Dari perkembangan pers tersebut, pada mulanya pers terbit sebagai bagian
usaha Orang Belanda dan kemudian menjadi pembawa kepentingan perusahaan
perkebunan dan Industri minyak. Isinya belum mencerminkan persoalan-
persoalan politik masa itu, karena memang sejak semula Pemerintah Hindia
Belanda mengatur berita-berita yang tidak berbahaya bagi pemerintahan sendiri.
Pers Belanda sendiri sejak semula merupakan “Pers Resmmi” karena isinya harus
disetujui oleh Pemerintah.
Secara umum dapat dikatakan, isi surat kabar dan Majalah Hindia Belanda
berhaluan
Politik Netral. Namun, sejak akhir abad ke-19 mulai kelihatan adanya mingguan
yang bercorak dan berdasar suatu program Politik. Karangan-karangan di Surat
Kabar pun mulai bersikap kritis terhadap politik kolonial Belanda di Indonesia.
Diantara Majalah yang mulai berpolitik antara lain Bondsblad, terbit
pertama kali pada tahun 1897. Sebagai pembawa suara Indische Bond, yaitu
perkumpulan kaum Indo-Belanda yang memperjuangkan Hindia Belanda sebagai
Tanah Airnya dan mengusahakan perlakuan yang sama dalam bidang politik bagi
Mereka.
B. Perkembangan Media Massa Pers pada Awal Abad ke-20.
Di Jakarta, pada waktu itu ada Java Bode yang merupakan surat kabar
resmi, dan selalu membela kebijaksanaan Pemerintah. Untuk itu, Java Bode
mendapat berita-berita Pemerintah secara khusus, sehingga merupakan lembaran
penerangan bagi apa saja yang terjadi di kalangan Pemerintah tentang
Pengangkatan dan Pemindahan Pegawai, rencana-rencana peraturan
Pemerintah,dll.
Pada tahun 1907, E.F.E. Douwes Dekker diangkat menjadi Redaktur
Bataviasche Nieuwsblad menggantikan F.K.H. Zaalberg. Ia seorang Politikus
terkemuka sampai masa Republik Indonesia. Douwes Dekker seorang Wartawan
berbakat, Ia memiliki Pikiran yang tajam dan dapat mengolah kesan-kesan dengan
cepat.
Begitu juga dengan Zaalberg, Ia juga merasa Sakit Hati terhadap Negeri
Belanda dan
Belanda di Jawa Timur. Pandangannya reaksioner terhadap tumbuhnya
pergerakan Nasional. Ia melakukan kritik tajam terhadap kebikaksanaan politik
Gubernur Jenderal Idenburg
Orang-Orang Belanda. Pengalamannya di dalam Locomotief memperdalam
pengetahuan dan pengertiannya, dan kesimpulannya bahwa penyebab kemelaratan
Kaum Indo ialah tata susunan Eksploitasi modal kolonial. Oleh karena itu,
hubungan kolinial harus dihancurkan.
Pada tahun 1912, Ia mendirikan Indische Partij di Bandung, yang
merumuskan program kerja sama Penduduk Bumiputra dengan kaum Indo dan
golongan-golongan lain untuk membina “Bangsa Hindia” (Indiers).
Sebagai Wartawan, kemampuannya dibuktikan dengan laporannya tentang
Pemberontakan Petani Tanggerang, yang berlatar belakang adanya ketidakadilan
dan penindasan di tanah-tanah Partikelir.Kota kedua yang penting bagi
perkembangan Pers Belanda ialah Surabaya tempat terbit Het Soerabajaasch
Handelsblad, yang terutama didukung oleh kaum pengusaha Pabrik Gula
banyak berisi berita-berita yang berasal dari Telegram.
Pada Zaman Gubernur Jenderal J.B. Van Heutsz (1904-1909) pernah
didirikan suatu kantor berita setengah resmi yang berada di dalam sekretariat
Umum. Karena sifatnya yang resmi maka kantor berita itu tidak lama bertahan.
Pada 1 April 1917, di tengah-tengah kecamuk Perang Dunia I, D.W.
Beretty Mantan Pegawai Kantor Telegrap dan pernah bekerja untuk Bataviaasch
Nieuwsblad dan Java Bode mendirikan kantor berita ANETA (Algemeen Nieuws
En Telegraaf Agentschap= Keagenan Berita Umum dan Telegraf).
ANETA dalam waktu singkat berkembang menjadi kantor berita atau biro
pers yang besar dan modern, sebagai pusat pengirim dan penerima berita dari
berbagai penjuru Dunia. Pada tahun 1920, ANETA telah mempunyai kantor
bertingkat berlantai tiga (kini ditempati Kantor Berita ANTARA) dan pada tahun
1924 membuka sendiri stasiun Radionya.
