Anda di halaman 1dari 10

KRONIK RINGKAS GERAKAN BURUH INDONESIA

I. Periode Gerakan Belum Terorganisir

Diterapkannya sistem tanam paksa oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch (1830-
1870) adalah salah satu masa penting dalam sejarah gerakan buruh Indonesia. Pada masa inilah para
petani di Nusantara, utamanya di Pulau Jawa mulai dihancurkan perikehidupannya sebagai petani
merdeka dan diubah secara paksa menjadi buruh tani.

Dan di bawah akumulasi primitif yang diterapkan dalam sistem tanam paksa, para buruh tani ini tidak
mendapatkan upah. Kondisi kerjanya mirip dengan corvee labor atau pekerja paksa. Para petani
diijinkan untuk memiliki tanah, namun harus membayar pajak natura berupa keharusan untuk
menyerahkan sebidang tanahnya untuk ditanami tanaman komersial yang laku di pasar Eropa. Atau
bisa juga para petani menyerahkan dirinya selama 66 hari dalam setahun untuk untuk bekerja di
perkebunan milik Gubernemen, dan mereka yang menyerahkan dirinya ini disebut koeli.

Seiring dengan perkembangan era liberal, maka tumbuh pula perkebunan-perkebunan swasta
menggantikan perkebunan milik kerajaan Belanda. Struktur masyarakat Indonesia yang tadinya
adalah struktur masyarakat pedesaan juga semakin tergerus oleh struktur masyarakat industrialis,
sekalipun masih berupa industrI ekstraktif. Di era ini pula muncul sistem kuli kontrak yang disertai
dengan poenale sanctie yang kejam.

Kondisi kerja yang buruk kemudian meniscayakan perlawanan dari kaum kuli, dengan metode yang
merupakan khas kaum buruh: pemogokan. Sejarah mencatat pemogokan pertama terjadi
Yogyakarta, dimana pada puncak pemogokan pabrik gula terhenti proses produksinya.

Adapun isu-isu yang diangkat adalah:

Upah

Kerja gugur gunung yang dinilai terlalu memberatkan

Kerja moorgan yang tetap harus dijalankan, sedangkan hal tersebut sudah tidak lazim lagi

Upah tanam yang seringkali tidak dibayarkan

Banyak pekerjaan tidak dibayar yang bukan kerja wajib

Harga yang dibayarkan oleh controlir terlalu murah bila dibandingkan harga pasar

Pemukulan yang sering dilakukan oleh pengawas Belanda terhadap buruh tani
Tidak adanya pengorganisasian secara modern dalam pemogokan-pemogokan ini menyebabkan
kekalahan demi kekalahan di pihak kaum buruh.

II. Periode Terbentuknya Serikat-serikat Buruh

Perkembangan gerakan buruh di Eropa membuat banyak buruh-buruh kulit di Hindia Belanda
kemudian ikut membentuk serikat-serikat buruh. Buruh-buruh kulit putih ini diniscayakan
keberadaannya di Hindia Belanda oleh semakin berkembangnya industri di Hindia Belanda, terutama
industri perkebunan. Yang kemudian meniscayakan perkembangan sarana transportasi yang
menghubungkan lahan kebun, pabrik dan pasar-pasar. Juga didirikannya sekolah-sekolah untuk
mencetak tenaga perkebunan dan tenaga birokrat dari kalangan pribumi.

Beberapa serikat-serikat buruh yang terbentuk pada era ini adalah:

Nederlandsch Indisch Onderwijzer Genoottschap (1897)

Statspoor Bond (1905)

Suiker Bond (1905)

Sekalipun pada awalnya serikat-serikat buruh ini dibangun oleh buruh-buruh kulit putih, namun
semangat internasionalis dari gerakan buruh yang sedang pasang di Eropa pada saat itu akhirnya
sampai juga ke Hindia Belanda. Banyak serikat-serikat buruh yang tadinya hanya khusus untuk buruh-
buruh kukit putih akhirnya membuka pintu untuk bergabungnya buruh-buruh bumiputera.

Kemudian buruh-buruh bumiputera juga ikut membangun serikat-serikat buruh. Beberapa serikat
buruh ini antara lain:

Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (1910)

Persatoean Goeroe Bantoe (1912)

Personeel Fabriek Bond (1917)

Catatan: Personeel Fabriek Bond adalah serikat buruh yang dibentuk oleh Soerjopranoto, yang di
kemudian hari dikenal sebagai salah seorang raja mogok di Hindia Belanda.

III. Periode Pergerakan Politik (akhir 1910-1926)

Era akhir 1910an dan awal 1920an adalah masa-masa yang dinamis dalam kehidupan politik dan
gerakan buruh di Hindia Belanda. Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia saling bersaing untuk
meraih dukungan di perkotaan maupun pedesaan. Meminjam istilah Takashi Shiraishi, inilah “Zaman
Bergerak”. Era ini menandai suatu periode dimana begitu banyak hal yang mungkin untuk dilakukan,
baik bagi gerakan buruh maupun gerakan politik. Paska Perang Dunia I, kaum buruh Hindia Belanda
berjuang menuntut sistem pengupahan yang lebih adil dari majikan seiring dengan naiknya harga-
harga dan berkurangnya tenaga kerja terampil. Inilah era ketika militansi buruh di kota-kota besar
dan kecil di Jawa mencapai puncaknya, seiring perkembangan pesat pertumbuhan serikat-serikat
buruh (vakbond) di sektor swasta maupun publik.

Sepanjang periode ini, ada banyak pencapaian yang cukup signifikan dalam perjuangan serikat
buruh. Namun, ketika negara kolonial dan pihak majikan mulai bertindak keras terhadap aktivitas
serikat buruh, kekuatan buruh pun tercerai-berai. Kegagalan pemogokan-pemogokan besar di pabrik
gula pada 1919 dan 1920, pegadaian pada 1922, kereta api pada 1923, dan bengkel mesin di
Surabaya pada 1925, menjadi pukulan hebat yang melemahkan kondisi keuangan dan keanggotaan
serikat buruh. Gelombang pasang kecemasan melanda orang-orang Eropa. Pemerintah kolonial pun
mengambil tindakan keras untuk memulihkan “rust en orde” atau keamanan dan ketertiban. Langkah
keras terhadap Partai Komunis Indonesia dan serikat-serikat buruh yang terkait dengannya pasca
pemberontakan PKI 1926 menjadi pukulan balik yang menciptakan gelombang ketakutan di kalangan
buruh atas keterlibatan mereka dalam serikat buruh. Inilah tahap akhir dari fase pertama gerakan
buruh yang terorganisir. Gerakan buruh yang militan bukan lagi pilihan. Ruang aktivisme politik dan
gerakan buruh semakin menyempit pada periode berikutnya.

IV. Fase Kedua Gerakan Buruh Indonesia

Dalam fase kedua gerakan buruh Indonesia (dulu Hindia Belanda), dengan militansi yang terlihat
lebih rendah, serikat buruh tetap kukuh untuk melancarkan tekanan kepada pemerintah kolonial dan
pada saat yang sama berjuang keras menghindari jebakan hukum yang dirancang untuk melemahkan
mereka. Rapat-rapat umum (vergadering) dan pertemuan dengan pejabat diiringi dengan
penyebaran majalah dan brosur-brosur serikat buruh. Mereka mendapat dukungan kuat dari
anggota-anggota bumiputera di Volksraad, yang menjamin bahwa isu-isu yang mereka angkat akan
menjadi topik bahasan, yang semuanya itu akan menambah tekanan kepada pemerintah kolonial.
Aliansi dengan serikat buruh Eropa, yang meski terkadang problematis, meningkatkan tekanan ini.
Pemerintah sendiri menyadari dukungan di kalangan akar rumput terhadap serikat buruh, dan
memahami dengan baik hubungan yang dijalin serikat buruh dengan serikat-serikat buruh dan para
politisi sosial-demokrat di belanda. Semua ini menjadi batasan juga bagi pemerintah dalam
menghalangi perkembangan serikat buruh.

Sepanjang satu setengah dekade pasca kegagalan pemberontakan komunis 1926-1927, serikat-
serikat buruh Indonesia mengembangkan platform industrial, sosial, dan ekonomi yang koheren.
Terdapat forum-forum penting untuk memperdebatkan isu-isu sosial, ekonomi, dan industri, yang
nantinya menjadi agenda serikat buruh Indonesia pasca kemerdekaan.

Meskipun ada perbedaan ideologis di antara serikat-serikat buruh, ada sebuah konsensus bersama
yang cukup kuat di antara mereka terkait isu-isu tertentu. Serikat menuntut kebebasan berorganisasi
dan hak mogok, upah minimum, batasan maksimum jam kerja, dan pengawasan yang lebih ketat
terhadap buruh anak dan perempuan. Mereka juga menuntut perbaikan undang-undang sosial,
seperti usia pensiun dan tunjangan pengangguran, pengurangan kesenjangan upah antara buruh
kasar dan halus, struktur pajak progresif, dan dinaikkannya royalti atas produk-produk ekstraksi
sumber daya alam seperti tambang, energi, dan perkebunan. Ada keyakinan kuat bahwa Indonesia
harus meninggalkan perekonomian ekstraktif dengan buruh murah rendah-keterampilan menuju
masyarakat industri. Agar hal ini tercapai, harus ada pendidikan untuk seluruh warga negara dan
perluasan pendidikan tinggi untuk membebaskan Indonesia dari kebutuhan mengimpor tenaga kerja
terampil dari luar negeri, dan menerapkan kebijakan mendorong industrialisasi milik negara. Ada
ketidakpercayaan yang luas terhadap modal asing.

Secara mendasar, meskipun mereka dibatasi oleh undang-undang anti pemogokan dan pengawasan
ketat negara kolonial, serikat buruh pasca 1926 adalah pembela teguh kaum buruh, corong suara
dari mereka yang tidak berdaya sebagai individu-individu biasa. Serikat buruh adalah pendengar
simpatik terhadap keluh-kesah buruh dan pembela aktif bagi korban-korban kesewenangan dan
ketidakadilan. Mereka mendidik buruh dan melihat keluh-kesah individual itu dalam konteks yang
lebih luas dalam perjuangan buruh melawan modal. Mereka bahkan mampu mengubah keluh-kesah
individual itu menjadi kampanye kolektif melawan majikan. Keberadaan serikat buruh telah
memaksa para majikan dan atasan untuk lebih berhati-hati dalam memperlakukan pekerjanya. Kaum
majikan tidak menyukai campur tangan serikat buruh, dan melakukan apapun untuk
menghancurkannya. Namun, meskipun undang-undang lebih memihak majikan, kaum majikan tetap
tidak bisa mengabaikan kehadiran serikat. Serikat menjadi semakin lihai dalam membawa keluh-
kesah buruh ke ruang publik dan berkampanye untuk mengatasinya. Meski dikekang oleh kekuasaan
kolonial, serikat juga siap untuk menyeret majikan ke hadapan pengadilan demi menegakkan hak-hak
buruh. Nasib ribuan individu buruh menjadi lebih baik karena keberhasilan advokasi serikat buruh
melawan majikan, pemerintah, maupun pengadilan.

Serikat buruh memiliki kepentingan, tujuan , dan jalur perkembangan yang unik dengan kisahnya
sendiri-sendiri. Bahkan di negara-negara demokratis sekalipun, kepentingan serikat buruh seringkali
bertabrakan dengan partai-partai politik yang memiliki kedekatan atau bahkan yang mereka bentuk
sekalipun. Agenda utama serikat buruh Indonesia adalah peningkatan upah dan kesejahteraan
buruh, serta membangun jaminan sosial yang lebih kuat melalui penyediaan dana gotong-royong dan
lembaga-lembaga bantuan sosial-ekonomi.

Bagaimanapun, Indonesia adalah negara jajahan dan aktivisme serikat buruh menjadi bagian tak
terpisahkan dari politik kemerdekaan. Majalah-majalah serikat dan rapat-rapat terbuka mereka
selalu berupaya membangun kesadaran dan solidaritas buruh berhadapan dengan kaum majikan,
tetapi konteksnya selalu dalam kerangka anti-kolonial. Gambaran ini nyata sepanjang tahun-tahun
militansi 1926, dan tetap muncul pada tahun-tahun berikutnya yang tidak terlalu konfrontatif. Pada
akhir 1920an dan 1930an, majalah-majalah serikat buruh berperan penting dalam mendorong
gagasan tentang nasion Indonesia dan memelihara semangat kemerdekaan. Terbitan-terbitan
majalah serikat cukup besar dan distribusinya menjangkau sampai lapisan bawah masyarakat
perkotaan.
Sejak masa awal serikat buruh pada 1910an sampai akhir kekuasaan kolonial Belanda pada Maret
1942, para pemimpin serikat buruh Indonesia berjuang untuk membangun organisasi lintas etnis.
linguistik, dan kelas sosial yang memecah-belah lingkungan kerja. Mereka memupuk pengalaman
bersama kaum buruh perkotaan, memperkenalkan dan menjaga wacana tentang hak buruh: hak
untuk mengontrol lamanya waktu kerja, hak atas upah mimimum, sistem pengupahan dan
perpajakan yang adil, waktu lembur, hak istirahat ketika sakit, tunjangan hari libur, dana pensiun,
tempat tinggal yang layak, akses pendidikan bagi anak dsb.

Serikat buruh memiliki peran industrial dalam meningkatkan upah buruh, mewakili keluhan mereka
terhadap majikan, dan memaksa pemerintah kolonial menekan pihak majikan terkait dengan
peningkatan upah dan kesejahteraan.

Mereka juga memiliki peran sosial, ekonomi, dan dan budaya yang penting melalui pembentukan
asosiasi gotong-royong, klub olah raga, aktivitas pendidikan, dan penyediaan ruang-ruang sosial
bersama. Mereka juga berkontribusi bagi pengembangan kesadaran politik, membuka peluang bagi
orang-orang Indonesia untuk mengasah kemampuan berorganisasi dan menyediakan saluran bagi
banyak orang untuk memperdalam perasaan mereka sebagai orang Indonesia.

Peran ganda yang saling bertumpang-tindih itulah yang menjadikan serikat buruh sebagai kekuatan
penting dalam kehidupan buruh-buruh perkotaan dan bagian vital dalam gerakan kemerdekaan
nasional yang lebih luas.

V. Periode Pendudukan Fasis Jepang

Pada masa pendudukan oleh fasis Jepang (1942-1945), semua gerakan politik Indonesia –termasuk
gerakan buruh- diberangus total dan terpaksa bergerak di bawah tanah. Pemerintahan militer
Jepang melarang semua rapat dan kegiatan poitik. Oada tanggal 20 Maret 1942, dikeluarkan
peraturan yang membubarkan semua organisasi politik dan semua bentuk perkumpulan.

VI. Periode Kemerdekaan (1945-1965)

Selepas penjajahan Jepang, gerakan buruh kembali menggeliat bangkit dari gerakan bawah tanah.
Tidak sampai satu bulan setelah Proklamasi Agustus 1945, didirikanlah Barisan Buruh Indonesia
(BBI). Pada selanjutnya, BBI melahirkan pula Partai Buruh, Lasjkar Buruh Indonesia sebagai organisasi
sayap bersenjata, dan Barisan Buruh Wanita (BBW) sebagai organisasi sayap perempuan dari gerakan
buruh. Pada tahun 1946, BBI berubah nama menjadi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI).
Tahun itu juga GASBI bergabng dengan Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GSBV) membentuk SOBSI
(Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

Keterlibatan SOBSI dalam Proklamasi Madiun (1948), dan represi yang menyusulnya, menyebabkan
gerakan buruh agak terseok-seok untuk beberapa lama. Namun di tahun 1950, ketika Soekarno
memutuskan untuk mengundang unsur-unsur progresif dalam kabinetnya, SOBSI telah kembali
berdiri dan menguat dalam dasawarsa tersebut. Pada dasawarsa tersebut, SOBSI adalah serikat
buruh terbesar dan terkuat di Indonesia, dengan keanggotaan 2.5 juta buruh dan 34 serikat buruh
anggota.

Selain SOBSI, ada dua lagi serikat buruh beraliran progresif yang patut disebut. Yang pertama adalah
adalah GASBRI (Gabungan Serikat Buruh Revolusioner Indonesia) yang memiliki kedekatan dengan
Partai MURBA. Partai MURBA sendiri adalah hasil pengembangan dari sekelompok orang yang pada
tahun 1946 memisahkan diri dari SOBSI. Dalam kongresnya pada tahun 1951, GASBRI kemudian
berubah nama menjadi SOBRI (Sentral Organisasi Buruh Revolusioner Indonesia).

