Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Gerakan Pemuda, Ambil Apinya!

Gerakan pemuda tidak hanya dimaknai sebatas insureksi belaka. Tetapi ada trayek panjang yang
koheren. Tanpa adanya surat kabar, kelompok belajar, lembaga pendidikan dan gerakan sosial politis,
tentu tidak akan ada kemerdekaan seperti yang kita nikmati saat ini. Gerakan sekarang ialah merawat
kemerdekaan agar kembali pada marwahya. Bukan sekadar jargon-jargon nasionalis kosong yang
membius.

Reporter terakota - 31/10/2018

Ilustrasi (Sumber: Kompasiana.com)

Oleh: Wahyu Eka Setyawan*

Terakota.id— Pada tanggal 28 Oktober kemarin, kita memperingati 90 tahun Sumpah Pemuda. Dimana
perkumpulan pemuda dari seluruh penjuru Indonesia, berkumpul dan menghasilkan sebuah risalah yang
berisi; bertanah air satu Tanah Air Indonesia, berbangsa satu Bangsa Indonesia dan berbahasa satu
Bahasa Indonesia. Namun proses terbentuknya risalah tersebut tidaklah instan.

Berdasarkan catatan sejarah dari Ricklefs (2001) dalam karyanya yang berjudul Sejarah Indonesia
Modern 1200-2004, pada bab Zaman Penjajahan Baru, terdapat sebuh poin penting yang menjadi titik
balik pergerakan Indonesia. Yakni, kebijakan politik etis yang dicetuskan oleh Theodor van Deventer dan
disetujui oleh Ratu Wilhemina pada tahun 1901.

Politik etis ini merupakan salah satu kebijakan filantropis Belanda, yang berakar dari kritik Eduard
Douwes Dekker dalam karyanya Max Havelaar pada 1860. Walaupun berbentuk sebuah novel, tetapi isi
yang realis menceritakan ketimpangan secara telanjang di Hindia Belanda (Indonesia) kala itu. Sehingga
mengusik telinga parlemen. Sampai kemudian kebijakan politik etis dicetuskan. Selain karena kritik dari
Douwes Dekker, kebijakan politik etis juga dipengaruhi oleh konstelasi ekonomi politik Belanda.

Ilustrasi (Sumber: medium.com)


Memasuki tahun 1870-1900 Belanda menganut laissez-faire atau paham yang membebaskan pemodal
untuk bermanuver. Karena negara tidak berhak mengintervensi sektor privat. Paradigma politik liberal
yang menjadi suatu platform politik di Belanda saat itu, memunculkan gagasan bahwa Hindia Belanda
merupakan ruang kapital yang potensial. Mengingat infrastruktur masih minim, pendidikan masih
terbelakang, tentu akan mempengaruhi ekspansi kapital Belanda di Hindia Belanda. Maka guna
memperlanjar lintasan modal, parlemen mencetuskan politik etis, yang isinya terkait irigasi, migrasi dan
edukasi. Dimana hal tersebut sangat relevan dengan kebutuhan ekspansi kapital Belanda.

Multi-Platform Pergerakan Pra Kemerdekaan

Pasca politik etis diimplementasikan, terdapat perubahan yang cukup signifikan dalam pergerakan
Indonesia. Pada 1906 Tirto Adhi Soerjo mendirikan Sarekat Priyayi, kemudian satu tahun kemudian
tepatnya 1907 lahirlah Medan Priyayi. Pada tahun 1910 Medan Priyayi menegaskan posisinya sebagai
harian (surat kabar), yang merupakan media alternatif berbahasa Melayu dan dikelola oleh pribumi.
Tujuan Tirto mendirikan Medan Priyayi untuk menyebarluaskan pengetahuan kepada masyarakat. Agar
mereka tahu bagaimana watak kolonial Belanda. Agar tidak selamanya terbelenggu oleh kebodohan
tersetruktur yang disengaja diciptakan oleh kolonial Belanda.

Setahun setelah Medan Priyayi, lahirlah Boedi Oetomo. Organisasi ini hadir dengan ranah kerja di bidang
sosial, ekonomi dan kebudayaan. Para pendiri Boedi Oetomo berlatar belakang mahasiswa Stovia.
Seperti; Wahidin Soedirohusodo, Soeradji dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Orientasi mereka
mendirikan Boedi Oetomo lebih ke penyadaran, serta penyebarluasan pengetahuan terkait kondisi
Hindia Belanda saat itu, dan memilih untuk tidak berpolitik. Beberapa tahun berselang tepatnya tahun
1911, Tirto Adhi Soerjo mendorong Haji Samanhudi untuk membentuk organisasi bernama Sarekat
Dagang Islam, guna mewadahi pedagang-pedagang muslim yang saat itu diperlakukan kurang adil.

Baca juga : Warisan Kebencian Terhadap Etnis Tionghoa

Tahun 1912 Sarekat Dagang Islam berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI), dengan pemimpin barunya
H.O.S Tjokroaminoto. Segera setelah itu Tjokro dengan cepat mendirikan cabang SI di seluruh Jawa.
Bahkan meluas sampai luar pulau. Pada tahun 1919 anggota SI mencapai 2 juta orang. SI sendiri
berorientasi sosial-politik, dengan menekankan pada pandangan Islam. Ini terekam dalam prinsipnya,
Manhijul Hayal (meliputi aspek kehidupan secara komprehensif dengan corak Islam). Pergerakan
bercorak Islam tidak hanya SI saja. Pada tahun yang sama dengan kelahiran SI, 1912, KH. Ahmad Dahlan
mendirikan Muhammadiyah. Organisasi ini berorientasi pada pendidikan dan penegakkan ajaran Islam
yang sesuai Quran dan Sunah.
Pergerakan yang dikawal para pemuda kemudian meluas. Hal ini berawal dari kedatangan seorang
marxist bernama Hendricus Sneevliet ke Hindia Belanda pada 1913 untuk bekerja. Pada tahun 1914 ia
mendirikan ISDV (Indischee Sociaal-Demokratische Vereninging “Perkumpukan Sosial-Demokrat Hindia”).
Sneevliet ini sama seperti Tjokroaminoto, ia memberikan warna baru dalam pemikiran pemuda kala itu.

Jika Tjokro di awal SI membagun kelompok belajar di kos-kosannya, yang beranggotakan Sukarno,
Musso, Kartosuwiryo dan Alimin. Maka pola serupa dilakukan oleh Sneevliet, kader yang benar-benar
dididik oleh dia adalah Semaoen yang juga kader SI serta pengurus VSTP (Sindikat Buruh Kereta Api).
Selain Semaoen, tercatat ada nama-nama seperti Musso, Alimin, Darsono, Haji Misbach dan Mas Marco
Kartodikromo. ISDV ini kemudian memecah SI menjadi dua golongan, SI Merah dengan pandangan
Marxist dan SI Putih lebih ke Islam. Selanjutnya, SI Merah ini akan memisahkan diri dari SI dan menjadi
Partai Komunis Indonesia.

Foto Sang Guru Para Pendiri Bangsa, H.O.S. Tjokroaminoto. (Dok. Marliana Eka Fauzia)

Selain keberadaan SI, pergerakan juga melahirkan corak yang beragam. KH. Wahab Chasbullah dan Mas
Mansoer mendirikan Nahdlatul Wathon, sebuah sekolah Islam dengan silabus modern pada tahun 1914.
Berselang beberapa tahun kemudian, KH. Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Tujjar yang
berorientasi pada perdagangan. Nahdlatul Tujar sendiri dipimpin oleh Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari,
organisasi ini mewadahi para pedangan dan petani Islam, agar sesuai dengan nilai-nilai tradisional serta
agar mampu bertahan. Berselang 12 tahun kemudian tepatnya tahun 1926, di Surabaya Nahdlatul Ulama
lahir. Organisasi yang mengusung semangat kemerdekaan dengan platform Islam tradisional.

Baca juga : Bukan Sekadar Mendaki Gunung

Di tahun yang sama 1926, salah satu murid kesayangan Tjokroaminoto, Sukarno mendirikan Algemeene
Studieclub di Bandung. Kelompok belajar ini bercorak nasionalis, mendorong wawasan kebangsaan dan
keinginan untuk merdeka dari kolonial Belanda. Masih di tahun 1926, pada bulan April perkumpulan
pemuda dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond,
Studerenden Minahasaers, kemudian Jong Bataks Bond dan Pemuda Kaum Theosofi, mengadakan rapat
besar atau dikenal dengan nama kongres pemuda pertama. Hasil dari kongres tersebut ialah memajukan
persatuan kebangsaan dan menguatkan hubungan antar perkumpulan pemuda.
Pada bulan Juli tahun 1927 Sukarno bersama Tjipto Mangoenkoesomo mendirikan Perserikatan Nasional
Indonesia. Sebuah perkumpulan politik berhaluan nasionalis. Lalu, pada bulan Mei tahun 1928
perserikatan ini berbubah nama menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Berselang empat bulan dari
peresmian PNI, tepatnya bulan Oktober, sekumpulan pemuda kembali mengadakan kongres dengan
peserta yang lebih banyak. Kongres yang dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito ini hingga sekarang kita
kenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Mengkontekstualisasikan Pergerakan Pemuda di Era Sekarang

Merujuk pada catatan historis yang jikalau dijabarkan mendetail akan berlembar-lembar dan panjang.
Maka ringkasan di atas lebih menunjukan lintasan panjang transformasi pergerakan pemuda, terutama
dalam segi ideologi serta model pergerakan. Di awal kita mengenal Tirto yang lebih ke penyadaran
melalui media. Ia menyebarkan pengetahuan melalui surat kabar berbahasa melayu. Tujuannya, agar
pribumi pada saat itu mendapatkan informasi dan pengetahuan sepadan. Tirto sendiri tidak hanya
bergerak di media saja, ia juga mendorong Haji Samanhudi untuk mendirikan Sarekat Dagang islam yang
berfokus pada perkumpulan dagang. Dengan harapan agar dapat bersaing dengan pedagang-pedangang
Belanda dan China kala itu.

minke-tokoh-bumi-manusia-yang-terlupakan

Tirto Adhi Soerjo mengenyam pendidikan kedokteran, menekuni kerja jurnalistik, dan terlibat
mempelopori pergerakan. (Foto : Wikipedia).

Kemudian kelahiran Boedi Oetomo yang menekankan pada sosial-kebudayaan dan berfokus di bidang
pendidikan. Pasca itu gerakan-gerakan yang lebih progresif dan radikal bermunculan. Ketika perubahan
Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam yang lebih berorientasi pada gerakan politik. Kelahiran
Sarekat Islam, diikuti dengan kelahiran Muhammadiyah dan Nahdlatul Wathon yang berplatform Islam,
serta berfokus pada pendidikan. Selain itu ada Nahldatul Tujar yang berorientasi pada pemberdayaan
serta wadah bagi para pedagan Islam tradisional, yang kemudian menjadi gerakan sosial Islam besar
bernama Nahdlatul Ulama.

Baca juga : Geliat Tradisi Nyete Kaum Muda Tulungagung

Gerakan sosial kemudian semakin meluas dengan lahirnya kongres pemuda pertama dan kedua. Kedua
kongres tersebut lebih kepada penyatuan perkumpulan pemuda untuk lebih sadar mengenai semangat
kebangsaan dan bertanah air satu. Gerakan yang lebih radikal progresif, yang lebih menekankan pada
perjuangan politik muncul dengan berbagai platform, mulai munculnya kelompok kiri yang berhaluan
marxist yang diwakili oleh ISDV yang kemudian berubah nama menjadi PKI. Dan diikuti nasionalis radikal
yang diinisiasi oleh kemunculan Persarikatan Nasional Indonesia yang setelahnya menjadi Partai Nasional
Indonesia.

Diversitas gerakan baik secara ideologi, maupun ranah gerak menjadi salah satu yang patut
dikontekstualisasikan bagi gerakan pemuda saat ini. Baik gerakan masa lampau yang berpola lebih lunak
ataupun radikal. Bagaimanapun kedua pola tersebut, telah memberi warna pada gerakan yang
menyongsong kemerdekaan. Sayangnya, hal ini tidak banyak disadari oleh generasi pemuda sekarang.
Mereka terjebak dalam hegemoni status quo yang menjadikan kesadaran kritis tersegmentasi. Menurut
penulis, pemuda sekarang seharusnya mampu mengkontekstualisasikan semangat pemuda kala itu.
Dengan diversitas gerakan serta multi-platform paradigma juang. Sehingga tidak terjebak dalam
simbolisasi yang berujung seremonial belaka. Hanya sesingkat hari pada 28 Oktober saja. Dengan begitu,
justru akan menghilangkan substansi gerakan pemuda itu sendiri.

Gerakan pemuda tidak hanya dimaknai sebatas insureksi belaka. Tetapi ada trayek panjang yang
koheren. Tanpa adanya surat kabar, kelompok belajar, lembaga pendidikan dan gerakan sosial politis,
tentu tidak akan ada kemerdekaan seperti yang kita nikmati saat ini. Gerakan sekarang ialah merawat
kemerdekaan agar kembali pada marwahya. Bukan sekadar jargon-jargon nasionalis kosong yang
membius. Karena secara tidak disadari kesadaran kritis berhasil dijinakkan. Pemuda harus tetap menjadi
garda terdepan dalam mengawal kemerdekaan. Terutama di era ketika ketidakadilan dan ketimpangan
semakin menjauhkan dari keadilan sosial.

Referensi:

Fealy, G., & Barton, G. (Eds.). (1996). Nahdlatul Ulama, traditional Islam and modernity in Indonesia (No.
39). Monash Asia Inst.

McVey, R. T. (2010). Kemunculan Komunisme Indonesia. Komunitas Bambu.

Ricklefs, M. C. (2005). Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004. Penerbit Serambi.

Zayd, N. Ḥ. A. (2006). Reformation of Islamic thought: A critical historical analysis (Vol. 10). Amsterdam
University Press.

Anda mungkin juga menyukai