Anda di halaman 1dari 4

Pendidikan sebagai Representasi Wujud Budaya dalam Menciptakan Masyarakat Multikultural

Disusun oleh: Muhammad Ibnu Fadillah


Identitas :
Nama: Muhammad Ibnu Fadillah (2288190031)
No : 083808659993
Ttl: 02 Oktober 2001
Asal Instansi: Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Pendidikan Multikultural di Indonesia

Pendahuluan
Terdapat dua kata yang hadir dibenak saya ketika mendengar sebuah kata multikultural, yaitu sebuah
proses dan hebat. Menurut saya multikultural adalah sesuatu proses yang sangat hebat dalam pembentukan
suatu susunan dan tatanan masyarakat yang memiliki berbagai macam latar belakang kebudayaan. Menurut
istilah multikultural dan multibudaya adalah hal yang sama. Budaya pada multikultural memiliki arti
pandangan hidup atau ideologi namun terkadang tidak mengalami perubahan secara terusmenerus.
Sedangkan pendidikan adalah suatu proses yang terjadi dalam hidup manusia untuk menuju pencerahan, di
mana pendidikan ini mempunyai tujuan yaitu memanusiakan manusia. Pada hakikatnya pendidikan
memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam pertumbuhan sosial dan budaya masyarakat,
sehingga kita semua sepakat bahwa kemajuan dalam hal pendidikan yang bersifat ilmiah adalah kemajuan
peradaban manusia di mana pun manusia itu berada, termasuk di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Namun
terkadang sangat disayangkan pendidikan harus rela dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan orang lain.
Selama ini kita dapat melihat bahwa yang menentukan jalannya Sejarah bukan individu-individu tertentu
melainkan golongan-golongan sosial yang masing-masing memperjuangkan kepentingan mereka.
Kepentingan mereka bukan sesuatu yang kebetulan diminati oleh orang-orang tertentu melainkan
ditentukan secara objektif oleh kedudukan masing-masing dalam sebuah proses yang panjang. Pendidikan
di Indonesia harus memperhatikan latar belakang bangsa, bagaimana bangsa kita bisa berdiri dan terus
tegak sampai hari ini, salah satunya yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan adalah multikulturalis
yang ada pada masyarakat Indonesia. Rasa-rasa senasib dan sepenanggungan, saling menghargai dan
menghormati serta memahami dan adanya rasa tanggung jawab yang sangat serius. Berbagai konsep yang
relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan
etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan
sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, hak asasi
manusia, hak budaya komunitas, dan konsep-konsep lainnya yang relevan ¹.1 (Fay (1996) dalam Suparlan
(2002), hlm. 3.)

Pembahasan
Sederhananya pendidikan multikultural, dapat didefinisikan sebagai “pendidikan untuk atau tentang
keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat
tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.
Ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha
menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu membebaskan manusia dari
berbagai persoalan hidup yang melingkupinya. Lebih lanjut Freire mengatakan bahwa pendidikan
merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari
berbagai bentuk penindasan, kebodohan, sampai pada tingkat ketertinggalan. Oleh karena manusia sebagai
pusat pendidikan, maka manusia harus menjadikan pendidikan sebagai alat pembebasan untuk
mengantarkan manusia menjadi makhluk yang bermartabat². (2 Paulo Freire merupakan tokoh pendidikan
yang mempunyai dedikasi kuat bagaimana pendidikan mempunyai relasi sosial yang melingkupinya.
Karyanya yang monumental adalah Pedagogy of the Opressed (1970),Cultural Action for Freedom (1970),
Pedagogy of the Heart (1999), dan lain sebagainya. Banyak sekali karya beliau yang sudah diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia di antaranya Pendidikan sebagai praktik Pembebasan, terj A.A. Nugroho
(Jakarta: Gramedia, 1984), Pendidikan kaum Tertindas, alih bahasa Utomo Dananjaya, (Jakarta: LP3ES,
1995). Pendidikan Yang Membebaskan, terj. Omi Intan Naomi (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
Pedagogi Hati, alih bahasa A. Widyamartaya, (Yogjakarta: Kanisius, 2001) dan lain sebagainya.)

Pendidikan multikultural merupakan usaha pemerintah dalam memasukkan nilai-nilai keragaman budaya
ke dalam sebuah ranah pendidikan, menurut pribadi saya itu adalah hal yang bagus, karena melatih
pemahaman dan penanaman budaya kepada generasi muda untuk saling mengenal kebudayaan dan
kearifan lokal yang ada di Indonesia, sehingga para siswa dan siswi diajarkan untuk menghargai pluralitas
dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan agama. Efeknya atau tujuan
dari sistem pendidikan multikultural ini sangat jelas dan sederhana, yaitu agar tidak ada isu-isu rasis,
perpecahan, sehingga secara pemahaman para siswa dan siswi dapat open minded atau membuka
pemikirannya dalam dunia luar sebagai wawasan nasional mereka. Terkadang timbul urgensi tersendiri
dalam hal ini misalnya “mengapa walaupun sudah banyak diajarkan untuk menghormati keragaman
budaya masih ada saja seseorang atau sekelompok lain yang sedikit Rasis atau menganaktirikan etnis dan
budaya lain”. Hal ini bisa disebabkan pendidikan yang diberikan oleh orang-orang disekitar lingkungan
mereka, misalnya mereka yang salah dalam hal pergaulan menganggap rasisme adalah sebuah candaan
yang wajar tanpa memedulikan perasaan kawan mereka. Faktor lingkungan menjadi faktor besar yang
memengaruhi para siswa dalam hal etika dan moral, pada masa modern ini kita sepakat bahwa tidak aneh
jika kita melihat para generasi muda Indonesia yang sering larut malam masih di pinggir jalan hanya untuk
bercanda, bermain dan mengobrol dengan teman sebaya mereka. Dalam hal itulah biasanya mereka
merekam dan mempraktikkan sebuah candaan yang bersifat Rasis, misalnya menganggap etnis mereka
superior, keadaan inilah yang membentuk generasi muda yang rata-rata adalah siswa memiliki rasa tidak
empati terhadap sekitarnya.

Di benak saya terkadang pendidikan multikultural masih sulit dilakukan, apalagi budaya di Indonesia,
karena pembangunan sektor pendidikan tidak merata di setiap daerahnya. Terkadang kalau dilihat lebih
dalam lagi pasti penuh perdebatan. Jika dari pemerintah mereka belum bisa memberikan 100% usaha
untuk membangun sistem pendidikan multikultural. Jika ingin merapihkan hal yang berbau pendidikan
seperti yang disebutkan tadi (pendidikan multikultural) di Indonesia kembali lagi kepada pola pikir dan
pandangan masyarakat Indonesia sendiri. Jika hal itu sudah bisa berubah, maka 0ppp00pppbisa dipastikan
kedepannya akan lebih mudah. Contoh hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah pertama regulasinya
harus jelas, lalu sarana dan prasarana yang diperlukan harus diperhatikan untuk menunjang pembelajaran
multikultural, dan yang paling penting dan yang paling utama adalah kurikulum juga harus diperbaharui
agar cocok dengan pendidikan multikultural.

Terkadang pendidikan multikultural masih terbilang jauh dari kata bagus, karena masih banyak kultur
negara asing yang masuk ke sendi-sendi kebudayaan bangsa Indonesia, ini memengaruhi juga kepada
ideologi bangsa Indonesia nanti karena anak bangsa akan menganalisisnya secara berbeda, jikalau kultural
antar etnis dan mengajarkan keberagaman tetapi untuk tujuan persatuan dan kesatuan republik Indonesia
hal itu pasti didukung oleh segenap rakyat Indonesia, tetapi di Indonesia ini diajarkan multikultural antara
budaya Indonesia dengan budaya asing. Banyak pendidikan di Indonesia berbasis kurikulum Amerika
Serikat atau prancis, apakah bagus ? Tentunya bagus, tetapi lihat apakah hal tersebut adalah suatu proses
intelektual yang tepat untuk kultural di Indonesia. Seperti yang bung Karno katakan “Kalau jadi orang
Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang Kristen jangan jadi orang Yahudi, kalau jadi Islam jangan
jadi orang Arab, tetaplah menjadi orang Indonesia dengan adat-budaya Nusantara yang kaya raya ini”.
Tetapi dalam hal kebijakan di daerah Jakarta contohnya menurut saya Mendikbud dan gubernur Jakarta
mencoba membangkitkan pengajaran kepada anak-anak Sekolah Dasar sampai jenjang Sekolah Menengah
Atas wajib belajar silat Betawi sebagai pendidikan karakter dan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib
seperti Pramuka di daerah Jakarta, itu adalah sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap kebudayaan
lokal atau kebudayaan orang Betawi yang hampir punah. Menurut saya kebijakan tersebut sangat penting
untuk mempertahankan dan memperkenalkan kebudayaan lokal daerah Jakarta yang masih ada sampai saat
ini.

Contoh lainnya yang berada di Indonesia ini adalah percampuran antara budaya-budaya atau akulturasi
antara budaya Indonesia dengan budaya Tionghoa yang memang secara sejarah dan kultur itu sudah
menjadi satu bentuk akulturasi, karena memang secara sejarah, diaspora Tionghoa yang sudah lama dan
akhirnya menetap dan menikah serta bersosialisasi di Indonesia yang akhirnya budaya asli Indonesia dan
beberapa budaya-budaya yang dibawa oleh orang Tionghoa ini terjadi akulturasi atau percampuran budaya,
contohnya di Tangerang yaitu Cina Benteng. Maksud dari proses akulturasi ini akhirnya ada satu bentuk
kebudayaan yang baru yang sangat unik di Indonesia, misal tarian cokek, walaupun instrumen dasarnya
adalah gambang kromong tetapi terdapat pula instrumen musik cina seperti tehyan dan lainnya. Di Jakarta
sendiri banyak ornamen-ornamen Tionghoa yang merah, secara garis besar ornamen merah itu identik
adalah ornamen budaya Tionghoa. Lalu representasi budayanya apa ?, masyarakat akhirnya bisa mengenal
dan menjadi dekat ataupun memang sudah terbiasa dengan budaya akulturasi Tionghoa, misalkan dalam
penyebutan nominal uang seperti gocap, goceng, cenggo, gopek, cepek dan yang lainnya, Itu adalah
bahasa-bahasa Cina Hokkien.

Glodok misalnya, sekitar Kurang lebih 3 abad yang lalu pemerintah kolonial Belanda menjadikan
kawasan ini sebagai sentralisasi kegiatan, tidak hanya untuk berdagang tetapi untuk mereka bersosialisasi
juga. Tampaknya strategi Belanda berhasil meningkatkan kawasan ini, kawasan ini justru tumbuh menjadi
chinatown terbesar di Indonesia dan juga salah satu pusat perniagaan di Jakarta yang perputaran
ekonominya bisa dibilang cukup fantastis. Lengkap dengan kesan jago berdagang dan cari hoki,
masyarakat Tionghoa sangat mengerti dan mengetahui bahwa hidup bukan hanya perkara materi. Klenteng
menjadi pusat komunikasi, sama pentingnya dengan mereka bermata pencaharian. Bukan
hanya sekadar tempat beribadah klenteng dibangun untuk menghormati leluhur maupun masyarakat untuk
bersosialisasi tanpa memandang etnis, ras dan agama. Jadi komunitas dengan identitas baru pada
perbedaan memang sulit. Menjadi warga negara Indonesia sekaligus berarti beretnis Tionghoa, tetapi saya
percaya satu hal tidak akan menihilkan hal lain, dua hal tersebut bisa jalan beriringan, dan bisa tetap patuh
pada hukum dan Pancasila. Saya tetap bangga di Indonesia, bangga dengan kekayaan budaya dan alamnya
seiringan dengan menghormati tradisi yang sudah diturunkan dari nenek moyang kami. Percaya dua hal
tersebut bukan hadir untuk saling menihilkan tetapi kedua identitas tersebut bisa berjalan berdampingan.
Iya memang leluhur saya datang jauh dari negeri Tiongkok tetapi tidak ada satu pun keluarga, sahabat,
teman-teman dan orang yang sangat saya kasih berada di sana, semuanya berada di sini³. (Asumsi Distrik:
Glodok)

Pendidikan sejarah juga mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan sosial dan budaya
masyarakat kita. Dengan adanya sejarah kita sebagai bangsa memiliki kesadaran masyarakat terhadap
pendidikan yang ada di Indonesia, contohnya ketika kemarin jam pembelajaran sejarah ingin dikurangi
membuat masyarakat umum protes akan hal itu, ternyata hal sekecil itu membuat kita sadar atas kesadaran
kita bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya. Sejarah sebagai memori
kolektif bangsa tidak luput dipisahkan dari perjalanan panjang bangsa Indonesia menuju kemerdekaannya.
Namun sayang ungkapan bahwa sejarah adalah guru kehidupan ternyata masih sebatas kata-kata belaka.

Penutup
Sekiranya itu saja yang saya dapat sampaikan dalam opini saya mengenai pendidikan multikultural di
Indonesia ini. Banyak yang ingin saya sampaikan namun keadaan dirasa kurang dikarenakan saya sedang
sakit dan keadaan lumayan lemas. Kesimpulan yang saya dapat ambil adalah pendidikan multikultural,
dapat didefenisikan sebagai “pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”.
Dan cara yang saya kira paling tepat adalah dengan mengetahui dan memahami pluralisme bangsa
Indonesia. Terkadang pendidikan multikultural masih terbilang jauh dari kata bagus, karena masih banyak
kultur negara asing yang masuk ke sendi-sendi kebudayaan bangsa Indonesia, jika ingin merapihkan hal
yang seperti tersebut di Indonesia kembali lagi kepada pola pikir dan pandangan masyarakat. Jika hal itu
sudah bisa berubah, maka bisa dipastikan perubahan kedepannya akan lebih mudah karena masyarakat
akan lebih sadar.
Saya dan segenap rakyat menyetujui dan sepakat serta selalu memberikan dukungan kepada pemerintah
pusat dan daerah yang berkolaborasi dengan Mendikbud untuk memberikan pendidikan dan kebudayaan
multikultural kepada generasi muda bangsa Indonesia dengan catatan pendidikan multikultural bangsa
Indonesia sendiri yang diangkat tanpa adanya campur tangan budaya luar. Saya, kita dan seluruh rakyat
pasti menginginkan bangsa Indonesia yang kuat dan maju dalam hal budaya karena banyak budaya
Indonesia yang hampir punah. Saya secara pribadi juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Himpunan
Mahasiswa Pendidikan Sejarah UHAMKA yang telah mengadakan lomba serta webinar yang saya rasa
sangat memberikan edukasi kepada masyarakat luas. Saya minta maaf jika ada kesalahan kata yang saya
ungkapkan ketika memberikan opini saya di atas. Sekian dan terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai