Anda di halaman 1dari 87

GITARIS PESIMIS / MUSISI MELANKOLIS

‫عازف الغيوم‬
Karya : ‘Ali> Badr

Alih Bahasa : Teguh Luhuringbudi

I
Nabil menelpon ayahnya senja itu: untuk menceritakan keputusannya untuk
meninggalkan negarinya bersama salah satu penyelundup hari ini, di malam
hari. Sang ayah tidak ragu, mencoba membujuknya untuk menimbang
rencana yang berbahaya ini dan anaknya tidak akan menemukan
kebahagiaan di tempat dan negara asing. Bisikan disampaikan oleh salah
satu kerabat sang ayah, yang telah sejak lama tinggal di Amerika, seorang
pedagang jenis mobil klasik yang diproduksi oleh perusahaan Buick terkenal.
Meskipun banyak risiko yang merintangi, terutama setelah pendudukan
Amerika, tapi hal itu menjadikan kerabat Sang Ayah kembali bangkit dari
keterpurukan dengan membuka toko miyak wangi untuk menjual produk
Yves Saint Laurent dan beberapa jenis parfum Alphensah. Keadaan
menuntut dirinya segera menutup tokonya, setelah melihat resesi yang
menimpa komoditas ini, tepat setelah perang.

Pria, kerabat Sang Ayah itu mencoba membuka satu hingga dua toko
di dua tempat yang berbeda untuk penjualan tas wanita, terutama merek-
merek internasional yang beberapa bulan belakangan mencuat, seperti:
Hérmes, Louis Vuitton, Dior, Fendi, Gucci, Bottega Veneta, Prada, Celine,
Chloe, Millberry, Michael Kors, dan produk-produk bermerek lain yang
mewarnai dunia fashion wanita sejak pertengahan abad kesembilan belas.
Tapi sentimen pasar berkata lain. Setelah diketahui bahwa pada umumnya
masyarakat cenderung menkonsumsi hal-hal mewah, usahanya pun gulung
tikar dan kembali membuka toko lain. Toko besar di jalan Karrada: Dalam
rangka untuk menjual beragam karpet Iran berkualitas yang digunakan
untuk shalat-doa.

“Apa maksud Ayah?”, Nabil meminta penjelasan pada ayahnya.

“Maksud ayah ... Maksud ayah sangat sederhana - Ananda tidak akan
menemukan kenyamanan di sana ...”, Jawab ayah.
-“Mengapa Ayah berfikir demikian?,” seloroh tanya Nabil.

Page | 1
-“Ayah tahu Nanda akan menanggung risiko. Setelah lelah, Nanda akan
kembali ke tempat asal,” pungkas ayah.
-“Hal ini tidak mungkin terjadi,” Nabil mengelak.
-“Pada mulanya, semua orang akan mengatakan hal serupa,” ayah
menenangkan.
-“Mengapa?,” Nabil tidak puas.
-“Sederhananya, Ananda tidak akan menemukan sedikitpun kehidupan yang
cocok di sana,” ayah meyakinkan.
-“Bagaimana Ayah tahu?,” Nabil tidak suka.
-“Semua orang yang bermigrasi, pada akhirnya akan kembali,” ayah kembali
menjelaskan.
-“ Kembali.... Haha.” Sindir Nabil ....
Sejenak hening, dan kemudian terdengar suara sang ayah memecah
kesunyian. “.... Pertanyaannya adalah jika Ananda kembali ke tempat asal,
lantas mengapa Ananda harus merantau?! ....”, Sang Ayah berusaha
bersabar untuk menjelaskan.
- “Aku tidak akan kembali ....”, jawab Nabil.
- “Dengarkan saranku!”, bentak ayah.
- Sejurus kemudian, Nabil bertanya, “Apa saran Ayah?”
- “Ananda tidak akan menemukan kehidupan apapun selain bermimpi,
melamun, dan berangan-angan sepanjang hari di sana!”, Jawab Sang Ayah
dengan kesal.
- “Dimana Saya mendapatkannya? ... Di sini?!” Tanyanya dengan nada sinis.
- “Setidaknya, Ananda tahu dan memahami keadaan di sini... setidaknya
Ananda akan memahami masyarakat, tata karma, bahasa, dan ilmu tentang
kehidupan dengan lebih baik dibanding di sana ...”, Ayah kembali bersaar
untuk menjelaskan.
- “Hidup?”, Tanya sinis terlontar kemali dari Nabil, sang anak.
- Sang Ayah memperteguh, “Ya, hidup ...”
- Tanya bernada hinaan mulai menghujani sang ayah, “Apa artihidup jika
keadaan Ayah begini? ... Ananda tidak menemukan kehidupan apapun di sini
...”

- “Apa yang Nanda maksud tidak menemukan kehidupan di sini?”, sang Ayah
mulai terheran cemas.

- Nabil mulai mencari jalan tengah, “Nanda tidak dapat memahami Ayah,
tapi Nanda mulai ragu bahwa kita sepaham tentang kehidupan.”

- “Ayah tidak menyangka, kita akan berbeda bahkan dalam hal arti dari
hidup sekalipun!”, sang ayah geram.

- “Kita tidak sejalan!”, pungkas Nabil.

- “Apa maksud Nanda?”, nada ayah meninggi.

Page | 2
- Nabil berusaha menjawab, “Maksud Nanda …..”

- Ayah menyela ucapan Nabil, “Katakan a pa maksud Nanda …..?”

- Nabil bersikap tegas, “Nanda tidak bermaksud apa-apa! Nanda berangkat


hari ini dan ini yang Nanda maksud!”

Nabil menutup pembicaraan telepon dengan menyisakan rasa sedikit


sedih. Ia kembali dengan menumpuk tugas penting yang akan
menghantarkannya, terutama beberapa pamphlet khusus,musiknya. Pun dua
bukunya: yang satu berisi tentang harmoni toleransi dan yang terakhir buku
kepemudaan tentang filsafat British Beatles postmodernisme.

Selamanya, Ayah yang hidup di zaman keemasan, kejayaan, enam


puluhan dan tujuh puluhan tidak akan pernah memahami perilaku Nabil yang
selalu berubah. Pamannya yang pernah belajar di Rusia, dimana Uni Soviet
dan Iraq memiliki hubungan diplomasi yang kuat dan persamaan arah
kebijakan politik luar negeri banyak mempengaruhi pemikiran dan gejolak
imajinasinya. Pamannya adalah sosok terpandang : pecandu vodka, perokok,
dan gemar mengenakan topi seperti yang dikenakan Lenin. Sayangnya,
pamannya wafat dua tahun setelah pendudukan negara oleh militant Islam.

- “Well done”, ujar Nabil.

Ia tidak bisa mengikuti jejak hidup ayahnya yang bergelimang kemewahan


dan kemapanan selaras dengan kecenderungan tren pan islamisme yang
menolak segala hal terkait dengan hingar-bingar kehidupan.

“Darimana ia akan mendatangkan vodka? Darimana ia akan menghadirkan


rokok? Darimana ia bisa member kafiar?1”

Padahal pamannya meninggal karena keracunan kepiting. Namun


Nabil menganggap kematian pamannya merupakan perjuanngan
membisunya untuk menempatkan makhluk-makhluk ini, kepiting yang
mengharap belas kasih syariat manusia, di sini, dengan adil.
*

Nabil memilah dan memilih kebutuhan-kebutuhan pentingnya untuk


selanjutnya terperosok dalam koper kecilnya. Barang bawaannya tidak
banyak, sekedar yang dibutuhkan. Namun not-not musik ia leburkan terlebih

1
Ka>fiya>r adalah makanan dari telur ikan.

Page | 3
dahulu. Kemudian, ia bersandar di atas sofa di ruang resepsi apartemennya,
menunggu lengkingan telepon dari pedagang gelap, penyelundup. Sejenak
kemudian, ia merasa lapar, lantas bangkit dari tempat duduknya dan
mengeluarkan sepotong pizza MARGARETTA dari kulkas dan meragap
segelas coca-cola. Berjalan beberapa langkah; dengan sendok besarnya, ia
jerumuskan pizza itu ke dalam oven; dan melangkah menuju bangku di
sudut ruang resepsi. Ia duduk menanti matangnya sepotong pizza, ia mulai
berfikir atas apa yang ayahnya katakana soal keburukan-keburukan jika ia
mengasingkan diri; bahkan cerita-cerita salah satu keluarga yang kembali
dari Amerika dan mulai menasehati banyak orang untuk tidak meninggalkan
negeri dan pergi ke Barat, luar negeri.

Cerita-cerita itu mengingatkannya pada satu wejangan mendalam,


yang disampaikan oleh penyair muda dari Persia pada salah satu sahabatnya
yang hidup di abad keenambelas:

Penyair berkata pada sahabatnya bahwa keledai itu merepotkan


sekaligus melecehkan sahabatnya dengan hinaan dan cercaan di desa yang
kerap kali ditujukan masyarakat pada penggembala seperti dirinya. Satu
waktu, sahabatnya dibuat bingung dan tercengang karena keledainya lepas
dan lari dengan cepat menuju desa tetangga dan membuatnya harus
mengejar dengan peluh kesah, kemudian sahabatnya bersuka cita lantaran
keledainya kembali ke desa asalnya. Ia pun hidup di desa singgahan itu,
suatu tempat, sepanjang masa di desa singgahan itu dengan bahagia dan
persediaan makanan yang ada. Putaran roda mengantarkannya pada suatu
saat, ia lupa akan semua hinaan-cercaan yang ia hadapi di desa asalnya.
Namun, pada suatu hari, ia merasa sangat rindu pada desa asalnya;
bermaksud mengunjungi desa asalnya, maka ia pun keluar meninggalkan
desa persinggahan. Dalam perjalanannya, ia menyaksikan salah satu rekan
penggembalanya di desa asal melarikan diri, ia melirik rekannya dengan
kecemasan seraya memanggil rekan yang berlari tersebut, “Apa yang kau
lakukan?” Rekan seprofesinya menjawab, “Demi Allah, aku memutuskan
untuk melarikan diri dari desa ini, yang selalu menghina dan mencerca
penggembala keledai seperti diriku. Aku kenyang dengan kemiskinan,
hinaan, dan kesengsaraan. Aku ingin ke suatu tempat selain desa ini.”
Sahabat penyair menimpali rekan seprofesinya dengan sangat muram-
murung, “Aku harap kamu mendengar nasehatku. Kembalilah ke desamu
dan kamu tidak akan pernah lagi merasa bahwa kamu sebagai seekor
keledai selain di desamu itu saja.”

Page | 4
II
Oven mendesis. Nabil bangkit, mengeluarkan sepotong pizza dan
meletakkannya di piring. Keju yang telah dipanaskan, menebar aroma lezat.
Hidangan panas ini ia lahap tanpa menggunakan pisau dan garpu. Agaknya,
ia ingin merasakan dan menikmati makanan panasnya dengan jemarinya
sendiri.

Setelah menghabiskan sepiring pizza, sambil menonton channel


televisi pornografi; untuk melepas kebosanan menunggu. Channel-channel
televise porno yang dapat diakses adalah yang hanya tersedia dan diizinkan
di negeri ini; dimana seorang teknisi di toko di sudut jalan sana, dapat
merubah dan mengganti channel dengan hanya sedikit morogoh receh.
Ironisnya, para pelanggan dan penonton, justeru dari kalangan islamis yang
merilis dan menerbitkan fatwa-fatwa bahwa penyiaran channel pornografi
terhadap selain wanita-wanita muslim merupakan pembolehan, halal.

Pilihan dengan alat yang dimilikinya berupa remote kontrol di


beberapa channel yang diperolehkan dan tersedia saat itu agar ia tetap
memilih satu, satu, satu. Pada akhirnya ia memilih stasiun televisi yang
menayangkan film-film porno yang menggambarkan keadaan luar negeri,
berjudul Senggama di Hembusan yang Cerah. Ia sudah berulangkali
memencet untuk mencari dan mengganti channel, namun, sekali lagi,
mungkin inilah film yang paling dinantinya.

Tampak sesosok pemuda tampan berkulit sawo dengan sedikit jenggot


menjulai, tak uahnya psia Arab, mungkin saja pria Mesir. Badannya atletis
dengan urat-urat yang menjalar, dadanya berbidang, pahanya yang padat
dan kokoh bersama seorang wanita pirang yang cantik jelita. Nampaknya, ia
wanita Eropa dengan kaki yang panjang, payudara yang besar dengan perut
langsing, Nampak tonjolan bulat yang mempesona. Pada awalnya, keduanya
tertawa di pantai samba lalu saling mencipratkan air. Kemudian, wanita
keluar dari air, berlari dengan tawa menuju tempat duduk yang terhampar di
bawah gumpalan warna-warni sang surya. Setelah itu, pria beranjak, berlari
mengejar, menangkap dan mendekap wanita itu dari atas seraya mulai
mencumbuinya dari leher, dan menggerayangi sekujur payudara hingga
kedua pahanya.

Nabil tergiur, terperanjat pada wanita tersebut yang membuka.


Perlahan, liur yang membasahi bibir dan libido wanita itu membuncah. Di
belakang sejoli, menjulang pohon kurma yang sangat indah, kemilau

Page | 5
keemasan mentari menyinarinya dengan sangat menyilaukan: Demikianlah
Senggama di Hembusan yang Cerah. Pinggir pasir, hamparan kilau mentari,
botol-botol anggur beserta gelas-gelasnya, di antara deburan ombak laut
yang menghardik pasir.

Nabil benar-benar terbenam dan terhanyut dalam tontonan itu. Inilah


sosok Nabil, seorang pecinta film porno. Ia mulai merasa kebebasan yang
tak terhingga manakala perlahan miliknya berdiri, maju, naik, dan mendaki
dalam adegan ini; sementara tubuh wanita yang mulai basah itu semakin
berkilau di bawah semburat cahaya sang surya. Butiran pasir melekat di
jembut2 vagina yang pirang, kemerahan. Kepala Nabil melongok,
sebagaimana ia ingin memasuki ladang itu, ia tak sadar, sementara
mulutnya mengering. Lelaki itu kembali mendekati dan merangkul tubuh
mulus kekasihnya, ia pun mengubah posisinya. Sepasang insan ini
bersembunyi di tengah derasnya lantunan musik yang membahana.

Adegan ini membutuhkan waktu yang lama. Sebelum tontonan usai,


handphone berdering. Penyelundup memintanya turun, ia menunggu Nabil di
mobil.

“Oh iya, ini waktumu,” ujar Nabil dalam hati. Keluhan mencuat, tidak
dapat melihat akhir adegan tontonan ini. Ia paksa untuk meyakinkan dirinya
bahwa semua film porno berakhir pada klimaks yang membahagiakan.
Senggama – selamanya dan sejak senggama itu ada di muka bumi, hanya
soal gerakan erotis, dan desahan libido, dan orgasme. Mungkin saja yang
berbeda dari tontonan ini hanya sensasi tempat: laut, sang surya,
kebebasan, dan tempat lapang di bawah terik mentari.

III

Di saat yang sama, Nabil bersukacita bercampur malu meninggalkan tempat


ini, negeri ini. Ia membawa kopernya. Ia matikan tv. Ia melirik, kembali
memandangi apartemennya untuk kali terakhir dan segera turun menyusuri
tangga lift. Mobil menanti di muncung gerbang apartemen. Mobil jenis Honda
model klasik, tidak diketahui secara pasti, jenis apa? Namun nampaknya,
mobil jenis ini kerap dijumpai pada tahun tujuh puluhan sebagaimana yang
nampak di beberapa album foto keluarga kakeknya.

Nabil mendekati mobil berwarna biru. Ada bekas perbaikan kecelakaan


di sisi kanannya. Ia rebahkan dirinya di atas kursi, sisi sopir.

2
Bulu pada kemaluan.

Page | 6
-Selamat datang! Sambut Nabil tanpa melihat pada sopir. Kemudian ia
bergegas menutup pintu dan setelah memasang sabuk pengaman, ia
melihat ke depan dan menunggu keberangkatan mobilnya.

- Selamat datang juga! Jawab Pak Sopir, tetap fokus, melihat dengan rsa
ingin tahu yang besar.

- Apakah saya pernah melihat Tuan sebelumnya di suatu tempat? Tanya pak
sopir pada pada Nabil dengan suara lirih sebelum mengemudikan mobilnya.

-Saya tidak tahu ….. jawab Nabil, kemudian ia melirik sopir tersebut dan
bertanya:

- Bapak, tinggal dimana?

- Di sini, di sebelah.

- Jadi; Sebaiknya, Bapak, berkunjung ke rumah saya sesekali.

- Ahhhh, benar sekali!

- Nabil mulai membiasakan diri mengetahui lingkungan sekitarnya sejak ia


tinggal di wilayah itu. Misalnya: ia bertanya pada tetangganya itu dengan
pertanyaan lugu:

- Kemarin, dimana saya melihatmu?

Maka kamu menjawabnya:

- Di sekitar sini!

Ia menjawabmu:

- Ahhh, benar juga, Kita tetangga! Jangan sungkan-sungkan.

*******

Nabil duduk di sebelah sopir, ia berfikir bahwa perbincangan orang hanya


sekedar perbincangan semata, seseorang mempertanyakan sesuatu padamu
tanpa mengharap jawaban. Maka hal ini tidak ubahnya dengan omong
kosong dan pertanyaan basa-basi terhadap jawaban yang akan kamu
sampaikan. Suatu hari, Nabil berkata pada ayahnya:

Page | 7
(Orang-orang ingin menyuarakan segalanya di sini, segala perbincangan,
apalagi setelah perang, mereka ingin membahasnya secara tuntas, Apakah
Ayah setuju dengan Nabil? Obrolan-obrolan tidak penting di sini tidak
ubahnya komoditas yang diperdagangkan yang belum pernah terjadi
sebelumnya, dan itulah satu-satunya yang berlangsung sampai saat ini,
sekaligus hal yang tidak bosan-bosannya diperincangkan, hingga ribuan
kali).

Ayahnya tertawa, selalu menghibur dan menenangkan apa yang


dikatakan Nabil. Anaknya selalu berlebihan dalam melihat dan menilai
kebiasaan orang.

(Percayalah, sudah menjadi hal yang lumrah jika seseorang menanyakan


padamu “Dimana saya melihatmu sebelumnya?”)

Nabil menjawab:

- Saya tinggal di sini, di sebelah rumahmu!

Ayahnya menanggapi:

- Ahhhh, lagi-lagi kamu menjawab demikian.

Tapi sebenarnya, kamu pun menjawab demikian ribuan kali.

**

Nabil mengalihkan pandangannya pada sopir di sisi kirinya, dari atas


ke bawah. Kira-kira, umurnya mendekati penghujung enampuluhan, lelaki
paruh baya berpenampilan desa dengan rambut putih dan kumis hitam-
pekat seperti sepatu yang disemir hitam-pekat. Semir itu adalah pewarna
yang biasa digunakan oleh orang-orang miskin. Orang-orang mengenakan
celana dan baju buatan Cina yang murah, fashion lokal agar seseorang
terlihat lebih muda dari umurnya. Stylenya mengingatkan pada seorang
aktris film-film Mesir, yang berprofesi sebagai seniman. Nabil mencoba
mengingat namanya, namun tidak berhasil dan ia memilih untuk duduk di
sisi sopir tanpa memperhatikannya.

Setelah moil tersebut melaju, Nabil bertanya-tanya dengan penuh


gejolak kecemasan dalam batinnya: Jika hal ini adalah bentuk
penyelundupan atau migrasi illegal menuju Eropa, maka tidak pelak, dirinya
laksana seniman yang sedang berganti menjadi imigran gelap, atau laksana
seorang yang ingin meraih ambisinya dengan mobil tua serupa mobil
pengiriman pizza ini?

Page | 8
Ia menoleh pada sekitar yang dilaluinya untuk kali terakhir:

Tiang-tiang listrik di sudut itu dan dua rumah nun cantik itu seakan
memanggil-manggil, dan toko wanita Kristen paruh baya yang tutup setelah
kepergiannya menuju keluarganya di Detroit. Gedung yang ia huni; adalah
satu-satunya penerang dengan generator kecil, hal itu karena lingkungan
sekitar yang gelap dan tidak ada listrik.

IV

Nabil merenung, duduk di mobil imigran gelap dengan lega, puas untuk
meninggalkan kampung halamannya yang menghina dan
mempermalukannya. Nabil adalah seorang gitaris cello. Ia mempelajari alat
ini di Sekolah Musik dan Balet di provinsi Mansour dan bekerja di National
Symphony Orchestra sebagai seorang gitaris musik klasik.

Menjadi seorang gitaris klasik di Timur-Tengah adalah profesi yang


selamanya tidak akan pernah mudah.

Suatu hari, Nabil berkata pada pelatih musiknya:

- Ini bukan semata hal yang rumit, namun juga sebagai tragedi, lelucon,
dan horror yang mengerikan, sebagaimana Kamu hadir dengan seekor
hewan yang sepanjang hidupnya dihabiskan di kutub utara, sementara
kamu pindahkan ia ke suatu tempat yang panasnya mencapai 40º.

Pada awalnya, Nabil meyakini hal ini sebagai sesuatu yang mudah dan tidak
perlu dipersoalkan, sesuatu yang dapat diselesaikan dan dinikmati dengan
candaan, gurauan seiring dengan mengalirnya suasana hati; karena hal
tersebut terkait dengan minat pribadi yang kuat pula. Atau lebih tepatnya
dengan hasrat musiknya, namun melalui hasrat-keinginan ini harus
dihadapkan pada dua sisi, dimana realitas tidak selalu sejalan dengan
hasrat, keinginan. Dahulu, ia berpikir bahwa musik dapat merubah hidupn ya.
Musik lah yang akan menjadikan hidup masyarakat yang picik menjadi lebih
berarti, merubah hidup dari nihil menjadi panggung teatrikal, bahkan
menjadi lebih berwarna.

- Bukankah aku yang memiliki keinginan itu?

Pernah, suatu waktu ia menanyakan hal tersebut pada ibunya yang sedang
terjerembab dalam merajut sweater untuknya. Sejak rajutan itu, ia tidak lagi
mengenakan pakaian yang dijual di pasar, pakaian tidak berkualitas dengan
warna cerah yang diimpor oleh pedagang, tengkulak. Pakaian-pakaian itu

Page | 9
dipenuhi jamur yang lembab setelah perang. Mereka mengimpornya dari
China dan Turki.

- Dengarkanlah anakmu ini, Bu ….. Aku dapat mengubah kondisi ini,


kehidupan ini.
- Hahaha, ibunya menimpali dengan sinis tanpa mengangkat kepalanya
dari jarum jahit yang terus menelisik, keluar dan masuk lembaran wol.
- Seandainya aku berikan alat music ini, sementara Ibu tidak dapat
memainkannya, maka suara yang menyeruak akan terdengar samar-
samar bahkan fals. Tapi, berusaha dan berlatih, maka suara yang hadir
akan terdengar penuh makna dan indah.
- Manusia bukan alat musik. Ujar ibunya tanpa memperhatikannya.

Tampak, Nabil mulai berjalan menuju kamarnya, mondar-mandir.

Nabil yakin bahwa dengan keinginan yang dimilikinya dan dengan


kemampuannya memainkan alat musik agar dapat merubah suara fals
menjadi melodis nan iramatis dapat merubah dunia. Baginya, musik menjadi
jalan untuk sampai pada nilai-nilai kehidupan. Menurutnya, suara lah yang
dapat mempertemukan manusia yang berasal dari beragam golongan dan
perbedaan. Dengan suara-suara ini, memungkinkan untuk menghilangkan
kekosongan dan kekeringan dari jiwa-jiwa mereka. Kemudian,
menghilangkan unsur-unsur bernilai tak humanis yang memberi dampak
pada manusia sekalian. Demikianlah, tujuan hidup yang nampak mengalir.

Tidak semestinya, ujug-ujug, ia merasa dirinya lemah, tidak mampu


menyelesaikan irama yang dipahami pada masa dan bahasa terdahulu. Juga
tidak mampu, bersikap solutif terhadap music, dimana msik ini mempunyai
kedudukan tersendiri di masa terkini. Padahal, musik itu tidak berpijak
terhadap nada yang tinggi semata atau perbincangan suatu daerah tertentu.

- “ahhhhhh, apa yang harus kuperbuat,” ujar Nabil seraya memegangi dahi
dengan tangan kanannya. Sejurus kemudian, ia pun berbaring di atas dipan.

“Manusia bukan alat,” sebagaimana yang dituturkan ibu padanya yang


getol merubah dan mengarahkan mereka semua. Permasalahan yang
kompleks dalam pemikiran yang dihadapinya adalah tentang kehidupan dan
musik.

Kisah yang membebani akal sehatnya di suatu kecamatan adalah


penyergapan para tetangga. Suatu hari, tiba-tiba, beberapa penduduk

Page | 10
kecamatan berkumpul di depan apartemen. Dua diantara mereka meminta
untuk menghentikan lantunan bodoh musik ini karena mereka tak mampu
menikmati tidur lantaran sesuara dungu ini.

Sontak, Nabil syok atas kejadian ini dan bertanya-tanya terkait cara
dan jenis bebunyian yang hadir tiap harinya, dimana-mana, di suatu
kecamatan entah-berantah dengan semangat bertahan hidup yang tinggi,
yang segera terkikis oleh kelas miskin, setelah perang:

Suara isyarat mobil, suara-suara penyanyi kondang yang direkam oleh


para remaja, yang ada di sepanjang jalan, para pandai besi “Palu Tiga” 3 di
pasar, jeritan kuli di jalan, menembakkan peluru untuk alasan sepele, jeritan
dan rengekan anak-anak di jalan.

Semua ini tidak mengganggu keseharian mereka. Suara yang


mengganggu mereka hanyalah cello seseorang yang memainkan Beethoven
Concerto Moon Light!

