Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah kebijakan pemerintah kolonial Hindia
Belanda yang berpendapat bahwa Belanda harus bertanggung jawab bagi kesejahteraan
pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik dan reaksi terhadap politik tanam paksa. Dalam
Politik Etis ini Belanda memperkenalkan pendidikan modern untuk orang Indonesia sebagai
kompensasi atas keuntungan yang didapat Belanda selama Tanam Paksa.
Politik Etis tak lain adalah dampak dari Politik Tanam Paksa dan Politik Liberal di
Hindia Belanda pada abad ke 19. Dalam masa ini penjajah Belanda membangun
perkebunan-perkebnunan untuk menghasilkan tanaman ekspor dan memaksa penduduk
Indonesia sebagai pekerja.
Meski keuntungan yang didapat pengusaha Belanda besar, penduduk adli Indonesia
harus menderita karena harus bekerja dengan gaji kecil dan kondisi berat. Kondisi
memprihatinkan ini akhirnya mencuat setelah ditulis oleh penulis Multatuli (nama asli Eduard
Douwes Dekker) dalam novelnya “Max Havelaar”, yang bercerita tentang penderitaan
pekerja pribumi di perkebunan kopi milik pengusaha Belanda. Akibat tulisan ini, disertai
dengan aktivisme di Belanda dari Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan
C.Th. van Deventer (politikus), maka pemerintah Belanda menjalankan politik Etis atau
Politik Balas Budi yang berusaha meningkatkan pendidikan dan kondisi kehidupan
penduduk asli Hindia Belanda.
Para tokoh ini misalnya adalah Dr Soetomo, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara), dan Dr Cipto Mangunkusumo yang merupakan lulusan STOVIA (Sekolah
Kedokteran di Batavia) dan Ir Sukarno yang merupakan lulusan Technische Hoogeschool te
Bandoeng (Sekolah Teknik Bandung, sekarang ITB). Para lulusan sekolah dengan
pendidikan modern ini memimpin pergerakan kemerdekaan, mulai dari pendirian organiasi
pertama seperti Budi Utomo dan Indische Partij. Kemudian tahap berikutnya adalah
persatuan organisasi pergerakan dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928, hingga
berpuncak pada kemerdekaan Indonesia. Kebangkitan nasional dan pergerakan
kemerdekaan ini tidak akan mungkin tanpa adanya para tokoh yang visioner dan memiliki
kemampuan yang handal, sebagai hasil pendidikan modern. Dan pendidikan ini adalah hasil
yang didapatkan dari Politik Etis ini.
Dalam sejarah, tepatnya awal abad ke-20, para priyayi menuangkan gagasannya
melalui pers (jurnalis) atau media cetak terkait isu-isu perubahan. Isu-isu yang dipopulerkan,
yaitu terkait dengan peningkatan status sosial rakyat bumiputra dan peningkatan kehidupan
di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Kata kemajuan menjadi populer pada saat itu.
Kemajuan saat itu diartikan dengan pendidikan, pencerahan, peradaban, modernisasi, dan
kesuksesan hidup. Pada dekade itu ditandai dengan junlah penerbitan surat kabar
berbahasa Melayu yang mengalami peningkatan. Orang-orang pertama yang aktif dalam
dunia pers kala itu diantaranya H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger
dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Pada abad itu penerbit
Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan
surat kabar berkembang pesat. Dalam perkembangan kemudian kaum bumiputra juga
mengambil bagian. Mereka mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian
peran mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa. Bermula
dari itulah para bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke 20
adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya,
sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
Sementara itu, di Surakarta R. Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang
diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., di Yogyakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai
redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodheomillah diterbitkan oleh Firma H. Buning.
Bermunculannya media cetak itu segera diikuti oleh sejumlah jurnalis bumiputra lainnya.
Mereka adalah R. Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar
Djawa yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang
diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur
Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kloff & Co.
Para jurnalis bumiputra itulah yang memberikan wawasan dan ‘embrio kebangsaan’
melalui artikel, komentar-komentar mereka dalam surat pembaca, dan mengungkapkan
solidaritas diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda
terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T Kusumo Utaya seorang
Bupati Ngawi, yang menyerukan persatuan di kalangan priyayi. Mereka juga mendapatkan
dukungan dari simpatisan dan pelanggan dengan 15 cabang di Jawa, Madura, dan
Sumatera (Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikal Rakyat di Jawa 1912-1926).
Sedangkan pergerakan kebudayaan ‘cetak’ mulai masuk di beberapa kota kolonial
lain, seperti Surabaya, Padang, dan Semarang. Kapitalisme cetak mempermudah kaum
terdidik untuk memperoleh informasi. Pada tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde
diterbitkan atas kerjasama para terpelajar di Kota Padang dengan guru-guru Belanda di
sekolah raja (Kweekschool) Bukittinggi, terutama van Ophuysen, ahli bahasa Melayu.
Pemimpin redaksinya (pemred) adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan
Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Perja Barat dan majalah bulanan
berbahasa Batak, Tapian Nauli. Majalah ini disebarkan ke seluruh Sumatera dan Jawa.
Majalah itulah yang pertama memperkenalkan slogan ‘kemajuan dan zaman maju’. Bahkan
satu artikel menarik dalam Insulinde adalah kisah kemenangan Jepang, negara ‘kecil’ yang
menang mengalahkan Tiongkok yang besar. Kemenangan Jepang itu disebabkan
keberhasilannya dalam memasuki dunia maju. Ulasan tentang perkembangan yang terjadi di
dunia maju secara terbuka mengajak para pembaca untuk ikut serta dalam zaman
kemajuan. Majalah itu tidak saja memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi
juga memuat tentang berita Asia dan Eropa.
Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda
menganjurkan pada tokoh muda Hindia untuk membentuk sebuah organisasi. Dalam
tulisan-tulisannya dalam Bintang Hindia ia selalu memuat tentang kemajuan dan dunia maju.
Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan
kaum muda. Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan
harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapainya kemajuan dan terwujudnya
dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda
didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.
Banyak yang tertarik tulisan Rivai. Seperti Wahidin Soedirohoeodo. Wahidin
menyampaikan gagasannya ketika para pelajar Stovia, sekolah dokter Jawa, mendirikan
suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1008 (Taufik Abdullah dan B. Blapain
edisi 2012). Selanjutnya, muncul beberapa surat kabar yang kemudian membawa kemajuan
bagi kalangan pribumi yakni Medan Prijaji (1909-1913) dan juga terbitan wanita pertama
yang terbit berkala yaitu Poetri Hindia (1908-1913) dengan editor R.M. Tirtoadisurya
memuat tentang tulisannya, bahwa untuk memperbaiki status dagang ‘pedagang bangsa
Islam’, perlu ada organisasi yang anggota-anggotanya terdiri atas para pedagang sehingga
orang kecil tidak bisa dikalahkan karena mereka bersatu.
Seiring masa, kemajuan terus merebak melalui pers. Pers Bumiputra juga
mempunyai fungsi untuk memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu. Dan surat kabar
yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial kala itu adalah De Express. Surat
kabar itu memuat berita-berita propaganda ide-ide radikal dan kritis terhadap sistem
pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan
Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdengking van Negerlands Hondderedjarige Vrijheid
(Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan dari Perancis), yang kemudian
disebut dengan Komite Boemi poetera (1913). Tujuan panitia itu untuk mengumpulkan dana
dari rakyat untuk mendukung perayaan kemerdekaan Belanda. Dibalik itu untuk mengkritik
tindakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaannya di tanah jajahan dengan
mencari dana dukungan dari rakyat.
Singkat cerita, tiga serangkai ditangkap, yaitu Cipto Mangunkusumo, Suwardi
Suryaningrat, dan Douwes Dekker, untuk diasingkan ke luar Jawa. Cipto mulanya
diasingkan ke Bangka, kemudian ke Belanda. Seorang jurnalis bumiputera yang gigih
memperjuangkan kebebasan pers dikenal dengan nama Semaun. Ia mengkritik beberapa
kebijakan kolonial melalui Sinar Hindia. Kritiknya mengenai haatzaai artikelen, yang
menurutnya sebagai sarana sebagai sarana untuk membungkam rakyat dan melindungi
kekuasaan kolonial dan kapitalis asing. Atas kritikannya itulah ia diadili dan dijebloskan ke
penjara. Seorang aktivis dan juga jurnalis, Marco Kartodikromo dikenal dengan kritikannya
yang tajam terhadap program indie weerbaar dalam bentuk syair. Kritik tajam itu ditujukan
pada dewan kota yang sebagian besar adalah orang Eropa.
3. Bangkitnya nasionalisme
Organisasi Budi Utomo (juga disebut Boedi Oetomo) merupakan sebuah organisasi
pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan
Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. yang Digagaskan oleh Dr.
Wahidin Sudirohusodo dimana sebelumnya ia telah berkeliling Pulau Jawa untuk
menawarkan idenya membentuk Studiefounds..
Sejatinya organisasi ini Dipelopori oleh pemuda-pemuda dari STOVIA, Sekolah Peternakan
dan Pertanian Bogor, Sekolah Guru Bandung, Sekolah Pamong Praja Magelang dan
Probolinggo serta Sekolah Sore untuk Orang Dewasa di Surabaya. Para pelajar terdiri dari
Muhammad Saleh, Soeradji, Soewarno A., Suwarno B., R. Gumbreg, R. Angka, Goenawan
Mangoenkoesoemo dan Soetomo. Nama Budi Utomo sendiri diusulkan oleh Soeradji dan
semboyan yang dikumandangkan adalah Indie Vooruit (Hindia Maju) dan bukan Java
Vooruit (Jawa Maju). Gagasan Studiesfounds yang ditawarkan oleh Dr. Wahidin
Sudirohusodo sejatinya bertujuan untuk menghimpun dana guna memberikan beasiswa bagi
pelajar yang berprestasi dan memiliki perekonomian yang lemah sehingga tidak dapat
melanjutnya studinya. Gagasan itu tidak terwujud, akan tetapi gagasan itu melahirkan Budi
Utomo. Tujuan Budi Utomo sendiri ialah memajukan pengajaran dan kebudayaan.
Untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai, Budi Utomo menerapkan usaha-usaha sebagai
berikut:
1. memajukan pengajaran
2. memajukan perdagangan, peternakan dan pertanian
3. menghidupkan kembali kebudayaan.
4. memajukan teknik dan industri
Seandainya dilihat dari tujuannya, Budi Utomo bukan merupakan organisasi politik
akan tetapi merupakan organisasi pelajar dengan pelajar STOVIA yang menjadi bagian
intinya. Sampai menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta organisasi ini telah
memiliki 7 cabang, yakni di Bogor, Batavia, Bandung, Yogyakarta, Magelang, Ponorogo dan
Surabaya. dalam mengejar kepentingannya Budi Utomo pada dasarnya menerapkan
strategi dengan bersifat kooperatif terhadap pemerintah belanda.
Untuk mengkonsolidasi diri (dengan dihadiri 7 cabangnya), Budi Utomo menggelar kongres
yang pertama di Yogyakarta yaitu pada 3-5 Oktober 1908. Kongres menghasilkan
kesepakatan sebagai berikut :
1. Kegiatan Budi Utomo terutama difokuskan pada bidang pendidikan dan kebudayaan.
2. Budi Utomo tidak ikut dalam mengadakan kegiatan politik.
3. Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat organisasi.
4. T. Tirtokusumo (Bupati Karanganyar) dipilih sebagai ketua Budi Utomo.
5. Ruang gerak Budi Utomo terbatas pada Pulau Jawa dan Madura .
Sampai dengan akhir tahun 1909, Budi Utomo telah memiliki 40 cabang dengan
jumlah anggota sekitar 10.000 orang. Akan tetapi, dengan adanya kongres tersebut mulailah
terjadi pergeseran pimpinan dari generasi muda ke generasi tua. Sehingga tidak sedikit
anggota muda yang menyingkir dari barisan depan, dan menyisakan golongan priayi dan
pegawai negeri sebagai anggota mayoritas di Budi Utomo. Dengan demikian, sifat
protonasionalisme dari para pemimpin yang tampak pada awal berdirinya Budi Utomo
terdepak ke belakang.
Mulai tahun 1912, saat Notodirjo menjadi ketua Budi Utomo menggantikan R.T.
Notokusumo, Budi Utomo ingin mengejar ketinggalannya. Akan tetapi, hasilnya tidak begitu
signifikan karena pada saat itu telah muncul organisasi-organisasi nasional lainnya, seperti
Indische Partij (IP) dan Sarekat Islam (SI). Akan tetapi Budi Utomo tetap memiliki andil dan
jasa yang besar dalam sejarah pergerakan nasional, yaitu telah membuka jalan dan
mempelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal 20 Mei
(Tanggal Berdirinya Budi Utomo) ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional.