Anda di halaman 1dari 59

BAB III LENGKAP B-5

DINAMIKA POLITIK-IDEOLOGI KOMPAS DAN REPUBLIKA

Pada BAB III ini penulis memaparkan sejarah dan


perkembangan media massa yang senantiasa bersentuhan
dengan kontestasi politik dan ideologi sejak awal tumbuhnya
hingga saat ini. Penulis memilih Kompas dan Republika
sebagai representasi dua media massa yang menurut penulis
memiliki kepentingan politik berbeda dan berafiliasi dengan
ideologi yang berbeda pula. Sehingga berimplikasi pada
proses peneriman, penyaringan dan pemilihan suatu
peristiwa dan memberitakannya dihadapan khalayak. Pada
sisi lain fatwa MUI merupakaan sebuah objek pemberitaan
yang menarik untuk dimuat oleh kedua media di atas. Fatwa
MUI yang penulis maksud adalah fatwa yang bersifat dan
berdampak nasional serta memiliki daya magnetis bagi
kedua media terkait dengan politik dan ideologi kedua media
tersebut.
Sebelum membahas tentang latar belakang kedua
media tersebut penulis memaparkan terlebih dahulu sejarah
perkembangan media massa di Indonesia. Hal ini penulis
lakukan terkait dengan konteks ideologi dan kekuasan yang
menyertai kehadiran media massa di Indonesia.
A.Sejarah dan Perkembangan Media di Indonesia.

1. Perkembangan Media Massa Pada Masa Belanda.


Kehadiran Belanda yang kemudian menjajah Nusantara
selain memiliki dampak negatif yang sangat besar bagi
perkembangan sejarah perdaban bangsa ini terdapat juga
dampak positifnya. Di antaranya adalah perkembangan
peradaban pada penggunaan komunikasi massa. Kehadiran
Belanda membuka cakrawala baru dalam komunikasi modern
di Indonesia. Menurut penulis buku oud Batavia, Dr. De Haan 1
sejak abad-17 telah terbit sebuah surat kabar di Batavia
dengan nama Kort Bericht Eropa.2 Media ini memuat
berbagai peristiwa dari beberapa negeri di Eropa antara lain
Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris dan

1
dalam bukunnya “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), lihat (17) hal.
137
2
(Berita singkat dari Eropa)

71
Denmark. Media tersebut dicetak oleh Abraham Van den
Eede tahun 1676 di Batavia. Selanjutnya pada bulan Oktober
1744 terbit Bataviase Nouvelles, diikuti dengan terbitnya
Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780.3
Selanjutnya terbit beberapa media massa di berbagai
daerah seperti Javasche Courant yang terbit di Jakarta pada
tahun 1828 dengan konten berita-berita resmi pemerintahan,
berita lelang dan berita kutipan dari beberapa harian di
Eropa. Di Surabaya terbit Soerabajash Advertentiebland pada
tahun 1835 kemudian berganti nama menjadi Soerabajash
Niews en Advertentiebland. Di semarang juga terbit
Semarangsche Advertentiebland dan Semarangsche Courant.
Di Padang surat terbit Soematra Courant, Padang
Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makassar (Ujung
Pandang) terbit Celebe Courant dan Makassaarch
Handelsbland. Konten berita pada masa itu tidak lebih
sebatas surat kabar periklanan yang belum memiliki makna
politis artinya masih pada tataran kepentingan bisnis atau
perniagaan. Meskipun demikian seluruh penerbit sudah
terkena peraturan penerbitan yang tidak boleh diedarkan
sebelum diperiksa oleh penguasa setempat.4
Hinga tahun 1885, seluruh daerah yang dikuasai
Belanda telah terdapat sebanyak 29 surat kabar dengan
perincian 16 surat kabar menggunakan bahasa Belanda dan
12 surat kabar berbahasa melayu diantaranya adalah
Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar,
Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe
(Surabaya) dan satu Surat kabar berbahasa jawa
(Hanacaraka) yaitu Bromartani yang terbit di Solo dengan
konten yang masih sangat sederhana dan ringan, seperti
aktivitas pemerintah, kehidupan para raja, sultan di Jawa,
berita ekonomi dan kriminal. 5
Saat memasuki abad-20 yaitu sekitar tahun 1903,
konten berita surat kabar mulai sedikit menghangat.
Beberapa surat kabar mulai memberitakan masalah politik,
perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat.6
3
lihat (17) hal. 138
4
lihat (17) hal. 138
5
lihat (17) hal. 138
6
Lihat buku “Kedudukan Pers Dalam Masyarakat” (1951) Parada Harahap,
menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya
dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan).

72
Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda
menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada
para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak
onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan
mengoreksi kebijakan atasannya. Kritik semacam itu
biasanya dilontarkan pada siding-sidang umum yang
diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik
dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar
dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui
masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi
“santapan empuk” bagi para wartawan. Berita tersebut
selanjutnya memperoleh semacam bumbu yang bersifat
mendaramtisir keadaan sebenarnya dengan sehingga
menjadi berita yang penuh sensasi yang menggegerkan.
Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini,
lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara
demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena
bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang
disukai pembacanya.7 Para petinggi pemerintah yang kena
kritik pun tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang
mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang
menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran
dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit
koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang
menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para
pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR
buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet
soal politik mulai marak. 8
Dunia media massa semakin menghangat ketika
terbitnya “Medan Prijaji”9 pada tahun 1903, sebuah surat
kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat
kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa
kita terjun dalam dunia media massa yang berbau politik.
Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers
Bumiputra). Pemimpin redaksinya adalah R.M.Tirtoadisuryo
yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat
kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi

7
lihat (17) hal. 140
8
lihat (17) hal. 140
9
lihat (17) hal. 140

73
masyarakat. R.M.Tirtoadisuryo merupakan sosok pelopor
kebebasan media massa dari kaum pribumi Indonesia.10
Sikapnya telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi
yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberaniannya
menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut,
“Koran bagi bangsa jang terperintah di Hindia Belanda
tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon
telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi
adalah bangsa yang dijajah.” Boleh jadi Tirtoadisuryo ini
terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar
pemerintah tersebut di atas. Kehadiran surat kabra Medan
Prijaji ini disambut hangat oleh masyarakat pribumi,
terutama oleh para aktivis pergerakan yang sangat
mendambakan kebebasan dalam mengeluarkan pendapat.
Bagai api yang terpantik, Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam”
menerbitkan harian Oetoesan Hindia.11 Nama Samaun12
(golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya
cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi
Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga mengeluarkan
koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur
Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padang
Sidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka
dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung
Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian
Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. 13
Tidak salah jika media massa Indonesia yang sejak awal
diterbitkan oleh pribumi disebut sebagai koran perjuangan.
Karena isinya adalah semangat kebangkian, pergerakan dan
kemerdekaan.

2. Masa Pendudukan Jepang


Setelah Belanda kalah dari Jepang pada perang dunia
kedua yang mengakibatkan seluruh tentara Belanda dipaksa
keluar dari Indonesia. Selanjutnya Jepang memposisikan diri
sebagai penjajah Indonesia. Pada masa ini seluruh surat
kabar yang tadinya berdiri sendiri dipaksa bergabung
menjadi satu dengan alasan menghemat penggunaan
peralatan dan tenaga. Memperketat pengawasan terhadap
10
lihat (17) hal. 140
11
lihat (17) hal. 141
12
lihat (17) hal. 141
13
lihat (17) hal. 141

74
konten berita dan berada di bawah pusat pemeberitaan
Jepang yaitu Domei.14 Wartawan Jepang sengaja didatangkan,
diberi kedudukan, jabatan sementara wartawan Indonesia
hanya menempati posisi sebagai pegawai. Masa itu konten
surat kabar adalah propaganda dan memuji pemerintah dan
tentara Jepang. Hal ini dilakukan Jepang untuk memenangkan
perang Asia Timur Raya atau “Dai Toa Senso”. Kondisi pers
sangat tertekan, seluruh surat kabar yang beredar pada
zaman penjajahan Belanda dan hanya izin terbit pada lima
media saja, yaitu: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar
Matahari, dan Suara Asia. 15
Namun di balik tekanan yang demikian tersbut insan
pers Indonesia dapat belajar banyak mengenai kemampuan
penggunaan media massa sebagai alat propaganda,
mobilisasi massa untuk mencapai tujuan serta memperoleh
kemajuan teknis dalam penerbitan media.

3. Masa Kemerdekaan
Pada masa ini, media massa sering disebut sebagai
media perjuangan. Media Indonesia menjadi salah satu alat
perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Peranan
yang dilakukan oleh insan pers pada saat-saat proklamasi
kemerdekaan dicetuskan sejalan dengan perjuangan rakyat
Indonesia yaitu menuju kemerdekaan bangsa. Bulan
September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat dan
pers Indonesia menikmati bulan madunya baik di Jakarta
maupun kota-kota lainnya bermunculan kemudian surat
kabar baru seperti Soeara Merdeka (Bandung), Berita
Indonesia (Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News
Bulletin, Warta Indonesia, dan The Voice of Free In. Periode
tahun 1945 sampai 1949 yang biasa dinamakan periode
“Revolusi Fisik”, dimana membawa coraknya tersendiri
dalam sifat dan fungsi pers kita.
Tidak lama dari masa kemerdekaan, politik Indonesia
berubah saat masuknya tentara sekutu ke Indonesia
sehingga terjadi konstelasi politik yang kembali mencekam.
Sekutu mengusai sebagian wilayah Indonesia dan itu
berimplikasi terhadap dunia pers di Indonesia. Dimana pers
saat itu digolongkan menjadi dua kategori, yaitu, pers yang

14

15

75
terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai oleh
pendudukan sekutu, kemudian Belanda, dan pers yang terbit
diusahakan di daerah yang dikuasai oleh RI yang kemudian
turut bergerilya.

4. Masa Demokrasi Liberal (1945-1957)

Lima tahun setelah kemerdekaan, timbul masalah baru


akibat terlalu menggebunya semangat kebebasan. Masa ini
merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa
demokrasi liberal.16 Pada masa demokrasi liberal, banyak
didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem
pemerintah parlementer. Terjadi persaingan keras
antarkekuatasn partai. Media massa pada masa itu ikut larut
dalam derasnya arus politik praktis, bergesernya watak dari
pers perjuangan menjadi pers partisan yang menjadikan pers
sebagai alat propaganda dari Partai Politik. Beberapa partai
politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada
masa itu, Media massa dikenal sebagai media partisipan.
Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru
bicara sekaligus berperilaku seperti partai politik dan disukai
dan didukungnya.17 Pada masa ini, pers Indonesia terjebak
dalam pola sektarian.
Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada
kebenaran untuk rakyat, melainkan sebagai pengusung
untuk kemenangan pejabat partai. Walaupun demikian dalam
perspektif kebebasan pers masa ini dapat dibilang sebagai
era bahagia yang singkat bagi kebebasan pers, khususnya
bagi wartawan politik.

5. Masa Era Pers Terpimpin (1957-1965)


Akibat adanya pergolakan politik yang terus-menerus
selama era demokrasi liberal, menyebabkan Presiden
Soekarno mengubah sistem politik yang berlaku di Indonesia.
Pada 28 Oktober 1956, Soekarno mengajukan untuk
mengubah demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. 18
Selanjutnya, pada Februari 1957, Soekarno kembali
16

17
As. Haris $uma.diiiz,Jurnalistik Indonesia; Menulis Berita dan
Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Cet. I; (Bandung: PT Remaja
Rosdakaiya, 2005), h. 20.
18

76
mengemukakan konsep demokrasi terpimpin yang
diinginkannya. Hampir bersamaan dengan terjadinya
berbagai pemberontakan di berbagai wilayah di Indonesia
yang melihat adanya sentralitas atas daerah dan penduduk
Jawa. Menghadapi munculnya berbagai pemberontakan di
daerah dan di pusat tersebut, Soekarno kemudian
mengeluarkan Undang-Undang Darurat Perang pada 14
Maret 1957.19 Dengan diberlakukannya “Undang-undang
Darurat Perang,” oleh Bung Karno menyebabkan pers
Indonesia memasuki masa keterpimpinan massif. Presiden
Soekarno memerintahkan pers agar setia kepada ideologi
Nasakom (Nasional Agama Komunis)20 serta
memanfaatkannya untuk memobilisasi rakyat. Soekarno
tidak ragu-ragu melarang surat kabar yang menentangnya.
Dibawah kepemimpinan Soekarno, surat kabar yang
dikelola oleh kaum komunis tumbuh subur. Muncul
perlawanan dan kelompok surat kabar sayap kanan
nasionalis, yang mengatasnamakan Badan Pendukung
Soekarnoisme (BPS). Konflik antara surat kabar sayap kanan
dengan surat kabar kelompok kiri tak terelakkan. Soekarno
ternyata lebih memilih kaum kiri, dan surat kabar kaum
kanan yang anti-komunis dilarang terbit. Selama dua tahun
Indonesia terkungkung dalam perseturuan antara parlemen
melawan rezim Soekarno yang berkolaborasi dengan militer.
Melihat gejolak perseteruan politik yang tak kunjung padam,
Soekarno akhirnya menerbitkan dekrit kembali ke Undang-
Undang Dasar 45 pada tanggal 5 Juli 1959 disusul dengan
pelarangan Partai Sosialis Indonesia21 dan Masyumi,22 karena
dugaan keterlibatan kedua partai tersebut dalam
pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) 23pada tahun 1958 di Sumatera. Dan juga
larangan kegiatan politik termasuk pes. Keluarnya beberapa
aturan persyaratan mendapatkan surat izin terbit dan surat
izin cetak yang dipeketat.24 Pada masa ini sering terjadi
polemic antara surat kabar yang pro PKI dan anti PKI.25
19

20

21

22

23

24
lihat (17) hal. 141
25
lihat (17) hal. 141

77
Selama pemerintahan Soekarno, kebebasan pers
terpasung. Kebebasan pers hanya merupakan angan-angan,
suratkabar setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para
pejabat. Politik seperti wilayah yang hanya boleh dijamah
dengan kepala tertunduk. Jika suatu berita politik dianggap
tidak menguntungkan pemerintah bisa saja berita tersebut
dikategorikan sebagai anti revolusi, mengancam
keselamatan negara, atau subversif. Simaklah apa yang
dikemukakan Maladi pada tanggal 17 Agustus 1959 bahwa
“Merupakan peringatan terselubung dan pemerintah kepada
insan pers yang tidak patuh pada cita-cita revolusi
nasional.”26

6. Masa Orde Baru


Setelah berakhirnya peristiwa G 30 S/PKI, berakhir pula
masa pemerintahan Orde Lama.27 Kemudian bangsa
Indonesia memasuki alam Orde Baru. Pada awal masa Orde
Baru ini fungsi dan sistem media massa masih belum
berjalan dengan baik. Ketika itu surat kabar-surat kabar yang
terbit merupakan terompet masyarakat untuk menentang
kebijaksanaan Orde Lama dan menyokong aksi-aksi
mahasiswa/pemuda sehingga surat kabar-surat kabar yang
terbit merupakan parlemen masyarakat. Pada awal
kepemimpinan orde baru membuang jauh praktik demokrasi
terpimpin dan diganti dengan demokrasi Pancasila, hal ini
mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan kalangan,
sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno
ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers
Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah
lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang
bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya
sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif,
penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.
Dalam lima tahun pertama kekuasaannya Orde Baru
pernah dijuluki sebagai teman setia dengan pers. Pers itu
sendiri seperti sedang menikmati masa bulan madu kedua.
Namun, itu hanya sesaat dan tidak berlangsung lama. Masa
26
Pidato Maladi selaku Mcnteri Muda Penerangan RI pada Peringatan
Proklamasi 17 Agustus 1959, publikasi Departcmen Penerangan RI,
Jakarca, 1959.
27

78
kebebasan pers ini berlangsung selama delapan tahun (1965-
1974) disebabkan terjadinya peristiwa Malari (Lima Belas
Januari 1974) sehingga pers kembali seperti zaman orde
lama. Tragedi malari berdampak negatif bagi kebebasan pers
di Indonesia. Beberapa surat kabar dilarang terbit/dibredel,
yaitu Kompas, Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo
yang merupakan contoh-contoh kentara dalam sensor
kekuasaan ini. Bukan hanya itu, mingguan Mahasiswa
Indonesia di Bandung ikut dibredel. Selanjutnya pada awal
1978, ketika tujuh surat kabar harian ibu kota hampir
serentak ditutup setengah bulan, pada waktu yang hampir
bersamaan juga sedikitnya tujuh penerbitan mahasiswa di
berbagai kampus di Jawa dan Sumatera mengalami nasib
yang sama.28
Kebebasan pers, dalam dua dari tiga dasawarsa
kekuasaan monolotik Orde Baru, hanya lebih banyak
memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses yang sejalan
dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan
dengan tegas dalam Pasal 28 UUD 1945- Dalam dasawarsa
ketiga kekuasaan Orde baru, kisah sedih itu masih berlanjut.
Pembatasan dan bahkan pembredelan terhadap pers terus
berlangsung. Inilah yang disebut sebagai era “pers tiarap”
Orde Baru. Hanya dengan tiarap, dengan mengendap-endap
layaknya dalam perang gerilya, pers Indonesia diharapkan
bisa tetap bertahan hidup. Strategi inilah yang dipilih oleh
sebagian pers nasional hingga akhirnya dapat meloloskan diri
dari jebakan-jebakan kematian.29
Pers Indonesia selama 32 tahun (1965-1997) di bawah
rezim Orde Baru Soeharto tetap terpasung. Meminjam istilah
Kusumaningrat pers Indonesia dipasung untuk menjadi “Pak
Turut.”30 Rambu-rambu untuk membatasi kebebasan pers
seperti SIUPP untuk penerbitan pers dan sensor terhadap
pemberitaan pers masih ditambah dengan praktek instansi
militer yang sewaktu-waktu “meminta” ditangguhkannya
pemuatan sebuah berita hanya melalui telepon. Jika sebuah
media tidak mematuhi “permintaan” ini, maka pemerintah
28
Atmakusumah Astraatmadja, Kebebasan Pers dan Arus Infbrmasi di
Indonesia. Cet. I; (Jakarta: Lembaga Scudi Pembangunan (LSP), 1981), h.
53-54. Lih. juga As. Haris Sumadiria, Jurnalisttklndonesia..., h. 23-
29
As. Haris Sumadiria, Jurnalistik Indoncsia.,., h. 24-25
30
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat jurnalistik;
Teori ...,h. 36.

79
dapat mencabut SIUPP media bersangkutan. Di bawah rezim
Orde Baru, pemerintah Indonesia benar-benar menganut
sistem pers otoriter yang keras seperti hanlnya pemerintah
rezim sebelumnya.
Kehidupan pemerintahan Orde baru yang diliputi
dengan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk praktik-
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang berarti telah
mengkhianati amanat rakyat sebagaimana tercantum dalam
UUD 1945. Seperti pada masa-masa sebelumnya, masa Orde
Baru pun akhirnya tumbang oleh kekuatan rakyat yang
dimotori oleh para mahasiswa. Salah satu tuntutan
mahasiswa-rakyat adalah kebebasan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan
tulisan, yang berarti adanya jaminan kebebasan media
massa. Pers Indonesia menyandang pelbagai atribut yang
menyebabkannya sering terpojok dalam poslsi yang
dilematis. Di satu sisi tuntutan masyarakat
mengharuskannya memotret realitas sosial sehingga pers
berfungsl sebagal alat kontrol. Pada posisi lain, sebagai
institusi yang tidak lepas dari pemerintah, menyebabkan pers
cenderung tidak vis a vis (berhadapan muka atau
berhubungan dengan) pemerintah.31
Hal ini merupakan sebuah pilihan antara kewajiban moral
terhadap masyarakat dan keharusan untuk mematuhi aturan
pemerintah sebagai konsekuensi logis. Jalan alternatif yang
biasa dilakukan adalah melakukan harmonisasi hubungan
pers, pemerintah dan masyarakat,32

7. Masa Reformasi
Gerakan reformasi yang dimotori para mahasiswa pada
tahun 1998, berhasil menumbangkan rezim Orde Baru.
Secara substansial, gerakan reformasi juga menumbangkan
model birokrasi otoriter yang diterapkan rezim. Represi
politik serta konsentrasi kekuasaan media, mendapat

31
Pers Indonesia-khususnya media cetak-tidak bisa
“mentransformasi” dirinya, karena pcrs selalu hati-hati, sangat takut
menyinggung perasaan penguasa ororirer, belum mampu mcnjadi pers
yang aktif menggerogoci kekuasaan dan ikut mendorong bergulirnya
gerakan reformasi. Lih. Satrio Arismunandar, “Dinamika Pers Indonesia di
Era Reformasi.” Internct edisi Thurcday, July 13, 2006.
32
Nurudin, Sistem Komunikati Indonaia. Cet. II; Qakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 80.

80
resistensinya. Kontrol negara yang begitu powerfull di masa
Orde Baru tidak lagi bisa diberlakukan. Sistem sensor ketat,
pemberedelan media, hingga TV Pool misalnya, menghadapi
perlawanan justru dari insan media. Muara dan nuansa
pemberontakan terhadap rezim kemudian terakumulasi pada
tuntutan demokratisasi penyiaran yang dipersonifikasi pada
revisi UU Penyiaran yang berlaku ketika itu.33
Setelah bangsa Indonesia memasuki era reformasi
sejak dilengserkannya Soeharto dari kursi kekuasaannya
pada tanggal 21 Mei 1998, sistem pers Indonesia pun
kembali ke keadaannya ketika masyarakat Indonesia berada
di era 1945-1959. Itu adalah masa yang sedikit banyak
merupakan masa kebebasan berpikir tidak dirintangi oleh
rambu-rambu sensor, izin-izin, atau larangan-larangan,
meskipun pada tahun 1957 mulai muncul lembaga SIT di
Jakarta.34
Suasana reformasi akhirnya mampu memengaruhi
paradigma para petinggi negara Indonesia tentang arti
kebebasan mengeluarkan pendapat. BJ. Habibie yang pada
21 Mei 1998 itu merupakan Presiden RI pertama yang
membuka kran-kran demokrasi. Pada masa
pemerintahannyalah Undang-undang yang membatasi
kemerdekaan pers dicabut, termasuk pencabutan peraturan
tentang SIUPP, sebagai gantinya diberlakukan UU Pers No. 40
33
Desakan bagi demokratisasi penyiaran mulai bergulir ketika pada
tanggal 7 Juni 2000, 26 anggota DPR yang terdiri dari berbagai fraksi
mengajukan usul inisiatif RUU tentang Penyiaian. Hal ini dimungkinkan
karena sesuai dengan bunyi PeracuranTataTertib DPP-RI Pasal 125 Ayat
(1) menyatakan bahwa, “sekturang-kurangnya 10 (sepuluh) orang
anggota dapat mcngajukan usul rancangan undang-undang usttl inisiatif
Dewan Perwakilan Rakyat.” Berdasarkan penjelasan yang disampaikan
oleh para pengusul pada Rapat Paripurna tanggal 21 Juli 2000, maka
pada tanggal 4 September 2000, masing-masing fraksi dl DPR tciah
membcrikan tanggapan atas usul inisiatif RUU tentang Penyiaran yang
semula bcmpa usul inisiatif beberapa inisiator secara resmi telah berubah
menjadi usul inisiatif DPR-RI. Lih. Muhamad Mufid, Kcmunikasi..., h. 98.
34
Menurut Kusumaningrat, “Ini disebabkan oleh kebtjakan “bunuh
diri” Pimpinan PWI CabangJakarta wakru itu yang mengusulkan kepada
Pimpinan KMKB-DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya) agar
diberlakukan jzin terbit bagi pcncrbitan pers. PWl merasa “terganggu”
dengan bermunculannya penerbitan-penerbitan pers secara bebas untuk
mencari untung dengan menyiarkan berita-berka dan tulisan-tulisan
“ytlfaw preu” Lih. Hikmat Kusumaningrat dan
PurnamaKusumaningrat,/Kr7iia/«ft£; Teori ..., h. 36.

81
Tahun 1999 yang menjamin adanya kebebasan pers, bahkan
dalam pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa
pers nasional berperan dalam memenuhi hak masyakat
untuk mengetahul (people’s right to know) karena hak
informasi itu, demikian bunyi butir (b) konsiderannya,
merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki. 35
Semua kebijakan ini membuka peluang besar dan pintu
kebebasan pers yang sesungguhnya. Eksistensi organisasl
wartawan alternatif seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen)
semakin jelas dibanding PWl Persatuan Wartawan Indonesia),
yang selama masa Soeharto dianggap lebih banyak memihak
atau takut pada kepentingan penguasa.36
Dalam segi jurnalistiknya, terutama dalam hal
pemberitaan, sistem pers Indonesia selama ini pun mirip-
mirip sistem Barat, misalnya dalam caranya memilih dan
menyajikan berita, terutama dengan maksud menarik
perhatian pembaca. Dengan latar belakang sampai batas-
batas tertentu berupa pertimbangan-pertimbangan komersial
untuk meraup oplah atau tiras yang besar. Begitu juga dalam
aspek politik, pers Indonesia mirip-mirip pers Barat atau lebih
tegas lagi, mirip sistem pers Barat dengan organisasi-
organisasi politiknya yang banyak itu yang masing-masing
memiliki, atau sekurang-kurangnya memengaruhi, surat
kabar.

B. Sejarah Perkembangan Kompas dan Republika


a. Sejarah Berdirinya
Berdirinya koran Kompas tidak dapat dilepaskan dengan
konsisi social politik yang melatar belakanginya. Suhu politik
masa orde lama yagn terus memanas mendekati akhir masa
orde lama yaitu menjelang tahun 1965 di mana saat itu
Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kegiatan sepihak,
bahkan menyuarakan perlunya dibentuk angkatan kelima
untuk menghadapl alat-alat keamanan negara yang sah,
ABRI. Dengan dalih land reform PKI (reformasi tanah PKI)
melakukan penyerobotan tanah milik negara. Bersamaan
dengan itu surat kabar Partai Komunis Harian Rakyat yang
35
Undang-Undang RI. No. 40/1999 rentang Pers.
36
Effendi Gazali, dkk., “Pembuat BeritaTV Memandang Lahan serta
Racikan Mereka di Masa Jaya dan Bcrlalunya Rezim Soeharto” dalam Pers
dalam Rfvolmi Mei; Runtuhnya. Sebuah Hegemoni yang dieditori Dedy N.
Hidayac, dkk. (Jakarta: PT Gramcdia Pustaka Utama, 2000), h. 197.

82
termasuk koran kiri dan didukung oleh pemerintah orde lama
dengan cepat mencapai sirkulasi sebanyak 23.000, jumlah
yang sangat signifikan. Harian Rakyat ini tetap eksis menjadi
corong partai sampai saat usaha kup komunis pada 1965 37.
Pada 1965 itu, pers Indonesia mengalami rentetan peristiwa
yang menjadi titik balik dalam konstelasi kekuasaan politik
saat itu. Hal ini merupakan refleksi dari realitas makronya, di
mana kekuatan non komunis, yang terdiri dari militer,
mahasiswa, dan para cendekiawan, berhasil menggulingkan
kekuasaan Orde Lama dan Soekarno. 38 Partai Komunis
Indonesia (PKI), yang saat itu dituduh melakukan kudeta,
dihancurkan oleh kekuatan non komunis. Partainya dilarang,
sejumlah organisasi yang dinilai dekat dengan partai tersebut
juga dilarang, disertai penutupan sejumlah koran yang
diduga berafiliasi kepada kelompok tersebut.39 Pendeknya,
sejumlah pers yang diduga dekat dengan Partai Komunis
akan dihabisi, dan inilah peluang hidup untuk sejumlah pers

37
Edward Cecil Smith, 4 History of Newspaper Suppression in
Indonesia, 1949-1965. Cet. I; (Jakarta: Grafui Pers, 1983), h. 112. TulU.m
ini dari Ph.D. Thesis University of Lowa1969, University Microfilms Inc.,
Ann Arbot Michigan.
38 7
' Tentang hal ini, lihat Ignatius Haryanto, Indonesia Raya Dibredel. Cet. I;
(Yogyakarta: LkiS, 2006), h. 6-7. Lih. pula “Dialog Orang Muda:
Gelombang Nan Tak Kunjung Mencapai Pantai”, Prisma No. 12, Desember
1977, h. 25-47. Bandingkan dengan Ulf Sundhaussen, Politik Militer
Indonesia 1945-65: Menuju Dwifungsi ABRI, Jakarta: LP3ES, 1988), h. 396-
Pada 1 Oktober 1965, sehari setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30
September 1965, sistem dan kehidupan politik di Indonesia mengalami
perubahan. Tetapi perubahan politik yang terjadi hanya mengubah sistem
pers Indonesia dan sistem pers otoriter yang terselubung ke sistem pers
otoriter yang terang-terangan. Jenderal Soeharto yang berhasil
mengambil alih kekuasaan atas kendali pemerintahan dan kemudian
dikukuhkan menjadi Presiden Rl ke-2 pada tahun 1967, mencanangkan
untuk melaksanakan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Tetapi, pasal
28 konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat itu namun saja
tidak dijalankan sccara konsekuen.
39
Salah satu gambarannya bisa didapatkan dari karya Kerry W. Groves,
Harian Rakyat, Daily Newspaper of the Communist Party of Indonesia; Its
History and Role, tesis master dari Australian National University, 1983;
juga Tribuana Said dan DS Moeljamo, Perlawanan Pers Indonesia BPS
terhadap Gerakan PKI, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983). Lihat Juga
polemik panjang antara suiat kabar Merdeka yang nasionalis dan Harian
Rakyat dari Partai: Komunis pada BM Diah, Meluruskan Sejarah, (Jakarta:
Pustaka Merdeka, 1987). Lih. rangkuman Ignatius Haryanto, Indonesia
Raya...., h. 7.

83
non komunis. Seleksi telah dilakukan dan saringan ideologis
ditetapkan.
Pada tahun itu pula mulai muncul sejumlah pers
berideologi nonkomunis menjelang peralihan kekuasaan
pada Maret 1966. Surat kabar seperti Berita Yudha muncul
sejak 9 Februari 1965, sedangkan Angkatan Bersenjata
menyusul kemudian pada 15 Maret tahun itu juga. PK Ojong
dan Jakob Oetama kemudian menggarap ide tersebut dan
mempersiapkan penerbitan sebuah koran. Semula nama
yang dipilih “Bentara Rakyat,” penggunaan nama itu
dimaksudkan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa
pembela rakyat yang sebenarnya bukanlah PKI. Dalam suatu
keperluan dinas Frans Seda yang saat itu menjadi Menteri
Perkebunan (1964-1966) menghadap Presiden Soekarno di
Istana Merdeka, Soekarno telah mendengar bahwa Seda
akan menerbitkan sebuah koran lalu menyarankan nama
(Kompas) “pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan
atau hutan rimba.” Maka jadilah nama harian Kompas hingga
saat ini, sementara nama Yayasan Bentara Rakyat sebagai
penerbit harian Kompas. Para pendiri Yayasan Bentara
Rakyat adalah para pemimpin organisasi Katolik seperti:
Partai Katolik, Wanita Katolik, PMKRT, dan PK. Ojong.
Pengurus yayasan terdiri dari Ketua: I. J. Kasimo, Wakil Ketua:
Drs. Frans Seda, Penulis I: F. C. Palaunsuka, Penulis II: Jakob
Oetama, dan Bendahara: PK Ojong.
Walaupun mendapat restu dari Presiden Soekarno, berkat
dari Mgr. Soegijapranoto, dan bantuan dari pimpinan
Angkatan Darat, proses izin terbit tetap mengalami kesulitan.
PKI dan kaki tangannya menguasai aparatur, khususnya
Departemen Penerangan Pusat dan daerah. PKI tidak
mentolerir sebuah harian yang akan menjadi saingan berat.
Tahap demi tahap rintangan dapat diatasi, pusat memberi
izin prinsip namun harus dikonfirmasikan ke Daerah Militer V
Jaya. Persyaratan terakhir untuk dapat terbit, harus ada bukti
3.000 (tiga ribu) orang pelanggan. Akhirnya Frans Seda
punya inisiatif untuk mengumpulkan tanda tangan anggota
partai, guru sekolah, anggota-anggota koperasi Kopra Primer
di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten
Flores Timur. Dalam waktu singkat daftar 3.000 pelanggan
lengkap dengan alamat dan tanda tangan terkumpul. Bagian
perizinan Puskodam V Jaya menyerah dan mengeluarkan izin

84
terbit. Pers PKI yang melihat kehadiran Kompas bereaksi
keras, bahkan mulai menghasut masyarakat dengan
menyebut Kompas sebagai “Komando Pastor.”40
Perjalanan Kompas tidak mulus. Tiga bulan setelah
Kompas terbit terjadi musibah, seiring dengan
pemberontakan G30S/PKI pada tanggal 30 September 1965,
Kompas dan seluruh media massa cetak lainya dilarang
untuk terbit dari tanggal 2-6 Oktober 1965. Hanya dua surat
kabar dan dua kantor berita yang diizinkan terbit, yakni:
surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha serta
LKBN Antara dan Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB).
Setelah suasana tenang, Kompas dan beberapa surat kabar
lainnya boleh terbit kembali. Pada pertengahan tahun 1972,
Kompas dan lima surat kabar ibukota lainnya melanggar
“ranjau” dan terkena larangan terbit selama dua minggu. 41
Dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Pers tahun 1982 dan
diberlakukannya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP),
semua penerbitan pers di Indonesia diwajibkan berbadan
hukum. Ketentuan tersebut semakin ikut mendewasakan
kehadiran surat kabar ini. Sesuai ketentuan, penerbitannya
segera dialihkan dari Yayasan Bentara Rakyat ke PT Kompas
Media Nusantara. Maka sejak diberlakukannya SIUUP,
Kompas berdiri berdasarkan SK Menpen
No.013/SK/Menpen/SIUUP/A.7/1985 pada tanggal 10
November 1985. Kompas kemudian diterbitkan oleh PT
Kompas Media Nusantara yang berada di bawah naungan
Kelompok Kompas-Gramedia, sebuah kelompok yang
membawahi lebih dari 38 perusahaan, baik perusahaan
cetak, penerbitan, stasiun radio, supermarket, dan lain-lain. 42

a. Motto, Visi dan Misi Kompas


Setiap media mempunyai pegangan (panduan) news
value-nya sendiri-sendiri, yang secara periodik ditinjau untuk
disesuaikan dengan perubahan dan tuntutan masyarakat,
sejalan dengan prinsip media news that they want to use.
Semua wartawan dan orang yang bekerja di dalamnya perlu
paham dan berpegang pada panduan itu. Berpegang pada
panduan, nilai berita dan kemampuan wartawan menilai

40

41
(Nurkholis, 2008: 61).
42
(Rachman,2008:72-73).

85
(membuat judgment) secara profesional, tersaji berita yang
mempunyai news value tinggi atau menurut Jakob Oetama
yang dikutip Sularto adalah “bermakna.”43
Motto Kompas adalah “Amanat Hati Nurani Rakyat” di
bawah logo Kompas, menggambarkan visi dan misi bagi
disuarakannya hati nurani rakyat. Berangkat dari visi dan
misi ini, Oetama sebagaimana yang dikutip oleh Dewabrata
mengatakan bahwa “Berita harus bermutu, harus
mengangkat persoalan yang ada dalam masyarakat, harus
memanusiakan manusia, membela hak asasi manusia.” 44
Sedangkan Swantoro selaku Wakil Pimred Kompas
menafsirkan pesan Oetama di atas bahwa, “Mutu di sini
bukan hanya isinya, tetapi juga cara menyajikannya.”45
Menurut Santoso, Kompas ingin berkembang sebagai
institusi pers yang mengedepankan keterbukaan,
meninggalkan pengkotakan latar belakang suku, agama, ras
dan golongan. Ingin berkembang sebagai “Indonesia mini,”
karena Kompas sendiri adalah lembaga yang terbuka,
kolektif. Ingin ikut serta dalam upaya mencerdaskan bangsa.
Kompas ingin rnenempatkan kemanusiaan sebagai nilai
tertinggal46, mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada
nilai-nilai yang transenden atau mengatasi kepentingan
kelompok. Rumusan bakunya adalah “humanisme
transdental.” “Kata Hati Mata Hati,” pepatah yang kemudian
ditemukan, menegaskan semangat empati (sama perasaan
dengan orang lain) dan compassion Kompas.47
Visi Kompas adalah “Menjadi institusi yang memberikan
pencerahan bagi perkembangan masyarakat indonesia yang
demokratis dan bermartabat, serta menjunjung tinggi asas
dan nilai kemanusiaan”. Dalam kiprahnya di industri pers
43
Sr. Sularto (ed.), Kompas, ..., h. 63.
44
A.M. Dewabrata, Kalimat Jurnalistik;..., h. xii.
45
A.M. Dewabrata, Kalimat Jurnalistik;..., h. xii.
46
Dalam Kompas, hinggaFebruari 2007, ada nilai namun dalam tulisan ini
diringkas nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, yaitu (1)
menghargai manusia dan nilai-nilai kcmanusiaan sesuai dengan harkat
dan martabatnya; (2) mengutamakan watak baik; (3) profesionalisme; (4)
semangat kerja tim; (5) berorientasi pada kepuasan konsumen (pembaca,
pengiklan, mitra kerja penerima proses selanjutya); (6) tanggung jawab
sosial. Dengan nilai-nilai dasar inilah dirumuskan visi dan misi Kompas.
Lih. St. Sularto, “Dari Sang Pemula ke Sang Pengibar Bendera,” dalam St.
Sularto (ed.), Kompas, Menulis..., h. 65-66,
47
F. A. Santoso, Kompas dalam Sejarah.. .h. 146-147.

86
“Visi Kompas” berpartisipasi membangun masyarakat
Indonesia baru berdasarkan Pancasila melalui prinsip
humanisme transendental (persatuan dalam perbedaan)
dengan menghormati individu dan masyarakat adil dan
makmur. Secara lebih spesifik bisa diuraikan sebagai berikut.
Pertama, Kompas adalah lembaga pers yang bersifat umum
dan terbuka; kedua, Kompas tidak melibatkan diri dalam
kelompok-kelompok tertentu baik politik, agama, sosial, atau
golongan, ekonomi; ketiga, Kompas secara aktif membuka
dialog dan berinteraksi positip dengan segala kelompok;
keempat, Kompas adalah Koran nasional yang berusaha
mewujudkan aspirasi dan cita-cita bangsa; kelima, Kompas
bersifat luas dan bebas dalam pandangan yang
dikembangkan tetapi selalu memperhatikan konteks struktur
kemasyarakatan dan pemerintahan yang menjadi
lingkungan. 48

Misi Kompas adalah “Mengantisipasi dan Merespon


Dinamika Masyarakat secara Profesional, sekaligus Memberi
Arah Perubahan (Trend Setter) dengan Menyediakan dan
Menyebarluaskan Informasi Terpercaya.”49 Kompas berperan
serta ikut mencerdaskan bangsa, menjadi nomor satu dalam
semua usaha diantara usaha-usaha lain yang sejenis dalam
kelas yang sama. Hal tersebut dicapai melalui etika usaha
bersih dengan melakukan kerja sama dengan perusahaan-
perusahaan lain. Hal ini dijabarkan dalam 5 sasaran
operasional yaitu pertama, Kompas memberikan informasi
yang berkualitas dengan beberapa ciri yaitu cepat, cermat,
utuh, dan selalu mengandung makna; kedua, Kompas
memilikl bobot jurnalistik yang tinggi dan terus
dikembangkan untuk mewujudkan aspirasi dan selera
terhormat yang dicerminkan dalam gaya kompak,
komunikatif dan kaya nuansa kehidupan dan kemanusiaan;
ketiga, kualitas informasi dan bobot jurnalistik dicapai melalui
upaya intelektual yang penuh empati dengan pendekatan
rasional, memahami jalan pikiran dan argumentasi pihak lain,
selalu berusaha mendudukan persoalan dengan penuh
pertimbangan tetapi tetap kritis dan teguh pada prinsip;
keempat, berusaha menyebarkan informasi seluas-luasnya

48
(Kompas Company Profile, 2007).
F. A. Santoso, Kbmpas dalam Sejarah... h. 147. (Kompas Company
49

Profile, 2007).

87
dengan meningkatkan tiras. Untuk dapat merealisasikan visi
dan misi Kompas harus memperoleh keuntungan dan usaha.
Namun keuntungan yang dicarl bukan sekedar demi
keuntungan itu sendiri tetapi menunjang kehidupan layak
bagi karyawan dan pengembangan usaha sehingga mampu
melaksanakan tanggung jawab sosialnya sebagai
perusahaan.50

d. Struktur Organisasi
PT. Kompas Media Nusantara adalah lembaga media
massa, pemimpin tertinggi adalah Pemimpm Umum,
Pemimpin Umum dibantu oleh Wakil Pemimpin Umum Bidang
Non Bisnis dan Wakil Pemimpin Umum Bidang Bisms, lalu ada
Pemimpin Redaksi yang bertanggung jawab bidang redaksi,
dan Pemimpin Perusahaan yang bertanggung jawab bidang
bisnis. Dibawah Pemimpin Redaksi ada Redaktur Pelaksana
dan dibawahnya terdapat Kepala Desk, Kepala Biro dan
paling bawah adalah reporter. Di bidang bisnis, dibawah
Pemimpin Perusahaan ada General Manajer Iklan dan General
Sirkulasi, dan General Manajer marketing communication. Di
antara dua bidang itu, ada bagian Penelitian dan
Pengembangan, Direktorat SDM-Umum, dan Teknologi
Informasi. Mereka sifarnya supporting dan di bawah supervisi
Wakil Pemimpin Umum non bisnis, sementara untuk
Pemimpin Perusahaan disupervisi Wakil Pemimpin Umum
bidang bisnis.51
Pembagian dalam Struktur Organisasl ini, dimaksudkan
untuk memudahkan pembagian sistem kerja. “Produk”
Kompas yang dihasilkan itu merupakan hasil kerja sinergi
dari unit-unit yang ada dalam struktur organisasi. Produk
kompas adalah Koran dan berita. Adapun tahap manajemen
produk itu adalah sebagai berikut:
BidangRedaksi:Perencanaan, Pengorganisasian, Pelaksanaan,
Pengcvaluasian; (b) Direktorat SDM-Umum; (c) Bidang
Penelitian & Pengembangan; (d) Bidang Teknologi Informasi;
(e) Bidang Bisnis.52

e. Perkembangan dan Usaha Lain

50

51
F. A. Santoso, Kompas dalam Sejarah... h. 151.
52
F. A. Santoso, Kompas dalam Sejarah...h. 151.

88
Dari segi usaha (perusahaan), dalam diversifikasi usaha
pada tahun 1989 harian Kompas di bawah bendera Kelompok
Kompas Group (KKG) tumbuh dan berkembang dengan pesat,
malahan telah berkembang di bidang usaha lain, di mana
harian ini bernaung di bawah payung PT. Gramedia, dan
menjadi dua bidang; (1) PT. Kompas Media Nusantara
bergerak dalam bisnis media. (2) PT. Transito Asri Media
bergerak dalam bidang non-media, yaitu bidang asuransi,
periklanan, bank, perhotelan, supermarket, dan sebagainya.53
Begitu pula,dan segi pemilikan, yaitu Jakob Oetama, Frans
Seda, dan P. Swantoro. Sedangkan untuk pemilikan bersama
dikelola bersama oleh Yayasan Bentara Rakyat, Yayasan
Kompas Gramedia, PT. Gramedia, dan PT. Transito Asri
Media.
Kompas telah memiliki kantor perwakilan hampir di
seluruh kota-kota besar Indonesia diantaranya: Bandung,
Solo, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pontianak dan
Medan. Sedangkan untuk mempermudah proses peliputan
berita Kompas mengadakan kerjasama antara lain dengan
koran-koran daerah serta kantor berita seperti ANTARA, KNI,
Reuters, AP dan AFP. Bahkan Kompas juga beredar di luar
negeri antara lain di Amerika Serikat, Canada, Inggris,
Perancis, Jerman, Belanda, Italia, Austria, Swiss, Bangladesh,
Pakistan, Jepang, Korea, Cina, Bangkok, Arab Saudi, Australia
dan Selandia baru. Kompas juga memiliki Kelompok Usaha
Pers Daerah (Persda) yang menerbitkan surat kabar daerah.
Sedikitnya 23 penerbitan yang berada dibawah Kelompok
Kompas Gramedia, antara lain: Sriwijaya Pos, Bernas, Surya,
Pos Kupang, Banjarmasin Post (harian); Hoplaa Bola, Citra,
Kontan, Otomotif, Raket, Warta Pramuka, Bobo, HAI, Hidup,
Jakarta-Jakarta, Kawanku, Nova (mingguan); Info Komputer
(tengah bulanan); Foto Media, Intisari (bulanan), Product and
Industry (Dwi bulanan) (Sutrisno dalam Hamad, 2004:117).

e. Kebijakan Redaksi Dan Produksi

Walaupun beberapa pendapat mengemukakan bahwa


harian Kompas merupakan surat kabar membawa misi

Daniel Dhakidae, “The State, The Rise of Capirai and The Fall of Political
53

Economy Journalism: Political Economy of lndonesian News Industry,”


Disertasi; Cornell Universiry,1991,h. 340.

89
Katholik, tetapi secara jujur harus diakui bahwa dengan
sentuhan humanisme transedental yang disajikan dalam
menu pemberitaan Kompas, seakan-akan misi yang diemban
untuk semua golongan. kebesaran harian ini yang mampu
menciptakan toleransi dalam melihat humanisme
transedental yang dapat melahirkan kerukunan umat
beragama di tanah air. Apa yang diberikan oleh Kompas,
tidak semua surat kabar yang terbit di Indonesia dapat
melakukannya.
Untuk melihat bagaimana kru atau individu harian
Kompas sebagai produksi teks, berikut ini akan dipaparkan
beberapa sisi sosial dan cara kerja wartawan dan redaksi,
khususnya yang berkaitan dengan proses pemberitaan fatwa
politik MUI.
Sebagai koran yang mengedepankan keterbukaan,
meninggalkan pengotakan latar belakang suku, agama ras,
dan golongan, Kompas mengarahkan kebijakan redaksional
penulisan berita pada upaya penciptaan sikap terbuka,
toleran, dan kritis bagi para pembacanya. Lewat berita,
Kompas ingin menempatkan manusia dan kemanusiaan,
aspirasi dan hasrat, keagungan dan kehinaannya sebagai
faktor sentral, Oleh karena itu, penulisan-penulisan pada
surat kabar ini senantiasa peka akan nasib manusia yang
sekaligus jadi pegangan klasik jurnalistik “menghibur yang
papa mengingatkan yang mapan.”54 Dimensi kemanusiaan
itu diperkaya, maknanya diperdalam secara sadar,
diteguhkan dan diberi inspirasi oleh pluralisme pemikiran.
Kompas berusaha akrif membuka dialog, membuka interaksi
positif pandangan dan keyakinan yang menjadi konteks
besar Indonesia. Dengan kebijakan ini, Kompas tidak lagi
sekadar menyampaikan informasi, tetapi terutama
mendudukkan soal pada tempatnya. Inilah garis kebijakan
utama yang ditetapkan oleh redaksi dalam seriap
penulisannya. Kebijakan ini sejalan dengan visi dan misi
Kompas,
Kebijakan redaksional seperti ini yang kemudian menjadi
arahan bagi para jurnalis Kompas untuk turun ke lapangan
mencari bahan berita dan menjadi pertimbangan bagi dewan
redaksi untuk menurunkan tulisan, memilih sumber berita,
menentukan judul berita, menempatkan suatu berita, dan
54
Brosur 35 tahun Kompas 2000.

90
sejenisnya dalam setiap episode yang ditulis oleh harian
Kompas.55 Untuk itu, setiap pagi dewan redaksi melakukan
rapat untuk menentukan laporan utama yang akan
ditumnkan esok pagi. Berdasarkan rapat ini, dewan redaksi
akan mencari bahan-bahan tulisan; wawancara,data
lapangan, analisis pakar, dan sebagainya. Bahan-bahan itu,
kemudian redaktur melakukan kompilasi dan seleksi untuk
dijadikan tulisan yang mencerminkan kebijakan redaksional
dan visi misi Kompas. Biasanya, pertemuan kecil juga
dilakukan pada sore hari menjelang deadline untuk
melakukan evaluasi atau mencari informasi tambahan yang
diperlukan untuk penulisan.56
Demikian sekilas mengenai profil dan sejarah harian
Kompas. Dilihat dari sejarah dan profilnya, harian Kompas
memiliki sejarah yang cukup panjang dengan pergumulan
yang cukup intens. Sejarah panjang dan intensitas
pergumulan inilahyang menyebabkan harian Kompas
memiliki pengalaman yang matang sebagai sebuah media
massa. Namun demikian, meskipun Kompas berusaha
menyajikan berita secara objektif, valid, terbuka, dan jujur.
Stigmatisasi Kompas sebagai harian Katolik masih melekat di
kalangan sebagian masyarakat Indonesia, khususnyadi
kalangan Islam garis keras.57
Kebijakan redaksional (editorial policy) suatu media
merupakan penjabaran dari tujuan media yang mendasari
langkah media dalam menyaksikan informasi. Selain tujuan
media, kondisi objektif pembaca juga menjadi pertimbangan
dalam menentukan kebijakan redaksional. Kebijakan
redaksional ini menjadi tolak ukur dari standar kelayakan
suatu informasi yang akan ditampilkan dalam media. Melihat
dari motto yang dimiliki, Kompas mengidentifikasi dirinya
sebagai pembawa kepentingan dan suara hati rakyat, maka
seluruh kegiatan dan keputusan Kompas berdasarkan pada
nilai-nilai dasar yaitu: 1) menghargai manusia dan nilai-nilai
kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabatnya, 2)
mengutamakan watak baik, 3) profesionalisme, 4) semangat
55
Wawancara Arifatul C. Fauzi dengan Rikard Bagun, Wapemred Kompas,
28 Januari 2003, di Kantor harian Kampas. Lih. Arifatul Choiri Fauzi,
Kabar-Kabar Kekerasan Dari Bali. Cct.I; (Yogyakana: LKiS, 2007), h. 218.
56

57
Khusus uraian ini dapat disimak Arifatul Choiri Fauzi, Kabar-.... h. 217-
220.

91
kerja tim, 5) berorientasi pada kepuasan konsumen
(pembaca, pengiklan, mitra kerja penerima proses
selanjutnya), dan 6) tanggung jawab social.58
Dilihat dari mottonya yaitu Amanat Hati Nurani Rakyat,
yang berarti bahwa Kompas menunjukkan keberpihakannya
terhadap rakyat dalam arti mementingkan kepentingan
orang banyak. Dari motto yang dimiliki dapat disimpulkan
bahwa Kompas mengembangkan misi dalam
pemberitaannya yang mengarah pada kepentingan umum
dan bukan pada kepentingan individu atau golongan.59
Dalam setiap pemberitaannya, Kompas ingin
menempatkan kemanusiaan sebagai nilai tertinggi,
mengarahkan fokus perhatian dan tujuan pada nilai-nilai
transenden atau mengatasi kepentingan kelompok, dengan
rumusan bakunya adalah “humanisme transendental” .60
Kompas dalam kerja jurnalistiknya mempunyai visi dan misi
yang menjadi landasan serta acuan langkahnya. Selain itu,
keterikatan tradisional tidaklah hilang begitu saja, terutama
ideologi yang menjadi dasar kebijakan politisnya. Secara
umum Kompas menyatakan diri sebagai surat kabar yang
independen dan mencoba lebih obyektif dalam setiap
pemberitaannya. Kompas menyebut dirinya merupakan
penengah dari berbagai aliran politik yang ada dalam
masyarakat.61 Visi Kompas tercermin dari motto”Amanat hati
Nurani Rakyat” dan slogannya yaitu “Buka Mata Buka
Telinga”, Kompas mengidentifikasikan dirinya sebagai
kepentingan dan suara hati rakyat.. Kompas ingin menjadi
jembatan antara suprastruktur dan infrastruktur, yaitu
rakyat.62
Namun dalam kenyataannya visi politik Kompas segera
terpengaruh dengan atmosfir politik negara. Terutama
dengan kuat lemahnya negara. Dalam masa Orde Baru
(ORBA), Kompas memilih untuk lebih kompronis terhadap
pemerintah. Walaupun secara tidak langsung Kompas telah
melakukan konfrontasi terhadap pemerintah dan tidak
terlibat kontroversi. Sedangkan, setelah ORBA runtuh,
58
(Oetama, 2007:65-66).
59
(Kompas Company Profile, 2007).
60
(Hamad, 2004:116).
61
(Nugroho, 1999:221).
62
(Kompas Company Profile, 2007).

92
Kompas berusaha menempatkan dirinya sebagai anjing
penjaga.63 Walaupun pada mulanya Kompas berafiliasi pada
Partai Katolik, namun visi kemasyarakatan koran haruslah
terbuka. Visi dan sikap itulah selain sesuai dengan keyakinan
pimpinan, juga cocok dengan fungsi pers di Indonesia, yakni
ikut mengembangkan dan saling pengertian dalam
masyarakat.
c. Gaya Pemberitaan

Dilihat dari mottonya yaitu Amanat Hati Nurani Rakyat,


yang berarti bahwa Kompas menunjukkan keberpihakannya
terhadap rakyat dalam arti mementingkan kepentingan
orang banyak. Dari motto yang dimiliki dapat disimpulkan
bahwa Kompas mengembangkan misi dalam
pemberitaannya yang mengarah pada kepentingan umum
dan bukan pada kepentingan individu atau golongan. 64
Dalam setiap pemberitaannya, Kompas ingin menempatkan
kemanusiaan sebagai nilai tertinggi, mengarahkan fokus
perhatian dan tujuan pada nilai-nilai transenden atau
mengatasi kepentingan kelompok, dengan rumusan bakunya
adalah “humanisme transendental”. 65Kompas dalam kerja
jurnalistiknya mempunyai visi dan misi yang menjadi
landasan serta acuan langkahnya. Selain itu, keterikatan
tradisional tidaklah hilang begitu saja, terutama ideologi
yang menjadi dasar kebijakan politisnya.
Secara umum Kompas menyatakan diri sebagai surat
kabar yang independen dan mencoba lebih obyektif dalam
setiap pemberitaannya. Kompas menyebut dirinya
merupakan penengah dari berbagai aliran politik yang ada
dalam.66 Visi Kompas tercermin dari motto”Amanat hati
Nurani Rakyat” dan slogannya yaitu “Buka Mata Buka
Telinga”, Kompas mengidentifikasikan dirinya sebagai
kepentingan dan suara hati rakyat.. Kompas ingin menjadi
jembatan antara suprastruktur dan infrastruktur, yaitu rakyat
(Kompas Company Profile, 2007). Namun dalam
kenyataannya visi politik Kompas segera terpengaruh
dengan atmosfir politik negara. Terutama dengan kuat

63
(http://www.pantau.or.id/txt/21/14.html, diakses 8 Desember 2009).
64
(Kompas Company Profile, 2007)
65
(Hamad, 2004:116).
66
masyarakat (Nugroho, 1999:221).

93
lemahnya negara. Dalam masa Orde Baru (ORBA), Kompas
memilih untuk lebih kompronis terhadap pemerintah.
Walaupun secara tidak langsung Kompas telah melakukan
konfrontasi terhadap pemerintah dan tidak terlibat
kontroversi. Sedangkan, setelah ORBA runtuh, Kompas
berusaha menempatkan dirinya sebagai anjing penjaga
(http://www.pantau.or.id/txt/21/14.html, diakses 8 Desember
2009).Walaupun pada mulanya Kompas berafiliasi pada
Partai Katolik, namun visi kemasyarakatan koran haruslah
terbuka. Visi dan sikap itulah selain sesuai dengan keyakinan
pimpinan, juga cocok dengan fungsi pers di Indonesia, yakni
ikut mengembangkan dan saling pengertian dalam
masyarakat.
Apabila surat kabar ini dilihat dari mottonya yaitu Amanat
Hati Nurani Rakyat ini berarti semboyan harian Kompas
menunjukkan “keberpihakan” kepada rakyat, dalam arti
mementingkan kepentingan pembaca. Motto ini dapat juga
disimpulkan Kompas mengembangkan misinya dalam
pemberitaannya selalu mengarah kepada kepentingan umum
dan bukan kepada kepentingan golongan atau penguasa.
Misi Kompas yang independen itu, tentunya menu
pemberitaannya sangat dirasakan oleh pembacanya.
Terutama sekali dalam menuangkan pemberitaan baik itu
penulisan berita maupun opini yang selalu menggunakan
bahasa jurnalistik yang menekankan pada faktor
kemanusiaan dan berpegang dengan ungkapan klasik
jurnalistik: menghibur, mengingatkan yang mapan.67
Adanya sikap demikian yang dimiliki oleh Kompas, harian
ini mencoba dalam pemberitaannya berusaha selalu bersikap
seobjektif mungkin dan membela apa yang menjadi cita-cita
dan keinginan rakyat banyak. Dari pengamatan selama ini
pula cara-cara tersebut ingin tetap dipertahankan terus-
menerus, walaupun pada umumnya sifat objektif ini lebih
tercermin di dalam penulisan tajuk beritanya.68 Namun perlu
di simak dalam perjalanan sejarah harian Kompas dengan
gaya penulisan objektif dan penuh kehati-hatian, terkesan
kurang “berani” dalam mengontrol atau memperjuangkan
67
De jong (1990) dalam Abdurrachman Surjomiharjo, Sejarah Pers
Indonesia, (Jakarta: Buklet Kompas, diterbitkan dalam rangka
memperingati Hari Pers Nasional 1992), h. 14.
68
Harsono Suwardi, dalam Abdurrachman Surjomiharjo, Sejarah Pers.... , h.
275—276,

94
demokrasi politik di negara yang menganut paham
demokrasi Pancasila, di samping itu juga, Kompas belum
maksimal menjalankan sebagai saluran komunikasi politik.
Padahal,di sisi lain, harian Kompas tidak hanya sebagal
newspaper tetapi juga sebagai viewpaper. Dalam kaitan
tersebut, walaupun Kompas dalam gaya penulisannya penuh
kehati-hatian, tetapi dalam usahanya bertmdak sebagai
viewpaper, harian inl pernah mendapatkan peringatan keras
dari penguasa. Tepatnya, pada tahun 1978 harian Kompas
nyaris dibredel oleh penguasa pada waktu itu, karena
kepekaannya dalam memberitakan kasus kepala negara atau
berha yang menghina kepala negara dan keluarganya.
Untung saja harian Kompas mau mengakui kesalahannya dan
meminta maaf sekaligus menandatangani dua surat yang
ditujukan kepada Pangkopkamtib dan Soeharto.
Memang tidak dapat disangkal, melihat awal berdirinya
dan peletak dasar harian Kompas tidak terlepas dari
pendirinya yaitu Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama.
Kedua pendiri tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya
jurnalistik Cina dan Katholik Jawa, dan pada waktu itu yang
menampilkan darT”membawakan suara Partai Katholik. 69
Perpaduan kedua tokoh tersebut menunjukkan kekompakan
dan mampu bertahan hingga Kompas menjadi surat kabar
terbesar, dan spesifik lagi apabila membaca harian Kompas
ada nuansa humanisme transedental.70 Di mana Jakob
Oetama memberi arti humanisme transedental yaitu
menempatkan manusia pada pusat filosofi. Gambaran Jakob
Oetama, Kompas mampu menuangkan berita dalam
sentuhan kemanusiaan sehingga pembacanya dapat
memberikan informasi yang sangat dibutuhkannya.
Oleh karena itu, bila dilihat dari menu penyajian
beritanya selalu menjaga objektivitas dalam bentuk bahasa
yang sederhana dan juga mampu mengutamakan
kepentingan orang banyak. Yang jelas, Kompas dengan
segala kelebihan dan kekurangannya, harian ini mampu
bertahan dan dapat menjaga eksistensi sebagai surat kabar
yang dapat membawa Amanat Hati Nurani Rakyat, sesuai
dengan motto yang diembannya.

69
Buklet Kompas, Hari Pers...h. 10-35.
70
Buklet Kompas, Hari Pers.. .h. 10-35.

95
2. Sejarah dan perkembangan republika

a. Latar belakang
Hadirnya republika di tanah air tidak lepas dari pergolakan
politik yang menyertainya saat itu. Masa dimana politik umat
Islam mulai mendapat angin segar dari pemerintah orde baru
setelah sekian lama termarjinalkan dengan beragam pola
dan peristiwa. Harian Republika juga hadir dalam konteks
keprihatinan para tokoh Islam yang melihat belum adanya
satupun media atau pers Islam dalam kehidupan pers
nasional yang berpengaruh secara signifikan. Kenyataan itu,
berlangsung sampai tahun 1990. Hill menyebutkan
keheranan para pengamat asing melihat fenomena ketiadaan
pers Islam yang berpengaruh itu, mengingat dalam setting
sosiologis hampir 80 pendudukIndonesia adalah Muslim.
Sejak di bredelnya harian Abadi pada tahun 1974, pers Islam
termarginalisasi, kalah bersaing dengan pers yang lebih
profesional dan kalangan sekuler dan kepentingan Kristen.71
ICMI72 (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) sebuah
organisasi cendikiawan muslim muncul sebagai penggagas
berdirinya harian Republika ini. Diawali dengan
diselenggarakannya seminar tentang pers Islam oleh ICMI
tanggal 28 November 1991. Seminar ini merekomendasikan
agar muncul media Islam yang cukup kuat baik dari segi
pengaruh sosial politik maupun dari aspek bisnis untuk
mengatasi ketimpangan pers Islam sebelumnya.
Gagasan ICMI ini ternyata mendapat sambutan hangat
dari Presiden Soeharto sewaktu para pengurus ICMI

71
David T.Hill, The Press...,h. 124-125.
72
Kelahiran ICMI termasuk menentukan sejarah umat Islam
Indonesia. Secara perlahan-lahan, aspirasi umat Islam akan mewarnai
berbagai pengambilan keputusan. ICMI akan menjadi platform mimbar
bersama untuk menghimpun gagasan-gagasan para cendekiawan
Muslim. ICMI bukan gerakan politis, walaupun gagasan-gagasannya
mempunyal dampak politis. ICMI juga bukan gerakan ideologis, walaupun
terikat pada komitmen Islam. ICMl juga bukan menghidupkan
primordlalisme, karena ICMI menyumbangkan pemikirannya untuk
seluruh bangsa; walaupun, tentu saja, selain yang ber-KTP Muslim tidak
diperkenankan menjadi anggota. Dalam bahasa Azyumardi Azra, dalam
Berita Buana 7 Descmber 1990 yang dikutip Rakhmat, bahwa ICMI
menjadi brain-tust pemerintah Orde Baru pada waktu yang akan datang.
Lih. Jalaluddin Rakhmac, Islam Aktual Refleksi Sosial Seorang
Cendekiawan Muslim. Cet. X; (Bandung: Mizan, 1998), h. 101-102.

96
menghadap presiden dalam rangka peluncuran harian
Republika, yang sebelumnya akan diberinama Republik. Atas
ide dari Presiden Soeharto disarankan untuk mengganti nama
menjadi “Republika”. Sehubungan dengan UU Pokok Pers, di
mana penerbitan pers harus berbadan usaha. Maka untuk itu
dibuatlah sebuah PT Abdi Bangsa pada 28 November 1992.
Selang sebulan tepatnya 19 desember 1992 Republika
memperoleh SIUPP dan mulai resmi berdiri dengan
diterbitkannya Republika secara perdana pada tanggal 4
januari 1993.
Harapan itu menjadi kenyataan dengan lahirnya
Republika. pada tahun 1993. Republika mencoba untuk tidak
mengulangi kegagalan pers Islam sebelumnya, misalnya
dengan mencoba meretas persoalan klasik, seperti
bagaimana mengedepankan misi Islam dalam sebuah negara
yang sangat state centered (yang sangat
sentralistik/otoriter). Dalam konteks jurnalisme, bagaimana
menerapkan kaidah pemberitaan yang profesional tanpa
meninggalkan misi keislaman. Bagaimana memformulasikan
peran surat kabar Islam daripada terjebak dalam perilaku
partisan yang eksplisit. Islam ditampilkan secara sublim
(mulia) dan subtil (lembut/lembut) dalam berita-beritanya
yang diibaratkan sebagai nafas yaitu tidak terlihat tetapi
terasa. Artinya, Republika mencoba untuk menampilkan
Islam secara substantif dalam sajian isinya. Islam yang
ditampilkan adalah Islam yang kosmopolitan. Republika
berusaha agar produknya tidak hanya ditujukan untuk
mendukung partai politik atau orang saleh belaka, tetapi
untuk orang-orang yang belum mantap imannya dan ogah
dengan seruan moralistik.73

Motto, visi dan misi


Menyimak motto harian Republika, “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa. Motto tersebut didasarkan pada
kehendak untuk mewujudkan media massa yang mendorong
bangsa menjadi kritis dan berkualitas.74Adanya tujuan yang
ingin dicapai searah dengan tujuan, cita-cita, dan program
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMl) yang dibentuk
pada tanggal 7 Desember 1990, yaitu mewujudkan
73

74
Anonim, Perkembangan.... h. 5-6.

97
penyebaran program ICMl ke seluruh Indonesia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program 5 K, yaitu
kualitas iman, kualitas hidup, kualitas karya, kualitas kerja,
dan kualitas pikir.75
Visi Republika adalah menjadikan harian Republika
sebagai koran umat yang terpercaya dan mengedepankan
nilai-nilai universal yang sejuk, toleran, damai, cerdas, dan
profesional, namun mempunyai prinsip dalam
keterlibatannya menjaga persatuan bangsa dan kepentingan
umat Islam yang berdasarkan pemahaman rahmatan li al-
alamin.76
Misi Republika terdiri dari lima sikap yaitu sikap umum:
(1) menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, (2) membela,
melindungi, dan melayani kepentingan umat; (3) mengkritisi
tanpa menyakiti; (4) mencerdaskan, mendidik, dan
mencerahkan; (5) berwawasan kebangsaan. Politik: (1)
mengembangkan demokrasi; (2) optimalisasi peran lembaga-
lembaga negara; (3) mendorong partlsipasi politik semua
lapisan masyarakat; (4) mengutamakan kejujuran dan
moralitas dalam politik; (5) penghargaan terhadap hak-hak
sipil; (6) mendorong terbentuknya pemerintahan yang bersih.
Ekonomi: (1) mendukung keterbukaan dan demokrasi
ekonomi; (2) mempromosikan profesionalisme; (3) berpihak
pada kepentingan ekonomi domestik dan pengaruh
globalisasi; (4) pemerataan sumber-sumber daya ekonomi;
(5) mempromosikan etika dan moral dalam berbisnis; (6)
mengembangkan ekonomi syariah; (7) berpihak pada usaha
menengah, kecil, mikro, dan koperasi (UMKMK). Budaya: (1)
kritis-apresiatif terhadap bentuk-bentuk ekspresi kreatif
budaya yang berkembang di masyarakat; (2)
mengembangkan bentuk-bentuk kesenian dan hiburan yang
sehat, mencerdaskan, menghaluskan perasaan, dan
mempertaiam kepekaan nurani; (3) menolak bentuk-bentuk
kebudayaan/kesenian yang merusak moral; akidah, dan
mereduksi nilai-nilai kemanusiaan; (4) menolak pornografi
dan pornoaksi. Agama: (1) mensyiarkan Islam; (2)
mempromosikan semangat toleransi; (3) mewujudkan “Islam
rahmatan li al-alamin” dalam segala bidang kehidupan; (4)

Anonim, Perkembangan.,., h. 5-6.


75

76
http://id.wikipedia.org/wiki/Republika_(surat_kabar) yang direkam
pada 28 Apr 2008 03:18:40 GMT.

98
membela, melindungi, dan melayani kepentingan umat.
Hukum: (1) mendorong terwujudnya masyarakat sadar
hukum; (2) menjunjung tinggi supremasi hukum; (3)
mcngembangkan mekanisme checks and balances
pemerintah masyarakat; (4) menjunjung tinggi HAM; (5)
mendorong pemberantasan KKN secara tuntas.

b. Karakter Pemberitaan
Berangkat dari motto, visi dan missi Republika,
menyebabkan Republika memuat secara teratur artikel-
artikel mengenai seni, televisi, sastra dan trend mode yang
menarik bagi Muslim kelas menengah dan atas yang menjadi
pembacanya. “cosmopolitanism”77 dimaksudkan agar Islam
bukan hanya sekedar persoalan untuk orang desa dan ulama,
tetapi sebuah agama yang bisa mengilhami suatu kesadaran
sosial yang sesuai dengan aspirasi rakyat sebagai
keterbukaan, pluralisme dan pemahaman hal-hal profane
(duniawi) secara cerdas. Konten surat kabar Republika setiap
hari hadir di tengah pembacanya dengan empat komponen
isi, yaitu news section (berita harian), suplemen koran
daerah, suplemen tentang tokoh-tokoh Islam atau gerakan
Islam (contohnya laporan tentang Soekarno, Muhammad
Hatta, Hamka, Mohammad Natsir, dan sebagainya) dan
suplemen berciri layanan publik seperti Pendidikan (Senin),
Medika (Selasa), Probis (Rabu), Otomotif (Kamis), Dialog
Jumat (Jumat) dan Belanja (Sabtu). Sedangkan edisi Ahad
didedikasikan untuk keluarga dan dunia hiburan. 78 Untuk
berita harian (news section}, Republika menyajikannya
dalam rubrik-rubrik seperti: Hikmah, Rehat (pojok), Ekonomi
Bisnis, Tajuk, Opini, Suara Publika, Olahraga, Internasional,
Nasional, Iptek, dan Resonansi. Citra sebagai koran
komunitas Islam berusaha ditampilkan tulisan dan berita
yang ditulis dalam perspektif Islam dan kaum Muslimin.79

77
Cosmopolitanism ialah orang yang berpandangan atau memiliki
pemikiran bertaraf internasional (memiliki wawasan luas).
78
SK harian Republika. dalam edisi setiap hari yang berbeda, sepertinya;
Pendidikan (Senin), Medika (Selasa), Probis (Rabu), Otomotif (Kamis),
Dialog Jumat (Jumat) dan Belanja (Sabtu). Sedangkan edisi Ahad
didedikasikan untuk keluarga dan dunia hiburan. Lih. Repubiika:
“Pegangan Kebenaran.” (t.d.).
79
SK harian Republika edisi dalam setiap penerbitan.

99
Rubrik yang menjadi ciri khas “keislaman” Republika
seriap terbit adalah rubrik Hikmah. Rubrik berupa kolom
refleksi tentang kehidupan dan para penulis/cendikiawan
Muslim ini di tempad dan di halaman satu. Berbagai isu dan
persoalan aktual ditulis dalam kolom tersebut dengan selalu
menghubungkannya dengan ajaran Islam. Kutipan ayat Al
Qur’an Hadis Nabi, ataupun sejarah Nabi dan para sahabat
sering menjadi dasar untuk mengomentari berbagai
persoalan yang sedang hangat dibicarakan masyarakat.
Strategi pengembangan produk Republika yang berusaha
menyajikan berita umum dan nuansa keislaman secara
lengkap dan seimbang dimaksudkan agar masyarakat yang
menjadi sasaran pasarnya memperoleh informasi yang
komprehensif. 80

c. Segmentasi Pasar
Kehadiran harian Republika memberikan atmosfir dan
nuansa baru dalam dunia jurnalistik kepada khalayak
pembaca. Dari segi prospek dan potensi pembacanya,
pelanggan harian Republika cukup luas dan telah menyebar
keseluruh kota-kota di tanah air, sehingga image bahwa
harian umum Republika sebagai surat kabar pembawa
aspirasi umat Islam cukup jelas dan kental, hal ini dibuktikan
juga oleh sebagian besar pelanggan Republika adalah umat
Islam dan mencapai 99 % dan motivasi berlangganan untuk
memajukan suratkabar yang menyalurkan aspirasi
keagamaan.81
Sebagai koran komumtas Islam, pasar Republika menjadi
sangat segmented. Dalam segmen tersebut, saat ini,
pembaca Republika mempunyai karakreristik potensial untuk
pengembangan pasar masa depan. Sekitar 95 persen
pembaca adalah pelanggan dan loyal (70 % berlangganan 1-
6 tahun). Sementara 66 % pembaca berusia muda produktif
(20-45tahun). Pembaca Republika berprofesi white collar (61
%) dan di atas 40 % berpendapatan di atas Rp 3 juta per
bulan. Secara psikografis pembaca dipetakan sebagai Islam,
berpendidikan, loyal, demokrat, moderat, inklusif toleran,
80

Anonim, Perkembangan dan Prospek dalam Tahun Kedua Harian


81

Republika, (Jakarta, Jarmari 1994), h. 5-6. (Bukhari, 1993), h.16 Bahkan


David T. Hill mengkategorikan sebagai surat kabar Islam (Islamic media),
selain harian Abadi dan harian Pelita.

100
berwawasan, peduli keluarga, dan masyarakat perkotaan.
Karakteristik Republika sebagai koran komunitas Islam
ditunjang oleh karakteristik pembaca yang loyal,
tersegmentasi jelas, usia muda dan berkemampuan.
Berdasarkan survei kondisi psikografis pembaca sangat
mendukung arah dan kesinambungan usaha, yakni pembaca
Muslim yang toleran. moderat, inklusif, smart (golongan
pandai/elit), peduli keluarga, berkarir mapan, Muslim
whitecolar, berusia 20-45 tahun berpendidikan akademi ke
atas dan peduli Islam. 95 persen pembaca berlangganan
(pelanggan) dan loyal. 70 persen diantaranya sudah
berlangganan satu sampai enam tahun. Kehadirannya bukan
hanya menjadi saluran bagi aspirasi umat Islam, melainkan
juga mendorong tumbuhnya pluralisme informasi di
masyarakat sebuah suasana yang sebelumnya jarang bisa
ditemukan.82

Tiras Koran Republika


Terkait dengan tiras Republika, dalam kurun waktu relatif
muda, pada tahun 1995 distribusi pembaca telah mencapai
11 kota besar di seluruh Indonesia. Begitu juga dengan
jumlah tirasnya telah mencapai 136.013 eksemplar. 83 Dari
jumlah pembaca di tahun 1994 mencapai 421.000 orang, dan
tahun 1995 mencapai 550.000 orang, bahkan menurut data
terakhir SRl 1995, terungkap bahwa perkembangan
Republika demikian pesat dan merata di kota-kota besar,
sehingga harian ini berada pada peringkat ke-2 sebagai
media nasional yang paling banyak dibaca.84
Ternyata, perkembangan Republika sejak awal terbit
cukup melegakan. Perjalanannya selama hampir 10 tahun
mampu memenuhi keinginan pembaca Muslim untuk
memiliki koran bernuansa Islam yang kuat. Saat ini, di
usianya yang relatif muda sebagai koran nasional, Republika
berada di posisi terbesar ketiga dengan 335 ribu pembaca,
setelah Kompas (1,5 juta pembaca) dan Media Indonesia (396
ribu pembaca).85

82

83
Anonim, Media. Kita Republika: Sukses Pemasaran Tak Bisa Diraih
dalam satu malam h.25.
84
Anonim, Media Kita..., h. 22-25.
85

101
Pendapatan Republika yang ditunjukkan dengan jumlah
tiras dan perolehan iklan menunjukkan kecenderungan
meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini bisa dicermati pada
data berikut ini:
Tabel 16 Trend Penjualan Republika 1998-2002
Tahun Tren Penjualan
1998 Rp 31,3Miliar
1999 Rp 32,4 Miliar
2000 Rp 32,9 Miliar
2001 Rp, 35,4 Miliar
2002 Rp 52,8 Miliar
(perkiraan)

Pata tahun 2002, Republika memasuki babak baru


dengan mensyaratkan sahamnya di lantai bursa. PT Abdi
Bangsa Tbk, perseroan penerbit harian Republika
mencacatkan sahamnya (listing) di Bursa Efek Jakarta (BEJ),
dengan penjamin emisi saham PT Rifan Financindo. Tidak
kurang dari 400 juta lembar saham dicatatkan di BEJ dengan
harga penawaran Rp. 105 dengan nilal nominal Rp.100.
Diharapkan akan diserap dana segar dari masyarakat sekitar
Rp. 20 Milyar pada saat right issue.
Ini memang untuk pertama kalinya Republika, masuk
pasar modal, walaupun sejak berdirinya merupakan
perusahaan terbuka di mana tidak kurang 2,63 persen
sahamnya dijual kepada publik. Di BEJ sudah tercatat
sejumlah saham yang bergerak dalam bisnis media massa,
yakni PT Jempo inti Media Tbk, penerbit majalah Tempo dan
Koran Tempo, PT Indosiar Visual Mandiri Tbk (Indosiar),
Indoexchange.com dan Kopitime.com yang bergerak dalam
media on line86
Dari segi teknologi, Republika mencoba menerapkan
teknologi surat kabar terkini. Di antaranya dengan
menerapkan teknologi Cetak Jarak Jauh untuk menjangkau
pembaca seluas dan secepat mungkin. Teknologi Cetak Jarak
Jauh sudah diterapkan Republika sejak Mei 1997 di Solo.
Menurut Erick Thohir, Direktur Utama PT Abdi Bangsa, proyek
sejenis akan dilaksanakan di Bandung (Jabar), Surabaya
(Jatim), daerah lain menyusul. Hadirnya CJJ (Cetak Jarak Jauh)

86
SK harian Republika, Edisi Senin 1 April 2002.

102
di daerah tersebut seiring dengan program “Koran Daerah”
yang sudah berjalan lebih dari setahun.87
Koran daerah yang dimaksud adalah suplemen khas yang
berisi berita atau laporan-laporan khusus tentang daerah
tertentu, Di Jawa Barat misalnya, diterbitkan suplemen
Republika Jawa Barat. Begitu juga di Jabotabek,
Yogyakarta/Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada masa
mendatang sifat penerbitan suplemen ini akan menjadi
otonomi penuh dan membuka kesempatan bagi para
pemodal setempat berperan serta di dalamnya. Dengan kata
lain, pola pengelolaannya serupa dengan sistem waralaba.
Pola demikian sekaligus juga sebagai isyarat bahwa
Republika secara keseluruhan dalam bisnisnya tidak akan
menganut paham konglomerasi yang monopolistic melainkan
pola sinergj. Sebab kebutuhan masyarakat yang kian
tersegmentasi akan memaksa media untuk mengisi segrnen-
segmen itu. Dalam bidang teknologi, Republika juga menjadi
pelopor media cetak yang mengembangkan media online
bernama Republika Online (www.republika.co.id). Di sektor
sosial, Republika memiliki Dompet Dhuafa Republika. Institusi
sosial ini kini menjadi yayasan mandiri berpengaruh, bahkan
dipercaya menjadi salah satu Badan Amil Zakat dan Sedekah
(Baziz) Nasional Dalam bidang budaya, Repubtika berupaya
membangkitkan kesenian dan kebudayaan Islam, seperti
konser maupun pergelaran kesenian bernuansa Islami setiap
tahun baru Hijriah. Republika berusaha untuk menjadi koran
yang tidak semata “berjualan berita” tetapi lebih menjadi
surar kabar dengan visi jelas untuk memercepat
terbentuknya masyarakat “madani.” Motto baru Republika:
Akrab dan Cerdas, diharapkan dengan selaras dengan visi
tersebut, dimana Republika bisa lebih akrab dengan
komunitasnya dan berwawasan. Dengan peta pembaca
seperti itu, Republika optimis menjadi koran yang akan terus
berkembang. Apalagi perseroan ini didukung tenaga sumber
daya manusia (SDM) yang relatif muda dan berpendidikan,
yakni lebih dan 46 persen berpendidikan SI dan S2. “Dengan
semua kekuatan sumber daya yang dimiliki, kami optimis
Republika akan menjadi koran nasional terpadu dan berbasis
profesional Islami. Dengan begitu koran ini bisa berpengaruh

87
Bermula dari Persekutuan Ganjil” Hari Ulta 10 Tahun Rtpublika. edisi 6
Januari 2003

103
pada proses mencerdaskan bangsa, mengembangkan
kebudayaan, dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan
masyarakat Indonesia baru.” kata Erick Thohir, Direktur
Utama PT Abdi Bangsa Tbk.88

Stuktur dan Pengelolaan Republika


Mengenai pengelolaan dan pengawasan harian umum
Republika di bawah payung PT. Abdi Bangsa, sebagai badan
usaha di mana ketua badan pembina PT. Abdi Bangsa yaitu
Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie. Sementara pengelolaan perseroan
dilakukan oleh direksi di bawah Dewan Komisaris yang
anggotanya dipilih dalam Rapat Umum Pemegang Saham,
untuk komisaris utama dipegang oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman
Djojonegoro. Di samping itu, para pendiri Yayasan Abdi
Bangsa berjumlah 48 orang yang terdiri dari beberapa
menteri, pejabat tinggi, serta pengusaha yang tentara dalam
yayasan ini. Termasuk Haji Muhammad Soeharto, Presiden RI
berperan sebagai pelindung yayasan.
Pengelolaan harian umum Republika pada masa awal
berdirinya ditangani salah satu manajemen, di mana
pemimpin umumnya dan redaksi dipercayakan kepada Parni
Hadi sedangkan pemimpin perusahaan dipercayakan kepada
Ir. Haidar Bagir, M.A. Untuk pengelolaan redaksi
dipercayakan kepada Sinansari S. Ecip, dan Zaim Uchrowi.
Tentunya dalam penempatan pemimpin umum redaksi dan
redaktur pelaksana serta bidang-bidang lainnya merupakan
orang-orang yang profesional dan mempunyai banyak
“makan garam” di dalam dunla jumalistik Indonesia. 89
Bahkan kalau dilihat dan dewan redaksi yang berdiri di
belakangnya adalah orang-orang yang mempunyai visi ke
depan dan mempunyai kematangan intelektual, di antaranya;
Soetjipto Wirasardjono, M.Sc., Prof. Dr. Edy Sedyawati, Adi
Sasono, Prof. Dr. Quraish Shihab, Prof. Dr. Nurcholis Madjid,
dan Prof. Dr. M. Amien Rais.
Memperhatikan para pendiri, pelindung, ketua badan
pembina. dewan komisaris, pemimpin umum dan sampai
kepada redaktur pelaksana Republika di mana awal berdiri
telah didukung oleh kebijakan dan permodalan yang

88
SK Harian Republika, Edisi Rabu, 3 April 2002
89
Lihat, David T. Hill, The Press...., h. 124-128.

104
memadai, sehingga kehadirannya telah mampu menarik
pembacanya, dan ini terbukti dengan hasil distribusi
pembaca dan jumlah tiras yang dihasilkan cukup
memuaskan, bahkan telah berhasll menggeser peringkat
surat kabar nasional lain, di mana Republika mampu meraih
peringkat ke-2 di harian nasional.
Kekhususan yang dimiliki oleh harian Republika yang
bernaung dalam PT. Abdi Bangsa di mana akumulasi dana
diperoleh melalui penjualan saham kepada masyarakat dan
uniknya satu lembar saham hanya boleh dimiliki satu
keluarga dengan nilai nominal Rp. 1000,00 (seribu rupiah).
Dengan patokan ini PT. Abdi Bangsa menawarkan 2,9 juta
lembar kepada masyarakat khususnya umat Islam, ini berarti
PT. Abdi Bangsa akan dimiliki oleh 2,9 juta kepala keluarga.
Perlu dicatat pula dalam perkembangan Republika yang
cukup pesat dengan melihat grafik oplah yang meningkat
begitu cepat. Sejak awal terbitnya 4 Januari 1993, dalam
waktu relatlf singkat telah mencapai 100.000 oplah pada
tanggal 15 Januari 1993, ini berarti dalam tempo 11 hari
telah mencapai 2,5 kali lipat dari dengan oplah rata-rata di
mana pada target semester pertama diperkirakan sekitar
40.000 oplah. Bahkan pada akhir semester kedua, telah
mencapai 130.000 oplah. Ini berarti koran Republika
mencapai prestasi luar biasa jika dibandingkan harian
Kompas di mana awal berdirinya oplah hanya mencapai
sekitar 27.000-an dalam dua semester.90
Perkembangan pesat republika ternyata tidak langgeng,
seiring dengan perkembangan politik yang menyertainya di
mana runtuhnya kekuasaan orde baru ditandai dengan krisis
ekonomi yang berimplikasi pada kerusuhan massa yang
masif hingga pengunduran diri Soeharto sebagai presiden RI
yang berimbas pada menurunnya oplah harian republika ini…
sham dibeli oleh erik taher dst.

C.Sejarah dan Fatwa MUI.


Bagi penulis, berdirinya MUI tidak dapat dipisahkan dari
kondisi sosial politik umat Islam pasca tumbangnya Orla dan
mulainya peran Orba. Jika ditelisik lebih dalam perpektif
kebutuhan saat itu bisa dikatakan MUI ini adalah sebuah
organisasi yang unik. Di satu sisi umat Islam membutuhkan
90
Anonim, Perkembangan..., h. 4.

105
wadah ulama (pemimpin agama) sebagaimana umat lain
yang telah memiliki wadah pemimpin agama seperti Walubi
(buda), PGI (Kristen)....sementara di sisi lain pihak
pemerintah juga membutuhkan representasi umat Islam
untuk membahas permasalahan negara terkait dengan
urusan agama khususnya umat Islam. Keinginan adanya
wadah ulama tersebut berawal dari musyawarah alim-ulama
se-Indonesia yang diadakan oleh Pusat Dakwah Islam
Indonesia (PDII) pada tanggal 30 September- 4 Oktober 1970
di Jakarta dan menguat dalam sebuah Lokakarya Muballigh
se-Indonesia, yang juga diadakan oleh Pusat Dakwah Islam
Indonesia tanggal 26-29 November 1974. Rupanya gayung
bersambut, keinginan tersebut mendapat respon positif dari
Presiden Soeharto ketika menerima Pengurus Dewan Masjid
Indonesia tanggal 24 Mei 1975 yang mengharapkan
dibentuknya Majelis Ulama Indonesia. Selanjutnya melalui
Menteri Dalam Negeri ketika itu, Amir Machmud, Presiden
Soeharto menyarankan kepada para Gubernur untuk
membentuk Majelis ulama tingkat daerah. Hasilnya, pada
bulan Mei 1975 majelis ulama tingkat daerah telah terbentuk
di hampir seluruh daerah Tingkat I (Provinsi) dan Kabupaten
meliputi (26 Provinsi). Sedangkan di Pusat dibentuk Panitia
Persiapan Musyawarah Nasional I Majelis Ulama Indonesia.91
Panitia Musyawarah Nasional I tersebut dibentuk oleh Menteri
Agama RI, Mukti Ali pada bulan Juli 1975, dan diketuai oleh
Letjen. H. Soedirman. Tim Penasihat terdiri dari Prof. Dr.
Hamka, KH. Abdullah Syafi’i, dan KH. M. Sukri Ghazali.
Musyawarah Nasional I Majelis Ulama Indonesia (MUI),
berlangsung pada 21-27 Juli 1975 dan seluruh peserta
bertekad bulat untuk membentuk Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dengan memberi kepercayaan kepada Dr. Hamka
sebagai ketua umum pertamanya.92
Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Council of Indonesian
Ulama akhirnya resmi lahir pada tanggal 26 Juli 1975 M (17
Rajab 1395 H) di Jakarta. Keputusan Piagam berdirinya MUI
ditandatangani oleh 53 orang ulama yang terdiri dari 26
orang Ketua MUI Daerah Tingkat I (Provinsi), 10 (sepuluh)
orang ulama unsur Organisasi Islam tingkat pusat, 93 4
(empat) orang ulama dari Dinas Kerohanian Islam AD, AU, AL

91
M. Atho Mudhzar, Gerakan Islam, hlm. 54.
92
M. Atho Mudhzar, Gerakan Islam, hlm. 56

106
dan POLRI, dan 13 orang ulama undangan perorangan. 94
Keterlibatan pemerintah dalam pembentukan MUI memang
cukup nyata, pemerintah tidak saja memberikan dorongan
semangat dan pemberian fasilitas dan kemudahan-
kemudahan lainnya, tetapi sampai pada pemberian
pengarahan-pengarahan kepada peserta konferensi.
Sejumlah pejabat tinggi negara memberikan ceramah
mengenai beberapa masalah kenegaraan. Presiden Soeharto
mengucapkan pidato pembukaan, ketua MPR/DPR
memberikan pidato tentang peranan para ulama selaku
pemimpin masyarakat dalam kehidupan konstitusional
Indonesia, Menteri Agama mengenai pcranan ulama selaku
penggerak pembangunan nasional dan daerah. Menteri
pertahanan dan keamanan memberikan pidato tentang
ulama dan fcetahanan nasional. Menteri pendidikan dan
kebuda\aan, mengenai pendidikan di Indonesia. Menteri
penerangan dan komunikasi tentang bagaimana partisipasi
ulama dalam menggairahkan partisipasimasyarakat dalam
pembangunan nasional. Ketua Bappenas (Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional) mengenai Rencana
Pem-bangunan Lima Tahun (Repelita) kedua kurun waktu
1974-1979, Wakil ketua BAKIN tentang Dunia Islam dan
Timur Tengah, dan KH. Syukri Ghozali tentang anggaran
dasar dan program yang diusulkan bagi MUI. 95 Jadi tampak
jelas bahwa keterlibatan pemerintah dalam membidani
lahirnnya MUI cukup signifikan dan menentukan.
Kenyataan ini cukup mengherankan, karena itu perlu
dipertanyakan, mengapa pemerintahan Soeharto begitu
bergairah membentuk MUI? Menjawab perrtanyaan ini, M.
Atho Mudzhar, mengungkapkan bahwa iklim politik pada
waktu itu sangat mendukung, karena segera setelah
Soeharto berkuasa dan sukses dalam mengukuhkan
kekuasaannya, Pemilihan Umum yang dijanjikan akan

93
Organisasi Islam Pusat yang dimaksud adalah: Nahdatul Ularna (NU),
Muhammadiyah, Syarikat Islam, PERTI, Al-Washliyah, Matha’ul Anwar,
GUPPI, PTDI, Dewan Masjid Indonesia dan Al-ittihadiyah.
94
Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, 20 Tahw. Majelis Ulama lndonesia
(Jakarta: 1995). Sebagaimana juga termaktub dalam Pedoman Dasar
Majelis Ulama Indonesia, sebagai hasil rumusan penyempurnaan pada
Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, 25 - 28 Juli 2005.

95
M. Atho Mudhzar, Gerakan Islam, hlm. 57.

107
diadakan pada tahun 1967, meskipun baru bisa dilaksanakan
pada tahun 1971 dengan berbagai alasan. Pemilu tahun 1971
merupakan pemilu kedua setelah Indonesia merdeka. Pada
pemilu 1971 pemerintahan Orde Baru tidak banyak
memberikan penghargaan kepada sebagian partai-partai
politik dan kaum politisinya, yang telah menduduki tempat
terkemuka di zaman Orde Lama, Soekarno. Pemerintah Orde
Baru menganggap bahwa partai-partai politik telah ikut andil
dalam melahirkan kekacauan, yang mencapai puncaknya
dengan terjadinya kudeta Komunis dan berusaha
mcnggulingkan kekuasaan pada September 1965.
Karena itu pada Pemilu tahun 1971 pemerintah Orde
Baru menegaskan bahwa Golongan Karya (Golkar) bukan
partai politik, meskipun ikut dalam Pemilu. Pemerintah
menyadari bahwa ini adalah permainan kata-kata saja, tetapi
maksudnya jelas bahwa Golkar mempunyai rnaksud untuk
membuktikan bahwa ia lebih suka menyokong program-
program nasional daripada kepentingan golongan yang
cukup kental dalam partai-partai yang berbasiskan ideologi.
Soeharto berpegang pada keyakinannya bahwa pertikaian
ideologi, di antara partai politik adalah penyebab kekacauan
politik pada tahun 1965. Oleh karena itu, permintaan kaum
Muslimin untuk merehabilitasi partai Masyumi yang telah
dibekukan pada masa pemerintahan Soekarno pada tahun
1960, tidak dikabulkan, karena khawatir kembalinya kaum
politisi tua partai tersebut. Sebaliknya izin telah diberikan
untuk membentuk partai Islam baru yang bernama Parmusi
(Partai Muslimin Indonesia), yang dipimpin oleh politisi muda
bekas partai Masyumi. Hal inilah yang agaknya menyebabkan
timbulnya kekecewaan politik pertama pihak kaum Muslimin
terhadap kebijakan Soeharto atas Islam.96
Pada Pemilu 1971 tersebut Golkar berhasil menjadi
partai pemenang Pemilu dengan perolahan 65% suara dari
360 kursi yang diperebutkan, sedangkan keempat parpol
Islam hanya memperoleh 26% (94 kursi), padahal pada
Pemilu sebelumnya (1955), gabungan partai-partai Islam
telah memenangkan 45% jumlah kursi yang diperebutkan.
Berpedoman pada kenyataan-tesebut, maka hasil perolehan
partai-partai Islam pada Pemila 1971 dianggap gagal.

96
.ibid, hlm, 58.

108
Hal tersebut terkait dengan kontestasi ideologi yang
terjadi pada masa orde lama yang dipimpin oleh Soekarno.
Pemerintahan Soekarno yang saat itu telah dikuasai oleh
komunis menginginkan penggabungan ideologi yang dikenal
dengan nama NASAKOM (Nasional, agama dan komunis).
Namun dengan mengandeng para ulama untuk
mempertahankan kekuasaannya. Jadilah masa itu masa
bulan madunya pemerintahan Soeharto dengan umat Islam.
keduanya memiliki kesamaan visi dalam menumpas ideologi
komunis. Namun setelah berhasil menumpas partai komunis
dari bumi pertiwi muncul kecurigaan orde baru kepada ulama
dan umat Islam. Ketegangan ini merupakan perwujudan dari
respons balik pemerintah terhadap sikap keras umat Islam
yang menginginkan aspirasi sistem politik Islam dalam
tatanan negara Indonesia.
Saat itu pemerintah memandang umat Islam sebagai
kelompok yang tidak sepenuhnya bersedia menerima
pancasila sebagai ideologi negara. Maka untuk
mengatasinya diperlukan sebuah solusi yaitu dengan
membuat sebuah lembaga keagamaan baru yang disebut
Majelis Ulam Indonesia (MUI). Pada tanggal 26 Juli 1975 di
Jakarta secara resmi MUI menjadi sebuah organisasi nasional,
yang keberadaannya tergolong unik karena organisasi ini
dibidani oleh pemerintah. Pedoman dasar yang dijadikan
pijakan MUI merupakan substansi nilai kompromi antara
keinginan kelompok ulama dan umara (pemerintah).
Hubungan antara keduanya pada saat didirikan berada
dalam kondisi saling curiga.
Selain daripada itu, Kubu pemerintah masih
memandang umat Islam yang mengusung ideologi Islam
sebagai kekuatan kedua yang berbahaya setelah komunis
bagi eksistensi negara persatuan Indonesia. Sementara pada
kubu lain golongan ulama menginginkan
pengimplementasian ajaran Islam dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara secara lebih utuh dan konkrit.
Dalam proses pemilihan ketua lembaga itu di semua level,
pihak pemerintah melakukan intervensi. Untuk menjamin
bahwa semua forum keagamaan akan bebas dari pesan-
pesan politik yang berorientasi Islam (Yudi Latif, 2005: 490).
Merespon kekecewaan inilah pemerintah melontarkan
gagasan untuk membentuk MUI sebagai upaya untuk

109
mengobati kekecewaan kaum Muslim. Karena itu pula kaum
Muslim yang dipresentasikan oleh para ulama kurang
menanggapi gagasan tersebut, bahkan cenderung menolak
gagasan tersebut, karena mereka khawatir bahwa hal itu
hanya akan dipergunakan pemerintah untuk lebih membatasi
gerak kaum Muslim di Indonesia. Jika dikaitkan kemenangan
Golkar pada tahun 1971 dengan gagasan pembentukan MUI
yang telah digulirkan oleh pemerintah pada tahun 1970,
maka banyak pula pihak yang menganggap bahwa gagasan
pembentukan MUI sejak awal merupakan strategi pemerintah
untuk memperoleh tempat kaum Muslim atau bahkan untuk
mengendalikan mereka97.
Peristiwa lain yang juga turut melatarbelakangi
terbentuknya MUI adalah penyampaian pemerintah kepada
DPR tentang Rancangan Undang-Undang Perkawinan pada
tanggal 31 Juli 1973, yang pada awalnya banyak mendapat
tantangan dari sebagian kaum Muslim. Menurut mereka,
banyak di antara peraturan-peraturan dalam rancangan
tersebut adalah bukti bahwa permerintah sedang berusaha
untuk menjadikan hukum Islam mengenai soal pernikahan
rnenjadi bersifat sekular dengan merugikan Islam. Kondisi ini
kemudian menyulut Demokrasi mahasiswa, ketika rancangan
undang-undang tersebut diajukan dalam sidang parlemen
untuk disahkan. Kondisi itu menyadarkan pemerintah
terhadap resiko yang lebih besar jika membiarkan masalah
itu berlarut-larut. Karena itu, setelah dua orang pemuka NU
KH. Bisri Syamsuri dan KH. Masykur, datang kepada Presiden
Soeharto, pemerintah memperlunak pendiriannya, dan mulai
mempertimbangkan masukan-masukan dari pihak-pihak
Muslim. Rancangan yang sebelumnya terdiri dari 73 pasal
berhasil dikurangi menjadi 66 pasal, yang isinya dirubah
sesuai dengan prinsip hukum Islam mengenai perkara
97
Sebagai indikasi bahwa pemerintah berrnaksud mengendalikan kaum
muslimin adalah ketika pada tahuin 1975 pemerintah mendesak agar
keempat parpol Islam menghapuskan sebutan Islam dan menggabungkan
diri dalam satu partai yang diberi nama Partai Persatuan Indonesia (PPP).
Penyederhanaan Partai itu dilihat oleh kaum muslimm dianggap
membahayakan keberadaan Islam di negeri ini, karena faktanya bahwa
kebanyakan orang Islam hubungannya dengan partai politik Islam
dianggap sama artinya dengan hubungan Islam itu sendiri. Dalam Fatwa-
fatwa yang diberikan para ulama kepada kaum muslimin sering
dinyatakan bahw’a memilihpartai-partai Islam dalam pemilihan umum
adalah wajib. Atho Mudzhar, FahvG-i-ifttw, hlm. 60.

110
pernikahan termasuk penyebutan Pengadilan Agama dan
peranannya dalam melaksanakan undang-undang tersebut.
Hingga akhirnya undang-undang tentang perkawinan
tersebut dapat disahkan pada tahun 1974 setelah melalui
tahap kritis dan dapat memuaskan pihak Islam.98
Melihat latar sejarah yang mengiringi kelahiran MUI di
atas, terlihat nyata bahwa kelahiran MUI tidak bisa
dilepaskan dari berbagai muatan politis. Pembentukan MUI
sejak awal telah difasilitasi dan diberikan kewenangan untuk
mempermudah pembentukannya di berbagai daerah di
Nusantara. Selain itu, kenyataan adanya ketua MUI di daerah
yang berasal dari unsur anggota tentara, yang dibantu oleh
wakil ketua dan sekretaris dari kalangan ulama, jelas
menunjukkan kuatnya unsur politik di tubuh MUI. Namun
demikian, persoalannya tidaklah sesederhana itu, karena
muatan dan tuntutan kultural juga sangat kental melingkupi
pembentukan MUI sebagai institusi keagamaan yang
berfungsi sebagai wadah pemersatu umat Islam. Walaupun di
kemudian hari, kuatnya pengaruh pemerintah Orde Baru
pada saat pembentukan wadah ulama tersebut, telah
menjadikan independensi MUI sebagai lembaga fatwa
seringkali dipertanyakan oleh beberapa kalangan.99 Uraian
diatas menampakkan bahwa kelahiran MUI tidak lepas dari
setting politik yang terjadi pasca tumbangnya Orde Lama,
dan kebijakan politik rezim baru yang dipimpin Soeharto.

B. Visi Misi MUI


Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan
kemasyarakatan dan kenegaraan yang baik, memperoleh
ridho dan ampunan Allah SWT (baldatun toyyibatun wa
rabbun ghofur) menuju masyarakat berkualitas (khoiru
umah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin
(izzul Islam wal muslimimin) dalam wadah kesatuan negara
republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi
seluurh alam (rahmatan lil ‘alamin). 100
98
M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa, hlm. 58-62.
99
Siti Musdah Mulia, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Pengaruhnya ter-
hadap Perlindungan Hukum Perempuan)”, dalam ]auhar Vol. 4, No. 2,
Desember 2003, hlm. 186-187. Lihat juga Wawancara dengan KH. Said
Agil Siraj di Jakarta, tanggal 13 Juli 2010.
100
Karni, Asrori S, Helmi, Musthafa Thaha,Ahmadie, 35 tahun MUI
berkiprah menjaga Integritas Bangsa, (Jakarta: Komisi Infokom MUI, Junli

111
Misi MUI adalah (a) Mengerakkan kepemimpinna dan
kelembagaan umat secra efektif dengan menjadikan ulama
sebagai panutan (qudwah hasanah), sehigga mampu
mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan
dan memupuk aqidah Islamiyah, serta menjalankan syariah
Islamiyah. (b) Melaksanakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi
munkar dalam mengembangkan akhlak karimah agar
terwujud masyarkat berkualitas (Khaira ummah) dalam
berbagai aspek kehidupan. (c) Mengembangkan ukhuwah
Islmaiyah dan kebersamaan dalam mewujudkan persatuan
dan kesatuan umat Islama dalam wadah negara kesatuan
repulik Indonesia.
Fungsi Mui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki
beberapa fungsi yaitu (1) Memberi fatwa dan nasehat sosial
keagamaan kepada pemerintah dan umat Islam sebagai
bentuk amar makruf nahi munkar. (2) Memperkuat ukhuwah
Islamiyah dan melaksanakan kerukunann antar umat
beragama (3) Mewakili umat Islam dalam dialog antar umat
beragama. (4) Penghubung antara ulama dan pemerintah
serta penterjemah antara pemerintah dan umat. (5) Tidak
berpolitik dan tidak bersifat operasional.
Dengan perkataan lain MUI bertugas sebagai “mufti”
yang menjadi tumpuan masyarakat dan pemerintah dalam
bertanya tentang berbagai hal persoalan keagamaan. Secara
garis besar fatwa-fatwa 7101 MUI itu dapat dikelompokan ke
dalam tiga kelompok sebagai berikut: (a) Fatwa-fatwa
Meagamaan pada umumnya baik yang berkaitan dengan
persoalan akidah, ibadah, akhlak, kemasyarakatan, dan
sebagainya13.102 Fatwa-fatwa jenis ini dihasilkan oleh Komisi
Fatwa MUI yang kemudian oleh Pimpinan Harian MUI
disampaikan kepada pihak-pihak yang meminta fatwa
(mustafti). (b) Fatwa-fatwa yang berkaitan dengan ekonomi
Islam (mu’dmalah). Fatwa-fatwa jenis ini dihasilkan oleh
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia
guna menampung transaksi-transaksi di bidang ekonomi

2010), 277-278.

101

102

112
Islam dan dipedomani oleh lembega-lembaga keuangan
syari’ah seperti bank syari’ah, BPR syari’ah, BMT, dan
sebagainya14. (c) Fatwa-fatwa yang berkaitan produk
pangan, obat-obatan dan kosmetika. Fatwa-fatwa jenis ini
dihasilkan oleh Komisi Fatwa MUI dan biasa disebut Fatwa
Halal karena umumnya berisi “fatwa halal” dan baru sekali
berisi “fatwa haram” seperti yang terjadi pada produk
Ajinomoto yang menggunakan bactosoyton dalam proses
produksinya. Selanjutnya, fatwa-fatwa tersebut kemudian
diproses oleh MUI menjadi Sertifikat Halal15.103
Memperkuat ukhuwah Islamiyah dan melaksanakan
kerukunann antar umat beragama dengan menggalakkan
persatuan di kalangan umat Islam sehingga terbentuk
kepemimpinan yang efektif yang merepresentasikan
kepemimpinan umat Islam di negara kita yang majemuk17. 104
Oleh karena itu, lembaga ini berfungsi sebagai wadah
musyawarah para ulama, zu’ama’ dan cendekiawan muslim
dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan
islami, demokratis, akomodatif, dan aspiratif. Di samping itu,
ia juga berrungsi sebagai wadah silaturrhami para ulama,
zu’amd’, dan cendekiawan muslim untuk mengembangkan
dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwwah
islamiyyah.
Sebagai penengah antara pemerintah dengan
umat18.105 Tugas ini tidaklati mudah karena MUI harus
mampu mepertemukan aspirasi antara keduanya.; MUI tidak
boleh berpihak pada pemerintah dan mengabaikan aspirasi
umat Islam. Begitu pula sebaliknya, MUI juga tidak boleh
hanya memihak umat dan mengabaikan aspirasi pemerintah.
Hal tersebut akan terlihat jelas dalam contoh kasus berikut
ini. Perayaan natal bersama dengan orang Kristen telah
menempatkan MUI dalam posisi yang sulit. Kegiatan tersebut
sangat bermanfaat karena dapat mendukung program
pemerintah yang sangat digalakan yaitu kerukunan
beragama yang dikenal dengan sebutan “trilogi kerukunan
beragama”1 .106 Sementara itu, di sisi lain kegiatan tersebut
membahayakan akidah umat Islam yang mengikutinya

103

104

105

106

113
karena akan menjerumuskannya ke dalam kemusyrikan.
Paling tidak, keikutsertaan kaum muslimin dalam perayaan
tersebut menunjukkan persetujuan dan pengakuannya
terhadap ketuhanan Yesus Kristus yang diperingati
kelahirannya pada setiap tanggal 25 Desember. Hal ini tidak
boleh dibiarkan dan MUI harus berusaha membentengi
umatnya dari segala bentuk kemusyrikan.107
Dalam kasus tersebut MUI mengambil sikap yang
terkesan membela umat Islam dan mengabaikan program
pemerintah Pada bulan Maret 1981 MUI mengeluarkan fatwa
yang menyatakan bahwa menghadiri perayaan natal itu
hukumnya haram bagi kaum muslimin20. Enam bulan
kemudian pemerintah memberikan tanggapan sebagai
bentuk perlawanan terhadap fatwa tersebut. Menurut pihak
pemerintah, kehadiran dalam perayaan tersebut tidak
dilarang oleh agama Islam asalkan tidak memasuki bagian-
bagian ritualnya. Lebih dari itu, Hamka sebagai Ketua Umum
MUI diminta untuk menarik kembali fatwa tersebut, tetapi ia
menolaknya. Akibatnya, terjadilah ketegangan hubungan
antara pemerintah dengan MUI yang diwakili oleh Alamsyah
sebagai Menteri Agama dan Hamka sebagai Ketua Umum
MUI21.108
Tekanan yang dirasakan oleh Hamka begitu kuat
sehingga dalam beberapa bulan kemudian dia terpaksa
melepaskan jabatannya sebagai Ketua Umum MUI yang bagi
kalangan umum terjadi karena pertimbangan kesehatan.
Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Faktor
perselisihan dengan Menteri Agamalah yang menjadi
penyebab pengunduran dirinya. Hal ini dapat kita ketahui
melalui surat pengunduran dirinya yang dibacakan oleh
Hamka dalam rapat tertutup MUI22.109
Sementara itu, dalam menghadapi undian Porkas, MUI
terkesan mendukung pemerintah dan mengabaikan aspirasi
umat Islam. Undian tersebut dibutuhkan pemerintah dalam
rangka penggalangan dana masyarakat untuk membiayai
oleh raga. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan prestasi
olah raga nasional terutama sepakbola. Setelah undian
tersebut berjalan, terjadi banyak peyelewengan seperti

107

108

109

114
undian diikuti oleh anak-anak sekolah, tempat penjualan
kupon berada di dekat sekolah dan masjid, dan sebagainya.
Akibatnya, umat Islam tidak menyukai undian tersebut dan
mengharapkan MUI segera mengeluarkan fatwa yang
melarang undian tersebut karena termasuk judi.
Menghadapi keadaan tersebut ternyata MUI terkesan
lambat meresponnya. Lebih dari itu, Ibrahim Hosen, Ketua
Komisi Fatwa, menyatakan bahwa Porkas itu bukan judi
karena pesertanya (pembeli kupon) tidak saling berhadap-
hadapan dengan penyelenggara di satu tempat pada waktu
tertentu. Pendapatnya tersebut ia tuangkan dalam bentuk
buku yang berisi pembelaan terhadap pendiriannya23. 110
Padahal banyak ormas-ormas Islam yang telah mengeluarkan
pendiriannya yang secara tegas-tegas menyatakan bahwa
Porkas itu sebagai judi. Di antara ormas- ormas tersebut
adalah Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Badan Kerja Sama
Pondok Pesantren (BKSPP), bahkan juga sejumlah MUI daerah
seperti MUI Jakarta, MUI Jawa Barat dan MUI Yogyakarta24.111
Walaupun pendapatnya tersebut disampaikan oleh
Ibrahim Hosen sebagai pendapat pribadi, hal tersebut tidak
dapat dipisahkan dari kedudukan dirinya sebagai Ketua
Komisi Fatwa MUI. Oleh karena itu, umat niemandangnya
sebagai pendapat MUI meskipun tidak dalam bentuk fatwa.
Hal tersebut menunjukkan persetujuan MUI terhadap
program undian tersebut dan berarti MUI tidak berani
mengambil sikap tegas yang berlawanan dengan kehendak
pemerintah. Padahal di kemudian hari terbukti, sikap yang
diambil oleh MUI itu tidaklah tepat karena pada akhirnya MUI
juga mengeluarkan fatwa pada tanggal 23 Nopember 1991
bahwa undian tersebut banyak madaratnya sehingga haram
hukumnya25. 112Lebih dari itu, MUI kemudian menyatakatan
dengan tegas dalam fatwa berikutnya pada tanggal 12
Nopember 1993 bahwa undian tersebut termasuk judi26.
Tugas sebagai penengah atau penghubung itu memang
sangatlah berat. Hal tersebut memang tidak mudah
dilakukan oleh MUI seperti tergambar dengan jelas dalam
sambutan Buya Hamka, ketua MUI pertama. Sebagai
penghubung, ulama harus dapat menyuarakan aspirasi

110

111

112

115
rakyat kepada pemerintah dan pada saat yang bersamaan
ulama juga dituntut untuk dapat menyampaikan harapan-
harapan pemerintah kepada rakyat dengan bahasa yang
dapat difahami rakyat. Dengan demikian, posisi ulama
berada di tengah-tengah yang digambarkan oleh Buya
Hamka laksana kue bika yang sedang dimasak dalam periuk
belanga. Dari bawah dinyalakan api. Api yang dari bawah itu
ialah berbagai ragam keluhan rakyat, Dari atas dihimpit oleh
api juga. Api yang dari atas berupa harapan-harapan dari
Pemerintah. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah. Putus
dari bawah niscaya berhenti jadi ulama yang di dukung oleh
rakyat. Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan
Pemerintah27.
Mewakili (representasi) kaum muslimin dalam
permusyawaratan antargolongan agama. Untuk umat lain,
mereka sudah memiliki wadah masing-masing dalam
memperjuangkan aspirasinya seperti Dewan Gereja-Gereja
Indonesia (DGI) dan Wali-Wali Gereja Indonesia (Walubi)
untuk kalangan Kristen, dan Parishada Hindu Dharma untuk
kalangan Hindu. Sementara itu, umat Islam masih tersebar
dalam ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU,
Persis, Al-Irsyad, dan sebagainya. Oleh karena itu, umat Islam
memerlukan wadah dalam memperjuangkan aspirasi mereka
ketika berhadapan dengan umat yang beragama lain. Wadah
tersebut adalah MUI.
Permusyawaratan yang dilakukan antar umat
beragama dilakukan manakala terjadi hubungan yang tidak
harmonis antar umat beragama. Hubungan tersebut
terganggu antara lain disebabkan oleh persaingan dalam
berdakwah berebut pengikut seperti yang terjadi antara
pihak Islam dengan Kristen dan Protestan. Maka, hubungan
yang selama ini rukun berubah menjadi tegang dan konflik.
Akibatnya, kerukukan antar umat beragama berada dalam
posisi yang mengkhawatirkan dan dapat mengganggu
stabilitas nasional. Oleh karena itu, pemerintah
berkepentingan menyelesaikan persolan tersebut dengan
cara musyawarah seperti yang terjadi pada tanggal 30
Nopember 196728.113
Musyawarah tersebut dilakukan dengan menghadirkan
para wakil dari kelima golongan agama. Pertemuan tersebut
113

116
diselenggarakan dengan rujuan untuk membentuk sebuah
badan konsultasi antar agama dan pembatasan kegiatan
penyebaran agama. Pertemuan tersebut ternyata gagal
karena tidak menghasilkan kesepakatan. Golongan Islam
menyetujui pembatasan kegiatan penyebaran agama yang
hanya ditujukan kepada mereka yang belum beragama. Oleh
karena itu, penyebaran agama yang dilakukan terhadap
umat yang sudah beragama tidak dapat dibenarkan dengan
alasan apapun. Golongan Hindu dan Budha-pun dapat
menyetujui pembatasan tersebut, sedangkan golongan
Kristen tidak menyetujui baik yang Katholik rnaupun
Protestan. Keduanya tetap menolak setiap usulan yang
berusaha membatasi kegiatan penyebaran agama.
Sementara itu, pada saat yang bersamaan mereka
menyetujui pembentukan badan konsultasi antar agama
yang ditolak oleh golongan Islam29.114
Atas dasar itu, ulama berfungsi sebagai pelanjut dan
pengemban risalah kenabian yang disampaikan kepada umat
manusia. Oleh karena itu, ulama mempunyai kedudukan
yang tinggi dan terhormat dalam masyarakat Islam. Menurut
Saletore sebagaimana dikutip oleh Ibn Qoyyim Isma’il,30 115
semenjak abad pertengahan umat Islam telah memberikan
kedudukan yang tinggi terhadap ulama karena penguasaan
mereka terhadap ilmu agama.
Mereka telah menjalankan amanah nabi tersebut yakni
menyebarkan dan melestraikan ajaran Islam kepada
masyarakat. Mereka menjadi penafsir al-Qur’an dan Hadis
rasul dalam bentuk dan rumusan yang sistematis seperti
terlihat dalam karya-karya tulis mereka. Dengan demikian,
mereka telah menciptakan body of knowledge keagamaan
melalui karya-karya tulis mereka. Oleh karena itu, mereka
telah berhasil mewariskan ilmu keislaman dari satu generasi
ke generasi berikutnya.
MUI sejak mula berdirinya (1975), sudah dibatasi
ruanggeraknya. Pertama, ia tidak boleh terlibat dalam
kegiatan politikpraktis karena hal itu sudah dilakukan dan
menjadi porsi partai politikyakni PPP dan PDI serta Golkar8.
Kedua, ia juga tidak bolehmelibatkan diri dalam kegiatan-
kegiatan taktis yang menjadi garapanormas-ormas Islam

114

115

117
sehingga ia tidak menjadi saingan bagi ormas-ormas
tersebut. Pembatasan ini pada awalnya disampaikan
olehPresiden Soeharto dalam pengarahan musyawarah,
tetapi padaakhirnya disetujui juga oleh para ulama yang
hadir dalam musyawarah tersebut9.116
Peran MUI, Selain memiliki fungsi MUI juga memiliki
peran yang sangat penting di masyarakat yaitu: (1) Sebagai
pewaris tugas-tugas Nabi, (2) Sebagai pemberi fatwa, (3)
Sebagai pembimbing dan pelayan umat, (4) Sebagai
penggelora gerakan ishlah wal al tajdid dan (5) Sebagai
penggerak amar ma’ruf nahi munkar. Usaha MUI, dalam
mencapai tujuannya, MUI melaksanakan beberapa usaha
sebagaimana disebutkan dalam pedoman Dasar MUI hasil
Munas V Juli 1995 di Jakarta Bab II pasal 4, antara lain: (MUI:
345) (1) Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat
islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang diridhai Allah SWT. (2) Memberikan
nasehat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarkatan kepada pemerintah dan masyarakat. (3)
Meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah
dan kerukunna antar umat Bergama dalam memantapkan
persatuan dan kesatuan bangsa. (4) Menjadi penghubungan
antara ulama dan umara (pemerintah) dan penterjemah
timbale-balik antara pemerintahdan umat guna
mensukseskan pembangunan nasional. (5) Meningkatkan
hubungan serta kerjasama antara organisasi, lembaga Islam
dan cendekiawan muslim. (6) Mewakili umat Islam dalam
hubungan dan konsultasi antar umat bergama. (7) Usaha
lainnya yang sesuai dengan tujuan organisasi.

b. Komisi Fatwa Mui


Komisi Fatwa merupakan unsur pelaksana dari MUI
yang bertugas memberikan fatwa kepada pemerintah dan
masyarakat baik diminta maupun tidak. Sebab, membiarkan
persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam
kebingungan tidak dapat dibenarkan baik secara i’tiqadi
maupun syar’i239.117 Oleh nxarena itu, Komisi Fatwa selalu
ada dalam setiap kepengurusan MUI dari tingkat pusat

116

117

118
sampai ke daerah tingkat II (kabupaten/ kota). Dengan
demikian, Komisi Fatwa merupakan komisi yang menyatu
dengan MUI sehingga mempunyai kedudukan yang sangat
penting dan strategis. Oleh karena itu, Ali Mufrodi
mengelompokkan peran MUI sebagai pemberi fatwa itu ke
dalam “peranan pokok” yang menjadi kewajiban MUI240.
Komisi Fatwa merupakan salah satu komisi yang sudah ada
di MUI semenjak organisasi itu pertama kali didirikan pada
tahun 1975 di Jakarta241.118 Pada setiap periode
kepengurusan MUI komisi tersebut selalu ada, sedangkan
komisi-komisi lainnya tidaklah demikian. Lebih dari itu,
aktifitas komisi ini terlihat paling menonjol di antara komisi-
komisi lainnya di MUI dan turut mewarnai eksistensi dan
kiprah MUI di tengah-tengah masyarakat.
Eksisitensi Komisi Fatwa sangat terkait dengan lima
peran utama MUI yaitu sebagai ahli waris para nabi yang
mewarisi tugas para nabi, pemberi fatwa, pembimbing dan
pelayan umat, gerakan ishldh wa al-tajdid, dan penegak
amar makruf nahi munkar242. Peran MUI sebagai pemberi
fatwa bagi umat Islam baik diminta maupun tidak
dilaksanakan oleh Komisi Fatwa. Dengan demikian, Komisi
Fatwa merupakan komisi yang menyatu dengan MUI. Oleh
karena itu, Ali Mufrodimengelompokkan peran MUI sebagai
pemberi fatwa itu ke dalam “peranan pokok” yang menjadi
kewajiban MUI243.119 Atas’dasar itu pula, maka Helmi Karim
menempatkan Komisi Fatwa sebagai “komisi istimewa” yang
mendapat perhatian khusus karena pemerintah dan
masyarakat sangat memerlukan nasehat agar perubahan-
perubahan sosial yang ditimbulkan oleh kemajuan iptek serta
pembangunan tidak menjadikan masyarakat, bangsa dan
Negara Indonesia menyimpang dari ajaran Islam244.120
Guna mendukung pelaksanaan tugasnya, Komisi Fatwa
telah melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut. Pertama,
mengembangkan kegiatan ilmiah di bidang ilmu Syari’ah di
kalangan ulama. Kegiatan tersebut mencakup berbagai
masalah umat Islam sesuai dengan tuntutan kebutuhan
dalam rangka memberikan tuntunan dan pedoman hukum
bagi umat Islam. Kegiatan ini baru dapat dilakukan secara

118

119

120

119
informal dalam bentuk kajian-kajian terbatas di lingkungan
internal Komisi Fatwa. Misalnya kajian tentang wakaf
menghasilkan reformulasi definisi wakaf guna mengakomodir
perkembangan wakaf uang259. Juga kajian tentang hayawdn
al-md ‘i guna menetapkan status hukum kepiting laut260.
Kedua, meningkatkan kedudukan dan peranan Komisi Fatwa
menuju kesatuan fatwa sebagai forum ilmiah di antara ulama
dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuan secara
berkala dan sitematis261121 seperti pertemuan pertengahan
Desember tanggal 2003 yang menghasilkan kesepakatan
fatwa mengenai haramnya transaksi yang berbasis
bunga262.122 Menurut Ali Mustafa Yaqub, anggota Komisi
Fatwa MUI, fatwa tersebut merupakan hasil “ijtima” ulama
Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia sehingga layak disebut
“ijma”‘ ulama Indonesia. Ketiga, berusaha meningkatkan dan
memperluas jangkauan fatwa dengan cara mengundang
ulama-ulama ASEAN atau lainnya dengan tujuan mewujudkan
kesatuan pandangan terutama menyangkut hisab dan
rukyah, pangan halal dan sebagainya. Kegiatan ini
diselenggarakan oleh secretariat MABIMS yang ada di
Departemen Agama. Khusus pembahasan mengenai hisab
dan rukyat diselenggarakan setiap tahun antara Menteri-
Menteri Agama ASEAN guna mendapat kesepakatan
mengenai penetapan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal.
Sementara itu, mengenai pangan halal baru dibahas pada
pertemuan bulan Oktober 2003 guna mendapatkan pedoman
bersama mengenai pangan yang halal terutama menyangkut
prinsip-prinsipnya. Dengan demikian, Sertifikat Halal yang
dikeluarkan oleh salah satu negara dapat diakui oleh negara-
negara yang lain di lingkungan ASEAN2.123
Keempat, memasyarakatkan hasil-hasil kajian ulama-
ulama Islam pada umumnya dan memberi masukan kepada
Peradilan Agama265. Kegiatan tersebut dilakukan dalam
rangka memberikan nasehat kepada berbagai pihak yang
membutuhkan seperti instansi pemerintah, lembaga swasta
maupun perseorangan. Kelima, mengusahakan dan
memperjuangkan agar setiap produk fatwa MUI di tingkat
Pusat maupun Daerah dapat diakomodir oleh hukum positif

121

122

123

120
sehingga fatwa tersebut mempunyai kekuatan hukum 66,
Produk fatwa MUI Pusat dapat diakomodir menjadi hukum
positif melalui penyerapaan fatwa kedalam undang-undang
(UU) ataupun peraturan pemerintah (PP), sedangkan produk
fatwa MUI Daerah dapat diserap ke dalam berbagai peraturan
daerah (Perda).

d.Pedoman Tata Cara Penetapan Fatwa


Setiap putusan yang dikeluarkan oleh komisi fatwa
harus mempunyai dasar dari Kitabullah dan sunnah rasul
yang mu’tabarah, dan tidak bertentangan dengan maslahat
umat. Bila tidak ditemukan, maka diupayakan jawabannya
melalui ijtihad, dengan catatan tidak bertentangan dengan
ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain,
seperti istihsān, maslahah mursalah, dan sadd al-zarī’ah.
Sebelum fatwa diputuskan, pendapat mazhab-mazhab
terdahulu dengan dalil-dalil hukumnya juga perlu ditinjau dan
diperhatikan, di samping pendapat para ahli.124
Pasal 3, 4, dan 5 berisi prosedur penetapan fatwa.
Pasal 3 merupakan gambaran dari sikap MUI ketika
menghadapi suatu masalah. Dalam hal ini, ketika MUI
mendapat sebuah masalah, maka masalah itu akan dikaji
oleh anggota komisi atau tim khusus paling lambat seminggu
sebelum disidangkan. Bila masalah itu sudah dijelaskan oleh
al- Quran dan al-sunnah, maka tidak dianggap perlu adanya
fatwa; tetapi, bila terjadi perbedaan pendapat, maka perlu
ada fatwa tarji>h dari antara pendapat-pendapat itu dengan
menggunakan kaidah-kaidah perbandingan yang terdapat
dalam fiqh muqaran. Pasal 4 merupakan kelanjutan dari
pasal sebelumnya, bila setelah kajian mendalam dan
komprehensif serta mempertimbangkan berbagai pendapat
yang berkembang dalam sidang, fatwa siap ditetapkan. Pasal
5 merupakan gambaran tentang bagaimana dan apa saja
yang harus dituangkan dalam sebuah surat keputusan fatwa.
Menurut pasal ini, fatwa harus ditandatangani oleh Dewan
Pimpinan, harus dengan menggunakan bahasa yang mudah
dipahami, fatwa disertai uraian dan analisis secara ringkas,
juga sumber pengambilannya. Tindak lanjut, solusi, dan
rekomendasi juga dituangkan dalam keputusan fatwa bila
mana perlu.
124

121
Pasal 6 mengatur masalah sidang komisi dan tata cara
penyelenggaraannya. Menurut pasal ini, sidang komisi harus
dihadiri oleh anggota yang jumlahnya dianggap memadai
oleh ketua komisi. Sidang komisi diadakan jika permintaan
atau pertanyaan dari masyarakat, pemerintah, LSM, atau MUI
sendiri yang oleh MUI dianggap perlu pembahasan dan
difatwakan. Pasal 7 menjelaskan kewenangan dan hierarki
MUI Pusat dan daerah. MUI Pusat berwenang mengeluarkan
fatwa tentang masalah keagamaan yang bersifat umum dan
menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional,
sedangkan MUI daerah hanya membahas dan mengeluarkan
fatwa tentang masalah keagamaan yang ada di daerahnya.
Sebelum mengeluarkan fatwa, MUI daerah harus terlebih
dahulu berkonsultasi dengan MUI Pusat. Penentuan klasifikasi
masalah dilakukan oleh tim khusus. Pasal 8 dan 9 adalah
pasal penutup. Pasal 8 mengatur masalah kedudukan fatwa
MUI Pusat dan daerah. Keduanya memiliki derajat yang sama
dan tidak saling membatalkan. Bila mana terjadi perbedaan,
maka kedua dewan pimpinan segera mengadakan
pertemuan untuk mencari penyelesaian yang paling baik.

e. Pengelompokan Fatwa Mui


Secara garis besar fatwa-fatwa 7 MUI itu dapat
dikelompokan ke dalam tiga kelompok sebagai berikut: (a)
Fatwa-fatwa keagamaan pada umumnya baik yang berkaitan
dengan persoalan akidah, ibadah, akhlak, kemasyarakatan,
dan sebagainya13.125 Fatwa-fatwa jenis ini dihasilkan oleh
Komisi Fatwa MUI yang kemudian oleh Pimpinan Harian MUI
disampaikan kepada pihak-pihak yang meminta fatwa
(mustafti). (b)Fatwa-fatwa yang berkaitan dengan ekonomi
Islam (mu’dmalah). Fatwa-fatwa jenis ini dihasilkan oleh
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia
guna menampung transaksi-transaksi di bidang ekonomi
Islam dan dipedomani oleh lembega-lembaga keuangan
syari’ah seperti bank syari’ah, BPR syari’ah, BMT, dan
sebagainya14. (c) Fatwa-fatwa yang berkaitan produk
pangan, obat-obatan dan kosmetika. Fatwa-fatwa jenis ini
dihasilkan oleh Komisi Fatwa MUI dan biasa disebut Fatwa
Halal karena umumnya berisi “fatwa halal” dan baru sekali
berisi “fatwa haram” seperti yang terjadi pada produk
125

122
Ajinomoto yang menggunakan bactosoyton dalam proses
produksinya. Selanjutnya, fatwa-fatwa tersebut kemudian
diproses oleh MUI menjadi Sertifikat Halal15.

f. Kedudukan Fatwa Ulama


Kedudukan fatwa ulama tidak terlepas dari kedudukan
ulama dalam Islam. Menurut Mochtar Husein, para ulama
memiliki tiga keistimewaan di samping tiga kedudukan yang
ideal dalam Islam. Adapun ketiga keistimewaan tersebut
adalah sebagai ahli waris para nabi (waratsah al-anbiyd’),
pelita bagi umatnya (sirdj munir), dan pemberi syafaat pada
hari Kiamat25. Sementara itu, tiga kedudukan yang ideal
ulama adalah sebagai berikut : pembawa rahmat bagi semua
alam (tahmatan lil’dlamin), umat yang terbaik (khair ummah)
dan pemimpin (Imam). Berdasarkan uraian tersebut, jelaslah
bahwa ulama mempunyai kedudukan yang tinggi dan
terhormat dalam masyarakat Islam. Saletore sebagaimana
dikutip oleh Ibn Qoyyim Isma’il27126 menyatakan bahwa
semenjak abad pertengahan umat Islam telah memberikan
kedudukan yang tinggi terhadap ulama karena penguasaan
mereka terhadap ilmu agama.
Mereka telah menjalankan amanah nabi yakni
menyebarkan dan melestraikan ajaran Islam kepada
masyarakat. Mereka menjadi penafsir al-Qur’an dan hadis-
hadis Rasulullah saw dalam bentuk dan rumusan yang
sistematis seperti terlihat dalam karya-karya tulis mereka.
Dengan demikian, mereka telah menciptakan body of
knowledge keagamaan melalui karya-karya tulis mereka.
Oleh karena itu, mereka telah berhasil mewariskan ilmu
keislaman dari satu generasi ke generasi berikutnya28. 127
Mereka juga menjadi tumpuan bertanya umat tentang
berbagai persoalan keagamaan karena mareka dinilai
sebagai pihak yang paling berkompeten dalam menjawab
berbagai persoalan keagamaan. Atas dasar pertanyaan-
pertanyaan tersebut, maka lahirlah produk baru yaitu fatwa
ulama,
Hal ini terjadi karena secara doktriner ulama
merupakan ahl al-dzikr yang menjadi tumpuan umat untuk
bertanya menanyakan berbagai persoalan keagamaan.

126

127

123
Dengan perkataan lain, ulama menjadi mufti yang menjadi
tumpuan para mustafti sebagaimana telah diisyaratkan oleh
Allah dalam surat al-Anbiyd’[21] : 7 berikut ini: Tugas sebagai
mufti bukanlah tugas yang ringan, melainkan tugas yang
berat dan sulit karena kelak di ? akhirat akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah swt. Hal ini mengingat
tujuan dari tugas tersebut adalah menjelaskan hukum-hukum
Allah kepada masyarakat yang akan mempedomani dan
mengamalkannya30.128 Seorang mufti dalam memberikan
fatwa harus berdasarkan dalil. la tidak dibenarkan berfatwa
hanya didasarkan pada keinginan dan kepentingan kelompok
tertentu atau berdasarkan dugaan semata. Apabila hal
tersebut ia lakukan, berarti ia telah melakukan tahakkum
yang diharamkan oleh Allah sebagaimana telah
diperingatkan oleh Allah dalam al-Nahl [16] : 116 berikut ini;
Menurut al-Syathibi, mufti itu menggantikan kedudukan
Nabi dalam hubungannya dengan umat karena tiga peran
yang dilakukannya. Ia berperan sebagai ahli waris yang
mewarisi ilmu-ilmu agama dari para nabi. Ia juga berperan
sebagai muballigh yang menyampaikan {mukhbir) ajaran
Islam kepada umat sebagaimana nabi. Ia juga berperan
sebagai sydri’ dari satu sisi karena hukum syara’ yang
disampaikannya itu terkadang ia sampaikan secara manqul
dari sumbernya dan terkadang juga ia sampaikan melalui
proses istimbdth dari sumbernya. Berdasarkan kedudukan
tersebut, mufti itu merupakan mukhbir yang bertugas
menyampaikan ajaran Allah sebagaimana nabi. Juga sebagai
sumber datangnya hukum Allah atas perbuatan mukallaf
berdasarkan hasil pemikirannya sebagaimana nabi, Juga
sebagai pelaksana urusan umat sebagaimana nabi. Oleh
karena itu, mufti termasuk ulil amri yang wajib ditaati. Taat
kepada meraka berarti taat kepada Allah dan Rasul-Nya
sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam al-Nisd’ [4] :
59 berikut ini:
Di samping itu, menurut al-Syathibi, fungsi fatwa ulama
bagi orang ‘awean laksana dalil bagi para mujtahid, Mujtahid
selalu terikat dengan dalil dalam setiap aktifitas ijtihadnya
sehingga dalil menjadi rujukan dalam setiap produk ijtihad
yang dihasilkannya. Oleh karena itu, fatwa ulama menjadi
rujukan bagi orang ‘awam dalam mengamalkan hukum-
128

124
hukum agama33. Senada dengan pendapat tersebut, al-
Ghazali (w.505 H / 1111 M) mewajibkan orang ‘awarn untuk
meminta fatwa kepada para ulama dan mengikuti fatwa yang
mereka keluarkan. Hal ini dilakukan mengingat ijma’ para
sahabat yang menetapkan orang ‘awam untuk meminta
fatwa kepada para ulama dan tidak memerintahkan mereka
untuk belajar sampai mencapai derajat mujtahid. Di samping
itu, orang ‘awam juga terkena taklif hukurn-hukurn syara’.
Apabila mereka ditaklifkan untuk belajar sampai peringkat
mujtahid maka hal itu adalah mustahil untuk dapat
dilaksanakan. Lebih dari itu, taklif tersebut akan
menimbulkan berbagai kesulitan34.129
Al-Amidi mempertegas pendapat tersebut. Menurutnya,
orang awam dan orang-orang yang tidak mencapai derajat
mujtahid meskipun sudah mempelajari sebagian ilmu-ilmu
yang diperlukan untuk berijtihad tetap diwajibkan mengikuti
pendapat para mujtahid dan mengikuti fatwa-fatwa
mereka.35130 Selanjutnya, al-Amidi mencoba menjelaskan
alasan mengikatnya fatwa ulama terhadap mustafti.
Pertama, firman Allah yang terdapat dalam surat al-Nahl [16]
: 43 dan al-Anbiya’ [21] : 7 yang menyuruh orang ‘awam
bertanya kepada ulama36. Ayat tersebut ‘dmm sehingga
khitdbnya ditujukan kepada semua orang yang tidak
mengetahui (‘awam). Kedua> masyarakat ‘awam pada
zaman sahabat dan tabi’in meminta fatwa kepada para
ulama dan mengikuti mereka dalam hukum-hukum syara’.
Para ulama merespon pertanyaan-pertanyaan tersebut
dengan memberikan jawaban (fatwa) tanpa menyebutkan
dalilnya. Hal ini menunjukkan adanya ijma’ atas bolehnya
orang ‘awam mengikuti ulama secara mutlak37.131 Menurut
Muhammad Salam Madkur, fatwa itu menjadi hujjah syar
‘iyyah yang mengikat bagi mustafti karena madzhab mustafti
itu mengikuti madzhab muftinya. Oleh karena itu, mustafti
wajib mengikuti pendapat mujtahid dan mengamalkan fatwa
yang dihasilkannya38.132
Dengan demikian, para ulama dalam kelompok ini
melihat fatwa dari sisi pihak yang menghasilkan fatwa yaitu

129

130

131

132

125
ulama yang menguasai hukum-hukum syara’ dalam
hubungannya dengan mustafti yang ‘awam terhadap hukum-
hukum syara’. Maka, logis apabila orang ‘awam bertanya
kepada ulama dan jawaban ulama berupa fatwa diikuti dan
dipedomani oleh mereka. Oleh karena itu, fatwa ulama itu
mengikat mereka. Berbeda halnya dengan pendapat-
pendapat tersebut, al-Syaukani mengemukakan pendapat
sekelompok AM al-’Ilmi yang tidak mewajibkan secara mutlak
orang awam mengikuti fatwa ulama. Bahkan menurut al-
Qaraf dari madzhab Maliki, orang awam tersebut harus
berijtihad dan tidak boleh taklid kepada ulama3 . Pendapat
yang senada juga dikemukakan oleh Mu’tazilah meskipun al-
Jubba’i, salah seorang tokoh Mu’tazilah, memperbolehkan
orang ‘awam untuk taqlid kepada ulama dalam persoalan-
persoalan ijtihadiyyah . Yang terakhir ini pendapat yang
dipilih oleh pengarang “al-Mu’tamad ft Ushul al-Fiqh’’41. 133
Lebih dari itu, Ibn Hazm (w.270 H) melarang seseorang untuk
taqlid kepada ulama baik yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal dunia. Meskipun demikian, apabila mereka
mengeluarkan fatwa berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadis,
maka fatwanya dapat diikuti dan diamalkan42. 134 Akan tetapi,
apabila fatwanya tersebut hanya berdasarkan pada
pendapatnya saja (ra’yu), atau berdasarkan qiyas, atau
mengikuti pendapat ulama yang lain, maka fatwanya tidak
perlu diikuti. Sebab, perintah Allah untuk mengikuti ulama
sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam surat al-
Anbiya’ : 7 adalah karena landasan mereka kepada dalil dari
Allah dan Rasul-Nya43.135
Nampaknya, para ulama yang tidak mewajibkan orang
‘awam untuk mengikuti fatwa ulama tersebut melihat fatwa
sebagai produk ijtihad yang dihasilkan oleh mujtahid.
Sebagai produk ijtihad, hasil yang dicapainya tidak sampai
pada derajat qath ‘i tetapi hanya sampai pada derajat
zhanni yaitu dugaan kuat yang dapat dicapai oleh seorang
mujtahid dalam ijtihadnya yang disebut ghlabah al-zhann.
Dengan demikian, ijtihadnya tidak berdasarkan dalil yang
qath’t {qath ‘i al-daldlah) atau perkara-perkara yang sudah
disepakati (al-mujma’ ‘alaih) sehingga masih terbuka peluang

133

134

135

126
bagi mujtahid yang lain untuk melakukan ijtihad dalam
masalah tersebut yang hasilnya bisa saja berbeda. Dengan
perkataan lain, mujtahid tersebut hanya dapat
menyampaikan hasil ijtihadnya menurut dugaan kuatnya
bahwa inilah hukum Allah tentang suatu masalah, tetapi
tidak dapat memastikannya. Oleh karena itu, fatwa ulama
tidak mempunyai daya ikat (hujjiyyah) terhadap umat44.
Adanya perbedaan pendapat tersebut terjadi karena
perbedaan pendekatan yang dilakukan. Kelompok pertama
lebih mengedepankan pendekatan etis dalam melihat
hubungan antara mufti (ulama) yang menguasai hukum
syara’ dengan mustafti yang ‘awam. Maka, secara logis
orang ‘awam bertanya kepada ulama dan jawabannya
berupa fatwa ulama diikuti dan dipedomani oleh orang
‘awam. Sementara itu, kelompok kedua lebih
mengedepankan pendekatan formal. Maka, secara formal
fatwa ulama itu tidak mengikat siapapun karena ia bukan
hukum yang mempunyai daya ikat (memaksa) seperti
keputusan hakim (qadli).
Dengan demikian, fatwa yang disampaikan oleh
seorang mufti itu hanya sampai pada derajat kebenaran yang
relative sebagaimana keputusan pengadilan. Keduanya
hanya sampai pada tingkat lahiriah dalam arti bisa benar dan
bisa juga salah, tetapi tidak sampai pada aspek hathiniah
(kebenaran hakiki atau kebenaran muthlaq). Oleh karena itu,
masih diperlukan pertimbangan lain dalam mengamalkan
fatwa ulama tersebut yaitu persetujuan hati nurani yang
dapat menyentuh aspek bathiniah tersebut45. Inilah
pendekatan spiritual yang lebih bernuansa sufistik dan
seyogyanya dilakukan hanya sebagai pelengkap atau
penyempurna saja agar lebih memantapkan hati mustafti
dalam mengamalkan fatwa ulama.
Meskipun demikian, menurut Ali Yafie, fatwa tersebut
mengikat secara “moral”, sedangkan hukum mengikat secara
“formal”49.136 Oleh karena itu, fatwa tersebut setidak-
tidaknya mengikat dua fihak. Pertama, fihak yang
mengeluarkan fatwa dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia.
Kedua, fihak yang meminta fatwa (mustafti) dalam hal ini
produsen pangan, obat-obatan dan kosmetika. Hal ini terjadi
karena madzhab mustafti itu mengikuti madzhab muftinya.
136

127
Oleh karena itu, ia wajib mengikuti Fatwa Halal yang telah
dikeluarkan oleh MUI sebagai muftinya 50.137
Muhammad Salam Madkur menambahkan bahwa fatwa
ulama itu • 7 menjadi hujjah syar’iyyah yang mengikat bagi
mustafti. Oleh karena | itu, wajib diikuti oleh mustaftf1. Hal
tersebut terjadi karena pada ] hakekatnya fatwa tersebut
sebenarnya bukan hasil pemikiran para ulama semata-mata
(ra’yu), tetapi merupakan produk hukum syar’i Abd al-
Wahhab Khallaf menyebutkan sebagai hukum syar’i yang
dirumuskan melalui perantaraan para ulama52.138

g.Hubungan Organisasi
Dengan terbentuknya MUI di pusat pada tahun 1975,
terbentuklah MUI secara hirarkhis sampai tingkat kecamatan.
Hubungan organisasi antar MUI di berbagai tingkatan
tersebut bersifat koordinatif, aspiratif dan sturktural
administrative. Sementara itu, hubungan MUI dengan
Ormas-Ormas Islam bersifat konsultatif dan
kemitraan7 .Sebelum 1983, fatwa bukan otoritas MUI pusat,
MUI daerah juga bisa mengeluarkan fatwa. Untuk
menyamakan, sejak tahun tersebut semua fatwa harus
dikonsultasikan ke MUI pusat. MUI daerah boleh berfatwa
berdasarkan watak ke daerahan dan harus berkonsultasi
dengan MUI Pusat, supaya tidak tumpang tindih dan
berlawanan. Karenanya, MUI Madura dan Jawa Timur ketika
mengeluarkan fatwa soal Syiah sebenarnya melawan pakem,
karena MUI pusat belum punya fatwa soal Syiah. Yang
diterbitkan MUI pada tahun 1980-an soal Syiah, dalam
perspektif MUI, bukanlah fatwa, tapi rekomendasi. Dalam
nomenklatur MUI, rekomendasi beda dengan fatwa.
Rekomendasi adalah tawsiyya (wasiat). Ya, MUI punya wasiat
soal kehati-hatian pada Syiah Ghullat.

h.Produk MUI.
MUI (Majelis Ulama Indonesia) memiliki beberapa jenis
produk yang yang dihasilkan melalui rapat. Di antara produk
tersebut adalah (a) Fatwa, Fatwa adalah jawaban atas
pertanyaan yang diajukan oleh umat baik bersifat individu,
organisasi, golongan atau pemerintah. (b) Ijma’ ulama

137

138

128
Indonesia, fatwa yang dihasilkan melalui “ijtima”‘ ulama
Komisi Fatwa MUI seluruh Indonesia. (c) Tausiyya atau
rekomendasi/ Tausiyya/wasiat. (d) Sikap keagamaan : Sikap
keagamaan MUI ini merupakan salah satu dari produk MUI
yang derajatnya lebih tinggi daripada Fatwa. 139

____________________

139
Hal ini diungkapkan oleh Abdul Chair Ramadhan, yang merupakan
anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Karena sikap keagamaan ini dihasilkan melalui kajian
dari komisi Pengkajian, Komisi Hukum dan Hak asasi Manusia, komisi
fatawa, serrta komisi komunikasi dan informasi. MUI pada tanggal 11
Oktober 2016 mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan terkait
pidato Basuki Cahaya Purnama di Kepulauan seribu Jakarta. Sejak
didirikan pada 1975, MUI baru pertama kali ini mengeluarkan pendapat
dan sikap. Lihat Kompas, Rabu, 01-03-20-17.

129

Anda mungkin juga menyukai