Anda di halaman 1dari 33

Pengertian Politik Etis

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu


pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah
kolonial memegang tanggung jawab moral bagi
kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan
kritik terhadap politik tanam paksa.

Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter


Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan
C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka
mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan
nasib para pribumi yang terbelakang.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru


naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan
Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda
mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een
eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia
Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan
moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang
terangkum dalam program Trias Van deventer yang
meliputi:

1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki


pengairan-pengairan dan bendungan untuk
keperluan pertanian
2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk
bertransmigrasi
3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang
pengajaran dan pendidikan

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik


Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van
Deventer yang diterbitkan beberapa waktu
sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal
sebagai pencetus politik etis ini.

Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh


Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk
perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi
dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah
perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi.
Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.

Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan


pendidikan sangat berperan sekali dalam
pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan
pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari
kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini
adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang
Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama
lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah
berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi
maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-
daerah.

Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi


semacam pertukaran mental antara orang-orang
Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan
pendukung politik etis merasa prihatin terhadap
pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-
budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka
berusaha menyadarkan kaum pribumi agar
melepaskan diri dari belenggu feodal dan
mengembangkan diri menurut model Barat, yang
mencakup proses emansipasi dan menuntut
pendidikan ke arah swadaya.

Latar belakang Politik Etis

Pada awal sebelum dilaksanakannya politk etis


keadaan social dan ekonomi di Indonesia begitu buruk
dan jauh dari kata sejahtera terutama untuk
pendidikan pribumi yang bukan dikalangan
bangsawan. Pendidikan bukan menjadi baik justru
sebaliknya. Dari bidang ekonomi tanah-tanah farah
yang luas masih dikuasai oleh perantuan tanah yang
dimana rakyat biasa hanya sebagai penyewa dan
pekerja saja.

Bidang politk masalah yang berkembang saat ini


adalah sentralisasi politik yang kuat sehingga tidak
ada pemisahan kekuasaan dan keuangan antara
pemerintah koloniol dan bangsa Indonesia yang
berdampak pada ketidak sejahteraan pribumi.
Keadaan ini mendapatkan tanggapan dari golongan
social democrat yang didalangi oleh VON Deventer
yang kemudian dijuluki bapak pangeran etis yang
menginginkan adanya balas budi unntuk bangsa
Indonesia. Van deveter dalam majalah de gres
mengkritrik pemerintah colonial dan menyarankan
agar dilakukan politik kehormatan (hutang kekayaan)
atas segala kekayaan yang telah diberikan untuk
bangsa Indonesia terhadap Negara belanda.

Kritikan ini kemudian direspon oleh Ratu Wilhelmina


dalam pengangkatannya sebagai ratu baru balanda
pada tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan
bahwa bangsa belanda mempunyai hutang moril dan
perlu diberikan kesejahteraan bagi bangsa
Indonesia.selain dua factor ini, juga karena perubahan
politik dibelanda yaitu dengan berkuasanya kalangan
liberal yang menginginkan dilakukannya sisitem
ekonomi bebas dan kapitalisme dan mengusahakan
agar pendidikan mulai di tingkatkan di indonesia.
Adanya doktrin dari dua golongan yang berbeda
semakin membuat politik etis agar segera
dilaksanakan yaitu:

Golongan misionaris

Tiga partai Kristen partai katolik, anti revolisoner dan


kresten yang programnya adalah kewajiban belanda
untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan
oleh agama.

Golongan koseriatif

Menjadi kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih


tinggi derajatnya untuk memberadapkan orang-orang
terbelakang.

Itulah dua doktrin yang berkembang pada saat itu


karena bagi mereka tujuan terahir politik colonial
seharusnya telah meningkatkan kesejahteraan dan
perkembangan moral penduduk pribumi, evaluasi
ekonomi bukan eksploitasi colonial melainkan
pertanggung jawaban moral.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :


Pancasila Sebagai Etika Politik

Tokoh Pencetus Politik Etis

Yang keberadaan Politik Etis di Hindia Belanda ketika


itu, setidaknya diwarnai oleh sosok-sosok mereka, baik
sebagai inisiator, fasilitator, eksekutor maupun
kritikus dari kebijaksanaan tersebut. Berikut adalah
tokoh-tokoh Belanda yang mewarnai Politik Etis.

Eduard Douwes Dekker (1820-1887)

Eduard Douwes Dekker (1820-1887)


Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal pula
dengan nama pena Multatuli adalah penulis Belanda
yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel
satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para
penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-
Belanda. Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia
menggunakan nama samaran ‘Multatuli’.

Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti “‘Aku


sudah menderita cukup banyak’” atau “‘Aku sudah
banyak menderita’”; di sini, aku dapat berarti Eduard
Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah.
Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah
semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun
beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker
sebagai berlebih-lebihan. Max Havelaar bisa jadi buku
yang mempengaruhi terlahirnya Politik Etis di Hindia
Belanda kelak. Eduard Douwes Dekker atau Multatuli
(Sumber: voiceseducation)

Pieter Brooshooft (1845 – 1921)

Pieter Brooshooft (1845 – 1921)

Brooshooft adalah seorang wartawan dan sastrawan,


yang dikenal sebagai salah satu tokoh Politik Etis.
Tahun 1887 Brooshooft mengadakan perjalanan
mengelilingi Pulau Jawa, lalu menuliskan laporan
tentang keadaaan yang sangat menyedihkan di Hindia
Belanda akibat kebijakan tanam paksa pemerintah.
Dia menyampaikan laporan tadi kepada 12 tokoh
politisi Belanda terkemuka, disertai lampiran setebal
buku yang memaparkan fakta-fakta yang dicatat dan
ditandatangani 1255 orang.
Laporan itu menuntut harus dibentuk sebuah partai
Hindia agar kepentingan Hindia Belanda terwakili di
Parlemen. Dilampirkan pula buku Memorie over den
toestan in indie (Catatan tentang keadaan di Hindia),
yang mengkritik struktur pajak dan mengecam sistem
bandar. Tahun 1904 Brooshooft kembali ke Belanda
dalam keadaan kecewa dan putus asa, karena merasa
perjuangannya bagi keadilan terhadap pribumi tidak
ada hasilnya. Tajuk Rencana yang terakhir ditulis
berjudul: Pamitan Dengan Orang Sakit, dimuat pada
surat kabar Semarang, De Locomotief, tanggal 31
Desember 1903.

Setelah di Belanda, Brooshooft tetap rajin menulis,


antara lain sebuah naskah pentas: Arm Java (Kasihan,
Pulau Jawa), pada 1906. Naskah ini dianggap
memiliki benang merah dengan eksistensi dan riwayat
Kartini, sebab di dalamnya ada tokoh Murtinah,
puteri seorang Bupati modern yang telah maju
pikirannya. Diceritakan Murtinah sering menulis
dalam majalah-majalah wanita di Belanda dan
mengadakan surat-menyurat dengan teman-teman di
negeri itu pula. Pieter Brooshoft.

Conrad Theodore van Deventer (1857-1915)

Conrad Theodore van Deventer (1857-1915)

Van Deventer dikenal sebagai seorang ahli hukum


Belanda dan juga tokoh Politik Etis. Pada sebuah surat
tertanggal 30 April 1886 yang ditujukan untuk orang
tuanya, Deventer mengemukakan perlunya sebuah
tindakan yang lebih manusiawi bagi pribumi karena
mengkhawatirkan akan kebangkrutan yang dialami
Spanyol akibat salah pengelolaan tanah jajahan. Lalu
pada 1899 Deventer menulis dalam majalah De Gids
(Panduan), berjudul Een Eereschuld (Hutang
kehormatan).
Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang
menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka
menjadi negara yang makmur dan aman adalah hasil
kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di
Hindia Belanda (“Indonesia”), sementara Hindia
Belanda saat itu miskin dan terbelakang. Jadi sudah
sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan.
Ketika Deventer menjadi anggota Parlemen Belanda,
ia menerima tugas dari menteri daerah jajahan
Idenburg untuk menyusun sebuah laporan mengenai
keadaan ekonomi rakyat pribumi di Jawa dan
Madura. Dalam waktu satu tahun, Deventer berhasil
menyelesaikan tugasnya (1904).

Dengan terbuka Deventer mengungkapkan keadaan


yang menyedihkan, kemudian dengan tegas
mempersalahkan kebijakan pemerintah. Tulisan itu
sangat terkenal, dan tentu saja mengundang banyak
reaksi pro-kontra. Sebuah tulisan lain yang tak kalah
terkenalnya adalah yang dimuat oleh De Gids juga
(1908) ialah sebuah uraian tentang Hari Depan
Insulinde, yang menjabarkan prinsip-prinsip etis bagi
beleid pemerintah terhadap tanah jajahannya.
Theodor van Deventer.

Jacques Henrij Abendanon (1852-1925)

Jacques Henrij Abendanon (1852-1925)

J.H. Abendanon adalah Menteri Kebudayaan, Agama,


dan Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905.
Ia datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1900. Ia
ditugaskan oleh Belanda untuk melaksanakan Politik
Etis. Di bawah Abendanon, sejak tahun 1900 mulai
berdiri sekolah-sekolah baik untuk kaum priyayi
maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-
daerah.
Pada tahun ini sekolah Hoofdenscholen (sekolah para
kepala) yang lama diubah menjadi sekolah yang
direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai
pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA
(Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren). J.H.
Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-
surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini pada para
teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door
Duisternis tot Licht yang artinya Habis Gelap
Terbitlah Terang. Buku kumpulan surat Kartini ini
diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak
lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat
tambahan surat Kartini. Jacques Henrij Abendoon.

Dr. Douwes Dekker (1879-1950)

Dr. Douwes Dekker (1879-1950)

Ernest Francois Eugene Douwes Dekker atau


Danudirja Setiabudi adalah seorang pejuang
kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Ia
adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme
Indonesia di awal abad ke-20, penulis yang kritis
terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia-
Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas
nama “Nusantara” sebagai nama untuk Hindia-
Belanda yang merdeka.

Setiabudi adalah salah satu dari “Tiga Serangkai”


pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi
Suryaningrat. Ernest Douwes Dekker termasuk yang
menentang ekses pelaksanaan politik etis ini karena
meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang
memandang hanya orang pribumilah yang harus
ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan
untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers),
yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang
menetap (blijvers) dan Tionghoa.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :
Penjelasan Kondisi Ekonomi Dan Politik Sebelum
Reformasi Di Indonesia

Tujuan Politik Etis

Adapun tujuan Politik Etis yaitu:

Edukasi ialah menyelenggarakan pendidikan.

Irigasi ialah membangun sarana dan jaringan


pengairan.

Transmigrasi/imigrasi ialah mengorganisasi


perpindahan penduduk.

Politik etis yang dalam hal ini dilaksanakan Belanda


dengan melakukan perbaikan bidang irigasi,
pertanian, transmigrasi dan pendidikan, sepintas
kelihatan mulia. Namun di balik itu, program-
program ini dimasudkan untuk kepentingan Belanda
sendiri.

Isi Politik Etis

Pada 17 September 1907, Ratu Wilhelmira yang baru


naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan
parlemen belanda, bahwa pemerintah belanda
mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een
eersehuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia
belanda. Ratu wilhelmira menuangkan panggilan
moral tidak kedalam kebijakan politik etis, yang
terankum dalam program trias politika yang meliputi:

Irigasi(pengairan), membangun dan memperbaiki


pengairan-pengairan dan bendungan untuk
keperluasan peratanian.

Dua imigrasi yakni mengajak pendidik untuk


transmigrasi.
Memperluas dalam bidang pengajaran dan
pendidikan (edukasi).

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :


“Gerakan Reformasi” Faktor Pendorong Terjadinya
& ( Politik – Ekonomi – Sosial – Hukum )

Penyimpangan Politik Etis

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan


oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini
penyimpangan penyimpangan tersebut.

Irigasi

Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang


subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan
milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
Edukasi

Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah.


Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga
administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang
dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan
kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang
yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu
pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak
pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di
sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada
umumnya.

Migrasi

Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke


daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-
perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya
permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-
daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera
Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain.
Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung
mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga
kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri.
Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri,
pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie,
yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang
melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi,
kemudian dikembalikan kepada
mandor/pengawasnya.

Dari ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih


banyak untuk kepentingan pemerintahan Belanda.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :


Pengertian Etnis – Identitas, Pendekatan, Model,
Konsep, Politik, Contoh, Para Ahli
Kritik Politik Etis

Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat


kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga
kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa
merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat
ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-
lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada
kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang
campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara
pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih
tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat
mahal.

Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang


ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan
pandangan pemerintah kolonial yang memandang
hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal
seharusnya politik etis ditujukan untuk semua
penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di
dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap
(blijvers).

Politik etis atau politik balas budi adalah suatu


pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah
kolonial memegang tanggung jawab moral bagi
kesejahteraan pribumi (negara jajahan). Pencetus
politik etis (politik balas budi) ini adalah Van De
Venter. Van Deventer memperjuangkan nasib bangsa
Indonesia dengan menulis karangan dalam majalah De
Gids yang berjudul Eeu Eereschuld (Hutang Budi).
Van Deventer menjelaskan bahwa Belanda telah
berhutang budi kepada rakyat Indonesia. Hutang budi
itu harus dikembalikan dengan memperbaiki nasib
rakyat, mencerdaskan dan memakmurkan.

Menurut Van Deventer, ada tiga cara untuk


memperbaiki nasib rakyat tersebut yaitu memajukan
Edukasi (Pendidikan)

Dengan edukasi akan dapat meningkatkan kualitas


bangsa Indonesia sehingga dapat diajak memajukan
perusahaan perkebunan dan mengurangi
keterbelakangan.

Irigasi (pengairan)

Dengan irigasi tanah pertanian akan menjadi subur


dan produksinya bertambah.

Emigrasi (pemindahan penduduk)

Dengan emigrasi tanah-tanah di luar Jawa yang belum


diolah menjadi lahan perkebunan, akan dapat diolah
untuk menambah penghasilan. Selain itu juga untuk
mengurangi kepadatan penduduk Jawa.

Pendukung Politik Etis usulan Van Deventer adalah


sebagai berikut.
Mr. P. Brooshoof, redaktur surat kabar De Lokomotif,
yang pada tahun 1901 menulis buku berjudul De

Ethische Koers In de Koloniale Politiek (Tujuan Ethis


dalam Politik Kolonial).

K.F. Holle, banyak membantu kaum tani.

Van Vollen Hoven, banyak memperdalam hukum adat


pada beberapa suku bangsa di Indonesia.

Abendanon, banyak memikirkan soal pendidikan


penduduk pribumi.

Leivegoed, seorang jurnalis yang banyak menulis


tentang rakyat Indonesia.

Van Kol, banyak menulis tentang keadaan


pemerintahan Hindia Belanda.

Douwes Dekker (Multatuli), dalam bukunya yang


berjudul Max Havelaar.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :
Sosialisasi Budaya Politik – Pengertian, Peran, Proses,
Metode, Sarana, Para Ahli

Pelaksanaan Dalam Politik Etis

Dalam perubahan politik ini negeri Belanda membawa


pengaruh bagi kebijakan pada negara-negara jajahan
Belanda, termasuk Indonesia “Hindia Belanda”.
Golongan liberal di negeri Belanda yang mendapat
dukungan yang besar dari kalangan masyarakat,
mendesak pemerintah Belanda untuk meningkatkan
kehidupan di wilayah jajahan.

Yang dalam hal ini salah satu penganut politik liberal


ialah Van Deventer.C.Th.van Deventer yang
merupakan salah seorang tokoh penganjur “pencetus”
Politik Etis. Desakan ini mendapat dukungan dari
pemerintah Belanda, dalam pidato negara pada tahun
1901, Ratu Belanda, Wihelmina mengatakan:
“Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk
mengusahakan kemakmuran dari penduduk Hindia
Belanda”.

Yang hal demikian pidato tersebut menandai awal


kebijakan memakmurkan Hindia Belanda yang
dikenal sebagai Politik Etis atau Politik Balas Budi.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :


Pranata Politik – Pengertian, Agama, Ekonomi,
Pendidikan, Fungsi, Macam, Peran, Bentuk, Ciri, Para
Ahli, Contoh

Dampak Poltik Etis

Dampak yang di timbulkan oleh politik etis tentunya


ada yang negatif dan positif namun yang perlu kita
ketahui adalah bahwa hampir semua program dan
tujuan awal dari politik etis banyak yang tak
terlaksana dan mendapat hambatan. Namun satu
program yang berdampak positif dengan sifat jangka
panjang bagi bangsa Indonesia adalah bidang
pendidikan yang akan mendatangkan golongan
terpelajar dan terdidik yang dikemudian hari akan
membuat pemerintahan Belanda menjadi terancam
dengan munculnya Budi Utomo, Sarikat Islam dan
berdirinya Volksraad. Adapun dampak-dampak yang
terlihat nyata adalah dalam tiga bidang :

Politik : Desentralisasi kekuasaan atau otonomi bagi


bangsa Indonesia, namun tetap saja terdapat masalah
yaitu golongan penguasa tetap kuat dalam arti
intervensi, karena perusahaan-perusahaan Belanda
kalah saing dengan Jepang dan Amerika menjadikan
sentralisasi berusaha diterapkan kembali.
Sosial : Lahirya golongan terpelajar, peningkatan
jumlah melek huruf, perkembangan bidang
pendidikan adalah dampak positifnya namun dampak
negatifnya adalah kesenjangan antara golongan
bangsawan dan bawah semakin terlihat jelas karena
bangsawan kelas atas dapat berseolah dengan baik dan
langsung di pekerjakan di perusahaan-perusahaan
Belanda.

Ekonomi : lahirnya sistem Kapitalisme modern,


politkk liberal dan pasar bebas yang menjadikan
persaingan dan modal menjadi indikator utama dalam
perdagangan. Sehingga yang lemah akan kalah dan
tersingkirkan. Selain itu juga muculnya dan
berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta dan
asing di Indonesia seperti Shell
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :
Pengertian Ilmu Politik – Pendekatan, Hubungan,
Aspek, Konsep, Kekuasaan, Para Ahli

Kekurangan Pelaksanaan Politik Etis

Kekurangan dari pelaksanaan pelitik etis adalah


kebijakan ini hanya dibutuhkan bagi orang pribumi
(eksklusif).buktinya adalah pembangunan lembaga-
lembaga pendidikan hanya ditujukan untuk kalangan
pribumi. Sementara orang-orang campuran tidak
dapat masuk ketempat itu. Bagi mereka yang ingin
melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi
harus pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.

Padangan pemerintah colonial yang memandang


bahwa hanya orang pribumilah yang harus ditolong,
di tentang oleh Ernest Douwes dekker. Menurutnya,
seharusnya politik etis ditujukan bagi semua pendidik
hindia belanda (indies) yang didalamnya termasuk
orang eropa yang menetap dan tionghoa.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan :


Ideologi Politik – Pengertian, Macam, Pancasila,
Fungsi, Sosialisme, Para Ahli

Politik Etis dan Implikasi Dalam Perkembangan


Pendidikan

Dinamikanisasi Pendidikan dan Perkembangan


Sekolah

politik etis sebagai suatu kebijakan baru yang


diperjuangakan oleh golongan liberal dan sosiol
demokrat yang menginginkan adanya suatau keadilan
yang di peruntukan bagi Hindia-Belanda yang telah
begitu banyak membantu dan meningkatkan defisa
dan kemakmuran bagi pemerintahan Belanda.
Awal politik etis di mulai ketika Ratu Wilhemina I
diangkat sebagai ratu baru di Negeri Belanda pada
tahun 1898, di mana dalam pernyataannya ia
mengungkapkan bahwa pemerintahan Belanda
berhutang moril kepada Hindia-Belanda dan akan
segera dilakukan policy mengenai kesejahteraan di
Hindia-Belanda, yang kemudian di buat tim penelitian
untuk keadaan di Hindia-Belanda. Pernyataan itulah
yang kemudian di kenal dengan istilah politik etis.

Meskipun makna dan sejarah istilah tersebut tidak


hanya sebatas atas kejadian tersebut, dan diantara
tokoh-tokoh pencetus politik etis adalah van Devebter,
van Kol, dan yang paling terkenal adalah Abendanon
sebagai representasi dari politik etis.

Munculnya Elite Nasional “Kaum Terpelajar


Pribumi”
Yangs salah satu dampak pelaksanaan Politik Etis
ialah melahirkan golongan cerdik, karena berkat
diselenggarakannya pendidikan “cendikiawan”.
Sekolah-sekolah yang ada pada waktu itu ialah HIS
“Hollands Inlandsche School” yang diperuntukkan
bagi keturunan Indonesia asli yang berada pada
golongan atas, sedangkan untuk golongan Indonesia
asli dari kelas bawah disediakan sekolah kelas dua.

Dalam pendidikan tingkat menengah disediakan HBS


“Hogere Burger School”, MULO “Meer Uiterbreit
Ondewijs”, AMS “Algemene Middlebared School”, di
samping itu ada beberapa sekolah kejuruan/keguruan
seperti Kweek School, Normal School.

Adapun untuk pendidikan tinggi, ada Pendidikan


Tinggi Teknik “Koninklijk Institut or Hoger
Technisch Ondewijs in Netherlands Indie”, Sekolah
Tinggi Hukum “Rechshool”, dan Sekolah Tinggi
Kedokteran yang berkembang sejak dari Sekolah
Dokter Jawa, Stovia, Nias dan GHS “Geneeskundige
Hooge School”.

Pendidikan kesehatan “kedokteran tersebut di atas”


yang sejak 2 Januari 1849 semula lahir sebagai
sekolah dokter Jawa, kemudian pada tahun 1875
diubah menjadi Ahli Kesehatan Bumi Putra “Inlaends
Geneekundige”. Dalam perkembangannya pada tahun
1902 menjadi Dokter Bumi Putra “Inlands Arts”,
Sekolah ini diberi nama STOVIA “School Tot
Opleiding Van Indische Artsen” kemudian pada tahun
1913 diubah menjadi NIAS “Netherlands Indische
Artesen School”. Dengan kemajuan di bidang
pendidikan ini maka melahirkan golongan cerdik dan
pandai yang mulai memikirkan perjuangan bangsa
Indonesia dalam menghadapi penjajah.

Anda mungkin juga menyukai