Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH INDONESIA

DISUSUN OLEH:

DIMAS 170210302086
IIN PURWATININGSIH 170210302109

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
MASA BERBURU DAN MENGUMPULKAN MAKANAN
TINGKAT LANJUT

A. LINGKUNGAN ALAM PADA KALA HOLOSEN

1. PALEOGRAFI DAN PALEOKLIMATOLOGI


Kegiatan tektonis (uplift) yang aktif dan sangat kuat masih berlanjut meskipun
intensitasnya melemah sedangkan kegiatan tektonis kegiatan gunung api meningkat
akibat subduksi yaitu pergerakan lempeng samudera yang menyusup kebawah lempeng
dunia. Menjelang akhir kala pleistosen membawa dampak terhadap perubahan iklim di
indonesia. Pada waktu periode glasial tersebut, paparan sunda menyatu dengan asia
tenggara daratan, sedangkan australia menyatu dengan papua dan papua nugini di
paparan sahul. Kepulauan indonesia sebagai wilayah tropis menjadi lebih dingin dan
kering, curah hujan berkurang sehingga penguapan menjadi berkurang pula.

2. FLORA DAN FAUNA


Beberapa flora yang telah ada seperti taro / sejenis umbi-umbian (colocasia,
cyrtosperma, alocasia) dan jenis umbi-umbian dioscorea (gembili,huwi) . sementara itu
tanaman palma metroxylon/sagu. Tradisi mengolah sagu diduga muncul di papua sejak
akhir pleistosen pohon buah yang banyak digunakan adalah pohon kenari (canarium)
yang diambil bijinya. Temuannya di daerah sepik-ramu di papua nugini, juga tersebar
hingga maluku.
Beberapa jenis fauna yang dapata diketahui dari situs-situs arkeologi: banteng, rusa,
kijang, babi, badak , pelanduk, monyet, harimau, musang, linsang, biawak, bajing,
terbang.

B. MANUSIA
Data mengenai sisa-sisa manusia pada periode ini sebagian besar ditemukan dari situs-situs
gua hunian prasejarah, dengan perkecualian dari situs-situs terbuka bukit kerang yang
wilayah persebarannya terbatas di sepanjang pesisir timur sumatera utara, aceh dari
penemuan-penemuan tersebut dapat diketahui manusia modern ini secara fisik mencirikan ras
australomenasid.
C. POLA HUNIAN DAN SEBARAN
 HUNIAN GUA DAN CERUK
Pada masa ini pemanfatan gua dan ceruk sudah berkembang sebagai ruang
multifungsi untuk kegiatan hunian, penyembelihan binatang buruan, bengkel
pembuatan peralatan, penguburan, tempat mengolah makan, dan ekspresi keindahan.
Bagian depan ruangan gua difungsikan sebagai tempat pembuatan perkakas,
sementara bagian yang menyudut di dekat dinding gua yang lebih gelap serta lembab
dimanfatkan sebagai lokasi penguburan.
 HUNIAN BENTANG ALAM TERBUKA
Muncul sebuah kelompok budaya yang masih mempertahankan pola hunian terbuka.
Kelompok ini memperlihatkan karakter budaya hoabinh (hoabinhian). Pendukung ini
tinggal pada dua jenis ekosistem yaitu lingkungan terbuka di tepi pantai atau tepi
sungai dan lingkungan pedalaman didalam gua atau ceruk. Ciri khas alat batu
hoabinhian adalah pemangkasan pada satu atau dua sisi permukaan kerakal sungai
yang lebih kurang berukuran satu kepalan.
D. POLA SUBSISTENSI
Upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada awal holosen dalam hal tertentu
masih melanjutkan subsistensi akhir pleistosen khususnya perburuan hewan.
 PERBURUAN DAN PEMANFAATAN BIOTA AIR
Sisa fauna yang ditemukan di lapisan situs Song Kelplek memberikan gambaran
fauna yang hidup di kala holosen. Fauna yang ditemukan di tempet tersebut
diantaranya sapi, kerbau, rusa, babi, kancil, monyet, anjing, beruang, musang,
kucing, landak, tupai gajah, binatang pengerat, badak, tapir, hiu, dan ayam hutan.
Selain jenis mamalia, di tempat tersebut juga ditemukan moluska seperti: pelecypoda,
gastropoda,dan amouliriidae.
Di gua Braholoa juga ditemukan sisa sisa fauna namun variasinya tidak sebnyak di
Song Keplek. Jika dibandingkan antara temuan di Braholoa dan Song Keplek dengan
temuan von koneigswald dari daerah punung, akan didapat kesamaan jenis. Menurut
Badoux fauna tersebut merupakan fauna yang hidup dilingkungan hutan dan rawa.
Ceruk di daerah hutan punung diperkirakan terbentuk pada kala pleitosen atas.
Sedangkan fosil fosil yang ada didalamnya berasal dari pleistosen tengah hingga
pleistosen atas. Kesamaan fauna di ceruk dengan di gua Brahola serta Song Keplek
menunjukkan adanya kesinambungan antara kala pleitosen atas dan holosen.
Dari temuan fosil fosil di gua Brahola serta Song Kleplek dapat disimpulkan bahwa
perburuan binatang darat lebih dominan jika disbanding dengan perburuan binatang
air. Di pesisir timur Sumatra ditemukan situs yang berbeda dari situs lainnya. Di situs
ini ditemukan bahwa kerang dari kelas Gastropoda merupakan makanan utama
mereka. Adapun kerang yan ditemukan meliputi Nerita sp., Siliquaria cumingi,
Melongena Pugilina, Melo melo, Conus sp,. Ellobium aursjudae, pleuroploca
trapezium, dan srombus pipus.
 PEMANFAATAN BIJI-BIJIAN DAN UMBI-UMBIAN
Selain mengandalkan pola berburu. Masyarakat holosen juga mngumoulkan makanan
berupa biji bijian dan umbi umbian yang tersedia dari alam. Karena mereka belum
mengenal sistem budi daya tanaman. Bukti peninggalan jenis tanaman apa saja yang
menjadi sumber makanan sangat sulit untuk didapatkan. Tapi jika melihat kondisi
masyarakat tradisional yang memanfaatkan umbi umbian, buah buahan dan biji
bijian, tidak dapat dipungkiri jika komunitas di kala itu juga memanfaatkan tanaman
yang ada di lingkungannya. Peninggalan berupa biji bijian juga ditemukan di gua
hantu didaerah Spirit cave, Thailand oleh Chester Gorman. Diperkirakan pada kala
itu sudah dikenal tanaman makanan berupa kacang polong dan buncis.
Di Indonesia sendiri bukti temuan pemanfaatan tanaman ditemukan di gua Braholo,
gunung Kidul berupa Kemiri, Kenari, dan ketapang. Biji kenari dan kemiri juga
ditemukan di Song Keplek. Biji biji tersebut ditemukan dalam keadaan hangus.
 PENGELOLAAN LINGKUNGAN
E. TEKNOLOGI
 TEKNOLOGI LITIK
Kelompok pertama dengan persebaran yang paling luas merupakan kelompok alat-
alat serpih. Kelompok kedua adalah yang disebut teknologi hoabinhian. Kelompok
ketiga merupakan alat-alat mikrolit (alat-alat batu kecil) dan alat-alat dari obsidian
 INDUSTRI ALAT-ALAT SERPIH
Periode ini lebih di dominasi oleh alat-alat serpih. Alat batu inti yang masih berperan
pada periode ini adalah batu pukul (percutor) yang berfungsi sebagai alat
pemangkas. Sebagai gantinya berkembang alat serpih melalui teknik-teknik peretusan
yang menghasilkan berbagai jenis dan tipe alat serpih. Secara umum serpih-serpih
yang dilepaskan dapat dibedakan dalam serpih-serpih yang terbuang, serpih-serpih
yang diretus untuk dijadikan alat dan serpih-serpih yang tidak diretus tetapi
digunakan sebagai alat. Untuk kelompok pertama sering terbentuk tidak teratur
sehingga kurang memungkinkan. Kelompok kedua merupakan serpih langsung
digunakan tanpa melalui pengerjaan lanjut (peretusan). Ciri yang paling menonjol
dari alat ini adalah keberadaan perimping bekas pakai atau kilapan pada bagian sisi
tertentu yang dapat dilihat secara megaskopis atau mikroskopis. Kelompok ketiga
merupakan serpih yang sengaja dilepaskan melalui persiapan untuk dijadikan alat.
Jika pada kelompok kedua kesamaan morfologi alat lebih bersifat kebetulan maka
pada kelompok ini kesamaan morfologi lebih disebabkan pada pembuatan yang
terkonsepsi dan yang diwujudkan lewat teknik-teknik pemangkasan dan peretusan.
Alat serpih yang menonjol adalah serut,lancipan, mata panah, pisau, dan bor.
 INDUSTRI LITIK HOABINHIAN

