Anda di halaman 1dari 6

HOME

BERLANGGANAN

Berdikari Online

BACA JUGA

3042 VIEWS

HEADLINES/1 MEI 2018 | 7:39

NO COMMENT

Kapan Hari Buruh Sedunia Dirayakan Pertama Kali Di Indonesia?

HEADLINESHISTORIA/26 APRIL 2015 | 16:41 /2 COMMENTS/17350 VIEWS

Bung Hatta: Inilah Tiga Akar Sosialisme Indonesia

SHARE ON:FacebookTwitter Google +

Di masa Orde Baru, sosialisme sebagai sebuah gagasan dan gerakan politik diharamkan. Jangankan itu,
pendiskusian yang berbau sosialisme bisa berbuntut buih.

Perilaku rezim Orba memang ahistoris. Mereka lupa, ajaran sosialisme punya akar yang kuat di
Indonesia. Hampir semua pendiri bangsa Indonesia, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, terpengaruh
oleh ajaran marxisme dan sosialisme.

Tidak heran, di masa pergerakan anti-kolonialisme, cita-cita sosialisme mengendap dalam sanubari kaum
pergerakan. Meskipun dengan penyebutan yang bermacam-macam, seperti ‘masyarakat adil dan
makmur’ dan ‘sama rata, sama rasa’.
Sakit kuatnya pengaruh sosialisme itu, hampir semua pendiri bangsa Indonesia, termasuk Bung Hatta
yang dicap moderat, mengakui bahwa hari depan revolusi Indonesia adalah sosialisme, yaitu sosialisme
Indonesia.

Di tahun 1957, di depan mahasiswa Universitas Sun Yat Sen, Tiongkok, Bung Hatta memberi jawaban.
Menurutnya, sosialisme Indonesia dibentuk oleh tiga akar yang kuat.

Pertama, pengaruh literatur sosialisme barat, terutama yang terkait dengan tuntutan atas persamaan
dan persaudaraan manusia melalui penghapusan masyarakat berkelas.

Ajaran Karl Marx, yang disebut marxisme, membantu kaum pergerakan Indonesia kala itu dalam
membaca dan mengenali keadaan, menyingkap akar persoalan ketertindasan rakyat, dan menemukan
jalan keluar atas penindasan yang dialami oleh rakyat tersebut.

“Maka dengan bantuan pendapat Marx dan Engels itu, tergambarlah dalam kalbu pemuda dan pelajar
Indonesia dahulu suatu bentuk sosialisme Indonesia, yang sesuai dengan perkembangan dan struktur
masyarakat Indonesia sendiri,” kata Bung Hatta.

Kedua, ajaran agama Islam yang mengajarkan nilai-nilai persamaan, persaudaraan, perikemanusiaan,
dan keadilan sosial. Islam, kata Bung Hatta, menyokong persamaan dan persaudaraan seluruh umat
manusia di muka bumi ini.

Karena itu, islam sangat sejalan dengan ide-ide sosialisme. Hanya saja, kata Bung Hatta, spirit yang
menggerakkan sosialisme barat dan Islam cukup berbeda. Sosialisme barat digerakkan oleh keadaan
material, yakni struktur sosial dengan pertentangan kelas di dalamnya. Sedangkan Islam digerakkan oleh
semangat pengabdian kepada Allah SWT. “Bagi Islam, sosialisme di dalam masyarakat adalah kewajiban
hidupnya, suruhan Yang Maha Kuasa, yang tidak dapat diingkarinya,” kata Bung Hatta.

Ketiga, corak kolektif di dalam masyarakat desa Indonesia yang asli. Dalam masyarakat desa yang asli,
kata Bung Hatta, berlaku kepemilikan bersama atas tanah sebagai alat produksi terpenting dalam
struktur masyarakat agraris.
Semangat kolektifisme juga terpancang melalui semangat kerjasama dan tolong-menolong dalam
menyelesaikan berbagai pekerjaan, seperti menggarap sawah, memotong padi, membuat rumah,
mengantar jenazah ke kubur, membuat pengairan, dan lain-lain.

Menariknya, ungkap Bung Hatta, semangat tolong-menolong dan gotong-royong bukan hanya dalam
urusan kepentingan umum, seperti membuat jalan atau pengairan, melainkan juga dalam urusan-urusan
private, seperti membuat rumah dan mengantar mayat ke kubur.

“Dalam masyarakat Indonesia yang asli tidak ada pemisahan yang tegas antara apa yang dikatakan
urusan publik dan private, seperti yang berlaku di dalam masyarakat yang berdasarkan individualisme,”
terangnya.

Di samping itu, lanjut Bung Hatta, masyarakat desa Indonesia juga mengenal demokrasi kolektif, yaitu
proses pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh rakyat di desa. Tentunya melalui jalan
musyawarah dan mufakat.

Tiga hal di atas, menurut Bung Hatta, yang membentuk corak sosialisme Indonesia. Lantas, muncul
sebuah pertanyaan: seperti apa sosialisme Indonesia dalam bayangan Bung Hatta?

Ia memberi jawaban sederhana: “sebuah masyakarat yang adil dan makmur, yang terbebas dari
kemiskinan dan kesengsaraan hidup, dimana produksi dilakukan oleh orang banyak untuk orang banyak,
atas dasar usaha bersama, di bawah pimpinan badan-badan masyarakat yang bertanggung-jawab kepada
masyarakat.”

Kita boleh tidak setuju dengan defenisi tersebut. Tapi, Bung Hatta punya keyakinan tersendiri. Dia
bilang,“jalan ke sosialisme tidaklah satu, melainkan berbagai macam, sesuai dengan sejarah, pengalaman
dan peradaban bangsa masing-masing dan juga dengan struktur negerinya.”

Rudi Hartono

Sharing is caring!
Apa reaksi Anda atas artikel ini?

TAGS:BUNG HATTAGOTONG ROYONGSOSIALISME INDONESIA

WAWANCARA

3610 VIEWS

Koordinator REWAKO: Kemenangan Kotak Kosong Adalah Kemenangan Rakyat Atas Elit Yang
Memaksakan Kehendaknya

HEADLINES/6 JULI 2018 | 11:30 /NO COMMENT

2857 VIEWS

Habiburokhman: Persatuan Nasional Harus Berlandaskan Pengakuan Atas Kebebasan Berpendapat

HEADLINES/8 FEBRUARI 2018 | 16:44 /NO COMMENT

2845 VIEWS

Viva Yoga: Hukum Harus Jadi Panglima Yang Mengendalikan Politik Dan Ekonomi

HEADLINES/5 FEBRUARI 2018 | 11:54 /NO COMMENT


POPULAR POSTS

Laporan Dari Venezuela: Krisis, Intervensi Asing dan Tantangan Revolusi Bolivarian

Realitas di Balik Penghargaan “Menteri Keuangan Terbaik Dunia”

CERPEN : “Kita Kalah Mbah, Sekali lagi”

“Zaman Kalabendu” Ronggawarsita

Pemilu “Ngeri-ngeri Sedap”

Berdikari Online

LATEST POSTS

Tan Malaka Dan “Aksi Massa”

HEADLINES/2 FEBRUARI 2019 | 5:06

Wahana Menarik Di Jungle Waterpark Bogor

HEADLINES/2 FEBRUARI 2019 | 4:26

Laporan Dari Venezuela: Krisis, Intervensi Asing Dan Tantangan Revolusi Bolivarian

DUNIA BERGERAK/23 JANUARI 2019 | 8:03

Pemilu “Ngeri-Ngeri Sedap”

HEADLINES/15 JANUARI 2019 | 7:53

FIND US ON FACEBOOK

© 2017 Berdikari Online. All rights reserved

Tentang Berdikari Redaksi Disclaimer Info Iklan Donasi

Anda mungkin juga menyukai