1. Politik Etis Membuka Cakrawala Pemikiran Persatuan Indonesia Pada 1901, Politik etis mulai diterapkan oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda dengan persetujuan Ratu Belanda. Wilhelmina. Politik etis adalah politik balas Budi kepada masyarakat pribumi di tanah jajahan, Conrad Theodore van Deventer yang mencetuskan ide ini berusaha memajukan negeri jajahan melalui tiga poin utama (Trias Politika van Deventer), yaitu irigasi (Pengairan), emigrasi (transingrasil, dan edukas: (Pendidikan). Pendidikan mulai berkembang sejak adanya politik etis. 2. Pers Membawa Kemajuan Pers menjadi sarana berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, kemajuan, dan pergerakan nasional. Salah satu contohnya adalah pers bumiputra yang berfungsi untuk memobilisasi pergerakan pada saat itu. Sampai akhir abad ke-19, koran yang terbit di Batava hanya memakai bahasa dan Belanda dan diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (Penguasa Dalam Negeri), Pada tahun 1856 keluar UU Pers untuk membatasi kegiatan pers harena koran mulai digunakan mengkritik pemerintah. Lahirnya UU Pers mendorong tumbuhnya pers berbahasa melayu. Pers yang aktif antara lain adalah orang Indo, seperti H.C.O. clockener Brousson dari "Bintang Hindia", dan pers Iainnya, yang selanjutnya penerbitan Tionghoa mulai bermunculan. Munculnya koran dan majalah hemudian diikuti oleh tampilnya wartawan bumiputra. 3. Bangkitnya Nasionalisme Pada awal abad ke-20, paham nasionalisme memasuki Indonesia. Paham tersebut telah mendorong lahimya kesadaran nasional, kesadaran hidup dalam suatu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Munculnya kesadaran nasional itu juga dipicu oleh beberapa peristiwa dunia. Misalnya, Gerakan Turki Muda, Revolusi Tiongkok, serta Gerakan Nasional di India dan Filipina. Pada periode awal pergerakan kebangsaan telah muncul organisasi Budi Utomo (BU) yang dibentuk pada 20 Mei 1908 (yang kemudian ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional) di Batavia oleh Sutomo dan teman-temannya dari STOVIA. Selanjutnya, muncul Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dibentuk oleh H. Samanhudi di Surakarta (1911). SDI bertujuan memperkuat persatuan para pedagang pribumi. Pada tanggal 10 September 1912 dalam kongresnya di Surabaya, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Pada tahun itu juga terbentuk organisasi bercorak politik yang pertama, yaitu Indische Partij (IP) di Bandung dengan tokohnya Ernest Eugene Francois Douwes Dekker (dr. Danudirdja Setiyabudi), dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Mereka sering disebut Tiga Serangkai. Tujuan IP adalah mencapai Indonesia merdeka. Di bidang keagamaan Islam, lahir organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912 di Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan. Selanjutnya, muncul Nahdlatul Ulama (NU) didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari di Surabaya pada 21 Januari 1926. Ada juga Majelis A'la Indonesia (MIAI) dibentuk dari hasil pertemuan ulama di Surabaya 18-21 September 1937. K.H. Hasyim Asy'ari sebagai pencetusnya yang didukung K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah dan Wondoamiseno dari Sarekat Islam. Sementara itu, dari kalangan Nasrani terbentuk Perkumpulan Katolik Jawi oleh L.J. Kasmo 22 Februari 1925. Tujuannya adalah berusaha sekuat tenaga untuk kemajuan Indonesia. Di bidang sosial dan pendidikan muncul Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewan tara) yang membuka Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta, pada 3 Juli 1922. Awalnya bernama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa. Tujuannya adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya. Lahir pula pergerakan yang bersifat nasionalis, contohnya adalah Perhimpunan Indonesia (PI) yang awalnya bernama Indische Vereeniging (1908) oleh para pelajar Indonesia di Negeri Belanda, seperti R.M. Noto suroto, R. Panji Sostrokartono, dan R. Hoesein Djaja diningrat. Kemudian, datanglah aktivis perjuangan dari Indonesia, seperti Moh. Hatta, Iwa Kusumasumantri, dan J.B. Sitanala. Sebagai media penyebar gagasannya diterbitkan majalah Hindia Poetra. Indische Vereeniging di tahun 1924 berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging dan di tahun 1925 berubah nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Nama majalah terbitan mereka juga berganti menjadi "Indonesia Merdeka". Terilhami oleh Pl, di Bandung kemudian terbentuk Partai Nasional Indonesia oleh Soekarno, Gatot Mangkuprojo, dan lain-lain. Awalnya, bernama Perserikatan Nasional Indonesia yang berdiri 4 Juli 1927. Kemudian diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Organisasi ini berasaskan self help, nonkooperatif, dan Marhaenisme, sedangkan tujuannya adalah mencapai Indonesia merdeka. Sebelumnya muncul organisasi revolusioner, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi ini berawal dari Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) yang terbentuk tahun 1914 di Semarang. Pada Mei 1920 namanya berubah menjadi Perserikatan Komunis Hindia (Indonesia). Desember 1920 berubah nama lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang diketuai Semaoen. Lahir pula organisasi kepemudaan daerah. Seperti, Jong Java (Trikoro Dharmo) yang didirikan di Batavia pada 7 Maret 1917; Jong Sumatranen Bond (didirikan 9 Desember 1917 di Batavia oleh para pelajar Sumatra); Jong Ambon (didirikan tahun 1918): Jong Minahasa dan Jong Celebes (Jong Minahasa dibentuk 25 April 1919, sedangkan Minahasa Celebes muncul 1917). Kaum perempuan juga membentuk organisasi diantaranya Putri Mardika (bagian dari Budi Utomo); Kartini Funds (didirikan oleh Tuan dan Nyonya C. Th. van Deventer); Kautamaan Istri (berdiri sejak tahun 1904 di Bandung oleh R. Dewi Sartika); Kerajinan Amal Setia (di Kota Gadang, Sumatra Barat (1914) oleh Rohana Kudus); Aisyiah (didirikan pada 22 April 1917 bagian dari Muhammadiyah; Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (pada Juli 1917 oleh Maria Walanda Maramis di Menado, Ahn Sulawesi Utara). 4. s 5. s