Anda di halaman 1dari 7

PERKEMBANGAN PERS DI INDONESIA

NAMA KELOMPOK:
o M. ZAINI
o JIMMY JASANDA
o RAMSIAH
o ALFIYANOR
o ROMANSYAH
o RIPANI
o ABDUL HADI

win 10 [Date] [Course title]


Sejarah Pers di Indonesia

setiap tanggal 9 Februari Indonesia merayakan Hari Pers Nasional yang


bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia.
Penetapan Hari Pers Nasional yang jatuh pada tanggal 9 Februari ini didasari
oleh Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985.

Mingguan Medan Prijaji yang dilahirkan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Medan Prijaji menjadi surat kabar pertama yang digarap
seluruhnya oleh orang-orang Indonesia. (Foto: Okezone/Ist)

HPN ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 tahun 1985.


Penetapan mengacu pada kelahiran organisasi Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI) pada 9 Februari 1946 di Solo, Jawa Tengah. HPN tentu tak
datang begitu saja. Pers Indonesia telah melalui perjalanan teramat panjang
dengan segala onak dan duri sebelum sampai di titik sekarang.
Kelahiran pers di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Pemerintahan Belanda.
Catatan sejarah menyebutkan, pers di Hindia Belanda mula-mula muncul
melalui medium komunikasi berupa gazette (lembaran berita) pada 1615 yang
dikenalkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Percobaan pertama untuk memulai penerbitan media massa resmi terjadi
pada masa Gubernur Jenderal Van Imhoff pada 1744, ditandai dengan
lahirnya Bataviasche Nouvelles, yang ternyata hanya dapat bertahan hidup
dua tahun. Meski hanya berlangsung singkat, fajar terbitnya pers telah
kelihatan di Tanah Air. Setelah itu menyusullah Het Vendu Nieuws.
Secara umum, berdasarkan latar
historis, perkembangan pers di
Indonesia sering dibagi dalam lima
periode, yaitu masa penjajahan
Belanda, masa penjajahan
Jepang/awal kemerdekaan, masa
orde lama, masa orde baru, dan
masa reformasi.
Presiden Jokowi di Hari Pers Nasional 2017. (Foto:
Setneg)

Masa Penjajahan Belanda


Mengacu pada hasil penelitian
Departemen Penerangan RI
pada 1976-1977 dan berlanjut
pada 1977-178, secara ringkas
perkembangan pers Indonesia
pada masa penjajahan hingga
awal kemerdekaan terbagi
dalam dua babak besar.
Pertama, berlangsung sejak
muncul surat kabar pertama di
Indonesia, yaitu Bataviasche
Nouvelles sampai dengan 1854.
Bataviasche Nouvelles yang terbit pada 1615. (Foto: Bila diukur waktu, babak
Ist) pertama memakan waktu
selama 90 tahun, dikenal juga
sebagai Babak Putih.
Disebut demikian karena surat kabar pada waktu itu mutlak milik orang-orang
Eropa (berkulit putih), berbahasa Belanda, dan ditujukan bagi pembaca
berbahasa Belanda, serta berisi informasi-informasi tentang kehidupan orang-
orang Eropa dan tidak mempunyai kaitan dengan kehidupan pribumi.
Babak kedua berlansung sejak tahun 1854 sampai Kebangkitan Nasional (20
Mei 1908). Babak kedua ini secara kasar dapat dibagi dalam tiga periode:
Periode pertama antara 1854-
1860. Pada masa ini surat kabar
bahasa Belanda tetap menduduki
tempat penting, tetapi surat kabar
berbahasa Melayu mulai muncul.
Diawali Soerat Kabar Bahasa
Melaijoe yang lahir di Surabaya
dengan cetakan berbahasa
Melayu. Meski demikian surat
kabar ini diterbitkan oleh penerbit
Belanda. Setelahnya mulai
menjamur surat kabar serupa
Surat kabar De Locomotief yang terbit di Semarang
seperti Slompret Melayoe, pada 1863. (Ist)
Bromartani dan Semarangsch
Nieuws an Advertentieblad yang kemudian berubah nama menjadi De
Locomotief di Semarang.
Periode kedua antara 1860-1880. Ciri dari periode ini adalah surat kabar
berbahasa pra-Indonesia dan Melayu mulai banyak. Tetapi yang memimpin
kegiatan-kegiatan pers Melayu dan pra Indonesia tetap semua orang
peranakan Eropa.
Periode ketiga terjadi antara 1881 sampai Kebangkitan Nasional. Periode ini
mempunyai ciri tersendiri karena para pekerja pers terutama para redakturnya
tidak lagi orang peranakan Eropa tetapi mulai banyak peranakan Tionghoa
dan Indonesia (pribumi).
Pada periode ketiga inilah surat kabar peranakan Tionghoa muncul
dipelopori Li Po, sebuah surat kabar mingguan yang berhubungan erat
dengan kaum Tionghoa Hwee Koan. Li Po terbit sampai 1907 dan sejak itu
lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Mendekati masa Kebangkitan Nasional, tonggak sejarah pers Indonesia lahir
dengan terbitnya Medan Prijaji di Bandung oleh RM Tirto Adhi Soerjo (TAS)
pada 1907. Medan Prijaji akan selalu tercatat dalam tinta emas sejarah pers
Indonesia. Inilah surat kabar pertama yang keseluruhan digarap oleh kaum
pribumi. Medan Prijaji menjadi bentuk perlawanan atas kekejaman kolonial.
Perjuangan tak kenal lelah TAS ini akhirnya menempatkan jurnalis kelahiran
Blora itu kemudian ditetapkan sebagai Bapak Pers Indonesia.
Masa Penjajahan Jepang
Ketika Jepang berhasil menaklukkan Belanda dan akhirnya menduduki
Indonesia pada 1942, kebijakan pers turut berubah. Semua penerbit yang
berasal dari Belanda dan China dilarang beroperasi. Sebagai gantinya
penguasa militer Jepang lalu menerbitkan sejumlah surat kabar sendiri.
Menurut Koichi Kishi dalam tulisannya, Recent Japanese Sources for
Indonesian Historiography, saat itu terdapat lima surat kabar yaitu Jawa
Shinbun yang terbit di Jawa, Boernoe Shinbun di Kalimantan, Celebes
Shinbun di Sulawesi, Sumatra Shinbun di Sumatra dan Ceram Shinbun di
Seram.
Surat kabar di Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Seram dikelola Asahi Press,
Mainichi Press, serta Jomiuri Press. Sedangkan Sumatra Shinbun dikelola
Domei Press dengan bantuan beberapa surat kabar lokal di Jepang.
Masa Awal Kemerdekaan
Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa Demokrasi
Terpimpin/Demokrasi Liberal, hingga menjelang Orde Baru 1966, kehidupan
politik sangat berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola
pertentangan antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia
kepartaian juga ditumbuhkan dalam dunia pers, sehingga timbul di satu pihak
pers pendukung pemerintah dan di lain pihak pers oposisi.
Kehidupan pada 1950-1960-an ditandai oleh munculnya kekuatan-kekuatan
politik dari golongan nasionalis, agama, komunis dan tentara. Kehidupan pers
pada era ini juga ditandai dengan lahirnya tokoh-tokoh yang sangat
memberikan warna dalam dunia pers Tanah Air. Muncul nama seperti
Rosihan Anwar (Pedoman), Mochtar Lubis (Indonesia Raya), BM Diah
(Merdeka), dan Suardi Tasrif (Harian Abadi) yang kerap dijuluki empat
pendekar pers.
Pada masa ini sejumlah tonggak sejarah pers Indonesia juga lahir, seperti
LKBN Antara pada 13 Desember 1937, RRI pada 11 september 1945, dan
organisasi PWI pada 1946 yang kemudian menjadi cikal bakal Hari Pers
Nasional. Lahir pula TVRI, stasiun televisi pemerintah pada 1962.
Masa Orde Baru
Pers Indonesia mengalami dua kondisi yang
bertolak belakang. Peristiwa Malari pada 1974
sering dinilai sebagai titik balik pers Indonesia
masa Orde Baru. Sebelum Malari, orientasi
media massa mengarah pada kepentingan
umum, rakyat kecil, serta memperjuangkan hak
asasi manusia dan tegaknya hukum.
Namun setelah peristiwa Malari, pers Indonesia
dinilai tak lebih dari corong pemerintah. Sejak
peristiwa tersebut, pemerintah mulai melakukan
kontrol ketat terhadap pers karena dianggap
membahayakan stabilitas negara. Sejarah Mochtar Lubis (ist) (Ist)
mencatat di era ini pembreidelan menimpa
sejumlah media massa. Pers benar-benar dalam kontrol ketat pemerintah.
Mereka yang menentang, SIUPP bakal dicabut.

Masa Reformasi
Berakhirnya pemerintahan
Presiden Soeharto pada 21 Mei
1998 telah mengubah lanskap
pers Tanah Air sangat dramatis.
Kebebasan bersuara yang
sebelumnya seperti barang
mahal, memicu kelahiran
media-media baru dengan
Sejumlah koran nasional yan terbit di Jakarta. (Foto:
iNews.id/Zen Teguh) sangat cepat. Liberalisasi pers
muncul tanpa terbendung.
Apalagi berdasarkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, tak ada
lagi SIUPP untuk melahirkan media massa.
Anggota Dewan Pers Wikrama Iryans Abidin (periode 2008) mendeskripsikan
perkembangan jumlah media massa di era reformasi mengalami lonjakan luar
biasa ketimbang pada era Orde Baru. Dalam kurun 1999-2000, sehari bisa
terbit lima media massa baru bila dirata-rata.
Sebagai perbandingan, selama 32 tahun era Soeharto hanya berdiri 289
media cetak, enam stasiun televisi dan 740 radio. Setahun pascareformasi,
jumlah media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau bertambah enam
kali lipat. Jika dihitung dengan skala waktu, berarti setahun pasca- reformasi
tersebut telah lahir 1.389 media cetak baru atau 140 per bulan atau hampir
lima media per hari.
Namun berdasarkan data pada 2008, jumlah media cetak itu kini telah
berkurang drastis. Perkembangan industri pers terus menyusut karena
berbagai faktor. Data Serikat Penerbit Pers (SPS) yang dikutip Lembaga
Dewan Pers Dr Soetomo (LPDS), sekitar 71% dari total 1.678 media yang
terbit pascareformasi mengalami kebangkrutan karena manajemen dan
pengelolaan bisnisnya tidak sehat.
Sebuah fakta mengejutkan pula ketika harian Sinar Harapan, salah satu
media cetak legendaris mengakhiri kiprahnya. Pada 31 Desember 2015, Sinar
Harapan berhenti terbit untuk seterusnya.
Era Digital
Pesatnya pertumbuhan internet di Indonesia turut mewarnai wajah pers
Indonesia. Media massa tak lagi koran, majalah/tabloid, televisi dan radio,
namun muncul platform baru bernama media online (siber). Dewan Pers
memperkirakan, hingga 2017 media online di Indonesia mencapai 43.300
media.
Seiring makin kuatnya pemodal terjun ke bisnis media, muncul
kecenderungan perusahaan media bergabung dalam satu korporasi dan
bernaung dalam konglomerasi. Bergabungnya sejumlah media melalui akusisi
atau penggabungan (merger) ini merupakan perkembangan tak terelakkan.
Konvergensi pun menjadi hal yang semakin umum.

Anda mungkin juga menyukai