 INDUSTRI MIKROLIT DAN ALAT OBSIDIAN


 TEKNOLOGI ALAT DAN TULANG
 ALAT CANGKANG KERANG
F. SENI DAN KONSEP RELIGI
 Seni sebagai Manifestasi Konsep Estetika dan Non-Estetika
Seni pertama kali muncul pada permukaan dinding-dinding cedas, baik dalam bentuk lukisan
(rock art), goresan (rock enggrafing), maupun patahan (rock karving). Seni cedas merupakan
suatu karya yang bersifat universal. Seni ini diciptakan oleh manusia Cro-Magon (homo
sapiens), dan mencapai puncak perkembangannya pada 15.000-10.000 tahun lalu yang
didukung oleh pendukung budaya Magdalenian. Di Afrika seni cedas ditemukan pula dalam
bentuk lukisan dinding gua yang ada di wilayah Rhodesian (kini Zimbabwe dan
Zambia).lukisan-lukisan ditampilkan dalam adegan perburuan, bentuk-bentuk lukisan senjata
yang pernah digunakan, dan suasana kehidupan kampung, termasuk lukisan binatang ternak
mereka. Seni cedas di wilayah Australia mempunyai persebaran yang sangat luas, meliputi
Australia bagian barat, Northern Teritory, Australia bagian tengah dan selatan, Queensland,
New South Wales, dan Victoria. Ada beberapa teknik pembuatan: menggambar dengan zat
pewarna kering, menempelkan cat dengan tangan, memercikkan cat, stensil, melukis dengan
jari, dan semprot.
Seni cedas kelompok timor-timur ditemukan di dinding-dinding gua di Toutulan, Lene Hara,
Lene Kichi I dan II, Ili Kere kere, Chaialoro, Sunu Tareleu, dan Hi O berupa dua manusia
membawa hewan. Seni cadas di dinding gua tampaknya juga tersebar di wilayah Asia
Tenggara. Lukisan-lukisan gua dia Thailand sebagian besar juga ditemukan di wilayah
timurlaut. Di Malaysia seni cadas berupa lukisan dinding gua ditemukan di Gua Tambun,
Ipoh (perak). Di Filipina senu lukis dibuat dalam dua teknik, yaitu teknik goresan dan teknik
sapuan. Seni cadas Indoneaia tidak berbeda jauh dengan bentuk-bentuk seni cadas lainnya
yang ditemukan di wilayah Asia. Hasil penelitian yang telah dilakukan enunjukkan bahwa
penemuan seni lukis terutama gua/ceruk terjadi mengelompok di tempat-tempat tertentu, pada
umumnya di bagian Indonesia wilayah timur. Hasil oenelitian, samapai akhir dekade tahun
90-an, menunjukkan adanya sejumlah kompleks seni lukis gua yang tersebar di wilayah
Sulaweai Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.
Seni cadas kelompok maros (Sulawesi Selatan) ditemukan pada sejumlah gua, seperti
Pattakere I dan kompleks Taman Purbakala Maros, dengan motif lukisan cap tangan negatif
berwarna merah. Adapun seni cedas kelompok Muna merupakan perkembangan gaya seni
lukis yang lebih kemudian. Melihat bentuk lukisan yang ada, tampaknya pada masa tersebut
sudah dikenal adanya logam sehingga cerminan yang dituangkan pada lukisan banyak
menunjukkan perkakas dari logam. Seni cadas kelompok Maluku ditemukan di sekitar Pulau
Seram (Maluku Tengah), Kepulauan Kei (Maluku Tenggara), dan di dudumahan. Seni cadas
kelompok Papua ditemukan baik sepanjang tepi pantai maupun di bagian pedalaman.
Roder dalam penelitiannya di sepanjang Teluk Berau antara Kokas dan Goras telah mencatat
sekitar empat puluh buah situs serta membedakan jenis lukisan dalam tiga kelompok
berdasarkan warna, yaitu merah, hitam, putih. Ketiga warna tersebut sering ditemukan saling
tumpang tindih. Hitam dan putih biasanya sering ditemukan di atas warna merah.
Berdasarkan hal tersebut, Roder kemudian berpendapat warna merah mempunyai kronologi
lebih tua dari warna hitam dan putih. Lukisan dalam warna merah dikelompokkan dalam
empat gaya
berdasarkan wilayahnya, yaitu tabulinetin, manga, arguni, dan ota I. Lukisan dengan warna
hitam hanya tetdapat satu gaya, yaitu ota II., yang merupakan gaya umum yang disebut
Sosoraweru. Taubuni merupakan gaya twrtua dengan corak warna merah dilukiskan
menyebar di sekeliling dinding dan selalu tumpang ti dih dengan lukisan yang lain., baik
sesama lukisan merah maupun dengan lukisan warna lain. Adapun gaya Manga sangat jauh
berbeda dengan Tabulinetin. Motif yang dilukiskan dalam latar belakang warna merah, tetapi
lebih dalam bentuk spiral yang berliku-liku. Gaya Argumi sama dengan gaya Tabulenetin,
bedanya hanya pada motif lebih kaku dan kasar serta hampir semuanya sangat pudar. Gaya
Ota I sering kali dilukiskan dalam motif yang besar, sederhana dan aneh, yang didominasi
oleh bentuk-bentuk swastika. Gaya Ota II merupakan lanjutan dari Tabulonetin dan Arguni,
