Anda di halaman 1dari 20

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

PERSPEKTIF HADITS
Teguh Luhuringbudi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia
sampaiteguh@gmail.com

Achmad Yani
Kantor Wilayah Kementrian Agama, Kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia
achmadyani.yani@yahoo.co.id

Abstract. This study concludes that the rise of corruption, collusion, and nepotism in the
time of the Prophet Muḥammad comes from a variety of special terms and is contained in
ḥadīth. These emerging terms affect the different usage associations of each term. The
method used in this research is analytical and descriptive method. This study uses two
approaches. The first approach used in the research is the 'ilm al-Ḥadīth approach. This
approach is used to measure ḥadīth-ḥadīth relating to corruption, collusion and nepotism
in terms of quality of matan and sanad; and its asbāb al-Wurūd. The second approach is
the linguistic approach. This approach is enabled to explore the rationality of corruption,
collusion, and nepotism through tradition, systematics, and language tendencies in
producing an understanding. This research has several objectives. Firstly, to authenticate
corruption, collusion, and nepotism as disciplinary and inconsistent attitudes that can be
present in human beings without being limited by the dimension of time and space.
Secondly, to verify and measure the existence of cases of corruption, collusion, and
nepotism in the time of Mu'ammad ibn 'Abdillāh by analyzing the matan al-Ḥadīth, Sharh
al-Ḥadīth, and asbāb al-Wurūd. Thirdly, inventory the terms of corruption, collusion, and
nepotism in ḥadīth and map their usage.
Keywords: Corruption, Collusion, Nepotism, and Ḥadīth

Abstrak. Penelitian ini menyimpukan bahwa maraknya karupsi, kolusi, dan nepotisme
pada masa nabi Muḥammad hadir dari istilah khusus yang beragam dan terdapat dalam
ḥadīth. Istilah-istilah yang muncul tersebut berdampak pada asosiasi penggunaan yang
berbeda dari masing-masing istilahnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode analitis dan deskriptif. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan.
Pendekatan pertama yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan ‘ilm al-
Ḥadīth. Pendekatan ini difungsikan untuk menakar ḥadīth-ḥadīth yang berkaitan dengan
korupsi, kolusi, dan nepotisme secara kualitas matan dan sanadnya; dan asbāb al-Wurūd
nya. Pendekatan kedua adalah pendekatan kebahasaan. Pendekatan ini difungsikan
untuk menelusuri rasionalitas terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui tradisi,
sistematika, dan kecenderungan kebahasaan dalam memproduksi suatu pemahaman.
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mengobjektifikasi korupsi, kolusi, dan
nepotisme sebagai sikap indisipliner dan inkonsisten yang dapat hadir dalam diri
manusia tanpa dibatasi dimensi waktu dan ruang. Kedua, memastikan dan mengukur
keberadaan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme pada masa Muḥammad ibn ‘Abdillāh
dengan menganalisis matan al-Ḥadīth, Sharh al-Ḥadīth, dan asbāb al-Wurūd. Ketiga,
menginventarisir istilah-istilah korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam ḥadīth dan
memetakan penggunaannya.
Kata Kunci: Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Ḥadīth
1
JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and Plurality -- Volume 3, Nomor 2, Desember 2018

Pendahuluan Upaya mengkomparasikan


Muhammad ibn ‘Abdillāh diskursus waktu atau tempat dalam
merupakan sosok yang menjadi teladan tema atau kasus tertentu tidak lebih dari
dengan kebulatan perangai dari upaya kesewenang-wenangan untuk
berbagai sudut pandang. Pandangan memberi sentimen positif pada waktu
yang menyatakan bahwa Muhammad atau tempat tertentu dan sentimen
ibn Abdillah sebagai sosok yang negatif terhadap waktu atau tempat lain.
sempurna seringkali tidak dapat lepas Objektifikasi suatu moralitas
dari intervensi subyektif. harus dilakukan dengan menetralkan
Subyektifitas tersebut didasarkan suatu tema atau kasus dengan
pada norma, ikatan ideologis, menyampaikan pengetahuan bahwa
pemahaman konservatif, dan setiap dimensi waktu dan tempat
keterlibatan dogma. Pandangan lain memiliki dinamika tersendiri dan tidak
menyatakan kebulatan perangai yang dapat disamakan dengan yang lain.
berkonotasi positif didasarkan pada Dinamika etika Muḥammad ibn
budaya ilmiah yang pada akhirnya ‘Abdillāh sebagai public figure yang
menghasilkan negative frame maupun dibandingkan dengan dekadensi moral
positive frame pada diri Muhammad ibn umat Islam perlu dilakukan
Abdillah. objektifikasi. Beragam kepribadian dan
Hal tersebut didasarkan pada perilaku setiap manusia merupakan
upaya merespon suatu thesa yang unifikasi yang rumit untuk diidentifikasi,
menyatakan bahwa Muhammad ibn apalagi diteliti secara mendalam.
‘Abdillāh sebagai sosok yang Upaya pengukuran etika dan
berperangai baik tanpa atau minim nilai moral umat Islam di dimensi waktu dan
indisipliner-inkonsistensi. Respon yang tempat yang berbeda perlu dikhususkan
diterapkan berupa budaya ilmiah dan pada tema, pengambilan data, disiplin
tradisi tulis untuk membuktikan sejauh keilmuan, dan tujuan tertentu sehingga
mana tingkat perangai baik yang ada diharapkan dapat menghasilkan
pada diri Muhammad ibn Abdillāh. wawasan yang mendalam, deeply added
Kedua pandangan tersebut insight. Hal ini juga berguna dalam
bermuara pada upaya menghadirkan melacak dan memastikan dinamika
antithesa atau pertanyaan kritis berupa moralitas pada masa Nabi Muḥammad
sejauh mana integritas moral ibn ‘Abdillāh.
Muhammad ibn ‘Abdillāh sebagai public Penelusuran etika Muhammad
figure dan kontekstualisasinya? SAW dan moralitas masyarakat di
Etika Nabi Muḥammad SAW dan zamannya perlu ditilik pada tema
dekadensi moral umat Islam merupakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini
diskursus yang tidak kunjung selesai tidak hanya didasarkan pada stigma
dan selalu melibatkan subyektifitas dari korupsi sebagai extraordinary crime,
setiap variabel pengukurannya. Variabel namun juga keberadaan kolusi dan
pengukuran berupa disiplin keilmuan nepotisme yang berdampak pada
(Islamic Studies, Dirāsāt Islāmiyyah) dimensi ketata-negaraan, sosial,
yang sejatinya memiliki nuansa obyektif keadilan, kemanusiaan, dan hak asasi
dan bebas nilai digunakan untuk manusia.
melegitimasi suatu sikap ideologis- Pelacakan sejarah korupsi, kolusi,
dogmatis-subyektif sebelum penelitian dan nepotisme di masa Nabi SAW
(terkait) berhasil memproduksi hasil menjadi pertimbangan tersendiri dalam
penelitian. mengukuhkan teori sejarah dari ketiga
tema tersebut. Pelacakan tersebut

229
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS -- Teguh Luhuringbudi

menjadi stimulasi dalam memicu Penyelenggara Negara dan pihak lain


penelitian-penelitian lanjutan yang yang merugikan orang lain, masyarakat,
membahas penanganan korupsi, kolusi, dan atau negara.2 Nepotisme adalah
dan nepotisme. setiap perbuatan Penyelenggara Negara
Pemahaman mendasar tentang secara melawan hukum yang
ketiga tema tersebut didasarkan pada menguntungkan kepentingan
keterbatasan dalam mengendalikan id, keluarganya dan atau kroninya di atas
ego, dan superego sekaligus fitrah kepentingan masyarakat, bangsa, dan
manusia untuk mengaktualisasikan negara.3
kebahagiaan paripurna. Perolehan Perbedaan pendapat muncul
kebahagiaan sempurna sebagai fitrah terkait entitas korupsi, kolusi, dan
manusia secara alami akan nepotisme. Pendapat yang
membenarkan korupsi, kolusi, dan memposisikan ketiganya sebagai satu
nepotisme. kesatuan dapat dilihat dari Undang-
Hal ini berarti bahwa ketiga tema undang Republik Indonesia Nomor 46
tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tahun 2009 yang berbunyi, “tindak
saja atau di zaman reformasi pidana yang secara tegas dalam undang-
pemerintahan Indonesia saja, namun undang lain ditentukan sebagai tindak
jauh pada masa sebelumnya manusia pidana korupsi.”4
telah mengalami bahkan melestarikan Pendapat yang tidak secara
korupsi, kolusi, dan nepotisme. inklusif menyebutkan nepotisme dan
kolusi sebagai satu entitas dengan
Pondasi Primordial: Definisi, korupsi tersebut dijelaskan dalam ayat 2
Historisitas, Normativitas, dan pasal 5 UU RI Nomor 20 Tahun 2001
Dinamika Korupsi, Kolusi, dan yang berbunyi, “Yang dimaksud
Nepotisme penyelenggara negara dalam Pasal ini
Definisi korupsi, kolusi, dan adalah penyelenggara negara
nepotisme dapat dilihat dari sudut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
pandang hukum dalam konteks ke- Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
Indonesia-an. Korupsi adalah tentang Penyelenggara Negara yang
penyalahgunaan amanah untuk Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
kepentingan pribadi.1 dan Nepotisme. Pengertian
Produk hukum mendefinisikan penyelenggara negara tersebut berlaku
kolusi sebagai pemufakatan atau pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam
kerjasama secara melawan hukum Undang-undang ini.”5
antar-Penyelenggara Negara atau antar

1 Syamsul Anwar, Fikih Antikorupsi: 3 Undang-undang Republik Indonesia

Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih Nomor 28 Tahun 1999 tentang


dan Tajdid PP. Muhammadiyah (Jakarta: Pusat Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Studi Agama dan Peradaban, 2006), 10. Teguh dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I
Luhuringbudi, Analisa Pengaruh al-Qawāid al- Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5.
Uṣūliyyah dan al-Fiqhiyyah terhadap Perbedaan 4 Undang-undang Republik Indonesia

Pendapat dalam Fiqih: Kasus Hukuman untuk Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, Makalah Matakuliah Tindak Pidana Korupsi, Bab III (Kewenangan),
Islamic Law (Jakarta: Sekolah Pascasarjana Pasal 6, Butir C.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 5 Penjelasan atas Undang-undang Republik

2016), 1. Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang


2 Kolusi dalam aspek perdagangan Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
didefinisikan sebagai hubungan antara penawar Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
(bidder) yang membatasi persaingan dan Pidana Korupsi, Pasal 5 Ayat 2.
merugikan pembeli publik. 24.

