Anda di halaman 1dari 16

1.

Politik Etis
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa
pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini
merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.
Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief)
dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih
memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato
pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan
hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam
program Trias Van deventer yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan
untuk keperluan pertanian
2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-
tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer
kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun
irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan
penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang
berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam
pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang
dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-
1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak
tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang
hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang
Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap
pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka
berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan
mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut
pendidikan ke arah swadaya.
Penyimpangan
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi
dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai
Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.
Irigasi
Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda.
Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan
tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya
diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi
diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan
orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada
umumnya.
Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-
perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di
daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara, khususnya di Deli, Suriname,
dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap.
Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang
banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah
Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang
melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada
mandor/pengawasnya.
Dari ketiga penyimpangan ini, terjadi karena lebih banyak untuk kepentingan pemerintahan
Belanda.
Kritik
Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial
adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di
kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan
hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak
dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi
haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.
Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena
meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang
harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia
Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers).

2. Pers Membawa Kemajuan
Perkembangan Pers Pada Era Kolonial

A. Perkembangan Media Massa Pers pada Abad ke-19.
Pada awal abad ke-19, media massa yang pertama kali muncul pada Era Kolonial Belanda adalah
Bataviasche Kolonial Courant, tetapi pada massa Pemerintahan Inggris diganti dengan surat kabar yang
berbahasa Inggris yaitu Java Government Gazette. Akan tetapi setelah diadakannya Konvensi London
dan Belanda berhasil mendapatkan kembali daerah Koloninya tersebut, surat kabar itu berubah lagi
menjadi Javasche Courant, yang tetap membawa suara
Pemerintah Hindia Belanda.
W. Bruining dari Rotterdam adalah Orang yang pertama kali membawa alat percetakan ke
Indonesia. Pada 1851, Ia berhasil menerbitkan surat kabar mingguan Het Bataviasche Advertentie Blad,
sesuai dengan namanya mingguan itu hanya berisi iklan dan berita-berita umum lain yang dikutip dari
penerbitan resmi yang terbit di Nederland (Staatscourant) dan untuk berita di daerah jajahan dari
Javasche Courant.
Pada tahun 1852, di Betawi muncul surat kabar Java Bode sebagai pengganti Het Bataviasche
Advertentie Blad. Pendirinya adalah W. Bruining dengan bantuan H.M Van Dorp, Van Hazen Noman dan
Kolf. Pada tahun 1857, seluruh perusahaan diambil alih olehVan Dorp, yang mengusahakan edisi
Istimewa untuk diedarkan
di Nederland. Pada akhir tahun 1869, Java Bode menjadi harian.
Saingan Java Bode yang pertama kali ialah Het Algemeen Dagblad voor Nederlandsch Indie yang
didirikan oleh Coenraad Busken Huet, mantan pegawai yang telah habis masa kontraknya dengan Java
Bode.
Adapun surat kabar yang berkembang pada abad ke-19 adalah:

No. Daerah Tahun Terbit Surat Kabar
1. Semarang 1851 De Locomotief.
2. Surabaya 1852 Soerabajaasch Handelsblad.
Soerabaja Courant.
3.
Surakarta
1871
Vorstenlanden.
4.
Cirebon
1883
Tjiremai.
5.
Batawi
-
Bataviaasch Nieuwsblad.
Thiemes Adverstentieblad.
6.
Bandung
1895
De Preanger Bode.
7.
Sumatera
1884
1889
Deli Courant.
Sumatra Post.
9.
Palembang
1898
Nieuws en Advertentie blad voor de Residentie Palembang.
Djambi en Banka.
Dari perkembangan pers tersebut, pada mulanya pers terbit sebagai bagian usaha Orang
Belanda dan kemudian menjadi pembawa kepentingan perusahaan perkebunan dan Industri minyak.
Isinya belum mencerminkan persoalan-persoalan politik masa itu, karena memang sejak semula
Pemerintah Hindia Belanda mengatur berita-berita yang tidak berbahaya bagi pemerintahan sendiri.
Pers Belanda sendiri sejak semula merupakan Pers Resmmi karena isinya harus disetujui oleh
Pemerintah.
Secara umum dapat dikatakan, isi surat kabar dan Majalah Hindia Belanda berhaluan
Politik Netral. Namun, sejak akhir abad ke-19 mulai kelihatan adanya mingguan yang bercorak dan
berdasar suatu program Politik. Karangan-karangan di Surat Kabar pun mulai bersikap kritis terhadap
politik kolonial Belanda di Indonesia.
Diantara Majalah yang mulai berpolitik antara lain Bondsblad, terbit pertama kali pada tahun
1897. Sebagai pembawa suara Indische Bond, yaitu perkumpulan kaum Indo-Belanda yang
memperjuangkan Hindia Belanda sebagai
Tanah Airnya dan mengusahakan perlakuan yang sama dalam bidang politik bagi Mereka.

