Anda di halaman 1dari 15

Media cetak yang ada pada zaman penjajahan Belanda

Media cetak berupa koran adalah media yang banyak tercatat perkembangannya
pada masa Belanda. Sebab, pada saat zaman Belanda memang koran lah yang
paling umum ditemukan. Sedangkan radio masih sangat terbatas pada kalangan
masyarakat Belanda yang ada di Indonesia saat itu. Sedangkan media televisi
belumlah berkembang dan masih sangat kaku.
Dalam catatan sejarah tercatat bahwa koran yang terbit pertama di masa penjajahan
bangsa Belanda adalah Bataviasche Nouvelles en politique Rasionementen. Yang
lebih dikenal dengan nama Bataviasche Nouvelles saja. Surat kabar ini pertama kali
terbit pada 7 Agustus 1744, dengan tulisan berbahasa Belanda. Tetapi koran ini
bukanlah buatan dari pers Indonesia. Melainkan buatan bangsa Belanda sendiri
waktu itu, di bawah pimpinan Gubernur Jendral Van Imhoff . Surat kabar ini
diterbitkan dengan tujuan kepentingan dagang. Penerbitan koran ini mendapat
reaksi dari orang-orang Belanda sendiri. Para penulis belanda menyebutkan bahwa
sikap Van Imhoff terlalu. Dewan XVII (17) yang merupakan pusat kebijakan Kompeni
di Negeri Belanda menutup koran ini.Alasannya akan mempengaruhi pikiran pribumi
Hindia-Belanda saat itu. Akhirnya Bataviasche Nouvelles ditutup pada 7 Juni 1746.
Akibatnya berita-berita daan yang aa hanya bisa diketahui lewat lelang-lelang saja.
Pers Indonesia mulai tumbuh seiring dengan zaman pergerakan nasional pada akhir
abad 19-an. Surat kabar Medan Prijaji adalah pelopor pers nasional Indonesia. Surat
kabar ini terbit pada tahun 1907 dan merupakan surat kabar mingguan. Pemimpin
Redaksinya adalah RM Tirtoadisuryo. Surat kabar ini merupakan suara golongan
priyayi.
Setelah Medan Prijaji tercatat masih ada surat kabar lainnya yang terbit. Di Jakarta
terbit Taman Sari , menjelang abad -20 pimpinan F wiggers. Lalu ada Pemberita
Betawi pimpinan J. Hendrik. Sedangkan di kota Bandung terbit P ewarta Hindia
dipimpin oleh Raden Ngabehi TA sejak 1894. Di kota semarang terbit surat kabar
Bintang Pagi dan Sinar Djawa.

Menurut Benedict Anderson dalam tulisan pengantarnya di buku berjudul


Indonesia dalem Bara Api, menyebutkan bahwa Koran mulai tumbuh di ampir setiap
kota jang berarti, mirip tjendawan dimusim hudjan. Timbullah djagoan2 masa media
pertama di Hindia Belanda, termasuk diantaranya Mas Tirto, F. Wiggers, H. Kommer,
Tio Ie Soei, Marah Sutan, G. Franscis, Soewardi Soerjadingrat, ter Haar, Mas Marco,
Kwee Kek Beng, dan J.H. end F.D.J Pangemanann pakai dua 'n'.
Timbul djuga djago2 pers Belanda, termasuk Zengraaff, jang dengan keras
membela pengusaha swasta sampai ditakutin pemerintah kolonial sendiri, dan D.W.
Beretty, seorang Indo keturunan Italia-Djawa Jogja, jang selain mendirikan persbiro
pertama di Hindia Belanda --Aneta, Pakdenja Antara-- djuga menerbitkan madjalah
radikal-kanan, berdjudul De Zweep (Tjamboek).
Tercatat bahwa koran yang terbit pertama di masa penjajahan bangsa Belanda
adalah Bataviasche Nouvelles en politique Rasionementen. Yang lebih
dikenal dengan nama Bataviasche Nouvelles saja. Surat kabar ini pertama
kali terbit pada 7 Agustus 1744, dengan tulisan berbahasa Belanda.
KESIMPULAN
Pers Indonesia mulai tumbuh seiring pergerakan nasional pada akhir abad
19-an. Surat kabar Medan Prijaji adalah pelopor pers nasional Indonesia.
Surat kabar ini terbit pada tahun 1907 dan merupakan surat kabar mingguan.
Pemimpin Redaksinya adalah RM Tirtoadisuryo
Pemerintah Belanda cukup memberi kesulitan pada pers Indonesia denan
berbagai undang-undang. Dua diantaranya:
1. Drukpers reglement tahun 1856 tentang aturan sensor preventif.
2. Pers ordonantie tahun 1931 tentang pembredelan surat kabar.
Dalam buku berjudul Maters tercatat ada lima periode pers dari tahun 19061942.
1.Periode I (1856-1913)

2. Periode II (1913-1918)
3. Periode III (1918-1927)
4.Periode IV (1927-1931)
5.Periode V (1931-1942)
Pers Indonesia pada zaman Belanda lebih berfunsi sebagai pendukung
pergerakan nasional ketimbang fungsi komersial.
http://yoanfa18.blogspot.co.id/2008/05/pers-nasional-di-masa-belanda.html

Perkembangan Pers Pada Era Kolonial


A. Perkembangan Media Massa Pers pada Abad ke-19.
Pada awal abad ke-19, media massa yang pertama kali muncul pada Era Kolonial
Belanda adalah Bataviasche Kolonial Courant, tetapi pada massa Pemerintahan Inggris
diganti dengan surat kabar yang berbahasa Inggris yaitu Java Government Gazette. Akan
tetapi setelah diadakannya Konvensi London dan Belanda berhasil mendapatkan kembali
daerah Koloninya tersebut, surat kabar itu berubah lagi menjadi Javasche Courant, yang tetap
membawa suara
Pemerintah Hindia Belanda.
W. Bruining dari Rotterdam adalah Orang yang pertama kali membawa alat
percetakan ke Indonesia. Pada 1851, Ia berhasil menerbitkan surat kabar mingguan Het
Bataviasche Advertentie Blad, sesuai dengan namanya mingguan itu hanya berisi iklan dan
berita-berita umum lain yang dikutip dari penerbitan resmi yang terbit di Nederland
(Staatscourant) dan untuk berita di daerah jajahan dari Javasche Courant.
Pada tahun 1852, di Betawi muncul surat kabar Java Bode sebagai pengganti Het
Bataviasche Advertentie Blad. Pendirinya adalah W. Bruining dengan bantuan H.M Van
Dorp, Van Hazen Noman dan Kolf. Pada tahun 1857, seluruh perusahaan diambil alih
olehVan Dorp, yang mengusahakan edisi Istimewa untuk diedarkan
di Nederland. Pada akhir tahun 1869, Java Bode menjadi harian.

Saingan Java Bode yang pertama kali ialah Het Algemeen Dagblad voor
Nederlandsch Indie yang didirikan oleh Coenraad Busken Huet, mantan pegawai yang telah
habis masa kontraknya dengan Java Bode.
Adapun surat kabar yang berkembang pada abad ke-19 adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Smarang 1851, De Locomotief.


Surabaya 1851, Soerabajaasch Handelsblad, Soerabaja Courant.
Surakarta 1871, Vorstenlanden
Cirebon 1883, Tjiremai
Betawi -, Bataviaasch Nieuwsblad, Thiemes Adverstentieblad
Bandung 1895, De Preanger Bode
Sumatrera 1884-1889, Deli Courant, Sumatra Post.
Palembang 1898, Nieuws en Advertentie blad voor de Residentie Palembang, Djambi
en Bangka
Dari perkembangan pers tersebut, pada mulanya pers terbit sebagai bagian usaha

Orang Belanda dan kemudian menjadi pembawa kepentingan perusahaan perkebunan dan
Industri minyak. Isinya belum mencerminkan persoalan-persoalan politik masa itu, karena
memang sejak semula Pemerintah Hindia Belanda mengatur berita-berita yang tidak
berbahaya bagi pemerintahan sendiri. Pers Belanda sendiri sejak semula merupakan Pers
Resmmi karena isinya harus disetujui oleh Pemerintah.
Secara umum dapat dikatakan, isi surat kabar dan Majalah Hindia Belanda berhaluan
Politik Netral. Namun, sejak akhir abad ke-19 mulai kelihatan adanya mingguan yang
bercorak dan berdasar suatu program Politik. Karangan-karangan di Surat Kabar pun mulai
bersikap kritis terhadap politik kolonial Belanda di Indonesia.
Diantara Majalah yang mulai berpolitik antara lain Bondsblad, terbit pertama kali
pada tahun 1897. Sebagai pembawa suara Indische Bond, yaitu perkumpulan kaum IndoBelanda yang memperjuangkan Hindia Belanda sebagai
Tanah Airnya dan mengusahakan perlakuan yang sama dalam bidang politik bagi Mereka.
B. Perkembangan Media Massa Pers pada Awal Abad ke-20.
Di Jakarta, pada waktu itu ada Java Bode yang merupakan surat kabar resmi, dan
selalu membela kebijaksanaan Pemerintah. Untuk itu, Java Bode mendapat berita-berita
Pemerintah secara khusus, sehingga merupakan lembaran penerangan bagi apa saja yang
terjadi di kalangan Pemerintah tentang Pengangkatan dan Pemindahan Pegawai, rencanarencana peraturan Pemerintah,dll.

Pada tahun 1907, E.F.E. Douwes Dekker diangkat menjadi Redaktur Bataviasche
Nieuwsblad menggantikan F.K.H. Zaalberg. Ia seorang Politikus terkemuka sampai masa
Republik Indonesia. Douwes Dekker seorang Wartawan berbakat, Ia memiliki Pikiran yang
tajam dan dapat mengolah kesan-kesan dengan cepat.
Begitu juga dengan Zaalberg, Ia juga merasa Sakit Hati terhadap Negeri Belanda dan
Belanda di Jawa Timur. Pandangannya reaksioner terhadap tumbuhnya pergerakan Nasional.
Ia melakukan kritik tajam terhadap kebikaksanaan politik Gubernur Jenderal Idenburg
Orang-Orang Belanda. Pengalamannya di dalam Locomotief memperdalam pengetahuan dan
pengertiannya, dan kesimpulannya bahwa penyebab kemelaratan Kaum Indo ialah tata
susunan Eksploitasi modal kolonial. Oleh karena itu, hubungan kolinial harus dihancurkan.
Pada tahun 1912, Ia mendirikan Indische Partij di Bandung, yang merumuskan
program kerja sama Penduduk Bumiputra dengan kaum Indo dan golongan-golongan lain
untuk membina Bangsa Hindia (Indiers).
Sebagai Wartawan, kemampuannya dibuktikan dengan laporannya tentang Pemberontakan
Petani Tanggerang, yang berlatar belakang adanya ketidakadilan dan penindasan di tanahtanah Partikelir. Sebab-sebab pemberontakan Petani itu terletak pada tata susunan milik atas
tanah-tanah Partikelir dengan Penduduknya, yang sejak abad ke-18 dijual oleh Gubernur
Jenderal Van Imhoff kepada pihak Partikelir.
Kota kedua yang penting bagi perkembangan Pers Belanda ialah Surabaya tempat
terbit Het Soerabajaasch Handelsblad, yang terutama didukung oleh kaum pengusaha Pabrik
Gula
banyak berisi berita-berita yang berasal dari Telegram.
Pada Zaman Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz (1904-1909) pernah didirikan suatu
kantor berita setengah resmi yang berada di dalam sekretariat Umum. Karena sifatnya yang
resmi maka kantor berita itu tidak lama bertahan.
Pada 1 April 1917, di tengah-tengah kecamuk Perang Dunia I, D.W. Beretty Mantan
Pegawai Kantor Telegrap dan pernah bekerja untuk Bataviaasch Nieuwsblad dan Java Bode
mendirikan kantor berita ANETA (Algemeen Nieuws En Telegraaf Agentschap= Keagenan
Berita Umum dan Telegraf).
ANETA dalam waktu singkat berkembang menjadi kantor berita atau biro pers yang
besar dan modern, sebagai pusat pengirim dan penerima berita dari berbagai penjuru Dunia.
Pada tahun 1920, ANETA telah mempunyai kantor bertingkat berlantai tiga (kini ditempati
Kantor Berita ANTARA) dan pada tahun 1924 membuka sendiri stasiun Radionya.
ANETA juga menjadi pemegang monopoli dalam penyebaran dan pembagian berita-

Sosialisme merencanakan berbagai Program perbaikan dan perluasan Kota. Kehidupan


Politik di Kota itu memberi warna-wajah surat kabar di Kota itu, baik Surat Kabar Belanda,
Melayu-Tionghoa maupun Indonesia. Dilihat dari sudut perkembangan Pers pada umumnya,
proses antar hubungan ketiga Pranata Komunikasi Masyarakat itu pun sangat penting bagi
kesinambungan perkembangan Pers di Indonesia.
C. Lahirnya Kantor Berita ANETA.
Salah satu segi kegiatan penting yang berhubungan dengan surat kabar ialah
kehidupan lalu lintas Telegram. Surat-surat kabar Belanda makin lama makin
berita, terutama karena kedudukannya disokong sepenuhnya oleh Pemerintah Hindia
Belanda.
, yang dengan simpatik memperhatikan tumbuhnya Budi Utomo, Sarekat Islam dan Indische
Partij.
Kota ketiga yang penting bagi kelahiran Pers Belanda ialah Semarang. Pada awal
abad ke-20, kehidupan Orang-orang Belanda terpusat pada masalah bagaimana membangun
Kota Semarang. Kota Semarang didalam Sejarah Indonesia dikenal pula sebagai tempat
lahirnya gagasan Sosialisme. Melalui kegiatannya dalam Dewan Kotapraja, wakil-wakil
penganjur
http://afrianiromadhan.blogspot.co.id/p/perkembangan-pers-pada-era-kolonial.html

Sejarah Pers di Indonesia dari Zaman Penjajahan sampai dengan Sekarang

A. Zaman Penjajahan
Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619
menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan Memories der Nouvelles, yang ditulis dengan
tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa surat kabar pertama di Indonesia ialah
suatu penerbitan pemerintah VOC. Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia
dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan
dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan

Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan
oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih
berbentuk koran iklan.

Tujuan pendirian pers masa itu :


Untuk menegakkan penjajahan

Menentang pergerakan rakyat

Melancarkan perdagangan
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa ini, surat kabar-surat kabar Indonesia yang semula berusaha dan berdiri
sendiri dipaksa bergabung menjadi satu, dan segala bidang usahanya disesuaikan dengan
rencana-rencana serta tujuan-tujuan tentara Jepang untuk memenangkan apa yang
mereka namakan Dai Toa Senso atau Perang Asia Timur Raya. Dengan demikian, di
zaman pendudukan Jepang pers merupakan alat Jepang. Kabar-kabar dan karangankarangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.

B. Awal Kemerdekaan (1942-1945)


Pers di awal kemerdekaan dimulai pada saat jaman jepang. Dengan munculnya ide
bahwa beberapa surat kabar sunda bersatu untuk menerbitkan surat kabar baru Tjahaja
(Otista), beberapa surat kabar di Sumatera dimatikan dan dibuat di Padang Nippo (melayu),
dan Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam kegiatan penting mengenai kenegaraan dan
kebangsaan Indonesia, sejak persiapan sampai pencetusan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, sejumlah wartawan pejuang dan pejuang wartawan turut aktif terlibat di dalamnya.
Di samping Soekarno, dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa
Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantara, Otto Iskandar Dinata, G.S.S Ratulangi, Adam Malik,
BM Diah, Sjuti Melik, Sutan Sjahrir, dan lain-lain.
Penyebarluasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan oleh
wartawan-wartawan Indonesia di Domei, di bawah pimpinan Adam Malik. Berkat usaha
wartawan-wartawan di Domei serta penyiar-penyiar di radio, maka praktisi pada bulan
September 19945 seluruh wilayah Indonesia dan dunia luar dapat mengetahui tentang
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
RRI (Radio Republik Indonesia) terbentuk pada tanggal 11 September 1945 atas prakasa
Maladi. Dalam usahanya itu Maladi mendapat bantuan dari rekan-rekan wartawan lainnya,
seperti Jusuf Ronodipuro, Alamsjah, Kadarusman, dan Surjodipuro. Pada saat berdirinya,

RRI langsung memiliki delapan cabang pertamanya, yaitu di Jakarta, Bandung, Purwokerto,
Yogyakarta, Surakarta, dan Surabaya.
Surat kabar Republik I yang terbit di Jakarta adalah Nerita Indonesia, yang terbit pada
tanggal 6 September 1945. Surat kabar ini disebut pula sebagai cikal bakal Pers nasional
sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia, perkembangan pers republic sangat pesat, meskipun mendapat tekanan
dari pihak penguasa peralihan Jepang dan Sekutu/Inggris, dan juga adanya hambatan
distribusi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, di Sumatera dan sekitarnya, usaha
penyebarluasan berita dilakukan mula-mula berupa pamflet-pamflet, stensilan, sampai
akhirnya dicetak, dan disebar ke daerah-daerah yang terpencil. Pusat-pusatnya ialah di
Kotaraja (sekarang Banda Aceh), Sumatera Utara di Medan dimana kantor berita cabang
Sumatera juga ada di Medan, lalu Sumatera Barat di Padang, Sumatera Selatan di Palembang.
Selain itu, di Sumatera muncul surat kabar-surat kabar kaum republik yang baru, di samping
surat surat kabar yang sudah ada berubah menjadi surat kabar Republik, dengan nama lama
atau berganti nama.
C. Setelah Indonesia Merdeka (1945-1959)
1. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi dan sekitarnya,
kalangan pers selalu mendapat tekanan-tekanan, seperti yang dialami Manai Sophiaan yang
mendirikan surat kabar Soeara Indonesia di Ujung Pandang. Di Manado dan sekitarnya
(Minahasa) tekanan dari pihak penguasa pendudukan selalu dialami oleh kalangan pers. Di
daerah terpencil, seperti Ternate yang merupakan daerah yang pertama kali diduduki oleh
tentara Sekutu, para pejuang di kalangan pers tetap mempunyai semangat tinggi.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Jawa dan sekitarnya,
pertumbuhan pers paling subur, bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di wilayah RI
ini. Hal itu disebabkan jumlah wartawan yang lebih banyak dan juga karena pusat
pemerintahan RI ada di Jawa. Pusat-pusatnya, adalah di Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Surakarta, Solo, dan Surabaya.
Sementara itu, para wartawan dan penerbit sepakat untuk menyatukan barisan pers
nasional, karena selain pers sebagai alat perjuangan dan penggerak pembangunan bangsa.
Kalangan pers sendiri masih harus memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi masa

kini dan masa mendatang. Untuk itulah, maka kalangan pers membutuhkan wadah guna
mempersatukan pendapat dan aspirasi mereka. Hal tersebut terwujud pada tanggal 8-9
Februari 1946, dengan terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo atau
Surakarta.
2. Setelah Agresi Militer
Setelah agresi militer Belanda 1 pada tanggal 21 Juli 1947, keadaan pers republik
bertambah berat dan sulit. Kegiatan penerbitan dan penyiaran waktu itu mengalami
pengekangan dan penekanan yang berat, karena pihak penguasa Belanda bisa secara tiba-tiba
langsung menyerbu ke kantor redaksi atau percetakan surat kabat yang bersangkutan,
sekaligus menangkap pemimpin redaksi maupun wartawan surat kabar tersebut. Pihak
penguasa Belanda mengusahakan penerditan non republik dibantu oleh kaum separatis Pro
Belanda. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melancarkan propaganda sekaligus
politik adu dombanya, yang dapat menumbuhkan kebingungan dan kepanikan di kalangan
masyarakat luas.
Sewaktu pusat Pemerintahan RI pindah ke Yogyakarta, kantor berita Antara pusat turut
pindah di bawah pimpinan Adam Malik Batubara, dan KB Antara Jakarta menjadi cabang
yang dipimpin oleh Mochtar Lubis, Ibnu Muhammad Arifin, dan Wan Asa Bafagih. Ini
berakibat juga pindahnya sebagian tokoh-tokoh pers Republik ke Pusat Pemerintahan RI
yang baru tersebut.
Keadaan Republik Indonesia bertambah suram lagi sewaktu pada tanggal 19 Desember
1948 penguasa Belanda berhasil menduduki kota Yogyakarta. Penguasa Belanda dan kaum
separatis pro Belanda semakin berani bertindak kekerasan dan melakukan penahanan
terhadap para pejuang dan kalangan pers (wartawan) Republik. Pada masa itu jumlah
wartawan sedikit, umumnya para wartawan tersebut ditangkap dan dipenjarakan sebagai
tahanan politik. Para wartawan yang berhasil lolos ada yang keluar kota dan ada juga yang
ikut bergerilya bersama TNI di pedalaman dan di desa-desa terpencil. Meski begitu, mereka
tetap mengusahakan penerbitan berupa stensilan.
Usaha penerbitan pers RI juga diramaikan oleh partisipasi pihak lain, seperti; kalangan
pers dari golongan peranakan Cina dan keturunan Arab, ditambah dari pihak TNI di daerahdaerah tertentu dan yang terakhir adalah pemerintah RI sendiri mengusahkan penerbitan
dengan membantu pembiayaan usaha penerbitan pers oleh kalangan pers (wartawan)
Republik.

D. Masa Orde Lama/ Demokrasi Terpimpin (1959-1965)


Di masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, surat kabar dan majalah yang tidak
bersedia ikut serta dalam gelombang Demokrasi Terpimpin harus menyingkir atau
disingkirkan. Semakin lama peraturan ini semakin ketat. Di Jakarta, keluar larangan
berpolitik dalam segala bentuk termasuk dalam bentuk tulis-menulis. Khusus mengenai pers
ada Sembilan ketentuan yang salah satunya adalah pers dan alat-alat penyiaran lainnya
dilarang melakukan penyiaran kegiatan politik yang langsung dapat mempengaruhi haluan
Negara, dan tidak bersumber pada badan pemerintahan yang berwenang untuk itu.
SIT adalah Surat Izin Terbit dan SIC adalah Surat Izin Cetak yang pada masa Demokrasi
Terpimpin sukar mendapatkannya. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan mengajukan
permohonan SIT, sebagai pengesahan dillakukannya kegiatan penyiaran. Pada bagian bawah
permohonan SIT tercantum 19 pasal pernyataan yang mengandung janji penanggung jawab
surat kabar tersebut yaitu jika ia diberi SIT akan mendukung jawab surat kabar tersebut yaitu
jika ia diberi SIT akan mendukung Manipol-Usdek dan akan mematuhi pedoman yang telah
dan akan dikeluarkan oleh penguasa. Pernyataan ini dengan mudah dipergunakan oleh
penguasa sebagai alat penekan surat kabar.
PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan yang diakui pemerintah di masa
Demokrasi Terpimpin dikelola oleh wartawan-wartawan berpaham komunis dan yang
bersimpati pada paham ini. PKI berusaha menguasai PWI dengan sekuat tenaga karena
melalui PWI, SPS, dan Pancatunggal SIT dan SIC dikeluarkan. Dengan demikian dapat
menentukan siapa yang bisa diberi SIT dan SIC.
BPS singkatan dari Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme. Badan ini dibentuk
untuk menandingi organisasi yang berinduk pada PKI. Tokohnya yang terkenal adalah Sajuti
Melik BPS tidak menyetujui Nasakaom tetapi setuju dengan Nasasos (Nasionalis, Agama,
Sosialis). Koran pendukung BPS harus bersedia memuat tulisan Sajuti Melik sebagai usaha
mengimbangi dan mengadakan perlawanan PKI. BPS ditentang PKI dengan tuduhan BPS
hendak mengadakan PWI tandingan. Sehingga perang pena dan fitnah pun terjadi.
Sewaktu menerbitkan Berita Yudha, Jenderal Ahmad Yani menyadari di masa
Demokrasi Terpimpin itu akan sangat membahayakan masyarakat apabila tidak ada lagi
pegangan dan hanya mendapat satu sumber berita. Saat itu hanya ada suara dari PKI, karena
itu perlu diambil alih dengan segera harian pendukung BPS Berita Indonesia dan mengganti
namanya Berita Yudha dengan motto: Untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia.
Sedangkan Jenderal A. H Nasution juga menerbitkan surat kabar bernama Angkatan
Bersenjata dengan inti tujuan yang sama.

Beberapa factor penunjang keberhasilan PKI dalam bidang pers dan media massa yaitu:
a.

Disiplin kerja. Dengan disiplin kerja, mereka bersedia menyingkirkan pendapat pribadi
dengan patuh pada indtruksi atasan.

b.

Jaminan Sosial. Mereka mendapat jaminan dalam kehidupannya.

c.

Hubungan dengan fungsionaris/tokoh partai. Hubungan ini akan mempermudah control atas
tiap anggota.

E.

Masa Orde Baru/ Demokrasi Pancasila (1965-1998)


Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi
berbagai masalah stabilitas dan rehabilitasi keamanan, politik pemerintah dan ekonomi, telah
diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers
Pancasila.
Sebagai langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan
dasar Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.
XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan
MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang dihasilkan oleh
konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966.
Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada
tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam
penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak pers itu
sendiri.
Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksaan UU Pokok Pers dalam praktiknya,
amak dibentuklah Dewan Pers. Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk
bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional.
Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers
nasional. Pada tahap ini upaya yang dilakukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif
antara pers, masyarakat dan pemerintah.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah.
Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah,
di era pemerintahan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat
status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila
kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah,

dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah
isi pers.
Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan
ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan
bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan
pada rezim orde baru.
F. Era Reformasi
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada
tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik
ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa
reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini
dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara
penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan
memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan
memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau
mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia.
Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini
publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan
keberhasilan tersebut.
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar
biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya mediamedia baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers
dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.
Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat
yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.
Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang
penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media
terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang
benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus
dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat
dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.

Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya


liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga
makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental
dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media
massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat
ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk
menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.
Keterkaitan fungsi Pers dengan praktek demokrasi di Indonesia (demokrasi
Parlementer, Terpimpin, Pancasila dan Reformasi)
Demokrasi Parlementer
Masa ini merupakan masa pemerintahan demokrasi liberal. Pada masa ini banyak
didirikan partai politik dalam rangka memperkuat system pemerintahan parlementer, pers
dijadikan propaganda parpol. Beberapa partai politik memiliki media/ Koran.
Demokrasi Terpimpin
Pers tunduk sepenuhya pada peraturan pemerintah, pers dimanfaatkan sebagai alat
revolusi dan penggerak masa. Pers yang tidak mendukung pemerintah akan disingkirkan, dan
aturan-aturan mengenai pers diperketat. Sehingga fungsi check and balance terhadap
penyelenggaraan negara oleh pemerintah tidak terjadi.
Demokrasi Pancasila
Awalnya bagus, mengikis dan memberitakan kebobrokan orde lama namun hal itu tidak
bertahan begitu lama karena segera dikendalikan oleh penguasa dengan dikeluarkannya UU
no 11 tahun 1966 tentang pokok-pokok pers. Pers di era pemerintahan Soeharto, kebebasan
pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun
keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).
Dibentuk dewan pers yang merupakan perpanjangan dari tangan pemerintah orde baru. Pers
diperketat pengawasannya, dan dibatasi oleh kepentingan pemerintah.
Reformasi
Era reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengeksplorasi
kebebasan. Akibatnya ketiadaan otoritas yang memiliki kewenangan untuk menindak pers

yang telah melampaui batas. Namun hal positive nya adalah dalam era Reformasi, pers
Nasional benar - benar bebas mengkritik pemerintah dengan keras. Wartawan sebagai
pemberi informasi kepada rakyat tidak takut lagi pada pemerintah. Mereka ini benar - benar
menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial. Dahulu wartawan Indonesia dipaksa untuk
memberitakan

suatu

sumber

berasal

dari

pemerintah.

Fungsi

control

terhadap

penyelenggaraan negara berjalan dengan baik, menjauhkan dari praktek system politik yang
otoriter.
Fungsi Pers secara umum (UU No. 40 Tahun 1999)
Jawab :
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik

meliputi

mencari,

memperoleh,

memiliki,

menyimpan,

mengolah,

dan

menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,suara, gambar, suara dan gambar, serta
data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 1 UU No. 40 Tahun 1999). Fungsi
umum pers menurut UU No 40 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1 dan 2 adalah Pers Nasional
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol social serta
dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pers Nasional melaksanakan peranannya
sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum,
dan Hak Asasi
Manusia, serta menghormat kebhinekaan
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kepentingan
umum
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Secara umum fungsi Pers meliputi hal - hal sebagai berikut :
a.

Fungsi menyiarkan informasi (to inform) : menyiarkan informasi merupakan fungsi pers
yang paling utama. Khalayak ramai mau berlangganan atau membeli surat kabar karena

memerlukan informasi tentang sebuah persitiwa yang terjadi dan sebagainya.


b. Fungsi mendidik (to educate) : sebagai saranan pendidikan massa, surat kabar dan
sebagainya memuat tulisan-tulisan yang mengandung ilmu pengetahuan sehingga para
pembaca bertambah pengetahuannya.

c.

Fungsi menghibur (to entertain) : hal-hal yang bersifat hiburan sering ditampilkan di media

massa untuk mengimbangi berita-berita tentang hal-hal berat.


d. Fungsi mempengaruhi (to influence) : dengan fungsi ini pers menjadi begitu penting dalam
sebuah kehidupan masyarakat bahkan bangsa sekalipun. Biasanya artikel-artikel yang terkait
dengan fungsi ini ada pada kolom tajuk rencana, opini dan berita-berita.
e. Fungsi menghubungkan dan menjembatan (to mediate) : pers mempunyai fungsi sebagai
penghubung atau jembatan antara masyarakat dan pemerintah atau sebaliknya. Komunikasi
yang tidak dapat tersalurkan melalui jalur resmi atau kelembagaan dapat dialihkan via pers.
Fungsi dan peranan Pers berdasarkan ketentuan Pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang
pers, fungi pers ialah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Berdasarkan fungsi dan peranan pers diatas, lembaga pers sering disebut sebagai pilar
keempat demokrasi (the fourth estate) setelah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif ,
serta pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Fungsi peranan pers itu baru
dapat dijalankan secra optimal apabila terdapat jaminan kebebasan pers dari pemerintah. Sulit
dibayangkan bagaimana peranan pers tersebut dapat dijalankan apabila tidak ada jaminan
terhadap kebebasan pers.
Sekarang tidak lagi karena keberadaan Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang
Pers telah mengamatkan kebebasan mutlak. Lahirnya UU tersebut sebagai pengejawantahan
kemerdekaan pers yang bebas dan bertanggungjawab. Peraturan itu sebagai landasan legal
bagi media dalam memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol sosial,
pendidikan dan hiburan bagi masyarakat. Melaksanakan kerja-kerja jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh,memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan,suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya
dengan menggunakan media cetak, elektronik dan media lainnya yang tertuang dalam pasal 1
butir 1 UndangUndang Pers.
http://www.inggitberbagi.com/2012/10/sejarah-pers-di-indonesia-dari-zaman.html

Anda mungkin juga menyukai