230
JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and Plurality -- Volume 3, Nomor 2, Desember 2018

Korupsi, kolusi, dan nepotisme Peristiwa perang di masa


merupakan tindakan indisipliner yang Muhammad merupakan peristiwa
terjadi sejak lama, baik dalam konteks sejarah yang menelurkan empat kasus
ke-Indonesia-an maupun sejarah di sekaligus. Kasus pertama adalah kasus
masa Muḥammad ibn ‘Abdillāh. kolusi. Hal ini ditunjukkan dengan
Luhuringbudi mencontohkan adanya persekongkolan dalam
ketiga tindakan tersebut dalam konteks menyembunyikan harta sebagaimana
‫ْس بَ َقرةٍ يم ْن ال َذ َه ي‬ ‫ فَجاءوا بيرأ ٍ ي‬.
redaksi ‫ب‬ َ ‫ْس مثْ يل َرأ ي‬
ke-Indonesia-an dengan pemlesetan
singkatan “Vereenigde Oost-Indische َ ُْ َ
Tindakan penyembunyian harta
Compagnie” yang berarti “Persekutuan
yang dilakukan oleh pasukan
Perusahaan Hindia Timur” menjadi
Muhammad ibn ‘Abdillāh merupakan
redaksi “Vergaan Onder Corruptie” yang
kerjasama dan pemufakatan jahat dalam
berarti “Bangkrut Karena Korupsi” pada
melawan hukum (berupa instruksi
tahun 1602.6
Muhammad untuk mengumpulkan
Ketiga tindakan tersebut juga
semua harta rampasan perang) yang
terjadi di masa Muhammad ibn ‘Abdillāh
merugikan rasa keadilan sesama
yang berdampak pada produk hukum
prajurit.
berupa kehalalan ganimah (harta
Pembuktian persekongkolan
rampasan perang). Hal ini diperjelas
sebagai inti dari definisi kolusi yang
dengan kutipan Hadis berikut:
bermakna lebih dari satu subjek atau
‫ قال رسول هللا صعلى‬: ‫َِب ُهَريْ َرةَ رضي هللا قال‬ ْ ‫َع ْن أي‬ pihak dibuktikan dengan redaksi ‫فَ َجاءُ ْوا‬
‫من األنْبييَ ياء فقال لقومه ال يَْت بَ ْع ي ِْن َر ُج ٌل‬ َ ‫نيب‬ ٌّ ‫ " َغَزا‬: yang mengandung ḍomīr-pronoun yang
jama’ atau plural. Hal ini dapat
‫ْب يِبَا‬ ‫ض َع ْامرأ ٍَة وُهو يُيريْ ُد أ ْن يَْب يِن يِبَا ولَ َّما يَْ ي‬
َ َ َ َ َ ْ ُ‫ك ب‬ َ َ‫َمل‬ mengakibatkan kesenjangan dan
perasaan iri bagi prajurit yang saling
‫َح ٌد ا ْش َََتى‬ َ ‫وًت َوََلْ يَ ْرفَ ْع ُس ُق ْوفَ َها َوَال أ‬
‫َح ٌد بَََن بُيُ ا‬ َ ‫َوَال أ‬ bekerjasama dalam perang namun tidak
‫ات َوُه َو يَْن تَ يظ ُر يوَال َد َها فَغََزا فَ َد ََن يم ْن‬ ٍ ‫َغنَما أَو خلي َف‬ mendapatkan kompensasi atau
َ ْ ‫ا‬ apresiasi setelah perang sedangkan
‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬
‫س‬ ‫َّم ي‬ ْ ‫ص ير أ َْو قَ يريْباا م ْن ذلك فقال للش‬ ْ ‫ص ََل َة الْ َع‬ َ ‫الْ َق ْريَة‬ pihak atau prajurit mendapatkan
kompensasi atau apresiasi.
‫ي‬
‫ت‬ ْ ‫احبي ْس َها َعلَْي نَا فَ ُحبي َس‬ ْ ‫إينَّك َمأْ ُم ْوَرةٌ َوأ َََن َمأْ ُم ْوٌر اللهم‬ Kasus kedua dari hadis tersebut
‫ي‬ ‫ي‬ adalah kasus korupsi. Variabel
َ ‫ت يَ ْع يِن الن‬
‫َّار‬ ْ َ‫َح ََّّت فَتَ َح هللا َعلَْيه فَ َج َم َع الْغَنَائ َم فَ َجائ‬ penyalahgunaan amanah dapat dilihat
‫ليتَأْ ُكلَ َها فَلَ ْم تَطْ َع ْم َها فقال إي َّن فيْي ُك ْم غُلُ ْواال فَ ْليُبَا ي ْع ي ِْن‬ dari kemunculan instruksi sebagai basis
normatif dan pengingkaran sebagai
‫ت يَ ُد َر ُج ٍل بييَ يد يه فقال فيكم‬ ٍ
ْ َ‫م ْن ُك يل قَبيْي لَة َر ُج ٌل فَلَ يزق‬
‫ي‬ basis inkonsisten.
‫ْي أ َْو ثَََلثٍَة‬ ‫ت يَ ُد ر ُجلَ ْ ي‬
َ ْ َ‫ك فَلَ يزق‬ َ ُ‫الْغُلُ ْو ُل فَ ْليُبَا ي ْع ي ِْن قَبيْي لَت‬
Basis normatif ḥadīth tersebut
dapat terlihat dari ‫ج َم َع الْغَنَائي َم‬
َ َ‫ف‬. Instruksi
‫بييَ يدهي فقال فيكم الغُلُ ْو ُل فَ َجاءُ ْوا بيَرأْ ٍس يمثْ يل َرأْ يس بَ َقَرٍة‬ normatif Muhammad tidak sepenuhnya

َ ‫َّار فَأَ َكلَْت َها ُُثَّ أ‬


‫َح َّل‬ ‫يم ْن ال َذ َه ي‬ mendapatkan jawaban positif yang
ُ ‫ت الن‬ ْ َ‫ضعُ ْوَها فَ َجائ‬ َ ‫ب فَ َو‬ dibuktikan dengan fenomena ‫ت يَ ْع يِن‬
ْ َ‫فَ َجائ‬
"‫َحلَّ َها لَنَا‬ ‫ي‬
َ ‫ض ْع َفنَا َو َع ْجَزََن فَأ‬
َ ‫هللاُ لَنَا الْغَنَائ َم َرأَى‬

Teguh Luhuringbudi, Analisa Pengaruh


6 Makalah Matakuliah Islamic Law (Jakarta:
al-Qawāid al-Uṣūliyyah dan al-Fiqhiyyah Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih: Syarif Hidayatullah, 2016), 1.
Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi,

231
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS -- Teguh Luhuringbudi

‫َّار ليتَأْ ُكلَ َها فَلَ ْم تَطْ َع ْم َها فقال إي َّن فيْي ُك ْم غُلُ ْواال فَلْيُبَا ي ْع ي ِْن يم ْن‬
َ ‫الن‬
Ketiga, Pakta integritas tersebut
memunculkan pernyataan dari
‫ ُك يل قَبيْي لَ ٍة َر ُج ٌل‬. Muhammad ibn ‘Abdillah dalam
Kutipan tersebut merupakan mengukuhkan adanya tindakan
upaya dalam memastikan sejauh mana perlawanan hukum dan tidak adanya
instruksi atau hukum berjalan di grass satu pihak pun yang mengakui atau
root. Hal ini membuahkan hasil karena minimal memberi kesaksian terkait
adanya penemuan penggelapan dengan tindakan indisipliner gulūl yang terjadi.
‫ْس بَ َقرةٍ يم ْن ال َذ َه ي‬ ‫ بيرأ ٍ ي‬sebagai
redaksi ‫ب‬ َ ‫ْس مثْ يل َرأ ي‬ َ Hal ini dibuktikan dengan redaksi ‫فقال‬
‫ْي أَو ثَََلثٍَة بيي يدهي‬
barang temuan. Terminologi al-Ghulūl
َ ْ ‫ت يَ ُد َر ُجلَ ْ ي‬ َ ُ‫فيكم الْغُلُ ْو ُل فَ ْليُبَا ي ْع ي ِْن قَبيْي لَت‬
ْ َ‫ك فَلَ يزق‬
dalam Hadis ini dapat dikategorikan
sebagai korupsi berdasarkan definisi ‫فقال فيكم الغُلُ ْو ُل‬.
yang diutarakan oleh Muhammad Tindakan indisipliner dengan
Nāṣir.7 tidak mengakui adanya gulūl (korupsi)
Kasus ketiga adalah nepotisme. merupakan fenomena ketidakstabilan
Hadis tersebut memberikan keterangan sosial (social pathology) yang menurut
bahwa perbuatan melawan hukum Haller dan Shore disebabkan karena
dengan tidak mengumpulkan seluruh kurang maksimalnya kegunaan ilmu dan
harta rampasan perang (ghanīmah) ranah sosial (social discipline) yang
merupakan suatu sikap indisipliner. menggerogoti kehidupan sosial.8
Perlawanan hukum ini dilakukan Persekongkolan dalam melawan
sebanyak tiga kali. Pertama ketika Nabi hukum untuk kepentingan keluarga dan
mengumpulkan harta rampasan perang kroni dibuktikan dengan adanya
merupakan suatu instruksi (‫ج َم َع الْغَنَائي َم‬
َ َ‫)ف‬
keterlibatan lebih dari satu pelaku
agar seluruh prajurit turut melakukan dalam bentuk redaksi verbal ‫جاءُ ْوا‬َ َ‫ف‬
hal yang sama walaupun hasil akhir sebagai representasi dalam memahami
menyatakan adanya ketidakpatuhan dan fenomena nepotisme.
penggelapan. Kasus keempat adalah historisitas
Kedua, tidak adanya perasaan kehalalan ghanīmah. Integritas dan
bersalah disertai pengakuan perbuatan dedikasi umat Islam terhadap instruksi
indisipliner (sebagai bentuk perlawanan pimpinan, Muhammad SAW yang tidak
hukum) saat Nabi mengatakan ada dapat dipertanggungjawabkan
indikasi gulūl hingga keadaan demikian menghadirkan penilaian terhadap
menuntut adanya Pakta Integritas fenomena manusia dalam konteks hadis
(bai’at) seperti redaksi berikut ‫فقال إي َّن‬ tersebut.
ٍ ‫ي‬ ‫ي‬ Hal ini menjadi pertimbangan
ْ َ‫فْي ُك ْم ُغلُ ْواال فَلْيُبَا ي ْع ي ِْن م ْن ُك يل قَبيْي لَة َر ُج ٌل فَلَ يزق‬
‫ت يَ ُد َر ُج ٍل‬ Muhammad SAW dan Allah SWT dalam
‫بيي يدهي‬. mengapresiasi lemahnya integritas dan
َ
dedikasi umat Islam dalam merawat
budaya disiplin untuk menstimulasi

Nāṣir mendefinisikn al-Ghulūl adalah


7 terhadap Perbedaan Pendapat dalam Fiqih:
seorang yang mengambil harta rampasan Kasus Hukuman untuk Tindak Pidana Korupsi,
perang secara diam-diam sedikit atau banyak Makalah Matakuliah Islamic Law (Jakarta:
dan tidak menyetorkannya kepada komandan Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
perang untuk dibagi rata. Al-Shaikh Muḥammad Syarif Hidayatullah, 2016), 1. Dieter Haller dan
Nāṣir al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūh al-Albāni, Ṣahīh al- Cris Shore (Ed), Corruption: Anthropological
Targhīb wa al-Tarhīb, Juz 2: 30. Perspective (London: Pluto Press, 2005), 4.
8 Teguh Luhuringbudi, Analisa Pengaruh

al-Qawāid al-Uṣūliyyah dan al-Fiqhiyyah

232
JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and Plurality -- Volume 3, Nomor 2, Desember 2018

sistem dan birokrasi yang terarah- berlebihan sehingga lebih mudah


terukur, good governance. Kasus diprediksi dan memunculkan pelung
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kolusi.12 Ketiga, tidak adanya upaya
terjadi di saat perang tersebut pencegahan berupa penyelenggaraan
melahirkan produk hukum berupa sistem dan transaksi yang transparan.
kehalalan ghanīmah. Sebab-sebab kemunculan
Korupsi muncul bukan tanpa nepotisme dapat ditilik dari beberapa
sebab. Treisman membagi penyebab pendapat. Pendapat pertama muncul
korupsi menjadi lima sebab. Pertama, dari Sundell yang menyatakan bahwa
income kompetitif berbanding terbalik nepotisme disebabkan empat hal.
dengan kinerja. Kedua, intervensi Pertama, pengaruh politik yang
pemerintah terhadap pasar terlalu dibuktikan dengan tidak adanya
tinggi. Ketiga, perlakuan sama terhadap reformasi (sebagai suatu prinsip
beragam komoditas atau produk oleh kenegaraan) sehingga profesionalitas
pemerintah. Keempat, undang-undang birokrasi menjadi dipertanyakan.13
atau peraturan yang rumit dan tidak Prinsip yang dimaksud adalah promosi
transparan.9 Sundell berpendapat dan transformasi posisi tanpa biaya
bahwa korupsi lahir karena tidak adanya administratif dengan tuntutan adanya
upaya memprofesi10onalkan birokrasi kreteria objektif yang salah satunya
untuk melindungi dari pengaruh politik. berupa persyaratan pendidikan.
Suksesi tindakan sekaligus Kedua, senioritas dan tidak
pelestarian kolusi terjadi karena adanya meritokrasi. Ketiga, adanya
beberapa faktor atau penyebab. unsur kekeluargaan dalam suatu
Pertama, adanya kontrak atau pekerjaan, tugas, atau tanggungjawab.14
pengadaan publik dengan sistem Keempat, aristokrasi memiliki peluang
birokrasi dan administrasi yang lemah dalam mengakses pendidikan yang lebih
sehingga berpotensi melahirkan budaya baik dan pada akhirnya menjamin
persaingan yang tidak sehat.11 keberadaan posisi politis dan karir
Kedua, pengadaan publik yang tertentu.15 Pendapat-pendapat yang
lebih khusus (terutama pengadaan menjabarkan sebab-sebab nepotisme
barang) membuat prosesnya menjadi tersebut memiliki dampak pada tidak
lebih khusus pula sehingga rentan berjalannya birokrasi yang professional.
terhadap praktik anti persaingan. Identifikasi praktik korupsi dapat
Peraturan dan persyaratan yang dilihat dari beberapa unsur. Pertama,
menuntut proses yang lebih detil dan penyalahgunaan posisi publik untuk

9 Boris Begovic, Corruption: Concepts, pemerintahan yang sehat, dan menghambat


Types, Causes, and Consequences (Center for investasi dan pembangunan ekonomi. The
International Private Enterprise Economic OECD Global Forum on Competition, Collusion
Reform Feature Service, 2005), 1-7. Daniel and Corruption in Public Procurement 2010: 10.
Treisman, “The Causes of Corruption: A Cross- 13 Anders Sundell, Nepotism and
national Study,” Journal of Public Economics, 76 Meritocracy, QoG Working Paper Series
(2000): 399-457. (Gothenburg: The Quality of Government
10 Anders Sundell, Nepotism and Institute, 2014), 10.
Meritocracy, QoG Working Paper Series 14 Anders Sundell, Nepotism and
(Gothenburg: The Quality of Government Meritocracy, QoG Working Paper Series
Institute, 2014), 4. (Gothenburg: The Quality of Government
11 The OECD Global Forum on Competition, Institute, 2014), 12-13.
Collusion and Corruption in Public Procurement 15 Anders Sundell, Nepotism and
2010: 9-10. Meritocracy, QoG Working Paper Series
12 Hal ini berdampak pada upaya (Gothenburg: The Quality of Government
pelemahan demokrasi, menghambat tata Institute, 2014), 20.

233
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS -- Teguh Luhuringbudi

keuntungan finansial di bidang pengembangan studi hadis. Achmad


monopoli dalam berbagai pelayanan berhasil menginventarisir hadis tentang
infrastruktur. korupsi yang dibagi menjadi tiga hadis
Kedua, memperoleh tender gulul secara umum, empat belas hadis
dengan cara yang tidak sah bagi gulūl al-ganimah, sembilan hadis gulūl
perusahaan yang mimiliki hubungan al-sadaqah dan hadiyyah al-‘ummal, tiga
dengan orang-orang di posisi publik. hadis risywah, dua hadis suht, satu hadis
Ketiga, penunjukan individu atas dasar bai’at al-imam li al-dunya, lima hadis
nepotisme. jaur al-qadi aw al-imam.17
Keempat, memfasilitasi perizinan Iklim monoton yang dihadirkan
dan pemotongan pajak untuk individu Achmad dalam studi Hadisnya
yang tidak memenuhi syarat difokuskan pada tema besar korupsi
berdasarkan hubungan pribadi. Kelima, semata. Penulis berusaha
penyalahgunaan barang publik untuk mengembangkan Hadis gulul, rishwah,
partai politik atau penggunaan pribadi.16 suht, bai’āt al-Imām li dunya, dan jaur al-
Pembatasan kajian penelitian ini Qādī aw al-Imām pada pemetaan tema
didasarkan pada dua hal. Pertama, korupsi, kolusi, dan nepotisme. .
pembatasan berdasarkan tema besar
dilakukan dengan memfokuskan pada The Facts of the Case
wacana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kategori Nomor
Kedua, pembatasan berdasarkan waktu No Hadis
Hadīs Hadīs
adalah tinjauan hadis-hadis korupsi, 1 Gulūl ‫ إين مسعت‬: ‫عن ابن عمر قال‬ G1
kolusi, dan nepotisme yang
mengindikasikan adanya ketiga ‫ " ال تُ ْقبَ ُل‬: ‫رسول هللا صعلى يقول‬
tindakan indisipliner di masa nabi; dan ْ ٌ‫هوٍر َوال صدقَة‬
‫من‬ ْ ُ‫صَلةٌ بغ يري ط‬
konteks ke-Indonesia-an. 18 ٍ
"‫غلول‬
Kedua pembatasan ini untuk
ditujukan untuk melihat kadar
2 ‫رسول هللا‬
ُ ‫ قال‬: ‫ عن ثواب َن قال‬G 2
degradasi moral pada masa nabi dan ‫اجلسد‬
َ ‫الروح‬
ُ ‫فار َق‬ َ ‫ " َمن‬: ‫صعلى‬
pada masa reformasi di Indonesia. ‫ الْ َكنْ يز‬: ‫ثَلث‬ ٍ ‫وهو بَير ْيءٌ يمن‬
Ketiga, Hadis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah gulul, rishwah, suht,
19
"َ‫والْغُ ْلويل والدَّيْ ين َد َخ َل ا ْجلَنَّة‬
bai’āt al-Imām li dunya, dan jaur al-Qādī 3 ‫عبد هللا بن ُحْب يش ٍي اخلَثْ َع يم ٍي أن‬ ‫ عن ي‬G 3
aw al-Imām. ‫َع َم يال‬ْ ‫أي األ‬ ُّ :‫النيب صعلى ُسئي َل‬
Pembatasan masalah tersebut di
atas merupakan dasar penelitian yang ‫شك فييْ يه‬َّ ‫ إميا ٌن ال‬: ‫ض ُل؟ قال‬ َ ْ‫أَف‬
ditujukan untuk melakukan .ٌ‫غلوَل فيْي يه َو َح َّجةٌ َم ْْبُْوَرة‬ْ ‫هاد ال‬ ٌ ‫َوج‬
‫ي‬

16 Azmi Shuabi, Elements of Corruption in th Dāwūd, Sunan, Kitāb al-Ṭahārah, Bāb Farḍi al-
eMiddle East and North Africa: The Palestinian Wuḍū’, no. 59, juz 1, h.36. Tirmiẓī, Sunan, Kitāb
Case, disampaikan pada 9th International Anti- al-Ṭahārah, Bāb Mā Jā’a Lā Tuqbalu al-Ṣalāt bi
Corruption Conference (IACC), 10-15 October, Gairi Ṭahūr, no. 1, h. 9. Nasā’ī, Sunan, Kitāb al-
1999, Durban, South Africa, 2. Ṭahārah, Bāb Farḍ al-Wuḍū’, no 139, h. 31. Ibn
17 Nur Achmad, PENCEGAHAN KORUPSI Mājah, Sunan, Kitāb al-Ṭahārah, Bāb Lā Tuqbalu
DALAM PERSPEKTIF HADIS Studi Hadis Korupsi al-Ṣalāt bi Gairi Ṭahūr, no. 271, 272, 273, dan
dalam Kutub al-Sittah (Jakarta: Sekolah 274, h. 57.
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2007), 19 Tirmizī, Sunan, Kitāb al-Sair, Bāb Mā Jā’a

103-128. Lihat dalam Tabel : Daftar Inventaris fi al-Ghulūl, No. 1573, h. 403. Ibn Mājah, Sunan,
Hadis Korupsi. Kitāb al-Ṣadāqāt , Bāb al-Tashdīd fī al-Dain, No.
18 Muslim, Ṣaḥīh, Kitāb al-Ṭahārah, Bāb 2412, h. 386.
Wujūd al-Ṭahārah li al-Ṣalāh, no. 224. Abū

234
‫‪JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and Plurality -- Volume 3, Nomor 2, Desember 2018‬‬

‫ض ُل؟ قال‪ :‬طُْو ُل‬ ‫ي‬


‫أي الصَلة أَفْ َ‬ ‫قيْي َل فَ ُّ‬ ‫ك‪َ ،‬وَر ُج ٌل‬ ‫صْي بَ َها ُُثَّ ميُْ يس ُ‬ ‫ح ََّّت ي ي‬
‫َ ُ‬
‫أفض ُل؟‬ ‫ي‬
‫فأي الصدقة َ‬ ‫ت‪ .‬قييل ُّ‬ ‫الْ ُقنُو ي‬
‫ْ‬ ‫ت َمالَهُ‬ ‫اح ْ‬‫اجتَ َ‬
‫ي‬
‫َصابَْتهُ َجائ َحةٌ ْ‬ ‫أَ‬
‫قال‪ُ :‬ج ْه ُد الْم يق يل قيل‪ .‬فَأي احلي ْجرةي‬ ‫ي‬ ‫فَ َحلَّ ْ‬
‫َ‬ ‫ُ‬ ‫ب‬ ‫ت لَهُ ال َْم ْسأَلَةُ َح ََّّت يُصْي َ‬
‫ض ُل؟ قال َم ْن َه َجَر َما َحَّرَم هللا‬ ‫أَفْ َ‬ ‫ش – أ َْو قال ‪ :‬يس َد اادا‬ ‫قيَو ااما يم ْن َعيْ ٍ‬
‫ض ُل؟‬ ‫ي‬ ‫عَّز وج َّل‪ .‬قيل ُّ ي‬ ‫يم ْن َعْي ٍ‬
‫فأي اجلهاد أَفْ َ‬ ‫َ ََ‬ ‫َصابَْتهُ فَاقَةٌ‬ ‫ش ‪َ ،-‬وَر ُج ٌل أ َ‬
‫قال‪ :‬من جاه َد امل ْش يركيْي يِبَاليهي‬ ‫َح ََّّت يَ ُق ْوَم ثَََلثَةٌ يم ْن ذَ يو ْي ا ْحلي َجا يم ْن‬
‫َ ْ َ َ ُ َْ‬
‫ف؟ قال‬ ‫َونَ ْف يس يه‪ .‬قيْي َل فَأ ُّ‬
‫َي الْ َقتْ يل أَ ْشَر ُ‬ ‫ت فََُل اَن فَاقَةٌ‪،‬‬ ‫قَ ْومه‪ :‬لََق ْد أَصابَ ْ‬
‫يي‬
‫‪20‬‬
‫‪َ :‬م ْن أ ُْه يريْ َق َد ُمهُ َو ُع يقَر َج َو ُادهُ"‬ ‫ب‬ ‫ي‬
‫ت لَهُ ال َْم ْسألَةُ‪َ ،‬ح ََّّت يُصْي َ‬ ‫فَ َحلَّ ْ‬
‫‪4‬‬ ‫‪Rishwah‬‬ ‫هللا بْ ين َع ْم ٍر قال ‪ :‬لَ َع َن‬ ‫عبد ي‬ ‫‪ R 1‬عن ي‬ ‫ال ‪ :‬يس َد اادا‬ ‫ش – أ َْو قَ َ‬ ‫قيَو ااما يم ْن َعْي ٍ‬
‫الر ياشي‬ ‫َر ُس ْو ُل هللاي صعلى َّ‬ ‫ش – فَ َما يس َو ُاه َّن يم َن‬ ‫يم ْن َعْي ٍ‬
‫ي ‪21‬‬ ‫ي‬
‫َوال ُْم ْرتَشي‬ ‫صةُ‪ُ ،‬س ْحتاا ََيْ ُكلُ َها‬ ‫ال َْم ْسأَلَة‪ ،‬اي قَبييْ َ‬
‫‪5‬‬ ‫رسول ي‬
‫هللا‬ ‫‪ R 2‬عن يأِب هريرةَ قال‪ :‬لَ َع َن ُ‬
‫‪24‬‬
‫صاحبُ َها ُس ْحتاا"‬ ‫ي‬