ANETA juga menjadi pemegang monopoli dalam penyebaran dan
pembagian berita-
Sosialisme merencanakan berbagai Program perbaikan dan perluasan Kota.
Kehidupan Politik di Kota itu memberi warna-wajah surat kabar di Kota itu, baik
Surat Kabar Belanda, Melayu-Tionghoa maupun Indonesia. Dilihat dari sudut
perkembangan Pers pada umumnya, proses antar hubungan ketiga Pranata
Komunikasi Masyarakat itu pun sangat penting bagi kesinambungan
perkembangan Pers di Indonesia.
C. Lahirnya Kantor Berita “ANETA”.
Salah satu segi kegiatan penting yang berhubungan dengan surat kabar
ialah kehidupan lalu lintas Telegram. Surat-surat kabar Belanda makin lama
makin
berita, terutama karena kedudukannya disokong sepenuhnya oleh
Pemerintah Hindia Belanda.
, yang dengan simpatik memperhatikan tumbuhnya Budi Utomo, Sarekat Islam
dan Indische Partij.
Kota ketiga yang penting bagi kelahiran Pers Belanda ialah Semarang.
Pada awal abad ke-20, kehidupan Orang-orang Belanda terpusat pada masalah
bagaimana membangun Kota Semarang. Kota Semarang didalam Sejarah
Indonesia dikenal pula sebagai tempat lahirnya gagasan Sosialisme. Melalui
kegiatannya dalam Dewan Kotapraja, wakil-wakil penganjur.
PERKEMBANGAN PERS DI MASA PENJAJAHAN JEPANG
Saat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta terpaksa pindah ke
Yogyakarta dan kemudian Yogyakarta menjadi ibu kota Republik Indonesia para
wartawan – pun juga banyak yang ikut pindah ke Yogyakarta .
Ketika ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta itulah tanggal 9 Februari
1946 para wartawan berkumpul di gedung Sociteit atau Sasono Suko Solo
( sekarang Monumen Pers Nasional ) mendirikan organisasi profesi Persatuan
Wartawan Indonesia ( PWI ) . Ini merupakan organisasi profesi wartawan
pertama setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dengan Ketua Mr.
R.M Sumanang Suryowinoto . Dan empat bulan kemudian tepatnya 8 Juni 1946
berdiri Serikat Perusahaan Surat Kabar (SPS) di Yogyakarta. Hal ini makin
memperkokoh peran pers di awal berdirinya negara Indonesia.
Upaya untuk membataasi kebebasan pers itu tercermin dari pidato Menteri Muda
Penerangan Maladi ketika menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-14,
antara lain ia menyatakan:...hak kebebasan individu disesuaikan dengan baik
kolektif seluruh bangsa dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir,
menyatakan pendapat, dan memperoleh penghasilan sebagaimana yang dijamin
Undang-Undang Dasar 1945 harus ada batasnya: keamanan negara,
kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung jawab
kapada Tuhan Yang Maha Esa”.
Pada awal 1960, penekanan pada kebebasan pers diawali dengan peringatan
Menteri Muda Penerangan Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan
terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak
menaati peraturan yang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan ketenangan, penguasa
perang mencabut izin terbit Harian Republik.
Memasuki tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk: hal ini
digambarkan oleh E.C Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa
Kementrian Penerbangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers.
Perubahan yang ada hampir-hampir tidak lebih daru sekedar perubahan sumber
wewenang karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya
adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada
kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah
pembredelan.
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor
dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka
mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh
pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko
selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar
diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang
menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu
ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan
bersama para pendukungnya yang
antu rezim Soeharto.
KEBEBASAN PERS PADA MASA ERA REFORMASI
Produk hukum pada era reformasi tentang pers ini dapat dikatakan sebagai
sapu jagatnya kemerdekaan pers Indonesia, setelah sekitar dua puluh delapan
tahun didera pembelengguan oleh rezim Orde Baru. Dikatakan sebagai sapu jagat
karena undang-undang ini menghapus semua ketentuan represif yang pernah
berlaku pada era Orde Baru, seperti:
a. Pasal 9 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999 meniadakan keharusan mengajukan SIUPP
untuk menerbitkan pers.
b. Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 tahun 1999 menghilangkan ketentuan sensor dan
pembredelan pers dan.
c. Pasal 4 ayat 2 juncto Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999: melindungi
praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp.
500 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers.