Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN FILSAFAT SEJARAH ZAMAN MODERN

MENURUT ARNOLD J. TOYNBEE

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Sejarah

Dosen Pengampu Drs. Kayan Swastika. M.Si

Oleh:

Chafi Insanuar 130210302024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
“Pemikiran Filsafat Sejarah Zaman Modern menurut Arnold J. Toynbee“yang merupakan
salah satu dari komponen nilai tugas individu mata kuliah Filsafat Sejarah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas jember.

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. Kayan Swastika.M.Si, selaku Dosen pengampu mata kuliah Filsafat Sejarah yang
telah membimbing;
2. Teman-teman yang telah memberi dorongan dan semangat;
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan memberikan
penjelasan tentang pemikiran filsafat sejarah zaman modern menurut Arnold J. Toynbee.
Makalah ini telah di susun semaksimal mungkin. Untuk itu, saran dan kritik dari pembaca
sangat diharapkan. Atas saran dan kritiknya, penulis mengucapkan terima kasih.

Jember, 13 November 2014

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DARTAR ISI 3

BAB 1. PENDAHULUAN 4

1.1 Latar Belakang 4


1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan 4
BAB 2. PEMBAHASAN 5

2.1 Biografi Arnold J. Toynbee 5


2.2 Konsepsi Filsafat Sejarah 6
2.3 Pandangan Filsafat Sejarah Zaman Modern Menurut
Arnold J. Toynbee. 8
BAB 3. PENUTUP 13

Kesimpulan 13

Daftar Pustaka 14

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tokoh filsuf yang terkenal berasal dari Inggris yaitu Arnold J. Toynbee. Ia adalah
seorang sarjana Inggris yang dapat menggemparkan dunia sejarah dengan karangannya yang
berjudul “A Study of History” yang terdiri 12 jilid yang tebal. Buku karangannya tersebut
diterbitkan pertama kali pada tahun 1933.
Dalam bukunya, Toynbee mengemukakan teorinya yang didasarkan atas penelitiannya
pada 21 kebudayaan yang sempurna dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna yang ada
diseluruh dunia. Misalnya, kebudayaan yang sempurna diantaranya Yunani, Roma, Maya
(Amerika Tengah), Hindu, Barat (Eropa), Eropa Timur dan sebagainya. Sedangkan yang
tidak sempurna antara lain Eskimo, Sparta, Polynesia, Turki dan sebagainya.
Berdasarkan teori yang disampaikan dalam buku-bukunya, Arnold J. Toynbee memberi
kesimpulan yaitu dalam gerak sejarah tidak terdapat hukum tertentu yang menguasai dan
mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti (Tamburaka, 1999:
65). Dari latar belakang di atas, maka penulis akan membahas bagaimana ‘’ pandangan
sejarah menurut Arnold J. Toynbee’’.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana biografi Arnold J. Toynbee?
2. Bagaimana konsep sejarah menurut Arnold J. Toynbee?
3. Bagaimana pandangan filsafat sejarah pada zaman modern menurut Arnold
J.Toynbee?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui biografi Arnold J. Toynbee.
2. Mengetahui konsep sejarah menurut Arnold J. Toynbee.
3. Mengetahui pandangan filsafat sejarah pada zaman modern menurut Arnold J.
Toynbee.

4
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1. Biografi Arnold J. Toynbee


Arnold J. Toynbee lahir pada 14 April 1889 di London. Arnold Joseph Toynbee adalah
anak dari Henry Valpy Toynbee, seorang pengimpor teh yang beralih menjadi pekerja sosial,
dan Sarah Edith Marshall, sarjana unofficial di bidang sejarah dari Universitas Cambridge.
Semasa kecil, Toynbee dididik oleh ibunya dan seorang guru privat perempuan. Kemudian
dia meneruskan ke Wotton Court di Kent dan Winchester College. Dia cemerlang dalam
studinya, dan mendapatkan beasiswa untuk disiplin sastra Yunani dan Romawi Kuno ke
Balliol College, Oxford. Ketika menggeluti sastra Yunani dan Romawi kuno.
Toynbee merupakan penulis besar, menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya
tentang agama, sejarah kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah.
Setelah menamatkan studinya pada tahun 1912, Toynbee menjelajahi situs-situs sejarah di
Yunani dan Itali. Ia mempunyai harapan mampu membantu murid-muridnya 'mengenal
keragaman kehidupan dan peradaban', tak seorang pun dari mereka mampu memenuhi
harapan sang guru. Dia kemudian mengalihkan energinya untuk melakukan sesuatu yang
kemudian menjadi pekerjaan seumur hidupnya : menulis. Toynbee mulai menulis sebuah
buku tentang sejarah Yunani dari masa prasejarah sampai masa Bizantium, namun sebelum
buku tersebut selesai dia terganggu oleh peristiwa yang terjadi di masanya, seperti Perang
Balkan pada 1912 dan 1913. Ia juga pernah ditugasi oleh British (kini Royal) Institute for
International Affairs untuk menulis sebuah buku hasil riset lama dan mendalam tentang
paeristiwa-peristiwa penting yang terjadi sejak Perjanjian Versailles. Buku tersebut, Surveys
of International Affairs 1920-1923 (1925), menjadi buku hasil survey mendalam pertama
yang dia hasilkan sampai dia pensiun pada tahun 1953. Tiap tahun, Toynbee berusaha
mengabadikan banyak informasi (kebanyakan dari sura kabar) lewat catatan-catatan tentang
peristiwa kontemporer di seluruh dunia.
Dia juga mulai mengumpulkan bahan-bahan buat karyanya yang kemudian terkenal: A
Study of History (12 Jilid, 1934-1961). Keilmuan sejarah kontemporer, menurut Toynbee,
kurang sempurna sebab para sejarawan Eropasentris, meniru saintis, dan melakukan riset
tentang topik-topik kecil yang sepele. Menurut Toynbee, yang gagal mereka mengerti adalah
bahwa alam semesta menjadi bisa dipahami sejauh kia memahaminya sebagai sebuah

5
kesatuan. Dalam semangat itu, Toynbee bermaksud mempelajari seluruh peradaban yang
dikenal, yang masih ada maupun yang sudah punah. Dalam sejumlah besar detail sejarah,
menurutnya, sebuah pola bisa diungkap dan diketahui.

2.2. Konsepsi Filsafat Sejarah


Toynbee mengemukakan konsepsi kontemporer terbaru tentang ide daur-daur kultural.
Ia selalu berupaya menghindari kekeliruan yang dilakukan Spengler dalam kecenderungan
filosofis dan puitisnya yang menyerupakan kebudayaan dengan mahluk hidup yang berakibat
timbulnya kesimpulan deterministis yang menyertai tegaknya kebudayaan dan keruntuhannya
sesuai dengan hukum kehidupan dan kematian dalam alam fisik. Kehati-hatian Toynbee itu
tampak nyata dalam perhatiannya atas perincian sejarah yang teliti dan penghindarannya dari
kontemplasi metafisis yang kabur dan hukum-hukum puisi individual yang begitu mewarnai
karya Spengler. Demikian pula, tampak jelas betapa Toynbee dalam pembuktian historis dan
penerimaannya yang sungguh-sungguh atas pengkajian berbagai kebudayaan selalu berusaha
memakai metode eksperimental yang didasarkan pada pengamatan guna mengetahui faktor-
faktor yang menyebabkan tumbuh dan runtuhnya kebudayaan.
Metode ini merefleksikan aliran eksperimental yang terkenal dalam filsafat Inggris
modern pada umumnya. Di antara hasil kajian ini adalah sejumlah karya dalam sejarah
kebudayaan, misalnya A Study of History karya Toynbee, yang terdiri atas dua belas jilid.
Tampak, bahwa ramalan Spengler yang berkenaan dengan kereruntuhan kebudayaan Barat
merupakan salah satu sebab yang mendorong Toynbee memberikan perhatian khusus
terhadap filsafat sejarah. Tentang perbedaan antara metodenya dan metode Spengler,
Toynbee menguraikannya sebagai berikut:
“Sejumlah besar putra pada zamanku merasa gelisah ketika Perang Dunia Pertama
meletus. Mereka pun menyadari bahwa kematian akan menimpannya. Pengalaman yang
menyedihkan ini menurutku telah mengarahkan sikapku terhadap masa depan kebudayaan
Barat kita. Akan tetapi, dari segi ilmiah, aku juga merasa bahwa lebih baik bagi masyarakat,
atau anggota masyarakat, menyadari bahwa kematian akan menimpa mereka. Adapun
mengenai hal yang berkenaan dengan kehidupan pribadi kita, kita tidak mempunyai daya
lagi. Dengan mengendalikan diri, kita menerima bahwa suatu ketika ajal kita akan tiba. Akan
tetapi, aku tidak percaya dalam hal ini aku berbeda pendapat Spengler bahwa masyarakat dari
segi ini serupa dengan individu manusia. Manusia, seperti halnya hewan atau tumbuh-
tumbuhan, setelah masa tertentu akan mengalami kematian. Aku tidak berpendapat bahwa

6
masyarakat juga tertimpa kematian. Aku sepenuhnya meyakini bahwa kemampuan untuk
melakukan suatu upaya dan masa depan adalah terbuka. Menurut pengamatanku, seluruh
masyarakat manusia pada waktu berbuat kekeliruan dan kebodohan beberapa masa
kemudiannya akan mengalami kemerosotan. Akan tetapi, aku tidak berarti bahwa satu
masyarakat dari semua masyarakat itu benar-benar mengalami keadaan demikian. Inilah
perbedaan esensial antara teoriku dan teori Spengler. Jadi, aku mempunyai sikap tertentu
terhadap kebudayaan Barat, tetapi aku tidak mempunyai sikap yang pesimistis
terhadapnya”(Arnold J. Toynbee, 1961: 235-237).
Demikianlah, kritik Toynbee tentang kelemahan teori Spengler, meskipun ia sendiri
sering sependapat dengan Spengler dalam banyak pendahuluan, khususnya tentang metode
kajian historis mengenai kebudayaan-kebudayan. Toynbee hampir sependapat dengan
Spengler mengenai konsepsi kesatuan kajian historis dari segi bahwa ia merupakan suatu
masyarakat yang terdiri atas berbagai kelompok yang memiliki karakteristik kultural khusus,
tanpa memandang bentuk nasional tempat mereka berafiliasi atau sistem internasional yang
mereka ikuti, yaitu suatu sistem yang pada hakikatnya didasarkan pada kodisi-kondisi
dominasi Barat atas sebagai tipe sistem politik yang berkembang pada zaman modern. Ini
berarti bahwa kesatuan historis, menurutnya, sebagaimana menurut Spengler, bukanlah umat
manusia seluruhnya atau kawasan-kawasan politik atau kesatuan-kesatuan nasional. Ia
merupakan sejumlah kelompok manusia yang kita sebut dengan masyarakat kultural atau
kesatuan kajian historis sesuai dengan karakteristik bersamanya. Dengan demikian, Toynbee
seiring dengan Spengler dalam penolakannya terhadap metode tradisional yang terkenal dari
para sejarawan terdahulu, yaitu suatu metode yang menjadikan kebudayaan Barat sebagai
kutub tetap yang menjadi ukuran kebudayaan-kebudayaan lainnya. Akan tetapi, Toynbee
berpendapat bahwa pola-pola kebudayaan yang dikajinya jumlahnya ada delapan tidak cukup
bisa mengantarkan seseorang pada kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang benar. Oleh karena
itu, Toynbee pun berupaya mengkaji lima masyarakat yang ada masa kini, yatu masyarakat
Kristen Barat, masyarakat Kristen Timur (Byzantium), masyarakat India, masyarakat Timur
Jauh, dan masyarakat Islam. Di samping itu, ia juga mengkaji sempalan-sempalan masyarakat
yang telah mati yang tidak jelas kepribadiannya, misalnya saja kaum Yahudi.
Menurut Toynbee, semua masyarakat tumbuh dari masyarakat sebelumnya, yang
menurutnya terdiri atas dua puluh satu masyarakat. Dengan adanya pembagian demikian,
gugurlah kesatuan kebudayaan yang diserukan sejarawan Barat sebelum Toynbee, yang
terpengaruh oleh lingkungan sosial mereka dan keberhasilan kebudayaan Barat secara
internasional di bidang politik dan ekonomi, sehingga membuat banyak sejarawan terbuai

7
oleh keserupaan yang menyesatkan diantara berbagai kebudayaan yang sebenarnya tidak
sesuai dengan corak-corak kultural asli dari segi substansi umum kebudayaan tersebut.
Keberhasilan lahirlah itu, terutama, karena tersebar luasnya sistem-sistem politik dan
ekonomi Barat dalam banyak masyarakat, menimbulkan suatu ide yang keliru, yaitu ide
kesatuan kebudayaan manusia. Menurut ide ini, sejarah manusia mempunyai satu sumber,
yaitu Barat, sedangkan yang lain-lainnya, adalah cabangnya atau tersesat di padang pasir.
Menurut Toynbee, ide yang mendominasi pemikiran banyak sejarawan Barta itu ditegakkan
atas tiga ilusi, yaitu cinta diri yang mendominasi orang-orang Barat, ide Timur yang mandek,
dan pendapat tentang kemajuan sebagai gerak yang membentuk suatu garis yang selalu lurus.
Dari sini, Toynbee menarik kesimpulan tentang perlu dilakukannya penilaian objektif atas
semua kebudayaan tanpa pengunggulan khusus terhadap kebudayaan Barat, seperti saran
Spengler sebelumnya, karena kebudayaan Barat bukanlah merupakan poros kebudayaan-
kebudayaan seperti menurut banyak sejarawan Barat( Moeflih Hasbullah, 2012: 149-151).

2.3. Pandangan Filsafat Sejarah Zaman Modern Menurut Arnold J. Toynbee.


1. Bentuk Pola / Irama Gerak Sejarah
Dalam melihat dan menentukan pola / irama gerak sejarah, Arnold J. Toynbee
membandingkan perkembangan / proses sejarah dengan kebudayaan. Menurut pandangan
Toynbee, kebudayaan (civilization) adalah wujud daripada kehidupan suatu golongan
seluruhnya. Pendapat Toynbee ini serupa seperti apa yang disebut oleh Oswald Spengler
sebagai kultur dan civilization. Menurut Toynbee, gerak sejarah melalui tingkatan-tingkatan
seperti berikut:

a) Genesis of civilization (lahirnya kebudayaan)

Suatu kebudayaan terjadi dan muncul karena adanya tantangan dan jawaban (challenge
and response) antara manusia dengan alam sekitar. Alam sebagai tempat tinggal manusia,
tidak selamanya akan memenuhi kebutuhan manusia. Dan manusia tidak akan selamanya
terlena akan kekayaan alam yang ada tanpa harus diolah dan dilestarikan. Alam akan
memberikan tantangan kepada manusia untuk memberikan pengalaman hidup yang akan
berkembang menjadi suatu kebudayaan. Setelah alam memberi tantangan kepada manusia,
kemudian manusia pun memberi jawaban akan tantangan alam sehingga menimbulkan suatu
kebudayaan. Dalam alam yang baik, manusia berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan
seperti India, Eropa, Tiongkok. Alam yang memiliki kondisi alam seperti iklim yang sesuai

8
dengan kondisi tubuh manusia, sehingga manusia dapat melahirkan suatu kebudayaan yang
setelah itu ditumbuhkembangkan oleh manusia itu sendiri sebagai peradaban yang dapat
memberikan nilai positif bagi alam. Akan tetapi apabila kondisi alam yang tidak baik,
manusia tidak akan bisa mendirikan suatu kebudayaan yang nantinya menjadi sebuah
peradaban. Seperti didaerah yang terlalu dingin atau daerah yang terlalu panas tidak dapat
timbul suatu kebudayaan dikarenakan alamnya tidak bersahabat, sehingga manusia sibuk
untuk mempertahankan hidup tanpa harus memperhatikan kebudayaan apa yang dapat
mereka lahirkan dan wariskan kepada anak cucu mereka.

b) Growth of civilization (perkembangan kebudayaan)

Dari kondisi alam yang baik sehigga menimbulkan lahirnya kebudayaan, dalam
perkembangan suatu kebudayaan, yang merupakan kejadian yang digerakkan oleh sebagian
kecil dari pihak-pihak kebudayaan itu. Pihak-pihak kebudayaan itu adalah suatu kelompok
manusia yang menjadi sebuah masyarakat. Suatu kelompok dalam jumlah kecil (minority) itu
menciptakan kebudayaan dari jawaban yang diberikan dan tantangan alam, kemudian ditiru
oleh sebagian besar masyarakat (mayority). Suatu kebudayaan dikembangkan oleh minority
yang kuat dan dapat menciptakan suatu kebudayaan. Suatu kelompok kecil (minority) yang
kuat mengembangkan kebudayaan dengan menyebarkan kebudayaan dan mempengaruhi
masyarrakat untuk meniru kebudayaan yang telah diciptakan minority.

c) Decline of civilization (keruntuhan kebudayaan)

Perkembangan kebudayaan yang ditumbuh kembangkan oleh minority yang kuat.


Apabila minority sudah tidak sanggup lagi untuk mempertahankan kebudayaan (lemah) dan
kehilangan daya ciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat lagi dijawab.
Akibatnya apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, maka akan terjadi keruntuhan yang
menyebabkan kehancuran kebudayaan seakan-akan lenyap ditelan alam. Menurut Toynbee,
keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa gelombang, yaitu:

1) Kemerosotan kebudayaan (Breakdown of civilization), disebabkan oleh kehilangan daya


tarik minoritas untuk menciptakan kebudayaan serta kehilangan kewibawaannya, maka
mayority tidak lagi bersedia mengikuti minoritas peraturan dalam kebudayaan (antara
minoritas dan mayoritas) pecah dan tentulah tunas-tunas hidupnya kebudayaan akan lenyap.
Pada masa ini juga sering terdapat usaha untuk menghentikan proses menuju masa atau tahap

9
disintegration of civilization dan dissolution of civilization. Akan tetapi umumnya tidak
berhasil.

2) Kehancuran kebudayaan (Disintegration Civilization), mulai tampak setelah tunas-tunas


kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti maka seolah-olah
daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan yang tidak berjiwa lagi. Toynbee
menyebut masa ini sebagai petrification, pembuatan atau kebudayaan yang sudah menjadi
batu, mati dan menjadi fosil.

3) Lenyapnya kebudayaan (Dissolution of Civilization ) ialah apabila tubuh kebudayaan yang


sudah menjadi batu itu hancur lebur kemudia lenyap. (Tamburaka, 1999: 66-67).

Setelah suatu kebudayaan (lama) mengalami dissolution, muncul kebudayaan baru di


atas puing-puing reruntuhan kebudayaan lama, setelah terlebih dahulu melewati suatu periode
penuh kekacauan ( “time of troubles” ).

Jika kita melihat pendapat Toynbee diatas mengenai gerak sejarah dapat disimpulkan
bahwa pada gerak sejarah menurut pandangan Toynbee adalah bentuk hukum Fatum-Cyklus
dalam wujud bentuk modern. Karena pandangan dari Toynbee, tidak hanya memperhatikan
gerak dari proses sejarah saja, akan tetapi juga memperhatikan bagaimana awal kejadian dan
kebudayaan, kemudian berkembang dan akhirnya mundur dan hilang. Dan juga meperhatikan
waktu yang dibutuhkan kebudayaan untuk timbul, berkembang, dan mundur. Ini dibuktikan
dalam penelitian Toynbee misalnya tentang kebudayaan Tiongkok-kuno yang menjelaskan,
antara Break Down (merosot), disintegration (hancur), Dissolution (lenyap) suatu
kebudayaan tidak berlangsung dengan cepat yaitu terbentang masa 2000 tahun yang masa itu
disebut masa pembatuan (petrification).

2. Arah dan Tujuan Gerak Sejarah

Setelah melihat pola gerak sejarah yang berbentuk hukum fatum-cylus dalam wujud
bentuk modern, yang pada masa breakdown (merosot) sebelum masa disintegrasi timbul,
sering terdapat suatu usaha untuk menghentikan kehancuran. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-
jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al-Masih. Akan tetapi perjuangan tersebut
tidak berhasil.

Suatu usaha yang dilakukan untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang
mungkin berhasil ialah penggantian dari segala norma-norma kebudayaan dengan norma-

10
norma ketuhanan. Maka dengan penggantian itu tampaklah bahwa arah dan tujuan gerak
sejarah menurut pandangan Toynbee ialah kehidupan ketuhanan.

Kehidupan ketuhanan yang merupakan arah gerak sejarah, dengan tujuan untuk meraih
kesempurnaan yaitu menuju ke kerajaan Allah (menurut paham Protestan) dengan
mengetahui kehendak Allah dan wujud daripada kehendak itu dalam sejarah agar dapat lebih
mencintai Tuhan. Dan jika kita melihat dari pandangan Ibnu Khaldun yang menentukan arah
gerak sejarah yaitu ke arah kemajuan dan kesempurnaan. Dan ketika kita hubungkan antara
pandangan Toynbee dan Ibnu Khaldun, keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk menuju
ke arah kesempurnaan dengan apa yang menjadikan manusia lebih baik sesuai kehendak
Allah. Akibat dari penelitian Toynbee adalah tiada hukum yang pasti dan lingkaran-lingkaran
tertentu melalui mana haruslah bersatu. Dan Toynbee berusaha menjawab pertanyaan tentang
tujuan gerak sejarah yaitu filsuf yang benar adalah seorang sejarahwan yang terpelajar dalam
studi empiris dan yang didasarkan juga atas keyakinan religius sejati (David Richardson,
dalam Tamburata, 1999: 69)

3. Penggerak Yang Menjadi Sumber Gerak Sejarah

Dari penjelasan diatas, dari pandangan Toynbee tentang pola gerak sejarah dan
tujuannya, jelaslah bahwa penggerak dari gerak sejarah menurut pandangan Toynbee adalah:
a. Tuhan, sebagai pencipta dari alam dan manusia

b. Alam, yang memberikan hubungan dan jawaban kepada manusia

c. Manusia, yang bertindak sebagai pencipta kebudayaan

Tuhan yang merupakan pencipta alam dan manusia, yang manusia mengetahui
kehendak dan wujud dari kehendak-Nya yang menjadi tujuan dari manusia untuk menuju
kehidupan ketuhanan. Tuhan yang bersemayam di kerajaan-Nya yang berkehendak untuk
menjadikan manusia menjadi sempurna dan lebih baik. Hal ini sama dengan ajaran Jawa
yaitu ”Manunggaling Kaula Gusti”, yang menghendaki manusia untuk menjadi lebih baik
untuk menjadi sempurna dan kembali ke sisi Tuhan.

Alam sebagai tempat tinggal manusia yang memberikan tantangan, kemudian manusia
menjawabnya dengan menciptakan suatu kebudayaan yang baik untuk alam. Alam tidak
selalu memberi kondisi yang baik, akan tetapi juga memberikan manusia yang tidak baik,
sehingga kebudayaan tidak akan muncul.

11
Manusia sebagai pencipta kebudayaan yang merupakan penggerak utama dari gerak
sejarah, karena manusialah yang menentukan arah dan tujuan dari gerak sejarah sehingga
kekuatan yang ada dalam manusia menjadi faktor dari timbul dan tenggelamnya kebudayaan
yang merupakan wujud dari gerak sejarah. Jadi tiga penggerak ini dapat saling berhubungan
menjadi unsur dari gerak sejarah.

12
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Teori Toynbee didasarkan atas penyelidikan 21 kebudayaan yang sempurna dan 9
kebudayaan yang kurang sempurna.kerajaan sempurna umpamanya yaitu Junani, Romawi,
Maya dan yang tidak sempurna antara lain : Sparta, Eskimo, Polynesia, Turki.

Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan melalui tingkatan seperti berikut:

1. genesis of civilizations – lahirnya kebudayaan.


2. growth of civilizations – perkembangan kebudayaan.
3. decline of civilizations – keruntuhan kebudayaan.

Apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya menciptakan , maka tantangan
dari alam tak dapat menjawab lagi. Minority mennyerah, mundur, dan pertumbuhan yang
tidak terdapat lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, mak keruntuhan mulai
tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam tiga masa yaitu:

a. kekerosotan kebudayaan.
b. Kehancuran kebudayaan.
c. Lenyapnya kebudayaan.

Dengan demikian jelaslah bahwa garis besar daripada teori Toynbee garis besarnya
mirip dengan tafsiran Santo Augustinus. Akhir dari gerakan sejarah pun sama juga; Citivitas
Dei.

13
Daftar Pustaka

Tamburaka, Rustam E. (1999). Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Fillsafat Sejarah, Sejarah
Filsafat dan Iptek.Jakarta: PT RINEKA CIPTA

Hasbullah, Moeflih dan Dedi Supriyadi. (2012). Filsafat Sejarah,Bandung: PUSTAKA


SETIA

http://jurnal-sejarah.blogspot.com/2012/09/filsafat-sejarah.html
http://deviciptyasari.blogspot.com/2013/11/filsafat-sejarah-arnold-j-toynbee-1889.html

14

Anda mungkin juga menyukai