‫الر ياش َي َوال ُْم ْرتَ يش َي يف‬ ‫صعلى َّ‬ ‫‪8‬‬ ‫ل‬‫َع ْن َك ْعب بْ ين ُع ْجَرَة قال‪ :‬قال ي ْ‬
‫ي‬ ‫‪S2‬‬
‫ي ‪22‬‬
‫ا ْحلُ ْكم‬ ‫رسول هللاي صعلى ‪" :‬أ يُعي ُذ َك ي‬
‫ابهلل‬ ‫ُ‬
‫ْ‬
‫‪6‬‬ ‫رسول ي‬
‫هللا‬ ‫ت َ‬ ‫ي‬
‫َِب ُسلَْي ٍم قال‪َ :‬مس ْع ُ‬ ‫عن أي ْ‬
‫‪R3‬‬ ‫ب بْ ُن عُ ْجَرةَ يم ْن أ َُمَر ياء يَ ُك ْونُ ْو َن‬ ‫َك ْع ُ‬
‫اه ْم‪،‬‬‫َّاس َوََنَ ُ‬
‫ي‬
‫يف َح َّجة ال َْوَد ياع أ ََمَر الن َ‬ ‫يم ْن بَ ْع يد ْي فَ َم ْن َغ يش َي أَبْ َو َاِبُْم‬
‫فَصدَّقَهم ي ي يي‬
‫"اللهم َه ْل بَلَّ ْغ ُ‬
‫ت؟"‪ ،‬قَالُْوا‪:‬‬ ‫ال‪َّ :‬‬ ‫ُُثَّ قَ َ‬ ‫َع َاَنُْم َعلَى‬ ‫يف َكذِب ْم َوأ َ‬ ‫َ ُْ ْ‬
‫اللهم نَ َعم‪ُُ .‬ثَّ قَ َ ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫يي‬
‫ت‬
‫اح َف ْ‬ ‫ال‪" :‬إذَا ََتَ َ‬ ‫َّ ْ‬ ‫ت منْهُ َوَال‬ ‫س م ي ِْن َولَ ْس ُ‬ ‫ظُلْمه ْم فَلَْي َ‬
‫ي‬ ‫ي‬
‫ش َعلَى ال ُْملْك فْي َما بَْي نَ َها َو َع َاد‬
‫قَُريْ ٌ‬ ‫ض َوَم ْن َغ يش َي أَبْ َو َاِبُْم‬ ‫يَيرُد َعلَ َّي ا ْحلَْو َ‬
‫‪23‬‬
‫ال َْعطَاءُ أ َْو َكا َن ُر اشا فَ َدعُ ْوهُ‪".‬‬ ‫ص يدقْ ُه ْم ييف َك يذِبيي ْم‬ ‫ْأو ََلْ يَ ْغ َشى فَلَ ْم يُ َ‬
‫‪7‬‬ ‫‪Suḥt‬‬ ‫صةَ بْ ين ُمَُا يرٍق ا ْْليََلييل‪ .‬قال‪:‬‬ ‫عن قَبيْي َ‬
‫‪S1‬‬ ‫َوََلْ يُعينْ ُه ْم َعلَى ظُلْ يم يه ْم فَ ُه َو يم ي ِْن َو َأَن‬
‫ول هللاي‬ ‫ي‬
‫ت َر ُس َ‬ ‫ت ََحَالَةا‪ ،‬فَأَتَ ْي ُ‬ ‫ََتَ َّملْ ُ‬ ‫ب‬ ‫ض‪ .‬اي َك ْع ُ‬ ‫منْهُ َو َس َيريُد َعلَ َّي ا ْحلَْو َ‬
‫َسأَلُهُ فيْي َها ‪ ،‬فَ َقال‪" :‬أَقي ْم‬ ‫صعلى أ ْ‬ ‫الص ْوُم‬
‫الصَل َة بُْرَها ٌن و َّ‬ ‫بْ ُن ُع ْجَرَة ‪َّ ،‬‬
‫ك يِبَا"‪.‬‬ ‫َح ََّّت ََتْتييَ نَا َّ‬
‫الص َدقَةُ فَنَأْ ُمَر لَ َ‬ ‫الص َدقَةُ تُطْ يف ُئ‬ ‫صْي نَةٌ و َّ‬ ‫جنَّةٌ ح ي‬
‫َ‬ ‫ُ‬
‫صةُ‪ ،‬إي َّن‬ ‫ي‬ ‫ي‬
‫قال ‪ُُ :‬ثَّ قال‪" :‬اي قَبيْي َ‬ ‫َّار‪ .‬اي‬ ‫ائ الن ُ‬ ‫ا ْخلَطْي ئَةَ َك َما يُطْف ُئ ال َْم ُ‬
‫َح يد ثَََلثٍَة‪:‬‬ ‫ي ي ي‬
‫ال َْم ْسأَلَةَ َال ََت ُّل إَّال أل َ‬ ‫ب بْ ُن عُ ْجَرَة إينَّهُ َال يَ ْربُ ْو َحلْ ٌم‬
‫َك ْع ُ‬
‫ت لَهُ ال َْم ْسأَلَةُ‬‫َر ُج ٌل ََتَ َّم َل ََحَالَةا فَ َحلَّ ْ‬

‫‪20 Tirmiẓī, Kitāb al-Ṭahārah, Bāb Mā Jā’a fi‬‬ ‫‪23 Abū Dāwūd, Sunan, Kitāb al-Kharāj wa‬‬

‫‪al-Gulūl, no. 1573, h. 403. Ibn Mājah, Sunan,‬‬ ‫‪al-Imārah, Bāb fī Karāhiyati al-Iftirāḍ fī Ākhir al-‬‬
‫‪Kitāb al-Ṣadāqāt, Bāb al-Tasydīd fī al-Daīn, no.‬‬ ‫‪Zamān, no. 2959, juz 3, h. 71.‬‬
‫‪2412, h, 386.‬‬ ‫‪24 Muslim, Ṣaḥīḥ, Kitāb al-Zakāh, Bāb Man‬‬
‫‪21 Abū Dāwūd, Sunan, Kitāb al-Aqḍiyah,‬‬ ‫‪Taḥillu lahu al-Mas’alah, no. 1044, h. 373. Abū‬‬
‫‪Bāb fī Karāhiyati al-Rishwah, no. 3580, Juz. 3, h.‬‬ ‫‪Dāwūd, Sunan, Kitāb al-Zakāh, Bāb Mā Tajūzu‬‬
‫‪291. Tirmiẓī, Sunan, Kitāb al-Ahkām, Bāb Mā Jā’a‬‬ ‫‪fīhi al-Mas’alah, no. 1640, juz 2, h. 40. Nasā’ī,‬‬
‫‪fi al-Rāshi wa al-Murtasyī fi al-Ḥukmi, no. 1337,‬‬ ‫‪Sunan, Kitāb al-Zakāh, Bāb al-Ṣadaqah li man‬‬
‫‪h. 344. Ibn Mājah, Sunan, Kitāb al-Ahkām, Bāb‬‬ ‫‪Taḥammala bi Ḥamālatin, no 2577. Dārimī,‬‬
‫‪al-Taglīz fī al-Ḥaif wa al-Risywah, no. 2313,‬‬ ‫‪Sunan, Kitāb al-Zakāh, Bāb Man Taḥillu lahu al-‬‬
‫‪22 Tirmiẓī, Sunan, Kitāb al-Ahkām, Bāb Mā‬‬ ‫‪Ṣadaqah, no 1670, juz 1, h. 283-284.‬‬
‫‪Jā’a fi al-Rāsyi wa al-Murtasyī fi al-Ḥukmi, no.‬‬
‫‪1336, h. 344.‬‬

‫‪235‬‬
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME PERSPEKTIF HADITS -- Teguh Luhuringbudi

‫َّار‬
ُ ‫ت الن‬ ْ َ‫ت إيَّال َكان‬ ٍ ‫نَبت يمن سح‬
ُْ ْ ََ
1 ‫ قال رسول هللا‬: ‫َِب َسعيْي ٍد قال‬
ْ ‫َع ْن أي‬
JQI 4
3
25 ‫يي‬ ‫ب الن ي‬ َّ : ‫صعلى‬
"‫أ َْوََل به‬ ‫َّاس إَل هللا‬ َّ ‫أح‬َ ‫"إن‬
9 Bai’at al- ‫ قال رسول هللاي‬: ‫ عن يأِب هريرةَ قال‬BID 1
ْ ‫يَ ْوَم ال يْقيَ َام ية َوأ َْد ََن ُه ْم يمنْهُ َمَْلي اسا َإم ٌام‬
Imām li
al-Dunyā
‫ي‬
‫ "ثَََلثَةٌ َال يُ َكل ُم ُه ُم هللا يَ ْوَم‬: ‫صعلى‬ ‫َّاس إي ََل هللاي يَ ْوَم‬
‫ض الن ي‬ َ َ‫وإن أبْغ‬ َّ ،‫َع ياد ٌل‬
:‫اب أَليْي ٌم‬ ‫ي‬ ‫ي ي‬
ٌ ‫الْقيَ َامة َوَال يَُزكْي يه ْم َوَْلُْم َع َذ‬ ‫ال يْقيَ َام ية َوأَبْ َع َد ُه ْم ََْملي اسا إي َم ٌام‬
‫ض يل َم ٍاء يابلطَّ يريْ يق ميَْنَ ُع‬
ْ َ‫َر ُج ٌل َعلى ف‬
30 ‫ي‬
".‫َجائٌر‬
‫ َوَر ُج ٌل َابيَ َع يإم ااما َال‬،‫السبييْ يل‬
َّ ‫يمنْهُ ابْ َن‬ 1 ‫اص‬ ‫عب يد هللاي بْ ين َع ْم ير َوبْ ين ال َْع ي‬ ْ ‫عن‬
JQI 5
4
‫ إي ْن أ َْعطَاهُ َما يُيريْ ُد‬،ُ‫يُبَايعُهُ إيَّال لي ُدنْيَاه‬ ‫يقول‬
ُ ‫ت رسول هللا صعلى‬ ‫ي‬
ُ ‫ َمس ْع‬: ‫قال‬
‫ َوَر ُج ٌل يُبَاي ُع‬،ُ‫ف لَه‬ ‫و َف لَهُ وإيَّال ََل ي ي‬ ‫ي ي‬
َْ َ َ ‫اعا‬‫ض الْعلْ َم انْتَز ا‬ ُ ‫"إن هللاَ َال يَ ْقبي‬ َّ :
ٍ ‫ي‬ ‫ض الْعيلْ َم‬ ‫ي ي ي ي‬
‫ف‬ َ َ‫ فَ َحل‬،‫ص ير‬ ْ ‫َر ُج اَل بيسلْ َعة بَ ْع َد ال َْع‬ ُ ‫يَْن تَ يز ُعهُ م َن الْعبَاد ولك ْن يَ ْقبي‬
‫يابهللي لََق ْد أ َْعطَى يِبَا َك َذا َوَك َذا‬ ‫ض ال ُْعلَ َم ياء َح ََّّت إيذَا ََلْ يُْب يق َعالي اما‬ ‫بيَقْب ي‬
26 ‫ي ي‬
".‫ َوََلْ يُ ْعط ِبَا‬،‫َخ َذ َها‬َ ‫ فَأ‬،ُ‫ص َّدقَه‬
َ َ‫ف‬ ‫َّاس ُرُؤْو اسا ُج َّه ااال فَ ُسئيلُ ْوا‬ ُ ‫اَتَ َذ الن‬
َّ
‫ي‬
َ َ‫فَأَفْ تَ ْو بيغَ ْيري علْ ٍم ف‬
31 ُّ
1 Jaur al- :‫النيب صعلى قال‬ ‫ َع ين ي‬، ‫ عن بَُريْ َد َة‬JQI 1 َ ‫ضلُّ ْوا َوأ‬
".‫َضل ْوا‬
0 Qadī aw
al-Imām ‫اح ٌد يف ا ْجلَن يَّة‬ ‫ و ي‬: ٌ‫"الْ ُقضاةُ ثَََلثَة‬
َ
‫ فَأ ََّما الَّ يذي ف اجلنَّةي‬، ‫ان ف النَّا ير‬ ‫واثْنَ ي‬ Metode Penelitian
َ ْ َ
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif
‫ي‬ ‫ي‬
‫ َوَر ُج ٌل‬، ‫ضى به‬ َ ‫ف ا ْحلَ َّق فَ َق‬
َ ‫فَ َر ُج ٌل َعَر‬ berdasarkan penguraian atau reduksi
‫ف ا ْحلَ َّق فَ َج َار يف ا ْحلُ ْك يم فَ ُه َو يف‬ َ ‫َعَر‬ datanya. Penelitian ini juga tergolong
‫ضى ليلن ي‬ sebagai penelitian pustaka karena objek
‫َّاس على َج َه ٍل‬ َ َ‫النَّا ير َوَر ُج ٌل ق‬
materil dan objek formil dalam
27 ‫ي‬
."‫فَ ُه َو يف النَّار‬ penelitian ini diambil dari literasi
1 ‫ قال رسول‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ عن ابْ ين أيَِب أ َْو َف‬JQI 2 kepustakaan yang digunakan dalam
1 penyusunan kerangka berpikir yang
‫ي‬
ْ‫ "هللاُ َم َع الْقاضى َما ََل‬: ‫هللا صعلى‬ menjadi landasan sejak awal hingga
ُ‫ فَيإذَا َج َار ََتَلى َعنْهُ َولَ يزَمه‬،‫ََيُْر‬ analisis
JURNAL dalam
AQLAM penelitian
-- Journal ini. Sumber
of Islam and Plurality -- Volume 3, Nomor 2, Desem
28
"‫الشَّْيطَا ُن‬ primer atau objek materil penelitian ini
adalah kitab berjudul Kutub al-Sittah.
1 ‫ قال‬: ‫َِب َسعييْ ٍد ا ْخلُ ْد ير يي قال‬
ْ ‫عن أي‬
JQI 3
2 Proses pengumpulan data yang
‫ض ُل ا ْجلي َه ياد‬
َ ْ‫ "أَف‬: ‫رسول هللا صعلى‬
ُ berasal dari buku/kitab Kutub al-Sittah
‫َكلي َمةُ َع ْدل عنْ َد ُسلْطَان َجائ ٍر أ َْو‬
‫ي‬ ٍ ‫ي‬ ٍ dilakukan dengan beberapa tahap.
29 ٍ ‫ي‬ Pertama, menginventarisir ḥadīth-
".‫أ يَم ٍْري َجائر‬
ḥadīth yang memiliki probabilitas

25 Tirmiẓī, Sunan, Bāb Mā Ẓukira fī Faḍli al- 29 Abū Dāwūd, Sunan, Kitāb al-Malāḥīm,

Ṣalāh, no. 614, h. 177. Aḥmad, Musnad, juz 3, h. Bāb al-Amr wa al-Nahy, No. 4344, Juz 4, h. 109.
321 dan 399. Tirmiẓī, Sunan, Kitāb al-Fitan, Bāb Mā Jā’a
26 Bukhārī, Ṣahīh, Kitāb al-Aḥkām, Bāb Man Afḍalu al-Jihād Kalimāt Ḥaq ‘inda Ṣulṭān Jā’ir,
Bāya’a Rajulan lā Yubāyi’uhu illā li al-Dunyā, no. No. 2174, h. 524.
7212, h. 1306. Bukhārī, Kitāb al-Shahādāt, Bāb 30 Tirmizi, Sunan, Kitāb al-Aḥkām, Bāb Mā

al-Yamīn ba’da al-‘Aṣri, no. 2672, h. 486-487. Jā’a fī al-Imām al-‘Ādil, No. 1329, h. 343.
27 Abū Dāwūd, Sunan, Kitāb al-Aqḍiyyah, 31 Bukhārī, Ṣaḥīḥ, Kitāb al-‘Ilmi, Bāb Kaifa

Bāb fī al-Qāḍī Yukhṭi’u, no. 3573, Juz 3, h. 288- Yuqbaḍu al-‘Ilmu, No. 100, h. 37. Muslim, Ṣaḥīḥ,
289. Ibn Mājah, Sunan, Kitāb al-Aḥkām, Bāb al- Kitāb al-‘Ilmi, Bāb Raf’i al-‘Ilmi waQabḍihi, No.
Ḥākim Yajtahidu fa Yuṣību al-Ḥaq, No. 2315, h. 2673, h. 1030. Tirmizi, Sunan, Abwāb al-‘Ilmi,
370. Bāb Mā Jā’a fī Zihābī al-‘Ilmi, No. 2652, h. 625. Al-
28 Tirmīzī, Sunan, Kitāb al-Aḥkām, Bāb Mā Manāwī, Faiḍ al-Qadīr, No. 1826, Jilid 2, h. 347.
Jā’a fī al-Imām al-‘Ādil, No. 1330, h. 343.

236
sebagai indikator, penjelasan, bahkan Hadis G1 merupakan ḥadīth yang
pengertian dari korupsi, kolusi, dan secara terus-terang ditujukan pada
nepotisme. Kedua, mengklasifikasi tindakan korupsi. Hal ini dapat dilihat
istilah-istilah korupsi, kolusi, dan dari pernyataan ‫كنت على البصرة‬
َ ‫ و‬Umar ibn
nepotisme dari ḥadīth-ḥadīth yang
Khattāb pada Ibn ‘Āmir.
diteliti. Istilah-istilah korupsi, kolusi,
Pernyataan tersebut dimaknai
dan nepotisme berupa Ghulūl, Rishwah,
Muslim bahwa Ibn ‘Āmir tidak mungkin
Suḥt, Bai’at al-Imām li al-Dunyā, dan Jaur
mendapat perhatian dari Allah atas
al-Qadī aw al-Imām disampaikan di
penyakit yang menimpanya karena
pendahuluan sebagai bahan dasar
disinyalir terjerat kasus keadilan sosial
analisis di pembahasan selanjutnya.
berupa penyimpangan hak-hak Allah,
Proses analisis dalam penelitian ini
masyarakat, dan lingkungan.
dilakukan dengan beberapa tahap.
Muslim juga berpendapat bahwa
Pertama, menandai kata, diksi, atau
Umar ibn al-Khattāb bermaksud
redaksi yang menunjukkan pemaknaan
menyadarkan Ibn ‘Āmir dengan
atau pembahasa korupsi, kolusi, dan
mengupayakan agar bertaubat dan
nepotisme di setiap ḥadīth yang diteliti.
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang
Kedua, memberikan komentar terkait
diperbuat terkait dengan korupsi.32
status dan kualitas ḥadīth. Ketiga,
Hadis G2 yang tidak memiliki
mendefinisikan istilah-istilah korupsi,
kecenderungan dalam tipologi korupsi,
kolusi, dan nepotisme dalam ḥadīth
kolusi, maupun nepotisme perlu diamati
secara kebahasaan. Keempat,
lebih jauh. Penulusuran sejarah (asbāb
memberikan komentar dan penafsiran
al-Wurūd) dan interpretasi muḥaddith
dari para muḥaddith terkait maksud
tidak menjelaskan secara rinci Hadis ini.
dari redaksi, diksi, atau kata yang terkait
Penyatuan seluruh struktur teks
dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme di
Hadis diupayakan untuk memperoleh
setiap ḥadīthnya. Kelima,
pemahaman dan maksud sehingga tidak
menyampaikan kondisi korupsi, kolusi,
menyisakan kabar yang sulit dipahami.
dan nepotisme pada masa Muḥammad
Penyatuan tersebut dimaksudkan tidak
ibn ‘Abdillah SAW yang berkaitan pada
hanya untuk menghilangkan kesan
setiap kasus di setiap ḥadīthnya.
kontradiksi dalam Hadis semata. Sisi lain
Keenam, malakukan interpretasi
penyatuan unsur linguistik teks
linguistik. Ketujuh, malakukan
disebabkan karena kesan kontradiksi
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISM
perpaduan analisis antara interpretasi
Hadis sebenarnya memiliki maksud
linguistik, kondisi pada masa
yang tidak jauh berbeda.33
Muḥammad ibn ‘Abdillah SAW melalui
Diksi al-Ghulūl yang berada
beragam literasi, dan keterangan dari
diantara al-Kanz dan al-Dain
asbāb al-Wurūd. Ketujuh, malakukan
memungkinkan memiliki makna yang
framming.
dapat menjembatani kontradiksi makna
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
diantara keduanya. Kata al-Kanz yang
dalam Istilah al-Ghulūl

32 Muslim menjelaskan dugaan kuat bahwa Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah, dan
Ibn ‘Āmir terlibat dalam kasus korupsi Penerangan: Darus Salam, Muharram
sebagaimana pernyataannya berikut: ‫فمعناه إنك‬ 1421/April 2002), 114.
33 Laila Sari Masyhur, “Studi Analitik
‫ وتعلق بك حقوق هللا تعاَل‬،‫لست بساَل من الغلول فقد كنت والياا على البصرة‬
Hadits Penyalahgunaan Fungsi Jabatan: Kasus
‫ أن ابن عمر قصد زجر ابن عامر وحثه على‬،‫ وهللا أعلم‬،‫وحقوق العباد والظاهر‬ Ibnu Lutbiah,”Jurnal Ushuluddin, Vol. XVII, No. 1
‫التوبة وَتريضه على اإلقَلع عن املخالفات‬. Muslim, Ṣaḥīh, Kitāb (Januari 2011): 98-114 [109]. Lihat juga
al-Ṭahārah, Bāb Wujūd al-Ṭahārah li al-Ṣalāh, Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadis,
no. 224, Cetakan Kedua (Kerajaan Saudi Arabia Cetakan Ketiga (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 338.

237
berarti menimbun barang dan kata al- maksud kontra produktif (tawṣṣul badālī
Dain yang berarti hutang adalah potret ẓulmin).35
kontradiksi atau oposisi biner yang Redaksi al-Rāshī dan al-Murtashī
memungkinkan bahwa makna al-Ghulūl yang didasarkan pada bentuk maṣdar
dalam konteks kalimat ini memiliki citra berupa rishwah yang berarti pemberian,
sebagai sesuatu yang dapat sogokan, atau suap ini merupakan fakta
menjembatani kedua redaksi sosial yang terekam dan dilembagakan
kontradiktif tersebut. oleh ucapan Muḥammad ini merupakan
Hal ini memungkinkan bahwa tindakan sosial secara aktif yang
kata al-Ghulūl memiliki makna menyuap melibatkan lebih dari satu orang atau
atau menyogok; dan atau korupsi. pihak. Hal ini berdampak pada asosiasi
Pemaknaan tersebut didasarkan karena rishwah dalam Hadis R1 ini tidak
al-Kanz merupakan potret ekonomi mungkin mengacu pada kenyataan
yang menunjukkan kemapanan dan al- korupsi pada masa itu.
Dain menunjukkan ketidakmapanan. Oposisi biner yang menghadirkan
Pemaknaan sogok atau suap dua redaksi dalam oral Muḥammad
merupakan unsur terpenting dari kolusi merupakan rekaman keberadaan
dan nepotisme yang bernuansa untuk interaksi aktif antara al-Rāshī dan al-
subjektifitas kepentingan pribadi, Murtashī. Hadis ini tidak menjelaskan
keluarga, kelompok penyuap atau rantai keuntungan (dalam konteks
penyogok. Hal ini menyebabkan bahwa negatif-destruktif) yang dialamatkan
kata al-Ghulūl pada G2 tidak hanya untuk keluarga atau rekanan pelaku
dimaknai sebagai korupsi, namun juga yang terlibat rishwah sehingga
kolusi dan nepotisme. mempermudah asosiasi istilah rishwah
sebagai bentuk nepotisme.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Hadis ini merupakan bentuk
dalam Istilah Rishwah kecaman dan ancaman untuk tidak
Hadis R1 bernuansa kolusi dan melakukan rishwah sehingga bagi
nepotisme. Abū ‘Īsā menyatakan bahwa pelaku yang melanggar ucapan
kualitas Hadis adalah ḥasan ṣahīh dan Muḥammad dapat dikategorikan
diriwayatkan oleh Abī Salamah ibn ‘Abd sebagai upaya melawan hukum yang
al-Rahmān yang didapatkan dari biasa disebut kolusi. Hal ini
‘Abdullah ibn ‘Amr.34 menyebabkan
JURNAL bahwa
AQLAM -- Journal Ḥadīth
of Islam R1-- lebih
and Plurality Volume 3, Nomor 2, Desem
Hadis ini merupakan kecaman. cenderung bernuansa kolusi disbanding
Kecaman ini ditujukan pada al-Rāshī dan sekedar nepotisme, terlebih korupsi.
al-Murtashī. Definisi al-Rāshī sebagai al- Ḥadīth R2 bernuansa kolusi dan
Mu’ṭī (‫ )املعطى‬dan al-Murtashī sebagai al- nepotisme. Abū ‘Īsā menyatakan bahwa
kualitas Hadis adalah ḥasan ṣahīh dan
Ākhidh (‫)اآلخذ‬ oleh al-Tarmidhī diriwayatkan oleh Abū Mūsā
dimaksud sebagai dua tindakan Muḥammad ibn al-Muthannā yang
indisipliner dengan menggunakan cara diketahui dari Abū ‘Āmir al-‘Aqadiyy.36
illegal (nail bi bāṭīlan) dan mengajukan
34 Abū ‘Īsa Muḥammad ibn ‘Īsā al- Bāb al-Taglīz fī al-Ḥaif wa al-Rishwah, no. 2313
Tarmidhī, Sunan al-Tarmidhī, Bāb Mā Jā’a fi al- (Riyād: Maktabatu al-Mufāriq, 1417 H.), 396.
Rāshī wa al-Murtashī fi al-Ḥukm, Hadis ke-1341 35 Abī ‘Īsā Muḥammad ibn ‘Īsā ibn al-

(Beirut: Dar al-Fikr, 2005). 408. Kualitas ṣaḥīh Tarmidhī, Jāmi’u al-Tarmidhi ma’a Shamāilu al-
didasarkan pada riwayat ‘Alī ibn Muḥammad, Tarmidhi (TK: TP., T.Th), 212.
lihat Abī ‘Abdillāh Muḥammad ibn Yazīd al- 36 Informasi lain menyatakan bahwa Hadis

Qazwīnī (Ibn Mājah), Sunan, Kitāb al-Ahkām, ini diriwayatkan oleh Ibn Abī Dhi’bin yang
diketahui dari Khālid al-Ḥārith ibn ‘Abd al-

238
Hadis yang tidak ditemukan asbāb mempertimbangkan peraturan atau
al-Wurūd nya ini menampilkan dua proses uji kelayakan. Hal ini merupakan
redaksi yang saling berinteraksi upaya inkonstitusional yang terjadi di
sehingga mendekati pada definisi masa Muḥammad untuk
nepotisme walaupun tidak dijelaskan mempertahankan atau untuk merebut
status kekerabatan dan sosial yang kekuasaan sebagaimana tertulis dalam
terjalin antara al-Rāshī, al-Murtashī, dan tekstualitas ḥadīth ‫ على امللك فيما بينها‬.40
pihak lain secara mendetil.
Nepotisme terjadi di tengah
Hal inilah yang menyebabkan
kondisi masyarakat suku Quraish yang
redaksi rishwah sebagai kata mendasar
saling bersaing dan bertikai untuk
dan kata kunci dalam ḥadīth ini
memperebutkan kekuasaan sehingga
cenderung mendekati nuansa dan
netralitas dan objektifitas untuk
etimologi nepotisme.37
memilih pemimpin atau suatu kebijakan
Pelaksanaan suap dan penerimaan
yang bersifat produktif, konstruktif, dan
suap setelah ucapan Muḥammad dalam
visioner diabaikan oleh upaya
R2 ini di masanya merupakan tindakan
perekrutan jalur kekerabatan dan
melawan hukum yang dapat
pertemanan dalam mengisi posisi
dikategorikan sebagai kolusi.38
kekuasaan dan dominasi permufakatan
Hadis R3 mengandung unsur
yang menguntungka pihak tertentu saja
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISM
kolusi dan nepotisme. Hal ini didasarkan
dari proses musyawarah yang telah
pada redaksi al-‘Aṭā’u yang berarti
dilakukan sebelumnya.41
pemberian (tentu dengan konotasi
Kasus kolusi yang terjadi dalam
negatif dalam konteks perebutan
penggambaran Hadis R3 ditandai
kekuasaan yang ditandai dengan redaksi
dengan redaksi ‫ العطاء‬atau ‫رشا‬. Kedua
‫ك فيْي َما بَْي نَ َها‬
‫ت قُريش علَى الْم ْل ي‬
ُ َ ٌ َْ ْ ‫اح َف‬ ‫ ي‬39
َ َ‫ )إ َذا ََت‬dan tindakan ini menuntut adanya
rushān yang berarti sogokan atau suap.
kerjasama secara aktif dalam rangka
Kasus nepotisme yang
menyalahi ketentuan, peraturan, dan
mensyaratkan adanya upaya
hukum.
menguntungkan diri sendiri dan jalinan
Kedua tindakan ini berbanding
sosial terdekat dibuktikan dengan
sejajar dengan definisi kolusi yang
terciptanya budaya “memberi” untuk
berbunyi pemufakatan atau kerjasama
maksud pragmatis.
secara melawan hukum antar-
Bentuk lain dari nepotisme adalah
Penyelenggara Negara atau antar
upaya perekrutan individu tanpa
Penyelenggara Negara dan pihak lain

Raḥmān. Khalid mengetahuinya dari Abī 39 Kata al-‘Aṭā’u berarti gift atau present
Salamah yang mengetahuinya dari ‘Abdillah ibn dalam bahasa Inggris yang dapat juga berarti
‘Amr. Abū ‘Īsa Muḥammad ibn ‘Īsā al-Tarmidhī, “pemberian” dalam bahasa Indonesia. Kata ini
Sunan al-Tarmidhī, Bāb Mā Jā’a fi al-Rāshī wa al- merupakan bentuk tunggal dari al-A’ṭiyyah
Murtashī fi al-Ḥukm, Hadis ke-1342 (Beirut: Dar (ُ‫َع يطيَّة‬
ْ ‫)األ‬. Hans Wehr, A Dictionary of Modern
al-Fikr, 2005). 408. Wrtten Arabic, Ed. J. Milton Cowan, Edisi Ketiga
37 Undang-undang Republik Indonesia
(New York: Spoken Language Services, 1971),
Nomor 28 Tahun 1999 tentang 622.
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas 40 Andrew Hoctor, Nepotism & HRM
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Practices – How They Affect Player Satisfaction:
Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. A Study of G.A.A Clubs (National College of
38 Undang-undang Republik Indonesia
Ireland, 2012), 11.
Nomor 28 Tahun 1999 tentang 41 L. Wong dan B. Klenier, Nepotism
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas International Journal of Productivity and
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I Performance Management, Vol. 3, No. 34 (1994):
Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5. 10-19.

239
yang merugikan orang lain, masyarakat, dengan adanya kesepakatan dan fungsi
dan atau negara.42 aktif dari pihak peminta dan pihak
Hal inilah yang menyebabkan pemberi.
redaksi ‫ العطاء‬atau ‫ رشا‬pada Hadis R3 Tindakan yang dimaksud dengan
suḥt seperti ini juga tidak harus menanti
mewakili dua dimensi intoleran-
kesepakatan dan kerjasama pihak
inkonsisten berupa nepotisme dan
peminta dan pemberi karena Muslim
korupsi.
memberi keterangan bahwa tindakan ini
adalah tindakan yang dilarang atau
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
ḥarām.45
dalam Istilah Suḥt
Tindakan seperti ini tentu
Hadis S1 mengandung
berpotensi untuk tidak hanya pada
kecenderungan dan nuansa nepotisme.
dirinya sendiri, namun juga pada pihak
Hal ini didasarkan pada perbuatan
kekerabatan dan pertemanan dalam
meminta-minta yang dilarang kecuali
individu sosial yang berkaitan dan dekat
tiga hal berupa beban, hutang, atau
dengan pihak peminta atau pihak yang
tanggungjawab (‫َتمل احلمالة‬
ُّ );43 bencana melakukan suḥt. Hal inilah yang
(‫حة‬ ‫ي‬
atau kecelakaan َ ‫;)جائ‬ dan menyebabkan bahwa Hadis S1 lebih
mendekati
JURNAL AQLAM definisi nepotisme
-- Journal of dibanding
Islam and Plurality -- Volume 3, Nomor 2, Desem
kebangkrutan atau kerugian (‫)فاقَة‬.
korupsi maupun kolusi dalam
Perbuatan meminta-minta selain pendekatan kebahasaan.
ketiga pengecualian tersebut di atas Hadis S2 yang berstatus ḥasan
dikategorikan sebagai suḥt yang berarti gharīb ini cenderung bernuansa korupsi
barang yang tidak terjangkau (ill-gotten dan nepotisme.46 Hal ini didasarkan
property), kepemilikan ilegal (illegal pada beberapa peristiwa sebelum
possession), perdagangan yang tidak sah pembahasan ṣuht berupa para
(unlawful trade), sesuatu yang terlarang pemimpin yang intoleran dan
(something forbidden).44 indisipliner; pemebenaran kebohongan
Redaksi Hadis S1 yang beserta konsekuensinya; dukungan ke-
membicarakan tentang perbuatan dzalim-an beserta konsekuensinya;
“meminta-minta” adalah kondisi dimana perlawanan terhadap kebohongan dank
salah seorang muslim mengajukan e-dzalim-an beserta konsekuensinya;
permintaan pada Muḥammad. ṣalāt sebagai bukti kebenaran; puasa
Permintaan seperti ini dapat terjalin

42 Kolusi dalam aspek perdagangan Kementerian Agama Islam, Wakaf, Dakwah dan
didefinisikan sebagai hubungan antara penawar Penerangan, April 2000 M. / Muharram 1421
(bidder) yang membatasi persaingan dan H.), 419,
merugikan pembeli publik. 24. 44 Rohi Baalbaki, al-Mawrīd, Cetakan
43 Redaksi ‫ َحالة‬didefinisikan oleh Muslim Ketujuh (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malāyīn, 1995),
sebagai harta yang ditanggung manusia. Hal ini 625.
45 Abī al-Ḥusainī ibn al-Ḥajjājī ibn al-
dimaksudkan bahwa seseorang yang
menengadahkan tangannya dalam keadaan Muslim al-Qusairiyyi al-Naisābūriyy, Ṣaḥīh
genting kemudian pihak atau lain mengulurkan Muslim, Cetakan Kedua (Kerajaan Arab Saudi:
tangannya atau memberi atau membayarkan Dar al-Salām dan Kementerian Agama Islam,
pada peminta tersebut dengan kerelaan (‫)إصَلح‬ Wakaf, Dakwah dan Penerangan, April 2000
M./Muharram 1421 H.), 420.
antara kedua belah pihak yang menunjukkan 46 Nur Achmad, Pencegahan Korupsi dalam
suatu jelas atau lugas ‫ذات البْي‬. Abī al-Ḥusainī ibn Perspektif Hadis: Studi Hadis Korupsi dalam
al-Ḥajjājī ibn al-Muslim al-Qusairiyyi al- Kutub al-Sittah, Tesis (Jakarta: Sekolah
Naisābūriyy, Ṣaḥīh Muslim, Cetakan Kedua PAscasarjana Universitas Islam Syarif
(Kerajaan Arab Saudi: Dar al-Salām dan Hidayatullah, 2007), 119.

240
sebagai pelindung kebenaran; dan ṣaḥīh ini47 menampilkan tiga peristiwa
sedekah sebagai penghapus kesalahan. yang sosial yang berkaitan sebagai
Peristiwa-peristiwa tersebut bentuk respon terhadap fakta
diakhiri ungkapan bahwa anggota tubuh kemanusiaan masa Muḥammad berupa
biologis yang eksis didasarkan pada apresiasi terhadap backpacker (Ibn al-
indikasi suḥt mendapat perhatian Sabīl), persekongkolan dan consensus
berupa neraka sebagai responnya. dalam pengangkatan seseorang untuk
Hal ini dapat dirujuk pada menjadi pemimpin (Bai’atu al-Imām),
peristiwa-peristiwa yang mengawali dan duata dalam berniaga atau
sebelumnya bahwa Muḥammad telah berdagang.48
meramalkan suatu masa yang sulit Peristiwa pertama merupakan
untuk membedakan kehalalan dan manajemen sosial. Peristiwa kedua
keharaman sesuatu yang dikonsumsi. merupakan etika musyawarah-mufakat,
Hal ini didasarkan pada kondisi etika kepemimpinan, tata kelola
pemerintahan di suatu daerah (negara) pemerintahan. Peristiwa ketiga
yang inkonsisten dan inkonstitusional. merupakan etika bisnis.
Solusi yang bersifat preventif dari Ketiganya merupakan suatu
Muḥammad adalah salat, puasa, dan interaksi kemanusiaan yang berkonotasi
zakat untuk mengontrolkedisiplinan negatif. Ketiganya juga menyuguhkan
mental, pikiran, dan tubuh dari makanan perhatian pada peristiwa kedua berupa
dan minuman yang dikonsumsi. Bai’at al-Imām li al-Dunyā.
Suatu yang telah dikonsumisi dan Redaksi Bai’at al-Imām li al-
menjadi daging dapat dikategorikan Dunyā lebih mendekati pada konteks
sebagai makanan dan minuman yang dan definisi kolusi yang menekankan
memungkinkan untuk didapat dari hasil adanya pemufakatan jahat untuk
mengambil secara illegal berupa mengangkat seseorang KORUPSI,
sebagai
KOLUSI DAN NEPOTISM
korupsi; dan persekongkolan untuk pemimpin untuk kepentingan sesaat (li
memperoleh suatu tujuan yang dapat al-Dunyā).
dinikmati oleh diri pribadi dan rantai Pengangkatan seseorang
sosial terdekat berupa nepotisme. pemimpin tidak dapat dilandasi dari
Hadis S2 ini tidak dapat kepentingan kelompok tertentu. Hal ini
dikategorikan sebagai kolusi karena di luar etika pemilihan pemimpin yang
substansi pemahaman dan definisi dari sewajarnya dipilih berdasarkan status
kolusi adalah permufakatan sosial dalam kredibilitas dan otentisitas model peran
melawan hokum sebagai tindakan etis calon pemimpin; kemampuan untuk
utama. peka terhadap isu terbaru yang penting;
keberadaan iklim pemilihan yang
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme mempertimbangkan sisi manajemen
dalam Istilah Bai’at al-Imām li al- pribadi dan manajemen sosial dari calon
Dunyā pemimpin itu sendiri.49
Hadis BID 1 merupakan gambaran Konsep penting kedua yang lahir
kondisi kolusi. Hadis dengan kualitas dari definisi korupsi adalah potensi atau

47 Ibn Mājah, Sunan, Kitāb Tijārāt, Bāb Mā 49 Cristopher M. Barnes dan Lieutenant
Jā’a fī al-Karāhiyati al-Aimān fī al-Syarā’ wa al- Colonel Joseph, What Does Contemporary
Bai’, No. 2207, Cetakan Pertama (Riyad: Science Say about Ethical Leadership? (The Army
Maktabatu al-Ma’ārif, 1417 H.), 379-380. Ethic of Military Review, 2010), 90-91.
48 Bukhārī, Ṣahīh, Kitāb al-Aḥkām, Bāb

Man Bāya’a Rajulan Lā Yubāyi’uhu illā li al-


Dunyā, No. 7212 (), 1513.

241
penemuan kerugian bagi orang lain. perlawanan hukum secara sengaja dan
Redaksi Bai’at al-Imām li al-Dunyā berdampak pada kerugian yang dialami
dalam Hadis BID 1 dipastikan memiliki orang lain sebagaimana definisi kolusi
potensi yang merugikan bagi calon yang hadir dari UU RI Tahun 1999.52
pemimpin lain secara langsung dan bagi Pemahaman mendasar terkait
rakyat atau pihak yang akan dipimpin kolusi adalah “kerjasama” yang memiliki
secara tidak langsung. Hal ini terjadi konotasi yang negatif.53 Hal inilah yang
karena adanya upaya untuk menyebabkan bahwa perisitiwa
membungkam karakter pemimpin perlawanan hukum dengan istilah Jaur
ideal.50 al-Qāḍī aw al-Imām pada Hadis JQI 1
Hal inilah yang menyebabkan merupakan gambaran kolusi yang
istilah Bai’at al-Imām li al-Dunyā dalam terjadi secara nyata pada masa
Hadis BID 1 tidak tepat disandingkan Muḥammad.
pada kondisi nepotisme yang menitik Kolusi yang dilakukan oleh aparat
beratkan pada upaya memberi penegakan hukum dapat berdampak
keuntungan pada diri sendiri, keluarga, pada AQLAM
JURNAL hilangnya
-- Journal of infrastruktur dan 3, Nomor 2, Desem
Islam and Plurality -- Volume
sahabat, kelompok, dan pihak tertentu layanan publik secara kualitas dan
semata tanpa berupaya mengakomodasi jangkauan.54
banyak pihak secara komprehensif dan Peristiwa kelalaian atau
adil. keteledoran seorang hakim dalam
memutuskan suatu perkara merupakan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tindakan ketidakadilan karena jabatan
dalam Istilah Jaur al-Qadī aw al-Imām atau posisi tersebut menuntut adanya
Hadis JQI 1 menyoroti fenomena kemampuan dan kecakapan yang
perlawanan terhadap hukum dan disyaratkan sebagai bentuk menjunjung
kebodohan (keteledoran atau kelalaian) objektifitas dalam rangka
yang dilakukan oleh hakim sebagai menyelenggarakan salah satu
bentuk kolusi dan nepotisme. Ibn Mājah penerjemahan keadilan. Salah satu
menyatakan bahwa kualitas Hadis ini unsur yang perlu dipahami dari
adalah ṣaḥīh.51 tindakan kelalaian adalah
Hakim yang memutuskan suatu ketidaktahuan. 55

perkara tanpa dilandasi peraturan dan Seorang hakim yang tidak tahu
hukum yang berlaku merupakan upaya dalam proses dan regulasi penyelesaian

50 Karakter pemimpin ideal yang tidak 52 Undang-undang Republik Indonesia


merugikan orang lain dan tidak didasarkan Nomor 28 Tahun 1999 tentang
pada kepentingan sesaat (li al-Dunyā) dapat Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dilihat dari parameter nilai, sikap, kepercayaan, dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I
perilaku, kebiasaan dan praktik dan sampai Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3, 4, dan 5.
batas tertentu tergantung pada budaya 53 Patrick Andreoli-Versbach dan Fens-

organisasi, profesional atau institusional. Uwe Franck, “Econometric Evidence to Target


Katarina Katja Mihelic, Bogran Lipicnik, dan Tacit Collusion in Oligopolistic Markets,”Journal
Metka Tekavcic, “Ethical Leadership,” of Competition Law & Economics, Vol 11, No. 2
International Journal of Management & (July 2015): 463-492 [464].
Information Systems, Vol. 14, No. 5 (Fourth 54 Global Forum on Competition, Policy

Quarter 2010): 31-42 [32]. Roundtables: Collusion and Corruption in Public


51 Abī ‘Abdillāh Muḥammad ibn Yazīd al- Procurement (Organisation for Economic Co-
Qazwīnī (Ibn Mājah), Sunan Ibn Mājah, Kitāb al- operation and Development, 2010), 10.
Aḥkām, Bāb al-Ḥākimu Yajtahidu Fayuṣību al- 55 Mark Spranca, Elisa Minsk, dan Jonathan

Haq, Hadis Ke 2315 (Riyad: Maktabatu al- Baron, Omission and Commision in Judgment and
Ma’ārif, 1417 H.), 396. Choice, Ed. Jon Haidt (University of
Pennsylvania, Augst 2003): [2].

242
masalah merupakan bentuk yang tidak spesifik merujuk pada
ketidakprofesionalan seseorang dalam perbuatan tertentu, namun dapat
berkarir. Hal ini dapat dipahami sebagai diklasifikasikan berdasarkan kasus yang
bentuk kolusi karena dianggap sebagai memungkinkan terjadi pada seorang
upaya melawan hukum yang berlaku; hakim.
atau sebagai bentuk nepotisme karena Redaksi Jaur al-Qāḍī aw al-Imām
ketidakkompetenan seorang hakim yang sebagai istilah yang dimunculkan dari
perlu dipertanyakan narasi sejarah upaya penyimpangan atau ketidakadilan
perekrutan hakim tersebut. (yang dibuktikan dengan redaksi ‫) ََيُْر‬
Sejarah perekrutan hakim yang
seorang hakim dari Hadis ini dapat
tidak kompeten tentu memunculkan
dikategorikan ke dalam tiga persoalan
asumsi adanya nepotisme atau
berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme.
perekrutan yang didasarkan pada jalur
Ketidakadilan yang dilakukan
kekerabatan dan bukan berdasarkan
seorang hakim dalam menjalankan
proses kompetisi yang objektif,
profesinya yang melibatkan hubungan
transparan, dan dapat
kerjasama untuk melawan hukum yang
dipertanggungjawabkan.
berlaku merupakan potret kolusi.
Redaksi Jaur al-Qāḍī aw al-Imām
Ketidakadilan dalam mereduksi
yang dilahirkan dari Hadis JQI 1 dengan
atau mengeliminasi pertimbangan yang
peristiwa kesalahan putusan oleh hakim
dijadikan dasar untuk memutuskan
yang berdasarkan ketidakkompetenan
suatu perkara merupakan upaya korupsi
atau kebodohannya ini dapat
dari seorang hakim.
diasosiasikan sebagai bentuk lain dari
Upaya untuk memenangkan atau
nepotisme yang dilandasi subyektifitas
membijaki suatu permasalahan yang
asumsi dan ramalan Muḥammad akan
melibatkan rekan atau keluarga dari
adanya narasi genetik proses
hakim merupakan tindakan subyektif
perekrutan hakim yang bernuansa
untuk menguntungkan jalinan sosial
nepotisme.
terdekat secara sepihak. Hal ini
Hadis JQI 2 memotret penyikapan
merupakan upaya nepotisme.
spiritual dengan etika profesi yang
Hadis JQI 3 dapat dikategorikan
menimbulkan dua kecondongan
sebagai Hadis yang memiliki
penafsiran berupa korupsi, kolusi, dan
kecenderungan dan nuansa pada
nepotisme. Hadis ini memiliki kualitas
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
ḥasan gharīb menurut Tirmizi atau ṣaḥīh
Kecenderungan tersebut didasarkan
menurut al-Manāwi.56 KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISM
pada redaksi umum yang dihadirkan
Seorang hakim yang bertindak
adil tanpa memihak pada subyektivitas berupa ‫جائيٍر‬ ‫ٍ ي ي‬
َ ‫ ُس ْلطَان َجائ ٍر أ َْو أَم ٍْري‬.
tertentu dan tidak melanggar aturan Redaksi ini didasarkan pada
hukum yang berlaku merupakan ketidakadilan yang perlu dituntut oleh
gambaran etika profesi yang didukung siapapun. Penyimpangan yang
oleh pesan agama sebagaimana redaksi dilakukan oleh seorang pemimpin dapat
‫ هللا مع الْ ي‬JQI 2.
‫قاضى َما ََلْ ََيُْر‬ didasarkan pada dua hal yaitu
ََ ُ kesengajaan dan politis; dan
Redaksi ‫ََيُْر‬ yang berarti kesewenang-wenangan. 57

menyimpang adalah tindakan negatif

56 Nur Achmad, Pencegahan Korupsi Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif


Perspektif Hadis: Studi Hadis Korupsi dalam Hidayatullah, 2007), 121.
Kutub al-Sittah, Tesis (Jakarta: Sekolah 57 Human Right Watch, They Want Us

Exterminated: Murder, Torture, Sexual

243
Unsur kesengajaan yang sebagai bentuk hilangnya cita-cita moral
dilakukan pemimpin yang berbuat tidak yang disebabkan oleh politik,
adil dapat dikategorikan sebagai kepentingan pribadi, dan kekuasaan.58
gambaran korupsi yang terjadi pada Hadis JQI 4 menunjukkan
masa Muḥammad dalam hal inkonsistensi seorang pemimpin yag
administrasi, birokrasi, dan keuangan. digambarkan dalam redaksi ‫إمام جائر‬
Unsur politis yang dilakukan
dengan definisi “pemimpin yang
pemimpin dalam pemimpin untuk tidak
menyimpang” menyisakan penalaran
mendistribusikan keadilan secara
dan penafsiran yang beragam.
merata dan terkesan subyektif dapat
Keberagaman pemahaman terkait
dikategorikan sebagai upaya nepotisme
“menyimpang” dapat dikategorikan
karena hal ini dilakukan untuk
salah satu dari atau keseluruhan dari
keuntungan dan kepentingan yang dapat
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
dinikmati oleh pihak tertentu semata
Indikasi yang muncul untuk
tanpa mempertimbangkan asas
akomodasi dan kemerataan. memahami redaksi ‫( جائر‬jāir) adalah
Unsur kesewenang-wenangan dengan merujuk pada redaksi
yang dilakukan seorang pemimpin yang sebelumnya yang berbunyi ‫‘( عادل‬ādil).
tidak adil di masa nabi dapat pahami
Hal ini menyebabkan definisi jāir
dengan mempertimbangkan
sebagai antonim dari ‘ādil. Ketidakadilan
kemungkinan keberadaan upaya
dalam banyak kasus dapat dipahami
pemanfaatan jabatan dan pangkat
sebagai bentuk pelanggaran yang tidak
tertentu untuk berkomunikasi dan atau
terbatas pada korupsi, kolusi, dan
bekerjasama antara sesama elemen
nepotisme.
pemerintahan atau di luar elemen
HadisJQI 5 merupakan potret
pemerintahan untuk untuk melemahkan
kolusi yang kerap terjadi dalam ranah
atau merekayasa suatu aturan atau
akademik. Konspirasi dalam
produk hukum yang telah ada dan
mengangkat pemimpin yang tidak
berlaku.
memiliki kompetensi akademik yang
Hal inilah yang menyebabkan
memadai dalam bidang dan institusi
pemimpin yang menyeleweng dapat
Islam and ‫ا‬Plurality
‫َّاس ُرُؤْو اس‬ َّ 3, Nomor 2, Desem
karirnya tercermin ُ ‫اَتَ َذ الن‬
JURNAL AQLAM -- Journal ofdalam -- Volume
dikategorikan sebagai bentuk kolusi.
Pembenaran agama dengan ‫ ُج َّه ااال‬.59
menginstruksikan untuk memberi
Refleksi ḥadīth ini menyarankan
peringatan pada pemimpin yang
untuk tidak memilih rektor, kepala
melanggar atau menyeleweng sebagai
sekolah, kyai, kepala jurusan, guru, dan
bentuk kebebasan berpendapat yang
sebagainya tanpa dilandasi bekal
dibuktikan dengan redaksi ُ‫اد َكلي َمة‬
‫اجليه ي‬
َ ْ ‫ض ُل‬
َ ْ‫أف‬ keilmuan yang mumpuni secara implisit.
‫ َع ْد ٍل‬. Sejarah kemunculan ḥadīth ini diawali
dari konteks upaya antisipasi nabi
Perhatian agama terhadap
Muḥammad dalam menginstruksikan
indikasi kontra komitmen pada diri
pengikutnya untuk belajar dari sumber
pemimpin juga dapat diasumsikan
terupdate.

Orientation and Gender in Iraq (New York: Konteks akademik dapat dilihat dari
59

2009), 35. redaksi ‫( العلم‬dan beragam derivasinya), ‫رؤوسا‬, dan


58 Human Right Watch, They Want Us
‫جهاال‬.
Exterminated: Murder, Torture, Sexual
Orientation and Gender in Iraq (New York:
2009), 35.

244
Ke-update-an suatu sumber PAscasarjana Universitas Islam
keilmuan dalam disiplin manajemen Syarif Hidayatullah, 2007).
sosial dan konflik (berupa al-Qur’ān) al-Naisābūriyy, Abī al-Ḥusainī ibn al-
yang sering dikutip Nabi merupakan Ḥajjājī ibn al-Muslim al-Qusairiyyi.
suatu rujukan yang lebih relevan dan Ṣaḥīh Muslim, Cetakan Kedua
lebih komprehensif dibanding rujukan (Kerajaan Arab Saudi: Dar al-
yang berasal dari muṣḥaf yang dipercaya Salām dan Kementerian Agama
pengikut dari komunitas Yahudi Islam, Wakaf, Dakwah dan
maupun Naṣrani.60 Penerangan, April 2000 M. /
Muharram 1421 H.).
Penutup al-Qazwīnī, Abī ‘Abdillāh Muḥammad
Penelitian ini menunjukkan ibn Yazīd (Ibn Mājah), Sunan Ibn
bahwa empat belas hadis yang tertera Mājah (Riyad: Maktabatu al-
sebelumnya dengan istilah khusus dari Ma’ārif, 1417 H.).
masing-masing hadis tersebut tidak Al-Sayyid al-Sharīf al-‘Allāmah al-
dapat diasosiasikan ke dalam salah satu Muḥaddith al-Sayyid Ibrāhīm ibn
dari tindakan intoleran-inkonsisten al-Sayyid Muhammad ibn al-
berupa korupsi, kolusi, atau nepotisme Sayyid Kamāluddin Naqīb Miṣr ibn
semata. Hamzah al-Ḥusaini al-Ḥanafi al-
Kemungkinan istilah khusus yang Damshiqi, Kitāb al-Bayān wa al-
hadir setiap hadis pun dapat Ta’rīf fī Asbāb Wurūd al-Ḥadīth al-
diasosiasikan pada korupsi, kolusi, dan Sharīf (T.K.: al-Bahā’ Tijāh Dār al-
nepotisme secara sekaligus. Hal ini juga Ḥukūmah, 1329).
berbanding lurus dengan upaya melihat Andreoli-Versbach, Patrick., dan Franck,
nuansa dan kadar korupsi, kolusi, dan Fens-Uwe (July 2015).
nepotisme di masa Muḥammad yang “Econometric Evidence to Target
ditentukan dari asosiasi setiap istilah Tacit Collusion in Oligopolistic
yang hadir dari setiap ḥadīth. Markets,”Journal of Competition
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISM
Law & Economics, Vol 11, No. 2:
463-492.
Anwar, Syamsul. Fikih Antikorupsi:
Perspektif Ulama Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan Tajdid PP.
Muhammadiyah (Jakarta: Pusat
Studi Agama dan Peradaban,
DAFTAR PUSTAKA 2006).
Baalbaki, Rohi. al-Mawrīd, Cetakan
Abū Dāwūd, Sunan. Ketujuh (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-
Achmad, Nur. Pencegahan Korupsi dalam Malāyīn, 1995).
Perspektif Ḥadīth: Studi Ḥadīth Barnes, Cristopher M., dan Lieutenant
Korupsi dalam Kutub al-Sittah, Colonel Joseph, What Does
Tesis (Jakarta: Sekolah Contemporary Science Say about

60 Asbāb al-Nuzūl Hadis ini adalah ‫اخرجه االمام‬ Al-Sayyid al-Sharīf al-‘Allāmah al-
‫اَحد والطْباين من حديث اِب امامة قال ملا كان يف حجة الوداع قال النيب صعلى‬ Muḥaddith al-Sayyid Ibrāhīm ibn al-Sayyid
Muhammad ibn al-Sayyid Kamāluddin Naqīb
‫ض او يرفع فقال اال ان ذهاب العلم ذهاب َحلته ثَلث‬ َ ‫خذوا العلم قبل ان يَ ْقبي‬ Miṣr ibn Hamzah al-Ḥusaini al-Ḥanafi al-
‫مرات ويف رواية عنه اي نيب هللا كيف يرفع العلم منا وبْي اظهرَن املصاحف وقد تعلمنا‬ Damshiqi, Kitāb al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbāb
‫ما فيه وعلمناها ابناءَن ونساءَن وخدمنا فرفع اليه رأسه وهو مغضب فقال هذه‬ Wurūd al-Hadis al-Sharīf (T.K.: al-Bahā’ Tijāh
‫اليهود والنصارى بْي اظهرهم املصاحف َل يتعلموا منها فيما جاءهم انبياءهم‬ Dār al-Ḥukūmah, 1329), 187.

245
Ethical Leadership? (The Army of Management & Information
Ethic of Military Review, 2010) Systems, Vol. 14, No. 5: 31-42.
Begovic, Boris. Corruption: Concepts, Muḥammad Nāṣir al-Dīn ibn al-Ḥāj Nūh
Types, Causes, and Consequences al-Albāni, Al-Shaikh. Ṣahīh al-
(Center for International Private Targhīb wa al-Tarhīb, Juz 2: 30.
Enterprise Economic Reform Nasā’ī, Sunan, Kitāb al-Ṭahārah, Bāb
Feature Service, 2005). Farḍ al-Wuḍū’, no 139, h. 31.
Bukhārī, Kitāb al-Shahādāt, Bāb al- Penjelasan atas Undang-undang
Yamīn ba’da al-‘Aṣri, no. 2672, h. Republik Indonesia Nomor 20
486-487. Tahun 2001 tentang Perubahan
Global Forum on Competition, Policy atas Undang-undang Nomor 31
Roundtables: Collusion and Tahun 1999 tentang
Corruption in Public Procurement Pemberantasan Tindak Pidana
(Organisation for Economic Co- Korupsi, Pasal 5 Ayat 2.
operation and Development, Shuabi, Azmi. Elements of Corruption in
2010). th eMiddle East and North Africa:
Haller, Dieter., dan Cris Shore (Ed), The Palestinian Case, disampaikan
Corruption: Anthropological pada 9th International Anti-
Perspective (London: Pluto Press, Corruption Conference (IACC), 10-
2005). 15 October, 1999, Durban, South
Hoctor, Andrew. Nepotism & HRM Africa.
Practices – How They Affect Player Spranca, Mark., Minsk, Elisa., dan Baron,
Satisfaction: A Study of G.A.A Clubs Jonathan. Omission and Commision
(National College of Ireland, in Judgment and Choice, Ed. Jon
2012). Haidt (University of Pennsylvania,
Human Right Watch, They Want Us Augst 2003).
Exterminated: Murder, Torture, Sundell, Anders. Nepotism and
Sexual Orientation and Gender in Meritocracy, QoG Working Paper
Iraq (New York: 2009). Series (Gothenburg: The Quality of
Luhuringbudi, Teguh. Analisa Pengaruh Government Institute, 2014).
al-Qawāid al-Uṣūliyyah dan al- The OECD Global Forum on Competition,
Fiqhiyyah terhadap Perbedaan Collusion and Corruption in Public
Pendapat dalam Fiqih: Kasus Procurement 2010.
Hukuman untuk Tindak Pidana Tirmiẓī, Sunan, Kitāb al-Ṭahārah, Bāb Mā
Korupsi, Makalah Matakuliah Jā’a Lā Tuqbalu al-Ṣalāt bi Gairi
Islamic Law (Jakarta: Sekolah Ṭahūr, no. 1, h. 9.
Pascasarjana Universitas Islam Treisman, Daniel (2000). “The Causes of
Negeri Syarif Hidayatullah, 2016). Corruption:
JURNAL AQLAM A and
-- Journal of Islam Cross-national
Plurality -- Volume 3, Nomor 2, Desem
Masyhur, Laila Sari (Januari 2011). Study,” Journal of Public
“Studi Analitik Hadits Economics, 76: 399-457.
Penyalahgunaan Fungsi Jabatan: Undang-undang Republik Indonesia
Kasus Ibnu Lutbiah,”Jurnal Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Ushuluddin, Vol. XVII, No. 1: 98- Penyelenggaraan Negara yang
114. Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Mihelic, Katarina Katja., Lipicnik, Kolusi, dan Nepotisme, Bab I
Bogran., dan Tekavcic, Metka Ketentuan Umum, Pasal 1, Ayat 3,
(Fourth Quarter 2010). “Ethical 4, dan 5.
Leadership,” International Journal Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 46 Tahun 2009 tentang

246
Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, Bab III (Kewenangan),
Pasal 6, Butir C.
Wehr, Hans. A Dictionary of Modern
Wrtten Arabic, Ed. J. Milton Cowan,
Edisi Ketiga (New York: Spoken
Language Services, 1971).
Wong, L., dan Klenier, B. (1994).
Nepotism International Journal of
Productivity and Performance
Management, Vol. 3, No. 34: 10-19.

247

Anda mungkin juga menyukai