat Kekekalan (Wu Chang):

 仁 Ren – Cintakasih
 義 Yi – Kebenaran/Keadilan/Kewajiban
 理 Li – Kesusilaan, Kepantasan
 Zhi – Bijaksana
 信 Xin – Dapat dipercaya

Lima Hubungan Sosial (Wu Lun):

 Hubungan antara Pimpinan dan Bawahan


 Hubungan antara Suami dan Isteri
 Hubungan antara Orang tua dan anak
 Hubungan antara Kakak dan Adik
 Hubungan antara senior dan Junior

Sejarah Konfusius di Jepang


Kon Fu Tse memasuki Jepang dengan gelombang besar pertama pengaruh Cina antara
abad ke-6 dan ke-9, tapi agama Kon Fu Tse tampaknya dikalahkan oleh agama Budha,
sampai timbulnya sistem Tokugawa yang terpusat dalam abad ke-17 membuatnya
kelihatan lebih relevan dari pada sebelumnya. Konfusianisme adalah sebuah agama
disamping sebuah filsafat moral. Namun setelah masuk ke Jepang, Unsur-unsur
keagamaannya menjadi semakin lemah, dan yang dapat hidup terus hanya aspek
sekulernya seperti filsafat etikanya yang berhubungan dengan hubungan antar manusia
dan pemerintah dari suatu negara. Selain itu sampai pada masa Restorasi Meiji,
Konfusianisme kebanyakan hanya dipelajari oleh golongan elit samurai saja. Sejak
masuknya Konfusianisme menjadi dasar kepercayaan Jepang, para samurai mulai
meninggalkan pedangnya dan mengajar di sekolah-sekolah, dan juga sejak Restorasi
Meiji. Konfusianisme menekankan bahwa proses belajar akan memberikan kebahagiaan.
Konfusius juga mengajari pengikutnya untuk banyak membaca. Melalui sistem pendidikan
yang efektif, nilai-nilai ini tertanam kuat dalam masyarakat Jepang.

Perbedaan Konfusius di Cina dengan di Jepang


Konfusius di Cina merupakan suatu agama, disamping sebuah pemikiran filsafsat moral
yang dipusatkan pada ajaran tentang etika, ajaran tentang hubungan masyarakat dimana
mereka harus menjaga hubungan antar sesama manusia dengan tujuan menjaga
keharmonisan kehidupan.

Sedangkan konfusius di Jepang, mengalami perbeda konsep dengan konfusius yang ada di
Cina. Hal ini dikarenakan karakteristik masyarakat di Jepang yang tidak terlalu
menganggap bahwa agama adalah sesuatu yang spesial. Sebagai contoh, orang Jepang
akan menyembah dewa-dewa dari agama yang berbeda tanpa adanya perasaan yang
menyimpang atau bertentangan. Ataupun seorang pendeta dari suatu agama
diperbolehkan memimpin upacara keagamaan dari agama lain. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa konsep konfusius di Cina yang dianggap sebagai suatu agama, ketika
masuk ke Jepang berubah, karena unsur keagamaannya yang berkurang dan yang lebih
menonjol adalah aspek sekuler dari konfusius, yaitu dasar pemikiran etika hubungan
antar manusia.

Konfusius di Jepang
Saat Jepang pertama kali menerima istilah agama pada akhir tahun 1850, mereka
mengalami kesulitan dalam memahami arti agama tersebut. Karena dalam kehidupan
mereka, tidak ada istilah agama. Mereka hanya mengenal istilah shū 宗 (sekte), kyō 教
(ajaran), dan ha 派 (sub-sect or faction), untuk mengistilahkan Budha, Kon Hu Chu,
Taoism, Kristen, dan sebagainya.

Untuk sementara waktu, pada masa itu agama dianggap sebagai suatu bentuk doktrin
atau sekte. Sehingga, masyarakat Jepang menetapkan istilah shū kyō 宗 教 sebagai
sebutan untuk agama.

Di Cina terdapat tiga ajaran yang mengacu pada ajaran Kon Hu Chu, Taoisme, dan Budha.
Pada ketiga pemikiran ajaran tersebut, menggambarkan tiga tokoh besar sebagai
pembawa ajaran. Dalam pemikiran Jepang ketiga ajaran tersebut sama halnya, namun
ajaran agama Taoisme berubah menjadi ajaran Shinto. Karena ajaran Taoisme
memusatkan keyakinan pada hal-hal gaib yang ada di alam. Sehingga ajaran tersebut
tidak dapat menyaingi ajaran Shinto yang telah mendarah daging dalam kehidupan
masyarakat Jepang. Dan, orang Jepang makin banyak yang berpaling kepada ajaran
Konfusius yang lebih condong pada dunia fana, sebuah filsafat yang berbicara tentang
dimensi sosial kehidupan manusia.

Dalam filsafat tersebut, terdapat beberapa mazhab (aliran), salah satu yang ada kaitannya
di Cina bernama Wang Yang-ming (1472-1529), yang mengajarkan pengembangan
kepribadian bermoral dan memperkokoh etika terhadap orang lain sesuai dengan
keadilan dan kepedulian kepada orang lain. Selain itu, mazhab Neo-Konfusius, yang
dikembangkan oleh Chun Hsi pada dinasti Sung (1130-1200), dengan pemikiran
menciptakan dan memelihara masyarakat yang tertib. Kedua mazhab ini berpengaruh di
Jepang pada abad XVII. Ajaran Neo-Konfusis merupakan ajaran untuk dunia fana,
sehingga memiliki daya tarik lebih besar dibandingkan dengan ajaran Budha.

Dalam masa 200 tahun antara tahun 1608 dan abad XIX, pemikiran Konfusius ddi Jepang
berkembang menjadi bermacam ragam. Diantaranya kelompok Kumazawa Banzan (1619-
1691), menempatkan moral di atas kepentingan negara. Kelompok lain, Ogyu Sorai (1666-
1728), ia menolak pemikiran tindakan penguasa harus didasarkan pada filsafat moral,
melihat Shogun sebagai penguasa mutlak yang didukung oleh pejabat bukan faktor
keturunan. Dengan demikian, Ogyu membandingkan kedudukan Shogun dengan
kedudukan raja-raja di Cina. Namun, Ogyu mengalami dua kesulitan, yaitu pertama,
Jepang memilikii raja yang kedudukannya lebih tinggi dari Shogun, kedua, pejabat
pemerintah pusat Jepang adalah Samurai, yang dipilih oleh Shogun berdasarkan status
sosial mereka.oleh sebab itu, situasi Jepang tidak sepenuhnya sesuai dengan kategori
yang ada dalam ajaran Konfusius. Seorang cendekiawan, Arai Hakuseki (1657-1725), ia
menerapkan ajaran Konfusius mengenai pemerintahan yang baik sebagai tolak ukur yang
ada pada teori Cina mengenai pemberontakan. Sedangkan Yamaga Soko (1622-1685),
berpendapat mengenai penyelarasan peranan Samurai dengan doktrin Konfusius dengan
etika yang menuntut hidup hemat, disiplin diri, dan mau berkorban dalam menjalankan
kewajibannya. Ia menambahkan teladan moral, dengan demikian ia membawa etika
Konfusiuske lapisan masyarakat lebih rendah.

Konfusianisme di Jepang walaupun memiliki perbedaan, tetapi segala ajaran dan


tujuannya tetap sama dengan ajaran konfusianisme di Cina, yaitu tujuannya untuk
kesejahteraan kehidupan antar manusia. Kata-kata diatas membentuk suatu kalimat yang
memiliki suatu makna yang terdapat pada ajaran konfusius :

” Baik atau buruknya suatu takdir yang telah diterima, jika kau tidak menginginnya
janganlah kun limpahkan kepada orang lain ”.

5. Masuk dan berkembangnya agama Buddha di Jepang


Awal mulanya, Budha tidaklah dianggap sebagai kepercayaan namun setelah beberapa
waktu, Siddhartha Gautama yang mendirikan keyakinan Budha yang juga disebut sebagai
“Buddha,” menjadi subjek kepercayaan, bersama dengan dewa – dewa penganut agama
Budha yang lain. Seringkali dikatakan bahwa orang Jepang tidak memiliki agama, namun
pada saat pemakaman biasanya diadakan di wihara, yang mana tentu saja merupakan
fasilitas penganut agama Budha. Demikian, keyakinan Budha sudah berurat akar di Jepang
dalam kehidupan sehari – hari.

Aliran Budha sendiri didirikan antara abad ke – 4 dan ke – 6 SE oleh Siddharta Gautama,
atau Gautama Buddha. Ajaran ini mencapai Jepang sekitar abad ke – 6 SE. Pada saat itu,
Jepang telah memiliki adat kebiasaan dan keyakinannya sendiri : Shinto. Aliran Budha
memiliki awal yang bergejolak di Jepang dan banyak permasalahan dalam membangun
dirinya sendiri, namun pada saat Kaisar Suiko menaiki tahta pada tahun 592 setelah
mengambil sumpah menjadi biksuni Budha, terjadilah suatu perubahan.

Dia diikuti oleh figur yang sangat penting dalam sejarah aliran Budha Jepang : Pangeran
Shotoku. Selama masa kepemimpinannya, ia menugaskan banyak sekali wihara penganut
agama Budha di seberang negeri, yang paling terkenal menjadi Shintenno-ji di Osaka dan
Horyu-ji di Prefektur Nara. Terlepas dari pengaruh besarnya dalam menerima, mengajar,
dan menyebarkan aliran Budha, berbagai mitos dan legenda mengenai dirinya
mengumpulkan para pengikut di antara orang – orang awam. Dia mengatakan bahwa
dirinya telah bertemu dengan Daruma, pendiri Budha Zen, dan legenda lain mengatakan
bahwa dirinya merupakan reinkanarsi dari Kannon, seorang Bodhisattva belas kasihan.

Sebagai ajaran baru dalam aliran Budha yang muncul dari abad ke – 8 dan ke – 9 ke
depan, agama ini mulai beralih dari ajaran naskah menjadi lebih ke praktek keyakinan,
dan kaitan antara aliran Budha dan agama asli Jepang, Shinto, mulai berkembang. Lebih
dari berabad – abad, dua agama ini berkembang semakin dekat dan menemukan landasan
filosopi umum, dan keduanya menjadi bagian dari kehidupan sehari – hari. Biksuni Budha
mulai membangun wihara di sebelah kuil Shinto, membuat tempat bagi para jamaah yang
disebut “jingu-ji”, atau kuil wihara. Sebuah “chozuya”, merupakan paviliun air suci Shinto
yang digunakan oleh para jamaah untuk membersihkan diri mereka sebelum memasuki
halaman utama sacral, yang mulai muncul pada wihara Budha, sementara seeekor
“komainu”, anjing – singa yang merupakan penjaga aliran Budha, mulai digunakan di kuil
Shinto dengan baik.

Buddhisme Jepang menghadapi krisis sebenarnya dengan kejatuhan Shogunate yang


pernah ada sejak tahun 1603, saat pasukan revolusioner kembali menempati Kekaisaran
sebagai aturan Jepang selama Restorasi Meiji pada tahun 1868. Pemerintah nasional
mulai melaksanakan kebijakan pemisahan, menamai Shinto sebagai agama negara,
seperti keyakinan asli orang Jepang, dan aliran Budha sebuah keyakinan “asing” yang
datang dari luar negeri. Pada awal masa radikal ini, Pemerintah Meiji menetapkan
“Perintah Pemisahan Kami dan Budha.” Hukum ini berarti bahwa Shinto dan aliran Budha
seharusnya dipisahkan secara ketat satu sama lain, dalam teori maupun dalam hal
praktek, mempengaruhi sebagian besar fungsi kuil – wihara yang tadinya digunakan
bersama-sama oleh Shinto maupun Budha. Perintah ini menghasilkan gerakan tegas
melawan aliran Budha yang disebut “haibutsu kishaku,” atau penghapusan aliran Budha.

Sebagian besar mayoritas populasi pemuda Jepang tidak akan mempertimbangkan diri
mereka sendiri terutama dalam memilih agama, meskipun pada beberapa acara special
dan banyak aktivitas dari hari ke hari memiliki akar yang jelas pada dua aliran Budha dan
Shinto. Arus aliran Budha seringkali dikaitkan dengan kematian dan pemakaman,
sementara Shinto dikaitkan dengan acara – acara seperti pernikahan dan
perayaan.Beberapa rumah di Jepang seringkali memiliki altar kecil Budha yang disebut
“butsudan” atau berupa kuil Shinto disebut “kamidana”, yang mana untuk melindungi
keluarga dan rumah, dan pada waktu pelayananan sebagai altar peringatan untuk
anggota keluarga yang sudah meninggal.

6. Jepang pada masa keshogunan dan peran shogun shogun berpengaruh

Shogun (将軍 Shōgun) adalah istilah bahasa Jepang yang berarti jenderal. Dalam konteks


sejarah Jepang, bila disebut pejabat shogun maka yang dimaksudkan adalah Sei-i
Taishōgun ( 征 夷 大 将 軍 ) yang berarti Panglima Tertinggi Pasukan Ekspedisi melawan
Orang Biadab (istilah “Taishōgun” berarti panglima angkatan bersenjata). Sei-i Taishōgun
merupakan salah satu jabatan jenderal yang dibuat di luar sistem Taihō Ritsuryō. Jabatan
Sei-i Taishōgun dihapus sejak Restorasi Meiji. Walaupun demikian, dalam bahasa Jepang,
istilah shōgun yang berarti jenderal dalam kemiliteran tetap digunakan hingga sekarang.
Sejak zaman Nara hingga zaman Heian, jenderal yang dikirim untuk menaklukkan wilayah
bagian timur Jepang disebut Sei-i Taishōgun, disingkat shogun. Jabatan yang lebih rendah
dari Sei-i Taishōgun disebut Seiteki Taishōgun ( 征狄大将軍 panglima penaklukan orang
barbar) dan Seisei Taishōgun ( 征西大将軍 panglima penaklukan wilayah barat). Gelar Sei-
i Taishōgun diberikan kepada panglima keshogunan (bakufu) sejak zaman Kamakura
hingga zaman Edo. Shogun adalah juga pejabat Tōryō (kepala klan samurai) yang
didapatkannya berdasarkan garis keturunan.

Pejabat shogun diangkat dengan perintah kaisar, dan dalam praktiknya berperan sebagai
kepala pemerintahan(Seperti Perdana Menteri) walaupun Negara asing mengganggap
shogun sebagai “raja Jepang”, tetapi secara resmi shogun diperintah dari istana kaisar,
dan bukan penguasa yang sesungguhnya. Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan
Kaisar Jepang.

Kata “Sei-i” dalam Sei-i Taishōgun berarti penaklukan suku Emishi yang tinggal di wilayah
timur Jepang. Suku Emishi dinyatakan sebagai orang barbar oleh orang Jepang zaman
dulu. Sei-i Taishōgun memimpin pasukan penyerang dari arah pesisir Samudra Pasifik, dan
di bawah komandonya terdapat Seiteki Taishōgun yang memimpin pasukan penyerang
dari arah pesisir Laut Jepang. Selain itu dikenal Seisei Taishōgun yang memimpin pasukan
penakluk wilayah Kyushu di bagian barat Jepang.

Dalam perkembangannya, istilah “Sei-i” (penaklukan suku Emishi) diganti pada zaman
Hōki menjadi “Sei-tō” (penaklukan wilayah Timur). Namun istilah “penaklukan suku
Emishi” (Sei-i) kembali digunakan sejak tahun 793. Istilah “Sei-i Shōgun” (jenderal
penaklukan suku Emishi) mulai dipakai dalam dokumen resmi sejak tahun 720 (Yōrō tahun
4 bulan 9 hari 29) ketika Tajihi Agatamori diangkat sebagai Sei-i Shōgun.   Istilah “Sei-tō
Shōgun” (jenderal penaklukan wilayah timur) mulai dipakai sejak tahun 788 seperti
catatan sejarah yang ditulis Ki no Kosami (730-797) yang ikut serta dalam ekspedisi ke
wilayah timur.

Pada tahun 790, Ōtomo no Otomaro ditugaskan sebagai Sei-tō Taishi (Duta Besar
Penaklukan Wilayah Timur). Dua tahun kemudian, nama jabatan tersebut diganti menjadi
Sei-i Shi ( 征 夷 使 , Duta Penaklukan Wilayah Timur), atau bisa juga disebut Sei-i Shōgun
(Jenderal Penaklukan Wilayah Timur).

Sakanoue no Tamuramaro diangkat sebagai Sei-i Taishōgun pada tahun 797 setelah
sebelumnya menjabat Wakil Duta Penaklukan Wilayah Timur sekaligus Wakil Duta
Penaklukan Suku Emishi di bawah komando Ōtomo no Otomaro. Pemimpin Emishi
bernama Aterei yang bertempur pantang menyerah akhirnya berhasil ditangkap oleh
Tamuramaro dan dibawa ke ibu kota, sedangkan selebihnya berhasil ditaklukkan. Pada
praktiknya, Sakanoue no Tamuramaro adalah Sei-i Taishōgun yang pertama atas jasanya
menaklukkan suku Emishi.

Selanjutnya dalam rangka peperangan melawan Emishi, Funya no Watamaro diangkat


sebagai Sei-i Shogun (Jenderal Penaklukan Suku Emishi) pada tahun 811. Perang
dinyatakan berakhir pada tahun yang sama, dan wakil shogun bernama Mononobe no
Taritsugu naik pangkat sebagai Chinju Shōgun. Istilah “chinjufu” berarti pangkalan militer
yang terletak di Provinsi Mutsu. Setelah itu, jabatan Sei-i Shōgun kembali dipulihkan sejak
tahun 814.
Minamoto no Yoritomo memulai karier militer sebagai Tōryō (kepala klan Minamoto) di
wilayah Kanto. Jabatan kepala klan bukan merupakan jabatan resmi di bawah sistem
hukum Ritsuryō, dan kedudukan Yoritomo tidak jauh berbeda dengan Taira no Masakado
atau pemimpin pemberontak lain di daerah.

Pada tahun 1190, Yoritomo diangkat sebagai jenderal pengawal kaisar (Ukone no Taishō)
yang merupakan posisi resmi dalam pemerintahan. Jabatan sebagai jenderal pengawal
kaisar mengharuskannya tinggal di ibu kota Kyoto. Jabatan ini tidak sesuai bagi Yoritomo
yang berambisi menguasai secara total wilayah Kanto. Yoritomo mengundurkan diri dari
jabatan jenderal pengawal kaisar, tetapi tetap mempertahankan hak istimewa sebagai
mantan jenderal tertinggi (Sakino-u Taishō).

Setelah mantan Kaisar Go-Shirakawa mangkat, Minamoto Yoritomo diangkat sebagai Sei-i
Taishōgun pada tanggal 21 Agustus 1192. Pemerintahan militer yang didirikan Yoritomo di
Kamakura dikenal sebagai Keshogunan Kamakura.

Keshogunan Tokugawa ( 徳川幕府 Tokugawa bakufu, 1603—1868) atau Keshogunan Edo


(Edo bakufu) adalah pemerintahan diktator militer feodalisme di Jepang yang didirikan
oleh Tokugawa Ieyasu dan secara turun temurun dipimpin oleh shogun keluarga
Tokugawa. Dalam periode historis Jepang, masa pemerintahan Keshogunan Tokugawa
disebut zaman Edo, karena ibu kota terletak di Edo yang sekarang disebut Tokyo.
Keshogunan Tokugawa memerintah dari Istana Edo hingga Restorasi Meiji. Keshogunan
Tokugawa adalah pemerintahan diktator militer ketiga dan terakhir di Jepang setelah
Keshogunan Kamakura dan Keshogunan Muromachi. Keshogunan Tokugawa dimulai pada
tanggal 24 Maret 1603 dengan pengangkatan Tokugawa Ieyasu sebagai Sei-i Taishōgun (征
夷 大 将 軍 ) yang berarti Panglima Tertinggi Pasukan Ekspedisi melawan Orang Biadab
(istilah “Taishōgun” berarti panglima angkatan bersenjata) dan berakhir ketika Tokugawa
Yoshinobu mengembalikan kekuasaan ke tangan kaisar (Taisei Hōkan) pada 9 November
1867.

Pemerintahan keshogunan Tokugawa selama 264 tahun disebut sebagai zaman Edo atau
zaman Tokugawa. Periode terakhir Keshogunan Tokugawa yang diwarnai dengan
maraknya gerakan untuk menggulingkan keshogunan Tokugawa dikenal dengan sebutan
Bakumatsu.

Oda Nobunaga dan penerusnya Toyotomi Hideyoshi merupakan pemimpin Jepang di


zaman Azuchi Momoyama yang berhasil mendirikan pemerintah pusat setelah berhasil
mempersatukan provinsi-provinsi di zaman Sengoku. Setelah Pertempuran Sekigahara
pada tahun 1600, kekuasaan pemerintah pusat direbut oleh Tokugawa Ieyasu yang
menyelesaikan proses pengambilalihan kekuasaan dan mendapat gelar Sei-i Taishōgun
pada tahun 1603. Tokugawa Ieyasu sebetulnya tidak memenuhi syarat sebagai shogun
karena bukan keturunan klan Minamoto. Agar syarat utama menjadi shogun terpenuhi,
Ieyasu memalsukan garis keturunannya menjadi keturunan klan Minamoto agar bisa
diangkat menjadi shogun. Keturunan Ieyasu secara turun-temurun menjadi shogun dan
kepala pemerintahan sampai terjadinya Restorasi Meiji.

Pada masa Keshogunan Tokugawa, rakyat Jepang dibagi-bagi menurut sistem kelas
berdasarkan pembagian kelas yang diciptakan Toyotomi Hideyoshi. Kelas samurai berada
di hierarki paling atas, diikuti petani, pengrajin dan pedagang. Pemberontakan sering
terjadi akibat pembagian sistem kelas yang kaku dan tidak memungkinkan orang untuk
berpindah kelas. Pajak yang dikenakan terhadap petani selalu berjumlah tetap dengan
tidak memperhitungkan inflasi. Samurai yang menguasai tanah harus menanggung
akibatnya, karena jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan semakin hari nilainya semakin
berkurang. Perselisihan soal pajak sering menyulut pertikaian antara petani kaya dan
kalangan samurai yang terhormat tetapi kurang makmur. Pertikaian sering memicu
kerusuhan lokal hingga pemberontakan berskala besar yang umumnya dapat segera
dipadamkan. Kelompok anti keshogunan Tokugawa justru semakin bertambah kuat
setelah keshogunan Tokugawa mengambil kebijakan untuk bersekutu dengan kekuatan
asing.

Setelah kalah dalam Perang Boshin yang berpuncak pada Restorasi Meiji, keshogunan
Tokugawa berhasil ditumbangkan persekutuan kaisar dengan sejumlah daimyo yang
berpengaruh. Keshogunan Tokugawa secara resmi berakhir setelah shogun Tokugawa ke-
15 yang bernama Tokugawa Yoshinobu mundur dan kekuasaan dikembalikan ke tangan
kaisar (Taisei Hōkan). Sistem politik feodal Jepang pada zaman Edo disebut Bakuhan Taisei
( 幕 藩 体 制 ), baku dalam “bakuhan” berarti “tenda” yang merupakan singkatan dari
bakufu (pemerintah militer atau keshogunan). Dalam sistem Bakuhan taisei, daimyo
menguasai daerah-daerah yang disebut han dan membagi-bagikan tanah kepada
pengikutnya. Sebagai imbalannya, pengikut daimyo berjanji untuk setia dan mendukung
daimyo secara militer.

Kekuasaan pemerintah pusat berada di tangan shogun di Edo dan daimyo ditunjuk
sebagai kepala pemerintahan di daerah. Daimyo memimpin provinsi sebagai wilayah
berdaulat dan berhak menentukan sendiri sistem pemerintahan, sistem perpajakan, dan
kebijakan dalam negeri. Sebagai imbalannya, daimyo wajib setia kepada shogun yang
memegang kendali hubungan internasional dan keamanan dalam negeri. Shogun juga
memiliki banyak provinsi dan berperan sebagai daimyo di provinsi yang dikuasainya.
Keturunan keluarga Tokugawa disebar sebagai daimyo di seluruh pelosok Jepang untuk
mengawasi daimyo lain agar tetap setia dan tidak bersekongkol melawan shogun.

Keshogunan Tokogawa berhak menyita, menganeksasi, atau memindahtangankan


wilayah di antara para daimyo. Sistem Sankin Kotai mewajibkan daimyo bertugas secara
bergiliran mendampingi shogun menjalankan fungsi pemerintahan di Edo. Daimyo harus
memiliki rumah kediaman sebagai tempat tinggal kedua sewaktu bertugas di Edo.
Anggota keluarga daimyo harus tetap tinggal di Edo sebagai penjaga rumah sewaktu
daimyo sedang pulang ke daerah, sekaligus sebagai sandera kalau daimyo bertindak di
luar keinginan shogun.

Daimyo dari keturunan klan Tokugawa dan daimyo yang secara turun temurun
merupakan pengikut setia klan Tokugawa disebut Fudai Daimyo. Sedangkan daimyo yang
baru setia kepada klan Tokugawa setelah bertekuk lutut dalam Pertempuran Sekigahara
disebut Tozama Daimyo. Golongan yang selalu mendapat perlakuan khusus disebut
Shimpan Daimyo, karena berasal tiga percabangan keluarga inti Tokugawa yang disebut
Tokugawa Gosankei (Tiga keluarga terhormat Tokugawa) yang masing-masing dipimpin
oleh putra Tokugawa Ieyasu:

Tokugawa Yoshinao, penguasa han Owari generasi pertama


Tokugawa Yorinobu, penguasa han Kishū generasi pertama
Tokugawa Yorifusa, penguasa han Mito generasi pertama.
Lambang keluarga Tokugawa berupa Mitsuba Aoi (tiga helai daun Aoi) hanya boleh
digunakan garis keturunan utama keluarga Tokugawa dan Tokugawa Gosankei. Putra-
putra lain Tokugawa Ieyasu hanya diberi nama keluarga Matsuidara dan tidak
mendapatkan nama keluarga Tokugawa.

Di awal zaman Edo, keshogunan Tokugawa sangat kuatir terhadap Tozama Daimyo yang
dianggap memiliki kesetiaan yang tipis terhadap klan Tokugawa. Berbagai macam strategi
dirancang agar Tozama Daimyo tidak memberontak. Sanak keluarga klan Tokugawa sering
dikawinkan dengan Tozama Daimyo, walaupun sebenarnya tujuan akhir keshogunan
Tokugawa adalah memberantas habis semua Tozama Daimyo. Keshogunan Tokugawa
justru akhirnya berhasil ditumbangkan Tozama Daimyo dari Satsuma, Choshu, Tosa, dan
Hizen.

Keshogunan Tokugawa memiliki sekitar 250 wilayah han yang jumlahnya turun naik sesuai
keadaan politik. Peringkat wilayah han ditentukan pemerintah berdasarkan total
penghasilan daerah dalam setahun berdasarkan unit koku. Penghasilan minimal yang
ditetapkan shogun untuk seorang daimyo adalah 10.000 koku. Daimyo yang memegang
wilayah makmur dan berpengaruh mempunyai penghasilan sekitar 1 juta koku.

Hubungan shogun dan kaisar.


Keshogunan Tokugawa menjalankan pemerintah pusat dari Edo, sedangkan penguasa sah
Jepang dipegang kaisar Jepang yang berkedudukan di Kyoto. Kebijakan pemerintahan
dikeluarkan istana kaisar di Kyoto dan diteruskan kepada klan Tokugawa. Sistem ini
berlangsung sampai kekuasaan pemerintah dikembalikan kepada kaisar pada zaman
Restorasi Meiji.

Keshogunan Tokugawa menugaskan perwakilan tetap di Kyoto yang disebut Kyōto


Shoshidai untuk berhubungan dengan kaisar, keluarga kaisar dan kalangan bangsawan.

Keshogunan Tokugawa mengeruk keuntungan besar dari monopoli perdagangan luar


negeri dan hubungan internasional. Perdagangan dengan kapal asing dalam jumlah
terbatas hanya diizinkan di Provinsi Satsuma dan daerah khusus Tsushima. Kapal-kapal
Namban dari Portugal merupakan mitra dagang utama keshogunan Tokugawa yang diikuti
jejaknya oleh kapal-kapal Belanda, Inggris dan Spanyol.

Jepang berperan aktif dalam perdagangan luar negeri sejak tahun 1600. Pada tahun 1615,
misi dagang dan kedutaan besar di bawah pimpinan Hasekura Tsunenaga melintasi
Samudra Pasifik ke Nueva Espana dengan menggunakan kapal perang Jepang bernama
San Juan Bautista. Sampai dikeluarkannya kebijakan Sakoku pada tahun 1635, shogun
masih mengeluarkan izin bagi kapal-kapal Shuisen (Kapal Segel Merah) yang ingin
berdagang dengan Asia. Setelah itu, perdagangan hanya diizinkan dengan kapal-kapal
yang datang Tiongkok dan Belanda.

Rōjū dan Wakadoshiyori

Menteri senior (rōjū) diangkat dari anggota keshogunan yang paling senior dan bertugas
sebagai pengawas ōmetsuke, machibugyō, ongokubugyō dan pejabat-pejabat tinggi lain.
Tugas lain menteri senior adalah berhubungan dengan berbagai kalangan, seperti istana
kaisar di Kyoto, kalangan bangsawan (kuge), daimyo, kuil Buddha dan Jinja, termasuk
menghadiri berbagai macam rapat seperti rapat pembagian daerah. Keshogunan
Tokugawa memiliki 4-5 menteri senior yang masing-masing bertugas sebulan penuh
secara bergantian. Shogun meminta pertimbangan menteri senior jika ada persoalan
penting yang harus diselesaikan. Pada perombakan birokrasi pada tahun 1867, posisi
menteri senior dihapus dan diganti dengan sistem kabinet, sehingga ada menteri dalam
negeri, menteri keuangan, menteri luar negeri, menteri angkatan darat dan menteri
angkatan laut.

Pada prinsipnya, Fudai Daimyo yang memiliki wilayah kekuasaan minimal 50.000 koku
memenuhi persyaratan untuk ditunjuk sebagai menteri senior. Walaupun demikian,
pejabat menteri senior sering berasal dari birokrat yang dekat dengan shogun, seperti
pejabat soba yōnin, Kyoto shoshidai dan Osaka jōdai.

Shogun kadang kala menunjuk seorang menteri senior untuk mengisi posisi Tairō (tetua
atau penasehat). Pejabat Tairō dibatasi hanya berasal dari klan Ii, Sakai, Doi dan Hotta,
walaupun Yanagisawa Yoshiyasu pernah juga diangkat sebagai pengecualian. Ii Naosuke
merupakan Tairō yang paling terkenal, tetapi tewas dibunuh pada tahun 1860 di luar
pintu gerbang Sakurada, Istana Edo.

Sebagai kelanjutan dari dewan rokuninshū (1633–1649) yang terdiri dari 6 anggota,
keshogunan Tokugawa membentuk dewan wakadoshiyori yang berada persis di bawah
posisi menteri senior (rōjū). Dewan wakadoshiyori terbentuk pada tahun 1662 dan terdiri
dari 4 anggota. Tugas utama dewan wakadoshiyori adalah mengurusi hatamoto dan
gokenin yang merupakan pengikut langsung shogun.

Sebagian shogun juga mengangkat pejabat soba yōnin yang bertugas sebagai perantara
antara shogun dan rōjū. Posisi soba yōnin menjadi sangat penting pada masa shogun
Tokugawa ke-5 yang bernama Tokugawa Tsunayoshi akibat salah seorang pejabat
wakadoshiyori bernama Inaba Masayasu membunuh pejabat tairō bernama Hotta
Masatoshi. Shogun Tsunayoshi yang cemas akan keselamatan dirinya memindahkan
kantor rōjū hingga jauh dari bangunan utama istana.

Rōjū dan Wakadoshiyori

Pejabat yang melapor kepada rōjū and wakadoshiyori disebut ōmetsuke dan metsuke.
Lima orang pejabat ōmetsuke diberi tugas memata-matai para daimyo, kalangan
bangsawan (kuge) dan istana kaisar agar segala usaha pemberontakan bisa diketahui
sejak dini.
Di awal zaman Edo, daimyo seperti Yagyū Munefuyu pernah ditunjuk sebagai pejabat
ōmetsuke. Selanjutnya, jabatan ōmetsuke Cuma diisi oleh hatamoto yang berpenghasilan
minimal 5.000 koku. Shogun sering menaikkan penghasilan ōmetsuke menjadi 10.000
koku agar ōmetsuke bisa dihargai dan berkedudukan sejajar dengan daimyo yang sedang
diawasi. Pejabat ōmetsuke juga menerima gelar kami, seperti Bizen-no-kami yang berarti
penguasa provinsi Bizen.

Sejalan dengan perkembangan waktu, fungsi pejabat ōmetsuke berubah menjadi


semacam kurir yang menyampaikan perintah dari keshogunan Tokugawa ke para daimyo.
Pejabat ōmetsuke juga diserahi tugas melangsungkan upacara seremonial di lingkungan
Istana Edo. Pengawasan kehidupan beragama dan pengendalian senjata api merupakan
tanggung jawab tambahan pejabat ōmetsuke.

Pejabat metsuke melapor kepada wakadoshiyori dan bertugas sebagai polisi militer bagi
shogun. Tugasnya mengawasi ribuan hatamoto and gokenin yang berpusat di Edo.
Masing-masing wilayah han juga memiliki metsuke yang berfungsi sebagai polisi militer
bagi para samurai.

San-bugyō
Pelaksanaan pemerintahan dilakukan oleh san-bugyō (tiga lembaga administrasi):
jishabugyō, kanjōbugyō dan machibugyō. Pejabat jishabugyō berstatus paling elit karena
para pejabat selalu berhubungan dengan kuil Buddha (ji) dan kuil Shinto (sha) dan diberi
hak penguasaan atas tanah. Pejabat jishabugyō juga menerima pengaduan dari pemilik
tanah di luar 8 provinsi Kanto. Pejabat jishabugyō ditunjuk dari kalangan daimyo, dengan
Ōoka Tadasuke sebagai pengecualian.

Pejabat kanjōbugyō yang terdiri dari 4 orang melapor langsung kepada rōjū. Tugasnya
sebagai auditor keuangan keshogunan Tokugawa.

Pejabat machibugyō merupakan pelaksana pemerintahan tingkat lokal. Tugasnya


merangkap-rangkap sebagai wali kota, kepala polisi, kepala pemadam kebakaran, dan
hakim pengadilan pidana dan hukum perdata, tetapi tidak bertanggung jawab terhadap
samurai. Pejabat machibugyō yang terdiri dari 2 orang (pernah juga sampai 3 orang)
biasanya diambil dari hatamoto, bertugas bergantian selama satu bulan penuh.
Tiga orang pejabat machibugyō menjadi terkenal berkat film samurai (jidaigeki), pejabat
bernama Ōoka Tadasuke dan Tōyama Kinshirō (Tōyama no Kinsan) selalu digambarkan
sebagai pahlawan, sedangkan Torii Yōzō sebagai penjahat.

Pejabat san-bugyō merupakan anggota dari dewan yang disebut Hyōjōsho. Anggota
dewan hyōjōsho bertanggung jawab dalam soal administrasi tenryō, mengawasi gundai,
daikan dan kura bugyō. Selain itu, anggota dewan hyōjōsho juga hadir sewaktu diadakan
dengar pendapat sehubungan dengan kasus yang melibatkan samurai.

Tenryō, Gundai dan Daikan.

Shogun juga menguasai secara langsung tanah di berbagai daerah di Jepang. Tanah milik
shogun disebut Bakufu Chokkatsuchi yang sejak zaman Meiji disebut sebagai Tenryō.
Shogun memiliki tanah yang sangat luas, mencakup daerah-daerah yang sudah sejak dulu
merupakan wilayah kekuasaan Tokugawa Ieyasu, ditambah wilayah rampasan dari para
daimyo yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara, serta wilayah yang diperoleh dari
pertempuran musim panas dan musim dingin di Osaka. Di akhir abad ke-17, seluruh
wilayah kekuasaan Tokugawa bernilai 4 juta koku. Kota perdagangan seperti Nagasaki dan
Osaka, berbagai lokasi pertambangan seperti tambang emas di Sado termasuk ke dalam
wilayah kekuasaan langsung shogun.

Wilayah kekuasaan shogun tidak dipimpin oleh daimyo melainkan oleh pelaksana
pemerintahan yang memegang jabatan gundai, daikan, dan ongoku bugyō. Kota-kota
penting seperti Osaka, Kyoto and Sumpu dipimpin oleh machibugyō, sedangkan kota
pelabuhan Nagasaki dipimpin oleh Nagasaki bugyō yang ditunjuk oleh shogun dari
hatamoto yang sangat setia pada shogun.

7. Restorasi Meiji
Restorasi Meiji ( 明治維新 Meiji-ishin), dikenal juga dengan sebutan Revolusi Meiji atau
Pembaruan Meiji, adalah serangkaian kejadian yang berpuncak pada pengembalian
kekuasaan di Jepang kepada Kaisar pada tahun 1868. Restorasi ini menyebabkan
perubahan besar-besaran pada struktur politik dan sosial Jepang, dan berlanjut hingga
zaman Edo (sering juga disebut Akhir Keshogunan Tokugawa) dan awal zaman Meiji.

Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 sampai 1869, tiga tahun yang mencakup akhir
zaman Edo dan awal zaman Meiji. Restorasi ini diakibatkan oleh Perjanjian Shimoda dan
Perjanjian Towsen Harris yang dilakukan oleh Komodor Matthew Perry dari Amerika
Serikat.

7.1 Latar Belakang


Penyebab Restorasi Meiji begitu banyak. Jepang baru menyadari betapa terbelakangnya
mereka dibandingkan negara-negara lainnya di dunia setelah datangnya Komodor
Amerika Serikat Matthew C. Perry yang memaksa Jepang membuka pelabuhan-pelabuhan
untuk kapal-kapal asing yang ingin berdagang. Komodor Perry datang ke Jepang menaiki
kapal super besar yang dilengkapi persenjataan dan teknologi yang jauh lebih superior
dibandingkan milik Jepang saat itu. Para pemimpin Restorasi Meiji bertindak atas nama
pemulihan kekuasaan kaisar untuk memperkuat Jepang terhadap ancaman kekuatan-
kekuatan kolonial waktu itu. Kata Meiji berarti kekuasaan pencerahan dan pemerintah
waktu itu bertujuan menggabungkan “kemajuan Barat” dengan nilai-nilai “Timur”
tradisional. Para pemimpin utama, pembantu kaisar pada waktu itu di antaranya: Itō
Hirobumi, Matsukata Masayoshi, Kido Takayoshi, Itagaki Taisuke, Yamagata Aritomo,
Mōri Arinori, Ōkubo Toshimichi, and Yamaguchi Naoyoshi. Meskipun secara resmi
kekuasaan negara berada di tangan kaisar, kekuatan politik hanya bergeser dari
Keshogunan Tokugawa ke sebuah oligarki. Sebagian besar kekuasaan berada di tangan
pemimpin elite dari Provinsi Satsuma (Ōkubo Toshimichi, Saigō Takamori) dan Provinsi
Chōshū (Itō Hirobumi, Yamagata Aritomo, dan Kido Takayoshi). Mereka mempertahankan
praktik-praktik kekuasaan kaisar yang lebih tradisional, dan menempatkan Kaisar Jepang
sebagai satu-satunya otoritas spiritual negeri dan para menteri yang memerintah atas
nama kaisar.

Aliansi Sat-cho melawan keshogunan


Pembentukan aliansi antara pemimpin Domain Satsuma dan Kido Takayoshi pemimpin
Domain Choshu merupakan titik awal restorasi Meiji. Keduanya mendukung Kaisar Kōmei
(ayah Kaisar Meiji). Aliansi ini dicetuskan oleh Sakamoto Ryoma, dengan tujuan melawan
Keshogunan Tokugawa dan mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar. Pada 3 Februari
1867, Kaisar Meiji naik tahta setelah wafatnya Kaisar Kōmei pada 30 Januari 1867. Semasa
Restorasi Meiji, feodalisme Jepang secara perlahan-lahan digantikan oleh ekonomi pasar
dan menjadikan Jepang sebagai negara yang dipengaruhi negara-negara Barat hingga kini.

7.2 Berbagai aspek kemajuan di zaman Meiji

Modernisasi di bidang kebudayaan terus dilakukan pada tahun 1872 (meiji V), pemerintah
menetapkan sistem pendidikandi mana masyarakat yang memiliki pekerjaan dan status
macam apapun dapat mengikuti pendidikan. Selain itu, pemerintah Meiji pun
mengirimkan banyak mahasiswa ke negara-negara Eropa dan Amerika dan mengundang
banyak ahli teknik dari negara-negara Barat. Kebudayaan Barat yang maju pun diadopsi
oleh pemerintah. Di bidang kehidupan sehari-hari, diberlakukan kalender Solar Gregorian
agama Kristen akhirnya diakui karena adanya kritik-kritik dari luar negeri. Teknik cetak
berkembang sehingga koran yang menyebarluaskan politik dan humaniora banyak
diterbitkan. Kebudayaan di kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang
menghasilkan kombinasi seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel, mode pakaian, dan
perpustakaan, kebanyakan terikat dengan Geisha atau perempuan yang hadir setiap kota
tempat hiburan. Di Ginza, Tokyo, dibangun bangunan-bangunan bergaya Barat yang
menggunakan batu bata merah dan jalan-jalan raya dinyalakan lampu-lampu gas yang
menerangi jalan.

Memotong rambut kuncir menjadi pendek dan memakai pakaian ala Barat telah menjadi
gaya hidup baru, di samping itu, daging sapi yang biasanya tidak dimakan akhirnya
mereka makan dan mulai pada waktu itu banyak dijumpai restoran sukiyaki. Gaya hidup
baru mencakup bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, sandang, pangan, papan, dan
lainnya adalah kebudayaan Barat yang baru yang semaki lama semakin diterima
masyarakat dan disebut istilah Bunmei Kaika (masa peradaban dan pencerahan).

Di bidang pemikiran, diterapkan pemikiran Barat, seperti bahwa manusia semuanya


bebas dan sederajat, dan memiliki hak yang sama untuk menuntut pemikiran untuk
mendapatkan keadilan dalam mencapai kebahagiaan dan kebebasannya sehingga
pemikiran ini akhirnya meluas di masyarakat. Dalam buku fukuzawa yukichi, terdapat
kata-kata pendahuluan yang berbunyi: “ten wa hito no ue ni, hito o tsukurazu, hito no
shita ni hito o tsukurazu” (dewa tidak menciptakan manusia berada di atas dan di bawah).
Maknanya adalah manusia itu sederajat dan tidak dibedakan berdasarkan status sosial.