“Apa yang harus saya lakukan untuk Anda?” tanyanya dalam mengawali
percakapan di depan kerumunan perempuan dan laki-laki yang berkumpul di depan
gerbang pintu kala mereka semua berbicara di saat yang sama.

“Apa yang kau perbuat pada kami? Kami peringatkan untuk menghentikan
omong kosong untuk melawan kami yang selalu kau perdengarkan ini setiap
harinya,” jawab salah seorang dari kerumunan itu.

“Bagaimana? Apa maksud ucapan kalian?” ia menepis dengan protes dan


putus asa di pertalian yang sama.

“Kami tidak ingin mendengar suara busuk ini kembali,” tukas salah satu dari
pengunjuk rasa lainnya.

Ia tidak lagi memiliki sandaran. Ia hanya membela diri berdasarkan


pendapat yang patah untuk sekedar beradapatasi dan menyesuaikan diri.
Sementara, lima belas orang masih berbicara di saat yang sama satu per satu.

“Ini profesiku,” tukasnya.

Alasan terakhir Nabil yang memungkinkannya untuk berbicara di


hadapan seluruh pengunjuk rasa yang berkoar-koar lantang dengan segenap
daya mulut mereka disertai setiap kata yang nyerocos tanpa kendali.

“Profesi biadab ….. profesi haram ….. musik haram, apa kau tidak
dengar nasihat dari Syaikh masjid?!” seloroh mereka.

3
Sebuah nama kios pandai besi.

Page | 11
“Tinggalkan aku, biarkan aku dan tuhanku …. Hanya Dial ah yang tahu
haram atau tidak! Apa peduli kalian denganku?” jawab Nabil dengan marah.

“Kami memang tidak punya urusan denganmu, tapi kamu


mengganggu kami. Kami tidak ingin kau memaksa kami memainkan suara
dan alat musik yang haram itu di telinga kami,” sanggah salah satu dari
kerumunan tersebut.

“Apa yang harus aku perbuat? Dimana aku harus memainkan cello ini?
Di toilet?!” tanya Nabil menohok.

“Kenapa tidak?! …… Itu tempat terbaik untuk cello


kebanggaanmu…..,” salah satu dari pengunjuk rasa membalikkan
pertanyaan sejurus kemudian.

Nabil bertanya pada si botak yang dahulu menjadi seorang penjahat,


dan sekarang menjadi tokoh agama.

Nabil menutup pintu, memasuki rumah dengan marah dan putus asa.
Ia ingin duduk, tapi ia tidak mampu dan mengurungkannya, berhenti. Ia
mulai berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Ia menyaksikan rasa sakit
dan kemarahan yang mengubah Negara itu menjadi Negara kacau-balau
yang mengerikan. Bukan dari hari ini, tapi sudah sejak lama. Nabil hanya
mampu diam, namun; di lubuk hati terdalamnya muncul jeritan yang
membisu. Kemarahan tumbuh tak terelakkan, bak pepohonan yang tumbuh
di lading terlarang, kata-kata tidak lagi keluar dari mulutnya laksana mesiu
yang keluar dari gagang pistol, seperti keadaan masa lalu. Dia tidak lagi tahu
harus berkata apa. Di dalam dirinya terdapat gerombolan uneg-uneg , yang
belum mampu ia katakan. Itu semua karena ucapan hari ini yang hanya
disampaikan oleh orang-orang gila dan tak beradab terima sepanjang
hidupnya. Sementara seniman, tidak henti-hentinya dituntut secara sopan
untuk menjauhkan tubuh mereka yang tergantung di atas gantungan
pakaian. Dia seharusnya tidak keberatan terhadap orang bodoh dan rakyat
kecil dengan pernak-pernik urusan sepele mereka di jalan raya. Sebaiknya,
jangan mengacaukan hidup orang lain, dengan pakaian yang elegan, atau
pertukaran pernak-pernik cindera mata yang indah nan menawan.

-“Semua orang baik dan penyabar pun benci hari-hari ini,” gumamnya.

Nabil berpikir, saat dia berjalan di sepanjang jalan itu, orang-orang


ingin dia melakukan apa yang mereka inginkan. Bahkan, jika ia menggaruk

Page | 12
kulitnya, dia harus menggosoknya dengan kuku-kuku sekelompok orang
yang memiliki semacam kohabitasi, yaitu kelompok yang saling menukar
identitas budaya antara mereka sendiri. Jika hal ini dikaitkan dengan
keberadaan Nabil, maka yang dimaksud adalah ia dan alat musiknya; karena
melanggar konteks. Semua orang ingin melihatnya tersimpan dan
tersembunyi, dia dan alat musiknya tidak menampakkan diri untuk
masyarakat umum di sekitarnya; karena hal tersebut, secara sederhana,
hanya akan merusak tatanan dan pemandangan yang telah ada; yaitu
merusak konteks. Di sisi lain, orang-orang senantiasa mengajak dan
menimpalinya untuk segera sembuh dari penyakit aneh yang dianut dan
dialaminya: musik.

“Uhhhhhh,” tukas Nabil. Tangannya menghampiri keningnya yang


pasrah. Ia masih duduk di atas sofa.

Mereka adalah pemilik kekuasaan, mereka mengabaikan pemegang


kekuasaan baik dalam hal agama, sosial, politik. Mereka semua ingin
beradaptasi, membungkuk, bekerja, untuk menundukkan Nabil.

Nabil merasa bahwa mereka melatihnya hal-hal omong kosong setiap


hari. Mereka berbicara dengannya di jalan. Mereka melatihnya sampai dia
melakukan penelitian. Semua orang menginginkan latihan Nabil ditujukan
dengan kehendaknya untuk berbicara dengan mulut mereka.

“Ahhhhh, kalau saja semua orang berbicara dengan music dan bukan
dengan mulut …… artinya dengan bahasa selain mulut,” keluh Nabil.

Pandangan Nabil tertuju pada suatu mobil yang beranjak menjauh dari
balik jendala. Keinginannya membuncah pada kesempatan besar untuk
meninggalkan kota ini beserta kehidupannya sendiri; rumah keluarga,
sahabat, kekasih pertama, dan grup al-Kalīshīhiyyā t serta krisis berkesinambungan
yang dibicarakannya hampir diketahui dan dikenal oleh sebagian besar warga.

“Oh, aku tidak bisa meninggalkan negara saya, bagaimana saya bisa hidup di tempat lain?” ujar Nabil.

Atau seperti:

“Negeriku yang memburuk tidak dapat dibandingkan dengan surga terbesar


di Bumi,” lanjut Nabil.

Page | 13
Omong kosong! Di masa lalu, Nabil bingung, tidak tahu bagaimana
menyarankan bahwa dia tidak bisa hidup tanpa negaranya. Dia memikirkan
semua orang yang tidak terlatih bahwa langit, udara dan keindahan benda-
benda kotanya, tidak terbantahkan. Tapi ini benar-benar bodoh. Dia bahkan
menertawakan ide ini, meninggalkannya sama sekali. Dia merasa bahwa - di
masa lalu - dia terlibat dengan seperangkat gagasan yang kaku tentang
kehidupan, tentang kota, tentang tuntutan, tugas, kenangan, dan naik
turunnya emosi. Seolah-olah dunia hubungan tunduk pada hukum yang
sama yang membuat kota ini indah, dan laut ini luar biasa.

Sekarang, sebaliknya, dia merasa bahwa ada semacam perjanjian


ambigu, bahwa dia bisa pergi ke kota yang jauh dan membuatnya mengubah
posisinya dari tempat di mana dia tinggal. Maka hidup itu sendiri terancam
oleh piramida (segi empat atau segi lima: rumah keluarga, sahabat, kekasih
pertama, dan komunitas serta krisis berkesinambungan), tidak ada yang tetap di
bumi ini, dan ia tidak bisa lagi kembali ke titik nol. Mobil mulai, dan tidak
kembali ke negara ini.

Dan mengambil jumlah monumen yang mengakhiri hidupnya, atau


mereka yang terancam dengan piramida .....

Dia tidak lagi punya teman. Tidak ada jeruji lagi, sebagaimana adanya. Bir
itu menghilang. Dia tidak memiliki masa depan sebagai pemain cello di
negara ini, bahkan hingga hubungannya dengan orang tuanya yang ia
anggap sebagai hubungan formal semata, tanpa substansi, tanpa kehidupan,
tanpa isi, tanpa gairah, hanya ritual, dan kata-kata yang diperlukan
digemakan oleh delusional, Seolah-olah dia telah meneguk sebanyak
mungkin narkotika, yang membuatnya merasakan aliran halus cinta
keluarga dan semangat yang tulus.

Hubungan Nabil dengan semua orang tampak dibuat-buat. Tidak ada


kaitannya dengan hal yang sebenarnya. Dia tidak ubahnya sebagai sosok
yang canggung dalam pertunjukan atau teater yang memalukan. Merupakan
representasi dari teks berat, tanpa gema, berubah menjadi keheningan
hitam pekat. Tapi kata-kata kosong di kegelapan gelap dari teater kosong.

Dia menyukai ekspresi terakhir, tersenyum padanya.

Page | 14
*

Dari balik jendela Nabil melihat mobil penyelundup migrasi ke kecamatan,


dan dia meninggalkannya untuk terakhir kalinya. Sebelum dia kehilangan
pandangannya, menarik napas dalam-dalam, dan melepaskan keluh
kesahnya, dia berkata:

- Ah, orang-orang compang-camping (proletar)!

Nabil sedang berpikir untuk dirinya sendiri, namun; tidak tidak kunjung
merasa damai sama sekali. Namun hanya rasa sakit dan kemarahan yang tersisa. Ia
menggunakan ungkapan ini:
((Compang-camping!))

Ungkapan ini selalu digunakan dalam menyajikan masalahnya dengan


dunia luar. Saya tidak akan menekankan bahwa Marx menggunakannya dalam
bukunya tentang ideologi Jerman untuk menghindari tuduhan kenaikan kelas.
Meskipun para intelektual adalah karyawannya dengan perhatian yang tinggi di
Baghdad, untuk menggambarkan massa, permukiman kumuh dan rumah
tunawisma, pengemis dan pencuri, yang telah menyerang daerah-daerah kelas atas
baru-baru ini.

Nabil lebih maju dalam penggunaan bahan ejaannya, karena Marx sendiri
telah dihantui oleh kelas tercemar, karena mereka mendiskreditkan dan berkhianat
selama transformasi politik besar. Jadi, demikianlah mereka - juga - untuk Nabil:

"Setelah menjadi milisi Saddam di masa lalu, mereka menjadi milisi agama."

Penghinaan yang paling memalukan yang dialami Nabil dari serangan kelas
proletar, yang paling terakhir adalah yang paling parah. Ketika dia ditangkap oleh
kelompok Islam dan kembali ke rumahnya membawa cello dalam kotak hitam
besar. Mereka menghentikan Nabil di tiang listrik saat ia pulang setelah
menghabiskan sepanjang siangnya yang panas. Dia berkeringat, lelah, dan ingin
sampai ke rumah secepat mungkin, mengambil sebotol minuman dingin dari kulkas
dan meminumnya.

Pimpinan kelompok, yang termuda, berwajah tampan nan rupawan,


menyerupai punggung seekor kambing. Dia bertanya kepada Nabil apa yang ada di
tangannya:

-Cello!

-Ah ... Mau apa Kau?

- Alat musik!

- Ah, alat musik dan juga Barat?

- Musik Biasa!

Page | 15
- Apa Kau ingin mengajariku?

- Tidak ... tapi ...

- Apakah kamu tidak tahu bahwa meniru kaafir adalah kufur, dan bahwa musik
dalam Islam adalah haram?

Sebelum Nabil mengucapkan sepatah kata, para perampok bersenjata turun


dan menyergap alat musiknya. Mereka memutus senar tali cello tersebut, mereka
memukulinya di tanah, mereka menendang mereka dengan kaki sampai mereka
benar-benar menghancurkan alat musik milik Nabil, dan mereka tertawa. Nabil
tampak terdiam menyaksikan kejadian tersebut di depannya, sementara warga
sekitar yang tinggal bersama dekat dengan rumah Nabil turut serta menghujamkan
tawa dan cemoohan padanya. Pemimpin kelompok itu mendekati Nabil, menarik
dasinya, dan menamparnya. Pemimpin kelompok tersebut kembali menampar
Nabil, kacamata dengan bingkai emas pun mengudara dan jatuh di trotoar, disertai
gemuruh tawa. Ketua kelompok itu kembali menampar Nabil dari sisi pipi lainnya.
Nabil tersentak dan jatuh ke tanah. Begitu ia bangkit, ketua gang itu memegang
dan menarik kemeja putih yang sangat disukainya, yang bermerk Ralph Ralon.
Ketua gang (kelompok) itu diliputi kebencian dan kemarahan, seolah-olah terukir
permusuhan abadi antara dirinya dengan kemeja ini atau dengan setiap kemeja
yang berwarna putih. Seluruh orang yang berdiri mengelilinginya tertawa terbahak-
bahak.

Nabil merasa amat terhina dan dilecehkan. Dia pergi ke atas, apartemennya
menuju lemari es, meneguk sebotol air dingin dan menghabiskannya. Dia berbalik
ke arah cermin di wastafel, dan memandang ke depan ke wajahnya, bekas
tamparan-tamparan. Dia melepas bajunya yang robek dan melemparkannya ke
kursi. Kemudian dia pergi untuk mencari tahu nasib alat musiknya (cello), dia
menemukannya terpecah-pecah dan berserakan di tangan anak-anak yang
membawa keping demi kepingan rusaknya sambil berlari, atau meniru bermain, dan
(mererka) sambil tertawa tentunya.

Nabil duduk di atas sofa.

Yang paling penting adalah bagaimana berjalan kembali di jalan setelah


penghinaan yang dialaminya?

Di masa lalu, alat musik merupakan hal yang makruh (cenderung dijauhi) di
lingkungan itu (bukan dilarang), bahkan cenderung dihormati; orang-orang
memandangnya dengan hormat dan tahu pentingnya dirinya. Orang pendiam,
mengenakan kacamata karena kesehatan matanya - bukti kecerdasannya-, pakaian
klasik yang stylish, dengan wajah misterius, tidak seperti orang-orang di lingkungan

Page | 16
itu. Alat musik yang aneh. Dia berjalan dengan tegak dan tegas. Program hariannya
jelas, ia keluar tiap hari pada pagi hari dan pulang ke rumah pada malam hari.

Pertanyaan yang mengemuka dalam benaknya kala itu ialah:

Setelah menampar dan menghina Nabil, juga merusak alat musiknya (cello),
dan mempermalukannya, lantas, “bagaimana orang lain memandangnya?” Hal ini
sangat sukar. Demikianlah yang terjadi pada Nabil. Apa yang menimpanya hari ini
sangat mengerikan. Benar-benar mengerikan. Dia merasa benar-benar kewalahan.
Dia juga merasa seluruh kemanusiaannya luluh-lantah. Seolah-olah mereka
memutarbalikkan dirinya sebagai manusia menjadi kain pel untuk lantai keramik.

Kejadian ini mengingatkan Nabil pada salah seorang guru sekolah dasar
bernama Pak Jamal pada suatu peristiwa. Pak Jamal adalah seorang yang bijaksana,
pendiam, perawakan tinggi, dan biasa mengenakan seragam elegan yang
mengesankan. Biasanya, ia mengenakan topi dan membawa tas kulit. Jika ia
berjalan, seluruh siswa sekolah terperangah padanya. Berjalan adalah saat yang
paling dihormati darinya karena kedewasaan dan wibawanya. Suatu hari, ia
melintasi suatu jalan yang berhadapan dengan sekolah. Semua siswa baru saja
keluar dan mereka berhenti di depan gerbang besar. Seekor anjing menyerang pak
guru dengan bengis tanpa sebab. Guru tersebut berteriak dengan lantang. Kakinya
meluncur ke angin tanpa arah dan anjing pun berlari ke belakangnya. Sementara,
topinya menjuntai, terbang dan pak guru pun ketakutan lalu melarikan diri tanpa
mempedulikan tasnya. Sementara, embusan tawa murid kurangajar tak terelakkan
karena kejadian ini. Di sinilah wibawa, kebijaksanaan, dan kedewasaan guru
tersebut tergerus tanpa sisa sebagaimana runtuhnya pujian dan kemuliaan pada
guru tersebut selama ini. Tak satu pun siswa yang tersisa untuk menghormatinya.
Siswa mulai tidak mematuhi guru tersebut, pun mengolok-oloknya.

Nabil kerap kali bertanya pada dirinya sendiri: bagaimana ia melintasi jalan
tersebut setelah penghinaan tersebut? Bagaimana ia memandang mata orang?!
Bagaimana mereka memandangnya?

Nabil meragap remot kontrol dan mengarahkan pada saluran porno sambil
berbaring di sofa.

Keesokan harinya, Nabil tidak kuasa fokus. Pikirannya menggantung di pagi


buta, riuh. Tubuhnya lelah, bingung, bak halusinasi dari waktu ke waktu. Pun tidak
tahu apa yang membuatnya demikian. Juga, tidak tahu bagaiamana melepaskan
kemarahan ini. Buncahan kemarahannya melebihi kedukaannya. Pun ia nampak
lebih tegang dibanding murung. Ia tidak dapat memaafkan dirinya sendiri
selamanya, selalu marah.

Page | 17
Ketika keadaan lemah dan memprihatinkan tersebut berbalik, ia pun
menghamburkan masalah dengan suara-suara aneh lalu berbaring di tempat tidur.
Lelaki itu memegang tangan wanita itu dengan kuat, lalu melepaskannya. Wanita
itu melontarkan sumpah-serapah pada lelaki tersebut. Cercaan idiot yang bertubi-
tubi tapi ia menasehati lelaki itu dengan ketus dalam hatinya. Sementara, secara
sederhana, lelaki itu ingin menikmati atas uang yang telah ia bayar; agar ia dapat
menghina mereka. Namun, ia ingin memanggil semua bahasa, bahasa yang tidak
dikenal sebelumnya; agar ia dapat menghina mereka. Lelaki itu pun memanggil
bahasa-bahasa asing dari dalam benak pikirannya dan ia ingin menggunakan
bahasa hewan:

Fuck off, Mered, Vis de Bhutan, dokumen ….. tapi; tak berguna.

Apa yang dilakukannya?

Ia menanggalkan kepalanya sendiri dan menelantarkan akalnya yang waras.

- Musik adalah hal yang paling berharga. Gumamnya ! Melalui suara-suara


musik, ia dapat menyebutkan apa pun yang muncul di pikiran. Namun,
dengan melantunkannya – dapat langsung mengarahkan menuju kehidupan
di sekitarnya, memahami hingga dasar kehidupan, sesuatu yang awalnya
kerap terlupakan, dan memahami segala yang terjadi di permukaan. Tidak
ada sesuatu yang tidak mampu dilantunkan melalui musik, sementara ia
merasa tak berdaya – hanya melalui bahasa Arab yang ia ucapkan – untuk
memahami banyak hal yang mulai melahirkan beragam kekacauan. Banyak
hal yang berkembang tanpa memiliki cukup kata yang dapat
merepresentasikan keadaan.
Saya telah menahan diri untuk tidak berbicara. Ia yang sedari
tadi di tempat tidurnya ingin berhenti dari segala kegiatan. Seperti
seorang yang lumpuh. Setelah menghina dan mempermalukan Nabil,
ia tidak kuasa menanggapi, tetapi semua hal yang dia hadapi menjadi
tidak berarti. Dunia yang ada di sekelilingnya tidak lain adalah massa
mati tanpa kecerdasan, tanpa visi, tanpa tindakan. Dunia menjadi
tidak lagi dapat dimengerti olehnya. Dia berusaha untuk tidak
mengumpatnya, menahan diri. Dia tidak lagi membedakan antara
makhluk hidup dan makhluk mati! Antara binatang dan batu!
Selama dia tidak dapat bereaksi terhadap mereka tadi malam,
dia bahkan tidak bisa menghadapi mereka, jadi dia merasa dia
memiliki hak untuk menanggapi mereka. Dia berbaring di tempat tidur.
*
Nabil masih di tempat tidur tanpa terlintas ide sedikit pun untuk
membalas perlakuan mereka. Perlahan-lahan, dia kembali
memikirkannya. Tetapi, mengingat perlakuan mereka dan memikirkan

Page | 18
cara membalas mereka membawanya ke dalam keadaan duka yang
aneh. Dia pun mulai bosan berbaring sendirian di tempat tidurnya.
Pertanyaan pertama yang ia tanyakan pada dirinya sendiri adalah:
-Apa yang harus diperbuat sekarang, di tempat tidur?
Satu-satunya cara mengembalikan kehormatan dan wibawanya
adalah dengan mempermalukan dan menganiaya mereka dalam
imajinasinya sendiri.
Dia mengubah beberapa adegan dalam pikirannya,
membayangkan dengan cara-cara yang benar-benar berbeda. Nabil
mengganti adegan pemukulan dan ejekan (yang dialaminya) menjadi
pemukulan dan olok-olok yang ia lakukan pada mereka semua.
Bayangkan – pada awalnya – bahwa di dalam dirinya tersimpan
kekuatan yang luar biasa, kekuatan yang datang dari suatu tempat di
alam semesta. Kekuasaan berasal dari jauh, dan tidak tahu
sumbernya. Ketika mereka datang ke arahnya, dia tidak takut dan
gemetar pada mereka. Dia maju seorang diri, berhadapan ke arah
mereka amat sangat tenang, pemandangan yang menakjubkan.
Dengan pukulan pertamanya, mereka tak ubahnya laksana kain pel
yang digerakkan menggosok dan membersihkan lantai oleh tangan
Nabil. Demikianlah, mereka gemetar di hadapan Nabil. Mereka
mengambil senjata mereka dari tangan dan dengan sangat cepat Nabil
menghancurkan serta membuangnya ke tanah. Dia menikmatinya
perkelahian tersebut seperti anak-anak, merobek senjata yang mereka
pegang, mereka berlari; bersenang-senang keluar, sebagaimana yang
mereka lakukan dengan alat musiknya. Namun, hal tersebut telah
berlalu. Kini, ia merobek pakaian mereka sebagaimana mereka
merobek pakaiannya, Ralph Rollon. Kemudian, ia menampar mereka
berulang kali tanpa perlawanan sedikit pun. Mereka memohon dan
memelas pada Nabil, sementara orang-orang yang menyaksikan
kejadian itu tersenyum dan menertawakan mereka.
*
Nabil bangkit dari tempat tidurnya. Dia merasa cukup puas dan
senang, karena mengalahkan mereka dalam imajinasinya adalah
tindakan yang cukup menenangkan. Istirahat lamanya memberi
sesuatu. Tentunya, sesuatu yang terlupakan. Istirahatnya membuatnya
melupakan sejenak tentang apa yang terjadi tadi malam oleh orang-
orang bersenjata.
Nabil segera bagun dari tidurnya dengan mengenakan pakaian.
Namun, ketika ia ingin keluar rumah, ia pun merasa ragu.

Page | 19
Tak seorang pun di sekitarnya yang ingin menemuinya lagi. Nabil
malu dengan apa yang terjadi padanya. Dia dihina oleh geng ini, yang
mempermalukannya dan menginjak harga dirinya.
Nabil melihat jalanan yang sepi dari balkon. Dia bergegas pergi.
Tak seorang pun memperhatikannya. Tapi; ketika ia kembali pada sore
hari, ia berpapasan dengan Kelompok Islam Bersenjata di jalan.
Kakinya dijegal. Ketika salah seorang dari mereka mendekat, pimpinan
kelompok tersebut tersenyum padanya dan memintanya untuk
berhenti dengan sopan. Nabil pun, berhenti. Jantunganya berdetak
kencang. Pemimpin tersebut berkata pada Nabil:
- "Kamu adalah orang yang mengajari kami kemarin, kan?" tanya
pimpinan itu.
-“Bisu, kenapa kamu tidak menjawab” Tanya pimpinan kelompok
tersebut yang berjalan di hadapannya dan berputar-putar
mengelilinginya.
-“Kamu tolol? Tidak bicara?”
Nabil gemetar dan berbicara dengan suara lirih:
-“Apa yang kamu ingin aku katakana?” jawab Nabil.
-“Katakan apapun yang kamu suka” seloroh pimpinan geng tersebut.
-“Tidak ada, saya tidak bias berkata apa-apa,” tukas Nabil.
-“Kami tidak bisa membiarkanmu tanpasepatah kata pun” ancam
pimpinan geng tersebut.

Orang-orang bersenjata yang menertawainya terhenyak. Mereka


berlima berusia sekitar dua puluh tahunan. Mereka mengenakan
pakaian aneh seperti pakaian serial televise relijius yang
menggambarkan keadaan muslim 1400 tahun silam. Mereka memiliki
janggut panjang dan masing masing memegang senapan Kalashnikov
(AK-47). Mereka menaruh setumpuk pensil ganda yang diikat dengan
Scoth dan di dekat mereka terdapat sebuah mobil SUV modern
terbaru.
- “Jangan katakana kau tak suka pada kami!” kata pimpinan geng
bersenjata tersebut.
- “Tidak, tidak pernah …. Tapi sebaliknya,” jawab Nabil.
- “Jadi Kamu tidak marah pada Kami, bukan?” tanya pimpinan
bersenjata tersebut.
- “Tidak, saya tidak marah! Kenapa harus marah?!”
- Jawab Nabil yang merasa mulai melihat tanda-tanda perlakuan tidak
nyaman yang akan menimpanya, tapi ia tidak menampakkan raut
mukanya.

Page | 20
- “Karena apa yang telah kami lakukan padamu kemarin, tapi ini juga
menguntungkanmu. Kami telah menyelamatkanmu dari murka
Tuhan,” pimpinan geng tersebut berusahan memberi penjelasan.
- “Terimakasih, sekarang, biarkan aku pulang ke rumahku” pinta
Nabil.
- “Kami akan membiarkanmu pulang, tetapi, kami masih memiliki
satu urusan denganmu,” ucap pimpinan geng tersebut.
- “Apa itu?” tanya Nabil, terkejut.
- “Dengarkan, Kami memaafkanmu karena telah melanggar aturan
Islam…” tukas pimpinan geng bersenjata.
- “Terimakasih untuk itu,” Nabil menimpali.
- “Ya, Kamu harus tahu bahwa music itu haram dan kami telah
memaafkanmu selama beberapa waktu terakhir. Kamu bodoh,
maka sepatutnya Kami mendidik dan mengajarimu. Tapi; sekarang
kami ingin penebusan dosa, agar Tuhan mengampuni perbuatanmu
ini. Yaitu, membayar sejumlah uang dan membangun sebuah
masjid di lingkungan ini,” pimpinan itu melanjutkan ucapannya:
- “Seperti yang kamu tahu, semua penduduk di lingkungan ini
dulunya kaya. Namun, mereka tidak membangun satu masjid pun di
daerah itu. Alhamdulillah, Kami sekarang terbebas dari mereka.
Penduduk baru ingin membangun sebuah masjid. Kami
mengumpulkan sumbangan. Apa yang hendak kau ucapkan?” tanya
pimpinan tersebut pada Nabil.
- “Apakah Anda berkenan memberi saya waktu untuk berfikir?” tanya
Nabil kembali.
- “Mikir apa?” tanya balik pimpinan geng tersebut.
- “Memikirkan sesuatu” jawab Nabil.
- “Apa?” tanya pimpinan, kembali.
- “Segala hal,” Jawab Nabil, kembali.
- “Apakah hal seremeh ini perlu dipikirkan?” tanya pimpinan,
kembali.
- “Saya butuh waktu untuk menghitung,” jawab Nabil, kembali.
- “Menghitung apa?” tanya pimpinan, kembali.
- “Saya menghitung, apakah saya bisa menyumbang atau tidak,”
jawab Nabil, kembali.
- “Menyumbang atau tidak?” seloroh pimpinan tersebut.
- “Saya tidak bermaksud untuk tidak menyumbang, mengapa Anda
tampak cemas?” Tukas Nabil.

Page | 21
- “Hampir saja kau buat Aku naik pitam. Apa Kamu berfikir bahwa
membangun masjid adalah hal yang buruk?” tanya pimpinan
tersebut.
- “Tidak, Demi Allah, saya tidak mengatakan hal tersebut, tapi ….”
jawab Nabil.
- “Tapi apa?” tanya murka pimpinan tersebut.
- “Bukankah ini hak saya untuk berfikir dan menghitung?” Nabil
menimpali.
- “Kamu bisa berpikir pada sesuatu yang berpotensi berdampak pada
keburukan, bukan pada perkara yang cenderung berdampak pada
kebaikan bersama,” seloroh pimpinan kelompok tersebut.
- “Aku hanya ingin berfikir,” bantah Nabil.
- “Ini semua demi kebaikan bersama. Sementara, Kamu hanya
berfikir. Ini berarti kamu menentang kegiatan yang baik atau
bahkan menentang Allah,” pimpinan kelompok bersenjata tersebut
Nampak murka.
- “Tidak selalu,” Nabil berkelit.
- “Ini berarti kamu ateis, kamu sekuler,” pimpinan tersebut
menyimpulkan.
- “Terlebih itu, tidak selalu,” kembali, Nabil berkelit.
- “Jadi, kenapa Kamu ingin berfikir dan mempertimbangkan
segalanya?” tanya pimpinan itu, gemas.
- “Aku hanya ingin melihat bagaimana aku dapat mempertimbangkan
transparansi uang yang aku berikan pada kalian,” Nabil
menjelaskan.
Pimpinan kelompok bersenjata tersebut terssenyum dan berkata:
- “Ohhhhh, baiklah. Ini masukan bagus. Maksudku, pada prinsipnya,
kamu OK untuk menyumbang, bukan?
- “Ya, ya …. pada prinsipnya pasti saya bersedia menyumbang,”
jawab Nabil.
- “Ini menarik,” tegas pimpinan kelompok tersebut sembari menaap
para anggota bersenjata lain yang juga tersenyum.
- “Sekarang saya bisa pergi ....?” tanya Nabil.
- “Kenapa kamu selalu terburu-buru .....?” tanya pimpinan, kembali.
- “Saya ingin pergi, untuk berpikir dan menghitung tentang tentang
nominal yang harus saya bayarkan ....” jawab Nabil.
- “Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk dapat segera
membayar…?” tanya ketua kelompok tersebut.
- “Beri aku waktu dua hari saja,” jawab Nabil.

Page | 22
Ketua kelompok tersebut tersenyum, para anggota geng
bersenjata lain turut tersenyum dan melonggarkan desakan dan
intimidasi mereka.

- “Kami beri waktu seminggu. Apakah ini cukup?” tanya ketua


kelompok tersebut.
- “Ya, ini waktu yang sangat cukup,” jawab Nabil, lega.
- “Agar orang-orang tidak mengatakan dan mencap kami sebagai
kelompok garis keras yang memaksa dan tidak memiliki empati dan
toleransi kepada sesame manusia,” ketua kelompok tersebut
menjelaskan.
- “Tidak pernah, Anda sangat toleran,” puji Nabil.
- “Ya, sebagian orang menganggap kami sebagai pemaksa dan
ekstrimis ….. Sementara, jika Kami berkeinginan, Kami bisa
membunuhmu kemarin; karena kau melanggar aturan Islam ….
Kami bisa saja ke rumahmu dan merampas seluruh uangmu ….
Tapi, Kami memberimu waktu seminggu agar kau dapat membantu
membangun masjid,” pimpinan kelompok itu menjelaskan.
- “Saya setuju …..” tukas Nabil.
- “Kami juga memberi bantuan besar padamu di sisi Tuhan ….. Dia
akan mengampunimu atas tindakan berdosamu yang lebih sering
menggunakan alat musik dibanding berdoa dan mengingat Tuhan,”
pemimpin kelompok tersebut menjelaskan.
- “Saya setuju,” jawab Nabil, kembali.
- “Namun, orang-orang bodoh itu mengatai kami sebagai kelompok
garis keras, radikal …. Semua keramahan dan kebaikan ini
dianggap sebagai para ekstrimis bagi mereka. Mereka semua tidak
lain merupakan orang-orang kafir yang tak ubahnya seperti Barat
dan Tentara Salib yang menjuluki Kami sebagai para garis keras,”
keluh pimpinan tersebut.
- “Aku sependapat,” jawab Nabil.
- “Laknat, mereka semua,” pimpinan tersebut melontarkan sumpah
serapah.
- “Saya setuju,” Nabil menimpali.
- “Baiklah, sekarang pulanglah ke rumahmu. Kami akan menemuimu
setelah seminggu. Jika kau tidak menyiapkan sumbanganmu, Kau
harus membeli kafanmu sendiri!”
- “Baiklah, terimakasih telah memberi saran,” Nabil menjawab.

Page | 23
VI

Begitu Nabil mendengar kata-kata pimpinan orang-orang


bersenjata itu, dia bergegas ke apartemennya, menaiki tangga,
membuka pintu, dan dengan cepat masuk ke dalam. Sejenak terhenti,
berpikir: Apa yang dia lakukan? Kepalanya benar-benar kosong. Dia
ketakutan karena pimpinan, pria bersenjata itu berbicara dengannya
dan dia di luar kendali. Pimpinan geng itu cukup banyak bicara di
hadapan Nabil, sementara tinju orang-orang bersenjata tersebut tak
kuasa dan gelisah untuk menghabisinya.gelisahnya mencengkeram
senjatanya.

Nabil berdiri di tengah-tengah ruangan dalam kebingungan,


mendengarkan gerakan mereka di jalan. Starter mobil-mobil mereka.
Suara gebrakan pintu-pintu mobil mereka. Beberapa saat kemudian,
suara rodanya yang menggema di tanah, tanda bahwa mobil-mobil
tersebut telah beranjak, pergi.

Hal pertama yang dilakukan Nabil adalah duduk di sofa, dan


ketegangannya membuncah. Dia tidak bisa berpikir dengan baik. Dia

Page | 24
merasa bahwa pikirannya kosong pada saat itu, tetapi pada saat yang
sama dia merasa sangat lapar. Dia pergi ke kulkas, mengambil
sepotong steak goreng yang telah diletakkan di kulkas sejak kemarin.
Seharusnya steak dingin itu mampu mendinginkan kecemasan dan
kekhawatiran Nabil, tetapi dia melucuti logika itu karena dia sangat
gugup. Dia mengambil sepotong roti cokelat, dari kotak kayu yang
ditutupi kain putih, kemudian mencari kaleng bir di Balkar, tetapi dia
tidak dapat menemukannya. Kotak kardus itu kosong. Dugaannya
tertuju pada kulkas, dia hanya menemukan sabotol, itu berarti sisa bir
terakhir di rumah. Jika dia meminumnya, tidak akan ada botol kedua.

Dia makan sepotong steak dingin dan roti coklat, dengan bir,
memikirkan hal yang akan terjadi selanjutnya:

Jika orang-orang bersenjata tersebut, atau selain mereka,


meminta Nabil untuk membuat pabrik anggur (minuman keras), dia
akan memberi mereka semua uangnya tanpa penyesalan. Masjid,
butuh pertimbangan. Hal tersebut karena seluruh teroris telah keluar
dari masjid, tidak ada seorang teroris pun yang keluar; Bahwa semua
teroris telah meninggalkan masjid, tidak seorang teroris pun keluar;
(selain) untuk meledakkan dirinya sendiri dengan (bahan pembuata)
minuman keras!

Jadi jika mereka mengatakan kepadanya bahwa mereka berniat


untuk membangun pabrik (minuman keras) anggur; agar para pemuda
di sekitar nongkrong (duduk-duduk) di sana, saling berbincang,
bersenang-senang, tidak berpikir tentang bunuh diri dan orang lain, dia
akan bersedia merespon hal ini. Namun, membangun masjid? Itu sulit
diterima.

Pada saat itu, Nabil mengira bahwa alkohol dalam warisan Islam
bukanlah hal yang dilarang (haram) dan umat Islam terus
meminumnya sepanjang sejarah mereka. Abu Hanifah al-Nu'man, yang
hidup di abad ke-8 di Baghdad, salah satu cendekiawan Islam terbesar
di bidang fiqh menganalisa minumannya dan memperdagangkannya.

Abu Hanifah al-Nu'man membedakan antara gula yang


merupakan awal mula aktivasi akal dan ini dibolehkan (ḥarām). Anda
dapat meminum anggur tanpa merasa mabuk. Kemudian Abu Hanifah
al-Nu'man menganalisa anggur dan bir, tetapi Nabil tidak tahu apa
status dan komposisi dari wiski, mojito dan combari. Meskipun wiski
tidak ditemukan pada saat itu (masa Islam abad ke-8), wiski adalah

Page | 25
penemuan Skotlandia modern. Namun; citra penyair Baghdadi selalu
dalam pikiran Nabil, pria yang hidup di abad kedelapan sering dipuja
dengan nama Abu Nawas. Nabil membayangkan Abu Nawas duduk di
sebuah bar, di tangannya, memegang secangkir wiski dengan
beberapa es batu segar, merk Johnnie Walker. Varian yang disukai
ayahnya disbanding varian whiski lainnya.

Setelah Nabil selesai makan steak dengan roti cokelat, minum


sebotol bir kecil, dia merasa ingin meneguk kembali. Tapi dari mana
mendapatkan bir lagi?

Nah, bukankah ada solusi untuk masalahnya? Penghinaan dan


pengucilan yang ia alami. Harga diri dan wibawanya hilang. Dia harus
menyerah pada musik. Apakah ini sebagai kehidupan? Apa yang harus
dia lakukan ?!

Untuk waktu yang lama, dia berfikir untuk menyelundupkan


dirinya sendiri ke Eropa, tapi; saat ini juga bukan waktu yang tepat
untuk melakukan cara ini; saatnya sudah tepat. Dia, sekaranglah, si
penyelundup imigran yang akan membawa Nabil ke tempat yang ia
idam-idamkan, ke kehidupan di luar negeri. Nabil ingat dua bait puisi
dengan jelas, tapi dia tidak mengingat nama penyairnya:

dan sekarang dia - bersama dengan penyelundup yang akan


membawanya ke tempat yang hilang, ke kehidupan di luar negeri,
mengingat dua ayat puisi yang menjamin kalimat ini, Tapi dia tidak
ingat sang penyair:

“Kami akan pergi ke sana, kami akan beranjak ke kota yang


menawan, yang terletak di luar negeri ...

Di sana, tempat tinggal seniman

Laksana seniman yang memainkan musik di awan.”

Tapi pertanyaan yang terlintas dalam benak Nabil kala itu:

“Apakah mungkin untuk mencapai utopia, atau kehidupan di luar


negeri, atau beberapa penyair menyebutnya “tempat lain”, dengan
mobil yang menyerupai mobil pengantar pizza dan penyelundup kekar
berdada bidang?”

Page | 26
VII

Page | 27
Mobil Honda biru berhenti di tempat terpencil, kira-kira di gurun.
Nabil tidak tahu dimana dia berada. Dia belum pernah sampai ke
tempat ini sebelumnya atau melihatnya.

- “Dimana Kita sekarang,” tanya Nabil.

Si penyelundup tidak menanggapi Nabil yang Nampak mulai


khawatir. Penyelundup tersebut menghubungi seseorang denga
handphonenya, tanpa ada keterangan dan kesimpulan berarti. Jalan
yang tak menentu, tanpa arah, tanpa berkesudahan dengan beberapa
tanaman gurun yang tampak sengaja ditanam dan tersebar di sana-
sini. Kegelapan menyelimuti sepenuhnya. Sementara, udara dingin
perlahan datang menyeruak. Namun, Nabil menduga bahwa tempat ini
dekat dengan perbatasan Turkey. Nabil pun menduga bahwa waktu
untuk bermigrasi yang sepenuhnya baru akan dimulai saat ini, bukan
saat ia keluar dengan mobil Honda dengan pria penyelundup ini yang
lebih tampak seperti nya

Si penyelundup tidak menanggapi dia dengan kekhawatiran


tertentu, dan mencapai ponsel dengan orang lain, tanpa mencapai
kesimpulan. Jalan itu tidak pandang bulu, tidak berantakan, dengan
beberapa tanaman gurun yang ditanam dan tersebar di sana-sini, dan
kegelapan sepenuhnya mengambil alih samudera, sementara udara
mendingin perlahan. Tetapi Nabila menduga bahwa tempat ini dekat
dengan perbatasan Turki, dan kemudian menduga bahwa waktu untuk
keberangkatan yang sesungguhnya akan dimulai sekarang, bukan
ketika ia pergi dengan mobil Honda dengan orang yang seperti pekerja
Bosta dari rumahnya ini.

Oleh karena itu, jelas tidak masuk akal bermigrasi ke Eropa


dengan mobil jenis ini dan dengan pria seperti ini, sosok yang sama
sekali tidak tampak seperti seorang yang cerdas.

Apakah Nabil benar-benar bermaksud untuk bermigrasi sehingga


mengacuhkan keadaan jenis mobil ini dan perawakan penyelundup ini?
Tetapi, keinginannya mengalahkan keadaan-keadaan tehnis di
lapangan. Mungkin saja, pendapatnya juga ada benarnya, hal ini tidak
lain lantaran ia takut; jangan sampai itu semua merupakan kedok
peniluan dan perampasan, atau lebih buruk dibanding dengan
peristiwa-peristiwa yang ia alami di masa lalu.

Page | 28
*

Nabil menghabiskan waktunya, lebih dari lima belas menit untuk


mengamati sopir (penyelundup) yang mencoba menghubungi
temannya dengan sia-sia. Kemudian, sopir Honda menutup telepon
dan memandang Nabil yang tampak sangan bingung. Sebelum dia
mengucapkan sepatah kata pun, handphone bordering dan dia
berbicara pada seseorang. Pada saat itu, nada sopir (penyelundup) itu
berubah, mimiknya, semangatnya, dan kejadian ini tampak di hadapan
Nabil, yang sedikit banyak berpengaruh pada Nabil; bibirnya juga
menebar senyuman. Nabil melihat sopir tersebut berbicara denagn
seseorang dan menyepakati tempat pertemuan kedua belah pihak.
Ketika sopir itu menutup handphone nya, penyelundup tersebut
berkata pada Nabil seraya tersenyum:

- “Ayo, lanjutt! Agen imigran gelap akan segera datang;


mengajak Anda, dan membawa Anda ke Turki,” pria itu memberitahu.

- “Maksudmu, kamu bukan agen tersebut?” tanya Nabil.

"Tidak, aku supir taksi, aku membawamu ke perbatasan, bukan


terkait hal-hal tehnis selanjutnya,” jawab sopir tersebut.

- “Penyelundup akan segera datang?” tanya Nabil.

- “Lebih dari tiga puluh menit, dan selanjutnya giliran Anda ...”
jawab sopir tersebut.

Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku, mengambil kunci


dari kantong lain, lalu membalikkan punggungnya ke arah Nabil;

- “Kemana?” tanya Nabil cemas.

- “Aku akan pergi ... Kamu tunggu di sini, dan kamu akan segera
pergi!” tukas sopir tersebut.

- “Kamu gila! Anda tidak bisa begitu saja pergi, jika tidak ada
orang yang datang dan membawa saya dari sini!” bantah Nabil.

- “Itu bukan urusan Saya!” seloroh sopir tersebut.

- “Bagaimana mungkin tidak ada hubungannya denganmu,


Bung! Apakah kamu waras? Ibumu gila! Kamu datang ke sini denganku

Page | 29
untuk apa? Misalnya liburan piknik ...” Nabil menghujani dengan
ucapan pedas.

- Saya sampai di sini dengan imbalan dari agen imigran gelap


untuk bertemu dan mengantarkanmu ke tempat ini,” sopir berkelit.

- “Tempat apa ini? Apakah kamu tahu tempat ini? Darimana


mobil ini berasal? Kamu hendak pergi kemana?” Nabil memberondong
pertanyaan.

- “Saya tidak begitu tahu, saya berjalan sesuai dengan alamat


yang diberikan oleh penyelundup saya,” sopir berdebat.

- “Tolong ... Saya harap kamu tidak pergi, jika dia tidak datang!
Nabil mencengkram tangannya dengan kuat, sejauh pengemudi itu
tahu bahwa Nabil tidak akan membiarkannya pergi, jika sesuatu
terjadi. Seketika sopir itu, dengan marah menghembuskan nafas, dia
berkata:

- “Jika kamu bukan tetanggaku, aku pergi dan meninggalkanmu


di sini! Tetapi, karena kamu adalah tetanggaku, Aku akan menunggu
sampai si agen illegal itu (penyelundup) datang dan membawamu.

Sopir mobil Honda tersebut mengeluarkan rokok di luar kotak


dan merokok dengan gugup. Sementara Nabil dan matanya diam-diam
berdiri dalam kegelapan, gelisah dan cemas pada si penyelundup yang
akan segera tiba.

Pada saat itu, agar Nabil tidak mundur dari keputusannya, dia
akan mulai mengingat semua yang dia inginkan untuk meninggalkan
negara ini dan pergi ke negara lain. Dia teringat pada seorang
temannya beberapa hari yang lalu, bagaimana dia melakukan analisis
yang cermat dan sederhana dari adegan kehidupan yang dapat dilalui
secara bertahap:

- “Oh untuk penyelidikan menyeluruh!” Nabil berkata padanya.

Tapi sesuatu yang mengusik pikirannya adalah musik, meskipun


saat ini segalanya dapat beralih dari negaranya secepat mungkin.
Tanpa musik, dia tidak akan pernah bisa melihat sesuatu. Nabil
mengatakannya secara harfiah kepada teman gemuknya yang duduk
di depannya, mengenakan dasi Prancis yang indah, yang seperti biru

Page | 30
vulgar, dengan kancing putih sangat tipis dalam bentuk titik-titik, tidak
terikat di leher dengan simpul:

- “Kita foto, semua hal yang kita kenakan harus ditanggalkan


karena hal itu tidak kita kenakan kembali di masa depan. Kita akan
mengenakan Dashdasha (Dashdasha adalah gamis yang biasa disebut
oleh orang Kuwait, Oman, dan Irak) dan sandal, serta menundukkan
kepala; untuk menghaturkan rasa penghormatan pada audien.”

Tetapi Nabil tidak terobsesi dengan apa yang kami kenakan,


sebagaimanana yang kami perbuat. Atau sebaik permainan petikan
(musik) kami dengan mendetil. Inilah yang penting baginya, atau inilah
sebenarnya yang membuatnya cemas di masa itu, dan bukan hal-hal
lain, seperti kebanyakan rekan-rekannya.

- “Apakah Anda berpikir bahwa seseorang akan membiarkan


Anda bermain cello?” tanya sopir tersebut.

Nabil sadar bahwa dua budaya akan bersitegang di negara ini.


Budaya seni yang telah menurun dan memburuk sejak perang yang
dilancarkan oleh Saddam dan budaya mayoritas masyarakat yang
didasarkan pada kebangkitan kembali kekerasan dan naluri darah
yang akan meningkat; untuk menggantikan tatanan negara diktator-
otoriter yang telah runtuh, dan terkikis tanpa sisa.

- “Di mana tempat pertempurannya?” tanya Nabil.

Tidak ada yang dapat menyelesaikan masalah ini kecuali:


melarikan diri ke "kehidupan luar negeri" ... ungkapan yang ia gunakan
adalah tempat pengungkapan: "imigrasi", "suaka", "pengasingan".

Dengan cara yang paling mencemaskan, perbincangan dan


penantian berakhir. Penyelundup lain datang dengan mobil besar,
mungkin serupa truk.

Page | 31
VIII
Perhatian Nabil belum hilang, kenyataannya. Dia tahu banyak
cerita tentang penyelundup, berbagai cerita, tetapi kesimpulan
tentang mereka kurang lebih sama, serupa horor dan intimidasi, tidak
ada kecurangan, pemalsuan dan penipuan lain pada saat itu. Namun,
ada sesuatu yang lebih mengerikan: perampokan, penculikan, dan
yang paling buruk adalah pembunuhan dan pemerkosaan . Hal yang
biasa terjadi tentu saja adalah penipuan. Maksud saya, petugas atau
tukang antar menelantarkan pencari suaka ke kantong penyelundupan
manusia illegal dan kembali ke perjanjian awal. Kembali ke tempat
semula adalah hal terburuk, deportasi. Namun, Nabil akan mencari
alasan dan pembenaran untuk dirinya sendiri setiap kali dia
mendengar cerita semacam itu.
Seakan, Nabil berkata, misalnya: “mungkin saja hal itu tidak
terjadi pada saya.”
Namun, ketika Nabil memilih untuk pergi ke Eropa, ia memilih
rute termudah dengan harga tertinggi. Dia tidak ingin pergi dengan
perahu karet dari Izmir di Turki ke Yunani, dan kemudian perahu
terbalik dan menjadi umpan ikan.
Memikirkannya saja membuatnya menggigil. Jadi, Nabil meminta
nasihat dari salah satu kerabatnya, pergi dengan satu truk, ambil dari

Page | 32
punuk Turki dan segera tiba di Belgia, artinya tidak ada perbatasan,
tidak ada polisi, tidak ada penjaga pantai, tidak ada kudeta perahu
karet, tidak ada tragedi, dan hal-hal lain.
- “Jangan pergi dengan VIP !!!” demikian kata salah satu
kerabatnya.
*
Jadi dia naik truk yang membawanya dari tempat yang entah-
berantah ke Eropa. Dia duduk dengan cukup berhati-hati dan waspada
di sebelah sopir Turki, yang berusaha memperbaiki logat kata-kata
dalam bahasa Inggris. Janggut sopir Turki itu agak panjang, dengan
dua bola mata yang berdekatan, dia tidak tampak berbahaya,
misalnya seperti seorang kriminal, tetapi; sangat mungkin jika sebagai
criminal kelas kakap.
Menjelang pagi, perjalanan di mata Nabil berubah, lebih
menyenangkan, melintasi kota-kota Turki dengan bangunan-bangunan
indah, jalan-jalan besar, butik, restoran, supermarket, atraksi wisata,
dan keindahan. Suasana hatinya berubah, sopir turut ambil bagian
untuk berbicara seperlunya dengan sedikit gaya, tanda, dan kata-kata
bahasa Inggris, turut merokok, dan makan jeruk.
Nabil mengira perjalanan pertama bahwa dengan truk ini dia
akan tiba di Belgia. Dia segera tiba, duduk di sebelah sopir, merokok,
mengupas jeruk, dan memakannya!
Tetapi, sopir itu mengejutkannya dengan berkata bahwa tidak
ada ruginya membawanya ke perbatasan dari Eropa, dan dari sana, ia
akan memotong semua jalur Eropa untuk mencapai ujung yang
terakhir, di mana Belgia berada.
Hitungan rata-rata dianggap bahwa jumlah penyelundup yang
telah tiba dengan jasa pihak ketiga semestinya telah cukup. Namun,
sopir Turki ini bersikeras akan mendapat 200 dolar dari Nabil. Terlebih,
sopir itu akan melihat pakaian Nabil yang elegan seperti bangsawan
itu. Pakaian yang menawan itu menyiratkan bahwa seolah-olah Nabil
hendak pergi berkencan “Deter Guerl Friend.” Lebih dari itu,
sepertinya, Nabil tidak datang dengan keadaan susah-sengsara, pergi
ke Eropa, untuk perlindungan.

*
Nabil tidak dapat menyeberangi perbatasan sampai para agen
imigran gelap membawanya ke sebuah van (truk) besar bersama dua
puluh pemuda lainnya. Demikianlah, berakhirnya keresahannya dari
mobil pengantar pizza tersebut, yang hanya memastikan

Page | 33
pengirimannya hingga perbatasan Turki saja! Pun, kegembiraannya
berakhir dengan truk besar yang memotong jalur Turkinya, sambil
menikmati rokok, jeruk, dan pistachio; dioper dengan truk besar
lainnya dan mengirimnya ke titik akhir perjalanannya.
Ini adalah truk tertutup untuk jasa ekspor ban. Nabil membayar
tujuh ribu dolar sebagai ongkos penyelundupan, mereka
menempatkannya di kotak kayu besar dengan lubang kecil untuk
bernapas, botol air, wadah makanan, concerto, dan tas nilon untuk air
seni dan kotoran. Truk berjalan di malam hari dan berhenti di siang
hari. Jadi, sopir itu tidur di siang hari. Ketika berhenti, atau sebelum
pergi keluar di malam hari, sopir tersebut mengumpulkan tas nilon;
membuangnya jauh-jauh.
Jadi, Nabil bermigrasi di dalam kotak dalam truk yang tertutup,
sehingga dia tidak bisa melihat jalan di luar. Dia tidak tahu dari mana
mereka berasal, atau di mana mereka sampai. Mobil hanya melaju dan
Nabil di dalam kotak yang menghitung jam demi jam yang berlalu.
Yang ia khawatirkan adalah penipuan para agen penyelundupan illegal
ini.
- Bagaimana jika tidak ada perjalanan ke Eropa? Inilah yang dia
katakan dalam dirinya sendiri. Dia bertanya-tanya, mencoba
melupakan tempat yang tidak nyaman di mana dia telah melempar
dirinya sendiri jauh-jauh. Yang Nabil khawatirkan hanyalah penipuan
dari para penyelundup illegal.
Banyak cerita semacam ini diucapkan oleh para pengungsi yang
berusaha mencapai Eropa dengan harga berapa pun.
Nabil berpikir, menggaruk-garuk kepalanya.
- “Sangat sederhana bahwa hal seperti itu dapat terjadi hari ini
juga,” gumammnya.
Tidak selamanya segala urusan terkesan rumit. Misalnya –
mungkin saja - mobil yang ia naiki akan berada di jalanan kota yang
sama, tidak melaju dan memindahkannya ke tempat lain. Sepanjang
malam, Anda akan mendengar banyak cerita yang mengungkapkan
misteri agen penyelundup ilegal, beserta modus operandinya; hal ini
berarti, Anda akan berada di dalam ruangan, tidak melihat apa pun.
Anda pasti berpikir bahwa Anda berada di jalur dan perjalanan yang
benar. Sementara, penyelundup illegal tersebut sedang menuju
tempat yang Anda inginkan, impikan.

Page | 34
IX
Satu-satunya waktu Nabil keluar di jalan adalah setelah
kehabisan tas nilon yang ia gunakan untuk buang air besar. Nabil dan
seorang pemuda Afghanistan lainnya, akhirnya memberi tahu sopir.
Sopir menyetujui dengan marah dan kesal untuk menurunkan
keduanya di hutan untuk buang air besar. Orang Afghanistan yang
pertama pergi, ketika dia kembali, Nabil berkata.
- “Saya pikir tempat ini adalah Bologna.”
Giliran Nabil untuk keluar dari truk dan menuju hutan yang
gelap. Bahkan, dia tidak tahu bagaimana orang Afghanistan ini
menyadari bahwa tanah ini adalah Bologna, karena suasananya
menyerupai taman di Turki. Tapi kata Bologna mengingatkannya pada
kenangan indah seperti tongkat sihir. Kata ini pernah terdengar sampai
menjadi sebuah diksi yang ditujukan untuk “anjing Pavlov”. Kata ini
mengingatkannya pada masa kecilnya. Pada saat itu, pamannya
memiliki seorang teman Polandia bernama Anna yang datang dari
Warsawa ke Baghdad untuk menemuinya. Pamannya pernah
membawa Nabil satu kali pada malam hari ke bar Hotel Rashid, sebuah
hotel mewah di Baghdad, dengan seorang teman lain, Eva, yang
bekerja di kedutaan Polandia dan tinggal di Baghdad pada tahun 1980-
an. Ketiganya mulai minum vodka dingin, menari dengan musik keras,
dan lampu warna-warni. Tidak hanya paman dan temannya yang
minum dan menari, tetapi Nabil melihat bagaimana pamannya tampak
dengan merentangkan tangannya di kedua paha wanita. Wanita itu
pirang, putih. Nabil tidak pernah melihat wanita kulit putih sepertinya
sebelumnya, terutama kedua paha wanita tersebut.
Mereka kemudian pindah ke sebuah rumah mewah di lingkungan
Arsat India yang yang merupakan kota kelas atas saat itu, didirikan
oleh Inggris selama pendudukan mereka atas Baghdad pada tahun
1918. Rumah yang subur itu dilengkapi taman dan kolam renang, serta
ada banyak tamu, terutama para pemuda asing yang bekerja di
perusahaan dan misi diplomatik pada mereka kala itu .
Nabil memperhatikan gadis itu, duduk di samping pamannya,
pandangan gadis tersebut menghadap pamannya sambil ngobrol
dengan berbisik. Perlahan, pamannya menyentuh wajah wanita
tersebut, atau lengannya, dan melempar senyum pada wanita
tersebut. Paman pun melanjutkan obrolannya dengan wanita tersebut.
Sementara, mata wanita tersebut yang lebar dan tipis tampak menipis

Page | 35
dan mengedipkan, benih kasih sayang menemani keduanya kala itu.
Kemudian keduanya mulai menyanyikan lagu berbahasa Inggris
bersama, berakhir dengan tawa dan berpelukan. Anna kemudian pergi
ke jendela dan berdiri di sana melihat jalan di malam musim dingin
awal yang menyelimuti Baghdad dan pamannya mengikutinya dari
belakang. Pamannya memeluk dan berputar bersamanya di depan
umum, di hadapan semua orang.
Ketika Nabil pergi selama dua menit, dia masuk ke dalam aula
untuk meletakkan piringnya di atas meja. Ketika dia kembali, posisi
percumbuan Anna yang saling berhadapan tampak pasif diantara
kedua tangan pamannya. Sementara, mata Anna terpejam, wajahnya
penuh kehangatan dan berseri.
Perlahan, Anna menarik bibirnya keluar dari bibir pamannya
yang terus bergerak merangsek di hadapannya. Kedua mata Anna
tertujusu ke Nabil yang berdiri di pojok memperhatikan keduanya
sedari tadi. Anna terdiam dan malu, terhenyak dan berhenti. Anna
mengalungkan kedua tangannya di bahu pacarnya yang sedari tadi
memeluknya dengan semacam canda-tawa. Kemudian, Nabil tertawa
terbahak-bahak, yang entah bagaimana merasakan semacam cinta,
tentu, yang belum pernah Nabil ketahui dan rasakan sebelumnya
hingga ia merasa cemburu dan penasaran di saat yang bersamaan.
*
Nabil tidak lupa bagaimana Anna mendekatinya setelah
pamannya pergi ke toilet, dan wanita itu berbicara dengannya:
- “Kamu sudah bersenang-senang, bukan? Saya
memperhatikanmu, dan Kamu memperhatikan saya, Nabil.”
- “Nggak kok ...” Nabil menjawabnya, kepalanya tertunduk, malu.
Anna bergegas ke arah Nabil, memeluknya, tangannya mulai
menyela-nyela dan membelai rambut Nabil. Anna tertawa, bak gadis
kecil.
- “Apa Kamu memperhatikanku yang menggoda pamanmu? Apa
Kamu cemburu, penasaran? Apa menurutmu aku terlalu banyak
tertawa dan berbisik? Apa menurutmu aku lucu?” tanya Anna.
Nabil tidak menjawab pertanyaan Anna yang bertubi-tubi.
Namun, ketika Anna memeluknya, Nabil mencium aroma sabun yang
menyengat tubuh Anna. Nabil menutup matanya, jatuh karena pusing,
aroma sabun yang menyengat.

Page | 36
Nabil tidak ingat apakah pamannya yang membawanya, atau
keluarganya sengaja menyuruhnya mengikuti pamannya; jangan-
jangan wanita Polandia itu yang merayunya dan merenggut
kehormatannya.
Setelah pulang ke rumah, dia tidak memberi tahu orang tuanya
apa yang dia lihat, orang tuanya menanyakan apa yang dia lihat dan
bagaimana pestanya. Mereka ingin tahu apa yang terjadi di sana,
tetapi Nabil bungkam. Hal inilah yang menyebabkan ibunya
memutuskan untuk bertanya kepadanya, dan membaca buku yang
ada di tangannya:
- “Apa pestanya meriah?”
Nabil membentak:
- “Tidak!”
- “Kenapa?” tanya ibunya.
- “Pesta yang membosankan. Dadaku sesak dengan di tengah-
tengah orang-orang itu. Gak ada satu pun yang mengajakku ngobrol
dan mereka menari semua
Pamannya berusaha untuk tetap tersenyum, meski wajah
cemberutnya masih tampak berseri-seri dengan buliran cinta yang
merekah.

*
Nabil merasa telah mengisi waktu yang sangat menyenangkan,
merasa bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia menikmati
tontonan sejoliberpacaran, bercinta, dan bercumbu kasih di depan
umum di pesta yang sangat menggairahkan libidonya. Pamannya
mengatakan kepadanya bahwa adegan percumbuan dan kencan di
Eropa adalah pemandangan umum yang bisa saja terjadi di mana-
mana. Mungkin hal inilah yang membawanya, membuatnya merasakan
perjalanan berbahaya yang mengaduk-aduk berbagai perasaan seperti
ini: perasaan cinta di jalan, di depan semua orang tanpa rasa takut,
atau kagum, atau ciuman di ruang terbuka.
Secara keseluruhan, kenangan ini membuatnya bahagia dan
gembira yang melekat dan membekas hingga waktu yang cukup lama.
Nabil selalu mengingat wanita ini. Apa yang ia rasakan dahulu masih
terasa, membekas, tak terlupakan.

*
Namun, ada adegan yang berulang sejak kecil hingga hari ini,
adalah bahwa pamannya sering menanggalkan semua pakaian

Page | 37
Polandianya, kecuali kerah (pakaian) lehernya, dan
menggeletakkannya di sofa, lalu menidurinya begitu saja. Nabil tidak
begitu mengingat saat ini, apakah ini khayalan belaka atau fakta.
Pada umumnya, kata “Bologna” (Polonia) bagi Nabil bagai
tongkat ajaib, yang dapat menghadirkan bayangan sosoknya, setiap
kali mendengarnya kata tersebut, maka langsung terngiang di
telinganya. Lalu, Nabil kembali ke truk dan meraba-raba tempat
duduknya dalam kegelapan, bahkan sampai-sampai ia merasa gairah
libidonya hingga terlelap tidur, tanpa tahu bagaimana itu terjadi.

X
Si agen penyelundup illegal berkata kepada Nabil dengan suara
lirih, seolah dia sedang mencari seseorang:
- “Cepat turun, ini Brussels.”
- “Brussels ... benar, ini Brussels ...” Nabil menimpali.
- “Ya, iya, Brussels?!” tukas sopir tersebut.
- “Hmmmmm, masuk akal juga?!” Nabil menimpali.
- “Cepat turun, Bro,” perintah sopir.
Awalnya, Nabil tidak percaya. Begitu dia keluar dari mobil, dia
melihat hamparan halaman yang gelap dan pekat, tidak tampak
istimewa, seperti keadaan di negara-negara berkembang lainnya. Dia
turun perlahan, membawa tasnya di belakangnya.

Page | 38
Nabil melihat tempat tersebut, bingung, tidak percaya, menatap
tempat dan keadaan di sekelilingnya, dan dia membuka mulutnya,
menguap! Menoleh ke kanan dan kiri, dan bertanya-tanya pada dirinya
sendiri:
- “Apakah si penyelundup ini bermaksud menipuku?” gumam
Nabil.
Si penyelundup illegal tersebut takut dan bergegas; ia tidak
punya banyak waktu, tangannya terjulur keluar, menarik dan
menyeretnya, bersegera; untuk melewati jalan menuju rumah yang
hampir reot. Rumah tua, terletak di sudut halaman yang sangat luas
dan kumuh. Di sudut halaman itu tersedia tempat untuk mencuci, dan
dia berkata kepada Nabil dengan suara lirih, namun, setengah
memaksa:
- “Cepat ... cepat.”
Nabil mengikuti si sopir, menyeret tasnya, tetapi sepatunya
terlepas, dan tertinggal, tangan si penyelundup itu menariknya maju
kedepan. Sementara, si penyelundup itu kembali, untuk membawa
sepatu Nabil yang tampak begitu mencolok:
- “Yoash ... Sepatuku ...” ujar Nabil.
- “Kali ini ... jangan sampai polisi melihat kita ...” si sopir penyelundup
itu menimpali.
- “Ya, tapi bagaimana dengan sepatuku, aku hanya punya itu” pungkas
Nabil.
Si penyelundup itu membuka pintu rumah dengan kunci dan
memasukkan Nabil ke dalam.

- “Apakah kita di Brussels?” Nabil menyangkal.

- “Ya, ini Brussels, apakah kamu mabuk?” jawab si penyelundup


yang bekerja sebagai sopir itu.

- “Tidak, tapi ini, lebih kotor dari Baghdad,” Nabil mendebat.


- “Ini adalah tempat semua Muslim ... khususnya Maroko dan
Turki ...” jawab si sopir tersebut.'

- “Hahhhhh, ya, Aku paham,” Nabil mengerti.


Dengan ditemani si penyelundup, Nabil masuk ke dalam, tangga
kotor, bau sepatu dan kaos kaki menyengat, menyelimuti seisi
ruangan. Barang-barang rongsokan yang tidak diketahui milik siapa
bertumpuk-tumpuk. Buku-buku lama yang masih terbungkus rapih.
Bola-bola berceceran dekat tangga. Dua sepeda tua di sisi pintu.

Page | 39
Beberapa kotak pos telah rusak dan tak terawat, surat-suratnya
tercecer dimana-mana.
Tempatnya seperti menara kamar mandi di atap, tidak
dibersihkan selama sebulan.
Penyelundup itu naik bersama Nabil menyusuri anak tangga,
kayu ukir dengan warna merah jambu yang elegan, ke salah satu
apartemen kecil. Si sopir-penyelundup itu menyalakan lampu. Ia
memberi kunci tersebut seraya berkata:
"Dengar, tempat ini hanya sementara, jangan lupa, jangan
bodoh seperti orang yang tinggal sebelummu di sini selama sebulan
penuh tanpa bersosial. Kamu harus bersembunyi di sini selama satu
atau dua hari yang kemudian menyerahkan dirimu sendiri pada polisi
sebagai seorang pengungsi. Memang benar uang sewanya telah
dibayar selama sebulan, tapi; hal tersebut tidak berarti apa-apa, kamu
harus pergi ke camp pengungsian, agar mereka mengenalimu sebagai
seorang pengungsi.”
“Jika mereka tidak mengenaliku sebagai pengungsi?” tanya
Nabil.
“Pulanglah ke Iraq dan Kami sudah membuatkan nama baru
untukmu selama di sini ……..” sopir tersebut menimpali.
“Hmmmmm, OK,” jawab Nabil.
“Jangan takut, segalanya ada solusi, namun; segalanya tentu
ada harganya,” sopir sekaligus penyelundup illegal tersebut
menjelaskan.
“Aku mengerti,” jawab Nabil.
*
Nabil melemparkan tasnya di atas sofa, dalam ruangan, dan
berjalan beberapa langkah; untuk memeriksa apartemen. Isi dalam
ruangan tampak begitu berantakan seperti perang Persia, sebuah
medan pertempuran yang digambarkan Guppino di Iran pada abad
kesembilan belas. Kursi roda besar yang tidak teratur hampir
memenuhi seluruh ruas kosong dalam ruangan tersebut. Kursi rusak,
karpet kotor, poster iklan yang using di dinding, dan dua bendera:
Turki dan Maroko. Tidak ada jejak bendera Belgia sama sekali. Sebuah
lorong kecil mengarah ke dapur seperti oven yang penuh di atas meja.
Di sanalah saatnya, tumpukan piring, cookery yang kotor. Aroma
tempat tersebut; bau dari tumpahan minyak di lantai dan dinding.
“Benarkah aku di Belgia?,” gumam Nabil.
Lalu, ada kamar mandi kecil, berkarat, lampu kuning pucat dan
redup seperti di took sayuran di daerah Baghdad, tidak ada tulisan

Page | 40
atau peringatan kebersihan. Yang lebih parah, ada kain bilas
sebagaimana yang biasa dilakukan orang Muslim dan tidak seperti
orang Eropa yang menggunakan tisu toilet.
“Benarkah aku di Brussels?” tanya Nabil dalam hati.
*
Bayangan Eropa dalam benak Nabil sangat kontras dengan apa
yang dilihatnya di depan kedua matanya sendiri. Niat kehidupannya di
Eropa terlalu idealis: seperti tinggal dalam kemegahan, kehidupan
mewah, eksklusif berbintang lima, lahan yang berkilau, parfum yang
berasal dari mana-mana. Tempat ini bukan hanya serupa sebuah
apartemen di Baghdad, tetapi bahkan apartemen Baghdad lebih
mewah dan eksklusif disbanding tempat ini.
Nabil mengalami vertigo. Demam membuat suhu tubuhnya
meningkat drastis, terlebih kala mengingat kisah para penyelundup
illegal yang berkeliaran di tempat yang sama, dan kemudian
membuang imigran di kebun atau di sebuah rumah yang hanya di
pinggiran Istanbul, Izmir atau Adana. Kepalanya terasa berkunang-
kunang.
Nabil duduk di sofa dan merentangkan tangan, menjulurkan
tangannya, dan menekan remote kontrol yang ada di sampingnya.
Nabil merebahkan tubuhnya dan menonton acara televisi yang
terpasang di atas dinding dengan sanagt serius-konsentrasi. Nabil
mengganti ke beberapa stasiun televisi lainnya. Kebanyakan acara
televisi Turki atau Maroko, sebagian kecil stasiun televisi Barat, acara
yang ditampilkan hanya seputar berita. Adapaun secara umum;
saluran televisi olahgraga, saluran berita, saluran musik, saluran
lifestyle, saluran memasak, saluran perlombaan-kompetisi, dan
saluran-saluran yang benar-benar menarik perhatian, serta tidak ada
saluran pornografi.
- “Masuk akal, tidak ada saluran pornografi di Belgia. Apakah
mereka menerapkan Syariah di sini?” ujar Nabil.

Segera, Nabil merasa lapar, beranjak ke kulkas, menemukan


sandwich, lalu menuju ke kamar mandi. Ketika dia keluar, dia merasa
sangat lelah, berbaring di sofa, dan tidur dengan nyenyak. Dia bangun
di tengah malam, lelah dan haus, mengambil segelas air, dan
mengambil remote kontrol, jantung saluran untuk mencari saluran
porno, tetapi dia tidak menemukannya. Dia mengganti ke saluran
musik. Musiknya sangat romantis dan mello, dan dia terkesima
mendengarnya. Batinnya terasa tentram.

Page | 41
Tiba-tiba citra filsuf Arab, Farabi, yang hidup di abad kedelapan,
terlintas dalam benak Nabil. Dia melihat musik sebagai elemen penting
dari kota utopis atau negeri idaman, karena ide keadilan berasal dari
ide harmoni dalam musik. Bisakah kita menjamin ide tingkat
kebahagiaan berdasarkan pada kasus-kasus matematis atau logis?
Al-Farabi berkata: “Ya.”
Kelas proletar menimpali: “Tidak!”
Nabil tersenyum pada dirinya sendiri, akankah ia juga harus
menggunakan istilah ini, “kelas proletar” di Eropa?
Nabil berpaling ke sisi lain, memejamkan matanya, dan
mendengarkan musik yang syahdu dengan saksama dari televisi.
Pikiran Farabi masih menghantui benaknya, baik dalam penggunaan
musik, atau dalam pengobatan penyakit kejiwaan neurologis. Di sinilah
Nabil merasa bahagia, atau setidaknya merasa tenang. Musik adalah
perangkat ajaib yang mirip dengan hipnotis.

Page | 42
XI

Beberapa menit berlalu, kemudian Nabil langsung berbaring di sofa,


meletakkan tangannya di pipinya, dan al-Fā rā bī masih menggandrungi
pikirannya, apakah dia lebih pintar daripada filsuf Yunani ketika dia
melampaui mazhab formalisme filsafat Yunani dalam konstruksi pandangan
musik?! Nabil bertanya pada dirinya sendiri. Orang Yunani mengerti musik
hanya sebagai suara yang bergerak, atau bentuk dekoratif dalam sebuah
gerakan, tetapi Farabi memahami hingga lapisan terdalam untuk mencapai
emosi, dan disertai elemen perasaan di saat yang bersamaan. Jadi, Nabil
sekarang tampak lebih rileks, santai, beranjak, berenang mengarungi
perasaan dalam gumpalan awan. Pada saat itu, terdengar suara lirih, segera
setelah terdengar lebih nyaring, terdengar seperti shalat Muslim dengan
suara yang keras. Kata-kata yang sama terulang kembali. Seperti
pengulangan dalam musik Timur.

Nabil teringat kakeknya yang shalat dengan suara keras, terutama di pagi
hari, dan kerap kali mengusik tidurnya. Suara kakeknya fals, seperti suara
yang berasal dari apartemen tetangga, tetapi dia terus bersuara lantang di
setiap shalat. Jika suaranya indah, tentu tidak apa-apa, tetapi, untuk
mendengar suara menggema yang sama musik, jelas ini tidak mungkin! Satu
hal yang mengusik batinnya:

“Apakah kita di Belgia?” risau Nabil.

Pada saat itu, dia merasa bahwa al-Farabi telah runtuh, ide musik,
keadilan, kebahagiaan, semua berangsur pudar, digantikan oleh rasa takut
untuk tidak berada di Belgia.

Page | 43
- “Di mana aku sebenarnya?” fikir Nabil.

Pada awalnya, Nabil menyangkal bahwa dia benar-benar mendengarnya.


Dia mencoba mempertanyakannya, tetapi kemudian segalanya menjadi
jelas. Suaranya nyaring, suaranya terdengar di kamar sebelah. Nabil merasa
putus asa, dia melemparkan dirinya ke sofa dalam kesedihan. Suara itu
terkikis oleh sedikit harapan yang dia miliki. Dia tampak cemas dan sedih
untuk tidak berada di Belgia, melainkan di negara lain. Sementara, di negara
yang dekat dengan negaranya, di Irak, di Turki, dan di Iran, banyak
bertebaran kisah para penyelundup nakal. Ketika Nabil ingin tidur, tapi tidak
bisa. Berulang kali, Nabil membalikkan badannya, sejurus kemudian,
meletakkan bantal di atas pipinya, kemudian terlelap sebentar. Satu-satunya
hal yang membuatnya gelisah dan sedikit nyaman di tengah-tengah suasana
hati yang tak menentu adalah teringat pada gadis Polandia dan bagaimana
pamannya duduk di sofa, sementara ia menyaksikan keduanya. Kala itu, ia
masih remaja, seraya membayangkan kedua kaki wanita yang duduk
bersama pamannya begitu putih nan mulus.

XII

Nabil bangun, pagi buta. Dia membuka tasnya, dan mengambil


pakaiannya:

-“Ah lupa, handuk .....” kemudian ia teringat, tidak hanya handuk saja yang
terlupakan ....

Masalah sepele dalam perjalanan adalah melupakan banyak hal saat


menata-mengatur tasnya. Meski, Nabil bepergian dengan membawa sedikit
barang, setidaknya ia harus memperkirakan bahwa ketika tiba di kota yang
dikenal sebagai warisan peradaban yang tinggi, dia pasti membutuhkan
pakaian baru.

- “Oh, kelalaian kedua, jeans. Shift!” keluhnya kesal.

Nabil mengenakan T-shirt yang dikeluarkan dari tas, tetapi dia


mengenakan celana panjang yang sama saat di perjalanan, lalu mencuci
wajahnya di wastafel, gosok gigi, memakai minyak rambut, dan syalnya. Dia
melihat kumis dan janggutnya, haruskah dicukur atau dibiarkan begitu saja?
Sebuah pertanyaan yang ribuan kali ditanyakan jauh sebelum ia berada di

Page | 44
sini, kala di Baghdad. Namun, keputusannya mengenai masalah ini juga
telah membuatnya tertunda, untuk menetap di Eropa, bahkan dia tidak
benar-benar yakin bahwa dia - sekarang - di Eropa.

Kemudian dia memakai sepatunya, mengeratkan ikat pinggangnya, dan


menyusuri-turun dari tangga kotor ke luar. Ketika dia melihat jalan, akal
sehatnya segera sirna.

Bukan di Turki, atau di Irak, atau di Iran, tetapi di kota yang tidak benar-
benar dikenalnya dalam hal arsitektur bangunan, tapi, tanpa keraguan ia
yakin dirinya berada di Eropa, tepatnya di lingkungan bagi para imigran,
mungkin. Ada banyak orang kulit hitam di jalan, ada banyak orang Arab,
Asia, Latin, banyak wanita bercadar di jalan, tetapi ada juga orang Eropa.

Tanda biru di dinding menunjukkan bahwa kita berada di Sirgent Bryan


Street di distrik Anderlecht di Brussels, dan tanda bahwa kopral ini terbunuh
pada tahun 1812 lantaran konsolidasi peradaban di Kongo. Nabil tersenyum,
membaca kata-katanya sendiri (peradaban) dan (Kongo). Kisah kolonial
(kemerdekaan) yang sama, diulang di setiap saat!

Dia merasa bahagia, puas-tenang, dengan tawa pertama dari orang


Belgia, dia merasa tercerahkan, dan dia melihat sejarah dengan matanya,
dan bagaimana kisah ini berubah dari seorang tentara Belgia di Kongo
menjadi seorang tentara Kongo lain di Belgia.

Siapa pemenangnya? Lagi-lagi, sejarah palsu. Nabil tertawa:

“Hahaha ha ha ha ....”

Nabil berjalan mengikuti garis lurus di jalan sampai Chuseih de Mons,


Broad Street, sebuah jalan lebar yang dilalui trem, rumah-rumah tua, bar
Afrika, Snack Turki, spanduk restoran dalam bahasa Arab, semua
menawarkan buncis, kacang, dan kebab.

- “Haruskah Nabil menyikapi sepanjang jarak yang membentang ini


dengan makan kebab di sini?”

“Haha hahaha,” Nabil tertawa terbahak-bahak.

- “Lagi-lagi tawa Arab,” tukas Nabil pada dirinya sendiri.

Page | 45
Ah, lagi-lagi hal yang sama, suara Arab, bangunan yang mirip Arab,
restoran yang menawarkan makanan Arab. Akhirnya, Nabil menyadari juga,
pada kenyataan lain yang berasal dari pemahaman Farabi tentang musik
Arab berdasarkan pengulangan. Seni Arabesque tidak hanya seni dekoratif
murni, dan variasi yang tak terhitung jumlahnya, tetapi lebih dari itu, untuk
mencapai tampilan spiritual Arab pada dimensi waktu yang mengatur alam
semesta. Demikianlah filosofi tawa “Haha”. Nabil berhenti, tersenyum. Dia
berkata dengan jelas: Tossss! Siapa peduli?

Semakin jauh berjalan, maka semakin ramai. Nabil tiba di pembantaian


itu, tertulis pada gerbang besarnya bernoda darah:

-(Pembantaian dengan cara Islam)-

Nabil memutuskan untuk kembali ke kamarnya karena takut tersesat


di tengah kerumunan. Dalam perjalanan kembali, dia melihat toko Snack
yang ditulis oleh Shay Muhammad al-Maghrabi. Dia memasuki toko tersebut,
matanya tertuju pada tumpukan piring di balik kaca. Dia meminta sandwich
dan sedikit safari ferit.

TV menawarkan berita kawasan semenanjung Arab.

Para pembeli duduk: Orang Afrika, Arab, Turki, dan Iran. Pelayan
berbicara bahasa Turki, dengan sigap mempersiapkan permintaannya,
memasukkan sandwich ke dalam tas, dan memberikan padanya. Ketika Nabil
berada di luar, seorang pria berusia 50 tahun datang, berjanggut hitam yang
menjuntai panjang ke bawah, kumis yang dicukur, mengenakan pakaian ala
Afghanistan, fashion revolusioner baru, model yang ditiru orang-orang Salafi
sejak perang antara Afghanistan melawan tentara Soviet. Dia merasa bahwa
orang Salafi ini sedang mengamati tanpa memperhatikannya. Namun, begitu
orang Salafi tersebut sampai di pintu, ia memegang bahkan mencengkram
tangan Nabil. Nabil berbalik, khawatir. Orang Salafi tersebut bertanya
kepada Nabil:

-“Bukankah Kamu seorang muslim?”

Nabil bingung, setelah ragu-ragu, menjawab:

- “Ya, ya, saya seorang Muslim!”

- “Bagaimana cara makan, Bung, bagaimana caranya?” Dia berkata


dengan marah, membuat Nabil benar-benar bingung.

Page | 46
- “Pak, Apakah seorang Muslim dilarang makan?” pungkas Nabil.

- “Tentu dilarang! Bahkan haram! Apa yang dikatakan orang-orang


kafir tentang kita?” orang tua tersebut menimpali.

- “Kok bisa haram?” Nabil balik bertanya.

- “Kami sedang menikmati bulan Ramadan, bung! Apakah kamu tidak


tahu bulan Ramadan?” orang tua tersebut membalikkan pertanyaan.

- “Ya! Tapi Ramadhan di Belgia?” sanggah Nabil.

- “Maksud saya, jika Anda datang ke Belgia, apakah Kamu melucuti


Islammu?” bantah orang tua tersebut.

- “Tentu saja, tidak! Tapi, maafkan saya, Pak! Saya lupa!” Nabil
mengaku bersalah.

“Tentu saja, saya akan memaafkanmu, tetapi saya tidak tahu apakah
Tuhan akan mengampunimu atau tidak,” sergah orang tua tersebut.

- “Saya berharap dia akan memaafkan saya,” harap Nabil.

Nabil bergegas untuk pergi, namun pria tua tersebut mencengkram


tangannya.

- “Hendak ke mana?” tanya orang tua tersebut.

- “Ke rumahku!” jawab Nabil singkat.

- “Tunggu, sebentar ... Dengar! Kamu diliputi dosa dan di bulan


Ramadhan kamu harus membayar penebusan (kaffārah) untuk itu.

- “Saya harus membayar penebusan?” tanya Nabil dengan sinis.

- “Ya! Penebusan (kaffārah)!” tegas orang tua tersebut.

Nabil tetap diam di hadapan pria tua yang tampaknya sengaja diutus
untuk menemuinya:

“Bahkan, Kamu tahu sendiri bahwa di sini ada banyak umat Islam dan
masjid ini tidak lagi dapat menampung populasi kami, jadi kami ingin
membangun masjid lain. Oleh karena itu, Kami, muslim yang tinggal di
sekitar sini patungan (urunan), membayar sejumlah uang untuk membangun
masjid, dan kemudian semoga Tuhan akan mengampunimu .... Saya dapat
menjamin hal tersebut,” pinta orang tua tersebut pada Nabil.

Page | 47
- “Saya harus memikirkannya terlebih dahulu, saya harus melihat
berapa banyak uang yang saya miliki, berapa banyak yang harus saya bayar,
dan saya akan menjawabmu,” Nabil berusaha melakukan tawar-menawar
besaran penebusan yang harus dibayarnya.

- “Lebih tepatnya, di mana Kamu tinggal?” orang tua tersebut


mendesak.

- “Di gedung ini!” jawab Nabil singkat.

- “Oh, kamu tinggal di dekat salah satu saudara Kami, dia adalah pria
yang sangat bisa dipercaya. Dengar, kami akan mengunjungimu besok,
untuk mengetahui berapa banyak yang Kamu bayarkan,” ujarnya memaksa.

Nabil meninggalkannya, segera berlalu. Saat Nabil berjalan menaiki


tangga apartemen, dia merasa cemas dan bingung. Pada awalnya, dia
hampir kehilangan kesabarannya. Dia meletakkan tasnya di atas meja. Lalu,
beranjak menuju ke kulkas, membukanya, namun, tidak menemukan apa
pun di dalamnya. Dia kembali dan duduk di sofa. Dia mengambil tas,
mengambil sandwich, dan mulai makan. Dia merasa agak haus dan dalam
benaknya, sempat terlintas sekaleng bir terakhir di hari terakhirnya di
Baghdad. Nabil memutuskan untuk pergi, membawa sendiri, beberapa
kaleng bir. Nabil melihat keluar dari jendela teralis, Nabil melihat seorang
Salafi, lalu bergegas meninggalkan jendela teralis tersebut seraya menoleh
ke kanan dan ke kiri. Terperanjat, Nabil melihat sesuatu yang aneh:

Nabil melihat sepatu tergantung dengan tali jatuh dari apartemen atas
ke apartemennya. Dia pun merasa letih, mondar-mandir kembali ke dalam.
Dia merasa bahwa - mungkin saja – ada seseorang yang membuntutinya.

Nabil kembali, meraih sandwichnya. Dia memasukkan ferit ke dalam


mangkuk dan pergi mencari saus tomat di dapur, lalu kembali dengan
keadaan sanagt panik. Baginya, dia tidak akan membayar satu dirham pun
untuk militant preman ini baik di Baghdad atau di sini, tapi; “apa untungnya
ini ?!” Dia melarikan diri dari negaranya, karena mereka, dan di sini dia
menemukan orangorang seperti mereka. Haruskah ini terjadi kembali?!

Page | 48
XIII

Satu jam kemudian, Nabil berjalan keluar rumah, berjalan di Gurez


Street hingga perbatasan untuk menghindari kehadiran orang Salafi di sudut
jalan. Nabil tiba di jalan yang sangat lebar, bernama Avignon Vienne. Ada
beberapa toko yang menjual peralatan rumah tangga. Salah satu dari
mereka berdua masuk yang jarak sebenarnya lebih dekat ke jalan umum.
Pemilik toko tersebut melihat ke halaman depan tanpa terlihat
menggerakkan satu otot pun di wajahnya. Pemilik toko tersebut berasal dari
Pakistan, yang tidak banyak bicara dan senantiasa melayani pembeli di
tokonya. Nabil membeli empat kaleng bir, dan kepalany menoleh ke kanan
dank e kiri untuk memastikan agar tidak ada seorang pun yang melihatnya.
Lalu, dia kembali dari Bourne Street ke Sersan Bryant Street. Begitu tiba
beberapa langkah dari rumahnya, seorang pria yang bersembunyi di sudut
jalan mengejutkannya:

- “Apakah Kamu seorang Muslim?” tanya pria tersebut.

Nabil bingung tanpa tahu harus menjawab apa. Orang itu putih, demikia
lah yang tampak dari luar-fisik. Rambut pirang panjang yang menjuntai ke
belakang, kedua matanya hijau, tetapi dengan pakaian yang agak antik.

- “Ya ... Ya ..... Kenapa?” jawab Nabil.

- “Apakah Kamu menjual ganja?” tanya pria tersebut pada Nabil kembali.

Sontak, Nabil sangat gugup, lalu menyanggahnya:

- “Tidak, Tidak .... Tidak pernah, saya tidak pernah menggunakan


barang semacam ini,” jawab Nabil.

- “Jangan takut, kawan, aku mau beli!” ujar pria tersebut.

- “Tapi saya tidak tahu ....” tukas Nabil.

Pria itu melanjutkan:

“Saya tidak tahu persis di mana, tetapi, saya baru pertama kali datang
ke sini dan saya membeli dari seseorang yang tinggal di gedung ini. Sepatu

Page | 49
besar dengan tali dari atas yang menggantung tersebut adalah tandanya,
bukti bahwa ia memiliki stok ganja untuk dijual.”

- “Ah! Aku mendengar orang yang tinggal di atas apartemen saya, dia
menggantung sepatu, sejam yang lalu ... Saya tidak tahu mengapa ...”
sergah Nabil.

- “Ah ...” kata Nabil yang tidak tidak mendapati melihat wajah putus
asa pada pria pirang ini, yang kembali melanjutkan perkataannya pada
Nabil:

- “Bagus. Semoga Anda beruntung ....”

Nabil beranjak menuju gedung apartemen, membuka gerbang,


menyusuri tangga kotor menuju apartemennya, bergegas ke lantai
dua.

Page | 50
XIV

Hidup di Skarbek, lingkungan yang dihuni oleh imigran Turki,


sangat tidak mudah, namun, juga tidak sulit!

Dengarlah ... Jack Barid lahir di lingkungan ini, jangan lupakan itu
... Pasar rakyat di bawah jendela memungkinkanmu mendengar
pedagang wanita Turki dengan aksen yang jelas di pagi hari, selalu
berteriak:

“Ayam panggang, ayam panggang,” sementara, aroma alpukat


dan lemon tea membumbung hingga kamarmu.

“Ini tidak penting, karena negeri ideal (utopis) di muka bumi


tidak kunjung disadari, sejak masa Plato sampai hari ini, bukan?”

Demikianlah yang dikatakan Nabil di depan cermin, sambil


mencukur kumis untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Dia menyeka
rambutnya dengan pisau yang ada di genggaman tangannya, lalu
menundukkan rambutnya aliran pipa air yang berasal dari kran. Nabil
memandang wajahnya tanpa kumis. Agak aneh, tetapi hal itu dapat
membuatnya sedikit lebih nyaman. Dengan mengenakan celana
panjang dan kemeja, dia bertanya-tanya: Apa penyebab negeri ideal
(utopis) yang dipikirkan al-Fā rā bī lebih dari sepuluh abad lalu runtuh?

- “ Keharmonisan, keselarasan,” gumam Nabil.

Demikianlah pemikiran Nabil terkait masyarakat. Ia juga banyak


mengadopsi konsep musik menurut al-Fā rā bī. Satu suara tidak dapat
menghasilkan musik, tetapi musik dibentuk oleh bunyi-bunyian yang
Page | 51
beragam. Bebunyiaan yang beraneka ragam menuntut adanya suatu
harmoni, keselarasan menyeluruh secara penuh, yang jika tidak
(keragaman bebunyian tersebut) terwujud akan berdampak pada
kebisingan. Kebisingan atau keriuhan meniadakan ide dasar yang
sedari awal diciptakan oleh musik.

Jalan menuju toko-toko musik di San Jose penuh sesak hari itu.
Seorang lelaki tua itu menjelaskan kepada Nabil, kelebihan dari cello
yang dia miliki. Nabil tidak punya uang untuk membelinya, tetapi dia
masih mengumpulkan uang dalam bentuk dirham, satu dirham. Itu
tidak masalah. Suatu saat, ia akan memilikinya. Hidupnya berjalan
dengan lamban di sini, di Eropa, tetapi dia membuat beberapa
kemajuan. Setidaknya, ia memiliki suaka di Belgia, ia berhasil
menyewa apartemen kecil di Skarbek, dekat Hackett Street, sebuah
lingkungan yang dihuni oleh sejumlah besar imigran Turki. Dia tidak
memilihnya tempat tersebut, tetapi harganya lebih murah daripada
beberapa daerah di Andijan. Dia juga punya pacar, orang Belgia. Ini
penting: namanya Fanny!

Nabil berkenalan dengan Fanny dalam konser di bar yang terletak di


Dosson Gill Parfait. Di bar Mieson du Bable. Bar yang sama di mana Lenin
membaca koran Rusia-Perancis sebelum revolusi. Bar ini telah berubah
menjadi bar borjuis hari ini, tapi Nabil tidak terlalu memikirkan hal ini.
Revolusi - pada akhirnya - adalah tujuan dari revolusi itu sendiri. Seorang
lelaki tua mengundangnya ke pesta. Lelaki tua itu bekerja dan melayani
selama bertahun-tahun di bar lain, silih berganti.

Hari konser di Mieson du Bable, malam terakhir yang membuat pekerja ini
resign, seperti tiang cahaya; untuk menerangi bar, meskipun dia merasa
seperti penari balet yang akan menari di malam terakhirnya, dan dia tahu
bahwa dia akan diberhentikan besok ke gudang, bangsal bersama tumpukan
sampah. Tapi dia senang, dan Nabil menyapanya dengan hangat, dan Fani
berdiri di samping sosok tua itu. Sejurus kemudian, Nabil juga menyapa
Fanny, segelas Mojito,4 dan Fanny menerima tawarannya. Nabil membawa
4
Secara tradisional, mojito adalah koktail yang terdiri dari lima bahan: rum putih, gula (jus tebu
tradisional), air jeruk nipis, air soda, dan mint. Kombinasi rasa manis, jeruk, dan mint dimaksudkan untuk
melengkapi rum, dan telah menjadikan mojito sebagai minuman musim panas yang populer. Koktail memiliki
kandungan alkohol yang relatif rendah (sekitar 10% alkohol berdasarkan volume). Saat menyiapkan mojito, air jeruk
nipis ditambahkan ke gula (atau sirup) dan daun mint. Campuran ini kemudian ditumbuk lembut dengan muddler.
Daun mint hanya boleh memar untuk melepaskan minyak esensial dan tidak boleh diparut. Kemudian rum
ditambahkan dan campuran diaduk sebentar untuk melarutkan gula dan untuk mengangkat daun mint dari bawah

Page | 52
secangkir Mojito dan berdiri kaku, mematung di depan Fanny seperti paku.
Fanny memperhatikan derap langkah Nabil saat sedang berbicara dengan
pria lain. Kemudian, Fanny meninggalkan pria itu sebelum ia menyelesaikan
percakapannya dengan Fanny. Fanny mendekati Nabil yang membawa
secangkir Mojito yang dibawa dan diperuntukkan untuknya:

- “Senag bertemu denganmu!” Fanny berdiri di hadapan Nabil, bertatap


muka.

Saat itu, Nabil jatuh cinta pada pandangan pertama. Sebagaimana


mencuri, Nabil tidak berpikir panjang pada tubuh setengah telanjang di
hadapannya. Fanny; dia berasal dari budaya Descartes. Meskipun, Fanny
sendiri tidak pernah membaca sebaris pemikiran Descartes5 dalam hidupnya.
Fanny melihat seorang anak muda, seorang musisi berbakat, yang ingin
mengabdikan jiwa dan raganya dalam masyarakatnya dengan cara apa pun,
seorang pemimpi di kota utopis, negeri ideal, seorang mososic 6 seperti
gitaris awan, dengan dua hal: kota utopis atau negeri ideal dan orkestra.
Beginilah cara Nabil menjelaskan idenya:

untuk presentasi yang lebih baik. Akhirnya, minuman itu ditutup dengan es yang dihancurkan dan air soda yang
berkilau. Daun mint dan irisan jeruk nipis digunakan untuk menghias gelas.
5
Rene Descartes sering disebut sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes lahir di La Haye Touraine-
Prancis dari sebuah keluarga borjuis. Ayah Descartes adalah ketua Parlemen Inggris dan memiliki tanah yang cukup
luas (borjuis). Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendakatan pemikirannya bahwa
semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berfikir. Ini juga membuktikan keterbatasan
manusia dalam berfikir dan mengakui sesuatu yang di luar kemampuan pemikiran manusia. Karena itu, ia
membedakan "fikiran" dan "fisik". Keberadaan manusia didasarkan pada adanya alam fikiran. Bahasa Latin kalimat
ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya berarti: "Aku
berpikir maka aku ada". (dalam bahasa Inggris: I think, therefore I am) atau, I think, therefore I exist.
6
“Mososic“ tidak hanya sekelompok masyarakat beserta para ayah, tetapi juga seseorang yang citra dan
pandangan tentang ayahnya tidak lebih eksotis dibanding di kelompok masyarakat lain.

Page | 53
“Apa yang dia cari di Eropa adalah pijakan harmoni jiwa, untuk
menyampaikan bahwa pijakan tersebut adalah ide terukur yang ketepatan
maknanya diambil dari fantasi klasik, dan yang terakhir adalah yang akan
membawa kita ke kota utopis, negeri ideal.”

"Aku tidak mengerti," kata Fanny, tersenyum.

- “Dengar, Aku jelaskan dengan cara yang praktis setelah meminum


setengah gelas mojito,” Nabil menimpali.

“Masyarakat tak ubahnya seperti pertunjukan orchestra (orchestra).


Penyanyi-penyanyi itu adalah orang Barat berkulit blonde yang berperan
penting menampilkan alat musik dalam pertunjukan orkestra, seperti: Biola,
Viola, Kontrabas, dan Cello. Kemudian, orang-orang Latin yang menampilkan
alat musik tiup seperti: Oboe, 7 Flute,8 Clarinet,9 dan Bassoon.10 Kemudian,
orang-orang Timur yang meliputi Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, yang
menampilkan alat musik yang terbuat dari tembaga atau kuningan seperti:

7
Oboe berasal dari bahasa Prancis yang ditujukan untuk “Kayu bernada Tinggi” atau “high-pitched wood”
yang sangat baik dimainkan untuk pertunjukan musik bergenre solo dengan banyak not dalam nada tinggi. Oboe
merupakan alat musik yang sangat rumit untuk dimainkan.
8
Flute adalah alat musik tiup yang termasuk dalam keluarga woodwind, alat musik ini ada yang terbuat
dari logam namun ada juga yang terbuat dari kayu. Flute memiliki karakter suara yang lembut dan mempunyai
timber suara yang sangat variatif tergantung dari ketrampilan peniupnya. Flutist adalah sebutan bagi peniup flute.
9
Klarinet adalah alat musik tiup kayu dengan suara yang murni dan indah. Dari semua alat musik, klarinet
adalah salah satu alat musik yang memiliki jangkauan titinada terluas, yang menjadikannya salah satu alat musik
paling menarik untuk dipelajari cara memainkannya.
10
Bassoon adalah alat musik dalam keluarga woodwind. Pada umumnya, banyak yang percaya bahwa
penemu sebenarnya dari bassoon adalah Martin Hotteterre yang menciptakan bassoon pertama pada 1650-an dalam
empat bagian (wing joint, boot, bass joint, dan bass). Pada 1800-an bassoon disempurnakan untuk digunakan di aula
konser dan untuk pemutaran yang lebih besar. Bassoon digunakan dalam berbagai gaya musik termasuk musik
klasik, jazz, modern dan populer.

Page | 54
Terompet, Horn,11 Trombone,12 dan Tuba.13 Ada juga orang Afrika seperti
Drum14 dan Drama. Ada orang Asia, seperti: beberapa jenis Simbal >>.”
- “Kenapa tidak? Bukankah paparan tersebut juga dibenarkan oleh ilmu
pengetahuan?” tanya Fanny.

Bahkan, Fanny yang menaruh cangkirnya di atas meja dan mengajak


Nabil menari merasa sangat nyaman dengan kecocokan antara dirinya
dengan Nabil. Tata karma ala orang Barat seperti ini berhasil meluluhkan
hati Fanny.

Lampu-lampu yang menerangi bar dan barisan cangkir Mojito, asap rokok
Marlboro, kepingan hujan salju, kata-kata romantis, dan album foto digital
membuahkan cinta di musim ini.

Saat itu adalah hari yang suram, malam yang sangat melelahkan di
malam musim panas. Fanny menari dengan rok birunya, kulit tipisnya
bersinar di bawah cahaya lampu, lehernya yang seperti flute, keceriaannya
tampak seperti anak kecil.
11
Horn adalah salah satu kelompok atau keluarga alat musik yang terbuat dari tabung, biasanya terbuat dari
logam dan sering melengkung dengan berbagai cara, dengan satu ujung sempit di mana sang musisi meniup, dan
ujung lebar dari mana suara itu muncul. Horn tidak seperti beberapa instrumen kuningan lain seperti terompet, bore
secara bertahap bertambah lebar melalui sebagian besar panjangnya — artinya, berbentuk kerucut daripada silinder.
[1] Dalam jazz dan konteks musik populer, kata itu dapat digunakan secara longgar untuk merujuk pada instrumen
angin, dan bagian dari instrumen kuningan atau kayu, atau campuran keduanya, disebut bagian Horn dalam konteks
ini.
12
Trombone adalah alat musik dalam keluarga atau kelompok kuningan. Seperti semua instrumen
kuningan, suara dihasilkan ketika bibir pemain bergetar (embouchure) menyebabkan kolom udara di dalam
instrumen bergetar. Hampir semua trombone memiliki mekanisme slide telescoping yang bervariasi panjang
instrumen untuk mengubah pitch. Banyak model trombon modern juga memanfaatkan pelekatan katup sebagai alat
untuk menurunkan pitch instrumen. Varian seperti trombone katup dan superbone memiliki tiga katup yang mirip
dengan trompet.
Kata trombone berasal dari tromba Italia (terompet) dan -satu (akhiran yang berarti "besar"), sehingga
namanya berarti "terompet besar". Trombone memiliki lubang silinder sebagian besar seperti mitra valved bariton
dan kontras dengan rekan-rekan valical berbentuk kerucut, cornet, euphonium, dan Horn Perancis. Trombon yang
paling sering ditemui adalah trombon tenor dan trombone bass. Varian yang paling umum, tenor, adalah instrumen
non-transposing yang bernada di B ♭, satu oktaf di bawah B ♭ trumpet dan satu oktaf di atas pedal B ♭ tuba. E ♭ alto
trombone yang pernah umum menjadi kurang banyak digunakan sebagai perbaikan dalam teknik memperpanjang
kisaran atas tenor, tetapi sekarang menikmati kebangkitan karena kemerduannya yang lebih ringan yang dihargai
dalam banyak karya romantis klasik dan awal. Musik trombone biasanya ditulis dalam nada konser baik di bass atau
tenor clef, meskipun pengecualian memang terjadi, terutama di musik brass-band Inggris di mana trombone tenor
disajikan sebagai instrumen transposing B, yang ditulis dalam kunci treble.
13
The tuba (/ ˈtjuːbə /; [1] Italia: [ˈtuːba]) adalah alat musik terbesar dan terendah bernada di keluarga
kuningan. Seperti semua instrumen kuningan, bunyi dihasilkan oleh getaran bibir menjadi corong besar. Ini pertama
kali muncul pada pertengahan abad ke-19, menjadikannya salah satu instrumen baru di orkestra modern dan band
konser. Tuba sebagian besar menggantikan ophicleide. [2] Tuba adalah bahasa Latin untuk 'trumpet'. [3]
Di Amerika, orang yang memainkan tuba dikenal sebagai tubaist atau tubist. [4] Di Inggris, orang yang
memainkan tuba dalam orkestra hanya dikenal sebagai pemain tuba; di band kuningan atau band militer, mereka
dikenal sebagai pemain bass.
14
Drum adalah alat musik universal dan ritmik. Drum terbuat dari tembikar atau logam dan berbentuk
seperti vas sempit di salah satu ujungnya dan ujung lain yang lebar diikat dengan kulit tipis.

Page | 55
Keduanya duduk di depan bak sepasang burung dalam sangkar yang
saling berhadap-hadapan. Nabil merasa mencintainya sejak saat pertama
bertemu, tidak lagi membutuhkan bukti. Jelas sudah, seperti setetes hujan di
balik kaca yang hadir dan berlalu begitu saja seiring berjalannya waktu.
Tidak akan pernah sirna, selamanya. Nabil merasakan perubahan besar
dalam segala hal, perasaannya, atau tubuhnya.

Nabil mengatakan pada Fanny bahwa dia tidak suka wanita Arab yang
mengerdilkan diri mereka dengan pakaian mahal; pewarna rambut; kotak
make-up; mewarnai jari kaki; membaca majalah Bourdah, Eve, dan Siddy;
dan mencari anak-anak borjuis tampan yang bermain-main dengan gadis-
gadis di mal-mal besar.

Nabil mengatakan padanya bahwa dia mencintainya karena dia


menganggapnya cantik, lembut, sangat feminim, seperti lukisan estetika
Jepang yang indah. Sementara, suara wanita-wanita Arab seperti tersedak
atau sesak nafas; warna kulit mereka kecoklat-coklatan; paha dan payudara
mereka seperti bir (al-Marbarbāt);15 karena terlalu banyak makan buncis. Dia
tertawa terbahak-bahak.

Nabil merasa bahwa hidupnya bersama Fanny akan baik-baik saja.


Mungkin lebih baik daripada masa-masa lalunya. Keinginan Nabil yang besar
dapat dilihat dari kegigihan usahanya. Di pengasingan, banyak menyusut,
atau maknanya diubah, misalnya:

“Pekerjaan berubah menjadi kekayaan;”

“Cinta berubah menjadi seks;”

“Identitas berubah menjadi sekte, atau agama;”

Tanah air adalah sesuatu yang kita bela tanpa harus hidup dan tinggal di
dalamnya; dan tempat yang kita benci tidak lain adalah tempat yang tidak
harus kita tinggalkan.

Nabil ingin mengubah pandangan ini, untuk mengubah kehidupan


semacam ini, tanpa melucuti hasrat, fantasi, dan angan-angan lainnya.

15
al-Marbarbāt adalah wanita yang memiliki pasangan dan memiliki hal yang
paling penting untuk dilihat bagi banyak pasangan; atau wanita yang dapat dinikmati oleh
segala jenis jender. al-Marbarbāt juga sebutan untuk tempat pembuatan bir.
Page | 56
Dia akan mengabdikan dirinya untuk mencintai dan membantu Fanny. Dia
akan menjadi pria yang baik dan menganggap hidupnya dalam perantauan
lebih positif. Lebih bermakna dibanding sebelumnya, tentunya. Sejauh ini,
sebagai seorang yang sedang mabuk cinta, pada batas tertentu, Nabil akan
melalui segalanya bersama Fanny dengan se-iya dan se-kata. Perbedaan
budaya: Nabil akan berusaha memahami; demikian pula dengan Fanny yang
akan berusaha memahaminya pula. Pemahaman yang tidak hanya
didasarkan pada inderawi dan seksual semata, tetapi pemahaman yang lebih
luas. Pada dasarnya, hal ini sangat sederhana: Nabil akan bertukar cerita
dengan Fanny, menceritakan kehidupannya, mendengar kehidupan Fanny,
menanyakan pada Fanny tentang apa yang terjadi padanya di siang hari,
dan apa yang terlintas dalam benak Fanny. Nabil akan berbicara bersama
Fanny tentang musik, Farabi, kota utopis atau negeri ideal, Barat, dan
migrasi.

Hal-hal tersebutlah yang membuat Nabil risau dan gentar. Dia sangat
bahagia. Dia pasti mencintainya. Sesuatu yang diyakini Nabil adalah ketika
Fanny diminta untuk bermalam bersamanya di apartemennya, dan Fanny
tidak menolak seraya berkata kepadanya:

- “Tidak, tidak bisa ..... bukan malam pertama.”

Fanny bergegas mengenakan mantelnya, meletakkan syalnya di


lehernya, membawa tasnya, dan memasrahkan tangannya di tangan Nabil.
Keduanya segera pulang ke kediaman Nabil.

XV

Fanny tinggal di apartemen kecil Nabil, di Akt Street di Skarbek.

Apartemen Nabil yang kecil terasa nyaman dan sejuk seperti sarang
burung. Nabil duduk di sofa, memutar silinder alat musiknya; agar suaranya
cocok dengan gramofon. Nabil menunggu Fanny yang memasuki kamar
mandi untuk menyiapkan sabun dan handuk, membuka chovage, 16 dan
menutup pintu kamar mandi tersebut. Nabil mepaskan kemejanya dan
melemparkannya ke tempat tidur. Fanny keluar dari kamar mandi dengan
celana panjangnya, tetapi tubuh bagian atasnya telanjang, lalu melempar
handuk ke sebelah Nabil. Fanny memeluk Nabil. Mereka berdua
memadukasih, bersandar ke jendela.

16
Chovage adalah system pemanas sentral dengan pemanas air.

Page | 57
- “Bisakah kita sedikit menjauh dari jendela?” ujar Nabil pada Fanny.

- “Sudah lah, jangan pikirkan jendela, pintu, dan dinding. Pikirkan dan
rasakan kehadiranku!” jawab Fanny.

Nabil mengulurkan bibir dan lidahnya dan meletakkan tangannya di


payudara Fanny. Fanny menikmati, pasrah dalam rangkulan kedua tangan
Nabil. Bibir Fanny yang hangat dan tipis seolah akan dan menghilang di
bawah sentuhannya. Sejurus kemudian, keduanya mulai melepaskan
pakaiannya. Nabil duduk di tepi tempat tidur; melonggarkan ikat pinggang
dan melepas celana panjangnya. Sementara, Fanny mengangkat tubuhnya
dan menjulurkan tangannya ke bawah; melepaskan celana panjangnya
hingga melewati pergelangan kakinya. Nabil menatap Fanny. Fanny hanya
mengenakan stoking, legging, semacam kaos kaki. Fanny hendak melepas
kedua legging tersebut, tapi Nabil melarang. Nabil memegang tangan Fanny
dan melihat tubuhnya lebih dekat. Nabil berkata:

- “Kamu terlihat lebih seksi dengan legging.”

Fanny tersenyum pada Nabil dan memeluknya. Kembali, Fanny memeluk


Nabil dengan lebih erat. Perlahan, tangan Nabil berlarian menuju perut
Fanny. Fanny berusaha melepaskan gerayangan tangan di perutnya dan
segera memeluk leher Nabil. Nabil pun menggelinjang. Mereka saling
menghamburkan libidonya.

Mereka menghabiskan berjam-jam di tempat tidur bersama, Nabil


telanjang dan berdiri di depan Fanny; meneguk dan menghabiskan sebotol
air, karena keringatnya, mengacuhkan kebiasaan dan kepribadiannya, atau
budayanya kala itu. Kebiasaan, Fanny selalu melenguhkan suara yang keras
tiap kali berhubungan badan, sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan. Fanny
kerap berteriak dan menjerit keras tanpa merasa risih atau malu. Tidak ada
alasan untuk melarang Fanny beserta sifatnya di mana dia hidup tanpa
batas, aturan, dan norma. Tidak seorang pun yang tinggal di bangunan
apartemen ini yang tidak mendengar suara lengkingan dan desahan Fanny.
Bahkan, beberapa orang dengan sengaja menimpali lengkingan dan desahan
Fanny dengan tawa yang terbahak-bahak. Sementara, Nabil menanti
pergantian posisi seksnya:

Sejenak, Nabil terdiam dan berhenti yang tidak lain untuk mengubah
posisi seksnya, kemudian dilanjutan lengkingan dan desahan nyaring Fanny.
Beberapa warga di bangunan apartemen tersebut terpancing, turut penuh
bersemangat dan hasrat menggebu disertai libido yang berdebar-debar, tapi;

Page | 58
tetapi, ada juga seseorang yang marah dan hal ini tentu saja sosok yang
memegang dan mematuhi budaya dan tradisi. Tentu saja, hal kemarahan
orang tersebut tanpa disadari dan diperkirakan oleh Nabil sebelumnya.

Nabil kembali ke tempat tidur, merebahkan kepalanya di dada Fanny dan


tangannya mulai menggerayangi tubuh Fanny. Mata Fanny mengatupkan
kedua matanya ketika duduk dan menegakkan punggung yang bersandar,
benar-benar santai, kakinya membentang dan terjulur, terbuka lebar, dan
libido Nabil yang terus bergetar dengan kencang semakin menunjukkan
dirinya sangat bernafsu. Keduanya membisu sejenak. Fanny menyalakan dua
rokok, satu dinikmati sendiri, dan yang terakhir diletakkan di mulut Nabil.
Keduanya terlelap di atas ranjang disertai aroma keringat keduanya dan
asap yang membumbung, serta musik klasik yang syahdu yang berasal dari
gramogphone. Nabil tampak bahagia dan memandang ke atap hingga
terlelap, dan tertidur.

Nabil melihat Fanny yang sedang berjalan dengan telanjang di pagi


hari. Nabil terkesima dengan pemandangan yang tiba-tiba dan terasa begitu
mendamaikan hatinya; Nabil berbaring di tempat tidur dan mengagumi
keserasian antara perilaku Fanny dengan tubuhnya yang seksi. Fanny
berjalan tanpa mengenakan sehelai kain pun, tanpa bra, atau pun cd. Fanny
kerap merokok, makan, dan membaca dalam keadaan telanjang. Sesekali,
Fanny mengangkat dan menelantangkan kakinya lalu menurunkannya.

Nabil tidak pernah melihat ketelanjangan sekontras ini, bahkan dalam


imajinasi-imajinasi erotisnya sekalipun. Pemandangan telanjang ini datang
dengan sendirinya. Jam terus bergulir, sementara Nabil masih berbaring di
atas kasurnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan tanpa
menggerakkan lidahnya. Ia hanya menikmati saja. Nabil menikmati
ketelanjangan Fanny yang berlenggak-lenggok di ruangan yang sempit.
Nabil merasakan bahwa pemandangan bugil yang ada di hadapannya
mengantarkan pada perasaan-perasaan masa lalunya yang mengganggu,
menyiksa, dan membunuhnya, serta mendorongnya untuk melakukan
tindakan-tindakan pemuas libidonya. Namun, pemandangan bugil ini tidak
membunuh birahinya. Pemandangan erotisme ini tidak seperti di negaranya,
kawasan Timur Tengah. Pemandangan ini tidak sembunyi-sembunyi, namun
terlihat nyata di depan mata, bahkan diiringi dengan alunan suara, gerakan,
aroma, musin, dan mungkin juga dengan alcohol dan opium.

Kemudian, Nabil bertanya-tanya dalam hati:

Page | 59
“Siapa bilang keseksian tubuh itu sirna dengan kebugilan?”

Pikiran ngawur! Budaya bugil itu sama halnya dengan budaya musik
klasik yang dipergunakan untuk menggambarkan realitas. Kebugilan
tersebut merupakan sisa-sisa budaya Renaissance Timur, yang memandang
seni bugil sebagai puncak kemanusiaan dan inti dari pemikiran klasik yang
seyogyanya disebut sebagai “orientasi”. Inti pemikiran klasik itu
menanamkan dalam benak seseorang bahwa hidup itu selaras dengan alam.

Di hari berikutnya, Nabil dan Fanny pulang larut malam dalam keadaan
setengah sadar (mabuk). Saat Fanny membayar taksi, Nabil melaju lebih
dahulu ke depan pintu apartemen. Disini lah dia dibuat kaget. Ternyata
tetangganya yang berasal dari Turki tersebut telah menunggunya. Kumis
hitam yang menjulai ke atas dan otot-otot yang menakutkan tidak lain
adalah seorang pandai besi. Tukang pandai besi itu memiliki cengkraman
yang kuat dan Nabil tidak menyukainya karena tangannya kasar yang tidak
seperti tangan musisi yang lembut.

Dengan tegas, pria berkewarganegaraan Turki tersebut berkata pada


Nabil:

- “Tuan, Saya tidak menganggap Anda bertanggungjawab atas apa yang


Anda perbuat di apartemen Anda. Tapi suara kekasih Anda, ya, seperti
ini lah, sangat memengaruhi keluarga Saya.”
- “Saya tidak mengerti!” jawab Nabil.
- “Anda berhubungan seks dengan kekasih Anda, dia melenguh dengan
suara yang keras, hingga seluruh orang di apartemen mendengarnya.
Mohon maaf, Saya memiliki beberapa anak perempuan yang
memasuki masa remaja dan berkerudung. Tidak mungkin Kami dapat
menerima keadaan ini.”

Nabil tidak menjawab sepatah kata pun, selain jawaban berikut:

- “Bukan saya yang memperkenankannya ke sini, bukan saya yang


melenguh seperti ini … tapi dialah.”

Fanny mendekat. Ketika pria Turki melihat wanita pirang Belgia


tersebuit, Nabil menyarankannya, sementara, pria Turki tersebut
langsung berusaha menarik diri.

- “Lebih baik, Anda berbicara padanya, bukan padaku.”

Page | 60
Fanny bertanya:

“Ada apa? Apa yang diinginkan lelaki ini padamu?”

Nabil menjelaskan duduk persoalannya pada Fanny.

“Pria ini memintamu untuk tidak menjerit dengan desahan dan lenguhan
yang nyaring selama hubungan persenggamaan Kita. Hal tersebut karena ia
memiliki anak-anak perempuan yang sedang dalam masa remaja dan
berjilbab. Dia tidak suka anak-anaknya mengerti sesuatu tentang hubungan
Kita.”

Fanny sangat marah.

- “Apa?!... Apa?!” Teriak Fanny dengan sangat keras di lobby gedung


agar semua orang mendengar.
- “Aku tinggal di negeriku, suka-sukaku dong, mau berteriak kek. Jika
ada yang tidak suka, silakan bawa anak-anaknya ke negerinya sendiri
dan di sana mereka tidak akan mendengar suara apa pun selain suara
azan. Kalau di sini; ya terserah apa yang mau kulakukan lah.”

Ketika keduanya kembali ke apartemennya, Fanny memutuskan untuk


membuka seluruh jendela kali ini; agar orang yang tidak mendengar jeritan
desahan-lenguhannya sebelumnya dapat mendengar saat ini. Di bawah
cahaya lampu, Fanny melucuti semua pakaiannya hingga telanjang dengan
perlahan. Keduanya menikmati gerakan erotis tersebut; dan perlahan Fanny
merebahkan tubuhnya di atas kursi, tepatnya di apartemen lantai
pertengahan. Kemudian, denga sengaja, Fanny melemparkan dirinya sendiri
ke atas kasur dan mengulurkan tangannya kea rah Nabil seraya tersenyum
dan berkata:

- “Ayo, lepaskan pakaianmu, cepatlah. Hari ini, aku akan


memperdengarkan jeritan desahan dan lenguhanku pada anak-
anaknya yang tidak akan pernah terlupakan.”

Sejurus kemudian, semua orang mendengar suara desahan jerit Fanny di


tempat tidur, suara-suara yang menembus tembok, dan bukan hanya suara
loud speaker azan saja.

XVI

Page | 61
Pada keesokan harinya, Fanny duduk di tepi kasur, dan dia mencari secarik
kertas di dalam tasnya. Dia ingin memperlihatkannya pada Nabil.

- “Apa Kamu masih mengingat Tina?”


- “Waduhhhhh, tidak ingat, siapa dia?”
- “Ohhhh, Kamu lupa ya? Tina yang kita lihat waktu itu di bar yang
menyediakan minuman beralkohol. Saat itu, kamu berbicara
dengannya tentang musik.”
- “Ahhhhh, sekarang Aku ingat…. Payudaranya agak besar ….. seksi ….
Pantatnya memberontak dengan mengenakan rok ketat.”
- “Aduhhhhhh, Nabil, hanya hal-hal jorok yang Kamu ingat tentang
wanita.”
- “Eitssss, bukan begitu maksudku. Aku ingat. Ya, ya, aku
mengingatnya. Ada apa dengannya?”
- “Dengarin iah? Sekarang, Tina sedang mempersiapkan sebuah
program musik indoor di sebuah rumah abad ke-19 di selaran Brussels,
dan dia memberitahuku bahwa dia mengharapkan dan menyambutmu
untuk bergabung dengan bandnya kalau kamu punya cello.”

Namun, Nabil, sejak setahun penuh telah mengumpulkan sedikit


bantuan sosial yang didapatnya, dan dia belum mampu membeli mesin cello.

Oleh karena itu; Fanny berkata pada Nabil bahwa ia akan memberinya
uang untuk mencukupi pembelian alat musik ini. Nabil, benar-benar gembira.
Dia melompat dan memeluknya hingga air mata Fanny berlinang deras
ketika melihatnya begitu bersemangat. Sejak alat musiknya dihancurkan di
negaranya, nabil memang selalu memimpikan memiliki cello kembali.

Nabil mengambil uang secukupnya dari Fanny dan pergi ke toko


peralatan musik di San Jose.

Penjual tua tampak sangat senang ketika melihat Nabil. Tak lama
sebelum pengungsi muda ini berdiri tepat di depan alat ini seperti seseorang
yang sangat merindukan suatu yang sangat terkenal, pandangan Nabil pada
alat tersebut tak beralih dan ia tampak bingung. Hal inilah yang membuat
Pak Tua penjual alat-alat musik tersebut segera memasuki kafetaria dan
membawa alat musik terakhir serta meletakkannya di dalam kotak hitam.
Sontak, membuat Nabil nyaris menari ceria dan gembira. Ia merasa sangat
bahagia. Ia tidak dapat berkata-kata, semuanya terasa tidak terbentung. Hal

Page | 62
ini tercermin kala penjual tua tersebut mendekati Nabil yang tiap hari selalu
berdiri di depan alat musik tersebut karena tidak mampu membelinya. Oleh
karena itu, pak tua tersebut memberinya diskon khusus dan Nabil
menyisakan sejumlah (mata uang) yuro di sakunya.

Nabil keluar dari toko musik tersebut dan kembali ke apartemennya. Ia


melewati toko pakaian yang besar untuk mencari seragam hitam yang akan
digunakan untuk persiapan Indoor Music Party sebagaimana yang telah
dipersiapkan Tina, sahabat Fanny.

Nabil kembali ke apartemen atau rumahnya; meletakkan cello, lalu


menghubungi Fanny yang tengah bekerja di Chausse, Waterloo. Mungkin
saja, keduanya akan pergi ke bioskop di Gallerie de Rannes malam ini.

Ketika Nabil tiba di dekat apartemen, ia merasa ada sesuatu yang


aneh di sana. Ia melihat tetangganya, pandai besi Turkibersama dua orang
lainnya yang berdiri di samping pintu gerbang. Nabil datang dan
menghampiri tukang pandai besi tersebut. Orang Turkey tersebut berkata
dengan raut marah, kumisnya menjuntai ke bawah sepeti sutas tali:

“Apa yang kamu bawa?”

- “Cello!” jawab Nabil ketus.


- “Ahhhh, cello. Apakah kamu bermaksud memperdengarkan soundtrack
dengan film porno yang kamu mainkan bersama teman wanitamu ini?”
tanya pria Turki.

Satu pukulan, melayang, telak ke arah kacamatanya yang langsung


mengudara dan jatuh di trotoar.
- “Pukulan tukang pandai besi!” ujar Nabil dalam hatinya. Pukulan pria
Turki sebagai pandai besi tersebut melayang ke arah matanya yang
membuat pandangannya menjadi kabur, seketika. Kemudian, dua
orang lainnya menangkap dan membawa cellonya; untuk
menghancurkannya, menghentakkan di atas tanah. Sementara, Nabil
melarikan diri dengan cengkraman kalut dan duka. Nabil menaiki dua
anak tangga kemudian bangkit dan berdiri. Ia langsungberanjak lari
menuju apartemen/flatnya. Ia membuka pintu, dan lenyap dalam
renggukan apartemen.

Page | 63
Sejurus kemudian, Nabil beranjak menuju kulkas dan mengambil sedikit es
untuk diletakkan di matanya. Dia melangkah menuju balkon untuk melihat
nasib malang cellonya. Si Turki dan teman-temannya menghilang, tidak ada
orang lain selain penjaga pintu gerbang. Satpam tersebut mengumpulkan
puing-puing untuk dibuang ke tempat pembuangan sampah.

BAGIAN KEDUA

Ketika Nabil memikirkan antara dirinya di Belgia maupun di Kota Ideal (al-
Madīnah al-Fāḍilah) dan bagaimana dengan keadaan kota tersebut? Ia juga
memikirkan orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Dia harus mengeluarkan sejumlah besar orang dari daftar. Yang


pertama adalah pria Turki yang memukulnya dan merusak alat musiknya.

Setiap hari, Nabil memilih masyarakat yang terdiri dari berbagai kelas
sosial yang berbeda seperti olahragawan, musisi, seniman, pengrajin, filsuf,
dan wanita cantik.

- “Ahhhhh, seandainya mereka sebagai Spartan muda!” gumamnya.

Demikianlah, keinginan Nabil membangun Kota Ideal (al-Madīnah al-


Fāḍilah).

Pada umumnya, upaya-upaya fiksi ini adalah latihan dan pembiasaan


dalam mengetahui dan memahami orang lain, mengenal bahasa, dan yang
lebih utama adalah meramal kehidupan orang lain. Ada semacam penelitian
dalam beberapa buku yang mereka dapatkan dan baca. Tulisan itu adalah
diari tentnag hidupnya, yang ditulis sejak masa remaja. Meskipun, secara
umum ide-idenya tidak menarik baginya, tetapi di masa-masa mendatang,
tulisannya lebih sering menyoal tentang politik lokal di Eropa.

Namun, setelah tragedi yang menimpanya: pemukulan terhadapnya


oleh pria Turki dan pengrusakan alat musiknya membuat Fanny lebih
perhatian padanya dibanding sebelumnya. Untuk meringankan

Page | 64
kesedihannya, Fanny memintanya menghabiskan sebagian besar waktunya
di apartemennya.

Apartemen Fanny yang membuat Nabil takjub, terletak di lingkungan


orang-orang kaya yang umumnya dihuni oleh penduduk asli Belgia.
Lingkungan apartemen Fanny lebih elegan dibanding dengan lingkungan
miskin imigran Turki yang Nabil hubi. Apartemen Fanny tampak sangat indah
dan foto Nabil dengan cellonya diambil di Baghdad. Foto tersebut adalah
hari-hari ketika ia tampil dan bermain di National Symphony Orchestra di
tengah dinding, di antara cabinet (semacam lemari atau bupet) gelap
dengan menu padat dan meja kantor yang terbuat dari kayu kelas atas yang
dibuat di IKEA. Dia sering duduk di tempat ini, membaca buku, dan
terkadang membaca Koran dan majalah lama yang dibeli oleh Fanny sejak
lama dari pasar broker, yang menjual kebutuhan dan barang-barang antik.

Fanny juga mengatur; agar menjaga pandangan simetri dengan


furniture yang menghadap ke dinding: dua kursi dan meja persegi panjang;
untuk keduanya dapat diletakkan berbagai berbagai benda di dalam rumah
seperti gunting, cermin kecil, pemotong bulu, dan alat tulis. Di ruang tengah
terdapat kursi kayu berlapis kulit yang terletak menghadap TV. Seringkali,
digunakan berjam-jam untuk berpikir oleh Nabil. Dari kursi kayu berlapis
kulit tersebut, jika Nabil memiringkan kepalanya ke arah kanan, maka ia
dapat melihat jendela yang memanjang dengan leluasa, dimana
penglihatannya meluas dalam jangkauan cahaya ke taman hijau berseri. Dari
jendela ini, cahaya matahari bersinar yang masuk ke apartemen pada pagi
hari. Ubin lantai dicat dengan warna ungu muda dan ruangan itu
bermandikan cahaya keemasan pirang pada saat bersamaan.

Perlahan, Nabil merasa bahwa Fanny telah berubah. Selama beberapa


hari berlalu, Fanny menjadi gadis yang lebih terbuka bersama Nabil
sebagaimana kecantikan fisiknya yang mulai mendekati pada titik
kesempurnaan. Fanny berubah menjadi ayat yang luar biasa dalam
keindahan. Setiap kali Nabil melihat Fanny, maka ia merasa bahwa Fanny
menjadi sesuatu yang baru dengan keanggunan yang baru pula. Nabil
kecanduan melihatnya di pagi hari ketika ia bangun tidur dan pada sore hari
ketika ia pulang kerja, serta di malam hari ketika ia kembali bosan dengan
pelajaran bahasa Arab. Fanny memutuskan mempelajari bahasa Arab demi
Nabil dan demi mengetahui budaya kekasihnya. Keduanya tidur telanjang di
tempat tidurnya; diselimuti dengan cahaya lampu temaram yang indah atau

Page | 65
lilin yang diletakkan di mangkuk yang besar, yang menebarkan aroma wangi
yang dibeli di toko-toko Hema (Hīmā) di penghujung jalan mereka,
bersamaan dengan lengkingan suara-suara Fanny yang mendesah tanpa ada
seorang pun yang keberatan atas apa yang keduanya perbuat.

Nabil merasa sebagian besar waktunya hanya diisi dengan rasa


bahagia. Sementara, Fanny melompat dari perut Nabil ke lapisan langit
terdalam.

Tetapi; terkadang, Nabil merasakan penyempitan atau sakit di hati. Hal


tersebut karena Kota Ideal (al-Madīnah al-Fāḍilah) adalah kota yang hanya
dihuni berdasarkan kesetaraan, kebajikan, dan musik yang tidak terwujud,
bahkan di sini, di Eropa.

Tapi, satu-satunya hiburan di sini, di Eropa adalah Fanny. Hal yang


benar-benar menyemangati Nabil adalah pandangan Fanny. Pandangan
kedua mata Fanny memancarkan kegembiraan dan keceriaan yang tulus.
Kedua mata Fanny memancarkan kegembiraan tiap kali bertemu, baik di
café bersama sahabat-sahabatnya atau katika ia dan Nabil telanjang di atas
tempat tidur. Bagi Nabil, Fanny lah yang telah membalikan tangan dan
kakinya. Fanny lah yang menyelesaikan semua masalah administrasi
Komunenya, yang berbicara dengan Bank, polisi, pajak, dan semua prosedur
administrasi rumit yang tidak dia mengerti. Hal ini seperti bola lampu Badui
yang menyala di padang pasir yang gelap. Fanny pulalah yang
mengingatkan keadaan-keadaan ini dengan sajak-sajak dan not-not klasik
yang sempat Nabil tulis; untuk memainkannya, yang menceritakan tentang
cahaya yang bersinar bergiliran secara transparan dan mendalam di
hadapan seorang pria yang membeku.

“Bukankah Medusa?” tanya Fanny padanya.

“Bukan,” jawab Nabil meski dirinya tidak yakin. Nabil melanjutkan


beberapa bagian bacaannya.

II

Nabil mulai sering mengunjungi apartemen Fanny berdasarkan


keinginannya sendiri. Setidaknya, tidak ada pria Turki di sini. Pria Turki
tersebut tinggal di lantai bawah gedung apartemen dan memiliki anak-anak
perempuan yang beranjak dewasa. Tentu, dia tidak memperkenankan anak-
anaknya mendengar suara lenguhan dan rintihan ceria Fanny di atas ranjang
cinta!

Page | 66
Dengan hal itulah, Fanny akan menjerit sesuka hatinya di
apartemennya, bahkan Nabil juga dapat melenguh kencang dengan bebas
atau bernyanyi di tempat tidurnya dengan perasaan puas tanpa harus
meminta maaf pada siapapun atau bertengkar pada siapa pun.

Dan ada sesuatu yang lebih penting, jadi, selama Nabil menghabiskan
sebagian besar waktunya di apartemen Fanny; maka apartemennya dekat
dengan taman Flagye. Sebagaimana, mulai saat ini Café Belga yang sangat
terkenal di taman tersebut menjadi tempat favorit.

Sejak itu, Nabil telah sering mengunjungi Plage Square, dan ia dikenal
oleh semua teman Fanny, yang telah bersamanya sejak universitas, yang
merupakan pelopor Café Belga. Namun, untuk beberapa alasan, café lain di
taman yang sama adalah Pitch Pin Café, yang terletak di sudut lain taman.
The Jekeel Café memiliki interior yang luas yang menghadap ke dua sudut
jalan. The Jekeel Café memiliki pelayan dari Eropa Timur, yang kurang ramai
dari semua kafe di taman.

Nabil menghabiskan sebagian besar waktunya dengan duduk di kedai


kopi sambil menyeruput bir, membaca buku, entah tentang musik atau
tentang negara ideal, dan kadang-kadang duduk di luar untuk menyaksikan
lalu-lalang taman yang sering ramai di sore hari. Dari jendela kafe, dia suka
melihat trem, bus, dan orang-orang di berbagai cuaca, sepanjang waktu.

Nabil mulai mengenal Brussels ketika dia membaca buku. Dia bisa
mengenal keadaan para pelayan, pemilik café, pelajar, aktris, pelacur, dan
pelanggan. Dan bahkan polisi yang bekerja di sudut lain gedung radio yang
juga dikenal sebagai penyiar, sekretaris. Bahkan, ia juga mengetahui orang-
orang yang bekerja di toilet.

Setiap hari, dia pergi bersama Fanny atau sendirian ke bar atau café di
Brussels untuk tetap menjadi kota yang indah yang selalu disajikan di dalam
jiwa dan pikirannya. Ketika ia kembali ke tempat tidurnya pada malam hari,
seringkali pemandangan yang ia lihat terhadap kehadiran Fanny adalah
suatu catatan yang benar-benar terukir, seakan-akan sebagai suatu catatan
buku yang dibacanya setiap hari:

“Apakah Anda melihat gadis yang memasuki café hari ini?” mereka
menjawab bahwa wanita tersebut adalah pelacur.

Page | 67
“Apakah Anda melihat pemuda tampan ini? Dia bekerja di misi Eropa!
Kekasih pria itu adalah wanita berwargakenegaraan Belanda ….. Saya
pernah melihat wanita itu sekali dan ia biasa merokok ganja!”

“Apakah Anda tahu bahwa wanita yang merupakan pelayan itu adalah
seorang mahasiswi Free University of Brussels dan dia berkencan dengan
seorang kekasih asal Amerika yang kaya-raya, yang usianya terpaut dua
puluh tahun lebih tua?”

Perlahan, Nabil mulai terbiasa dengan cuaca dingin, jalanan becek, dan
petang-petang hujan. Bahkan, larut malam, ia tidak ragu untuk pergi ke
Plage Square, San Gil, atau Alle du Soleil; yang tidak lain merupakan bar-bar,
café-café, toko-toko disk, dan perpustakaan-perpustakaan.

Nabil juga pergi keluar di malam hari – terkadang – untuk membeli


beberapa widget, lalu pulang ke rumahnya atau rumah Fanny yang
tangannya penuh dengan buku dan fonograf. Terkadang, ia membawa
sebotol anggur atau bunga merah maupun putih yang biasanya dibeli dari
orang India atau Bengali yang berkeliaran menjual mawar-mawar di bar.

Sekembalinya dari keluar malam, setiap orang yang dilihat Nabil harus
percaya bahwa dirinya mungkin telah menerima transfer uang yang tidak
terduga dari keluarganya atau kerabat lain yang tinggal di Amerika. Tetapi,
pada kenyataannya Nabilmengambil sejumlah uang Fanny kemudian
membelanjakan beberapa barang-barang kebutuhannya yang berguna
seperti buku, CD, dan menyimpan beberapa minuman di sakunya, terutama
bir yang ia suka minum pada sore hari sejak tiba di Belgia.

Terkadang, Nabil suka berganti-ganti café di malam hari untuk


menyeruput kopi. Jarang baginya untuk tidak berakhir di Le Coq, dekat
bursa, selagi masih ada uang di sakunya untuk duduk bersama sekelompok
mahasiswi asing atau penduduk wanita desa yang biasanya mencari
seseorang seperti Nabil untuk membelikan mereka (wanita-wanita tersebut)
segelas atau dua gelas minuman. Dia bersama wanita-wanita itu dalam
percakapan berulang tentang orang Turki yang memukulnya karena suara
kekasihnya selama bersenggama (bercinta) atau menjelaskan kepada
mereka teori-teori besar Eropa, imigran, dan Islamisme. Kemudian, dengan
mudah Nabil mengalihkan perhatiannya untuk mengetahui dan memastikan
bahwa dia telah menghabiskan euro terakhirnya di sakunya untuk kembali
Page | 68
ke Fanny yang tengah menunggunya di Flagye seperti biasa. Kedua bola
mata Fanny tertuju pada pintu café.

Seringkali gadis cantik ini duduk di sudut café menunggu Nabil ketika
ia tidak datang ke café tersebut. Semua orang tau bahwa ia adalah gadis
cantik yang sangat langsing dari desa Walloon dekat kota, bernama Walby.
Jam demi jam berlalu dengan setia, Walby menunggu kekasihnya yang tidak
lain sebagai seorang imigran (pengungsi), yang tiap kali tidak pernah
menggubris hal tersebut!walby meletakkan secangkir minuman yang
dipesan tanpa menyentuhnya. Walby ramah pada rombongan pria yang
masuk dan lalu-lalang di depan mejanya dengan pandangan mata yang
menelisik dan cermat, atau diam-diam menoleh ke depan kaca; mungkin
Nabil, ada banyak anak muda yang penasaran dengan keingintahuan
mereka; untuk mengetahui siapa yang ditunggu gadis tersebut! Banyak dari
mereka juga cenderung menganggukkan kepala atau tersenyum padanya,
agar ia meninggalkan mejanya atau bergabung dengan mereka, tetapi tidak
berhasil.

Tapi, Nabil yang biasanya bersenang-senang, kembali pada Fanny


dalam keadaan mabuk. Kesedihan semakin bertambah ketika Nabil mencoba
menghiburnya! Nabil juga seorang pria yang lembut dan memintanya untuk
menikmati segala peristiwa, tetapi hal itu membuat kesedihannya
bertambah dan dadanya terasa semakin sesak:

- “Sudahlah, Kamu tidak perlu risau karena telah mengabaikanku.


Jangan merasa bersalah!”
- “Apa Kamu yakin?”
- “Tentu! Kamu tidak perlu khawatir!”
- “Aku hanya ingin membuatmu merasa bebas,” ujar Nabil lembut,
tetapi ini juga yang membuat Fanny marah.
- “Nabil, Aku tidak ingin Kamu menganggapku bebas karena Aku
merasakannya setiap saat.”
- “Kamu memang bebas, tetapi Saya hanya ingin Kamu bebas.”
- “Ya Tuhan, Kamu kehilangan keberanian saat bicara, bukankah kamu
memiliki masalah lain yang Kamu bicarakan?!”
- “Kamu mengeluh tentangku?”
- “Nabil, tidakkkah kamu tahu bagaimana caranya untuk sedikit diam,
apakah Kamu mabuk?”
- “Apakah Kamu pikir Aku minum terlalu banyak?”

Page | 69
Nabil merangkulnya dan Fanny benar-benar hilang kesabaran. Sebagaimana
Fanny berjanji pada Nabil bahwa ia tidak ingin Nabil merasa berdosa karena
dirinya. Fanny tidak menunjukkan janjinya seperti yang dirinya katakan.
Fanny tidak nyaman dan wajahnya mengungkapkan kebencian yang dia
rasakan setiap kali Nabil meninggalkannya di café dan pergi ke café lain
bersama wanita-wanita lain untuk berbicara dan terkadang menggoda.

III

Pada hari-hari yang diselimuti awan kelabu, ketika hawa dingin menembus
ke mana-mana, ia mendapati dirinya di café-café yang hangat.

Nabil berharap bersenang-senang untuk menghabiskan satu atau dua


jam di café Belga sebelum beranjak untuk makan malam bersama Fanny.

Silau merah muda yang berhamburan ke tempat itu biasanya


dipancarkan oleh mahasiswi-mahasiswi lesbian yang berkumpul di dekat
pintu masuk hampir setiap hari. Di malam yang hujan, wanita-wanita itu
berhamburan menuju café. Tempat itu tidak hanya hangat dan merah muda
laksana mawar, tetapi juga penuh aroma mewangimereka berkibar di bawah
remang-remang cahaya laksana kupu-kupu yang indah. Mereka yang belum
datang dengan seorang teman lelaki atau kekasih, perlahan-lahan akan
menyelinap pergi ke jalan untuk merokok atau berbicara dengan pemuda
yang lewat di sana, dan kemudian mereka akan kembali ke tempat semula
mereka.

Suatu hari, Nabil benar-benar mabuk, Fanny pergi dengan seorang


teman dan tas beserta seisinya ada pada Nabil.

Fanny berkata pada Nabil:

- “Nabil, aku akan meninggalkan dompetku di sini, di tasku. ”


Nabil menjawab dengan sangat meyakinkan:
- OK, tinggalkan saja di sini!

Nabil sedang berbicara dengan dua mahasiswi di sudut yang gelap dan
anggu tersebut telah mempengaruhi kepalanya. Di sebelahnya, sekelompok
yang terdiri dari lima orang sedang duduk: tiga diantaranya adalah pemuda
dan dua musisi clarinet, dan dengan demikian obrolan diantara mereka
berlanjut.

Page | 70
Nabil menghormati semua yang ada dalam berbincang-bincang dan ia
mendominasi dalam obrolan tersebut. Ia merasa sangat senang dengan
orang-orang yang berbicara dengannya naik dan masuk, menikmati minum!
Dia mengambil dompet Fanny di tasnya karena pada saat itu ia benar-benar
bokek dan dia mengajak orang-orang itu minum.

- “Delapan gelas bir an anggur!”


- “Apakah Kamu serius?!” Salah satu gadis bertanya tak percaya.

Kenyataannya, sebagian besar mahasiswi di café ituadalah penduduk


desa miskin yang tinggal di Brussels tanpa uang yang cukup. Oleh karena
itu, kemurahan hatinya menyenangkan mereka. Dia juga mengambil sendiri
bir yang banyak, alkohol tingkat itnggi, dan yang dibuat di biara-biara.

Sejenak, Nabil menyeruput, terkadang ia memesan dua gelas besar bir


Duvall, dan tak lama kemudian pesanan tersajikan. Cangkir-cangkir yang ia
bawa pada para mahasiswa; membuat semuanya terdengar cukup,
membuat semua mahasiswa, terutama mahasiswi memandang wajahnya
dengan senyum dan ramah, pujian. Bahkan, jika ia tidak paham ungkapan-
ungkapan Prancisnya yang rumit, ungkapan-ungkapan yang fasih ia ucapkan
dengan aksen Irak. Salah satu dari mereka tidak terbiasa dengan hal itu.

Nabil memberanikan diri untuk meminta kelompok tersebut dan


kelompok lain agar memesan bercangkir-cangkir kembali. Mereka pun
minum dan tertawa terbahak-bahak yang dilanjutkan dengan Nabil yang
berbicara dengan lantang tentang banyak hal yang terpenting bagi para
imigran. Kebanyakan leluconnya seputar imigran, terlebih cerita pria Turki
dan anak-anak gadisnya, juga soal peristiwa cello yang ditentang oleh
tetangga brengseknya, baik yang terjadi di Iraq sekali atau di Belgia sekali.

Fanny mendapati dua hal ketika dirinya kembali:

Nabil mabuk, sempoyongan, membuatnya melayang di atas meja, dari


meja yang satu ke meja yang lain, ia bermaksud memperdengarkan semua
orang dengan bir atau anggur dan bahkan koktail.

Tasnya yang kosong dan hanya tersisa sedikit uang.

Ketika Fanny masuk, ia terkejut. Ia mendapati Nabil terbaring di atas


tanah yang berjuang diantara meja-meja; untuk bisa berdiri tegak di atas
kedua kakinya, tapi ia tidak mampu melakukannya dan tidak ada seorang
pun yang bergegas membantunya.

Page | 71
Fanny merasa kejadian itu sangat konyol dan mengerikan atas
ketidakpedulian orang-orang di bar, tidak ada yang mengulurkan tangannya
untuk menyelamatkannya, dan ia mendengarkan bisikan hati dari jauh.

- “Biarkan saja dia, toh hanya seorang imigran yang mengambil uang di
tas kekasihnya hanya untuk dihambur-hamburkan,” kata salah seorang
di bar.

IV

“Apakah di sini benar-benar ada kehidupan?”

Nabil sedang mendengarkan lagu di café, lagu yang tidak memiliki


kedalaman makna, tetapi lagu tersebut berkisah tentang keinginan gadis
Eropa untuk pindah dari Eropa karena dia tidak bahagia.

- “Bermigrasi kemana?” Nabil bertanya, terkejut.

Mengapa KAmu ingin gadis ini pergi, sementara Nabil sendiri datang
ke sini. Mungkin saja gadis tersebut tidak suka Eropa, mungkin juga ia takut
perang nuklir, bisa juga karena adanya penjahat dan pembunuh berantai
yang menembak dalam gelap …… depresi orang-orang Eropa yang dilihat
Nabil sama sekali tidak dibenarkan. Itu semua adalah karakter yang
menyedihkan, kebutuhan yang salah, keinginan untuk melarikan diri, mereka
tampak bersedih , bosan, dan itu adalah filosofi eksistensial Schopenhauer.
Oleh karena itu, Nabil membenci musik Wagner.

Tetapi, di sisi lain, Nabil melihat suatu kemewahan, lelucon, segala


sesuatu yang tidak nyata atau realistis …….

- “Tapi; ya, semua orang takut.”


- “Takut pada apa?”
- “Takut pada bencana!”

Nabil berpikir bahwa manusia tidak memiliki tempat untuk


bersembunyi. Tidak ada kenyamanan selain bersama seorang gadis di
tempat tidur. Setelah bencana yang dihadapi manusia, ia akan berhubungan
seks, lelah, tidur, dan bangkit di hari yang baru.

Aneh, bahkan orang Belgia berpikir tentang melarikan diri dan bersuaka
atau mengungsi!

Page | 72
Nabil minum dengan gelasnya dan bertanya suatu kemungkinan dengan
cerdik pada Fanny:

- “Mengapa mereka tidak pergi ke Iraq.”


- “Karena mereka menginginkan negeri yang lebih baik,” jawab Fanny.

Nabil tahu betul bahwa Fanny adalah orang yang tidak mau mendengar
komentarnya terkait negara Belgia. Fanny juga tidak ingin bertanya pada
Nabil tentang para komedian yang mengolok-olok negara Belgia.
Bagaimana Nabil melihat para pesimis yang menganggap Belgia terjun ke
dalam kekacauan politik, saling menghujam, saling menghujat, atau
orang-orang yang tiap hari menjerit:

- “Suatu hari nanti, Fanny tidak akan pernah melihat Belgia,” atau:
- “Apakah Kamu tahu bahwa situasi politik kita ini benar-benar busuk?”
atau:
- “Kami adalah bangsa terdungu di dunia” atau:
- Jangan mengira Kamu tinggal di negeri yang besar padahal tidak
demikian.
Tapi orang-orang Belgia seperti mereka lebih suka mengkritik,
membenarkan bahwa mereka adalah warga negara asli yang ada dan
dilahirkan di negaranya sendiri, serta berasal dari bangsa yang sama;
pertanyaan yang terbersit dalam benaknya adalah:
“Bolehkah ia mengomentari mereka?”

Apakah ia diizinkan, misalnya para politisi Belgia untuk mencemooh,


membenci mereka dan mengatakan bahwa negara ini adalah negara
sampah; melontarkan lelucon terhadap orang Walloon dan Flamani dengan
mengatakan bahwa dirinya tidak bahagia, takut, tidak memperoleh haknya,
dan negeri tersebut dikendalikan oleh mafia! Sumber segala hal tersebut
adalah merk eksklusif bagi penghuni di sini, sementara ia hanya dapat
melihat dan menutup mulut.

Nabil merasa bahwa di negeri ini ia hanya dapat berbicara tentang dua
hal saja:
Pertama, kekelaman dan tragedy di negerinya. Kedua, kebahagiaan
yang ia peroleh di sini.

Contohnya, Fanny sebagai teman dekat atau kekasihnya dapat


mengatakan bahwa hidup di sini menyedihkan. Tetapi, Fanny hanya akan
tersenyum ketika melihat Nabil berbicara tentang kebahagiaannya,

Page | 73
keselamatannya di negara tempat ia berada, kedamaian, hubungan seksual
di tempat tidur dan kamar mandi, dan makanan di sini.

- “Ah, jika hal-hal tersebut tidak ada di Belgia, lantas apa yang
memungkin dapat menyenangkan perasaanku?” gumam Nabil.

Ini adalah kata satu-satunya yang menjadikan penduduk Belgia tampil


sebagai patriotis dan nasionalis. Pendapatnya tentang Belgia; ini adalah hal
yang tidak mungkin, setidaknya mereka tidak membutuhkannya. Bahkan, di
pentas teater musik satu-satunya adalah satu-satunya pertunjukan yang
diterimanya dengan bermain bersama grup band amatiran pada Hari
Pengungsi atau Hari Migran.

- “Apakah Anda seorang migran?”


- “Saya pemain cello!” jawab Nabil.
- “Tapi Anda adalah seorang pengungsi di Belgia.”

Nabil sangat marah hingga menmotong perkataan dan menghujani


ucapan-ucapan pedas pada lawan bicaranya.

- Jika Kita berbicara tentang musik, maka Belgia bagi Saya adalah
Pengungsi!

Nabil suka melotarkan kalimat tersebut dengan kesal, tetapi ia


membungkam nafas demi nafasnya. Nabil merasa tidak berasal dari Eropa
dan Kamu pengungsi! Kamu tidak harus seperti mereka dan tidak
seyogyanya menyampaikan pendapat. Mereka akan mencintaimu jika Kamu
memuji negeri mereka. Tetapi, jika Kamu ingin melakukan apa yang
penduduk Belgia lakukan dengan kebencian mereka terhadap negara
mereka, maka Kamu dapat mengatakan seperti ini:

- “Betapa busuknya negara ini!”

Saat hening yang mengerikan akan mengubahmu dan mereka. Mereka


akan memberitahumu:

- “Kamu harus bahagia hidup di sini. Jika Kamu berada di negeri lain,
maka mereka akan mengembalikanmu ke neraka dimana Kamu
sendirilah yang memutuskan untuk melarikan.”

Atau, mereka akan mengatakan padamu:

Page | 74
- “Kamu harus berterimakasih pada Kami, bukankah demikian? Kami
tidak akan pernah tahu apa jadinya dirimu, jika Kami tidak
mengurusmu.”

Semua orang akan menjadi warga negara Belgia, tidak hanya di


pemerintahan, bahkan juga menjadi sopir taksi:

- “Apakah Kamu bahagia di Belgia?”


Seolah dia berkata:
- “Kamu dapat hidup bahagia di rumahku.”
- “Sopir taksi akan menandai seorang ibu Belgia di depan orang Belgia
lainnya.”

Suatu hari, Nabil berkata pada Fanny:

Sopir taksi Belgia akan dikejutkan oleh sejarahnya hingga keadaan


politisinya, tanahnya, kebebasannya, teluknya, bahkan, bir, dan cokelatnya.
Tetapi, Nabil sendiri tak lebih dari seorang pengungsi atau imigran, tidak
mungkin, dan dia akan menunggu sesuatu yang harus dikatakan pada
saatnya nanti. Apa yang sedang ditunggu Nabil adalah dengan mengatakan:

- “Kamu tidak mengerti nilai Belgia. Ini adalah negeri terbesar di


dunia…… Oh, Belgia, apa yang akan terjadi padaku jika Kamu tidak
menjulurkan tanganmu padaku.”

Jadi, Nabil tidak boleh menggerutu terhadap cuaca mendung yang


menyelimutinya sepanjang tahun, termasuk makanan Frites, 17 atau adonan
kue Gaufres,18 bahkan rasa sakit pela yang menyebabkan dirinya menghirup
udara dengan wajah muram.

Namun, seyogyanya, Kita mengatakan bahwa yang menjadi perhatian Nabil


pada waktu itu tidak selamanya warga Belgia dan tidak pula anggapan
mereka terhadapnya, bahkan bukan pula apa yang mereka harapkan
padanya! Nabil selalu percaya bahwa mereka ada pada posisi yang benar
untuk melakukan apapun yang mereka hendaki di negara mereka. Tetapi,
yang benar-benar menjadi perhatian Nabil adalah para imigran.
Permasalahan antara sesame imigran tidak lagi menjadi rahasia. Tetapi,

17
Kentang goring khas Belgia.
18
Adonan kue khas Belgia.

Page | 75
adanya peningkatan secara bertahap menjadi terlalu banyak hingga menjadi
simpul permasalahan yang menjamur tidak mungkin dapat diselesaikan dan
sulit untuk disembuhkan. Bahkan, Nabil sudah siap untuk percaya bahwa
hidupnya di sini berubah menjadi neraka karena mereka dan tentunya
karena ia tidak dapat merasakan Negeri Ideal.

Tidak hilang dalam ingatan Nabil, gagasan cemerlang terkait Harmoni.


Dia sedang duduk di apartemen Fanny di bilangan Euclid. Dia menjelaskan
hal tersebut sebagaimana berikut: Harmoni adalah dasar dari musik. Adanya
suara lirih diantara alat-alat ini yang membuat musik akan menjadi
kekurangan harmoni itu sendiri, dan pada saatnya nanti, semua konstruksi
akan runtuh.

Nabil menyimpulkan dari sini bahwa kehadiran para imigran di Belgia


adalah dasar dari kehilangan keharmonisan masyarakat. Sederhananya,
karena mereka berasal dari budaya yang berbeda. Mereka menciptakan
semacam harmoni baru dalam masyarakat mereka, baik saat harmoni
tersebut berada diantara mereka atau saat berada di negaranya yang
menciptakan suara sumbang sehingga memberangus keselarasan di
masyarakat mereka sendiri.

- “Aku adalah satu-satunya nada yang aneh …. Aku adalah suara yang
menghancurkan Harmoni dan lagu-lagu mereka. ….. Apakah Kamu bisa
memahamiku? Itulah yang menyebabkan mereka mengancam dan
memukulku………. “
- “Apakah Kamu tidak mempertimbangkan hal yang demikian itu? Ketika
Aku keluar dan melarikan diri, maka, seketika itu juga mereka pasti
akan merasa lebih baik!”

Kemudian Nabil menjelaskan pada Fanny secara rinci bagaimana dia


melakukan hal itu dengan baik ketika dia meninggalkan negaranya,
meloloskan diri dari negaranya, dan tiba di Eropa. Itu semua adalah hal yang
mudah baginya demi memperoleh Harmoni karena sebagian relung jiwanya
terletak di negara-negara Eropa. Sementara, ia dan hidupnya berbanding
sejajar dengan salah satu jenis harmoni sosial di Eropa.

- “Di sini, Aku menemukan diriku lebih harmonis……. Lebih selaras


dengan masyarakat di sini dibanding Aku berada di Iraq. Aku merasa
lebih aneh di sana dibanding perasaanku yang bergema bahwa Aku
Page | 76
adalah orang aneh di sini……… Tapi, kkatakan bahwa Aku tidak selalu
merasa aneh di sini. Bagaimana Kamu menjelaskan hal tersebut,
Sayang,” ujar Nabil pada Fanny.

Pandangan yang dikatakan Nabil dengan sangat jelas:

Kehadiran para imigran di Eropa adalah suara yang sumbang! Jadi,


mereka semua harus enyah dari sini.

Gagasan ini mulai mengusik sebagaimana peluru yang menembus


kepala. Sementara, Fanny tampak sangat kesal. Nabil ingin mempermudah
perbincangan ini dengan penjelasan berikut:

- “Dengarkan, Sayang. Aku tidak bermaksud rasis, tetapi sebaliknya,


aku bermaksud memisahkan budaya secara proporsional.”
- “Aku tidak paham …. Apa maksudmu?” tanya Fanny sambil
mengenakan pakaian bra.
- “Maksudku, dunia terbagi menjadi dua tempat geografis yang
menghasilkan dua budaya. Kita di sini, di budaya sendiri. Mereka di
sana, di budaya mereka sendiri. Siapa pun yang sepakat dengan kita,
maka merapatlah ke sini. Siapa pun yang sependapat dengan mereka,
maka mendekatlah ke sana.”

Tetapi, Kita harus tetap ada di sini maupun di sana…… Ini berarti
banyaknya suara sumbang dan provokatif diantara mereka akan merambah
pula hingga di sini, yaitu diantara Kita. Inilah penyebab kekacauan di dunia.

- “Eh, Nabil, Apa Kamu lihat gstring (kalsūn)19 ku?” tanya Fanny.
- “Tuh, di situ, di sebelah kasur,” jawab Nabil.

Fanny berjalan dengan telanjang, mencari gstring nya. Sementara, Nabil mengikutinya
dengan tidak menghentikan perbincangannya:

- “Sayang, dengarkan, Aku datang ke Barat mencari Negeri Ideal (al-Madīnah al-
Fāḍilah) sebagai salah satu impian al-Fārābī yang ingin menjadikan segala sesuatunya
menjadi role model. Dengan demikian, negeri atau kota yang ia ciptakan dengan
musiknya akan menjadi negeri yang benar-benar ideal. Apa Kamu mendengarku, Fan?”
- “Ya, Aku mendengarmu!” jawab Fanny sambil mencium gstringnya sebelum
mengenakannya.
- “Aduh, ini kotor, kucari yang bersih, tapi dimana kutaruh ya?” lanjut Fanny sambil
berjalan mencari gstring kedua di ember. Sementara, Nabil berjalan mengikutinya di
belakang.
19
Sejenis celana dalam khusus wanita dengan tali memanjang dan lembaran kain yang minim.

Page | 77
- “Dengar, Fanny! Bukankah musik adalah tolak ukur? Oleh karena itu, tolak ukur tersebut
akan menjadi acuan pada model pemukiman, perkotaan, dan populasi dengan
mengadopsi segala nilai-nilai Semit ….. Demikianlah, apa yang diyakini filsuf Arab, al-
Fārābī yang berbicara tentang Plato, Aristoteles, dan Negeri Ideal.”

Fanny mengenakan gstring dan celana panjangnya, lalu berkata:

- “Sekarang, Kau dengarkan Aku! Pergilah ke dapur. Setiap potongan pizza yang
kuletakkan dalam oven, jangan diapa-apakan jika tidak ingin pizzanya gosong seperti
tempo lalu,” ujar Fanny. Lalu, Fanny melekatkan ciumannya di pipi Nabil hingga
meninggalkan bekas yang mencolok dan ia bergegas keluar.
VI

Kebiasaan lama. Nabil selalu menemukan alas an tak terduga untuk kesulitan atau
kendala yang dialaminya. Fanny, yang dia kenal lebih baik daripada orang lain, memintanya
untuk membawa vas sekaligus bebungaan pagi yang disiram, menggantinya dengan yang segar,
dan menyirami tanaman di vas tersebut. Nabil kembali untuk berbaring di tempat tidur. Dia
menutup matanya dan Fanny kembali membaca terkait nada lama yang sama. Ketika Nabil
tampak mulai terlelap, Fanny meletakkan buku di comodino (kūmīdīnū)20 dan menciumnya di
dahinya yang demam seraya berbisik padanya.

- “Kamu akan membaik dan beradaptasi dengan cuaca baru. Kamu juga akan belajar
bagaimana hidup di masyarakat berbeda dan beragam karena kita semua tidak bisa
menjadi satu warna semata,” bisik Fanny.

Ketika Nabil mulai terjaga dari tidurnya, membuka kedua mata dan mulutnya, ingin
mengatakan sesuatu, tapi Fanny meletakkan jemarinya di kedua bibir Nabil, tanda untuk
menenangkannya.

- “Sudahlah, tidurlah, Sayang …. Kamu akan kembali sehat dan membaik esok pagi,” ujar
Fanny.

Pagi yang menyebalkan ….. Nabil terbangun di hari itu, merasa sangat muram. Tidak
diragukan lagi, bahwa pendekatan fisik Fanny melipatgandakan dorongan emosi, tetapi Nabil
tidak dapat menghabiskan seluruh waktunya di apartemen Fanny. Hubungan percintaan dengan
Fanny dilakukan di apartemen Nabil. Sudah pasti, lantaran si pria Turki dan anak-anak
remajanya beserta lenguhan kencang Fanny lah yang membuatnya tampak hampir mustahil.

Apa yang harus diperbuatnya? Dia belum bisa membeli alat cello untuk melanjutkan
pekerjaannya di bidang musik, maka ia pun berusaha menemukan sesuatu yang berbeda. Tidak
20
Kata “Comodino” berasal dari bahasa Italia yang berarti “meja samping” yang biasanya diletakkan di
sebelah tempat tidur.

Page | 78
mungkin menemukan Negeri Ideal (al-Madīnah al-Fāḍilah) …… Tetapi, sedikit demi sedikit,
ia mulai sadar bahwa Negeri Ideal (al-Madīnah al-Fāḍilah) yang diutarakan al-Fārābī adalah
khayalan, ya khayalan semata! Tapi, di saat bersamaan, ia tidak dapat membedakan dan menilai
khayalan-khayalan tersebut.

Sikap dingin adalah kesempurnaan dan beberapa kecerobohan atau ketidakpedulian


terhadap apa yang terjadi adalah penjelasan adanya sesuatu yang tidak beres, bukan?

Itu semua jauh dari khayalan belaka. Sekali lagi, kemampuan Nabil untuk beradaptasi
sikap ketidakpastian
adalah sikap ketidapastiannya yang hampir menjadi rutinitas.
Nabil yang hampir menjadi rutinitas dengan kemampuannya
untuk berubah. Tetapi, di sisi lain, ia meraa bahwa dirinya adalah tahanan dari mimpi
yang hampir masuk akal dan otoriter. Perubahan !

Akhirnya, keberanian membawanya untuk berjalan-jalan ke Waterloo Avenue, yang


biasanya dimulai dari Kamp Ataturk. Inilah caranya menyerah dengan berjalan di trotoar yang
lebar dan berpikir keras terkait sesuatu yang selaras dengan pagi yang indah seperti pagi ini.

Di sana, ada denyut nadi yang sepi yang sepi dan bising di jalan selama hari kerja yang
panjang. Sementara, banyak mobil berlalu-lalang di jalan. Akhirnya, dia berhenti di depan
gerbang pasar Dulis. Nabil masuk, membeli sebungkus rokok. Dia menghitung uang di sakunya
dan ternyata cukup untuk membeli sekaleng bir.

Semburat cahaya menyengat sampai pada titik di mana dia merasa hari itu begitu cerah di
Brussel. Matahari bersinar di Flagé Square. Sejenak, si gelandang merenung, sementara
Fanny lewat di depan Café Belga. Nabil beranjak menuju ke tengah jalan, di
tengah kilauan cahaya yang menyengat, dari bayangannya sendiri hingga ke
alun-alun. Dia mendapati seorang pemuda Afrika yang sedang duduk di teras
dengan seorang gadis berambut pirang. Kedua sepatu pemuda tersebut
berkedip seperti dua piring logam yang berkilauan.

Nabil mendapati dirinya maju perlahan, langkah demi langkah, sampai


dia mencapai titik terdekat dengan orang Afrika yang duduk bersama gadis
berambut pirang tersebut. Tanpa sadar, Navil menggerakkan bibirnya untuk
memberi salam padanya dan berharap agar pemuda tersebut menimpali
salamnya. Sejurus kemudian, dengan santai, Nabil duduk di bangku yang
terbuat dari batu di dekatnya sambil memegang sebatang rokok dan
sekaleng bir.

Page | 79
VII

Keesokan harinya, lagi-lagi Nabil bangun terlambat. Fanny meninggalkan


rumah lebih awal untuk bekerja pagi itu.

Nabil duduk di atas sofa dengan lesu dan tidak bersemangat. Ia


terlarut dalam ide Negeri Ideal (al-Madīnah al-Fāḍilah). Dengan Harmoni dan
cello lah yang membuatnya menunggu Fanny untuk dapat membelikannay
satu lagi, sehingga ia dapat menunjukkan keahliannya kepada penduduk
Belgia. Hanya dengan cello lah ia dapat berolahraga dan berfikir dengan
jernih. Hanya dengan cello lah, Nabil dapat menyusun karya yang ia
tawarkan kepada orang-orang.

Ia membaca catatan yang ditulis Fanny untuknya di dinding.

Cintaku,

Aku sisakan sepotong pizza besar Nepalitoni (nībālītūnī) di kulkas dan jangan
terlalu lama diletakkan di oven.

Jangan lupa untuk mengirimkan keranjang cucian ke westafel …. Aku sudah


memasukkan harganya ke dalam laci.

Si bibir seksi,

Fanny

Nabil berbalik ke dapur, mengambil sepotong pizza Neapalitone dari kulkas, kemudian
menaruhnya di oven dan menuang Coca-Cola untuk dirinya sendiri, serta mencari saus tomat.
Kemudian, ia mencari di kotak bungkus pizza tersebut, namun tidak ada. Ia pun mencarinya
kembali ke kulkas dan tidak menemukannya kembali. Lalu, ia iangat bahwa ia telah
membawanya ke balkon di mana dia makan hamburger di sana.

Ketika dia pergi ke balkon, dia melihat koran LaSouar dengan headline “Demonstrasi
Sayap Kanan di Sepanjang Jalan Brussels.” Sementara, polisi memperingatkan bahwa orang-
orang Salafi merencanakan untuk mengadakan demonstrasi pada hari yang sama terhadap
demonstrasi sayap kanan.

Page | 80
Dari sinilah, Nabil berfikir:

Mengapa ia tidak berpartisipasi dalam demonstrasi ini? Ide-idenya harus diambil dari
tempat kerja Fanny dan tidak harus tetap menjadi membusuk di apartemen gadis itu yang sempit
di kecamatan Eukles. Bahkan, migrasinya ke Barat adalah realitas, tidakkah al-Fārābī juga
berkata bahwa jika ada orang yang baik di negeri yang entah-berantah, maka sebaiknya ia
bermigrasi ke Kota atau Negeri yang Ideal?!

Jika Fanny tidak ada dalam ruang waktu Nabil, maka ia akan merasa asing dan hinggap
dalam kehidupan yang memprihatinkan, serta pada akhirnya ia hanya akan memilih untuk mati
dibanding hidup! Demikianlah ia menceritakan kedatangannya ke Eropa……Negeri Ideal (al-
Madīnah al-Fāḍilah). Tetapi, masalahnya adalah bahwa para imigran lah yang justru
mempersulit dirinya sendiri. Mereka pula lah yang mengacak-acak dan memperparah negeri ini.
“Kelas proletar” ala Marx! “Diam” dalam istilah al-Fārābī! Al-Fārābī menggambarkan mereka
sebagai kelompok pengacau, kriminal, pembunuhan, dan gangguan yang tidak mungkin ada
dalam berkarir di Negeri Ideal (al-Madīnah al-Fāḍilah).

Nabil memutuskan pergi ke Royal Park; dimana demonstrasi sayap kanan menuntut
pengusiran imigran dari negeri mereka. Kenyataannya, gagasan sayap kanan terkait hak bagi
Nabil adalah sesuatu yang tidak jelas sama sekali. Ia belum pernah berdiskusi pada salah satu
dari mereka atau mempelajari ide-ide mereka. Pacarnya, Fanny adalah pendukung sayap kiri
yang membenci tindakan keterlaluan dari kedua belah pihak (para imigran dan orang-orang
sayap kanan), dan ia tidak pernah mendendam pada para imigran karena mantan pacarnya dulu
adalah orang Afrika. Fanny juga pernah berpacaran dengan orang Turki dan orang Maroko di
saat yang sama.

Permasalahan yang dialami Fanny kali ini adalah kepribadian Nabil yang agresif. Ia
keluar dari rumahnya di Eukles, mengambil jalan Choucha de Waterloo untuk melewati bar Du
Sons Gille, dan kemudian naik bus lalu bergabung dengan kelompok demonstran. Ia menyusuri
jalan, menoleh dan memperhatikan ke segala arah, memperbaiki kacamata di atas kedua matanya
dengan jeari-jari tangan, dan memeriksa segalanya dengan baik dan sungguh-sungguh.
(Kacamatanya bermerk Prada Eyeglasses dengan bingkai logam berlapis emas yang melingkar,
menyerupai kacamata maestro yang ditunjukkan pada baliho di depan orchestra di toko music di
San Jose). Ia percaya bahwa esensi ide adalah menciptakan dunia keindahan, dunia yang selaras
nan harmonis, dan tidak ada lagi suara-suara cercaan.

Nabil tiba di demonstrasi tersebut. Banyak bendera kuning berkibar, wajah-wajah yang
dilumuri cat. Mereka mewarnai rambut mereka dengan berbagai warna. Sebagian diukir
ditubuhnya dengan menggunakan tato sebagai ungkapan penghinaan dan sumpah serapah pada

Page | 81
para imigran atau pencari suaka. Tanda-tanda yang diangkat ditulis dalam garis-garis yang
dimiliki Abad Pertengahan. Semua ini tidak mencegah Nabil untuk berlari dengan suka-cita bak
demonstran, tanpa beban, dan dengan riang-gembira seperti bermain; berada di tengah-tengah
dan meminta mereka dengan disiplin yang ia tahu untuk membawa salah satu spanduk-spanduk
mereka.

Wajah Nabil … wajah imigran, tidak salah lagi, hanya dia lah yang percaya bahwa rasa
aman lah yang dapat menyatukan manusia, bukan mitologi ras, metafisika warna, dan bukan pula
raut muka.

Itulah yang membuatnya ada di antara mereka dan berbaur sepenuhnya diantara mereka.

- “Heiiiiiiiiiiiiiiiiiiii,” teriak lantang salah satu dari mereka pada Nabil.

Wajah-wajah murka yang tak dapat dibendung. Nabil menyaksikan sendiri kebengisan
mata-mata yang mulai diarahkan ke wajahnya dengan kedua matanya. Ia bak mangsa yang
memasuki kandang predator, tangan-tangan demonstran yang mencengkramnya dari segala
penjuru. Tangan-tangan yang terlatih, merangsek bertubi-tubi dengan bengis. Bahkan, para
wanita pun turut berhamburan, menyergap ke arahnya.

Apa yang mereka pahami atas sikapnya?

Dia berusaha menjelaskan kepada mereka bahwa warna kulit, penampilan, dan tubuh
tidak ada hubungannya dengan pemikiran.

Tetapi; tidak ada waktu bagi sayap kanan untuk mendengar penjelasannya. Persoalan ini
harus diselesaikan oleh mereka sendiri. Dia adalah salah satu musuh besar mereka.

- “Hei ngengat, apa yang membuatmu datang ke negeri Kami?”


- “Kami akan mengembalikan tikus besar sepertimu ke sarangnya!”
Seorang wanita berteriak di wajahnya:
- Bajingan …. Bajingan … Kamu Bajingan!

Seorang wanita cantik yang biasa diajak oleh Nabil meneguk segelas bir jika ia
melihatnya di café kemarin. Wanita itu memiliki payudara yang sintal dan menjadi idaman para
wanita Belgia, kaki yang berbentuk indah dan memanjang, dan pantat yang membuat kedua
matanya tidak berkedip. Tetapi, payudara sintalnya terjatuh di atas kepala Nabil, di sebelah
spanduk kecil yang dibawanya bertuliskan:

- “Keluar dari negara Kami!”

Hampir semua demonstran mengepung Nabil untuk memukul dan menganiayanya. Ia


yang berada diantara mereka tahu bahwa dirinya pasti akan terbunuh. Ia pun menjelaskan bahwa
penyebab ini semua adalah tidak lebih dari kesalah pahaman.

Page | 82
- Apakah Kalian tahu pandanganku tentang Harmoni?

Siapa yang akan mendengarkanmu? Tidak banyak bicara, bagi mereka. Kematian terlihat
lebih mungkin dibanding bernegosiasi atau menjelaskan teorinya tentang al-Fārābī, Harmoni,
dan Negara Ideal (al-Madīnah al-Fāḍilah).

Tentu, ia menganggap mereka tak ubahnya seperti gonggongan anjing semata; ia hanya
bisa memandang lapisan demi lapisan wajah wanita pirang itu yang marah dan begitu juga
komat-kamit mulutnya. Wanita itu berbicara dengan Luca, mata-mata mereka meancarkan
kebencian dan menyimpan kebengisan yang mematikan. Nabil menyadari bahwa penghancuran,
pembunuhannya, dan ketercabik-cabikannya adalah keniscayaan: tendangan bertubi-tubi yang
menyasar ke dada dan perutnya. Mereka telah memastikan bahwa mereka telah mengatasi dan
menyelesaikan masalah mereka sendiri. Namun; diantara kaki-kaki itu, ia melihat sekelompok
besar orang berjenggot dan pakaian putih pendek yang menunjukkan bahwa mereka adalah
orang-orang Salafi yang menuju ke arahnya.

- Ahhhh ….. orang-orang Salafi datang!

Mereka pasti mengira bahwa salah satu saudara lelaki mereka yang seagama itu akan
dianiaya oleh para demonstran sayap kanan. Tentu, kesan yang muncul adalah perang
mempertahankan salah satu saudara seagama yang menjadi mangsa di antara taring serigala
orang-orang kafir.

Cukup masuk akal melihat para Salafi yang berubah menjadi Malaikat Kasih-Sayang
bagi Nabil.

Segalanya bisa terjadi di sini, di Eropa!

Nabil tidak lain sebagai sosok yang bukan bagian dari orang-orang Salaf tersebut yang
datang untuk menyelamatkannya, mereka merapat dengan membawa tongkat dan pisau untuk
membela pahlawan ini. Spontan, mereka telah menyelamatkannya.

Mereka menyeretnya keluar dari kepungan ekstrimis sayap kanan. Nabil terengah-engah,
hampir mati, dan kehabisan nafas. Terdiam. Tidak sedih ataupunbahagia. Ia hanya terdiam. Dia
hanya melihat sendiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Semburat raut wajah di
sekelilingnya tampak gembira, janggut hitam, wajah-wajah berkulit cokelat eksotis,
dashdasha21 putih, payudara sintal, kata demi kata yang keluar dari faring 22
Dashdasha adalah gamis yang biasa disebut oleh orang Kuwait,
21

Oman, dan Irak.


22
Faring, dari bahasa Yunani, pharynx, adalah tenggorok atau kerongkongan yang merupakan bagian
dari sistem pencernaan dan sistem pernapasan. Istilah ini terutama dipakai dalam kalangan ilmu kedokteran. Faring
adalah tabung fibromuskular yang terdapat persis didepan tulang leher yang berhubungan dengan rongga hidung,
rongga telinga tengah, dan laring.

Page | 83
dengan kencang, semuanya mengelilinginya, merangsek tepat di depan
kedua matanya, seolah-olah ia bak film sinematik dan bukan kenyataan.

Tidak lain …. Karena orang-orang Salafi telah menganggap bahwa


Nabil adalah pahlawan mereka.

Mereka memanggulnya, mengelilinginya di kumpulan demonstran


Salafi. Mata kiri Nabil yang tidak lagi dapat melihat karena salah satu
tendangan, ia melihat orang-orang Salafi dengan mata kanannya, mereka
bersorak gembira padanya sebagai pahlawan mereka, pahlawan muslim
yang merangsek demonstran sayap kanan seorang diri dengan keberanian
yang membara.

Demikianlah, mereka memanggulnya, mendudukkannya di salah satu


mobil mereka dan memindahkannya ke rumah salah satu dari mereka di
Chaussée de Axel.

VIII

Di rumah salah seorang Salafi di Chaussée de Axel, Nabil berbaring di sofa,


dibelakangnya ada bendera bertuliskan “Allahu Akbar” berwarna hitam
besar di atas dinding. Mereka meletakkan nampan besar berisi buah-buahan
di depannya, sebotol air, padahal ia sangat ingin minum segelas bir! Mereka
semua menyalaminya. Mereka bertiga sangat mirip dengan sekelompok
ekstrimis Islam yang mencegatnya di Baghdad, memukulnya, dan
membanting alat musiknya. Tidak salah lagi, mereka adalah orang-orang
Salafi, tetapi mereka berbeda dengan si pria Turki tukang pandai besi yang
memiliki kumis kuning menjuntai bak untaian yang terdampar.

- Siapakah orang Maroko ini? Beginilah asal mula mereka.

Ya, kemungkinan besar. Mereka tidak berbicara sepatah kata pun dalam bahasa Arab.
Mereka berbicara dengan bahasa Prancis secara baik, membuatnya sedikit cemburu.

Mereka mengucapkan selamat padanya atas apa yang ia lakukan untuk Islam.

Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia melihat dengan seksama dan dia benar-
benar bungkam. Mereka pikir dia takut atau trauma. Salah satu wanita diantara mereka? Dia
dikejutkan oleh sayap kanan ekstrimis yang hampir membunuhnya? Atau, apakah ia dikejutkan
oleh para Salafi yang menyelamatkannya?

Setelah beberapa saat, mereka semua keluar; mereka semua keluar untuk menyelesaikan
pertempuran mereka dengan orang-orang Sayap Kanan.

Page | 84
Pikiran Nabil benar-benar kosong. Teleponnya bordering, Fanny meneleponnya. Ia tidak
menjawab. Ia tidak mnjawabnya. Ia tidur sejam, kemudian bangun, dan berjalan menuju remote
control karena televisi terpampang di depannya. Ia menyalakan TV dan mulai mencari saluran
porno! Akhirnya ia merasakan satu hal, senyum.

Dia merasa bahwa keterikatannya dengan film-film Porno adalah semacam keterikatan
pada realisme. Film porno adalah semacam realisasi realitas, apa yang ditontonnya sekarang, saat
ini juga.

Daya tarik seks tidak sepenuhnya hilang ketika dilakukan secara terbuka, bahkan hal itu
akan menjadi kecemasan atau kegelisahan tersendiri. Namun, hal itu tidak selalu mengganggu
emosi, keinginan, atau gairah ….. bahkan memungkinkan adanya libido untuk merubah warna,
rasa, ritme, dan kekuatan dengan melucuti imajinasi emosional romantik dan menghadirkannya
secara mengagumkan dalam perubahan perasaannya yang halus pada setiap bagian-bagian yang
saling menyeruak.

Nabil menghabiskan sepanjang hari di rumah Salafi. Pagi harinya, ia pulang ke rumah.

Menyusuri jalan. Ada dua pikiran kelam dalam benaknya, satu tentang film porno dan
yang lainnya adalah sesegara mungkin membeli cello baru agar ia dapat melanjutkan
pekerjaannya di bidang musik.

Sekali lagi, dia punya pemikiran berbeda tentang Fanny. Jalan itu seolah selalu
menuntunnya menuju toko-toko pakaian; dan entah bagaimana ritme pikirannya mengalami
serangkaian pergulatan berturut-turut. Ia menyadari bahwa perannya yang kecil dalam beberapa
hari terakhir telah membuatnya kehilangan kehidupan umum sebagaimana mestinya di Eropa.

- Apa arti hidup baginya?

Sesuatu yang belum matang! Namun, melalui music lah yang dapat
mengantarkannya ke keselarasan dan keseimbangan di balik kontradiksi
hidup dalam tampilan umum suatu kenyataan. Dengan demikian, tempat-
tempat vital dan artistik di kota, dan beberapa café dan restoran,
mengungkapkan makna lain bagi kehidupan.

- Mungkin saja keragaman dan perbedaan antara manusia terhapus oleh


cahaya remang-remang dan anggur! Semua orang menjadi satu
budaya!

Banyak pandangan yang berbeda berubah menjadi perdebatan yang


harmonis. Awal keharmonisan ini disambut dengan rasa hati-hati. Tapi,
setelah fase itu berlalu, ia akan memahaminya. Sebaliknya, tanda-tanda
kehidupan batin tampak lebih intim, lebih lebih seimbang, tetapi hanya
muncul di penghujung berbagai kontradiksi materi.

Page | 85
*

Ia menyaksikan Chaussée de Axel, upacara pemakaman mewah,


seorang lelaki tua terbaring di peti mati di atas keranda yang dibungkus kain
beludru. Bunga dan karangan bunga terlalu banyak. Ada banyak orang di
toko pakaian karena harganya yang murah.

Ia melewati toko-toko Zara. Dia berhenti ketika lunglai untuk melihat


pakaian setelan hitam yang dapat dikenakan untuk berpartisipasi dalam
Pesta Musik Indoor.

Ia menelpon Fanny, namun tidak diangkat. Ia melewati stasiun metro


Port de Namur. Ia menyusuri gedung-gedung pencakar langit. Pun, melewati
kemacetan lalu lintas sambil terus berfikir dan menyusuri lorong jembatan
penyeberangan. Melewati Chaussée de Wavre. Berjalan di gang belakang.
Memasuki toko buku Villegran, melihat fotonya di Koran Loisur yang
dipanggul oleh orang-orang Salaf.

Di bawah gambar itu:

Salah seorang Salafy Menyerang Demonstran Sayap Kanan

Ia tersenyum dan keluar meninggalkan toko sekaligus perpustakaan


buku tersebut.

Ia masuk ke café internet untuk memeriksa e-mailnya. Menyeberang


jalan dengan cepat padahal lampu apill hijau belum menyala. Ia melewati
toko alat-alat musik di San Jose, mendapati tempat cello itu kosong, dan
menghilang sebelum penjual lama melihatnya.

Ia melihat kios sayur di seberang jalan apartemennya. Ia membeli


buah dan naik tangga apartemen. Ia membuka laci-laci dapur, mengambil
pisau, mengupas jeruk, lalu membuka pintu balkon, dan membuang kulit-
kulit jeruk tersebut di tempat sampah.

Ia menikmati jeruk dan memutuskan untuk mandi.

- Namun, tiba-tiba ia tersungkur lemas, tak berdaya

(19)

Page | 86
Page | 87

Anda mungkin juga menyukai