Anda di halaman 1dari 2

POLITIK ETIS

Pengertian
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah
kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan
kritik terhadap politik tanam paksa yang menyengsarakan pribumi. Atau dalam kata lain, politik etis
merupakan sikap hutang budi dari pihak Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia.

Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (seorang wartawan Koran De
Locomotief) dan Conrad Theodore van Deventer ternyata membuka mata pemerintah kolonial
untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang. Van Deventer merasa harus
melakukan sesuatu untuk ‘membalas budi’ kepada Pribumi yang sudah menderita penyelewengan
Sistem Tanam Paksa daripada Van Den Bosch yang sangat menguntungkan Belanda, namun
menyengsarakan Pribumi.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato
pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan
hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program
Trias Politica yang meliputi :
 Edukasi = pengajaran dan pendidikan
 Irigasi = perairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
 Transmigrasi = perpindahan penduduk

Pengaruh politik etis dalam bidang edukasi (pendidikan) sangat berperan dalam pengembangan
dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok
etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H.Abendanon yang menjabat sebagai
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900
inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di
daerah-daerah.

Di kalangan pendukung politik etis, ada rasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan
diskriminasi, baik sosial maupun budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha
menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari pemikiran-pemikiran yang kolot dan
mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses persamaan derajat dan
menuntut pendidikan ke arah yang mandiri.

Dari politik etis dalam bidang edukasi (pendidikan) ini muncul cikal-bakal anti-kolonialnisme,
seperti dalam tokoh R.A. Kartini yang mempunyai pemikiran-pemikiran tentang pribumi-pribumi di
Indonesia, terutama perempuan pribumi. Seperti tertulis : Zelf-ontwikkeling and Zelf-onderricht
(pengembangan diri/autodidact), Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid (kepercayaan diri) dan
juga Solidariteit (solidaritas).

Surat-suratnya kepada Mr. J.H.Abendanon dikumpulkan setelah Kartini dan dibuat menjadi buku
berjudul “Habis Gelap terbitlah Terang” dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922.
Terbitnya surat-surat Kartini, sangatlah menarik perhatian dari masyarakat Belanda, dan pemikiran-
pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap pribumi di Jawa,
khususnya perempuan.
Latar Belakang
Pada tahun 1899, Deventer menulis dalam majalah De Gids (Panduan), berjudul Een Eereschuld
(Hutang kehormatan). Pengertian Eereschuld dalam konteks ini adalah "Hutang yang demi
kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat di tuntut di muka hakim". Tulisan itu berisi angka-
angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang
makmur dan aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dan sebagainya) adalah hasil
kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda, sementara Hindia Belanda saat itu
miskin dan terbelakang. Jadi, sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut ‘dikembalikan’.

Ketika Deventer menjadi anggota Parlemen Belanda, ia menerima tugas dari menteri daerah
jajahan Idenburg untuk menyusun sebuah laporan mengenai keadaan ekonomi rakyat pribumi di
Jawa dan Madura. Dalam waktu setahun, Deventer berhasil menyelesaikan tugasnya pada tahun
1904. Dengan terbuka, Deventer mengungkapkan keadaan yang menyedihkan dan kemudian
mempersalahkan dengan tegas kebijakan-kebijakan pemerintah. Tulisan itu sangat terkenal, dan
tentu saja kontroversial serta mendapat reaksi setuju-tidak setuju. Sebuah tulisan lain yang tak
kalah terkenalnya adalah yang dimuat oleh De Gids juga pada tahun 1908 adalah sebuah uraian
tentang Hari Depan Insulinde, yang menjabarkan prinsip-prinsip etis bagi kebijakan pemerintah
terhadap tanah jajahannya.

Kesimpulan
Politik etis memang terlihat baik karena memberikan efek yang baik bagi rakyat pribumi pada saat
itu. Hanya saja, pada kenyataannya Belanda yang rakus menyalahgunakan Trias Politica van
Deventer ini dengan membangun irigasi untuk perkebunan milik Belanda saja, dan memanfaatkan
transmigrasi untuk menyuplai pribumi-pribumi ke ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan
pekerja rodi. Dapat dikatakan bahwa hanya sektor pendidikan yang benar-benar berarti bagi
bangsa Indonesia, walaupun ada terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I
untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta (seperti anak bupati atau priyayi,
dan lain-lain), dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi.

Sumber-sumber
 https://www.google.co.id/#hl=id&output=search&sclient=psy-
ab&q=politik+etis&oq=politik+etis&aq=f&aqi=&aql=1&gs_l=hp.3...11992.19359.0.19573.20.17
.1.0.0.0.1312.6025.0j1j2j6-
2j3.8.0.erf1.1.0.0.LAWa_EH8TS8&pbx=1&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.r_qf.,cf.osb&fp=124e788bb40
96b55&biw=1280&bih=709
 http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Etis
 http://id.wikipedia.org/wiki/J.H._Abendanon
 http://id.wikipedia.org/wiki/Pieter_Brooshooft
 http://id.wikipedia.org/wiki/Van_Deventer
 http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini

Anda mungkin juga menyukai