B. Perkembangan Media Massa Pers pada Awal Abad ke-20.
Di Jakarta, pada waktu itu ada Java Bode yang merupakan surat kabar resmi, dan selalu membela
kebijaksanaan Pemerintah. Untuk itu, Java Bode mendapat berita-berita Pemerintah secara khusus,
sehingga merupakan lembaran penerangan bagi apa saja yang terjadi di kalangan Pemerintah tentang
Pengangkatan dan Pemindahan Pegawai, rencana-rencana peraturan Pemerintah,dll.
Pada tahun 1907, E.F.E. Douwes Dekker diangkat menjadi Redaktur Bataviasche Nieuwsblad
menggantikan F.K.H. Zaalberg. Ia seorang Politikus terkemuka sampai masa Republik Indonesia. Douwes
Dekker seorang Wartawan berbakat, Ia memiliki Pikiran yang tajam dan dapat mengolah kesan-kesan
dengan cepat.
Begitu juga dengan Zaalberg, Ia juga merasa Sakit Hati terhadap Negeri Belanda dan
Belanda di Jawa Timur. Pandangannya reaksioner terhadap tumbuhnya pergerakan Nasional. Ia
melakukan kritik tajam terhadap kebikaksanaan politik Gubernur Jenderal Idenburg
Orang-Orang Belanda. Pengalamannya di dalam Locomotief memperdalam pengetahuan dan
pengertiannya, dan kesimpulannya bahwa penyebab kemelaratan Kaum Indo ialah tata susunan
Eksploitasi modal kolonial. Oleh karena itu, hubungan kolinial harus dihancurkan.
Pada tahun 1912, Ia mendirikan Indische Partij di Bandung, yang merumuskan program kerja
sama Penduduk Bumiputra dengan kaum Indo dan golongan-golongan lain untuk membina Bangsa
Hindia (Indiers).
Sebagai Wartawan, kemampuannya dibuktikan dengan laporannya tentang Pemberontakan Petani
Tanggerang, yang berlatar belakang adanya ketidakadilan dan penindasan di tanah-tanah Partikelir.
Sebab-sebab pemberontakan Petani itu terletak pada tata susunan milik atas tanah-tanah Partikelir
dengan Penduduknya, yang sejak abad ke-18 dijual oleh Gubernur Jenderal Van Imhoff kepada pihak
Partikelir.
Kota kedua yang penting bagi perkembangan Pers Belanda ialah Surabaya tempat terbit Het
Soerabajaasch Handelsblad, yang terutama didukung oleh kaum pengusaha Pabrik Gula
banyak berisi berita-berita yang berasal dari Telegram.
Pada Zaman Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz (1904-1909) pernah didirikan suatu kantor berita
setengah resmi yang berada di dalam sekretariat Umum. Karena sifatnya yang resmi maka kantor berita
itu tidak lama bertahan.
Pada 1 April 1917, di tengah-tengah kecamuk Perang Dunia I, D.W. Beretty Mantan Pegawai
Kantor Telegrap dan pernah bekerja untuk Bataviaasch Nieuwsblad dan Java Bode mendirikan kantor
berita ANETA (Algemeen Nieuws En Telegraaf Agentschap= Keagenan Berita Umum dan Telegraf).
ANETA dalam waktu singkat berkembang menjadi kantor berita atau biro pers yang besar dan
modern, sebagai pusat pengirim dan penerima berita dari berbagai penjuru Dunia. Pada tahun 1920,
ANETA telah mempunyai kantor bertingkat berlantai tiga (kini ditempati Kantor Berita ANTARA) dan
pada tahun 1924 membuka sendiri stasiun Radionya.
ANETA juga menjadi pemegang monopoli dalam penyebaran dan pembagian berita-
Sosialisme merencanakan berbagai Program perbaikan dan perluasan Kota. Kehidupan Politik di Kota itu
memberi warna-wajah surat kabar di Kota itu, baik Surat Kabar Belanda, Melayu-Tionghoa maupun
Indonesia. Dilihat dari sudut perkembangan Pers pada umumnya, proses antar hubungan ketiga Pranata
Komunikasi Masyarakat itu pun sangat penting bagi kesinambungan perkembangan Pers di Indonesia.

C. Lahirnya Kantor Berita ANETA.
Salah satu segi kegiatan penting yang berhubungan dengan surat kabar ialah kehidupan lalu lintas
Telegram. Surat-surat kabar Belanda makin lama makin
berita, terutama karena kedudukannya disokong sepenuhnya oleh Pemerintah Hindia Belanda.

, yang dengan simpatik memperhatikan tumbuhnya Budi Utomo, Sarekat Islam dan Indische Partij.
Kota ketiga yang penting bagi kelahiran Pers Belanda ialah Semarang. Pada awal abad ke-20,
kehidupan Orang-orang Belanda terpusat pada masalah bagaimana membangun Kota Semarang. Kota
Semarang didalam Sejarah Indonesia dikenal pula sebagai tempat lahirnya gagasan Sosialisme. Melalui
kegiatannya dalam Dewan Kotapraja, wakil-wakil penganjur

Perkembanan pers di Indonesia
PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA
Oleh: Hendi Harefa

Perkembangan pers di indonesia ini saya ambil dari berbagai sumber yang dapat di percaya
Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia, sehingga komunikasi cenderung menjadi
persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Makin maju suatu masyarakat, makin berkembanglah lalu lintas komunikasi.Tatap
muka sebagai medium komunikasi tingkat rendah, dirasakan tidak lagi memadai akibat
perkembangan masyarakat. Akibat perkembangan itu pula, masyarakat berusaha menemukan
instrumen lain untuk media komunikasinya dan di antara media komunikasi itu adalah pers.
Menurut Rachmadi bahwa pers lahir dari kebutuhan rohaniah manusia, produk dari kehidupan
manusia, produk kebudayaan manusia, adalah hasil dari perkembangan manusia.Keberadaan pers
di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari hubungan bangsa Indonesia dengan Eropa, khususnya
dengan bangsa Belanda. Melalui hubungan itulah, berbagai anasir kebudayaan Barat dapat
dikenal di Indonesia termasuk pers. Pengiriman dan penyebaran informasi dalam bentuk jurnal
awalnya digunakan oleh VOC untuk menyalurkan dan atau mendapat berita, baik dari Eropa
maupun dari pos-pos perdagangan Belanda yang tersebar di Nusantara yang menurut Von Veber
telah berlangsung sejak tahun 1615.Hal ini dipertegas oleh Muhtar Lubis dengan mengatakan
bahwa pada tahun 1615, J.P. Coen menerbitkan Memorie de Nouvelles, sebuah jurnal cetak yang
pertama di Indonesia, memuat berita dan informasi tentang VOC.Sementara surat kabar pertama
yang terbit di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles tahun 1744 oleh J.E. Jordens.Perancis dan
Inggris yang pernah menyelingi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia, turut pula
menerbitkan surat kabar. Perancis di bawah Daendels menerbitkanBataviasche Zoloniale
Courant. Sementara pada masa kekuasaan Inggris menerbitkan surat kabar dengan nama The
Java Government Gazette.Setelah kekuasaan Inggris berakhir (1816) di Indonesia, maka surat
kabar yang terbit menjadi organ resmi pemerintah Belanda adalah Bataviasche
Courant yang kemudian digantikan olehJavasche Courant.Sampai dengan terbitnya surat
kabar ini ada kenampakan bahwa usaha penerbitan masih didominasi oleh pemerintah
yang berkuasa. Isinya pun dapat diduga, yaitu hanya memuat berita mengenai kegiatan
pemerintah. Memasuki pertengahan abad ke-19, sudah semakin banyak surat kabar terbit
di Indonesia. Bahkan kaum Indo-Belanda sudah mengusahakan penerbitan yang
diperuntukkan buat kaum pribumi dan peranakan Tionghoa. Sehingga pada masyarakat
kolonial sudah dikenal adanya pers yang berbahasa Melayu dan bahasa daerah. Surat
kabar pertama berbahasa daerah adalahBromartani yang terbit di Surakarta pada tahun
1855. Selanjutnya surat kabar pertama berbahasa Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa
Melajoe yang terbit di Surabaya pada tahun 1856.8) Di samping itu, dikenal pula surat
kabar yang berbahasa Tionghoa yang menggunakan bahasa campuran antara bahasa
Melayu rendahan dengan dialek Hokkian.Seiring dengan pemberlakuan politik kolonial
liberal atau dikenal sebagai politik pintu terbuka (open door policy) tahun 1970, maka
dinamika persuratkabaran di Indonesia juga semakin kompleks. Kaum swasta asing
Eropa (pengusaha-pengusaha penanam modal di Indonesia) semakin banyak menerbitkan
surat kabar. Dalam dekade ini pula (menjelang berakhirnya abad ke-19), terdapat
kemajuan di bidang jurnalistik. Kemajuan yang dimaksud adalah semakin banyaknya
orang-orang pribumi dan orang-orang peranakan Tionghoa yang terlibat dalam
penerbitan pers. Dengan demikian sudah lahir wartawan-wartawan pribumi (Indonesia)
yang pertama. Kedudukan orang-orang ini kelak menjadi sangat penting terhadap
kelahiran pers nasional. Sementara itu, timbulnya kesadaran kebangsaan (nasionalisme)
Indonesia yang dimanifestasikan melalui perjuangan pergerakan nasional, telah
memperjelas dan mempertegas adanya surat kabar yang mempunyai wawasan dan
orientasi informasi untuk kepentingan perjuangan pergerakan. Surat kabar-surat kabar
itulah yang pada gilirannya dikenal sebagai pers nasional atau pers pergerakan. Didalam
UU 1945 pasal 6 tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa : 1. Memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai
dasar demokrasi mendorong terwujudnya kebebasan dan hak asasi manusia serta
menghormati ke bhinekaan. 2. Mengungkapkan pendapat umum berdasarkan informasi
yang tepat, akurat dan benar. 3. Melakukan kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal
benar dengan kepentingan umum memperjuangkan keadilan Tahap Tahap
Perkembangan PERS di Indonesia 1. Masa Penjajahan Pada masa penjajahan, surat kabar
yang dikeluarkan oleh bangsa Indonesia berfungsi sebagai alat perjuangan pers yang
menyuarakan kepedihan penderitaan dan merupakan refleksi dari isi hati bangsa yang
terjajah. a. Masa Pendudukan Belanda Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon
Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan
Memories der Nouvelles, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa surat kabar pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah
VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas
intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor
perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan
Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan
oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut
lebih berbentuk koran iklan Ciri-Ciri pers pada masa belanda : Dibatasi dan Diancam
dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Persbreidel Ordonantie Haatzai
Artikelen Kontrol yang Keras Terhadap Pers b. Masa Pendudukan Jepang Pada masa
ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa
bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan rencana-
rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang mereka
namakan Dai Toa
Senso atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di zaman pendudukan Jepang
pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah
pro-Jepang semata. Ciri-Ciri Pers pada Masa Jepang : Penekanan Terhadap Pers
Indonesia Bersifat fasis memanfaatkan instrumen untuk menegakan kekusaan
pemerintahannya C. Masa Revolusi Fisik Peranan yang telah dilakukan oleh pers kita di
saat-saat proklamasi kemerdekaan dicetuskan, dengan sendirinya sejalan dengan
perjuangan rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit dari para wartawan yang langsung
turut serta dalam usaha-usaha proklamasi. Semboyan Sekali Merdeka Tetap Merdeka
menjadi pegangan teguh bagi para wartawan. Periode tahun 1945 sampai 1949 yang biasa
dinamakan periode revolusi fisik, membawa coraknya tersendiri dalam sifat dan fungsi
pers kita. Dalam periode ini pers kita dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu
pertama, pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh pendudukan
sekutu, kemudian Belanda, dan kedua pers yang terbit diusahakan di daerah yang
dikuasai oleh RI yang kemudian turut bergerilya. Ciri-Ciri Pers Masa Revolusi:
Hubungan Pemerintah dan Pers Terjalin Baik Pers Harus Menjaga Kepentingan Publik
Pembatasan Pers 2. Masa Revolusi (17 Agustus 1945-1949) Pada masa itu pers dibagi
menjadi 2 golongan yaitu pers yang diterbitkan dan di usahakan oleh tentara pendudukan
sekutu dan belanda yang selajutnya dinamakan Pers NIKA. Pers yang diterbitkan dan
diusahakan oleh bangsa Indonesia yang dinamakan Pers Republik. 3. Masa Demokrasi
Liberal (1949-1959)
Pers Nasional saat itu sesuai dengan alam liberal yang sangat menikmati kebebasan Pers.
Fungsi Pers pada masa ini adalah sebagai perjuangan kelompok partai atau aliran politik.
Dalam aksi-aksi ini peranan yang telah dilakukan oleh pers republik sangat besar.
Republik Indonesia Serikat yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat akhirnya bubar
dengan terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1950. Pada masa ini untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat
umum, pers kita yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling
bertentangan, menyalahgunakan kebebasan pers (freedom of the press), yang kadang-
kadang melampaui batas-batas kesopanan. Ciri-Ciiri per Masa Demokrasi Liberal
Memberi Perlindungan yang Keras Terhadap Pers Namun dalam Prakteknya Tidak
Pembatasan Terhadap Pers Adanya Tindakan Antipers 4. Masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1966) Pada masa ini, pers menganut konsep Otoriter Pers di beri tugas
menggerakkan aksi-aksi masa yang revolusioner dengan jalan memberikan penerangan
membangkitkan jiwa dan kehendak masa agar mendukung pelaksanaan manipol dan
ketetapan pemerintah lainya. Periode yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin sering
disebut sebagai zaman Orde Lama. Periode ini terjadi saat terbentuknya Kabinet Kerja
yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 hingga meletusnya Gerakan 30 September 1965. Ciri-Ciri Pers Masa
Demokrasi Terpimpin Tidak Adanya Kebebasan Pers Adanya Ketegasan Terhadap
Pers Pemerintah Mengontrol Setiap Kegiatan Pers 5. Orde Baru (1966-21 Mei 1998)
Pers masa orde baru di kenal dengan istilah Pers Pancasila dan di tandai dengan di
keluarkannya undang-undang pokok Pers no 11 tahun 1966. Ketika alam Orde Baru
ditandai dengan kegiatan pembangunan di
segala bidang, kehidupan pers kita pun mengalami perubahan dengan sendirinya karena
pers mencerminkan situasi dan kondisi dari kehidupan masyarakat di mana pers itu
bergerak. Pers sebagai sarana penerangan/komunikasi merupakan salah satu alat yang
vital dalam proses pembangunan. Pada masa Orde Baru, ternyata tidak berarti kehidupan
pers mengalami kebebasan yang sesuai dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat.
Terjadinya pembredelan pers pada masa-masa ini menjadi penghalang bagi rakyat untuk
menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan hak-hak asasinya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ciri-Ciri Pers Masa Orde Baru Kebebasan
Terhadap Pers Pers Masa itu Sangat Buram Berkembangnya Dunia Pers 6. Masa
Reformasi (21 Mei 1998-sekarang) Di Era Reformasi, pemerintah mengeluarkan berbagai
undang- undang yang benar-benar menjamin kebebasan Pers. Salah satu jasa
pemerintahan B.J. Habibie pasca Orde Baru yang harus disyukuri ialah pers yang bebas.
Pemerintahan Presiden Habibie mempunyai andil besar dalam melepaskan kebebasan
pers, sekalipun barangkali kebebasan pers ikut merugikan posisinya sebagai presiden.
Ciri-Ciri Pers Masa Reformasi Kebebasan Mengeluarkan Pendapat (Pers adalah Hak
Asasi Manusia) Wartawan Mempunyai Hak Tolak Penerbit Wajib Memiliki SIUPP
Perusahaan Pers Tidak Lagi Melibatkan Diri ke Departemen Penerangan untuk
Mendapat SIUPP Kesimpulan: Komunikasi merupakan kebutuhan kodrati manusia,
sehingga komunikasi cenderung menjadi persyaratan mutlak bagi kemajuannya, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Makin maju suatu masyarakat,
makin berkembanglah lalu lintas komunikasi. Akibat perkembangan itu pula, masyarakat
berusaha menemukan instrumen lain
untuk media komunikasinya dan di antara media komunikasi itu adalah pers. Dan
perkembangan pers di Indonesia dibagi dalam 6 Masa, yaitu: 1. Masa penjajahan 2. Masa
Revolusi 3. Masa Demokrasi Liberal 4. Masa Demokrasi Terpimpin 5. Masa Orde Baru
6. Masa reformasi Dan dalam pelaksanaanya memiliki beberapa perbedaan yang
disesuaikan dengan ketekntuan dan peraturan yang berlaku.

modernisme dan reformasi islam
Poros Reformisme dan Modernisme Islam di Indonesia
Oleh Dr. H. Shofwan Karim, BA., Drs., MA.
Gerakan reformisme dan modernisme Islam abad ke-19, di antaranya Jamaludin al-
Afghani (1839 1897), Muhammad Abduh (1849 1905) dan Rasyid Ridla (1856 1935),
hakikatnya merupakan kelanjutan tajdid atau pembaruan pra-modern sebelumnya
seperti Taqiyudin Ibnu Taimiyah (1263 -1328), Muhammad bin Abdul Wahab (1703 1787)
Syah Waliyullah (1703 1762). Kecuali Syah Waliyullah dari India, semua tokoh tadi, dari Al-
Afghani hingga Abdul Wahab, berada di MENA (Middle East and North Africa). Syah
Waliyullah di India.
Modernisme Islam yang timbul di Timur Tengah pada abad ke- 19 tadi, secara umum merupakan
reaksi terhadap tantangan Barat sebagai rangsangan ekternal dan kebutuhan objektif internal
ummat Islam untuk mengubah kualitas diri untuk kemajuan yang sesuai dengan nilai Islami yang
kokoh. Cirinya adalah pencarian nilai-nilai yang dianggap lebih sesuai dengan zaman modern.
Reformasi yang bersifat rasionalistis. Percaya pada kemajuan dan pengetahuan. Hidup dengan
bekerja rajin dinilai positif. Fatalisme serta pertapaan ditolak. Kaum reformis berusaha
membersihkan agama dari segala macam ajaran bidah yang dimasukkan selama berabad-abad
dan telah menjadi ketentuan agama yang tetap. Mereka menuntut bagi perorangan hak untuk
meneliti tradisi secara kritis menurut wahyu asalnya. Kembali kepada Quran adalah semboyan
yang banyak didengungkan. Juga diusahakan dalam kalangan reformis penghayatan agama yang
lebih pribadi daripada upacara agama formal yang telah menjadi kebiasaan.

Antara lain diusahakan hal ini tercapai dengan menggantikan penggunaan bahasa Arab dengan
bahasa daerah sebagai bahasa peribadatan. Sang reformis dalam menghadapi kalangan mereka
yang berkeyakinan lain senantiasa memperlihatkan toleransi. Reformisme Islam dapatlah
dianggap sebagai gerakan emansipasi keagamaan. Sang reformis menginginkan agar agamanya
dihargai sepenuhnya oleh Barat (Korver, 1985-2-3), dan tentu saja dapat mengangkat harkat dan
martabat umat Islam serta menegakkan Islam yang sesuai dengan setiap wilayah dan zaman.
Cita-cita reformasi Islam tadi masuk ke Indonesia akhir abad 19 dan awal abad ke-20,
secara umum paling tidak melalui lima poros (jalur). Pertama, melalui masyarakat Arab yang
bermukim di Indonesia. Sekitar tahun 1900, mereka baru sekitar 18 ribu orang. Mereka
kebanyakan berasal dari Hadramaut. Sebagian mereka yang datang dari India disebut juga
orang Arab. Umumnya mereka adalah kaum pedagang. Melalui perkawinan dengan warga
Indonesia, mereka menjadi akrab dengan bangsa ini terutama karena kaitan agama. Meskipun
begitu dekat dengan masyarakat Indonesia, tetapi mereka tetap mempunyai ikatan kerohanian
yang kental dengan negeri asalnya, Arab. Surat-surat kabar dan majalah dari negeri-negeri Timur
Tengah banyak dibaca. Demikian pulalah pemikiran-pemikiran reformis Timur Tengah
memasuki masyarakat Arab di sini. Di dalam kelompok ini timbul aliran reformis yang
berpendapat bahwa kedudukan kaum muslimin harus diperbaiki dan hal ini dapat terjadi dengan
baik melalui perbaikan pendidikan.
Kecenderungan internal memperbaiki kualitas diri melalui pendidikan diiringi pula
sentimen kebencian orang Arab itu terhadap sekolah-sekolah rendah Belanda di Indonesia.
Emosi instinktif dan faktor eksternal itu semakin mengkristal, maka pada tahun 1905 di Jakarta
terbentuk perkumpulan Jamiat Khair (JK) oleh antara lain dua tokoh, Abubakar bin Ali Syahab
dan Idrus bin Ahmad Syahab ditandai dengan berdirinya sebuah sekolah dasar untuk masyarakat
Arab.
Perkumpulan ini juga mengirimkan anak-anaknya ke negeri-negeri di Timur Tengah untuk
melanjutkan pendidikan. JK adalah organisasi moderen untuk kala itu dengan mempunyai
anggaran dasar, anggota yang terdaftar, pengurus yang dipilih dan melakukan pertemuan berkala
dengan program kerja yang jelas. Keanggotaan JK terbuka untuk semua muslim , tetapi tentu
saja seperti telah disebutkan, sebagian besar anggotanya adalah orang Arab.
Sekolah JK ini bersifat modern, mempunyai daftar pelajaran tetap dan bersistem kelas-
kelas dan jenjang tahunan. Di samping agama, diajarkan pelajaran-pelajaran modern seperti
berhitung, sejarah dan ilmu bumi. Guru-gurunya sebagian besar berasal dari Timur Tengah .
Akan hal-halnya anak-anak Indonesia, juga dibolehkan bersekolah di sini . Belakangan, JK juga
didirikan di luar Jakarta. (Noer, 1980:68-73).
Oleh karena JK, oleh sebagian masyarakat Arab dianggap terlalu elit dan lebih dominan
tergambar sebagai komunitas para habib, maka lahir pula jaringan masyarakat Arab yang lebih
egaliter yang menamakan gerakannya dengan al-Irsyad. Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah
(Jamiyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332
H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di
Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11
Agustus 1915. Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-
Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan.

Kedua, reformisme Islam masuk melalui Minangkabau. Di antara printisnya adalah
Syekh Taher Jalaluddin yang sebagian besar usianya di habiskan di luar Sumbar: Timur Tengah
dan Malaysia. Majalah bulanannya al-Imam, yang terbit di Singapura antara 1905-1910, besar
pengaruhnya kepada kalangan reformis Minangkabau. Al- Imam memuat karangan-karangan
tentang soal-soal keagamaan, masalah-masalah ilmiah populer, dan peristiwa-peristiwa penting
dunia. Majalah itu mempropagandakan perlunya kemajuan masyarakat muslim. Kaum muslim
didesak untuk tidak ketinggalan dalam bersaing dengan Barat. Al-Imam dibaca pula di bagian-
bagian lain Indonesia. Di Jawa, agen-agen majalah ini terdapat di Jakarta, Semarang dan
Surabaya.
Berikutnuya, tokoh reformis Minangkabau yang banyak terpengaruh oleh Jalaluddin
adalah H. Abdullah Ahmad, ia pun aktif dalam bidang pendidikan. Di samping memberikan
pelajaran-pelajaran agama, pada tahun 1909 ia mendirikan sekolah dasar di Padang, yaitu
sekolah Adabiyah. Sekolah ini terutama dikunjungi oleh anak-anak kaum pedagang Sumatera
yang tidak mendapat tempat di sekolah pemerintah. Seperti juga sekolah Jamiat Khair di Jakarta,
sekolah Adabiyah bersifat moderen. Selain aktif di bidang pendidikan, Abdullah Ahmad juga
giat sebagai penulis. Ia mendirikan majalah Al-Munir (yang diterangi) yang terbit antara 1910-
1916 di Padang . Al-Munir bertujuan menyebarkan agama yang sesungguhnya, menambah
pengetahuan para pembacanya, dan mempertahankan Islam terhadap serangan-serangan luar.
Majalah ini memuat karangan-karangan tentang keagamaan. Dikemukakannya pentingnya
pengetahuan, manfaat surat kabar dan pentingnya arti perkumpulan serta organisasi. Ia menaruh
perhatian kepada peristiwa-peristiwa penting di dunia. Kemudian Abdullah Ahmad pun menjadi
redaktur sebuah majalah keagamaan yang dikeluarkan oleh SI (Noer, 1980:4-47, 51-52) .
Berikutnya adalah Syekh Abdul Karim Amarullah atau Haji Rasul (1879-1945) mendirikan
organisasi Sendi AmanTiang Selamat (SATS) di Maninjau sekitar 1915, yang kemudian setelah
membawa Muhammadiyah ke Minangkabau, oleh karena idenya banyak yang bersamaan, maka
SATS itu tidak aktif lagi seakan melebur menjadio Muhyammadiyah. Tokoh ini kemudian
membuka halaqah di Surau jembatan Besi Padangpanjang, kemudian mendirikan Madrasah
Thawalib Padangpanjang. Dari situ beliau menggerakan kecintaan ummat kepada Islam dan
menggesa ummat untuk memurnikan akidah serta mendorong berfgikir bebas di bawah naungan
Quran.
Begitu pula tokoh Syekh Jamil Jambek, tokoh berikutnya yang lebih giat berdakwah serta
menjadi pelanjut Syekh Thaher Jalaluddin dalam keahliannya di dalam ilmu falak. Syekh
Muhammad Djamil Djambek (1860 1947), adalah satu dari empat ulama pelopor pembaruan
Islam dari Sumatra Barat di awal abad ke-20.
Ketiga, sejalan dengan arus di atas, cita-cita reformisme dan modernisme masuk
ke Indonesia dan selanjutnya dikembangkan oleh organisasi dan persyarikatan masyarakat
warga Indonesia di Jawa seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah
didirikan pada 18 November 1912 , 8 Zulhijah 1330 di Yogyakarta oleh H. A Dahlan. Sementara
SI didirikan 11 November 1912 di Solo oleh Cokroaminoto. Ahmad Dahlan beberapa lama
belajar di Mekah dan di sana ia berkenalan dengan pemikiran reformis Islam yang berkembang
di Timur Tengah terutama Mesir, Saudi Arabia dan Turki.
Muhammadiyah bergerak di bidang pendidikan, sosial dan keagamaan. SI bergerak di bidang,
agama, ekonomi, sosial dan politik. Meskipun Muhammadiyah pada masa awal tidak
mencampuri urusan politik, tetapi Ahmad Dahlan sendiri di samping pendiri dan penggerak
Muhammadiyah juga menjadi anggota Pengurus Besar SI serta berhubungan erat dengan Boedi
Oetomo (BO). BO adalah organisasi kebangsaan netral agama yang berdiri pada 20 Mei 1908
oleh para siswa STOVIA yang didorong dan diilhami oleh gagasan dokter Wahidin
Sudirohosodo. Keterlibatan Ahmad Dahlan di dalam SI dan BO lebih kepada upaya untuk
melanggengkan dakwah Islam yang menjadi dasar gerakan Muhammadiyah. Salah satu kegiatan
awal Muhammadiyah adalah mendirikan sekolah dasar modern dalam gaya sekolah JK dan
sekolah Adabiyah di Padang . Sesudah tahun 1917 Muhammadiyah meluas ke luar Jawa dan
berangsur-angsur tumbuh menjadi satu organisasi yang terbesar di Indonesia (Korver, 1985:5) .
Kempat, kelanjutan dari jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII. Teorinya merupakan pembahasan oleh Azyumardi Azra. Selanjutnya, jaringan Ulama di
Nusantara Abad ke-19. Banyak ulama berpengalaman yang hidup di abad XIX, yang berjuang
mengembangkan Islam di Indonesia. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi misalnya. Imam Besar
Masjid al-Haram ini merupakan inspirator semua ulama baik yang belakangan disebut kaum
modernisme maupun tradisionalisme. Semua tokoh gerakan modern Islam di Minangkau di atas
merupakan muridnya. Begitu pula di Jawa, Ahmad Dahlan yang melahirkan Muhammadiyah
dan Hasyim Asyari yang mendirikan Nahdhatul Ulama. Yang lain, Muhammad Nawawi
(Banten); Diponegoro, Ahmad RifaI (Jawa Tengah) Khalil (Madura); dan Arsyad al-Banjari
(Kalimantan).

Sebagaimana jaringan ulama pada abad sebelumnya, maka jaringan ulama pada sekitar abad ke-
19 pun tak bisa dilepaskan dari peran timur tengah seperti Mekah di Jazirah Arab dan Mesir
mengingat adanya keterkaitan yang erat antara pemikiran para ulama di wilayah tersebut dengan
murid muridanya dari nusantara yang belajar di wilayah tersebut.
Kelima, interaksi antara masyarakat dan dunia media cetak dan buku-buku. Di peralihan abad 19
ke 20, lalu lintas bacaan itu cukup intensif masuk ke Indonesia. Bahkan bukan saja dari Timur
Tengah, sewaktu Abduh berada di Paris, Majalah Al-Urwatul Wustqa juga masuk ke Indonesia.
Penerbitan buku dan jurnal dari Timur Tengah, melalui jaringan ulama di atas tadi dan orang-
rang pulang dari ibadah haji, diperkirakan pula membawanya ke Indonesia. Adanya surat dari
Abdullah Ahmad kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi pada tahun 1903 yang
mempertanyakan Tarikat Nasqsyabandiyah dan masalah-masalah lain yang berkembang di
Indonesia, dijawab oleh Ahmad Khatib dengan jurnal dan buku. Di Minangkabau waktu itu
banyak penerbitan lain selain Al-Munirul Manar yang menyebar dan menjadi bacaan di berbagai
wilayah Nusantara. Ini tak kalah pentingnya di dalam menggesa reformisme dan modernism
Indonesia.
Dari kelima poros reformisme dan modernisme tadi, maka perkembangan pemikiran moderen
Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang ke berbagai wilayah dan merambah ke berbagai
aspek Islam dan modernisme. Sebagai basis kawasan tetap saja di Minangkabau dan Jawa .
Sementara aspek substantif gerakan, seakan terjadi keterpaduan antara gerakan keagamaan,
sosial, pendidikan, politik dan ekonomi. Bersamaan dengan itu respon dari golongan
yang merasa tidak nyaman dengan reformisme tadi, terutama reformisme bidang keagamaan
mengakibatkan muncul pula golongan yang mapan yang menyatu ke dalam pelapisan sosial
keagamaan yang disebut oleh Deliar Noer sebagai golongan tradisional. Yaitu mereka yang
memegang teguh tradisi keagamaan sebagaimana yang telah turun temurun dari para ulama
klasik serta para imam mazhab secara umum baik dari segi teologis, tasawuf, tarekat, syariat dan
fikih.
Maka di ladang panorama perkembangan pemikiran Islam di Indonesia bagai air bah
menjalar ke mana-mana dalam dua poros yaitu poros modernisme dan poros tradisionalisme.
Pada poros tradisionalisme lahir Nahdatul Ulama (NU) di Surabaya tahun 1926. Di Sumatera
lahir Persatuan Tarbiyah Islamiah 30 Mei 1928 di Bukittinggi. Kemudian Jamaah Alwashliyah di
Medan. Tentu saja tak bisa dilupakan, kaum penganut Tarekat berbagai aliran terutama
Syatariayh dan Naqsyabandiyah serta bebeberapa aliran lain tetap eksis di berbagai wilayah.
Respon terhadap modernisme tadi bukan saja datang dari kalangan tradisionalis, tetapi juga dari
kalangan lain yang melihat bahwa SI, Muhamadiyah dan JK tidak cukup sebagai kancah
gerakan. Boleh jadi karena ketiga komponen tadi kurang reformis dan kurang murni kembali
kepada al-Quran dan sunnah, atau karena menganggap bahwa memunculkan yang baru lebih
afdhal dari pada menggunakan kapal lama untuk gerakannya. Di Minangkabau, misalnya,
sebelum Muhammadiyah masuk ke sini tahun 1925, sudah ada gerakan pemurnian Islam yang
reformistis yang membelah wacana intelektual dan sosio-religius dalam dikhotomis gerakan
Kaum Muda dan Kaum Tua . Di Jawa setelah JK yang dianggap lebih dominan dikemudikan
oleh kalangan Sayid, mengakibatkan kalangan lain yang bukan Sayid mendirikan Jamiat al-
Islam wa Al-Irsyad al-Arabiya disingkat Al-Irsyad pada tahun 1913 di Jakarta oleh Ahmad
Syurkati (lh. 1872) (Noer, Ibid: 73-74). Kemudian berdiri pula Persyarikatan Ulama di
Majalengka, Jawa Barat th 1911 atas inisiatif Haji Abdul Halim (lh. 1887) (Noer, Ibid:
80)Sebuah organisasi yang lebih ketat di dalam soal kembali kepada Quran dan Sunnah
shahihah berdiri pula di Bandung tahun 1923 dengan nama Persatuan Islam (Persis) oleh dua
orang pedagang yang mempunyai pengatehuan agama luas Haji Zamzami dan Haji Muhammad
Yunus. (Noer, Ibid: 96)
KEPUSTAKAAN
Korver, APE. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil. Jakarta: Grafiti pers.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918.
Jakarta: Grafitipers.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Moederen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Sejak akhir 1940-an tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Hal itu telah
menimbulkan polemik pro dan kontra. Prof. Dr. Harsya W Bachtiar, salah seorang di antaranya
menganggap hari lahir BO itu tidak laik dijadikan dasar untuk Hari Kebangkitan Nasional.
Sebab, menurut Harsya, BO lebih ditujukan untuk menaikkan taraf hidup orang jawa dan
Madura dari pada mewujudkan Kesatuan Indonesia (Nagazumi, 1989: v).

Anda mungkin juga menyukai