Anda di halaman 1dari 2

Pusaka Djakarta Onafhankelijk

Budaya yang Harusnya Merdeka


Fajar kebesaran baru, fajar kemuliaan di hari kemudian bagi kita, kini sudahlah menyingsing, fajar itu makin lama
makin terang dan walau dirintang-rintangi oleh kekuatan manusia yang bagaimana juga, walau dirintang-rintangi
oleh kekuatan apa pun dari negeri mana pun jua, walau dicegah oleh segenap kekuatan duniawi dari pada
segenap negeri di atas muka bumi ini, ia tidak boleh tidak, harus tentu pasti akan diikuti oleh terbitnya matahari
yang menghidupkan segala sesuatu yang harus hidup dan mematikan segala sesuatu yang harus mati. Segala
jayanya kegelapan akan hancur, cairlah sebagai salju di hadapan sinarnya matahari ini, segala awan-awan gelap
yang menyuramkan angkasa akan musnahlah tertiup oleh angin hangat yang keluar dari padanya. Kita sudahlah
bersedia dengan hati yang memukul-mukul akan menghormati matahari itu. Dengan segenap kekuatan lapisan
rakyat itu kami menderita kesengsaraan, dengan segenap kekuatan lapisan masyarakat itu kami bersukaria.
Dengan segenap kekuatan lapisan masyarakat itu kami menunggu putusan-putusan tuan-tuan. Memang kami
orang berdiri di hadapan tuan-tuan ini bukanlah sebagai suatu pribadi, kami orang yang berdiri disini ialah sebagai
bagian-bagian daripada rakyat Indonesia yang berkeluh-kesah itu, sebagai putra – putra Ibu Indonesia yang setia
dan berbakti kepadanya.

Kekuatan yang kami musuhi itu, adalah suatu paham, suatu nafsu, suatu streven, suatu stelsel, suatu politik
menaklukkan atau mempengaruhi orang lain atau mempengaruhi budaya bangsa lain. Kekuatan Itu bukanlah
pemerintah, bukanlah bangsa asing, bukanlah kaum ambtenaar, bukanlah badan atau materi apa pun juga.
Kekuatan peraturan politik adalah nafsu dari stelsel belaka. Kita sudah lebih dari 3 tahun menderita kan keputusan
itu, lebih dari 3 tahun dipengaruhi, diduduki, diexploiteer oleh kekuatan – kekuatan itu. Baik kekuatan yang
mendahului tua maupun modern dua-duanya bagi kita adalah terciptanya dan melesetnya serta kocar-kacirnya
susunan pergaulan hidup, dua-duanya adalah pengadukan rezeki, exploitative, drainage yang sangat. Oleh karena
itu, kehidupan berkebudayaan kami adalah pergaulan hidup, kami masyarakat lokal Jakarta menjadilah rakyat
yang celaka, dengan seharusnya kami dibebaskan dalam menjalani tradisi dan kebiasaan kami namun dilarang
oleh segenap orang yang mengaku dari institusi pendidikan. Maka kecelakaan rakyat ini, kesengsaraan rakyat ini,
air mata rakyat ini, dan bukan kami orang, bukan hasutan “opruiers”, bukan hasutan manusia juga, melahirkan
suatu pergerakan, yang berakhiran di dalam pergerakan kami.

Anda mungkin juga menyukai