Di bidang pendidikan, awalnya banyak petani yang tidak suka memasukkan anak-anaknya
ke sekolah karena harus membayar uang sekolah. Namun kenyataannya semakin lama
pendidikan sekolah dasar pun semakin maluas. Di bidang pendidikan tinggi, didirikanlah
pendidikan tinggi Tokyo Igaku pada tahun 1877 (diganti namanya menjadi Universitas
Teikoku pada tahun 1896, dan berganti lagi pada 1945 menjadi Universitas Tokyo);
Fukuzawa Yukichi mendirikan sekolah swasta Keio; sedangkan Okuma Shigenobu
mendirikan sekolah kejuruan Tokyo, universitas Waseda. Perguruan-perguruan tinggi
tersebut banyak menghasilkan tenaga ahli yang tidak kalah dari luar negeri. Pemerintah
Meiji terus menyempurnakan bidang pendidikan semaksimal mungkin dan pada tahun
1890, wajib belajar yang merupakan dasar dari pendidikan akhirnya dicanangkan.

·PEMERINTAHAN
Pemerintah baru Meiji terus berupaya memajukan diplomasi. Awalnya pemerintah
memikirkan cara untuk mengubah perjanjian-perjanjian antara negara Barat dan Bakufu
yang dirasa kurang adil bagi rakyat Jepang. Selain itu, observasi digencarkan untuk
mengirim wakil-wakil pemerintahan ke negara Barat. Namun negosiasi untuk
memperbarui isi perjanjian-perjanjian tersebut sama sekali tidak ditanggapi oleh negara-
negara Barat. Karena itu, pemerintah berpendapat bahwa akan lebih baik untuk
membangun negara, mengembangkan industri dan memperkuat militer demi kepentingan
negara daripada harus merevisi isi perjanjian.

Pada masa itu, yang mula-mula menjadi menteri adalah para pemimpin yang berasal
dari Satsuma dan Choshu (persekutuan han bernama toubaku yang dulunya
bertujuan menumbangkan edo & akhirnya melahirkan jaman meiji). Tidak sedikit orang
yang merasa tidak puas, terutama mereka para mantan samurai. Ini terutama karena
kaum samurai yang kehilangan pekerjaan terpaksa harus berdagang. Sehingga akhirnya
para mantan samurai melakukan pemberontakan di berbagai daerah.

Saigo Takamori dan lainnya menuntut pemerintahan baru agar kekuasaan para mantan
samurai diarahkan, memberlakukan kembali politik isolasi, dan membuka Korea dengan
paksa (seikanron). Namun atas anjuran Okubo Toshimichi, Kido Takayoshi, dan tokoh
lainnya (orang-orang yang baru pulang dari Barat), perkembangan negara secara langsung
lebih maju dan pemerintahan dalam negeri dilaksanakan lebih dahulu. Setelah
diperkenalkannya pemikiran modern Barat, pemikiran mengenai hak rakyat, keadilan dan
liberalisme meluas. Sehingga pada tahun 1881 dibentuk partai politik pertama di Jepang
yaitu partai liberal oleh mantan samurai Itagaki Taisuke dan tahun berikutnya dibentuk
partai konstitusional yang menghendaki parlemen seperti di Inggris. Lalu terbitlah petisi
mengenai pembukaan parlemen berdasarkan pemilihan umum yang harus dilaksanakan
pemerintah berdasarkan anggota majelis yang dipilih oleh rakyat. Dan terjadilah
pertemuan yang dibuat di berbagai tempat yang mendirikan dan menyatukan Kokkau
Kisodomei. Yaitu gerakan yang mempelopori dibukanya pemilihan umum.

Tahun 1889 (tahun ke-22 meiji) kaisar meresmikan undang-undang Dai Nihon Teikoku
Kenpo (konstitusi kekaisaran jepang raya) sebagai konstitusi yang ditetapkan tenno dan
dikembangkan oleh rakyat. Dalam konstitusi parlemen terdiri dari majelis tinggi dan
majelis rendah. Anggota mejelis tinggi adalah keluarga kaisar , tenno menunjuk siapa yang
akan menjabat lalu dipilih oleh rakyat. Tetapi karena kuatnya cara berpikir kaisar, maka
anggota majelis rendah(eksekutif, legislatif dan yudikatif) hanya bertanggung jawab pada
kaisar dan tidak bertanggung jawab pada parlemen.

·KONDISI MASYARAKAT
Modernisasi di bidang kebudayaan terus dilakukan pada tahun 1872 (meiji V), pemerintah
menetapkan sistem pendidikandi mana masyarakat yang memiliki pekerjaan dan status
macam apapun dapat mengikuti pendidikan. Selain itu, pemerintah Meiji pun
mengirimkan banyak mahasiswa ke negara-negara Eropa dan Amerika dan mengundang
banyak ahli teknik dari negara-negara Barat. Kebudayaan Barat yang maju pun diadopsi
oleh pemerintah. Di bidang kehidupan sehari-hari, diberlakukan kalender Solar Gregorian
agama Kristen akhirnya diakui karena adanya kritik-kritik dari luar negeri. Teknik cetak
berkembang sehingga koran yang menyebarluaskan politik dan humaniora banyak
diterbitkan. Kebudayaan di kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang
menghasilkan kombinasi seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel, mode pakaian, dan
perpustakaan, kebanyakan terikat dengan Geisha atau perempuan yang hadir setiap kota
tempat hiburan. Di Ginza, Tokyo, dibangun bangunan-bangunan bergaya Barat yang
menggunakan batu bata merah dan jalan-jalan raya dinyalakan lampu-lampu gas yang
menerangi jalan.

Memotong rambut kuncir menjadi pendek dan memakai pakaian ala Barat telah menjadi
gaya hidup baru, di samping itu, daging sapi yang biasanya tidak dimakan akhirnya
mereka makan dan mulai pada waktu itu banyak dijumpai restoran sukiyaki. Gaya hidup
baru mencakup bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, sandang, pangan, papan, dan
lainnya adalah kebudayaan Barat yang baru yang semaki lama semakin diterima
masyarakat dan disebut istilah Bunmei Kaika (masa peradaban dan pencerahan).

Di bidang pemikiran, diterapkan pemikiran Barat, seperti bahwa manusia semuanya


bebas dan sederajat, dan memiliki hak yang sama untuk menuntut pemikiran untuk
mendapatkan keadilan dalam mencapai kebahagiaan dan kebebasannya sehingga
pemikiran ini akhirnya meluas di masyarakat. Dalam buku fukuzawa yukichi, terdapat
kata-kata pendahuluan yang berbunyi: “ten wa hito no ue ni, hito o tsukurazu, hito no
shita ni hito o tsukurazu” (dewa tidak menciptakan manusia berada di atas dan di
bawah). Maknanya adalah manusia itu sederajat dan tidak dibedakan berdasarkan status
sosial.

Di bidang pendidikan, awalnya banyak petani yang tidak suka memasukkan anak-anaknya
ke sekolah karena harus membayar uang sekolah. Namun kenyataannya semakin lama
pendidikan sekolah dasar pun semakin maluas. Di bidang pendidikan tinggi, didirikanlah
pendidikan tinggi Tokyo Igaku pada tahun 1877 (diganti namanya menjadi Universitas
Teikoku pada tahun 1896, dan berganti lagi pada 1945 menjadi Universitas Tokyo);
Fukuzawa Yukichi mendirikan sekolah swasta Keio; sedangkan Okuma Shigenobu
mendirikan sekolah kejuruan Tokyo, universitas Waseda. Perguruan-perguruan tinggi
tersebut banyak menghasilkan tenaga ahli yang tidak kalah dari luar negeri. Pemerintah
Meiji terus menyempurnakan bidang pendidikan semaksimal mungkin dan pada tahun
1890, wajib belajar yang merupakan dasar dari pendidikan akhirnya dicanangkan.

·SENI DAN SASTRA


a. Seni

Sejarah kabuki pada zaman Meiji pun kepopulerannya tetap tidak tergoyahkan. Tapi
sering menerima kritik, diantaranya kalangan intelektual menganggap isi cerita kabuki
tidak sesuai untuk dipertunjukkan di negara orang beradab. Kalangan di dalam dan di luar
lingkungan kabuki juga menuntut pembaruan di dalam kabuki, sehingga mau tidak mau
dunia showbiz kabuki harus diubah sesuai tuntutan zaman. Kritik terhadap kabuki
mengatakan banyak unsur dalam kabuki yang sebenarnya tidak pantas dimasukkan ke
dalam drama kabuki, misalnya : alur cerita yang tidak masuk akal, tema cerita yang kuno
atau berbau feodal, dan trik panggung yang sekadar untuk membuat penonton takjub,
seperti adegan aktor bisa “terbang” atau berganti kostum dalam sekejap. Akibat kritik
yang diterima dunia showbiz kabuki sejak zaman Meiji berusaha mengadakan gerakan
pembaruan dalam berbagai aspek teater kabuki. Gerakan pembaruan yang disebut Engeki
Kairyo Undo juga melibatkan pemerintahan meiji yang memang bermaksud mengontrol
pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji bercita-cita menciptakan pertunjukan teater yang
pantas dan bisa dinikmati kalangan menengah dan kalangan atassuatu “masyarakat yang
bermoral”. Salah satu hasil gerakan pembaruan kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-
za sebagai tempat pementasan kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre baru
teater kabuki yang disebut Shimpa.

b. Sastra

Dalam langkah modernisasi dengan adanya Restorasi Meiji, Jepang pun turut
memodernisasi bidang kesusastraan, dimulai dari tulisan Shobochi Shoyo berjudul
Shosetsu Shinzui pada tahun 1885. Dalam Shoyo diungkapkan bahwa karya sastra
bukanlah alat politik maupun moral, tapi merupakan seni yang memiliki makna sendiri,
yang mengutamakan keindahan hidup dan realisme. Salah satu penulis novel yang
terkenal pada masa itu adalah Futabatei Shimei yang menjadi pelopor dalam novel
modern. Salah satu novel modernnya adalah Ukigumo, yang ditulis dalam bahasa kolokial
(percakapan). Sampai saat ini, karya klasik seperti Goshunotoi karya Kodarohan dan
Konjikiyasha karya Ozaki koyo masih banyak dibaca kalangan luas. Pada masa-masa itu
bermunculan karya sastra yang dipublikasikan oleh Higuchi Ichiyo seperti Takekurabe,
Nigorie, jusanya,dan lainnya. Karya-karya yang ditulis dengan gaya bahasa yang sangat
indah itu menceritakan tentang seorang wanita yang harus menghadapi kesulitandi
tengah masyarakat yang terikat oleh adat istiadat dan moral yang kuno. Tapi karya itu
secara realistis masih bernapaskan puisi.

Selain itu, karya-karya baru di bidang puisi seperti waka dan haiku pun lahir. Puisi, disebut
pula Shintaishi, dan karya-karya di bidang puisi bernafaskan romantis. Di bidang Haiku
dan Waka, Masao Kashiki mengeluarkan majalah bernama Hototokisu yang melukiskan
karya-karya Haiju dan Tanka. Yosano Aiko, dalam majalah Myojo, menerbitkan Tanka
yang bernafaskan romantisisme dan karya dengan imajinasi sastra. Setelah karya
Ukigumo, banyak karya-karya beraliran naturalis yang mendapat pengaruh dari sastra
asing bermunculan. Yang perlu diperhatikan adalah karya Shimazaki Toson yang berjudul
Haikai. Haikai merupakan puncak dari karya sastra yang menggambarkan pergolakan
batin seorang manusia, khususnya dunia remaja dan penderitaan yang dialaminya. Toson
terus aktif menulis hingga zaman Showa ketika dia menulis kisah tentang kehidupan orang
tuanya semasa sulit di zaman restorasi Meiji dalam novel berjudul Yoakemae. Sastra
naturalisme merupakan gerakan modernisasi di bidang kesusastraan. Karya sastra Tayama
Katai yang berjudul Futon memiliki pengaruh besar terhadap gerakan tersebut. Dalam
perkembangan kesusatraan natiralisme tersebut, khususnya sejak pertengahan zaman
Meiji hingga awal zaman Taisho, orang-orang yang berperan adalah Mori Ogai, Natsume
Soseki, Ishikawa Takubaku.

·KONDISI EKONOMI DAN INDUSTRI

a. Ekonomi

Untuk melaksanakan pembaharuan, pertama-tama yang diperlukan oleh pemerintah


Meiji adalah modal yang banyak. Maka untuk menetapkan pendapatan pajak, pemerintah
memperbaharui cara cara pemungutan pajak dari petani yang dikenal dengan istilah
Chisokaisei. Pertama pemerintah memberikan sertifikat tanah kepada tuan tanah dan
pemilik tanah pribadi, kemudian beras sebagai pajak tahunan diganti dengan uang kontan
(Chiso Kaisei). Tetapi pembaharuan ini mahalnya kira-kira sama dengan zaman Edo.
Beberapa petani yang tidak mampu membayar pajak harus menjual tanahnya, selain itu
rakyat yang tidak memiliki tanah pribadi harus memberikan setengah dari jumlah beras
yang diterimanya kepada tuan tanah.

Setelah pembaharuan pajak, 2 atau 3 anak laki-laki dari petanipemilik tanah pribadi
maupun petani kecil biasa, meninggalkan desa dan menjadi buruh pabrik di kota besar.
Reformasi pajak tanah membuat perekonomian menjadi stabil, akan tetapi pajak tanah
yang jauh lebih tinggi dari pajak yang dibayar dengan beras dan hal ini yang membuat
rakyat lebih menderita.
b.industri

Industri modern Jepang, setelah tahun 1890, yang berusaha memajukan mekanisme di
bidang industri pemintalan sutra, dan industri lainnya, ditandai dengan diimpornya
benang katun dan benang sutera ke Amerika, Korea dan Cina. Perang Cina-Jepang dan
Rusia-Jepang mengakibatkan Jepang memperoleh sumber-sumber kekayaan alam yang
berlimpah. Pada tahun 1901, Jepang selesai membangun pabrik besi baja pertama yang
dikelola pemerintah. Dengan demikian, terbentuklah dasar dari perkembangan industri
berat, seperti industri baja dan industri pembuatan kapal, serta mesin-mesin industri.

Revolusi tersebut mengakibatkan meningkatnya kapitalisme dan timbulnya persoalan


dalam masyarakat feodal. Di pedesaan, karena dipaksa membayar pajak yang tinggi,
semakin banyak petani yang menjual tanah pribadinya sehingga jumlah petani miskin pun
makin meningkat. Para petani kecil yang tidak bisa hidup di pedesaan lagi lebih memilih
pergi ke perkotaan dan menjadi buruh pabrik. Namun kondisi pabrik tempat para petani
itu bekerja sangat buruk. Di lain pihak, para tuan tanah lintah darat yang menimbun dan
mengumpulkan tanah yang luas tidak bisa menanam sendiri, sehingga mereka yang
membiayai hidup dengan cukai semakin bertambah. Selain itu, para tuan tanah yang
menjadi anggota parlemen pun meningkat. Saat itu tuan tanah besar dan keluarga
kapitalis yang mengelola perusahaan, memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap
politik Jepang.

Bersamaan dengan perkembangan industri modern, maka modal diakumulasikan pada


industri-industri besar dan keluarga kapitalis yang bepengaruh (Zaibatsu). Di bidang
keuangan, perdagangan luar negeri, transportasi, dan pertambangan, dan bidang lain,
diadakan pengelolaan multidimensi sehingga bank akhirnya menguasai modal industri.
Dalam keadaan seperti itu, paham pemikiran masyarakat juga meluas di Jepang.
Pergerakan para petani kecil dan para buruh dalam upaya memperbaiki kehidupannya
sering terjadi. Namun pemerintah membuat undang-undang yang pengawasannya
dilakukan secara ketat.

Dengan kebijakan politik tentang pendidikan wajib yang dilaksanakan di seluruh Jepang,
pemerintah Meiji mengadakan perubahan mendasar secara sosial, yaitu dengan merubah
kesadaran setiap orang terhadap fungsi negara. Orang Jepang yang pada masa
pemerintahan Tokugawa masih berfikir kedaerahan, pada masa Meiji diharuskan
mempunyai pemikiran atau kesadaran nasional (satu kebijakan pendidikan yang bersifat
nasionalistik). Perubahan kesadaran orang per orang dari kedaerahan menjadi nasional
seperti inilah yang merupakan hasil terpenting perubahan yang dilakukan oleh
pemerintah Meiji dalam bidang pendidikan.

7.3 Dampak Restorasi Meiji


Restorasi Meiji mengakselerasi industrialisasi di Jepang yang dijadikan modal untuk
kebangkitan Jepang sebagai kekuatan militer pada tahun 1905 di bawah slogan “Negara
Makmur, Militer Kuat” ( 富 国 強 兵 fukoku kyōhei). Pemerintah Oligarki Meiji yang
bertindak atas nama kekuasaan kaisar memperkenalkan upaya-upaya mengonsolidasi
kekuasaan untuk menghadapi sisa-sisa pemerintahan zaman Edo, keshogunan, daimyo,
dan kelas samurai.
Pada tahun 1868, semua tanah feodal milik Keshogunan Tokugawa disita dan dialihkan di
bawah “kendali kekaisaran”. Tindakan ini sekaligus menempatkan mereka di bawah
kekuasaan pemerintahan baru Meiji. Pada tahun 1869, daimyo Domain Tosa, Domain
Hizen, Domain Satsuma, dan Domain Chōshū yang telah berjasa melawan kekuasaan
keshogunan, dibujuk untuk mau “mengembalikan domain mereka kepada kaisar.” Daimyo
lainnya juga selanjutnya diperintahkan untuk melakukan hal yang sama. Dengan adanya
penghapusan wilayah domain, maka untuk pertama kalinya tercipta pemerintahan Jepang
yang terpusat dan berkuasa di semua wilayah negeri.
Pada tahun 1871, semua daimyo dan mantan daimyo dipanggil untuk menghadap kaisar
untuk menerima perintah pengembalian semua domain kepada kaisar. Sekitar 300
domain (han) diubah bentuknya menjadi prefektur yang dipimpin oleh gubernur yang
ditunjuk oleh negara. Pada tahun 1888, beberapa prefektur telah berhasil dilebur menjadi
satu sehingga jumlah prefektur menciut menjadi 75 prefektur. Kepada mantan daimyo,
pemerintah berjanji untuk menggaji mereka sebesar 1/10 dari pendapatan bekas wilayah
mereka sebagai penghasilan pribadi. Selanjutnya, utang-utang mereka berikut
pembayaran gaji serta tunjangan untuk samurai diambil alih oleh negara.

7.4 Dampak bagi Korea dan China


Restorasi adalah pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula. Restorasi berarti
pemulihan, di dalamnya terkandung untuk pembangunan dan pembaharuan. Karena
adanya Restorasi Meiji, Jepang kemudian menjadi negara imperialis yang mengedepankan
industrinya. Demi mencari bahan mentah sebagai bahan baku industrinya, Jepang
kemudian melakukan ekspansi atau penjelajahan ke wilayah lain yang dinilai strategis dan
kaya akan bahan tambang. Sedangkan Cina yang dipimpin oleh Qing, berada dalam
ambang kehancuran.
Cina dan Jepang sebenarnya telah menjalin hubungan persahabatan sejak sebelum Dinasti
Ming. Hubungan antara Cina dan Jepang berupa hubungan politik melalui para utusan
yang dikirimkan oleh masing-masing negara, juga melalui hubungan perdagangan. Setelah
Kaisar Meiji naik tahta dan mengubah Jepang menjadi negara yang lebih modern dan
kuat, hubungan persahabatan antara Cina dan Jepang pun menjadi renggang.

Sebelumnya, Korea merupakan negara vasal milik Cina. Kemudian pada tahun 1894,
Jepang mulai tertarik untuk datang ke Korea. Karena Korea merupakan salah satu negara
yang strategis dan kaya akan bahan mentah, yang berguna bagi Jepang untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku industrinya. Jepang merasa harus mengusir Cina dari wilayah
Korea agar Jepang bisa leluasa menguasai Korea. Sebaliknya Cina merasa terancam atas
kehadiran Jepang di wilayah Korea, karena ditakutkan akan mengancam kekuasaan Cina
di Korea.

Daerah Korea adalah daerah yang sangat subur sehingga menjadi rebutan bagi negara-
negara imprealis. Korea merupakan jalan yang terbaik atau sebagai batu loncatan untuk
Manchuria dan Negara Cina serta daratan Asia lainnya. Korea juga banyak mengandung
bahan mentah seperti mineral, batu bara, besi, emas, tembaga, wolfram, dan perak.
Secara umum Korea banyak mengandung bahan-bahan yang penting bagi kepentingan
industri. Akibatnya, Jepang mengincar wilayah Korea untuk dijadikan sebagai lahan bahan
baku untuk industrinya. Sedangkan Korea merupakan negara vasal milik Cina yang harus
dipertahankan oleh Cina. Hal inilah yang menjadi awal mula terjadinya Perang Cina-
Jepang I.

Setelah terjadinya Perjanjian Ganghwa3 pada tahun 1875, Jepang mendapatkan


keuntungan yaitu Jepang diperkenankan untuk berdagang dengan bebas tanpa adanya
intervensi dari Kerajaan Joseon . Pelabuhan di Busan menjadi terbuka untuk Jepang dan
Korea diharuskan untuk mencarikan 2 tempat lagi di sekitaran Provinsi Gyeongsang,
Propinsi Gyeonggi, Propinsi Chungcheong, atau Propinsi Hamgyeong, untuk kapal
perdagangan Jepang. Akibat dari adanya perjanjian ini, Cina semakin khawatir akan
posisinya di Korea.