tatapi lebih sederhana dan sering kali berkembang dalam bentuk garis-garis yang samar-
samar.
Di samping darrah-daerah sekitar Teluk Spelman, Teluk Berau dan teluk Arguni, seni cedas
juga ditemukan di sepanjang Teluk Bitsyari dan Teluk Triton yang termasuk dalam wilayah
administarsi kaimana. Tampaknya seni cadas di wilayah Papua tidak hanya ditemukan di
sepanjang pantai, tetapi juga di wilayah pedalaman, seperti di Danau Sentani di wilayah
Wamena dan ceruk-ceruk di Biak. Lukisan yang ditemukan di wilayah Biak Timur, Kabupate
Biak Numfor, memperlihatkan teknik pahat timbul, dengan cara memahatkan lukisan-lukisan
tersebut pada media lukis di dinding-dinding ceruk di bagian gamping. Lukisan-lukisan
tersebut ditemukan di Ceruk Kufrai dan Ceruk Kabei. Hasil penelitian terakhir menunjukkan
bahwa se aran seni cedas makin meluas dan berkembang, tidak hanya di wilayah Indonesia
timur, tetapi juga terdapat di kawasan Indonesia bagian barat.
Disamping teknik sapuan, terdapat teknik sketsa berupa garis-garis sisi berwarna merah yang
kadang-kadang dipertegas dengan warna putih tanpa pengisian warna. Seni lukis di wilayah
Kalimantan barat ditemukan pula di wilayah Desa Sungai Sungkang (Kabupaten Sambas)
yang berbatasan dengan Serawak. Situs-situs tersebut meliputi Gua Tengkayu, Batu Bakil,
dan Batu Kadok. Situs lain yang mengandung data seni lukis pernah dilaporkan oleh Chazine
dalam laporannya yaitu di Liang Kuang (Kapuas Hulu). Pada dasarnya lukisan-lukisan pada
batu, dinding gua, dan karang di Indinesia menggambarkan kehidupan sosial-ekonomi dan
keoercayaan masyarakat pada waktu itu. Motif manusia jarang digambarkan secara utuh dan
proposional, tetapi hamya bagian tertentu, seprti cap tangan, cap kaki, mata, bahkan kepala
yang diidentikkan dengan bentuk topeng. Lukisan babi sedang melompat dengan mata panah
pada bagian jantungnyadi gua Sakapao (Pangkep) mengandung unsur kontak magis yang
memberikan pesan agar dengan lukisan tersebut akan didapatkan hasil hewan buruan yang
banyak.
 Sistem Penguburan Sebagai Manifestasi dari Konsepsi Kepercayaan
Di Wilayah Asia Tenggara konsepsi kepercayaan mulai dikenal sejak zaman Paleolitik.
Bukti-bukti konsepsi kepercayaan tersebut dimanivestasikan dalam bentuk penguburan yang
ditunjukkan di beberapa situs, seperti di Vietnam, Semenanjung Malaya, Serawak, dan
Indonesia. Di indonesia munculnya konsepsi kepercayaan telah dimulai pada masa awal
Holosen, yang dimanifestasikan dalam bentuk sistem penguburan. Munculnya sistem
penguburan diawali dengan adanya pola lenguburan sederhana, yaitu mengubur mayat dekat
dengan tempat tinggal sehingga bercampur dengan peninggalan-peninggalan lain, seperti alat
litik dan cangkang kerang. Indikataor yang dapat dijadikan petunjuk adanya sistem
penguburan didasarkan pada temuan sisa rangka, baik yang berada di lingkingana alam
terbuka maupun di gua-gua atau ceruk. Sistem penguburan yang ditemukan di bukit-bukit
karang di oesisir timurrlaut Sumatra menunjukkan adanya penguburan primer sederhana
dengan tanda-tandaadanya taburan bahan lewarna merah (hematit) pada bagian rangka
tersebut. Selain penguburan sederhana yang ditunjukkan di Sumatra, hadirnya penguburan
primer secara utuh dapat diketahui di gua/gua di wilayah Jawa Timur, D. I. Yogyakarta, dan
Flores. Adapun cara penanganan mayat yang paling um ditemukan adalah dalam posisis
terlipat. Konsep tentang bekal kubur sebagai objek oenyerta bagi seorang yang telah
meninggal sudah dikenal pada periode ini. Konsep kepercayaan tentang hidup sesudah mati
agaknya sudah berkembang di kala itu. Oleh sebab itu, terdapat kebiasaan bagi keluarga si
mati untuk menyertakan bekal berupa benda benda tertentu dalam kubur atau melakukan
ritual tertentu dalam proses le guburan. Pemberian bekal bertujuan untuk membekali si mati
dalam kehidupan yang baru. Bukti pemberian bekal kubur terdapat di Gua Lawa, Sampung,
yaitu berupa penemuan kalung dari cangkang mkluska yang dilubangi pada rangka anak-
anak. Penemuan lainnya berasal dari Song Gentong (Tulungagung), yakin berupa bubukan
hematit yang ditaburkan di sekitar badan si mati dan sebuah bungkal hematit berbentuk bola
di dekat kakinya (komunikasi pribadi dengan Truman Simanjutak,ketua tim penelitian Song
Gentong). Warna merah dari hematit ini dapat melambangkan kehidupan sehingga
panaburanya pada mayat diduga sebagai simbol kehidupan-kembali di dunia lain.

Anda mungkin juga menyukai