Sedangkan yang kedua adalah SARBUPRI (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang
didirikan pada tahun 1947. SARBUPRI memiliki kedekatan dengan SOBSI dan organisasi-organisasi
massa lain yang juga dekat dengan PKI.

Ketiga serikat buruh ini kerap mengadakan pemogokan besar yang berujung pada kemenangan bagi
buruh. Statistik menunjukkan bahwa antara tahun 1921-1955 terjadi 11.763 pemogokan yang
melibatkan 918.739 buruh.

Aksi-aksi nasionalisasi yang dilancarkan oleh serikat-serikat ini menghasilkan kemenangan besar di
mana-mana, sekalipun kemudian kemenangan ini tidak banyak mereka nikmati, malah banyak
perusahaan Belanda yang berhasil dinasionalisasi kemudian malah diambil-alih oleh Angkatan Darat.

Kehadiran tiga serikat buruh besar yang beraliran progresif ini menyebabkan partai-partai politik
lainnya juga berusaha untuk membangun serikat buruhnya sendiri.

PNI membangun Kesatuan Buruh Marhaen (berdiri pada tahun 1952), Nahdlatul Ulama membentuk
Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi, berdiri pada tahun 1956), PSII membentuk GOBSI
pada tahun 1959, dan Masjumi mendirikan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII). SBII inilah yang kelak
memainkan peran penting dalam mengubah wajah gerakan serikat buruh, terutama ketika memasuki
era Orde Baru.

SBII menganut ideologi harmoni. Bagi mereka jangan sampai ada permusuhan antara buruh dengan
majikan. Jadi apabila ada perselisihan perburuhan, SBII akan mengusahakan bantuan materiil pada
buruh yang menjadi korban, baik berupa uang ataupun dalam bentuk lainnya. Ini dimaksudkan
supaya lambat-laun akan terjadi perdamaian dan harmoni di setiap pusat-pusat gerakan buruh.

Pada tahun 1959, SBII terkena dampak dari pembubaran Masjumi atas perintah Soekarno – dengan
keterlibatan Masjumi dalam pemberontakan PRRI-Permesta. SBII kemudian bergabung dengan
Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia (Gasbiindo). Jusuf Wibisono, salah satu pendiri Gasbiindo,
menelurkan konsep Bahaya Merah di Indonesia. Untuk membendung “Bahaya Merah” ini, Wibisono
kemudian bekerjasama dengan Angkatan Darat membangun Badan Kerdjasama Buruh-Militer (BKS
BuMil).
Angkatan Darat juga mensponsori pembentukan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh
Indonesia) pada tahun 1961. Para perwira yang terlibat dalam PRRI-Permesta seperti Zulkifli Lubis
dan Sumual ditempatkan sebagai pimpinan SOKSI. Ketua SOKSI, Jenderal Suhardiman, juga
merangkap sebagai Presiden Direktur PT PP Berdikari.

Berhadapan dengan kebangkitan dan penguatan serikat-serikat buruh yang berorientasi pada
ideologi “harmoni”, yang dekat dengan tentara dan jelas-jelas dipimpin oleh militer-pengusaha ini,
serikat-serikat buruh berliran progresif malah mengalami berbagai kemunduran. Terlepas dari fakta
bahwa keanggotaan mereka meningkat, SOBSI tercatat memiliki anggota 3.3 juta anggota pada tahun
1960, belum lagi kedua serikat buruh progresif lainnya.

Namun, di antara mereka sendiri sulit untuk bekerja sama. Perasaan saling curiga, yang sebagian di
antaranya didorong oleh pertikaian di kalangan gerakan progresif internasional, menghambat
kerjasama efektif antara SOBSI dan SARBUPRI dengan SOBRI. Juga ruang politik yang terbuka lebar
menyebabkan ketiga serikat buruh menurunkan aktivitasnya di basis-basis mereka. Terjadi
penurunan perlawanan nyaris sampai separuhnya dari periode sebelumnya.

Maka, ketika badai datang pada pertengahan dasawarsa 1960an, gerakan buruh progresif tidak siap
untuk menghadangnya.

VII. Pemberangusan Gerakan Buruh

Peristiwa kelam yang terjadi pada tahun 1965 membalikkan keadaan secara drastis. Tuduhan yang
dilontarkan oleh Angkatan Darat bahwa PKI mendalangi penculikan jenderal-jenderal dan
pembantaian aktivis gerakan rakyat yang menyusul kemudian, praktis menghancurkan sendi-sendi
kekuatan gerakan buruh progresif.

Orde Baru bergerak cepat merekonstruksi perekonomian dan politik Indonesia, sementara para
aktivis buruh progresif meregang nyawa di tangan para pembunuh yang hingga kini menikmati
impunitas.

Orde Baru membentangkan karpet merah bagi modal asing. Soeharto juga membuka pintu lebar-
lebar bagi masuknya pinjaman luar negeri yang kemudian oleh mitra-mitra dan kerabat dekatnya.

Dengan bantuan Frederich Ebert Stiftung, sebuah yayasan milik Partai Sosialis Demokrat Jerman yang
pro pasar bebas, pemerintahan militer Soeharto juga merekonstruksi gerakan buruh.

Melalui sebuah seminar yang disponsori FES pada tahun 1971, disusun konsep baru serikat buruh
Indonesia yang akan didukung oleh Orde Baru:
Gerakan buruh harus sama sekali lepas dari kekuatan politik manapun;

Keuangan organisasi tidak boleh tergantung dari pihak luar;

Kegiatan serikat buruh dititikberatkan pada soal-soal ekonomis;

Penataan ulang serikat-serikat buruh yang mengarah pada penyatuan;

Perombakan pada struktur keserikatburuhan, mengarah pada serikat sekerja untuk masing-masing
lapangan pekerjaan.

Setidaknya itulah prinsip yang dicanangkan secara teoritik. Pada kenyataannya, rekonstruksi serikat
buruh dilaksanakan dalam bentuk FBSI (Federasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia) yang diketuai Agus
Sudono, mantan ketua Gasbiindo, dan sekretaris jenderalnya adalah Suwarto, seorang mantan
perwira Operasi Khusus (Opsus) pra Kopkamtib.

Dibawah komando dua orang petinggi Golkar ini, serikat buruh memang dilepaskan dari kekuatan
politik manapun dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus FBSI selalu diambil dari
kader-kader Golkar, dengan begitu maka FBSI juga berfungsi sebagai pendulang suara bagi Golkar di
setiap kali Pemilu. Mirip-mirip dengan “organisasi-organisasi profesi” lainnya seperti Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) maupun Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).

Sejak awal, jelas bahwa FBSI dimaksudkan untuk memberangus buruh dan menutup dunia politik
bagi buruh.

Ideologi yang diterapkan oleh FBSI adalah ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha harus
ada ketenangan, tidak boleh ada konflik.

Walau demikian, FBSI tetap tidak bisa sepenuhnya mengendalikan perselisihan perburuhan. Terlebih
lagi ketika Soeharto mengeluarkan Keputusan 15 November 1978 (KNOP 15) yang mendevaluasi nilai
rupiah terhadap dollar, dari RP 415 per dollar menjadi Rp 625 per dollar. Devaluasi ini melambungkan
harga-harga kebutuhan pokok, dan mereka yang upahnya tetap -seperti buruh- adalah yang paling
terpukul oleh kebijakan ini. Terjadi perlawanan dari buruh dan rakyat di mana-mana.

Pada tahun 1985, FBSI berganti menjadi SPSI, yang semakin memperparah keadaan karena SPSI
dijadikan “wadah tunggal” –sebuah penghalusan istilah bagi korporatisme yang dijalankan oleh Orde
Baru.

Untuk memperhalus kenyataan bahwa pemberangusan gerakan buruh dilakukan secara lebih
sistematis, Soeharto menunjuk Cosmas Batubara, seorang mantan aktivis ’66 menjadi Menteri
Tenaga Kerja. Cosmas Batubara kemudian memperkenalkan konsep Upah Minimum dan Jamsostek
sebagai sogokan bagi buruh yang tidak lagi memiliki kebebasan untuk berorganisasi.

VIII. Kebangkitan Gerakan Buruh Progresif


Bagaimanapun rejim Orde Baru berusaha –dengan segala represi, siksaan dan terornya- gelombang
perlawanan buruh tetap tidak dapat diredam. Bahkan SPSI, yang dirancang sebagai satu alat yang
secara sistematis akan menghabisi aspirasi politik buruh, ternyata kemudian dipakai oleh banyak
buruh sebagai alat perlawanan. Kita tahu, Marsinah gugur di tahun 1993 ketika memperjuangkan
pembentukan SPSI dan kenaikan upah di pabriknya di Sidoarjo.

Kegagalan SPSI untuk berfungsi sebagai serikat buruh yang memperjuangkan nasib buruh ketika
berhadapan dengan kerakusan pengusaha menyebabkan mulai bertumbuhnya serikat-serikat buruh
alternatif. Beberapa yang patut disebut di antaranya SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), SBMSK
(Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan), dan PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia).

Perjuangan panjang gerakan buruh Indonesia akhirnya mendapatkan titik terangnya ketika Soeharto
dipaksa turun dari singgasananya.

Sekalipun reformasi yang menyusul lengsernya penguasa Orde Baru itu tidaklah memberi buah
seperti yang diimpikan sebelumnya, reformasi ini tetaplah memberi ruang bagi bertumbuhnya
gerakan buruh baru yang lebih segar dan bersemangat.

Banyak serikat-serikat independen berdiri di mana-mana. Serikat-serikat yang sebelumnya dipaksa


bergabung dengan SPSI satu per satu melepaskan diri dari tubuh induknya.

Aksi-aksi pemogokan dan demonstrasi buruh besar-besaran mulai menjadi bagian dari berita sehari-
hari media massa.

Salah satu bukti kebugaran gerakan buruh progresif kontemporer ini adalah kemampuannya untuk
selama tiga tahun berturut-turut menyelenggarakan peringatan Hari Buruh Sedunia pada setiap 1
Mei, yang dipimpin oleh Aliansi Buruh Menggugat (ABM), dan diikuti puluhan (bahkan mungkin
ratusan) ribu buruh di seluruh Indonesia.

Selama dua tahun (2010-2012) terjadi fase kebangkitan buruh yang banyak menghasilkan
kemenangan-kemenangan ekonomis. Kemenangan-kemenangan ini ditopang oleh gerakan di tingkat
bawah.

Geruduk pabrik dengan menggerakkan massa solidaritas dari berbagai pabrik berlangsung selama
bulan Mei hingga Oktober 2102 dan diakhiri secara resmi dengan Deklarasi Harmoni Bekasi 8
November 2012. Puncak mobilisasi aksi solidaritas terjadi pada 29 September 2012 di PT Patria,
sekitar 10 ribu buruh berkumpul bersolidaritas untuk perjuangan buruh outsourcing PT Patria.

Pasca Perjanjian Harmoni, gerakan buruh perlahan namun pasti kian menyurut. Puncaknya adalah
kekalahan perlawanan buruh pada menjelang penghujung tahun 2015 terhadap Peraturan
Pemerintah no.78 tahun 2105 tentang Pengupahan.

IX. Situasi Terkini


Pemerintah semakin massif melakukan tekanan terhadap buruh, bahkan tentara kembali bisa
melakukan “pengamanan” dalam aksi mogok kerja dan demonstrasi buruh melalui penandatanganan
Nota Kesepahaman TNI-POLRI. Tentu saja hal ini suatu langkah mundur dalam kehidupan demokrasi
bangsa Indonesia. Konsolidasi negara, pengusaha dan tentara ala Orde Baru adalah semata-mata
demi langgengnya politik upah murah yang menjadi belenggu kaum buruh Indonesia semenjak era
kolonial Belanda.

Ilham Jimbo.2019

Disadur dari:

-Masa ke Masa Gerakan Buruh Indonesia, Dahlan Latif Widiyanto

-Buruh, Serikat, dan Politik, John Ingleson

-Zaman Bergerak, Takashi Shiraishi

-Kemunduran Gerakan Buruh Setelah 2012, Koran Pembebasan

Anda mungkin juga menyukai