Terdapat sebab-sebab umum terjadinya Perang Cina-Jepang I, antara lain:


1. Korea merupakan wilayah yang dianggap sebagai pintu masuk menuju ke wilayah Asia,
sehingga apabila Korea dikuasai oleh Cina maka akan mempersulit Jepang untuk
memasuki wilayah Korea dan Asia yang lainnya,
2. Korea akan dijadikan sebagai tempat tinggal untuk orang-orang Jepang yang akan
dipindahkan,
3. Korea merupakan wilayah yang kaya akan bahan mentah, yang sangat dibutuhkan
untuk perindustrian Jepang.

Selain itu, ada juga sebab khusus terjadinya Perang Cina-Jepang I, yaitu pada saat itu di
Korea sedang terjadi Pemberontakan Tonghak. Akibat dari adanya Pemberontakan
Tonghak, baik Cina maupun Jepang sama-sama mengirimkan pasukan ke wilayah Korea.
Setelah Pemberontakan Tonghak, kedua belah pihak tetap mempertahankan ideologinya
masing-masing, dan memperkeruh hubungan antara Cina dan Jepang. Dalam
pemberontakan itu, Rusia ikut campur tangan dan mengancam kedua belah pihak untuk
segera menarik pasukannya dari wilayah Korea.

Pemerintah Korea menginginkan pembaharuan dalam negerinya, namun hal itu tidak
dapat dilakukan apabila masih ada Cina yang menduduki wilayahnya. Maka Korea
meminta bantuan kepada Jepang untuk mengusir Cina dari wilayah Korea. Dengan begitu,
kasus persengketaan antara Cina dan Jepang semakin parah dan terjadilah Perang Cina-
Jepang I.

Perang Cina-Jepang I terjadi pada 1 Agustus 1894 hingga 17 April 1895. Saat itu Cina
sedang dalam masa pemerintahan Dinasti Qing dan Jepang dalam pemerintahan Kaisar
Meiji. Akibat dari keinginan Jepang untuk mengambil alih Korea, dan permohonan Korea
kepada Jepang untuk mengusir Cina dari wilayahnya, akhirnya perang ini tak dapat
dihindarkan. Perang Cina-Jepang I diawali dari adanya Perjanjian Ganghwa, yang
menguntungkan pihak Jepang, sedangkan Cina merasa dirugikan.

Setelah terjadinya Perjanjian Ganghwa, di tahun 1882, Menteri Luar Negeri Cina yang
bernama Li Hongzhang menemui perwakilan Korea yang berada di Tianjin. Perjanjian ini
berisi kesepakatan kedua negara untuk mengadakan pertukaran diplomat, serta
mengizinkan Amerika Serikat untuk menaruh konsulat- konsulatnya di pelabuhan-
pelabuhan Korea. Hal ini dilakukan Cina untuk menekan dan menyeimbangkan kekuatan
Jepang di Korea. Perjanjian ini menimbulkan keinginan dari negara-negara lain untuk ikut
melakukan perjanjian dengan Korea, dan Cina mengajak negara-negara Barat untuk
melakukan perjanjian dengan Korea. Akibatnya, Korea menjadi negara yang terbuka.

Setelah itu, Cina mengirimkan pasukan sebanyak 6 batalion ke Korea untuk menjaga
keamanan pasca terjadinya Pemberontakan Jingo dan untuk meminimalisir campur
tangan Jepang yang semakin bebas akibat dari adanya Perjanjian Jemulpo. Tetapi
pasukan-pasukan ini ditarik mundur oleh Cina karena Cina sedang berperang melawan
Perancis pada tahun 1884.

Karena ditarik mundurnya para pasukan Cina di Korea, membuat Jepang merasa untung
dan dengan mudahnya melakukan aksi kudeta. Pada tanggal 4 Desember 1884, saat pesta
makan malam untuk merayakan pembukaan kantor pos baru di Seoul, Kim Okyun beserta
pasukan dan warga kota menyerbu istana dan membunuh pejabat-pejabat Korea yang pro
Cina. Kudeta yang dilakukan mendapatkan bantuan dari tentara Jepang, namun
mengalami kegagalan karena pasukan Jepang kalah dalam jumlah pasukan.

Pada tahun 1885, Ito Hirobumi diutus Jepang untuk melakukan perjanjian dengan Li
Hongzhang di Tianjin, yang menghasilkan keputusan yang merugikan Cina. Terdapat tiga
poin hasil perjanjian tersebut, yaitu:
1. Dalam waktu kurang dari 4 bulan, kedua negara harus segera menarik pasukannya dari
Korea.
2. Kedua negara dilarang untuk melatih pasukan Korea, tetapi wajib menyuruh Korea
untuk menggunakan instruktur dari negara lain, dan
3. Bila diperlukan untuk mengirim pasukan ke Korea, kedua negara harus saling
memberitahu, dan bila urusannya telah selesai diwajibkan untuk segera menarik
pasukannya dari Korea.

Pemberontakan Tonghak yang terjadi di tahun 1893 merupakan awal mula terjadinya
Perang Cina-Jepang I. Pemberontakan ini berawal dari kekecewaan dari kaum petani dan
nelayan terhadap pemerintah Korea. Para nelayan merasa kesulitan mengambil ikan
karena banyaknya nelayan dari Jepang yang mengambil ikan-ikan di Korea menggunakan
peralatan mereka yang canggih. Petani juga mengeluhkan mengenai biaya kirim yang
mahal apabila ingin menjual hasil pertanian.

Kelompok Tonghak bergerak dari Kota Jeonju menuju ke Kota Seoul. Pemerintah Jeonju
merasa tidak sanggup melawan para pemberontak, dan meminta bantuan kepada
pemerintah pusat. Pemberontakan semakin tidak dapat dikontrol karena jumlah
pemberontak yang semakin banyak. Kemudian para pemberontak bergerak menuju ke
selatan hingga Pelabuhan Mokpo. Pemerintah Korea yang kewalahan akhirnya meminta
bantuan kepada bantuan kepada Pemerintah Cina yang ditanggapi dengan sigap dengan
mengirimkan kapalnya ke Teluk Asan. Akan tetapi pengiriman pasukan ke Korea ini
dilakukan tanpa memberitahu terlebih dahulu kepada Jepang, sehingga Jepang
menganggap ini sebagai pelanggaran perjanjian Tianjin.
Jepang juga mengirimkan pasukannya ke wilayah Korea dalam jumlah yang tidak terlalu
banyak, sebagai alasan untuk membantu Korea melawan para
Pemberontak. Selanjutnya Jepang mendesak Cina agar segera mengakui kemerdekaan
Korea, dan menyerang Istana Gyeongbok lalu menangkap para
Pejabat dan keluarga kerajaan yang pro Cina. Setelah peristiwa itu, terjadi Serangan
Pungdo. Akibatnya pada bulan Juli 1894, Pemerintah Cina menyatakan perang terhadap
Jepang.

Perang Cina-Jepang I terjadi di beberapa wilayah dan waktu tertentu. Perang pertama
adalah Perseteruan Seonghwan pada 29 Juli 1894. Tentara Jepang melakukan
penyerangan secara mendadak terhadap Cina di Teluk Asan, namun Cina enggan
membalasnya. Cina memutuskan untuk merusak jalan, jembatan, dan membuat parit
untuk menghalau pasukan Jepang yang sedang bergerak menuju Seonghwan. Tetapi
pasukan Jepang dapat meledakkan meriam-meriam di parit yang dibuat oleh pasukan
Cina. Perseteruan Seonghwan dimenangkan oleh Jepang.

Yang kedua adalah Pertarungan Pyongyang yang terjadi pada 15 September 1894. Di
pertarungan ini, pasukan Cina ingin menyerang Jepang melalui jalur darat dan laut. Jepang
berusaha mengirim mata-mata, namun berhasil diketahui pasukan Cina. Kondisi geografis
Kota Pyongyang sebenarnya menguntungkan pihak Cina, karena dikelilingi oleh Sungai
Daedong dan bukit-bukit sehingga pasukan Jepang kesulitan untuk menerobos Kota
Pyongyang. Namun nyatanya pasukan Jepang dapat tiba di Kota Pyongyang dan
merampas semua perbekalan makanan dan persenjataan milik pasukan Cina. Pasukan
Cina semakin dipukul mundur dan menuju ke arah Uiju, sedangkan pasukan Jepang
semakin mudah bergerak menuju Sungai Yalu dan bersiap untuk menyeberang ke wilayah
Cina.

Pertempuran Sungai Yalu, terjadi pada 17 September 1894, merupakan pertempuran


mendadak tanpa ada perencanaan sebelumnya. Pertempuran ini terjadi pada saat
bertemunya kapal dari kedua belah pihak saat sedang konvoi. Kedua belah pihak saling
bersiap untuk melakukan serangan mendadak. Pertarungan ini terjadi hanya sekitar 5
jam, dengan hasil Jepang menenggelamkan lima kapal Cina dan merusak kapal lainnya,
sedangkan Cina berhasil merusak Mastsushima, Hiei, Akagi, dan Saikyo Maru.

Pertempuran terakhir terjadi di daratan Cina. Jepang mulai menguasai beberapa kota di
Cina yang semakin mendekati ke arah Beijing, yang merupakan ibukota Cina. Akibat dari
kemenangan Jepang di Sungai Yalu, akhirnya mempermudah pasukan Jepang untuk
menguasai Kota Jiuliancheng. Selanjutnya pasukan Jepang bergerak menuju Kota Andong
(Dandong, sekarang). Pasukan Jepang menyerang pasukan Cina di malam hari, sehingga
pasukan Cina tidak dapat melakukan persiapan untuk menghadapi Jepang. Akhirnya kota
Andong jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 26 Oktober.

Selanjutnya Kota Mukden (Shenyang, sekarang) menjadi target Jepang berikutnya. Selain
itu pasukan Jepang juga menuju ke Port Arthur untuk menguasai Semenanjung Liaodong,
dan menyeberang Kota Weihai, Provinsi Shandong. Sebagian pasukan Jepang menuju ke
utara dan berhasil menduduki Kota Haicheng di Provinsi Liaodong, yang merupakan
wilayah Manchuria. Terjadi perebutan Kota Haicheng, namun Cina gagal memukul
mundur pasukan Jepang. Jepang juga melakukan ekspansi ke wilayah Pulau Formosa atau
Taiwan.

Pada akhirnya Cina menyerah terhadap Jepang melalui Perjanjian Shimonoseki pada
tanggal 17 April 1895. Isi dari perjanjian tersebut antara lain:

Cina mengakui kemerdekaan Korea dan pengiriman upeti ke Cina diberhentikan


Penyerahan Pulau Formosa dan Semenanjung Liaodong bagian timur
Cina harus membayar ganti rugi kepada Jepang sebesar 200 juta tahil (300 juta Yen)
Jepang diperbolehkan melakukan perdagangan di Provinsi Heibei (Kota Shashi), Provinsi
Shichuan (Kota Chongqing), Provinsi Jiangsu (Kota Suzhou), dan Provinsi Zhejiang (Kota
Hangzhou).
Perang Cina-Jepang I resmi berakhir, dengan hasil dimenangkan oleh pihak Jepang.

8. Ekspansi Jepang dalam Perang Asia Timur raya

Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang (2018), sebelum abad ke-18, Jepang adalah negara
yang terbelakang. Jepang hanya mampu mengekor tetangganya, China dalam berbagai
hal. Namun ini semua berubah ketika Amerika datang ke Jepang memaksa Jepang
membuka pelabuhannya.

Bangsa Jepang menyadari ketertinggalan mereka jika dibanding dengan negara-negara


barat. Mereka pun melakukan revolusi besar-besaran dengan belajar ke barat. Revolusi ini
dikenal dengan Restorasi Meiji yang dimulai pada 1868. Hasilnya, Jepang semakin kuat
dan modern. Bersamaan dengan ilmu dan teknologi, Jepang juga membawa ajaran
imperialisme dari barat Imperialisme adalah upaya mendominasi dan memperkuat negara
dengan menjajah atau menguasai wilayah lain. Jepang membawa ideologi fasisme.
Fasisme biasanya dicirikan dengan nasionalisme yang berlebihan (ultranasionalisme),
mengutamakan kekuatan militer, dan otoriter. Jepang pun menantang tetangganya,
China, dalam Perang Sino Kedua. Jepang menginvasi Manchuria, China pada 19 September
1931. Namun Perang Asia Timur Raya secara resmi dimulai pada 8 Desember 1941, ketika
Jepang mengebom Pearl Harbour, pangkalan militer AS di Hawai, Samudra Pasifik.

Kemenangan Jepang di Pearl Harbour dan tempat lainnya mendorong Jepang melebarkan
sayapnya ke Asia Tenggara. Jepang ingin mengalahkan AS dan sekutu-sekutunya yakni
Inggris, Belanda, dan Australia.

Negara-negara di Asia Tenggara saat itu dikoloni oleh bangsa Eropa. Inggris menguasai
Birma (Myanmar), Malaya (Malaysia), dan Borneo (Kalimantan).

Perancis menguasai Indochina (Kamboja, Laos, dan Vietnam). Spanyol menguasai Filipina
(Spanish East Indies). Sementara Indonesia dikuasai Belanda (Hindia Belanda).

Beberapa pekan setelahnya, barulah Jepang masuk ke Indonesia. Pada tanggal 11 Januari
1942 tentara Jepang mendarat di Tarakan, Kalimantan Timur. Jepang terus mengalahkan
tentara Belanda di Kalimantan, Sumatera, hingga basisnya di Jawa. Gubernur Jenderal
Hindia Belanda Tjarda Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tentara Ter Poorte
terpukul mundur hingga ke Jawa Barat.

Pada Pada 8 Maret 1942 keduanya menemui Letnan Jenderal Imamura di Kalijati, Subang,
Jawa Barat untuk berunding. Hasilnya adalah penyerahan Angkatan Perang Hindia
Belanda kepada Jepang. Peralihan kekuasaan ini ditandai dengan ditandatanganinya
Perjanjian Kalijati antara Jenderal Ter Poorten dengan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.
Kawasan yang dijajah dibangun pangkalan militer dan pertahanan. Rakyat dipaksa
bekerja. Jika menolak, akan disiksa dengan kejam bahkan tak sedikit yang meninggal.

Di kawasan Asia Pasifik, perang dimulai ketika Jepang menyerang Pearl Harbour,
pangakalan militer Amerika Serikat di Hawai.

Lalu, bagaimana Indonesia bisa terlibat perang itu? Sebelum sampai ke sana, mari simak
dulu latar belakang dan pemicu Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya yang
dikobarkan Jepang.

Ambisi imperialisme Jepang


Dikutip dari Masa Pendudukan Jepang (2018), sebelum abad ke-18, Jepang adalah negara
yang terbelakang. Jepang hanya mampu mengekor tetangganya, China dalam berbagai
hal. Namun ini semua berubah ketika Amerika datang ke Jepang memaksa Jepang
membuka pelabuhannya.

Bangsa Jepang menyadari ketertinggalan mereka jika dibanding dengan negara-negara


barat. Mereka pun melakukan revolusi besar-besaran dengan belajar ke barat. Revolusi ini
dikenal dengan Restorasi Meiji yang dimulai pada 1868. Hasilnya, Jepang semakin kuat
dan modern. Bersamaan dengan ilmu dan teknologi, Jepang juga membawa ajaran
imperialisme dari barat.

Imperialisme adalah upaya mendominasi dan memperkuat negara dengan menjajah atau
menguasai wilayah lain. Jepang membawa ideologi fasisme. Fasisme biasanya dicirikan
dengan nasionalisme yang berlebihan (ultranasionalisme), mengutamakan kekuatan
militer, dan otoriter. Jepang pun menantang tetangganya, China, dalam Perang Sino
Kedua. Jepang menginvasi Manchuria, China pada 19 September 1931.
Angkatan Udara Kerajaan Jepang membombardir Pearl Harbour, yang memicu perang di
Pasifik pada Desember 1941. Banyak siswa Jepang dibuat tidak tahu apa-apa tentang
kejahatan perang Jepang dalam Perang Dunia II.

8.1 Perang Jepang russia

Perang Rusia-Jepang (10 Februari 1904 – 5 September 1905) adalah konflik yang sangat
berdarah yang tumbuh dari persaingan antara ambisi imperialis Rusia dan Jepang di
Manchuria dan Korea. Peperangan ini utamanya terjadi karena perebutan kota Port
Arthur dan Jazirah Liaodong, ditambah dengan jalur rel dari pelabuhan tersebut ke
Harbin.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, berbagai negara Barat bersaingan
memperebutkan pengaruh, perdagangan dan wilayah di Asia Timur sementara Jepang
berjuang untuk menjadi sebuah negara modern yang besar. Lokasi Jepang mendorongnya
untuk memusatkan perhatian pada Dinasti Choson Korea dan Dinasti Qing di Tiongkok
utara, sehingga membuat negara itu bersaingan dengan tetangganya, Rusia. Upaya Jepang
untuk menduduki Korea menyebabkan pecahnya Perang Tiongkok-Jepang.

Kekalahan yang dialami Tiongkok dalam perang itu menyebabkan ditandatanganinya


Perjanjian Shimonoseki (17 April 1895). Dengan perjanjian itu Tiongkok melepaskan
klaimnya atas Korea, dan menyerahkan Taiwan dan Lüshunkou (sering disebut Port
Arthur). Namun, tiga kekuatan Barat (Rusia, Kekaisaran Jerman dan Republik Ketiga
Prancis ) melalui Intervensi Tiga Negara pada 23 April 1895 menekan Jepang untuk
menyerahkan Port Arthur, dan belakangan Rusia (tahun 1898) merundingkan penyewaan
pangkalan Angkatan Laut selama 25 tahun dengan Tiongkok. Sementara itu, pasukan-
pasukan Rusia menduduki sebagian besar wilayah Manchuria dan Rusia maupun Jepang
berusaha mengambil alih Korea.

Setelah gagal mendapatkan perjanjian yang menguntungkannya dengan Rusia, Jepang


mengirimkan sebuah ultimatum pada 31 Desember 1903, memutuskan hubungan
diplomatik pada 6 Februari, dan mulai menyerang dua hari kemudian. Kedua pihak
mengeluarkan pernyataan perang pada 10 Februari. Di bawah hukum internasional,
serangan Jepang tidak dapat dianggap sebagai serangan tersembunyi, karena ultimatum
telah dikeluarkan. Namun demikian, setelah serangan Pearl Harbor, sering kali dikatakan
bahwa ini adalah salah satu contoh betapa Jepang suka melakukan serangan mendadak.

Perang tahun 1904

Port Arthur, di Jazirah Liaodong di selatan Manchuria, telah diperkuat Rusia hingga
menjadi sebuah pangkalan Angkatan Laut besar. Jepang membutuhkan kekuasaan laut
untuk berperang di daratan Asia, karena itu tujuan militer pertama mereka adalah
menetralkan armada Rusia di Port Arthur. Pada 8 Februari malam, armada Jepang di
bawah pimpinan Admiral Heihachiro Togo memulai peperangan dengan sebuah serangan
torpedo mendadak pada kapal-kapal Rusia di Port Arthur, sehingga membuat dua kapal
perang Rusia rusak parah. Serangan-serangan itu berkembang menjadi Pertempuran Port
Arthur esok paginya. Serangkaian pertempuran laut yang tidak memberikan hasil yang
menentukan pun terjadi. Pada kesempatan itu, Jepang tidak berhasil menyerang Rusia
dengan menggunakan meriam-meriam darat dari pelabuhan, dan armada Rusia menolak
untuk meninggalkan pelabuhan itu dan pergi ke laut terbuka, khususnya setelah kematian
Admiral Stepan Osipovich Makarov pada 13 April. Pertempuran-pertempuran ini
memberikan perlindungan bagi sebuah pasukan Jepang untuk mendarat dekat Incheon di
Korea, dan dari sana mereka menduduki Seoul dan berikutnya seluruh Korea. Pada akhir
April, tentara Jepang di bawah Kuroki Itei bersiap-siap menyeberangi sungai Yalu ke
Manchuria yang saat itu diduduki Rusia.

Sebagai jawaban terhadap strategi Jepang yang memberikan kemenangan cepat untuk
menguasai Manchuria, Rusia melakukan tindakan-tindakan penghalang untuk
memperoleh cukup waktu untuk menunggu tibanya pasukan-pasukan tambahan yang
datang melalui jalan kereta api Trans-Siberia yang panjang. Pada 1 Mei, pecahlah
Pertempuran Sungai Yalu. Dalam pertempuran ini pasukan-pasukan Jepang menyerang
sebuah posisi Rusia setelah mereka menyeberangi sungai itu tanpa menghadapi
perlawanan. Ini adalah sebuah pertempuran besar pertama dari perang ini di daratan.
Pasukan-pasukan Jepang bergerak maju dan mendarat di beberapa titik di pantai
Manchuria, serta melakukan sejumlah pertempuran hingga memukul balik pasukan-
pasukan Rusia ke Port Arthur. Pertempuran-pertempuran ini, termasuk Pertempuran
Nanshan pada 25 Mei, ditandai oleh kekalahan besar Jepang dalam penyerangan kepada
sejumlah posisi kuat Rusia, tetapi tentara Rusia tetap bersikap pasif dan tidak melakukan
serangan balasan.

