A. Pendahuluan
Dalam situasi vacuum of power, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 dikumandangkan oleh Sukarno-Hatta. Berita
tentang proklamasi tersebut untuk daerah Jakarta dan sekitarnya cepat
diketahui oleh umum, sebab para pemuda membuat pamflet dan menyebarkan
berita tersebut. Di samping itu, mereka juga membuat tulisan di tembok-
tembok.
Ternyata berita Proklamasi itu sampai ke seluruh penjuru tanah air.
Terbukti dapat diterima oleh kantor berita Domei cabang Yogyakarta pada
siang hari pada pukul 12.00 WIB. Berita Proklamasi yang disiarkan oleh
Kantor Berita Domei cabang Yogyakarta itu akhirnya tersebar luas sampai ke
masyarakat Yogyakarta. Keberhasilan berita proklamasi itu diterima tepat
pada hari Jumat, sehingga pada saat Sholat Jumat tiba berita proklamasi yang
disiarkan melalui masjid-masjid. Di antaranya Masjid Besar Kauman dan
Masjid Besar Pakualaman. Dengan demikian berita proklamasi yang
disiarkan secara terbuka melalui menara masjid itu menjadi tersebar luas
sampai ke pelosok desa.
Salah seorang tokoh pergerakan nasional dan pendiri Taman Siswa
yaitu Ki Hajar Dewantara yang telah mendengar berita tersebut tidak tinggal
diam. Ki Hajar Dewantara menyambut gembira dengan cara mengadakan
kegiatan pawai massal yang diikuti oleh para murid Taman Siswa pada sore
hari tanggal 17 Agustus 1945.1
Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengetahui berita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, hatinya sangat lega. Hal ini karena beliau pernah
1
Dwi Ratna Nurhajarini,dkk. Yogyakarta: dari Hutan Beringin ke Ibukota
Daerah Istimewa, (Yogyakarta: Badan Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradsional,
2012), hlm. 59.
1
mendapat wisik bahwa Belanda akan pergi dari Indonesia. Selain itu beliau
juga mengetahui tentang ramalan Jayabaya bahwa orang cebol berkulit
kuning yang menjajah Indonesia hanya seumur jagung. Hal tersebut terbukti
walaupun sebenarnya tidak masuk akal.
Dengan telah memiliki sistem pemerintahan sendiri, Yogyakarta
sebenarnya sudah siap untuk berdiri menjadi sebuah negara sendiri ketika
para penjajah meninggalkan Indonesia. Syarat sebuah negara adalah memiliki
wilayah, rakyat, dan sistem pemerintahan. Ketiga syarat dasar itu telah
dimiliki oleh Yogyakarta. Seandainya dulu Yogyakarta tidak mau bergabung
dengan Republik Indonesia namun berdiri sebagai negara sendiri, maka
sejarah Indonesia akan berbeda.
Itulah sebabnya, setelah RI memproklamirkan kemerdekaannya,
Hindia-Belanda sempat menawarkan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono
IX untuk menjadi “Super Wali Nagari” atas wilayah Jawa dan Madura dalam
rangka negara federal yang akan dibuat Belanda. Namun Sri Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sudah bertekad bulat untuk
memilih bergabung dengan Republik Indonesia. Bahkan, Yogyakarta
dipersembahkannya sebagai pilar penyangga bagi berdirinya Republik ini.
Sangat jelas bahwa Sultan HB IX berjuang sekuat tenaga dengan segala
taktik dan strategi politisnya untuk melawan penjajah dan menegakkan
kedaultan Negeri Yogya sebagai sebuah kerajaan dengan pemerintahan,
rakyat, dan wilayah tersendiri.2
B. Keadaan Yogyakarta setelah Proklamasi Kemerdekaan
Setelah RI memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agusuts 1945,
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII memutuskan untuk
bergabung dengan Republik Indonesia. Dalam sebuah diskusi pribadi saat
mempertimbangkan keputusan itu, Sri Paku Alam VIII berkata kepada Sri
Sultan Hamengku Buwono IX agar Yogyakarta bergabung dengan Republik
2
Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota
Republik, (Yogyakarta: Galangpress, 2011), hlm. 36.
2
Indonesia. Spontan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX setuju dengan
perkataan Sri Paku Alam VIII.
Pada tanggal 19 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
mengirim telegram dan ucapan selamat kepada Ir. Sukarno dan Drs.
Muhammad Hatta atas berdirinya negara Republik Indonesia dan terpilihnya
kedua tokoh itu sebagai presiden dan wakil presiden. Pengiriman telegram itu
tentu saja tidak diketahui oleh masyarakat luas, tetapi hanya terbatas pada
lingkungan kecil. Barangkali hanya beberapa orang dekat dengan sultan saja
yang mengetahuinya. Dalam telegram ini juga sekaligus menyatakan bahwa
Yogyakarta mendukung dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Kemudian pada pukul 10.00 WIB pada hari yang sama, Sultan
mengundang kelompok-kelompok pemuda dan mengadakan pertemuan
dengan mereka. Pertemuan itu diadakan di Bangsal Kepatihan yang dihadiri
oleh kelompok pemuda yang mewakili golongan agama, golongan nasionalis,
kelompok kepanduan, dan kelompok pemuda keturunan Cina. Dalam
pertemuan yang berlangsung kira-kira setengah jam, Sultan mengucapkan
pidato yang mengajak masyarakat untuk tetap menjaga ketertiban dan jangan
melakukan hal-hal yang tidak perlu. Hal ini harus disampaikan oleh Sultan
karena selama ratusan tahun dijajah oleh bangsa lain pasti disaat
kemerdekaan tercapai ada perubahan besar. Jangan sampai ada kegiatan yang
berlebihan saat meluapkan kegembiraan. Selain itu Sultan juga menghimbau
jika ada kerusuhan di kampung-kampung, perusahan-perusahaan, dan toko-
toko agar segera melapor ke kraton.3
Dalam pertemuan itu Sultan melakukan tindakan preventif untuk
mengatasi segala kemungkinan yang terjadi khususnya tindakan liar yang ada
di Yogyakarta. Dalam perubahan besar dan mendadak seperti itu segala
sesuatu bisa terjadi. Hal semacam itulah yang ingin dicegah oleh Sultan.
Pertemuan Sultan dengan kelompok-kelompok pemuda tersebut cukup
penting. Dari segi lain sikap Sultan terhadap proklamasi kemerdekaan mulai
dapat diketahui oleh semua golongan secara luas.
3
Dwi Ratna Nurhajarini,dkk. op.cit., hlm. 60
3
Keputusan untuk bergabung dengan Republik Indonesia merupakan
kebesaran hati Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII.
Mereka berdua tidak mementingkan diri sendiri. Mereka mempersembahkan
kerajaan yang sudah berdiri sejak ratusan tahun silam untuk mendukung
penuh “jabang bayi RI” yang baru saja lahir. Sri Sultan Hamengku Buwono
IX telah menunjukkan suatu sikap yang didasari oleh keputusan yang luar
biasa, yang jarang ada bandingannya dalam kehidupan politik di berbagai
penjuru dunia.4
4
Parni Hadi dan Nasyith Majidi, Hamengku Buwono IX: Inspiring
Prophetic Leader, (Jakarta: IRSI, 2013), hlm. 118.
4
Ingkang Kaping VIII pada kedudukannya, dengan kepercayaan, bahwa Sri
Paduka Kanjeng Gusti akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan
raga untuk keselamatan daerah Paku Alaman sebagai bahan daripada
Republik Indonesia”.5
Dalam piagam itu ditekankan bahwa Pemerintah RI memberi
kedudukan dan kepercayaan penuh bahwa kedua penguasa Yogyakarta akan
mengabdi secara total kepada RI. Piagam itu dibalas dengan pernyataan
bahwa Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menerima
kedudukan itu dan berjanji akan bertanggung jawab untuk menjalankan tugas
yang diharapkan itu. Penegasan akan kedudukan dan tanggung jawab itu
dinyatakan dalam bentuk Amanat 5 September 1945. Dengan demikian
Piagam Kedudukan dan Amanat itu merupakan bentuk ketetapan antara
Yogyakarta dan RI.
Piagam kedudukan tersebut menunjukan beberapa hal penting.
Pertama, hubungan Yogya dengan Pemerintah Pusat (Presiden RI) adalah
hubungan langsung. Piagam itu diberikan langsung oleh Presiden RI kepada
kedua raja di Yogyakarta. Itulah sebabnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dan Sri Paku Alam VIII kemudian membuat Amanat 5 September 1945 yang
menyatakan bahwa dalam menjalankan pemerintahan daerah mereka berdua
bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.
Kedua, Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan
kedaulatan Kasultanan Yogyakarta yang daerah kekuasaannya meliputi
wilayah Yogyakarta. Wilayah itu merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Ketiga, Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan
kedaulatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai raja Yogyakarta.
Penyebutan gelar lengkap dari Sri Sultan dalam Piagam itu menunjukan
bahwa kekuasaan Sri Sultan diakui secara penuh. Gelar itu menunjukan
secara eksplisit bahwa Sri Sultan adalah raja atau pemimpin yang berkuasa
secara politis, militer, sosial budaya, dan keagamaan.
5
Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan
Keistimewaan Yogya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 20-21.
5
Keempat, Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan
kedaulatan Kadipaten Pakualaman sebagai sebuah kerajaan merdeka yang
merupakan wilayah Republik Indonesia. Pengakuan akan kadipaten itu
penting sebab wilayah Pakualaman itu berbeda dengan wilayah kekuasaan
Kasultanan.
Kelima, Pemerintah Pusat (Presiden RI) mengakui keberadaan dan
kedaultan Sri Paku Alam VIII sebagai raja tas kedipaten Pakualaman. Sama
seperti pada penyebutan gelar Sri Sultan, penyebutan gelar Paku Alam juga
ditulis secara lengkap. Hal itu menunjukkan bahwa kekuasaan dan wewenang
Paku Alam diakui secara penuh.
Piagam kedudukan itu mempunyai nilai sangat penting sebab
merupakan catatan sejarah tentang deal yang terjadi antara Pemerintah RI
dengan Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat (Kasultanan dan Pakualaman).
Karena piagam Kedudukan itu sangat penting, Presiden Sukarno mengirim
utusan khusus untuk menyampaikan Piagam itu langsung kepada Sri Sultan
Hamengku Buwono IX. Karena situasi yang serba sulit, utusan yang terdiri
dari Menteri Mr. Sartono dan Menteri Mr. Maramis baru tiba di Yogyakarta
pada 6 September 1945. Adapun Piagam Kedudukan itu sudah dibuat dan
ditandatangani oleh Presiden Sukarno pada 19 Agustus 1945. Untuk lebih
maklum akan kedudukan dan kelangsungan hidup Kesultanan Yogyakarta ini
berbeda dengan derah swapraja lainnya.6
6
Atmakusumah, Tahta untuk Rakyat, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 66.
6
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII membuat suatu pernyataan
bersama, yang lebih dikenal dengan sebutan amanat “5 September 1945”.7
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX itu berbunyi sebagai berikut:
“Pertama, bahwa Negeri Ngayogyakarta hadiningrat yang bersifat Kerajaan
adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. Kedua, bahwa kami
sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan Negeri Ngayogyakarta
Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini
segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai
saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kemi pegang
seluruhnya. Ketiga, bahwa berhubung antara Negeri Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia, bersifat
langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada
Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap
penduduk dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mengindahkan amanat
kami ini”.
Serupa dengan itu, Amanat Sri Paku Alam VIII berbunyi demikian:
“Pertama, bahwa Negeri Pakualaman yang bersifat Kerajaan adalah Daerah
Istimewa dari Negara Republik Indonesia. Kedua, bahwa kami sebagai
Kepala Daerah memegang segala kekuasaan Negeri Pakualaman, dan oleh
karena itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan
pemerintahan dalam Negeri Pakualaman mulai saat ini berada di tangan kami
dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. Ketiga, bahwa
berhubung antara Negeri Pakualaman dengan Pemerintah Pusat Negara
Republik Indonesia, bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas
negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami
memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Pakualaman
mengindahkan amanat ini”.
7
Garda Maeswara, Sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950: Perjuangan
Bersenjata & Diplomasi untuk mempertahankan Kemerdekaan, (Yogyakarta:
Narasi, 2010), hlm. 20.
7
Dua amanat ini menunjukkan, pertama, penegasan dua Raja
Yogyakarta tentang status daerah Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa dari
Negara RI. Kedua, karena amanat dibuat sendiri oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, maka terdapat dua Daerah Istimewa di
Yogyakarta. Ketiga, penegasan bahwa Yogyakarta memiliki sistem
pemerintahan asli (susunan asli) karena merupakan sebuah “kerajaan”. Baik
Kasultanan maupun Pakualaman merupakan sebuah kerajaan. Keempat,
bagian akhir amanat-amanat itu menunjukkan otoritas Sri Sultan dan Paku
Alam atas rakyatnya. Dengan demikian, sampai pada berdirinya RI,
Kasultanan dan Pakualaman merupakan kerajaan yang berdaulat penuh.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kedua amanat tersebut
merupakan embrio terbentuknya Daerah Istimewa Jogjakarta.8
8
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta,
(Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2011), hlm. 119.
8
“Pemuda Kita Kasultanan” yang disingkat Pekik, dan dicetuskan sebuah mosi
yang dicetuskan sebgai berikut:
1. Angkatan muda dan pegawai Kasultanan selalu berdiri di belakang
Sri Paduka Kanjeng Sultan, siap sedia menjalankan segala perintah
dan petunjuknya.
2. Berjanji, jika ada kekuasaan yang hendak memerintah dan menjajah
Indonesia atas titah Sri Paduka hamba sekalian sanggup serentak
meletakkan jabatan.
3. Berjanji akan memelihara dan mempertahankan tepatnya
Kemerdekaan Indonesia sampai akhir zaman.
9
Dwi Ratna Nurhajarini,dkk. op.cit., hlm. 63-64.
9
hanya menginginkan negara bernama RI dan tidak ingin mendirikan negara
Yogyakarta sendiri.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII beserta
segenap rakyat Yogyakarta bukan hanya menyatakan bergabung dengan RI,
lalu menyatakan komitmen, namun juga secara nyata berjuang untuk
tegaknya bangsa Indonesia. Bagi Sri Sultan Hamengku Buwono IX, tindakan
itu sudah menjadi visinya sebagai seorang Senapati ing Ngalogo (Panglima
Perang). Karena itulah Presiden Sukarno memberi apresiasi sangat tinggi atas
perjuangan Yogyakarta.
F. Kesimpulan
DIY terlahir dari sebuah suasana kebatinan bangsa Indonesia yang
bukan hanya diliputi semangat persatuan bangsa, tetapi juga penghargaan
tinggi terhadap sejarah. Pasal 18 UUD 1945 menegaskan pentingnya NKRI,
tidak boleh ada negara didalam negara. Namun, pasal itu juga mengakui dan
menghormati kenyataan historis dari setiap daerah yang bersifat istimewa
karena memiliki “susunan asli” sejak Republik Indonesia belum ada.
Kelahiran DIY ini menunjukan bahwa ketika sejarah diapresiasi maka
keberadaan daerah-daerah istimewa di negeri ini juga diakui. Sejarah tidak
berbicara tentang sesuatu yang kuno di masa silam, namun berbicara tentang
proses atau kronologi. Para pendiri bangsa benar-benar memahami bagaimana
proses berdirinya Ksalutanan dan Pakualaman. Mereka tidak melupakan
proses bagaimana kedua kerajaan itu memilih bergabung dengan RI da
berkomitmen dengan RI.
Kepemimpinan dan keteladanan dwitunggal Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII diikuti segenap rakyat Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dengan kesungguhan hari dwi tunggal dari Yogyakarta ini,
NKRI bisa seperti sekarang ini. Tidak bisa dibayangkan jika Republik
Indonesia tidak dibantu oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten
Pakualaman dalam menghadapi permasalahan saat negara ini masih sangat
muda. Mungkin sejarah Indonesia akan berbeda jika Yogyakarta tidak
bergabung dengan NKRI.
10
DAFTAR PUSTAKA
11
Lampiran 1: Piagam Kedudukan, dan Amanat 5 September 1945
(Kedaulatan Rakyat)
12
NGAJOGJOKARTO HADININGRAT, 28 Puasa, Ehe, 1876 (5
September 1945)
HAMENGKU BUWONO IX
13
Paku Alam VIII
14