Kelas : XI IPS 2
No abs : 02
birokrasi kolonial.
Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari masingmasing daerah atau pihak
Indonesia ini bisa diadu domba. Orang-orang
Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan
dengan pasukan Padri. Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntungkan
dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah,
karena itu, menurutnya sudah sewajarnya Belanda membayar utang budi itu
yang didapat dari hasil ekploitasi di tanah Hindia harus dikembalikan. Untuk
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik
Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang
program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Adanya Politik
negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru
ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa
bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju
modernitas.
Pada awal abad ke-20, para priyayi baru menuangkan gagasannya melalui
kemajuan menjadi populer pada saat itu. Kemajuan saat itu diartikan dengan
dan pergerakan nasional. Pada dekade itu ditandai dengan jumlah penerbitan
pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O.
Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan
Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa
pada mulanya magang pada jurnalis Indo dan Tionghoa, kemudian peran
mereka meningkat sebagai redaktur surat kabar orang Indo dan Tionghoa.
Bermula dari itulah para bumiputra itu mendirikan sendiri penerbitan surat
dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redaktur Ilmoe Tani, Kabar
Buning.
Jusuf. Keduanya adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij
& Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoer yang diterbitkan di Malang oleh
Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdul Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia
yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co. Para jurnalis bumiputra itulah yang
memberikan wawasan dan ”embrio kebangsaan” melalui artikel, komentarkomentar mereka dalam
surat pembaca, dan mengungkapkan solidaritas
diantara mereka dan para pembaca yang sebagian besar adalah kaum muda
terpelajar. Misalnya Pewarta Prijaji yang disunting oleh R.M.T. Kusumo Utoyo
15 cabang di Jawa, Madura, dan Sumatera (lebih lanjut baca Takashi Shiraishi
tahun 1901, sebuah majalah bulanan Insulinde diterbitkan atas kerja sama
redaksi majalah itu adalah Dja Endar Muda, seorang wartawan keturunan
Tapanuli yang juga telah menerbitkan surat kabar Pertja Barat dan majalah
slogan “kemajuan” dan “zaman maju”. Satu diantara artikel menarik yang
pembaca untuk ikut serta dalam zaman “kemajuan”. Majalah itu tidak saja
memuat artikel tentang bangsa Hindia Belanda, akan tetapi juga memuat
tentang berita Asia dan Eropa. Sementara itu, tokoh muda dr. Abdul Rivai yang baru datang dari Belanda
menganjurkan pada tokoh muda di Hindia untuk membentuk sebuah organisasi
brosur yang berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (“Seandainya Saya menjadi
Seorang Belanda”). Tulisan ini berisi kritikan yang sangat tajam kepada Belanda
yang tidak tahu malu karena minta dana kepada rakyat yang dijajah untuk
naskah itu dalam surat kabar De Preanger Bode. Juga Widnjadisastra sebagai
syair. Kritik tajam Marco itu ditujukan pada Dewan Kota yang sebagian besar
3. Bangkitnya Nasionalisme
sosialisme.
Perlu diingat bahwa dengan pelaksanaan Politik Etis telah mendorong lahirnya
semakin luas dan terbuka sehingga memperlancar berkembangnya pahampaham baru di Indonesia.
Paham baru itu misalnya nasionalisme. Paham
telah dilakukan.
Di samping didorong oleh pelaksanaan Politik Etis sebagai pembuka
baru, secara eksternal, munculnya kesadaran nasional itu juga dipicu oleh
tetapi ada juga yang nasionalis, ada dari kelompok pemuda tetapi juga ada
kelompok perempuan. Dalam strategi ada yang kooperatif dan ada juga
non-kooperatif.
Organisasi yang berikutnya adalah Sarekat Islam (SI). Pada mulanya SI ini
dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tahun 1911 K.H.
Samanhudi secara resmi mendirikan SDI. Pada tahun 1912 nama SDI diganti
Sarekat Islam (SI) oleh HOS Cokroaminoto. Pada tahun 1912 itu juga berdiri
organisasi yang bercorak politik yakni Indische Partij (IP). Pendiri organisasi itu
dikenal dengan sebutan “Tiga Serangkai”, yakni: Douwes Dekker, dr. Cipto
Sumber: Keselarasan dan Kejanggalan Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX,
1985.
Tujuannya antara lain memurnikan ajaran Islam sesuai dengan ajaran AlQuran dan Al-Hadis.
Tindakannya adalah amar makruf nahi munkar, atau
mengajak hal yang baik dan mencegah hal yang buruk. Kemudian muncul
Januari 1926, di Surabaya. Sebagai pendiri organisasi ini adalah Kyai Haji
Hasyim Ashari dan sejumlah ulama lainnya. Organisasi itu berpegang teguh
Islam ini sekarang merupakan organisasi massa Islam yang cukup besar di
Indonesia.
I.J. Kasimo pada tanggal 22 Februari 1925. Organisasi ini juga bergerak
kemajuan Indonesia.
Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani”. Dalam waktu singkat Taman Siswa ini sudah berkembang pesat.
diubah menjadi Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan diubah lagi
nasional.
Demi mempertahankan
Indonesia. Asas perjuangannya berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), nonkooperasi dan marhenisme
(orientasi kerakyatan).
sudah ada, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi ini sebenarnya
Vereniging (ISDV). ISDV berdiri pada 9 Mei 1914 atas prakarsa Sneevliet.
saat kongres yang ke-7 nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di
Hindia, dan dipertegas pada tanggal 23 Mei 1920 menjadi Partai Komunis
PKI yang pertama adalah Semaun. Pada tahun 1921 diterapkan disiplin
partai, yakni bagi setiap anggota yang rangkap anggota PKI dan SI, harus
memilih salah satu. PKI berkembang menjadi partai radikal dan sekuler. PKI
yang cinta tanah air. Anggota Trikoro Darmo umumnya terdiri atas para
pelajar STOVIA dan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
kemerdekaan perlu ada saling kerja sama, perlu persatuan dan kesatuan. Hal