Di laut, perang ini sama brutalnya. Setelah penyerangan pada 8 Februari terhadap Port
Arthur, pasukan Jepang berusaha mencegah pasukan Rusia menggunakan pelabuhan itu.

Arti penting
Perang ini menandai bangkitnya kekuatan Asia menandingi kekuatan Barat yang berkuasa
di Tiongkok saat itu. Kemenangan ini membuat kekuatan Barat harus memperhitungkan
Jepang dalam urusan politik di Asia. Selain itu, kemenangan ini memicu kebangkitan
nasional di negara-negara Asia lainnya yang sedang terjajah oleh negara Eropa. Ini
membuat negara-negara Asia berpikir bahwa negara-negara di Asia dapat sejajar dengan
negara-negara Barat.

8.2 Ekspansi Jepang terhadap cina

Perang Tiongkok-Jepang Kedua (7 Juli 1937 sampai 9 September 1945) adalah perang
besar antara Tiongkok dan Jepang, sebelum dan selama Perang Dunia II. Perang ini adalah
perang Asia terbesar pada abad ke-20. Walaupun kedua negara telah sebentar-sebentar
berperang sejak tahun 1931, perang berskala besar baru dimulai sejak tahun 1937 dan
berakhir dengan menyerahnya Jepang pada tahun 1945. Perang ini merupakan akibat dari
kebijakan imperialis Jepang yang sudah berlangsung selama beberapa dekade. Jepang
bermaksud mendominasi Tiongkok secara politis dan militer untuk menjaga cadangan
bahan baku dan sumber daya alam yang sangat banyak dimiliki Tiongkok. Pada saat yang
bersamaan, kebangkitan nasionalisme Tiongkok dan kebulatan tekad membuat
perlawanan tidak bisa dihindari. Sebelum tahun 1937, kedua pihak sudah bertempur
dalam insiden-insiden kecil dan lokal untuk menghindari perang secara terbuka. Invasi
Manchuria oleh Jepang pada tahun 1931 dikenal dengan nama Insiden Mukden. Bagian
akhir dari penyerangan ini adalah Insiden Jembatan Marco Polo tahun 1937 yang
menandai awal perang besar-besaran antara kedua negara.

Sejak tahun 1937 sampai 1941, Tiongkok berperang sendiri melawan Jepang. Setelah
peristiwa penyerangan terhadap Pearl Harbor terjadi, Perang Tiongkok-Jepang Kedua pun
bergabung dengan konflik yang lebih besar, Perang Dunia II.
Dalam bahasa Tionghoa, perang ini dikenal sebagai Perang Perlawanan terhadap Jepang
(抗日戰爭), dan juga dikenal sebagai Perang Perlawanan Delapan Tahun (八年抗戰), atau
lebih singkat Perang Perlawanan (抗戰).

Di Jepang, Perang Jepang-Tiongkok ( 日 中 戦 争 Nicchū Sensō) lebih banyak digunakan


karena netralitasnya.

Kata insiden ( 事 変 , jihen) digunakan oleh Jepang karena tidak ada negara yang
mendeklarasikan perang satu sama lain. Jepang berusaha menghindari campur tangan
dari negara lain seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang merupakan pengekspor utama
besi untuk Jepang. Presiden Amerika Serikat, Roosevelt akan menjatuhkan embargo
berdasarkan serangkaian undang-undang yang disebut Akta Netralitas jika pertempuran
tersebut disebut perang.

Dalam propaganda Jepang, penyerbuan terhadap Tiongkok merupakan perang suci


(seisen), langkah pertama dari slogan Hakko ichiu (delapan sudut dunia di bawah satu
atap). Pada tahun 1940, perdana menteri Konoe membentuk Liga Anggota Parlemen yang
Percaya Tujuan Perang Suci. Ketika kedua belah pihak secara resmi mendeklarasikan
perang pada Desember 1941, namanya diubah menjadi Perang Asia Timur Raya (大東亜戦
争, Daitōa Sensō).

Pada waktu itu, pemerintah Jepang masih menggunakan istilah “Insiden Shina” dalam
dokumen resmi. Berdasarkan alasan penggunaan kata “Shina” dianggap menghina oleh
Tiongkok, media Jepang sering menggantinya dengan istilah-istilah lain yang juga pernah
digunakan media tahun 1930-an, seperti: Insiden Jepang-China ( 日華事変 [Nikka Jihen],
日支事変 [Nisshi Jihen].

Pada tahun 1915, Jepang mengeluarkan Dua Puluh Satu Permintaan terhadap Tiongkok
untuk menambah kepentingan dalam bidang politik dan perdagangan dengan Tiongkok.
Setelah Perang Dunia I, Jepang merebut kekuasaan daerah Shandong dari Jerman.
Tiongkok di bawah pemerintahan Beiyang tetap terpecah-belah dan tidak mampu untuk
melawan serbuan asing sampai Ekspedisi Utara tahun 1926-1928, yang dilancarkan oleh
Kuomintang (KMT, atau Partai Nasionalis Tiongkok), pemerintahan saingan yang berpusat
di Guangzhou. Ekspedisi Utara meluas ke seluruh Tiongkok hingga akhirnya terhenti di
Shandong. Pemimpin militer Beiyang, Zhang Zongchang yang didukung Jepang berusaha
menghentikan gerak maju Pasukan Kuomintang dalam menyatukan Tiongkok. Situasi ini
mencapai puncaknya ketika pasukan Kuomintang dan Jepang terlibat dalam pertempuran
yang disebut Insiden Jinan tahun 1928. Pada tahun yang sama, pemimpin militer
Manchuria, Zhang Zuolin juga dibunuh karena ia tidak lagi mau bekerja sama dengan
Jepang. Setelah insiden-insiden ini, pemerintah Kuomintang di bawah pimpinan Chiang
Kai-shek akhirnya berhasil menyatukan Tiongkok pada tahun 1928.
Walaupun demikian, sejumlah pertempuran antara Tiongkok dan Jepang terus berlanjut
karena meningkatnya nasionalisme Tiongkok, dan untuk memenuhi salah satu tujuan
dari Tiga Prinsip Rakyat, yaitu untuk mengeluarkan Tiongkok dari imperialisme asing.
Bagaimanapun, Ekspedisi Utara hanya mampu menyatukan Tiongkok secara nama saja,
dan perang saudara pecah di antara para mantan pemimpin militer dan faksi saingan,
Kuomintang. Sebagai tambahan lagi, para komunis Tiongkok memberontak terhadap
pemerintah pusat setelah melakukan pembersihan terhadap anggotanya. Karena situasi-
situasi demikian, pemerintahan pusat Tiongkok mengalihkan banyak perhatian pada
perang-perang saudara dan mengikuti kebijakan “pendamaian internal didahulukan
sebelum melawan pihak asing”. Situasi ini memberikan kesempatan yang mudah bagi
Jepang untuk melanjutkan agresinya. Pada tahun 1931,
Jepang menginvasi Manchuria segera setelah Insiden Mukden. Setelah bertempur selama
lima bulan, pada tahun 1932, negara boneka Manchukuo dibentuk dengan kaisar terakhir
Tiongkok, Puyi, diangkat sebagai kepala negara. Tidak bisa menantang Jepang secara
langsung, Tiongkok meminta bantuan kepada Liga Bangsa-Bangsa. Investigasi liga ini
menerbitkan Laporan Lytton, yang mengutuk Jepang karena telah menyerang Manchuria,
dan mengakibatkan Jepang mengundurkan diri dari Liga Bangsa. Sejak akhir tahun 1920-
an dan selama tahun 1930-an, ketenangan adalah dasar dari komunitas internasional dan
tidak ada satu negara pun yang ingin menunjukkan pendirian secara aktif, melainkan
hanya mengeluarkan kecaman-kecaman kecil. Jepang menganggap Manchuria sebagai
sebuah sumber bahan baku yang tidak terbatas dan juga sebagai sebuah negara
penyangga terhadap ancaman Uni Soviet.

Konflik yang terjadi menyusul Insiden Mukden tidak terhenti. Pada tahun 1932, tentara
Tiongkok dan Jepang bertempur dalam sebuah pertempuran singkat pada Insiden 28
Januari di Shanghai. Pertempuran ini menghasilkan demiliterisasi Shanghai, yang
melarang Tiongkok untuk menempatkan tentara di kota mereka sendiri. Di Manchukuo,
terdapat sebuah kampanye yang sedang berlangsung untuk mengalahkan tentara
sukarelawan yang bangkit karena kekecewaan terhadap kebijakan yang tidak menentang
Jepang. Pada tahun 1933, Jepang menyerang wilayah Tembok Besar, dan setelah
itu, Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani, yang memberi Jepang kendali atas
provinsi Rehe dan sebuah zona demiliterisasi antara Tembok Besar dan wilayah Beiping-
Tianjin. Jepang bertujuan untuk membuat wilayah penyangga yang lain, kali ini antara
Manchukuo dan pemerintah Nasionalis Tiongkok yang saat itu beribu kota di Nanjing.

Selain itu, Jepang semakin memperalat konflik internal antara faksi-faksi Tiongkok untuk
mengurangi kekuatan mereka satu demi satu. Hal ini disebabkan karena fakta bahwa
beberapa tahun setelah Ekspedisi Utara, kekuatan politik pemerintah Nasionalis hanya
meluas di sekitar Delta Sungai Panjang (Yangtze), dan wilayah lain Tiongkok yang memang
berada dalam kekuatan regional. Jepang sering membeli atau membuat hubungan khusus
dengan kekuatan-kekuatan regional ini untuk merusak usaha pemerintah Nasionalis pusat
untuk menyatukan Tiongkok. Untuk itu, Jepang mencari berbagai pengkhianat
Tiongkok untuk bekerja sama dan membantu mereka memimpin beberapa pemerintahan
otonomi yang bersahabat dengan Jepang. Kebijakan ini disebut Pengkhususan Tiongkok
Utara (Hanzi: 華 北 特 殊 化 ; Pinyin: húaběitèshūhùa), atau yang lebih sering diketahui
sebagai Gerakan Otonomi Tiongkok Utara. Provinsi bagian utara yang terlibat dalam
kebijakan ini adalah Chahar, Suiyuan, Hebei, Shanxi, dan Shandong.

Pada tahun 1935, di bawah tekanan Jepang, Tiongkok menandatangani Perjanjian He-


Umezu, yang melarang KMT untuk menjalankan kegiatan partainya di Hebei dan secara
langsung mengakhiri kekuasaan Tiongkok atas Tiongkok Utara. Pada tahun yang
sama, Perjanjian Chin-Doihara ditandatangani dan mengakibatkan KMT disingkirkan
dari Chahar. Dengan demikian, pada akhir 1935, pemerintahan pusat Tiongkok telah
disingkirkan dari Tiongkok Utara. Sebagai gantinya, Majelis Otonomi Hebei
Timur dan Majelis Politik Hebei-Chahar dibentuk oleh Jepang.

8.3 ekspansi Jepang atas Korea


Korea pernah menjadi sebagian wilayah Kekaisaran Jepang mulai tahun 1910 hingga
tahun 1945. Keterlibatan Jepang bermula dengan Perjanjian Ganghwa tahun 1876 ketika
Dinasti Joseon Korea dan meningkatnya serentetan pembunuhan Ratu Myeongseong di
tangan agen-agen Jepang pada tahun 1895, lalu berpuncak dengan Perjanjian Eulsa tahun
1905 dan Perjanjian Aneksasi tahun 1910, yang kedua-duanya akhirnya dinyatakan “batal
dan tidak sah” oleh kedua belah pihak (Jepang dan Korea Selatan) pada tahun 1965.
Sepanjang tempo ini, meskipun Jepang membangun jaringan jalan raya dan komunikasi
modern, kehidupan rakyat biasa Korea amat keras. Peristiwa Penjajahan Jepang terhadap
Korea berakhir dengan penyerahan Jepang kepada Blok Sekutu pada tahun 1945 pada
akhir Perang Dunia II. Semenanjung Korea kemudian dibagi atas Korea Utara dan Selatan.
Zaman pendudukan ini meninggalkan pertentangan yang terus-menerus antara Jepang
dan kedua pihak Korea. Di Korea, zaman ini disebut Zaman Pendudukan Jepang (일제 강점
기; Ilje gangjeomgi) atau Zaman Kekaisaran Jepang (일제시대, Ilje sidae), kadang-kadang
juga Wae jeong (Hangul: 왜정, Hanja: 倭政), atau “administrasi Jepang”. Di Jepang, zaman
ini dipanggil Korea di bawah pemerintahan Jepang (日本統治時代の朝鮮).
8.4 Ekspansi Jepang atas wilayah lainnya

Namun Perang Asia Timur Raya secara resmi dimulai pada 8 Desember 1941, ketika
Jepang mengebom Pearl Harbour, pangkalan militer AS di Hawai, Samudra Pasifik.
Kemenangan Jepang di Pearl Harbour dan tempat lainnya mendorong Jepang melebarkan
sayapnya ke Asia Tenggara. Jepang ingin mengalahkan AS dan sekutu-sekutunya yakni
Inggris, Belanda, dan Australia
Negara-negara di Asia Tenggara saat itu dikoloni oleh bangsa Eropa. Inggris menguasai
Birma (Myanmar), Malaya (Malaysia), dan Borneo (Kalimantan). Perancis menguasai
Indochina (Kamboja, Laos, dan Vietnam). Spanyol menguasai Filipina (Spanish East Indies).
Sementara Indonesia dikuasai Belanda (Hindia Belanda).
Tak Cuma Pearl Harbour, pada 8 Desember 1941 Jepang juga menyerang Filipina,
Malaysia, Singapura, Hong Kong, hingga Thailand.

Masuknya Jepang ke Indonesia


Beberapa pekan setelahnya, barulah Jepang masuk ke Indonesia. Dikutip dari Pendudukan
Jepang di Indonesia (2019), pada tanggal 11 Januari 1942 tentara Jepang mendarat di
Tarakan, Kalimantan Timur. Jepang terus mengalahkan tentara Belanda di Kalimantan,
Sumatera, hingga basisnya di Jawa. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda
Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tentara Ter Poorte terpukul mundur hingga ke
Jawa Barat.
Pada Pada 8 Maret 1942 keduanya menemui Letnan Jenderal Imamura di Kalijati, Subang,
Jawa Barat untuk berunding. Hasilnya adalah penyerahan Angkatan Perang Hindia
Belanda kepada Jepang. Peralihan kekuasaan ini ditandai dengan ditandatanganinya
Perjanjian Kalijati antara Jenderal Ter Poorten dengan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura.

Jepang mengeksploitasi habis-habisan wilayah yang dikuasainya. Kawasan yang dijajah


dibangun pangkalan militer dan pertahanan. Rakyat dipaksa bekerja. Jika menolak, akan
disiksa dengan kejam bahkan tak sedikit yang meninggal. Para pekerja paksa ini tidak
hanya bekerja di negaranya, namun juga dikirim ke pulau-pulau lain. Banyak warga Tanah
Air yang dikirim ke Thailand dan Burma untuk berperang membela Jepang. Di Tanah Air,
banyak yang mati kelaparan. Sebagian besar hasil panen diambil pemerintah Jepang.
Harta benda seperti perhiasaan dan hewan ternak pun diperas demi kemenangan perang
Asia Timur Raya.

Agustus 1945, AS menjatuhkan bom Little Boy di Kota Hiroshima, Jepang, sebagai tahap
akhir PD II yang menewaskan lebih dari 120.000 orang. Setelah Hiroshima, Kota Nagasaki
menjadi sasaran berikutnya. Para pekerja paksa ini tidak hanya bekerja di negaranya,
namun juga dikirim ke pulau-pulau lain. Banyak warga Tanah Air yang dikirim ke Thailand
dan Burma untuk berperang membela Jepang.
Di Tanah Air, banyak yang mati kelaparan. Sebagian besar hasil panen diambil pemerintah
Jepang. Harta benda seperti perhiasaan dan hewan ternak pun diperas demi kemenangan
perang Asia Timur Raya. Jepang berdalih Perang Asia Timur Raya untuk membebaskan
Asia dari kapitalisme dan imperialisme Barat. Namun sejatinya, Jepang juga
mempraktikan imperialisme, bahkan lebih kejam dari Barat.

8.5 Jepang dalam pd I dan II

Jepang ikut serta dalam Perang Dunia I dari tahun 1914 sampai 1918 dalam aliansi
Persetujuan Negara dan memegang peranan penting dalam mengamankan jalur laut di
Pasifik Barat dan Samudra India terhadap Angkatan Laut Kekaisaran Jerman. Dari segi
politik, Jepang mengambil kesempatan untuk memperluas ranah pengaruhnya di Tingkok,
dan untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara besar di pascaperang geopolitik.

Militer Jepang merampas harta milik Jerman di Pasifik dan Asia Timur, tetapi tidak ada
mobilisasi besar dalam skala ekonomi.

Menteri Luar Negeri Katō Takaaki dan Perdana Menteri Ōkuma Shigenobu ingin
memanfaatkan kesempatan ini untuk memperluas pengaruh Jepang di Cina. Mereka
bergabung dengan Sun Yat-sen (1866–1925), kemudian mengasingkan diri di Jepang,
tetapi gagal.

Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, lembaga birokrasi otonom daerah, membuat keputusan
sendiri untuk melakukan perluasan di Pasifik. Merebut wilayah Mikronesia Jerman utara
pada garis khatulistiwa, dan memerintah pulau-pulau sampai tahun 1921. Operasi ini
memberikan para Angkatan Laut alasan untuk menggandakan anggaran Angkatan Darat
dan memperluas armada. Angkatan Laut kemudian memperoleh pengaruh politik yang
signifikan atas urusan nasional dan internasional.

Pada minggu pertama Perang Dunia I, Jepang diusulkan ke Inggris, untuk menjadi
sekutunya sejak tahun 1902, dan Jepang akan memasuki perang jika hal itu bisa merebut
wilayah Jerman Pasifik. Pada tanggal 7 Agustus 1914, pemerintah Inggris secara resmi
meminta bantuan Jepang untuk melenyapkan para perompak dari Angkatan Laut
Kekaisaran Jerman di sekitaran perairan Cina. Jepang kemudian mengirimkan ultimatum
kepada Jerman pada tanggal 14 Agustus 1914, dan tak ada jawaban; Jepang kemudian
secara resmi menyatakan perang terhadap Jerman pada tanggal 23 Agustus 1914. Sebagai
Wina yang menolak untuk menarik kembali kapal Austro-Hungaria SMS Kaiserin Elisabeth
dari Tsingtao, yang membuat Jepang menyatakan perang terhadap Austria-Hongaria, pada
tanggal 25 Agustus 1914.
Jepang dalam Pd II

Perang Pasifik atau Perang Asia Pasifik, atau yang dikenal di Jepang dengan nama Perang
Asia Timur Raya (Greater East Asia War ( 大東亜戦争 Dai Tō-A Sensō)) adalah perang yang
terjadi di Samudra Pasifik, pulau-pulaunya, dan di Asia. Konflik ini terjadi antara tahun
1937 dan 1945, namun peristiwa-peristiwa yang lebih penting terjadi setelah 7 Desember
1941, ketika Jepang menyerang Amerika Serikat serta wilayah-wilayah yang dikuasai
Britania Raya dan banyak negara lain serta yang dikuasai oleh sekutu. Perang ini dimulai
lebih awal dari Perang Dunia II yaitu pada tanggal 8 Juli 1937 oleh sebuah insiden yang
disebut Insiden Jembatan Marco Polo Peristiwa tersebut menyulut peperangan antara
Tiongkok dengan Jepang.Konflik antara Jepang dan Tiongkok dan beberapa dari peristiwa
dan serangannya yang penting juga merupakan bagian dari perang tersebut. Perang ini
terjadi antara pihak Sentral diantaranya Jepang, Jerman Nazi, dan Italia dengan pihak
Sekutu (termasuk Tiongkok), Amerika Serikat, Britania Raya, Filipina, Australia, Belanda
dan Selandia Baru. Uni Soviet berhasil memukul mundur Jepang pada 1939, dan tetap
netral hingga 1945, saat ia memainkan pernanan penting di pihak Sekutu pada masa-masa
akhir perang. Jepang pun menantang tetangganya, China, dalam Perang Sino Kedua.
Jepang menginvasi Manchuria, China pada 19 September 1931.

BAB III: SEJARAH BANGSA KOREA


1. Sejarah dan peradaban Korea kuno
Sejarah Korea bermula dari zaman Paleolitik Awal sampai dengan sekarang. Kebudayaan
tembikar di Korea dimulai sekitar tahun 8000 SM, dan zaman neolitikum dimulai sebelum
6000 SM yang diikuti oleh zaman perunggu sekitar tahun 2500 SM. Kemudian Kerajaan
Gojoseon berdiri tahun 2333 SM. Baru pada abad ke-3 SM Korea mulai terbagi-bagi
menjadi banyak wilayah kerajaan.
Pada tahun satu Masehi, Tiga Kerajaan Korea seperti Goguryeo, Silla dan Baekje mulai
mendominasi Semenanjung Korea dan Manchuria. Tiga kerajaan ini saling bersaing secara
ekonomi dan militer. Koguryo dan Baekje adalah dua kerajaan yang terkuat, terutama
Goguryeo, yang selalu dapat menangkis serangan-serangan dari Dinasti-dinasti Cina.
Kerajaan Silla perlahan-lahan menjadi kuat dan akhirnya dapat menundukkan Goguryeo.
Untuk pertama kalinya Semenanjung Korea berhasil disatukan oleh Silla pada tahun 676
menjadi Silla Bersatu. Para pelarian Goguryeo yang selamat mendirikan sebuah kerajaan
lain di sisi timur laut semenanjung Korea, yakni Balhae.
Silla Bersatu akhirnya runtuh di akhir abad ke-9, yang juga mengakhiri masa kekuasaan
Tiga Kerajaan. Kerajaan yang baru, Dinasti Goryeo, mulai mendominasi Semenanjung
Korea. Kerajaan Balhae runtuh tahun 926 karena serangan bangsa Khitan dan sebagian
besar penduduk serta pemimpinnya, Dae Gwang hyun, mengungsi ke Dinasti Goryeo.
Selama masa pemerintahan Goryeo, hukum yang baru dibuat, pelayanan masyarakat
dibentuk, serta penyebaran agama Buddha berkembang pesat. Tahun 993 sampai 1019
suku Khitan dari Dinasti Liao meyerbu Goryeo, tetapi berhasil dipukul mundur. Kemudian
pada tahun 1238, Goryeo kembali diserbu pasukan Mongol dan setelah mengalami perang
hampir 30 tahun, dua pihak akhirnya melakukan perjanjian damai.
Pada tahun 1392, Taejo dari Joseon mendirikan Dinasti Joseon setelah menumbangkan
Goryeo. Raja Sejong (1418-1450) mengumumkan penciptaan abjad Hangeul. Antara 1592-
1598, dalam Perang Imjin, Jepang menginvasi Semenanjung Korea, tetapi dapat
dipatahkan oleh prajurit pimpinan Admiral Yi Sun-shin. Lalu pada tahun 1620-an sampai
1630-an Dinasti Joseon kembali menderita serangan dari (Dinasti Qing).
Pada awal tahun 1870-an, Jepang kembali berusaha merebut Korea yang berada dalam
pengaruh Cina. Pada tahun 1895 Maharani Myeongseong dibunuh oleh mata-mata Jepang
Pada tahun 1905, Jepang memakasa Korea untuk menandatangani Perjanjian Eulsa yang
menjadikan Korea sebagai protektorat Jepang, lalu pada 1910 Jepang mulai menjajah
Korea.Perjuangan rakyat Korea terhadap penjajahan Jepang dimanifestasikan dalam
Pergerakan 1 Maret dengan tanpa kekerasan. Pergerakan kemerdekaan Korea yang
dilakukan Pemerintahan Provisional Republik Korea lebih banyak aktif di luar Korea
seperti di Manchuria, Cina dan Siberia.
Dengan menyerahnya Jepang pada tahun 1945, PBB membuat rencana administrasi
bersama Uni Soviet dan Amerika Serikat, namun rencana tersebut tidak terlaksana. Pada
tahun 1948, pemerintahan baru terbentuk, yang demokratik (Korea Selatan) dan komunis
(Korea Utara) yang dibagi oleh garis lintang 38 derajat. Ketegangan antara kedua belah
pihak mencuat ketika Perang Korea meletus tahun 1950 ketika pihak Korea Utara
menyerang Korea Selatan.

1.1 garis beras tiga kerajaan


Periode Proto Tiga Kerajaan (Masa Sebelum Tiga Kerajaan) kadang-kadang disebut
Periode Banyak Negara ( 열국시대), atau masa sebelum munculnya tiga kerajaan seperti
Goguryeo, Baekje dan Silla. Pada masa ini terdapat banyak negara pecahan kerajaan
Gojoseon. Yang terbesar adalah Dongbuyeo (Buyeo Timur) dan Bukbuyeo (Buyeo Utara).

Buyeo dan Kerajaan dari Utara


Buyeo
Setelah kehancuran Gojoseon, Buyo berkembang di Korea Utara saat ini dan sebelah
selatan Manchuria, dari abad ke 2 SM sampai tahun 494 M. Sisa-sisa wilayah Gojoseon
diserap oleh Goguryeo tahun 494, dan keduanya (Kerajaan Goguryeo dan Baekje)
menganggap masing-masing sebagai penerus dari Gojoseon. Walaupun banyak dari
catatan sejarah tidak akurat dan bertentangan, disebutkan pada tahun 86 SM, Buyeo
terpecah jadi Buyeo Utara (Bukbuyeo) dan Buyeo Timur (Dongbuyeo). Pada tahun 538
Baekje menamakan diri mereka Nambuyeo (Buyeo Selatan).

Okjeo adalah kerajaan yang terletak di sebelah utara semenanjung Korea dan berdiri
setelah jatuhnya Gojoseon. Okjo sendiri sudah menjadi bagian dari Gojoseon sebelum
Gojoseon hancur. Okjeo tidak pernah menjadi sepenuhnya kerajaan yang bebas karena
selalu menghadapi intervensi dari kerajaan-kerajaan tetangganya. Okjeo kemudian
menjadi taklukan Goguryeo di bawah Raja Gwanggaeto yang Agung pada abad ke 5 M.

Dongye adalah kerajaan kecil lain yang terletak di sebelah utara Semenanjung Korea.
Dongye berbatasan dengan Okjeo dan dua kerajaan lain yang juga menjadi negeri
taklukkn Goguryeo. Dongye juga adalah pecahan dari Gojoseon.

Samhan
Samhan ( 三 韓 ) adalah tiga negara konfederasi yaitu Mahan, Jinhan dan Byeonhan.
Samhan terletak di bagian selatan Semenanjung Korea. Tiga konfederasi ini menjadi
tonggak pendirian kerajaan Baekje, Silla dan Gaya. Mahan adalah yang terbesar dengan
54 negara bagian, Byeonhan dan Jinhan masing-masing memiliki 12 negara bagian. Kata
samhan kemudian digunakan untuk menunjuk Tiga Kerajaan Korea.

Hanja “han” ( 韓 ) dari Samhan saat ini digunakan untuk menunjuk Korea (Dae Han Min
Guk).

Proto Tiga Kerajaan

Goguryeo adalah kerajaan paling besar di antara Tiga Kerajaan. Goguryeo didirikan tahun
37 SM oleh Jumong (Dongmyeongseong) pertama memeluk Buddhisme pada tahun 372
pada masa pemerintahan Raja Raja Sosurim.

Goguryeo mencapai masa keemasan pada abad ke 5, ketika Raja Gwanggaeto yang Agung
dan anaknya Raja Raja Jangsu memperluas wilayah kekuasaan sampai Manchuria dan
Mongolia, serta merebut Seoul dari tangan kerajaan Baekje. Gwanggaeto dan Jangsu
akhirnya memaksa Baekje dan Silla untuk tunduk dan untuk pertama kalinya menyatukan
semenanjung Korea.
Goguryeo menangkis berkali-kali serangan tentara Cina dalam Perang Goguryeo-Sui tahun
598 sampai 614 yang menyebabkan runtuhnya Dinasti Sui. Namun dengan banyaknya
perang dengan Cina, telah perlahan-lahan melemahkan Goguryeo. Goguryeo ditundukkan
dalam serangan gabungan Silla dan Dinasti Tang tahun 668.

Baekje
Baekje didirikan tahun 18 SM oleh Onjo seperti yang disebutkan di Samguk Sagi.

Teks Cina kuno Sanguo Zhi menyebutkan bahwa Baekje adalah bagian dari Konfederasi
Mahan yang berlokasi di lembah Sungai Han (dekat Seoul saat ini). Baekje memperluas
wilayah kekuasaannya ke provinsi Chungcheong dan Jeolla dan menjadi saingan bagi
Goguryeo dan dinasti-dinasti di Cina.

Pada puncak kegemilangannya pada abad ke 4, Baekje menguasai semua negara bagian
Konfederasi Mahan dan menguasai bagian barat semenanjung Korea.

Baekje memainkan peran yang penting dalam mentransfer perkembangan budaya ke


Jepang seperti pengenalan karakter Tionghoa, agama Buddha, pembuatan barang dari
besi, keramik dan upacara pemakaman [16] Baekje ditundukkan oleh aliansi Silla dan
Dinasti Tang pada tahun 660 dan anggota kerajaannya melarikan diri ke Jepang.

Silla
Menurut catatan sejarah, Kerajaan Silla terbentuk pada saat unifikasi negara bagian milik
Konfederasi Jinhan oleh Bak Hyeokgeose tahun 57 SM di bagian selatan semenanjung
Korea.

Artefak Silla seperti kerajinan emas menunjukkan adanya pengaruh nomadik, dan tidak
dipengaruhi budaya Tionghoa seperti halnya milik Goguryeo dan Baekje. Silla berkembang
cepat dan menguasai wilayah lembah sungai Han dan menyatukan berbagai wilayah kecil.

Pada abad ke 2, Silla mulai tumbuh menjadi kerajaan yang kuat dan sering terlibat perang
dengan Baekje, Goguryeo dan Jepang. Pada tahun 660 Raja Silla, Muyeol, menundukkan
Baekje bersama Jenderal Kim Yushin yang dibantu pasukan dari Dinasti Tang. Pada tahun
661 Silla dan Tang menyerbu Goguryeo, namun dapat ditangkis. Raja Muyeol melakukan
serangan lagi tahun 667 dan Goguryeo ditaklukkan pada tahun berikutnya.
Gaya
Konfederasi Gaya adalah sebuah konfederasi yang terletak di lembah sungai Nakdong di
Korea bagian selatan. Gaya berkembang dari Konfederasi Byeonhan dan pada tahun 562
ditaklukkan oleh Silla.

1.2 Kebudayaan kaum bangsawan dan Invasi Mongol

Invasi Mongol ke Korea (1231 – 1273) adalah seri dari serangan Kekaisaran Mongol
terhadap Dinasti Goryeo yang setelah itu menyebabkan kapitulasi korea dan dilanjutkan
dengan Invasi Mongol ke Jepang. Terjadi 6 kali invasi besar yang mengakibatkan kerugian
material dan jiwa yang cukup besar terhadap kehidupan rakyat Goryeo. Selama 80 tahun
Goryeo menjadi negeri jajahan dan pembayar upeti Dinasti Yuan.

Invasi awal dan Kedua


Raja Gojong (bertahta 1213 – 1259) adalah raja Goryeo ke-23 saat tahun 1225, Kekaisaran
Mongol meminta Goryeo menyerahkan upeti, namun Goryeo menolak dan utusan
Mongol Chu-ku-yu terbunuh. Akibat peristiwa itu, pada tahun 1231, Ögedei Khan
memimpin invasi ke Korea dan pasukan mereka mencapai sejauh Chungju di selatan. Pada
tahun 1232, keluarga istana Goryeo pindah dari Songdo ke pulau Ganghwa secara diam-
diam untuk berlindung. Tempat itu diperketat dengan konstruksi benteng-benteng untuk
mengantisipasi ancaman Mongol. Pemimpin pasukan Mongol memprotes kepindahan itu
dan melancarkan invasi yang kedua ke Goryeo. Walau mereka mencapai bagian selatan
semenanjung, mereka tetap tidak bisa merebut Ganghwa dan bahkan dikalahkan di
Gwangju. Di Yongin perlawanan rakyat cukup kuat. Seorang jenderal pasukan Mongol,
Salietai, tewas terbunuh oleh biksu Kim Yun-hu. Akibat peristiwa itu pasukan Mongol
menarik diri untuk sementara.

Invasi ketiga
Pada tahun 1235, tentara Mongol menginvasi wilayah Jeolla dan Gyeongsang. Militer dan
rakyat Goryeo cukup berhasil dalam memenangkan beberapa pertempuran, namun tidak
mampu menahan gelombang-gelombang serangan. Pada tahun 1236, Raja Gojong
memerintahkan pembuatan kembali Tripitaka Koreana yang musnah akibat invasi tahun
1232. Proses penciptaan kembali memakan waktu 15 tahun untuk menghasilkan lebih dari
81 ribu buah blok-blok cetak dari kayu.
Pada tahun 1238, pihak Goryeo melunak dan meminta Mongol agar berdamai. Pihak
Mongol setuju dan mensyaratkan agar Goryeo mengirimkan salah seorang anggota
keluarga kerajaan sebagai sandera. Goryeo mengirimkan seorang yang tidak ada
hubungan darah dengan kerajaan. Merasa dipermainkan, pihak Mongol meminta syarat
lebih banyak untuk berdamai antara lain perairan semenanjung Korea harus dikosongkan
dari aktivitas kapal, lalu meminta pihak kerajaan untuk kembali ke istana di Songdo,
pengendalian birokrat anti Mongol dan lagi, anggota keluarga kerajaan sebagai sandera.
Goryeo merespon dengan mengirim seorang putri dari kerabat jauh dan 10 orang anak
bangsawan dan menolak syarat-syarat lainnya.

Invasi keempat dan kelima


Pada tahun 1247, tentara Mongol memulai penyerangan keempat melawan Goryeo, dan
kembali meminta pihak penguasanya kembali ke Songdo dan seorang anggota keluarga
sebagai sandera. Tapi, dengan kematian Guyuk Khan pada tahun 1248, tentara Mongol
kembali menarik serangannya. Tahun 1251 dengan diangkatnya Mongke Khan, tentara
Mongol kembali meminta syarat yang terdahulu. Goryeo menolak mentah-mentah
sehingga pada tahun 1253, tentara Mongol melakukan penyerbuan besar. Akhirnya Raja
Gojong kembali ke Songdo dan mengirimkan salah seorang putranya, Pangeran
Angyeonggong (安慶公) sebagai sandera. Segera setelah itu Mongol menarik diri.

Invasi keenam dan perjanjian damai


Jenderal Mongol mengetahui bahwa para pejabat tinggi Goryeo ternyata masih berdiam
di Ganghwa dan mereka masih anti terhadap Mongol. Antara tahun 1253 dan 1258,
dibawah Jenderal Jailartai, tentara Mongol melancarkan 4 kali serangan besar yang
menjadi invasi final terhadap Goryeo.
Ada 2 kelompok partai dalam tubuh Goryeo: partai literati (kaum intelektual) yang setuju
berdamai dengan Mongol dan junta militer yang dipimpin klan Choe yang anti Mongol.
Perjanjian damai berhasil dilaksanakan tahun 1270 setelah dikator Choe Chung-heon
dibunuh oleh anggota partai literati. Perjanjian menghasilkan diizinkannya pengendalian
terhadap kedaulatan militer negara dan budaya, menandakan bahwa Kekaisaran Mongol
tidak sanggup memenuhi usaha menjajah Goryeo.

Setelahnya

Perlawan internal dalam tubuh kerajaan terus berlangsung walaupun telah dilakukan
perjanjian damai dengan Mongol tahun 1270. Sejak Choe Chung-heon, Goryeo adalah
dinasti kediktatoran militer, yang dipimpin oleh tentara khusus dari klan Choe yang
berpengaruh. Para pejabat militer melakukan Pemberontakan Sambyeolcho tahun 1270-
1273 dan bertahan di pulau-pulau di selatan semenanjung Korea. Dimulai dari masa
kekuasaan Raja Wonjong, untuk selama 80 tahun, Goryeo adalah negeri jajahan Mongol.
Sebagai pemenuhan janji kepada Khan Besar atau Kaisar Mongol (dan untuk meninggikan
martabat raja di antara para jenderal dan pejabat Mongol yang menjajah negeri), semua
pemimpin Goryeo mulai dari Raja Chungnyeol, putra dan penerus Raja Wonjong sampai
Raja Gongmin menikahi anggota keluarga Kekaisaran Mongol. Mereka semua dianggap
sebagai bangsawan Mongol dari garis Genghis Khan lewat ibu mereka dan dibesarkan
sebagai orang Mongol di Karakorum sampai dewasa. Pengaruh Mongol di Goryeo
dihapuskan oleh Raja Gongmin yang memulai pelucutan kekuasaan Mongol mulai tahun
1350-an.

1.3 Dinasti Joseon


Joseon
Tahun 1392 setelah Goryeo tumbang, Dinasti yang baru mulai didirikan oleh Jenderal Yi
Seong-gye, yaitu Dinasti Joseon. Ia menamakan kerajaan ini sebagai Joseon untuk
memberikan penghormatan terhadap Gojoseon, yang merupakan kerajaan pertama
bangsa Korea. Yi seong gye memindahkan ibu kota ke Hanseong dan membangun
Gyeongbokgung serta mengesahkan Konfusianisme sebagai agama negara, yang akhirnya
membuat para pendeta Buddha kehilangan kekayaan dan kemakmuran. Dinasti Joseon
menikmati perkembangan yang sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Contohnya adalah penemuan abjad Hangeul tahun 1443 oleh Raja Sejong.
Dinasti Joseon adalah dinasti yang memiliki usia pemerintahan terpanjang di Asia Timur
dalam milenium terakhir.

Ekonomi
Joseon memiliki keadaan ekonomi yang stabil dalam masa-masa damainya, terutama
pada masa pemerintahan Raja Sejong yang Agung. Walau demikian, ekonomi Joseon juga
pernah menderita banyak kelesuan selain karena serangan-serangan Jepang tahun 1592-
1598, juga karena terbongkarnya skandal korupsi internal, suap dan juga pengenaan pajak
yang tinggi.

Keadaan sosial masyarakat


Dinasti Joseon menerapkan sistem kemasyarakatan yang ketat bagi rakyat yang sangat
memengaruhi keadaan ekonomi. Raja adalah puncak dari pemerintahan, sementara
Yangban (bangsawan) dan pejabat kantor kerajaan berada di bawahnya. Di bawah
Yangban dan pejabat merupakan golongan tengah yang terdiri dari kaum pedagang dan
pengrajin. Bagian terbesar dari sistem ini tentunya adalah rakyat jelata yang terdiri dari
kaum petani dan budak. Kaum budak menempati posisi terbawah dan tidak membayar
pajak pada pemerintah. Jumlah kaum ini pernah mencapai 30% dari populasi.

Invasi-invasi asing
Joseon menderita luka-luka berat pada saat masa Invasi Jepang ke Korea tahun 1592-
1598, Invasi Dinasti Qing tahun 1627 dan 1636. Banyak fasilitas yang hancur dan rusak
yang membuat perekonomian melemah.

1.4 Kebudayaan nasional Korea


Budaya tradisional Korea diwarisi oleh rakyat Korea Utara dan Korea Selatan. Rumah
Masyarakat tradisional Korea memilih tempat tinggal berdasarkan geomansi. Orang Korea
meyakini bahwa beberapa bentuk topografi atau suatu tempat memiliki energi baik dan
buruk (dalam konsep eum dan yang) yang harus diseimbangkan. Geomansi memengaruhi
bentuk bangunan, arah, serta bahan-bahan yang digunakan untuk membangunnya.
Rumah menurut kepercayaan mereka harus dibangun berlawanan dengan gunung dan
menghadap selatan untuk menerima sebanyak mungkin cahaya matahari. Cara ini masih
sering dijumpai dalam kehidupan modern saat ini.
Rumah tradisional Korea (biasanya rumah bangsawan atau orang kaya) menjadi bagian
dalam (anchae), bagian untuk pria (sarangchae), ruang belajar (sarangbang) dan ruang
pelayan (haengrangbang). Besar rumah dipengaruhi oleh kekayaan suatu keluarga.
Rumah-rumah ini memiliki penghangat bawah tanah yang disebut ondol yang berfungsi
saat musim dingin.
Taman korea adalah bentuk atau rancangan taman tradisional khas Korea. Walau taman
Korea amat dipengaruhi konsep taman Tiongkok, rancang bangunnya memiliki keunikan
tersendiri.
Karakterisitik taman Korea adalah kesederhanaan, alami dan tidak dipaksakan untuk
mengikuti suatu aturan khusus. Dibanding taman Tiongkok dan taman Jepang yang
memiliki banyak elemen pelengkap karena konsep mengimitasikan pemandangan asli,
taman Korea mungkin lebih tampak kurang akan unsur pelengkap.

Taman Korea sangat mencolok dan sederhana karena selalu terdapat kolam teratai
dengan bangunan paviliun di dekatnya. Kolam dihubungkan dengan aliran alami yang bagi
orang Korea sangat indah untuk dipandang.
Pakaian tradisional Korea disebut Hanbok (Korea Utara menyebut Choson-ot). Hanbok
terbagi atas baju bagian atas (Jeogori), celana panjang untuk laki-laki (baji) dan rok wanita
(Chima).
Orang Korea berpakaian sesuai dengan status sosial mereka sehingga pakaian merupakan
hal penting. Orang-orang dengan status tinggi serta keluarga kerajaan menikmati pakaian
yang mewah dan perhiasan-perhiasan yang umumnya tidak bisa dibeli golongan rakyat
bawah yang hidup miskin.
Dahulu, Hanbok diklasifikasikan untuk penggunaan sehari-hari, upacara dan peristiwa-
peristiwa tertentu. Hanbok untuk upacara dipakai dalam peristiwa formal seperti ulang
tahun anak pertama (doljanchi), pernikahan atau upacara kematian.
Saat ini hanbok tidak lagi dipakai dalam kegiatan sehari-hari, namun pada saat-saat
tertentu masih digunakan.
Bentuk kuliner Korea dipengaruhi oleh kebudayaan pertanian mereka. Makanan
pokoknya adalah beras. Hasil utama pertanian rakyat Korea adalah beras, gandum dan
kacang-kacangan. Hasil laut pun melimpah seperti ikan, cumi-cumi dan udang, sebab
Korea dikelilingi 3 lautan.
Kuliner Korea sebagian besar dibentuk dari hasil fermentasi yang sudah berkembang sejak
lama. Contohnya adalah kimchi dan doenjang. Makanan fermentasi sangat berguna dalam
menyediakan protein dan vitamin ketika musim dingin.
Beberapa menu makanan dikembangkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa khusus
seperti festival atau upacara seperti ulang tahun anak yang ke-100 hari, ulang tahun
pertama, perkawinan, ulangtahun ke-60, upacara pemakaman dan sebagainya. Pada
peristiwa-peristiwa ini selalu dijumpai kue-kue beras yang berwarna-warni.
Makanan kuil berbeda dari makanan biasanya karena melarang penggunaan 5 jenis
bumbu yang biasa dipakai seperti bawang putih, bawang merah, daun bawang, rocambole
(sejenis bawang), bawang perai, jahe serta daging.
Makanan kerajaan (surasang) saat ini sangat terkenal karena sudah dapat dinikmati
seluruh lapisan rakyat.
Teh diperkenalkan di Korea dari Tiongkok sejak lebih dari 2000 tahun lalu ketika agama
Buddha disebarkan. Teh digunakan dalam upacara-upacara persembahan. Bentuk
kebudayaan teh bangsa Korea terukir dalam upacara teh Korea (Dado).
Kalender Korea dibagi dalam 24 titik putaran (jeolgi) yang masing-masing terdiri dari 15
hari dan digunakan untuk menentukan masa tanam atau panen pada masyarakat agraris
pada zaman dahulu, namun pada saat ini tidak digunakan lagi. Kalender Gregorian
diperkenalkan di Korea tahun 1895, tetapi hari-hari tertentu seperti festival, upacara,
kelahiran dan ulang tahun masih didasarkan pada sistem kalender lunisolar.

Festival terbesar di Korea antara lain:


 Seollal, imleknya Korea yang jatuh tepat bersamaan dengan tahun baru Imlek.
 Daeboreum, festival bulan purnama pertama
 Dano, festival musim semi
 Chuseok, festival panen raya atau festival kue bulan

Banyak sekali permainan khas Korea seperti:

 Baduk, igo versi Korea. Baduk sangat populer di kalangan orang tua.
 Janggi, versi lama dari catur Tiongkok, Xiangqi
 Yut, permainan keluarga yang sering dimainkan saat festival
 Ssangnyuk, backgammon versi Korea
 Chajeon nori, permainan tradisional perang-perangan antara dua kelompok orang
 Ssireum, bergulat
 Tuho, permainan melemparkan anak panah ke dalam pot
 Geunetagi, permainan ayunan besar
 Seokjeon, permainan melempar batu
 Gakjeo, gulat asal zaman Tiongkok kuno
Ada beberapa situs-situs bersejarah Korea yang dijadikan Situs Warisan Dunia oleh
UNESCO

Kuil Jongmyo yang terletak di jantung kota Seoul dijadikan UNESCO sebagai Situs Warisan
Dunia pada tahun 1995. Kuil ini dibangun untuk menyimpan tablet-tablet memorial
anggota mendiang penguasa (Dinasti Joseon) yang didasarkan pada tradisi Konfusianisme.
Setiap tahun pada bulan Mei diadakan upacara Jongmyo (Jongmyo Daeje) yang
menampilkan upacara persembahan dan tarian. Pertama dibangun tahun 1394 dan
terbakar tahun 1592 ketika Jepang menyerang Korea, lalu pada tahun 1608 dibangun
kembali. Kuil ini berisi 19 buah tablet memorial para raja dan 30 tablet ratu yang
ditempatkan di dalam 19 buah kamar.
Changdeokgung atau “Istana Kebajikan Mulia” dibangun tahun 1405 dan musnah dilalap
api pada tahun 1592 akibat invasi Jepang, dan direkonstruksi kembali pada tahun 1609.
Lebih dari 300 tahun Istana Changdeok adalah pusat kedudukan kerajaan. Istana
Changdeok dimasukkan dalam daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1997.

Bulguksa atau “Kuil Negeri Buddha” adalah kompleks kuil Buddha yang dibangun pada
masa Silla Bersatu pada tahun 751 di kota Gyeongju. Beberapa Harta Nasional Korea
Selatan yang berharga tersimpan di dalam kuil ini, seperti:
Seokguram, kuil dalam gua dengan patung Buddha dan ukiran-ukiran dari granit yang
sangat indah.
Pagoda Tabo dan Pagoda Seokga yang berarsitektur khas Silla, serta ruangan-ruangan kuil
yang menjadi tempat peribadatan.
Bulguksa dan Seokguram merupakan Situs Warisan Dunia yang didaftarkan oleh UNESCO
pada tahun 1995.
Haeinsa adalah kuil Buddha tempat penyimpanan kitab suci Tripitaka Koreana. Dibangun
pada tahun 802 M di puncak Gunung Gaya di provinsi Gyeongsang Selatan.
Tripitaka Koreana adalah kitab suci Buddha yang tersusun dari ukiran tulisan di blok-blok
kayu, berjumlah 81.258 buah blok kayu yang tersusun rapi. Semua tulisannya diukir dalam
aksara Tionghoa (hanja).
Haeinsa menjadi daftar Warisan Dunia di UNESCO pada tahun 1995.
Benteng Hwaseong adalah sebuah benteng yang dibangun pada masa Dinasti Joseon yang
terletak di kota Suwon, provinsi Gyeonggi. Rekonstruksinya diselesaikan pada tahun 1796
dan melingkupi pada tanah yang datar dan bukit-bukit sepanjang 5,52 km. Benteng ini
memiliki 4 gerbang utama, sebuah gerbang air, 4 gerbang rahasia, dan sebuah menara
suar.
Benteng Hwaseong dimasukkan dalam daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada
tahun 1997.
Situs Gochang, Hwasun dan Ganghwa adalah situs purbakala dan ratusan kuburan-
kuburan kuno (dolmen) dari zaman megalitikum (dari sekitar tahun 1000 SM).
Semenanjung Korea adalah salah satu tempat terbanyak di dunia yang memiliki situs
dolmen. Situs-situs ini didaftarkan dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun
2000.
Wilayah historis kota Gyeongju dimasukkan dalam daftar UNESCO pada tahun 2000. Kota
Gyeongju adalah ibukota kerajaan Silla dimana masih terdapat kompleks makam
penguasa Silla yang berbentuk bukit-bukit besar. Wilayah Namsan terkenal akan artefak-
artefak Silla yang berharga seperti mahkota emas, perhiasan, kuil-kuil Buddha, pagoda
dan arca-arca yang umumnya berasal dari abad 7 sampai abad ke 10 Masehi.

Kompleks Makam Goguryeo


Komplek Makam Goguryeo berada di wilayah negara Korea Utara, seperti di Pyongyang,
provinsi Pyongan Selatan, dan kota Nampo (Hwanghae Selatan). Kompleks Makam
Goguryeo ini terdiri dari 63 buah makam dan menjadi Situs Warisan Dunia pertama milik
Korea Utara pada bulan Juli 2004.

2. Pertukaran utusan dan perdagangan antar negara


2.1 Korea dan Jepang
Setelah pemisahan Korea, Jepang dan Republik Korea (RK) menjalin hubungan diplomatik
pada Desember 1965, di bawah Perjanjian tentang Hubungan-Hubungan Dasar antara
Jepang dan Republik Korea, dengan Jepang mengakui Korea Selatan sebagai satu-satunya
pemerintahan sah di semenanjung Korea. Menurut Jajak Pendapat Layanan Dunia BBC
2014, 13% orang Jepang memandang pengaruh Korea Selatan secara positif, dengan 37%
mengekspresikan pandangan negatif, sementara 15% orang Korea Selatan memandang
pengaruh Jepang secara positif, dengan 79% mengekspresikannya secara negatif,
membuat Korea Selatan, setelah China, negara dengan persepsi negatif terhadap Jepang
terbesar kedua di dunia. Disamping beberapa perebutan yang secara negatif berdampak
pada hubungan antara dua negara tersebut, Jepang dan Korea Selatan menikmati
pertukaran budaya satu sama lain.

Dari Korea Selatan ke Jepang


Pada tahun-tahun terkini, budaya pop Korea Selatan meraih popularitas utama di Jepang,
sebuah fenomena yang dijuluki “Korean wave” ( 韓流 ) di Jepang. Korean Wave meliputi
musik pop, drama dan film Korea di Jepang.

Sebuah serial televisi Korea yang berjudul Winter Sonata, yang pertama kali tayang di
Jepang pada April 2003, menjadi sebuah runaway hit di Jepang, dan sering diidentifikasi
sebagai markah tanah dalam pertukaran budaya Korea-Jepang. Artis K-pop perempuan
BoA adalah salah satu penyanyi paling terkenal di Jepang dengan enam album konsekutif-
nya meraih peringkat teratas di tangga lagu billboard.

Pada tahun-tahun yang lebih terkini, berbagai artis K-pop, yakni, Super Junior, TVXQ,
Choshinsung, Big Bang, Kara, Girls’ Generation, dan 2pm, telah membuat debut mereka di
Jepang, dan grup-grup tersebut memiliki kontribusi untuk melahirkan kembali Korean
wave di Jepang. Kara dan Girls’ Generation sebagian besar lagunya menempati peringkat
teratas sejumlah tangga lagu dan penghargaan di Jepang. Sejumlah grup lainnya, seperti
F.T. Island, SHINee dan BEAST juga memasuki pasaran Jepang.

Dari Jepang ke Korea Selatan


Setelah akhir Perang Dunia II, Korea Selatan melarang pengimporan budaya Jepang
seperti musik, film, permainan video, sastra (manga). Namun, larangan tersebut sebagian
ditangguhkan di bawah kepemimpinan Kim Dae-jung pada 1998. Pada 2004, pelarangan
terhadap impor CD dan DVD Jepang ditangguhkan. Saat ini, penyiaran musik dan drama
televisi Jepang masih menjadi hal ilegal.
2.2 Korea dan China
China merupakan negara yang menganggu aktivitas ekonomi Korea Selatan dengan
kebijakan tidak resmi, yakni pelarangan terhadap bisnis dari Korea Selatan di negaranya,
namun setelah dilakukan penempatan THAAD, China berupaya untuk memperbaiki
hubungan dengan Korea Selatan dengan melakukan perundingan antara kedua negara.
Alasan utama China berupaya untuk memperbaiki hubungan ekonomi dengan Korea
Selatan yakni karena kedua Korea yang sepakat berdialog untuk menghilangkan
ketegangan di semenanjung Korea dan pemerintah China memberikan dukungan dalam
proses tersebut. China masih menilai bahwa penempatan THAAD milik Amerika Serikat di
Korea Selatan sebagai ancaman bagi keamanan nasionalnya, tetapi memiliki keyakinan
jika Semenanjung Korea dan kawasan Asia Timur berada dalam keadaan yang damai dan
tanpa ada permasalahan di antara negara-negara di kawasan tersebut, Amerika Serikat
tidak akan memiliki alasan untuk melanjutkan.
Perbaikan hubungan ekonomi antara China dan Korea Selatan diawali dengan ucapan
selamat melalui surat yang diberikan oleh Presiden China terhadap kemenangan Moon
Jae In pada pemilihan umum Presiden Korea Selatan pada 10 Mei 2017 yang kemudian
dilanjutkan dengan panggilan suara yang dilakukan pada 11 Mei 2017. Pada panggilan
suara tersebut Xi Jinping menyatakan bahwa sebagai negara yang berada di wilayah Asia
Timur, baik China maupun Korea Selatan adalah negara-negara penting di wilayah
tersebut. Kedua belah pihak harus tetap setia pada komitmen awal ketika mulai menjalin
hubungan diplomatik, menghormati kekhawatiran utama satu sama lain, serta berusaha
untuk mencari landasan bersama.
Kemudian, sebagai lanjutan perundingan untuk memperbaiki hubungan pada 14-15 Mei
2017 delegasi dari Korea Selatan Park Byeong-seug menghadiri forum Belt and Road di
Beijing, China. Kemudian pada 18 Mei 2017 Presiden Korea Selatan mengirim utusan
khusus yakni mantan Perdana Menteri Lee Hae Chan untuk menemui Presiden Xi Jinping
dan Menteri luar negeri China Wang Yi, dan pada 19 Mei 2017 bertemu dengan Anggota
Dewan dan Penasehat negara China Yang Jiechi dalam pembicaraan lebih lanjut mengenai
perbaikan hubungan ekonomi China dan Korea Selatan.
Pada 6 Juli 2017 Presiden Korea Selatan dan China bertemu diantara pertemuan G20 di
Hamburg, Jerman yang kemudian menghasilkan kesepakatan Three No’s. Kunci dari
normalisasi hubungan ada pada kesepakatan Three NO’s yang mendorong normalisasi
hubungan dan upaya kerjasama antara kedua negara. Three No’s dikemukakan oleh
presiden Korea Selatan pada 6 Juli 2017 saat melakukan pertemuan dengan presiden
China, ketika kedua negara sedang menghadiri acara pertemuan G20 di Hamburg, Jerman.
Three NO’s memiliki dampak yang berbeda bagi kedua negara. Poin Three NO’s menjadi
kunci yang kemudian meyakinkan China untuk mengakhiri tindakan- tindakannya
sehubungan dengan THAAD. Three NO’s menjawab kekhawatiran China bahwa Korea
Selatan akan mengubah kondisi status quo di Asia Timur.
China sebagai rising great power, memiliki kompetisi dengan Amerika Serikat untuk
mendapatkan status setara di kawasan Asia Timur. Selain itu, China ingin menjaga status
quo terkait Semenanjung Korea yang itu berarti, tidak ingin terjadi perubahan diluar
kehendaknya. Terlebih meskipun China gagal mencegah pemasangan THAAD, China
mendapatkan sesuatu dari poin Three NO’s. China berhasil menempatkan Korea Selatan
di posisi yang tidak terlalu dekat dengan Amerika Serikat.
Namun, walaupun telah membuat kesepakatan Three No’s, kedua negara belum
membuat kesepakatan untuk normalisasi hubungan. Kemudian kedua wakil negara masih
terus melakukan pertemuan untuk mencapai kesepakatan untuk perbaikan hubungan
kedua negara. Setelah pertemuan di Jerman, pada 6 Agustus 2017 Menteri Luar Negeri
China mengadakan pertemuan terpisah dengan Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kang
Kyung-hwa di antara pertemuan ASEAN di Manila. Kemudian Forum Diplomasi Publik
China-Korea Selatan yang kelima diadakan di Pulau Jeju pada 17 Agustus 2017.
Setelah pertemuan di Jerman, pada 6 Agustus 2017 Menteri Luar Negeri China
mengadakan pertemuan terpisah dengan Menteri Luar Negeri Korea Selatan Kang Kyung-
hwa di antara pertemuan ASEAN di Manila. Kemudian Forum Diplomasi Publik China-
Korea Selatan yang kelima diadakan di Pulau Jeju pada 17 Agustus 2017. Pada 24 Agustus
2017 Presiden Xi Jinping dan Moon Jae In, serta Menteri Luar Negeri China dan Korea
Selatan, saling memberikan pesan ucapan selamat pada peringatan 25 tahun hubungan
diplomatik antara kedua negara. Selain itu dalam merayakan peringatan 25 tahun
hubungan diplomatik Duta Besar China, Qiu Guohong dan Wakil Menteri Luar Negeri
Korea Selatan Lim Sung-nam memberikan pidatonya di Kedutaan Besar China di Seoul.
Kemudian pada 30 Agustus 2017, mantan anggota parlemen Noh Young-min ditunjuk
sebagai duta besar Korea Selatan untuk China.
Sebelum mengumumkan perbaikan hubungan, China dan Korea Selatan pada 12 Oktober
2017 membuat kesepakatan di antara acara pertemuan keuangan internasional di
Washington untuk memperbarui kesepakatan pertukaran mata uang mereka. Kemudian
hubungan baik kedua negara kembali ditunjukan melalui pesan yang dikirimkan oleh
Presiden Korea Selatan kepada Xi Jinping atas terpilihnya kembali menjadi Presiden China.
Kemudian pada 31 Oktober 2017 Pemerintah China dan Korea Selatan akhirnya
mengumumkan melalui media bahwa kedua negara sepakat akan melakukan perbaikan
hubungan, setelah sebelumnya sejak Agustus 2016, China mengganggu aktifitas ekonomi
Korea Selatan dan menyebabkan hubungan ekonomi kedua negara mengalami kendala.
Setelah itu, kedua kepala negara membuat kesepakatan dan akan melakukan pertemuan
langsung.

3. Intervensi kekuatan asing di Korea dari dominasi ekonomi menjadi dominasi politik
3.1 Intervensi Jepang
Setelah mengalahkan Dinasti Qing Tiongkok pada Perang Tiongkok-Jepang Pertama
(1894–96), Kekaisaran Jepang menduduki Kekaisaran Korea (1897–1910) yang dipimpin
oleh Kaisar Gojong.[8] Satu dekade kemudian, saat mengalahkan Kekaisaran Rusia pada
Perang Rusia-Jepang (1904–05), Jepang menjadikan Korea sebagai protektorat-nya
melalui Perjanjian Eulsa pada tahun 1905, kemudian menganeksasinya melalui Perjanjian
Aneksasi Jepang-Korea pada tahun 1910.
Sejak saat itu banyak kaum nasionalis dan intelektual yang melarikan diri. Beberapa dari
mereka membentuk Pemerintahan Sementara Korea, dipimpin oleh Syngman Rhee, di
Shanghai pada tahun 1919, dan menjadi pemerintahan dalam pengasingan yang hanya
diakui oleh sedikit negara. Antara tahun 1919 hingga 1925, kaum komunis Korea memulai
pemberontakannya terhadap Jepang.
Korea dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Jepang bersama dengan Taiwan, yang
merupakan bagian dari Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya; pada tahun
1937, Gubernur-Jenderal Jirō Minami memerintahkan dilakukannya asimilasi budaya
Jepang terhadap 23,5 juta penduduk koloni dengan melarang bahasa, sastra, dan budaya
Korea, dan menggantinya dengan budaya Jepang, serta memerintahkan orang Korea
mengganti nama mereka menjadi nama Jepang. Pada tahun 1938, pemerintahan kolonial
menjalankan sistem kerja paksa; hingga 1939, 2,6 juta orang Korea bekerja di luar negeri
sebagai tenaga kerja paksa; pada tahun 1942, pria-pria di Korea dipaksa menjadi tentara
Jepang.

3.2 Intervensi China


Sementara itu di Tiongkok, kelompok nasionalis Tentara Revolusi Nasional dan kelompok
komunis Tentara Pembebasan Rakyat mengorganisir (sayap-kanan dan sayap-kiri) patriot
Korea yang mengungsi. Kelompok Nasionalis yang dipimpin oleh Yi Pom-sok bertempur di
Pertempuran Burma (Desember 1941 — Agustus 1945). Kelompok komunis, berada
dibawah pimpinan Kim Il-sung, bertempur melawan Jepang di Korea.

Selama Perang Dunia II, tentara Jepang memanfaatkan makanan, ternak, dan logam dari
Korea untuk tujuan perang. Tentara Jepang di Korea meningkat dari 46.000 (1941) ke
300.000 personel (1945). Tentara Jepang juga merekrut paksa 2,6 juta tenaga kerja yang
dikontrol oleh polisi kolaborasionis Korea; lebih dari 723.000 orang dikirim ke luar negeri
dan juga ke kota-kota di Jepang. Pada Januari 1945, 32% tenaga kerja Jepang adalah orang
Korea; pada Agustus 1945, ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hirosima,
25% di antara mereka tewas. Pendudukan Jepang di Korea dan Taiwan itu tidak diakui
oleh negara kekuatan dunia pada akhir perang.

3.3 Intervensi negara-negara Barat


Pada tahun berikutnya, Amerika Serikat dan Soviet membuat perjanjian untuk membagi
Korea menjadi dua, tanpa melibatkan pihak Korea. Korea saat itu diwakili oleh kolonel
Amerika Serikat Dean Rusk dan Charles Bonesteel. Dua tahun sebelumnya, di Konferensi
Kairo (November 1943), Nasionalis Tiongkok, Britania Raya, dan Amerika Serikat
memutuskan bahwa Korea harus menjadi negara merdeka, “pada waktunya”; Stallin pun
setuju. Pada bulan Februari 1945, di Konferensi Yalta, Sekutu gagal mendirikan perwalian
Korea sebagaimana diwacanakan pada tahun 1943 oleh presiden Amerika Serikat
Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill.

Sesuai perjanjian AS-Soviet, Uni Soviet mendeklarasikan perang pembebasan Korea dari
Jepang pada tanggal 9 Agustus 1945, dan, pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah
berhasil menduduki Korea bagian utara, dengan pendaratan amfibi di bagian utara paralel
ke-38. Soviet juga berhasil mengusir tentara Jepang dan masuk melalui Manchuria. Tiga
minggu kemudian, pada 8 September 1945, Letnan Jendral John R. Hodge dari Amerika
Serikat tiba di Incheon untuk menerima penyerahan Jepang di wilayah Selatan paralel ke-
38.

3. Terpecahnya Korea

4.1 Latar Belakang perpecahan Korea


Pemisahan Korea (1945)
Pada Konferensi Potsdam (Juli—Agustus 1945), Sekutu secara sepihak memutuskan untuk
membagi Korea tanpa melakukan konsultasi dengan pihak Korea sendiri. Hal ini tidak
sesuai dengan Konferensi Kairo (November 1943), ketika Churchill, Chiang Kai-shek, dan
Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan bahwa Korea harus menjadi negara bebas dan
merdeka. Selain itu, sebelumnya, Konferensi Yalta (Februari 1945) mengizinkan Stalin
membangun “zona penyangga” Eropa — negara satelit yang berada di bawah Moskwa —
sebagai balasan karena telah membantu Amerika Serikat di Perang Pasifik melawan
Jepang.
Pada tanggal 10 Agustus, Tentara Merah menguasai bagian utara semenanjung Korea,
sebagaimana yang telah disepakati, dan pada tanggal 26 Agustus berhenti di paralel utara
ke-38 selama 3 minggu untuk menunggu kedatangan pasukan Amerika Serikat di Selatan.
Pada hari itu pula, dengan semakin dekatnya jadwal kapitulasi Jepang (15 Agustus),
Amerika Serikat ragu Uni Soviet akan mengakui peran mereka dalam “komisi bersama”,
perjanjian pendudukan Korea yang disponsori Amerika Serikat. Sebulan sebelumnya,
untuk memenuhi persyaratan politik-militer Amerika Serikat, Kolonel Dean Rusk dan
Charles Bonesteel III membagi semenanjung Korea menjadi dua di garis lintang 38 derajat
setelah dengan terburu-buru (tiga puluh menit) memutuskan bahwa Daerah Pendudukan
AS di Korea harus setidaknya memiliki dua pelabuhan.
Untuk menjelaskan mengapa zona demarkasi (paralel ke-38) terlalu selatan, Rusk
mengatakan, “bahkan meskipun perbatasan itu lebih ke utara daripada yang dapat secara
realistis dicapai oleh pasukan Amerika, dalam hal terjadi perselisihan Soviet... kami
merasa penting untuk menyertakan ibu kota Korea sebagai tanggung jawab pasukan
Amerika,” terutama ketika “dihadapkan dengan kurangnya jumlah pasukan AS yang
tersedia, juga faktor ruang dan waktu, yang mengakibatkan sulitnya pasukan mencapai
lebih jauh ke utara sebelum pasukan Soviet sampai terlebih dahulu.” Pasukan Soviet
setuju dengan demarkasi itu.
Dengan berkuasanya pemerintahan militer, Jenderal John R. Hodge secara langsung
mengontrol Korea Selatan (USAMGIK 1945–48). Ia memperkuat kontrolnya dengan cara:
pertama, mengembalikan kekuasaan administrator-administrator kunci kolonial Jepang
dan juga polisi kolabolatornya; kedua menolak pengakuan USAMGIK terhadap Republik
Rakyat Korea (Agustus–September 1945)—pemerintahan sementara Korea yang mulai
berkuasa di semenanjung Korea—karena dianggap sebagai komunis. Kebijakan AS, yang
menolak pemerintahan populer di Korea, menimbulkan gejolak dalam masyarakat, dan
mengakibatkan munculnya Perang Saudara Korea. Pada 3 September 1945, Letnan Jendral
Yoshio Kozuki, komandan, Tentara Wilayah ke-17 Jepang, menghubungi Hodge,
mengatakan bahwa tentara Soviet mulai bergerak ke arah selatan lintang 38 derajat di
Kaesong. Hodge mempercayai keakuratan informasi itu.
Pada Desember 1945, Korea di bawah Komisi Bersama AS-Uni Soviet menyetujui
Konferensi Menteri Luar Negeri Moskwa (Oktober 1945), lagi-lagi tanpa melibatkan pihak
Korea. Komisi tersebut memutuskan bahwa negara tersebut akan merdeka setelah lima
tahun di bawah kepemimpinan dewan perwalian. Rakyat Korea marah dan memulai
revolusi di Selatan, beberapa hanya melakukan protes, sisanya mengangkat senjata;[9]
untuk menahannya, USAMGIK melarang demonstrasi (8 Desember 1945) dan mencabut
perlindungan hukum terhadap Pemerintahan Revolusioner dan Komite Rakyat Republik
Rakyat Korea pada 12 Desember 1945.
Penindasan kedaulatan ini mengakibatkan 8.000 pekerja kereta api berunjuk rasa pada 23
September 1946 di Pusan, yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Korea yang
dikuasai AS; USAMGIK pun kehilangan kekuasaannya. Pada 1 Oktober 1946, polisi Korea
membunuh tiga mahasiswa dalam “Pemberontakan Daegu”; rakyat menyerang balik dan
membunuh 38 polisi. Demikian pula pada tanggal 3 Oktober, sekitar 10.000 orang
menyerang kantor polisi Yeongcheon, membunuh tiga anggota polisi dan melukai 40
orang lainnya; di tempat lain, massa membunuh 20 tuan tanah dan pejabat Korea Selatan
yang pro-Jepang. USAMGIK mendeklarasikan hukum perang untuk mengontrol Korea
Selatan.
Kelompok sayap-kanan Representative Democratic Council, yang dipimpin oleh nasionalis
Syngman Rhee, menentang perwalian Soviet-Amerika di Korea, berpendapat bahwa
setelah tiga puluh lima tahun (1910–45) dikuasai pemerintah kolonial Jepang (pemerintah
asing), rakyat Korea menolak dipimpin pemerintahan asing lainnya, termasuk AS dan
Soviet. Untuk mendapatkan keuntungan dari memanasnya suhu perpolitikan, AS keluar
dari Persetujuan Moskwa—dan membentuk pemerintahan sipil anti-komunis di Korea
Selatan. AS juga melakukan pemilu yang kemudian ditentang, dan diboikot oleh Uni
Soviet untuk memaksa AS mematuhi Persetujuan Moskwa.
Resultan pemerintah anti-komunis Korea Selatan yang mengumumkan secara resmi
konstitusi politik nasional (17 July 1948) memilih Syngman Rhee (20 July 1948) sebagai
presiden dan mendirikan Republik Korea Selatan pada 15 Agustus 1948. Demikian juga di
Zona Pendudukan Rusia, Uni Soviet mendirikan pemerintahan komunis Korea Utara[8]
yang dipimpin oleh Kim Il-sung. Presiden Korea Selatan Syngman Rhee mengusir komunis
dan anggota kelompok sayap kiri dari panggung perpolitikan nasional. Merasa dicabut
haknya, mereka pergi ke daerah perbukitan dan bersiap melakukan perang gerilya
melawan pemerintahan Republik Korea yang disokong oleh Amerika Serikat.
Para nasionalis, baik Syngman Rhee dan Kim Il-Sung, bermaksud menyatukan Korea,
namun di bawah sistem politik yang dianut masing-masing pihak. Dengan persenjataan
yang lebih baik, Korea Utara berhasil meningkatkan ketegangan di perbatasan, dan
kemudian menyerang setelah sebelumnya melakukan provokasi. Sebaliknya, Korea
Selatan, dengan bantuan terbatas dari Amerika Serikat, tidak mampu menandinginya.
Pada awal masa Perang Dingin itu, pemerintah AS menganggap semua komunis dari
bangsa apapun adalah anggota blok Komunis yang dikontrol atau setidaknya mendapat
pengaruh dari pemerintahan Moskwa; akibatnya AS mengaggap perang sipil di Korea
sebagai manuver hegemoni dari Uni Soviet.
Tentara AS mundur dari Korea tahun 1949, meninggalkan tentara Korea Selatan dengan
sedikit persenjataan. Di lain pihak, Uni Soviet memberikan bantuan persenjataan dalam
jumlah banyak ke tentara Korea Utara dan mendukung rencana invasi Kim Il-Sung.

4.2 Terbentuk dan berkembangnya Korea Selatan


Sejarah Korea Selatan secara resmi dimulai ketika pembentukan negara Korea Selatan
pada 15 Agustus 1948, meskipun Syngman Rhee telah mendeklarasikan pembentukannya
di Seoul pada 13 Agustus.

Setelah Penjajahan Jepang di Korea yang berakhir karena kekalahan Jepang pada Perang
Dunia II tahun 1945, Korea dibagi menjadi dua wilayah berdasarkan garis 38 derajat
lintang utara sesuai dengan perjanjian yang diadakan oleh PBB. Uni Soviet di bagian utara
dan Amerika Serikat di bagian selatan. Uni Soviet dan Amerika Serikat tidak berhasil
mencapai kesepakatan mengenai implementasi penyatuan Korea. Hal ini mengakibatkan
pembentukan pemerintahan yang terpisah dengan masing-masing pemerintah mengklaim
memiliki wilayah resmi atas seluruh Korea.

Sejarah Korea Selatan dalam perkembangannya diwarnai oleh pemerintahan yang


demokratis dan otokratis secara bergantian. Republik pertama yang awalnya diklaim
sebagai pemerintahan yang demokratis lama kelamaan menjadi otokratis hingga akhirnya
jatuh pada tahun 1960. Republik kedua yang benar-benar demokratis harus dijatuhkan
oleh rezim militer yang otokratis dalam waktu yang singkat. Republik keenam merupakan
pemerintahan yang stabil dan menganut asas demokrasi liberal.
Hal yang kembali menimbulkan kemarahan rakyat Korea terhadap Sekutu adalah
Kebijakan Moskow pada bulan Desember 1945. Sekutu bertemu di Moskow dan membuat
rencana pembentukan Komisi Gabungan Amerika Serikat – Uni Soviet guna mendirikan
pemerintahan di Korea dan mengendalikannya di bawah perwalian 5 tahun. Rencana ini
ditolak rakyat Korea yang menganggap hal tersebut merupakan pelecehan terhadap
usaha dan perjuangan mereka untuk merdeka dari penjajahan selama 36 tahun. Rakyat
Korea melakukan protes besar-besaran di seluruh negeri untuk menentang Kebijakan
Moskow, tetapi di awal 1946, komunis di Korea Utara dan Korea Selatan mendukung
kebijakan tersebut karena ditekan oleh Uni Soviet. Sebanyak 2 juta orang yang
menentang rencana tersebut mengungsi dari Korea bagian utara ke selatan. Selama
periode 1946 sampai 1948, otoritas Soviet memberikan dukungan penuh kepada
pemimpin komunis Kim Il-sung. Kim yang datang ke Korea dengan pasukan Uni Soviet
telah menjadi boneka komunis yang berpengaruh di Korea bagian utara. Setelah
menyingkirkan semua organisasi nasionalis, Kim Il-sung menjadi pemimpin Pemerintahan
Korea Sementara di bawah kendali Uni Soviet. Dengan pengaruh negara komunis
tersebut, Kim Il-sung mengkomuniskan Korea Utara. Pada masa pemerintahan Amerika
Serikat, prinsip-prinsip demokrasi diperkenalkan di pihak Korea Selatan. Namun begitu,
tentara nasional tidak mendukung kebijakan AS. Demokrasi yang dibawa AS
meningkatkan pertumbuhan organisasi-organisasi sosial dan politik, tak terkecuali bagi
pendukung komunis. Saat Partai Komunis Korea, yang mengubah namanya menjadi Partai
Buruh Korea Selatan, menghasut gerakan buruh, mencetak uang palsu dan terlibat dalam
aktivitas ilegal, Pemerintahan Militer AS menekan dan memaksa mereka pergi ke Korea
Utara. Namun, banyak pendukung komunis bergerak di bawah tanah dan terus
menyebabkan masalah-masalah politik dan ekonomi yang pelik di Korea Selatan. Korea
Selatan saat itu dipimpin oleh Syngman Rhee, yang ditunjuk AS sebagai pemimpin
Pemerintahan Sementara Korea.

4.3 Terbentuk dan berkembangnya Korea Utara


Korea Utara telah berkembang menjadi ‘negara pertapa’ di bawah pemerintahan tangan
besi. Korut dan Korsel berdiri setelah Perang Dunia II, pada saat dunia berada di ambang
Perang Dingin. Pada 9 September 1948, Republik Demokrat Rakyat Korea terbentuk,
dipimpin oleh seorang mantan pejuang gerilyawan Kim Il Sung. Bagaimana perjalanan
Korea Utara hingga menjadi seperti sekarang?
Korea Utara dan Korea Selatan terbentuk setelah Perang Dunia II dan awal Perang Dingin.
Dari tahun 1910 hingga kekalahan Jepang pada akhir perang tahun 1945, seluruh
semenanjung Korea telah dicaplok dan diduduki oleh pasukan Jepang.
Di tengah ketidaksepakatan antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet, Korea kemudian
terpecah menjadi Korea Utara—di bawah pemerintahan Uni Soviet—dan Korea Selatan—
dikelola oleh AS.
Pada 9 September 1948, Republik Demokrat Rakyat Korea lahir di Korea Utara, dipimpin
oleh anggota Partai Pekerja Korea dan mantan pejuang gerilya Kim Il Sung.bTanggal
tersebut diperingati setiap tahun sebagai Hari Yayasan Republik.
Kim yang pertama—”pemimpin abadi”—memerintah Korea Utara dengan tangan besi
selama empat setengah dekade, pertama sebagai perdana menteri dan kemudian sebagai
Presiden. Partai Buruh tetap satu-satunya partai politik di negara ini.
Saat yang paling menentukan untuk kedua Korea adalah perang tahun 1950-1953, yang
dimulai ketika Pyongyang mencoba untuk menyerang Seoul. Invasi itu ditangkis tetapi
meninggalkan bekas luka dalam di antara dua tetangga itu.

Mereka tidak pernah menandatangani perjanjian damai, tetapi perbatasan bersama


mereka, Zona Demiliterisasi, merupakan pengingat fisik permusuhan mereka. Putra Kim,
Kim Jong Il, mengambil alih pada tahun 1994 setelah kematian ayahnya dan harus
berurusan dengan isolasi negara yang belum berkembang setelah runtuhnya Uni Soviet
dan berakhirnya Perang Dingin. China menjadi satu-satunya pendukung utama
pemerintah Korea Utara.

Kim Jong Il meninggal pada Desember 2011, mewariskan putranya Kim Jong-un kendali
atas negara yang penuh rahasia itu, yang memiliki populasi sekitar 25 juta orang.
Dianggap berusia akhir 20-an ketika ia mengambil alih kekuasaan, Kim ketiga
meningkatkan uji coba rudal dan nuklir Korea Utara dan meningkatkan ketegangan
dengan masyarakat internasional sebelum memulai desakan diplomatik yang
mengejutkan untuk denuklirisasi dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae In saat KTT
pada 27 April tahun ini.

5.Nasionalisme di Korea dan perkembangannya kekinian


5.1 Nasionalisme dan perkembangan Korea Selatan
Korea (Selatan) saat ini dikenal sebagai negara industri yang sudah maju. Barang-barang
elektronik produksi Korea telah dikenal memiliki kualitas yang memuaskan. Di bidang
militer korea juga telah memproduksi sendiri berbagai perangkat kerasnya seperti tank,
kapal selam, dan kapal perang. Tak heran bila Korea dikenal sebagai salah satu macan
Asia.
Bila ditengok kebelakang, 70 tahun lalu Korea selatan bukanlah negara industri. Jepang
membangun Korea Selatan sebagai wilayah pertanian sebagai sumber beras sementara
industri dan pertambangan dipusatkan di Utara.1 Perang yang terjadi pada 1950-1953
juga menghancurkan berbagai infrastruktur yang ada.
Perubahan masyarakat menuju masyarakat industri seringkali berbarengan dengan
kemunculan nasionalisme. Perubahan ekonomi ini membutuhkan perubahan sosial yang
tepat agar dapat menopangnya, selain akan mendorong terjadinya perubahan sosial lagi.
Bagaimanakah nasionalisme Korea dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Korea
dalam industrialisasinya?

A. Akar Nasionalisme Korea


Korea memiliki sejarah yang panjang dan unik, memberi identitas mandiri dari bangsa
tetangganya. Kisah mitologis pembentukannya dimulai dari Dangun yang mendirikan
kerajaan Joseon pertama (Gojoseon) sekitar dua ribu tahun sebelum Masehi. Kisah
Gojoseon dan kerajaan-kerajaan penggantinya tercatat dalam Samguk Sagi (ditulis abad
12 M) dan Samguk Yusa (ditulis abad 13 M).
Kesadaran mengenai identitas ini pada masa pra-modern tidak terbatas pada kalangan
elite saja. Hal ini terlihat dengan kemunculan tentara rakyat yang melakukan perlawanan
terhadap invasi Jepang abad 16.3 Pada akhir dinasti Joseon (baru) sekitar abad 18-19
rakyat bahkan tertarik dengan ideologi Donghak (Jalan Timur) yang menentang
kemunculan agama asing dan menuntut penguatan bangsa dan harkat hidup rakyat.4
Media massa baru muncul di ujung abad 19. Dari Perkumpulan Kemerdekaaan muncul
Buletin Perkumpulan Kemerdekaan Joseon Raya yang diterbtkan dalam bahasa Korea dan
Inggris. Selain itu sebelum perkumpulan kemerdekaan berdiri, pada 7 April 1896, muncul
Dongmin Sinmun (Harian Merdeka) yang diterbitkan dengan bahasa pasar Korea, ia
menjadi wadah penyebaran pemikiran liberal barat. Sementara dari kalangan reformis
konfusian diwakili oleh koran Hwangseong Sinmun (Harian Ibukota).5 Media massa ini
bermunculan terus hingga awal penjajahan Jepang. Berbagai media massa ini turut
membentuk watak dan identitas nasioalisme Korea sampai akhirnya dilarang terbit oleh
Jepang.
Yang tidak kalah penting dari media dalam membentuk nasionalisme Korea adalah
berbagai gerakan politik. Yang paling tua adalah Perkumpulan Kemerdekaan (Dongnip
Hyeophoe) yang berdiri 2 Juli 1896. Aktivitas pertama mereka adalah menghancurkan
balairung tempat utusan Tiongkok disambut dan kemudian mendirikan Balairung
kemerdekaan di atas rerutuhannya.6 Terdapat berbagai perkumpulan dengan aktivitas
serupa yang berdiri selama sebelum aneksasi Jepang atas Korea.
Salah satu ide nasioalisme Korea mengenai persamaan hak warga egara baru muncul di
akhir era Joseon. Setimen ini ditanggapi pemerintahan Gojong dengan menghapuskan
sistem kelas pada 1896.7 Kalangan yangban ini tidak benar-benar kehilangan privilese
mereka sampai akhirnya saat Korea diaeksasi Jepang.8
Hal-hal tadi adalah akar dari nasioalisme yang membentuk identitas bangsa Korea.
Nasionalisme Korea adalah pendorong yang memodernisasi Korea di masa selanjutnya.
Modernisasi pada masyarakat Korea ini bergantung pada watak nasionalisme Korea.

5.2 Nasionalisme dan perkembangan Korea Utara


Nasionalisme etnis Korea atau nasionalisme rasial Korea adalah ideologi politik di Korea
Utara dan Selatan yang didasarkan pada kepercayaan bahwa Korea merupakan suatu
bangsa, "ras" dan kelompok etnis yang memiliki darah yang sama dan budaya tersendiri.
Konsep ini bertumpu pada gagasan minjok (Hangul: 민족; Hanja: 民族), yaitu istilah yang
diciptakan di Kekaisaran Jepang pada periode Meiji awal atas dasar Darwinisme Sosial.
Minjok dapat diterjemahkan menjadi "bangsa", "kelompok etnis", "ras", dan "ras-
bangsa".
Konsep ini mulai dianut oleh kaum intelektual di Korea setelah Jepang mendirikan
protektorat di Korea pada tahun 1905, dan Jepang mencoba untuk meyakinkan orang
Korea bahwa orang Jepang dan Korea merupakan bagian dari ras yang sama. Gagasan
"minjok" Korea pertama kali dipopulerkan oleh penulis esai dan sejarawan Shin Chaeho
dalam bukunya, Doksa Sillon (1908), yang menjabarkan sejarah Korea dari masa mitos
Dangun hingga jatuhnya Balhae pada tahun 926. Shin menggambarkan "minjok" sebagai
ras yang suka berperang dan telah berjuang untuk melestarikan identitas Korea,
kemudian mengalami kemunduran dan kini harus dibangkitkan. Pada masa penjajahan
Jepang (1910–1945), kepercayaan akan keunikan minjok Korea mendorong pergerakan
yang menentang kebijakan asimilasi budaya Jepang.
Di Jepang dan Jerman, nasionalisme etnis dikecam setelah Perang Dunia II karena
dikaitkan dengan ultranasionalisme atau Nazisme, tetapi Korea Utara dan Selatan masih
tetap mengklaim homogenitas etnis dan garis keturunan ras "Han Agung" yang murni.
Pada tahun 1960-an, Presiden Park Chung-hee menggunakan "ideologi kemurnian ras"
untuk melegitimasi kekuasaannya, sementara propaganda Korea Utara menggambarkan
bangsa Korea sebagai "ras yang paling bersih". Sejarawan kontemporer Korea masih terus
menulis tentang "warisan ras dan budaya [Korea] yang unik." Gagasan bersama ini masih
terus membentuk politik dan hubungan luar negeri Korea, menjadi kebanggaan nasional
bagi bangsa Korea, dan mendorong harapan untuk menyatukan kembali Korea.
Walaupun statistik menunjukkan bahwa Korea Selatan berubah menjadi masyarakat
multietnis, sebagian besar penduduk Korea Selatan masih menganggap diri mereka
sebagai "satu bangsa" (bahasa Korea: 단 일 민 족 ; Hanja: 單 一 民 族 , danil minjok) yang
disatukan oleh garis keturunan yang sama. Penekanan terhadap pentingnya "kemurnian
darah" Korea telah memicu ketegangan dan perdebatan mengenai multikulturalisme dan
rasisme di Korea Selatan.

Anda mungkin juga menyukai