Anda di halaman 1dari 126

MENGENAL PERGERAKAN NASIONAL

Pergerakan Nasional merupakan salah satu bagian dari


perjalanan sejarah bangsa ini yang penting adanya. Para
sejarawan menginterpretasikan Pergerakan Nasional
berlangsung saat dimulainya politik etis tahun 1900 hingga
Indonesia merdeka. Karena pada masa ini meliputi
berdirinya organisasi-organisasi modern memiliki cita-cita
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia telah melahirkan
beberapa tokoh di dalamnya, yang ikut andil dalam
membangun bangsa ini kearah yang lebih baik. Hal ini tidak
lain adalah politik etis yang diterapkan oleh pihak pemerintah
Kolonial Belanda terhadap masyarakat “pribumi” di Hindia
Belanda. Akibat dari politik etis yang diterapkan muncul
golongan-golongan pemuda intelektual yang salah satu
pemikirannya adalah Indonesia merdeka (Anderson, 1988,
hlm. 5).

Pergerakan Nasional memiliki sebuah arti yang luas


bagi bangsa Indonesia. Pada masa Pergerakan Nasional
muncul gagasan nasionalisme Indonesia, corak pergerakan
yang asalnya kedaerahan berubah menjadi pergerakan

1
berskala nasional yang memiliki arti bahwa nasionalisme
Indonesia tumbuh baik pada masa-masa ini. Masa Pergerakan
Nasional tidak saja pada pergerakan yang bersifat perbaikan
derajat dari sisi politik, akan tetapi juga menuju perbaikan
aspek-aspek lain seperti perekonomian, pendidikan,
keagamaan, dan sebagainya (Pringgodigdo, 1980, hlm. 7).

Pergerakan Nasional adalah bagian dari Sejarah


Indonesia yang meliputi periode sekitar 45 tahun, yang
dimulai sejak lahirnya politik etis yang diterapkan oleh pihak
kolonial Belanda yang menyebabkan banyak lahirnya kaum
intelektual. Kaum intelektual nantinya akan membentuk
sebuah organisasi modern. Organisasi Budi Utomo menjadi
pelopor organisasi-organisasi modern selanjutnya yang
menjadi sebuah corak khas masa Pergerakan Nasional
(Kusumasumantri, 1965, hlm. 32). Organisasi modern tersebut
digerakkan oleh para pemuda yang pada masa itu memiliki
akses pendidikan di Hindia Belanda. Fenomena pemuda
sebagai salah satu elemen yang berpengaruh dalam sebuah
era atau masa tidak hanya pada masa Pergerakan Nasional
saja, tetapi berkelanjutan hingga masa kini.

Pergerakan Nasional sebagai fenomena historis


merupakan hasil interaksi dinamis dari perkembangan
ekonomi, sosial, politik, kultural dan religius. Kata
pergerakan mencakup semua macam aksi yang dilakukan
dengan organisasi modern yang mengarah pada
kemerdekaan Indonesia. Dari Pergerakan Nasional inilah,

2
nasionalisme ke-Indonesiaan mulai terbentuk (Leirissa, et al,
1989, hlm. 26). Pada abad ke-18 dan ke-19 terlihat jelas
perjuangan Bangsa Indonesia. Masyarakat dari berbagai
wilayah di Indonesia secara umum berjuang dengan semangat
kedaerahan yang muncul akibat dari adanya rasa
etnonasionalisme. Fenomena ini berubah pada abad ke-20,
perjuangan dilakukan secara menyeluruh dan nasional, hal ini
disebabkan tumbuhnya rasa nasionalisme ke-Indonesiaan.
Demikian juga dipengaruhi oleh perasaan senasib dan
sepenanggungan akibat penindasan yang lama oleh pihak
penjajah. Rasa sepenanggungan ini terkomunikasikan dengan
baik melewati pendidikan, transmigrasi dan media lain yang
gerakannya masif pada awal abad ke 20-an (Kustanto, 2010,
hlm. 2)

Penyebutan nama Indonesia yang berfungsi simbolis


dalam Sejarah Pergerakan Nasional tidak dengan sendirinya
terjadi, tetapi melalui proses panjang dan dengan majunya
Pergerakan Nasional sebutan Indonesia merupakan
keharusan yang menunjukkan muncul dan tumbuhnya
nasionalisme Indonesia (Ricklefs, 2007, hlm. 373). Sejarah
Pergerakan Nasional mempunyai pengertian dan menunjuk
pada seluruh proses terjadinya dan berkembangnya
nasionalisme Indonesia dalam segala perwujudannya
berdasarkan kesadaran, sentimen bersama dan keinginan
berjuang untuk kebebasan rakyat dalam wadah negara
kesatuan. Masa-masa pergerakan adalah masa yang paling
berdampak pada keberlangsungan negara Indonesia saat ini
3
terutama dalam konsepsi nasionalisme. “[…] berkembang
gagasan nasionalisme di Indonesia maupun gagasan sosialis;
suatu potensi besar yang secara umum tidak diperhatikan
bahkan disepelekan” (Kahin, 2013, hlm. 70).

Pergerakan Nasional di Jawa Barat diikuti oleh


munculnya organisasi-organisasi di wilayah Jawa Barat.
Paguyuban Pasundan yang bersifat kedaerahan, masih
terdapat organisasi di Tataran Sunda. Kurang lebih 6 tahun
sebelum didirikan Paguyuban Pasundan, yaitu pada tahun
1907 di kota Bandung berdiri suatu organisasi peranakan
Belanda yaitu Insulinde yang ganti nama menjadi Nasionaal
Indische Partij (NIP) pada bulan Juni 1919. Pada mulanya
organisasi itu hanya diperuntukan bagi bangsa Eropa, setelah
berubah nama pda tahun 1919 keanggotaannya terbuka
kepada semua bangsa termasuk pribumi. Hal itu disebabkan
masuknya pemimpin Indische Partij, seperti Douwes Dekker,
Suwardi Sujaningrat dan Tjipto Mangunkusumo. Indische
Partij didirikan di Bandung tanggal 25 Desember 1912 oleh
seorang peranakan Belanda bernama Douwes Dekker.
Keanggotaan Indische Partij terbuka semua golongan.Tujuan
organisasi ini adalah Indie merdeka (Indie vor Indiers), serta
membangun rasa cinta tanah air dalam menyiapkan
kemerdekaan. Oleh karena sifatnya radikal, maka umur
organisasi ini tidak lama.

Pada bulan Maret 1913 Indische Partij dilarang oleh


Pemerintah Hindia Belanda dan pemimpinnya diasingakan

4
(Kartodirdjo, Poesponegoro & Notosusanto, 1975, hlm. 190).
Sejalan dengan tumbuhnya gagasan nasionalisme modern, di
Bandung tanggal 29 November 1925 berdiri organisasi
bernama Algemeene Studie Club atas prakasa anggota
Perhimpunan Indonesia, pada nasionalis dan mahasiswa
Technische Hoge School. Ir. Soekarno menjadi pemimpin
organisasi tersebut, perkembangan organisasi ini mendorong
untuk mendirikan partai politik baru pada tanggal 4 Juli 1927,
dengan mendukung berdirinya Partai Nasional Indonesia
(PNI). Tujuan PNI adalah mencapai Indonesia merdeka
(Rutgers, 1951, hlm. 36), dengan asas berdiri di atas kaki
sendiri, nonkoperasi, dan marhaenisme. Melihat
perkembangan PNI yang cepat dan didukung masyarakat
Pemerintah Hindia Belanda berkali-kali memberikan
peringatan yang kemudian menangkap ketuanya yakni Ir.
Soekarno, Maskum, Gatot Mangkupraja dan Supriadinata. Di
pengadilan, Ir Soekarno membacakan pidato yang dikenal
dengan Indonesia Menggugat dan kemudian mereka dijatuhi
hukuman penjara 30 Desember. Pada tahun 1931, PNI
dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dengan
dibubarkannya PNI, para pemimpin PNI kemudian
membentuk Partai Indonesia (Partindo) tanggal 1 Mei 1931
dengan tujuan Indonesia merdeka.Sama seperti PNI, Partindo
memiliki gerak yang sempit hingga akhirnya Soekarno
dibuang ke Ende, Flores. Akibatnya Partindo membubarkan
diri tanggal 18 November 1936.

Ditangkapnya pemimpin PNI, membuat tidak


5
berhentinya gerakan ini hingga mendirikan partai barusalah
satunya Partai Rakyat Indonesia (PRI) tanggal 14 September
1930 oleh Mr. Tabrani namun dalam perjalanannya
mendapatkan berbagai perlawanan. Sehingga partai tersebut
seperti anak yang meninggal sebelum lahir. Selanjutnya
didirikan partai baru Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di
Batavia tanggal 24 Mei 1937. Selain organisasi pergerakan
yang bergerak dibidang politik juga terdapat organisasis di
Tataran Sunda yang bergerak dibidang sosial dan budaya.
Organisasi yang dimaksud adalah Putri Mardika, Sekar
Rukun, Kautamaan Istri, Jong Sumateranen Bond, Kaum
Betawi, Jong Indonesia, Persatuan Minahasa, Perserikatan
Selebes, dan Isti Sedar.

Hal yang paling menonjol dalam Pergerakan Nasional


adalah munculnya organisasi- organisasi modern dengan
tujuan Indonesia merdeka. Perkumpulan Sekar Rukun yang
merupakan organisasi pemuda Sunda yang berdiri pada masa
Pergerakan Nasional nampaknya tidak setenar organisasi
pemuda lainnya, seperti Jong Java, Jong Islamieten Bond, Kaum
Betawi, Persatuan Minahasa, Jong Sumatranen Bond, Jong
Bataks, atau organisasi pemuda lainnya (Lubis, 2003, hlm. 96).
Organisasi pemuda yang serupa banyak ditemukan di media
massa pada saat itu. Hal ini disebabkan karena keterbatasan
mengenai kiprah Perkumpulan Sekar Rukun. Maka, dalam
konteks tulisan-tulisan sejarah nasional, Perkumpulan Sekar
Rukun sedikit, bahkan tidak banyak ditemukan bagaimana
kiprahnya.
6
Padahal, Perkumpulan Sekar Rukun tercantum di dalam
naskah Sumpah Pemuda, sebagai organisasi pemuda yang
tercatat ikut menandatangani adalah Sekar Rukun (Ekadjati,
2014, hlm. 74). Naskah tersebut adalah hasil kongres Pemuda
Indonesia I dan II pada tahun 1926 dan 1928. Bila dilihat
secara nama organisasi, tentu sangatlah unik dengan
partisipasinya dalam kongres Sumpah Pemuda. Sementara
organisasi pemuda umumnya menggunakan nama jong yang
merupakan bahasa Belanda dan memiliki arti pemuda atau
nonoman.

Pada tahun 1919 Sekar Rukun didirikan di Batavia.


Dengan berbagai macam kerangka organisasi tertuang dalam
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Tujuan
pada awalnya untuk menghimpun orang-orang Sunda yang
berada di Batavia, memajukan kebinangkitan Sunda,
memperbaiki bahasa Sunda dan menghibur hati tentu saja hal
ini berpengaruh dalam nama Perkumpulan Sekar Rukun, agar
perkumpulan ini tumbuh besar maka nama yang digunakan
adalah Sekar Rukun bukan Jong Sunda (Ekadjati, 2014, hlm.
76).

Tercantum tokoh-tokoh yang mengawali berdirinya


Perkumpulan Sekar Rukun di mana para tokoh ini mayoritas
merupakan para pemuda Sunda yang bersekolah di
Kweekschool Batavia yang notabeni asalnya merupakan
anggota Jong Java. Saat itu, organisasi yang eksis dalam
menaungi pemuda-pemuda khususnya di Jawa adalah Jong

7
Java (Sutjiatiningsih, 1999, hlm. 17). Hal ini menjadi bukti atas
eksistensi pemuda Sunda dalam Pergerakan Nasional untuk
mencapai Indonesia merdeka. Selain itu, bila dikaitkan
dengan masa sekarang, hal ini menjadi sebuah refleksi bagi
para pemuda Sunda yang dinilai kurang eksis di kancah
nasional.

Para tokoh yang mengawali berdirinya Perkumpulan


Sekar Rukun adalah Doni Ismail, Djuwariah, Hilman, Iki
Adiwidjaja, Moh. Sapii, Mangkudiguna, dan Iwa
Kusumasumantri sebelum akhirnya nanti Dr. Husein
Djajadiningrat ikut terlibat dalam Perkumpulan Sekar Rukun
(Ekadjati, 2014, hlm. 76-77). Tahun 1931 dipilih ketika
Perkumpulan Sekar Rukun dan organisasi pemuda lainnya
yang mengikuti Kongres Pemuda 1 dan 2 meleburkan diri
dalam organisasi Indonesia Muda yang ditandai dengan
Kongres Indonesia Muda di Gedung Habiprojo, Surakarta
pada 28 Desember 1930-1 Januari 1931 (Kartodirdjo, 2014,
hlm. 65). Perkumpulan Sekar Rukun menjadi bukti eksistensi
masyarakat Sunda di kancah nasional pada masa Pergerakan
Nasional. Pada awalnya perkumpulan ini diupayakan
kegiatannya tidak terkait dengan urusan agama, tidak
menyimpang dari undang-undang dan hukum negara kala itu
dan tidak ikut campur dengan urusan politik.

Perkembangan Sekar Rukun lebih aktif terfokus dalam


hal kebudayaan terutama kebudayaan Sunda (Lubis, 2000,
hlm. 180). Mereka menerbitkan surat kabar yang dinamai

8
surat kabar Sekar Rukun. Surat kabar Sekar Rukun didirikan
pada Desember 1922 yang dikelola oleh pengurus
Perkumpulan Sekar Rukun. Surat kabar Sekar Rukun
diterbitkan satu bulan sekali secara berkala yang mayoritas
isinya pun lebih terfokus dalam hal kebudayaan Sunda
karena memang tujuan awal Perkumpulan ini terfokus pada
kebudayaan Sunda. Wawasannya tidak hanya terfokus pada
lingkungan internal organisasi tetapi sudah lebih luas bahkan
sudah dapat menjalin hubungan dan merancang kerjasama
dengan organisasi pemuda lainnya. Kegiatannya
berhubungan dengan buku, perpustakaan, koperasi, kesenian,
keterampilan wanita, olahraga, dan diskusi.

Perkumpulan Sekar Rukun memperluas wawasan dan


jangkauan kegiatannya, tidak hanya berkaitan dengan
lingkungan dan kepentingan Sunda saja. namun, berkaitan
pula dengan lingkungan dan kepentingan nasional. Dengan
begitu pula pemahaman terkait anggota Perkumpulan Sekar
Rukun ini diperluas dengan menetapkan keanggotaan adalah
semua pemuda Indonesia yang mengerti bahasa Sunda.
Tujuannya pun tidak hanya terbatas dengan kebudayaan,
namun lebih luas hingga tentang perpolitikan Bangsa saat itu
ikut oleh Perkumpulan Sekar Rukun (Sujatmiko, 2014, hlm. 7).
Perubahan dan perkembangan Perkumpulan Sekar Rukun
sejalan dengan perjuangan Pergerakan Nasional yang sejak
tahun 1926 tidak lagi ditutup-tutupi yakni ingin mendirikan
sebuah negara yang merdeka, bebas dari kekuatan asing
(Pringgodigdo, 1980, hlm. 145).
9
Sejak tahun 1926 itulah Perkumpulan Sekar Rukun
bergiat aktif dalam perjuangan bersama dengan kekuatan
Pergerakan Nasional lainnya (Karyanti, 2010, hlm. 33). Pada
tahun yang sama, rapat besar pengurus Perkumpulan Sekar
Rukun memutuskan untuk aktif dalam kongres Pemuda
Indonesia, baik kongres pemuda ke-1 pada tahun 1926.
Komite dalam kongres ini dibentuk sehabis konferensi antara
Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, pelajar-pelajar
Minahasa, Sekar Rukun, dan lain-lain pada taggal 15
November 1925 (Kartodirdjo, Poesponegoro, & Notosusanto,
1975, hlm. 196). Selanjutnya kiprah Perkumpulan Sekar
Rukun masuk ke dalam kongres Pemuda ke-2 pada tahun
1928. Perkumpulan Sekar Rukun memiliki peran penting
dalam kongres tersebut dan ikut menandatangani dan
bekerjasama dengan organisasi pemuda lainnya saat kongres
pemuda. Sebelum nantinya akan bergabung dalam Indonesia
Muda pada tahun 1931.

Konteks pemuda yang menjadi gambaran besar


dalam Perkumpulan Sekar Rukun. Eksistensi dan pergerakan
pemuda di Indonesia yang muncul sejak zaman Pergerakan
Nasional hingga saat ini. Kongres pemuda 1 dan 2 yang
dilaksanakan di tahun 1926 dan 1928 menjadi awal dari
eksistensi tersebut khususnya di Indonesia. Pada masa
Pergerakan Nasional muncul suatu pemikiran bahwa
tergalangnya persatuan seuluruh rakyat Indonesia,
tercapainya kemerdekaan dan pembentukan amsa depan
bangsa Indonesia terletak ditangan pemuda (Inglesson, 2018,
10
hlm. 21). Meskipun nasionalisme awal mereka muncul
meskipun dalam konteks kedaerahan atau biasa disebut
dengan etno-nasionalisme (Sagimun, 1988, hlm. 70).
Perkembangan eksitensi dan pergerakan pemuda ini
berkembang hingga tahun 1945 di mana pemuda ikut andil
dalam proses proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Seyogyanya dalam hal ini, pemuda dapat menjadi
penyeimbang golongan-golongan tua dalam proses berpikir
dan bersikap. Peranan pemuda tidak dapat dikucilkan, salah-
satu contohnya pemuda menjadi dalang dalam penculikan
Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok tanggal 16
Agustus 1945, salah paham serta berselisih dengan golongan
tua, strategi politik yang dianggap belum matang dan lain
sebagainya yang meskipun begitu menunjukkan tekad dan
kemuan yang kuat yang lahir dari para pemuda. Menurut
Roem (1977, hlm. 36-37) dalam proses mencapai proklamasi
kemerdekaan Indonesia, para pemuda telah menentukan
sikapnya dan itu hal yang seharusnya dihormati dan dihargai.

Eksistensi pemuda bukan semata-mata hanya dalam


konteks demografis saja, tetapi kental dengan aspek historis
(penentu arah sejarah). Pemuda tidak hanya mengisi generasi
baru dalam sebuah komunitas masyarakat tetapi merupakan
subjek dan objek yang potensial yang bersama-sama ikut
andil dan berperan dalam setiap perubahan. Pemuda dapat
menemukan jalan untuk tujuan dan cita-citanya melalui
kebersamaan, dengan cara tersebut tanpa disadari dapat
melatih kepemimpinan mereka serta mempersiapkan diri
11
untuk turun ke masyarakat. Para pemuda kelak yang akan
melanjutkan kepemimpinan demi mencerdaskan dan
memajukan bangsanya. Perjuangan nasional seharusnya
memang lebih bersemangat jika kaum intelektual muda
memainkan peran yang penting di dalamnya hanya dengan
percaya kepada kekuatan sendiri, cita-cita mereka akan
tercapai (Inglesson, 2018, hlm. 22).

Dinamika yang terjadi pada masa Pergerakan Nasional


ini sedikitnya berpengaruh dan dipengaruhi terhadap
Perkumpulan Sekar Rukun. Masa Pergerakan Nasional
merupakan masa yang sulit, namun menjadi titik balik
perjuangan Bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan oleh
berbagai elemen kelompok masyarakat, tidak terkecuali
Perkumpulan Sekar Rukun. Dipengaruhi oleh berbagai
ideologi, gerakan bahkan budaya yang ketika para pejuang di
masa itu menginginkan sebuah negara yang merdeka. Kita
ketahui semua, pada masa Pergerakan Nasional ini lah yang
menjadi titik poin mencapai sebuah kemerdekaan tersebut.

12
ETNO-NASIONALISME & NASIONALISME

Etno-nasionalisme merupakan paham kebangsaan


dengan sentimen etnis (agama, suku, ras) sebagai basisnya.
Etno-nasionalisme juga merujuk pada semangat yang
didasarkan pada etnisitas yang diwujudkan kedalam suatu
entitas politik yang bernama negara bangsa. Ada homogenitas
pengertian bangsa dalam hal ini, yaitu pengertian bangsa
lebih diperkecil kepada ikatan perasaan sesuku yang ditandai
dengan kesamaan bahasa, budaya atau kesetiaan pada suatu
teritorialitas tertentu. Dalam etno- nasionalisme ada kehendak
untuk membangun masa depan bersama dari penduduk yang
mendiami wilayah tertentu, yang secara ekonomi, politik dan
kultural merasa merupakan suatu komunitas yang
mempunyai rasa solidaritas yang erat (Murdiansyah, 2001,
hlm. 300).

Di Indonesia sendiri gerakan etno-nasionalisme


merupakan awal dari lahirnya suatu kesadaran kebangsaan
yang dimulai pada permulaan abad ke-20. Munculnya
Nasionalisme Jawa tahun 1917, Nasionalisme Sumatra pada
tahun 1918, lalu disusul oleh Nasionalisme Sunda yang mulai

13
ramai diperbincangkan pada tahun yang sama,
memperlihatkan bahwa sejak awal pembentukan
kesadaran kebangsaan Indonesia dimulai dalam perdebatan
berbasis nasionalisme-etnik atau etno-nasionalisme. Hal ini
pun turut memperkuat argumen bahwa Indonesia sebagai
sebuah bangsa bukanlah sesuatu yang telah lama ada atau
sesuatu yang diwariskan. Kebangsaan Indonesia sebagai
sesuatu yang baru muncul pada awal abad ke-20 itu berawal
dari evolusi nasionalisme etnik.

Etno-nasionalisme yang terjadi di dalam masyarakat


Sunda tidak terlepas dari keberadaan bangsawan Sunda
(menak). Salah satunya seperti bupati kabupaten Bandung R.
A. A Martanegara (1893-1918). Ia telah menulis beberapa
karangan, baik yang tergolong karya sastra maupun sastra
sejarah sehingga dianggap memberikan sumbangan yang
cukup besar terhadap perkembangan kesusastraan Sunda
pada tahun 1920-an. Beberapa karya yang ditulisnya antara
lain Wawacan Batara Rama, Wawacan Angling Darma, Wawacan
Aji Saka, dan Piwulung Barata Sunu yang disadur dari karya
sastra Jawa. Pangeran Aria Suriaatmaja, Bupati Sumedang
(1882- 1919) termasuk bupati yang menyukai seni sastra. Ia
menulis lirik lagu yang diciptakannya sendiri. Pada tahun
1912 ia juga menulis karangan yang berjudul Ditiung Memeh
Hujan (bertudung sebelum hujan) yang isinya mengandung
saran kepada Pemerintah Hindia Belanda agar orang pribumi
diberi pelatihan memgang senjata untuk menghadapi musuh
yang akan merebut Hindia Belanda. Selain sangat memiliki
14
jiwa etno-nasionalisme Sunda yang sangat tinggi para menak
ini memilih tunduk pada pemerintah kolonial Hindia-Belanda
untuk mempertahankan jabatannya dan kesundaannya. Lihat
saja peristiwa gerakan Sarekat Islam di Priangan Tengah pada
tahun 1918, R. A. A Martanegara lebih memilih memihak
pemerintah Kolonial Hindia- Belanda dengan cara
meredamkan gerakan tersebut demi mempertahankan
jabatannya sebagai bupati dan menjaga eksistensi Sunda dari
pengaruh-pengaruh Islam yang radikal (Lubis, 2000, hlm.
168).

Secara fenomena di masyarakat khususnya diperjalanan


sejarah Indonesia, Etno- Nasionalisme berkembang menjadi
Nasionalisme. Konsep Nasionalisme memiliki makna yang
beragam. Menurut Kohn (1984, hlm. 11) nasionalisme
merupakan suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan. Begitupun dengan Smith (2003, hlm. 11) yang
mengartikan nasionalisme sebagai suatu gerakan ideologis
untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan dan
identitas bagi suatu populasi yang sejumlah anggotanya
bertekad untuk membentuk suatu bangsa yang aktual atau
bangsa yang potensial. Secara sederhana, nasionalisme
memiliki arti rasa kebangsaan, dimana kepentingan negara
dan bangsa mendapat perhatian besar dalam kehidupan
bernegara (Supardan, 2011, hlm. 339).

15
Nasionalisme tidak dapat begitu saja tertanam dalam
diri setiap bangsa, karena memerlukan suatu proses supaya
rasa nasionalisme dapat tertanam yang kemudian
diperjuangkan oleh suatu bangsa tersebut. Adisusilo
mengemukakan beberapa tahap nasionalisme, antara lain,
pertama, Stirrings, yaitu tahap dimana suatu bangsa sadar jika
dirinya sedang berada dalam suatu penderitaan akibat dari
tekanan-tekanan bangsa asing, dan mencoba untuk
melakukan suatu perubahan dengan melakukan perlawanan
terhadap gagasan asing dan cara hidup asing. Kedua, tahap
centre-piece nasionalisme, yaitu masa perjuangan untuk
mendapatkan kemerdekaan. Ketiga, tahap konsolidasi, yang
lebih difokuskan pada konsolidasi ekonomi (Adisusilo, 2013,
hlm. 7). Pemaparan dari Adisusilo memberikan suatu
keterangan jika nasionalisme muncul dari bangsa- bangsa
yang memiliki penderitaan bersama akibat dari penjajahan
bangsa asing. Bangsa terjajah berusaha merdeka dan hidup
bebas bersama dengan sebangsanya tanpa intervensi dari
bangsa asing. Hal tersebut terjadi pada bangsa Indonesia di
paruh pertama abad ke-20 yang ditandai dengan lahirnya
golongan intelektual pribumi yang sadar jika penderitaan
akibat dari penjajahan bangsa asing harus segera diakhiri
dengan jalan menanamkan kesadaran nasional. Munculnya
ide persatuan Indonesia pada awal tahun 1920-an menjadi
babak baru bagi pemikiran masyarakat pribumi di Indonesia
dalam hal memandang masalah kebangsaan. Pada tahun 1922
perkumpulan mahasiswa asal Indonesia di Belanda yang

16
menamakan dirinya Indonesische Vereeniging yang kemudian
berubah menjadi mulai Perhimpunan mempropagandakan
nama Indonesia sebagai suatu identitas kebangsaan dan nama
Indonesia, yang memiliki makna politis untuk menggantikan
penyebutan Nederlands-Indie atau Hindia-Belanda.

Ide kebangsaan tersebut kemudian mereka bawa ke


Indonesia dan mulai disebarluaskan melalui surat-surat kabar
yang mereka terbitkan, sehingga melahirkan suatu kesadaran
baru tentang kebangsaan bagi kaum pergerakan di Indonesia
(Hatta, 2015, hlm. 166). Munculnya nasionalisme Indonesia
yang merupakan suatu ide baru tentang kebangsaan yang
merangkum seluruh bangsa pribumi di Indonesia dalam satu
tema kesatuan baru yang batas-batasnya adalah batas-batas
kolonial (Reid & Marr, 1983, hlm. 54). Ideologi nasionalisme
yang di dalamnya terdapat persatuan nasional itu,
penyebarannya secara masif dimulai tahun 1924, yaitu setelah
beridirinya studieclub-studieclub di Indonesia, terutama
studieclub yang berada di bawah pimpinan Ir. Soekarno.
Ideologi kebangsaan yang dibawa oleh anggota PI ke
Indonesia ini nampaknya diterima oleh organisasi-organisasi
kedaerahan, seperti oleh Perkumpulan Sekar Rukun dan
beberapa organisasi serupa lainnya. Bagi organisasi-
organisasi kedaerahan Indonesia, nasionalisme Indonesia
merupakan angin baru bagi mereka, dimana sebelum
munculnya ide ini, mereka memandang kebangsaan hanya
berdasar pada kesamaan suku bangsa, bahasa dan
kebudayaan saja (Suharto, 2002, hlm. 52).
17
Rasa bangga terhadap di mana tempat itu dilahirkan
menjadi hal umum yang terjadi di mana saja. Hal ini biasa
disebut etno-nasionalisme. Seiring dengan perkembangan
waktu, rasa etno-nasionalisme tersebut melebur menjadi rasa
Nasionalisme, persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa
yang memunculkan sebuah rasa nasionalisme. Hal ini tentu
disertai oleh beberapa faktor, yang utama adalah proses
persamaan rasa ketika dijajah dan pasca dijajah oleh pihak
asing, selain itu proses amalgamasi atau perkawinan yang
dilakukan secara silang dalam artian tidak terbatas oleh
suku, agama, ras dan budaya yang memunculkan rasa
nasionalisme bahwa kita adalah satu kesatuan terutama rasa
ke-Indonesiaan yang dimiliki.

18
PEMUDA SUNDA

Pemuda adalah individu yang bila dilihat secara fisik


sedang mengalami perkembangan dan secara psikis sedang
mengalami perkembangan emosional, sehingga pemuda
merupakan sumber daya manusia Pembangunan baik saat ini
maupun nanti yang akan menggantikan generasi sebelumnya.
Pemuda juga merupakan individu dengan karakter yang
dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum
memiliki pengendalian emosi yang stabil. Pemuda
menghadapi masa perubahan sosial maupun kultural.
Terdapat beberapa pengertian pemuda menurut para
ahli, Abdullah (1974, hlm. 6) mengartikan pemuda adalah
individu dengan karakter dinamis, bahkan bergejolak dan
optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang
stabil. Pemuda memiliki harapan besar dalam kemajuan
negara dan bangsa pada periode berikutnya. Hal ini salah
satunya diakibatkan oleh sifat-sifat pemuda yang menurut
Abdullah (1974, hlm. 15), antara lain; 1) kemurnian
idealismenya, 2) keberanian dan keterbukaannya dalam
menyerap nilai-nilai dan gagasan-gagasan baru, 3) semangat
pengabdiannya, 4) spontanitas dan pengabdiannya, 5) inovasi
19
dan kreatifitasnya, 6) keinginan untuk mewujudkan gagasan-
gagasan baru, 7) keteguhan janjinya dan keinginan untuk
menampilkan sikap dan kepribadiannya yang mandiri, 8)
masih langkanya pengalaman-pengalaman yang dapat
merelevansikan pendapat, sikap dan kenyataan yang ada.
Alasan-alasan tersebut pada dasarnya melekat pada diri
pemuda yang jika dikembangkan dan dibangkitkan
kesadarannya, maka pemuda dapat berperan secara alamiah
dalam kepeloporan dan kepemimpinan untuk menggerakkan
potensi-potensi dan sumber daya yang ada dalam masyarakat.
Kiprah pemuda ini memiliki pengaruh besar sejak masa
Pergerakan Nasional, sebagai contoh adalah Kongres Pemuda
1 (1926) dan Kongres Pemuda 2 (1928) di mana perubahan
besar pada sikap dan pemikiran kaum pribumi kala itu yang
berubah dengan diselenggarakannya Kongres tersebut.
Konsep-konsep bangsa, tanah air dan bahasa yang satu
muncul sebagai penggagas awal yang signifikan menuju
Indonesia merdeka. Selain itu, perubahan besar di Indonesia
banyak juga diinisiasi oleh pemuda. Tahun 1945, terjadi
pertentangan antara golongan tua dan golongan muda untuk
menyelenggarakan Proklamasi. Pemuda sangat menentang
keras bahwa proklamasi diberikan oleh pihak pemerintah
militer Jepang. Pola-pola pemikiran inilah yang setidaknya
membantu para golongan tua untuk menentukan proklamasi
Indonesia. Selain itu, tahun 1966 tahun 1998, pemuda menjadi
tonggak utama dalam penurunan rezim Soekarno dan
Soeharto yang dinilai telah mengalami krisis dalam

20
pemerintahannya. Hal-hal tersebut membuktikan peranan
besar pemuda bagi Bangsa Indonesia yang tidak dapat
disepelekan dalam jalannya sejarah Indonesia.
Sistem kebudayaan di Indonesia terdiri dari sistem
kelompok etnik pribumi yang sangat banyak dan beragam.
Sebuah Etnik terlihat dari kebiasaan, budaya, bahasa, pola
pikir, tingkah laku dan wilayahnya. Pada dasarnya hal ini
akan menimbulkan suatu kebiasaan dan budaya yang
beragam. Menurut Ranjabar (2015, hlm. 143) dari etnik- etnik
tersebut yang membentuk sebuah kebudayaan beranggapan
bahwa kebudayaan mereka itu diwariskan kepada mereka
secara turun temurun sejak nenek mereka hidup di zaman
dongeng. Menurut Harsojo (1986, hlm. 96) “Kebudayaan itu
adalah segala yang diciptakan, segala yang dikarsakan dan
segala yang dirasakan oleh manusia”. Setiap kebudayaan
hidup dalam suatu masyarakat yang baik berwujud sebagai
komunitas desa, kota, sebagai kelompok yang menampilkan
suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar dari
masyarakat yang bersangkutan. Seorang masyarakat dari
suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari ke hari di dalam
lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak
khas tersebut (Koentjaraningrat, 2015, hlm. 214). Sebaliknya,
mengenai kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak
khasnya terutama dari unsur-unsur berbeda mencolok dengan
kebudayannya sendiri.
Istilah Sunda (etnik Sunda) sendiri kemungkinan berasal
dari bahasa Sanskerta yakni sund atau suddha yang berarti
21
bersinar, terang, atau putih. (Dalam bahasa Jawa Kuno Kawi)
dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian
yang sama yakni bersih, suci, murni, tidak bercela atau
bernoda, air, tumpukan, pangkat, dan waspada (Ekadjati,
2009, hlm 1). Etnik Sunda berkaitan dengan identitas
kebudayaan Sunda karena berkaitan dengan sistem nilai
kolektif masyarakatnya yang mayoritas memiliki kesamaan
kebiasaan, budaya, bahasa, pola pikir, tingkah laku dan
wilayahnya. Masyarakat di wilayah Jawa yang memiliki
penutur bahasa Sunda dinyatakan bahwa mereka memiliki
budaya dan identitas Sunda yang khas. Kesadaran ini juga
diperteguh dengan adanya batas-batas wilayah administratif
yang dipatok di bagian wilayah pulau Jawa. Menurut
Moriyama (2013, hlm. 12) mengutip dari Herbert de Jager
(1636-1694) seorang sarjana Belanda yang berasal dari Leiden
mengatakan bahwa bahasa Sunda sebagai zondaase taal
digunakan dibagian barat pulau Jawa.
Selain bahasa Sunda dan wilayah administratif,
kebiasaan-kebiasaan orang Sunda yang tercermin dalam
budaya, pola pikir dan tingkah laku masih terjaga hingga saat
ini. Hal ini ditunjukkan dalam peribahasa-peribahasa Sunda
yang menyangkut dalam kehidupan orang-orang Sunda,
seperti; cageur, bageur, bener, pinter, singer (Lubis, 2000, hlm.
126). Dari peribahasa ini dapat disimpulkan bahwa dalam
tradisi orang- orang Sunda kesehatan dianggap sebagai bagian
yang tak terpisahkan sejak dalam kandungan, hidup hingga
meninggal. Selain itu, peribahasa lain, seperti; Hanteu yogya

22
mijodo-keun bocah; bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu
ngajadikeun (Lubis, 2000, hlm. 127). Hal ini diinterpretasikan
bahwa orang-orang Sunda sudah menyadari tidak sehatnya
perkawinan anak-anak yang belum cukup umur. Maka dari
itu, bahasa, wilayah, pola pikir dan tingkah laku yang khas
dari orang-orang Sunda yang membedakan kebudayaannya
dari orang lain yang menyebabkan eksistensi orang-orang
Sunda masih ada hingga saat ini. Jadi, pemuda sunda
merupakan individu yang memiliki idealisme tinggi dan
memiliki karakter yang kuat yang hidup di Jawa bagian barat
dengan menggunakan bahasa, pola pikir dan tingkah laku
yang khas dan identik dengan kesundaan. Perkumpulan Sekar
Rukun sangat dipengaruhi oleh ke-Sundaantersebut. Hal ini
dipengaruhi tentunya para anggota yang notabeni merupakan
para pemuda sunda. Tingkah-laku, gerakan, cipta, karsa dan
rasa ke-Sundaanyang memang menjadi sebuah landasan
bergerak dalam Perkumpulan Sekar Rukun.

23
PERKUMPULAN SEKAR RUKUN

Organisasi Perkumpulan Sekar Rukun tidak sepopuler


organisasi yang ada pada masanya. Padahal namanya itu
tercantum didalam naskah sumpah pemuda, salah satu
organisasi pemuda yang tercatat ikut menandatangani adalah
Sekar Rukun (Ekadjati, 2014, hlm. 74). Naskah tersebut adalah
hasil kongres Pemuda Indonesia 1 dan 2 pada tahun 1926 dan
1928. Bila dilihat secara nama organisasi jelas agak aneh nama
tersebut hadir di dalam kongres Sumpah Pemuda. Bukankah
waktu itu para organisasi pemuda umumnya menggunakan
nama jong yang merupakan bahasa Belanda dan memiliki arti
pemuda atau nonoman. Selain itu, tercantum kata sekar yang
dapat ditemukan dalam kamus bahasa Sunda ataupun kamus
bahasa Jawa yang artinya adalah bunga. Bunga ini yang dapat
diinterpretasikan sebagai makna dari pemuda. Hal ini selaras
menuurut Sumardjo (2015, hlm. 266) bahwa bunga dalam
masyarakat Sunda tidak hanya bermaksud pada perempuan
tetapi juga laki-laki yang memiliki paras yang elok (pemuda).
Kata rukun banyak diketahui oleh berbagai kalangan terdapat
baik di Sunda ataupun Jawa yang artinya akur, tidak bertikai

24
atau berselisih. Jadi, jika ditinjau dari namanya akan
menimbulkan kebingungan tersendiri sebenarnya.
Jika diingat di Bandung pada akhir abad ke 19 dan
memasuki awal abad ke 20 sering diadakan acara hiburan bagi
warga kala itu. Salah satunya adalah pertunjukan Tunil
Tembang. Pertunjukkan ini biasanya diselenggarakan di
Societeit Parukunan, tepat di selebah timur pendopo Kabupaten
Bandung (sekarang kota Bandung) (Sumardjo, et al. 2013, hlm.
297). Bila mengingat terhadap penamaan gedung Societeit
Parukunan yang dasar katanya dari kata rukun. Mendapat
imbuhan pa- dan an. Memiliki arti bahwa gedung tersebut
adalah tempat pergaulan dan pertemuan untuk hidup rukun
dan akur antar sesama. Apabila mengingat pada hal demikian
niscaya dapat menebak bahwa Perkumpulan Sekar Rukun
merupakan organisasi yang berasal dari Tatar Sunda, bukan
dari Jawa.
Lahirnya Perkumpulan Sekar Rukun tidak terlepas
dari bagaimana dinamika pada masa Pergerakan Nasional.
Hal itu tentu terjadi juga dalam organisasi serupa yang lahir
pada masa Pergerakan Nasional. Awal abad ke-20 munculnya
kesadaran kebangsaan Indonesia, hal itu terutama berawal
dari para kaum intelektual yang mengenyam bangku
pendidikan. Kesadaran tersebut muncul akibat dari wawasan
dan pengetahuan yang relatif bertambah ketika mengenyam
pendidikan di bangku sekolah serta berbagai macam bahan
bacaan yang kita ketahui muncul dari sebuah program yang
bernama Politik Etis. Pendidikan modern yang diatur serta
25
dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda
memberikan sebuah pengaruh yang sangat besar bagi pola
pikir masyarakat Indonesia terutama dalam memandang
kolonial Belanda sebagai bangsa asing dan identitas dirinya
sebagai bangsa pribumi.

26
DINAMIKA
MASA PERGERAKAN NASIONAL

Pada masa Pergerakan Nasional sedang muncul


sebuah tren yakni menumbuhkan suatu kesadaran tentang
perlunya masyarakat pribumi menjadi sebuah bangsa yang
maju (Mulyana, 2015, hlm. 43). Kesadaran untuk memajukan
bangsa Indonesia itu sendiri dimulai dengan menghimpun
sebuah kekuatan bersama di antara mereka dalam sebuah
perkumpulan-perkumpulan yang berbentuk organisasi
modern. Jika dilihat dalam hal organisasi modern ini, bahwa
masyarakat Indonesia dengan berorganisasi pada masa itu
mengikuti jejak orang-orang Eropa dalam mewujudkan tujuan
mereka.
Organisasi modern yang awal muncul adalah Budi
Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 oleh para pelajar
STOVIA di Batavia. Kehadiran Budi Utomo ini mempelopori
sebuah gerakan kebangsaan model yang baru khususnya di
Indonesia. Perkumpulan Budi Utomo menghimpun orang-
orang dari Pulau Jawa dan Madura yang dengan niat awalnya
adalah memajukan tanah Jawa yang dipandang sebagai tanah
airnya sendiri dalam berbagai bidang, seperti budaya,
27
pendidikan, politik, sosial, ekonomi dan lain sebagainya.
Kehadiran Budi Utomo ini nampaknya menginspirasi
bermunculannya berbagai organisasi lain yang serupa, seperti
Ambonsch Studiefonds (1909), Rukun Minahasa (1912),
Paguyuban Pasundan (1913), Jong Java (1915), Sarekat
Sumatera (1918), dan Perkumpulan Sekar Rukun (1919)
(Pringgodigdo, 1980, hlm. 12).
Organisasi yang muncul tersebut terlihat berdasarkan
dari persamaan etnis. Jika dilihat bahwa hal itu menjadi
sebuah hal yang lumrah terjadi pada masa Pergerakan
Nasional di mana faktor kesamaan etnis, kebudayaan, bahasa
dan daerah asal mereka. Di antara organisasi-organisasi
tersebut khususnya Budi Utomo atau Jong Java yang memiliki
pengikut yang banyak di pulau Jawa sebagai pelopor yang
memiliki sebuah hubungan erat dengan orang-orang Sunda.
Baik perorangan ataupun kelembagaan. Hal itu dilihat dari
banyaknya orang-orang Sunda yang terlibat aktif ke dalam
dua organisasi tersebut. Karena secara kelembagaan, Budi
Utomo ataupun Jong Java yang keanggotaannya berasal dari
para penduduk Jawa dan Madura. Akan tetapi dalam
perkembangannya, Budi Utomo dan Jong Java cenderung
mengutamakan orang, bahasa dan kebudayaan Jawa. Maka
selanjutnya banyak orang Sunda yang mundur serta berhenti
dari keanggotaan Budi Utomo dan Jong Java salah satunya
adalah tokoh terkenal pada masa Pergerakan Nasional yaitu
Iwa Kusumasumantri. Kemudian, orang- orang Sunda

28
mendirikan sebuah organisasi baru yang berdasarkan atas
etnis ke-Sundaanyang dimiliki.
Pelajar STOVIA yang berasal dari Sunda, seperti Mas
Dajat Hidajat dan R. Iskandar Brata kemudiaan mendirikan
Paguyuban Pasundan di Batavia pada 1913, asalnya mereka
merupakan anggota dari Budi Utomo juga (Suharto, 2002,
hlm. 19). Selain itu tumbuh juga organisasi kepemudaan
Sunda pada 1919. Pendiri organisasi kepemudaan Sunda
tersebut berasal dari pelajar-pelajar Kweekschool, MULO, E.N.C,
Rechtschool & P.H.S seperti Iwa Kusumasumantri, Iki
Adiwidjaja, dan Doni Ismail yang asalnya merupakan anggota
dari Jong Java. Organisasi tersebut dikenal sebagai
Perkumpulan Sekar Rukun.
Setelah Paguyuban Pasundan dan Perkumpulan Sekar
Rukun terbentuk, orang- orang Sunda banyak yang masuk
dan terlibat aktif dalam kedua organisasi tersebut. Nampak
mereka mulai tertarik dengan Paguyuban Pasundan dan
Perkumpulan Sekar Rukun dibandingkan dengan Budi Utomo
dan Jong Java yang dinilai mulai eksklusif bagi orang-orang
Jawa saja. Kemudian, para anggota Budi Utomo dan Jong Java
memiliki sebuah spekulasi bahwa orang-orang Sunda ingin
memisahkan diri dari persatuan dan kesatuan yang hendak
dibangun oleh mereka (Ekadjati, 2014, hlm. 20). Akhirnya
muncul berbagai masalah mengenai etnis itu dalam dinamika
pada masa Pergerakan Nasional. Narasi yang menyatakan
akan munculnya wacana Nasionalisme Sunda yang ketika
tahun 1918 mulai banyak diperbincangkan oleh orang-orang
29
Sunda. Dengan adanya wacana tersebut yang akan
menguatkan spekulasi dari para anggota Budi Utomo dan Jong
Java bahwa orang-orang Sunda ingin memisahkan diri dari
persatuan. Sementara Paguyuban Pasundan dan Perkumpulan
Sekar Rukun memiliki sebuah pandangan bahwa kebudayaan
Sunda berbeda dengan kebudayaan bangsa lain yang ada di
Hindia-Belanda, termasuk dengan etnis Jawa. Beberapa
perdebatan yang terjadi mengenai permasalahan ini terus
berlangsung, bahkan hingga pertengahan tahun 1920-an yang
juga melibatkan berbagai tokoh penting pergerakan yang
berasal dari Sunda.

30
DINAMIKA
PERKUMPULAN SEKAR RUKUN

Perkumpulan Sekar Rukun didirikan pada tahun 1919,


tepatnya pada 26 Oktober 1919 di Batavia dengan nama
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi (Hoofdbestuur,
1922). Identitas mengenai Perkumpulan Sekar Rukun banyak
tercantum dalam surat kabar Sekar Rukun. Surat kabar
tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1922 yang dikeluarkan
sekitar satu bulan sekali dengan penanggung jawab atau
ketika saat itu disebut dengan Beschermeer yakni Prof. Dr.
Husein Djajadiningrat. Ada juga pemimpin redaksi atau kala
itu disebut dengan Hoofredactie yakni Doni Ismail dan Iki
Adiwidjaja dan editor atau biasa disebut dengan Redactieleden
yakni Djoewaria, Hilman dan Moh Sapii. Harga surat kabar
Sekar Rukun yakni f. 0,75 per 3 bulan sekali. Keuntungan
dalam mengelola surat kabar salah satunya digunakan sebagai
uang kas dalam organisasi. Dalam surat kabar Sekar Rukun
ini yang menulis berbagai narasi dalam kolom surat kabar
yakni para anggota perkumpulan Sekar Rukun. Beberapa
tokoh yang menjadi pelopor Perkumpulan Sekar Rukun
adalah pelajar dari Kweekschool, MULO, E.N.C, Rechtschool &

31
P.H.S khususnya di Batavia, diantaranya Doni Ismail, Iki
adiwidjaja, Iwa Kusumasumantri. Pengurus pusat
Perkumpulan Sekar Rukun berada di Batavia, dengan
susunan pengurus sebagai berikut: President (Iki Adiwidjaja,
kweekschool), Vice Presidente (Doni Ismail, kweekschool),
Sekretaris I (Nawawi, P.H.S), Sekretaris II (Sanoesi, M.U.L.O),
Penningmesteer (Soerija, kweekschool), Lid (Samjoen,
kweekschool) & (Oesman, Rechtschool) (Lid Sekar Roekoen,
1922). Dalam struktur organisasi Perkumpulan Sekar Rukun
meskipun yang menjadi pelopor adalah kweekschool dinilai
dari banyaknya pelajar yang mengisi posisi penting dalam
Perkumpulan Sekar Rukun, namun para pelajar kweekschool itu
menggaet pelajar dari instansi pendidikan lain yang
khususnya orang-orang Sunda untuk mengisi struktur dalam
Perkumpulan Sekar Rukun, pasti memiliki sebuah tujuan.
Dalam analisis penulis tujuan tersebut pasti terarah pada
melebarkan sayap organisasi agar dapat diterima diberbagai
instansi pendidikan yang memang merupakan fokus anggota
dari Perkumpulan Sekar Rukun.
Nama Perkumpulan Sekar Rukun adalah nama yang
unik, pasalnya pada masa Pergerakan Nasional terutama
organisasi pemuda biasanya menggunakan nama “Jong” di
depannya kemudian dilanjutkan dengan nama etnis atau
golongan dari mana mereka berasal, semisal Jong Java, Jong
Sumateranen Bond, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond dan lain
sebagainya. Namun, Perkumpulan Sekar Rukun yang
anggotanya para pemuda Sunda memiliki nama tersendiri

32
yakni Sekar Rukun yang tidak memiliki kesamaan dengan
organisasi pemuda pada masanya. Tercantum kata sekar yang
dapat ditemukan dalam kamus bahasa Sunda ataupun kamus
bahasa Jawa yang artinya adalah bunga. Bunga ini yang dapat
diinterpretasikan sebagai makna dari pemuda. Bahwa bunga
dalam masyarakat Sunda tidak hanya bermaksud pada
perempuan tetapi juga laki-laki yang memiliki paras yang elok
(pemuda). Kata rukun banyak diketahui oleh berbagai
kalangan terdapat baik di Sunda ataupun Jawa yang artinya
akur, tidak bertikai atau berselisih Beberapa hal yang
menguatkan analisis penulis adalah jika diingat di Bandung
pada akhir abad ke-19 dan memasuki awal abad ke-20 sering
diadakan acara hiburan bagi warga kala itu. Salah satunya
adalah pertunjukan Tunil Tembang. Pertunjukkan ini biasanya
diselenggarakan di Societeit Parukunan, tepat di selebah timur
pendopo Kabupaten Bandung (sekarang kota Bandung)
(Sumardjo, et al. 2013, hlm. 297). Bila dilihat terhadap
penamaan gedung Societeit Parukunan yang dasar katanya dari
kata rukun. Mendapat imbuhan pa- dan an. Memiliki arti
bahwa gedung tersebut adalah tempat pergaulan dan
pertemuan untuk hidup rukun dan akur antar sesama.
Apabila mengingat pada hal demikian niscaya dapat menebak
bahwa Perkumpulan Sekar Rukun merupakan organisasi
yang berasal dari Tatar Sunda, bukan dari Jawa. (Sumardjo,
2015, hlm. 266).
Hal ini diperkuat dengan sejarah lahir Perkumpulan
Sekar Rukun mengapa dinamakan Sekar Rukun. Disarankan

33
oleh beschermeer Prof. Dr. Husein Djajadidingrat bahwa Sekar
merupakan gambaran dari Nji Sekar (wanita) dan Rukun
merupakan gambaran dari Oedjang Oekoen (pria). Kata Nji
Sekar dan Oedjang Oekoen memang sangat menggambarkan
maksud dan nilai pemuda Sunda pada saat itu (Hoofdbestuur,
1925). Nampak para pemuda Sunda ini memiliki sebuah
keunikan tidak ingin nama organisasinya mirip dengan nama
organisasi lain yang familiar ketika saat itu. Yang jelas adalah
ketika masa Pergerakan Nasional tersebut khususnya di Jawa
memiliki organisasi yang serupa yakni Jong Java, cakupan Jong
Java secara organisasi memang lebih luas karena mencakup
Jawa Raya yang di dalamnya terdapat orang Jawa, Sunda atau
bahkan Madura, namun penilaian orang-orang Sunda bahwa
Jong Java terlalu bersifat kejawa-jawaan. Maka muncul sebuah
organisasi baru yang menghimpun orang-orang Sunda
namun tidak dengan maksud menyaingi Jong Java. Para
pemuda yang mendirikan Perkumpulan Sekar Rukun tahu
bahwa jika perkumpulan mereka diberinama Jong Sunda akan
dinilai sangat bertolakbelakang dengan Jong Java dan
perpecahan tersebut akan terlihat sangat jelas. Maka dari itu,
sebagai solusi nama Perkumpulan Sekar Rukun dimunculkan
agar memperhalus perbedaan yang ada terutama dalam
konteks Jawa Raya.
Dalam sebuah kutipan Surat Kabar Sekar Rukun terlihat
ketika terdapat pandangan bahwa Perkumpulan Sekar Rukun
dibentuk tidak untuk memecah para pemuda Sunda dan Jawa.

34
“maksad S.R sanes pisan hajang ngabibit aing-aingan,
ieumah pikeun nandakeun jen di P. Djawa teh aya hidji
bangsa anoe boga: basa, kabinangkitan s.d.t sorangan.
Pikeun nandakeun ngahidjina Soenda sareng Djawa.
Sapoelo pikeoen babarengan ngoedag hiji haloean
toedjoean noe saroea nja eta Jong Java. Kapan J.J. teh.
Sanes Pakoempolan noe Djawa bae, tapi noe Sunda,
Djawa, Madoera, Bali. Sareng Upami Soenda prantos
ngahidji pisan, kapan langkoeng ngarakeutkeunana
sareng Djawa teh. Moega oelah inggis ku bisi rempan koe
sugan […]”

(Artinya S.R sama sekali tidak mau menabur


sesuatu yang buruk, hanya melambangkan bahwa
di Pulau Jawa bangsa ada satu yang memiliki:
bahasa, asal muasal sendiri. Untuk menandakan
bersatunya Sunda dan Jawa. Sepulau yang
bersama-sama mengejar haluan, tujuan bersama
yaitu Jong Java. Ketika J.J bukan hanya
Perkumpulan yang Jawa saja, tapi juga Sunda,
Jawa, Madura, Bali. Dan jika Sunda sudah bersatu,
maka (Sunda) akan lebih bersatu dengan Jawa.
Semoga tidak mengambil kesempatan dalam
keadaan yang mengkhawatirkan […]) (Tjabang
Soekaboemi, 1922).

35
Dinamika yang terjadi pada masa Pergerakan Nasional
tentu ada, Perkumpulan Sekar Rukun dan organisasi lain
yang serupa tentu dibenturkan dengan etnis dan golongan
tertentu, namun hal itu menjadi sesuatu lumrah karena pada
akhirnya akan diselesaikan dan bersatu meskipun dinamika
dalam organisasi tidak pernah terelakkan.
Perkumpulan Sekar Rukun dalam periode tahun 1920-
an terus menjalankan organisasi nya. Salah satunya berfokus
pada kebudayaan Sunda. Hal itu memang menjadi fokus
utama Perkumpulan Sekar Rukun untuk melestarikan budaya
Sunda, tercantum dalam surat kabar Sekar Rukun di mana
banyak ditemukan pupuh Sunda seperti Sinom, Pucung dan
lain sebagainya. Isinya tentu mengenai ke-Sundaandan
mengenai Perkumpulan Sekar Rukun:
“Sinom- [1] December sasih ajeuna dinten minggoe
endjing-endjing. Leresan kaping sabelas. Sim abdi
parantos nampi serat kabar vereeniging, nu katelah
Sekar Roekoen, teu kinten abdi bingahna, matja
karangan ti wargi. Wargi elid Sekar Roekoen sadajana.
[2] moegi-moegi salamina, ngadeg ieu vereeniging,
margi perloe ker sadaja, sadajana moerid-moerid nu aja
di Batawi, soepadoes tiasa koempoel, namoeng kangge
oerang Soenda, soepados ngadjadi hidji rerempagan di
nagri pangoembaraan. [3] soegana nambihan loeang,
tina parkempelan alit, oerang damel karadjinan. Koe
sadaja para istri, tina modal saeutik. Oerang enggal

36
toentoet-toentoet njaeta keur saperloena, kaperloean istri-
istri soepaja oerang sing teras saladjengna. [4] sim abdi
teu kinten bingah, parantos ngiring djadi lid ti pameget
noe noe loeangan, ka djisim abdi noe laip. Pitoeloeng noe
maha sutji. Sim abdi sareboe noehoen, diparinan
kamadjengan, mangpaat kadiri abdi. Ka hadjang mah
sing teras saladjengna. [5] menggah zaman ajeuna mah,
istri noe taja pangarti. Estoening sok dikarinah koe
djalma nu seueur harti. Taja harga sadoeit, istri nu bodo
baliloe. Mana enggal ajeuna mah, oerang oedag anoe
pasti, susuganan oerang teh tiasa ngoedag”
(E.I.R.S&B.K. 1922)

(Sinom- [1] Desember sekarang adalah Minggu


pagi. Bertepatan dengan tanggal sebelas. Saya
sudah menerima buletin perkumpulan, namanya
Sekar Rukun, saya sangat senang, membaca tulisan
dari masyarakat. Warga anggota Sekar Rukun
semua. [2] semoga selamanya, berdiri
perkumpulan, karena perlu untuk semua, semua
murid-murid yanga da di Betawi, supaya dapat
berkumpul, tetapi hanya untuk orang Sunda,
supaya menjadi satu kesatuan di negeri
pengembaraan. [3] Semoga dapat menambahkan
diri yang lapang, dari Perkumpulan kecil, kita
membuat kerajinan tangan. Oleh semua wanita,
dengan modal ksedikit. Saya segera meneuntut
untuk seperlunya, keperluaan hanya untuk
37
keperluan wanita yang semoga kita akan ada
seterusnya. [4] saya sangat senang, karena telah
mengikuti menjadi anggota pria yang lapang, nanti
oleh kemampuan saya yang pelupa. Pertolongan
yang Maha Suci. Saya ucapkan seribu terimakasih,
telah diberikan sebuah kemajuan,yang bermanfaat
bagi diri saya. Saya ingin berlanjut selamanya. [5]
Meskipun di zaman sekarang, para wanita selalu
tidak mengerti. Padahal selalu diberikan jalan
supaya mengerti. Tidak ada harga seuang, wanita
si paling bodoh. Dimanapun saya sekarang, kita
kejar yang pasti, semoga kita dapat mengejarnya).

Dalam perkembangannya Perkumpulan Sekar Rukun


kian giat memperluas organisasinya, yang asalnya hanya
cabang di Jakarta atau ketika saat itu familiar disebut Betawi
oleh orang-orang Sunda, cabang-cabang yang lahir pada
tahun 1922 antara lain, cabang Sukabumi, Purwakarta,
Serang, Bogor, Surabaya dan Sukasari. Misalnya saja dalam
sebuah narasi yang tercantum di dalam surat kabar E &
N.S.P w.k. (1922) yang isinya berupa lirik pupuh kinanti yang
berjudul “Petawis kabingahan kana ngadegna tjabang S.R
Soekasari” (mengenai kebahagian beridirnya cabang Sekar
Rukun Sukasari). Sementara itu, Sekar Rukun cabang
Purwakarta dan Sukabumi diumumkan di dalam halaman
lain. Dalam surat kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh Tjabang
Poerwakarta (1922) kolom pertama mengenai Sekar Rukun
38
cabang Purwakarta, yang menjelaskan mengenai jumlah
anggota yang ada, struktur kepengurusan dan ucapan terima
kasih.

“Tjabang Sekar Roekoen Poerwakarta – Koe


Propagandana mitra Iki sareng Mangkoe di Purwakarta
prantos ngadeg tjabang S.R. lidna aja 89. Noe djadi
bestuur: president: djoeragan Ehon, secretaries:
djoeragan ito, penningmeester: djoeragan tarsa. Teu
welah nja moedji noehoen ka kersa toean Directeur
Normaalschool Poerwakarta. Wireh anjeuna prantos
nangtajoengan, memeres waktos aja propaganda. Kitoe
deui ka sadajana djr. Ti N.S wirah nepi sakitoe saena.”

(Cabang Sekar Rukun Purwakarta – Dengan


Propaganda Mitra Iki dan yang menjabat di
Purwakarta telah mendirikan cabang S.R.
anggotanya ada 89 orang. Yang menjadi pengurus:
presiden: juragan Ehon, sekretaris: juragan ito,
bendahara: juragan tarsa. Bukan hanya memuji
terimakasih kepada tuan Direktur Normaalschool
Purwakarta. Sifat dia begitu baik, memeras
waktu ada sebuag propaganda. Begitu juga untuk
semua djr. Dari N.S memiliki sifat hingga begitu
baiknya).

Mengenai Cabang Sukabumi, surat kabar Sekar Rukun


(1922b) hanya memberitakan perihal jumlah anggota cabang
39
Sukabumi dan menginformasikan perkembangan selanjutnya,
seperti kutipan sebagai berikut :

“Tjabang Soekabumi- Di Soekaboemi prantos ngadeng


tjabang. Lid-lidna ti sakola Cultuur woengkoel aja 32.
Katerangan sanes ti Soekabumi antosan doegi ka sasih
payoen. Moega bae djr. Ahmad Belawij sing tiasa
ngerahkeun di kota Seokaboemi”

(Cabang Sukabumi- Di Sukabumi saya sudah


mendengar cabang. Anggotanya dari sekolah
budaya saja sudah mencapai 32. Penjelasan lain
dari Sukabumi tunggu sampai satu bulan kedepan.
Semoga Ahmad Belawij dapat mengarahkan di kota
Sukabumi).

Mengenai cabang Surabaya, ternyata Perkumpulan


Sekar Rukun tumbuh di sana, tentu sama saja dengan fokus
terhadap para pemuda Sunda yang hidup di Surabaya yang
notabeni mayoritas merupakan wilayah yang beretnis Jawa,
di dalamnya seperti menginformasikan mengenai permintaan
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Surabaya dan membahas
mengenai kepengurusan organisasi digambarkan dalam surat
kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh Ishak selaku sekretaris
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Surabaya (1922):

“Kaleresan ping 4 mei 22’ elid-elid S.R. tjabang


Soerabaja kempelan di toentoen koe president djoeragan
40
Ahmad Hamami anoe dibadantenkeun: 1). Nyuhunkeun
Hoeish, Regl ka Hoofdbest. 2) ngadamel bibliotheek,
margi di soerabaja elid-elid koerang matja boekoe-boekoe
Sunda. 3) milih pengoeroes anjar, margi joeragan
Achmad Hamami kapaksa ngantoenkeun tjabang
Soerabaja djalaran ngalih ka Batawi. Anoe kapilih djadi
pangoeroes : Voorzitter en secretaris : Ishak,
Penningmesteer : Sarbini. Tidinja joeragan Achmad
Hamami njelenkeun padamelanana, daring
ngadoengakeun, soepados tjabang Soerabaja oelah aja
koetjiwana. Saparantos kempelan ditoetoep”.

(Tanggal 4 Mei 1922 anggota S.R. cabang Surabaya


di bimbing oleh presiden Ahmad Hamami,
beberapa permintaan: 1). Meminta cangkul, alat
bajak yang terbaik. 2) membuat perpustakaan,
karena di surabaya anggotanya kurang membaca
buku-buku sunda. 3) memilih pengurus baru,
karena Achmad Hamami dengan terpaksa harus
meninggalkan Surabaya karena pindah ke Batawi.
Yang terpilih sebagai pengurus: Ketua sekretaris:
Ishak, Bendahara: Sarbini. Dari situ Achmad
Hamami meninggalkan pekerjaannyae, supaya di
cabang Surabaya tidak ada yang kecewa. Setelah itu
kumpulan ditutup).

41
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Serang berdiri pada
2 April 1922. Pertama kali dibuat di Noormalschool Serang.
Seperti yang dijelaskan dalam kolom narasi surat kabar Sekar
Rukun yang ditulis oleh Kosasi sebagai sekretaris
Pekumpulan Sekar Rukun cabang Serang (1922).

“ping 2 April dinten Minggoe ngawitan taboeh 1. di


Noormalschool Serang prantos diajakeun perkoempoelan
anoe maksadna ngadamel tjabang S.R. Noe moeka eta
koempoelan djoeragan Padmadijadja ti Osvia disarengan
koe djoeragan Achmad voorzitzer Jong Java, tjabang
Serang. Saparantos djrg. Padma njarioskeun naon
maksadna noe manawi moerid soenda ngadegkeun
pakempelan S.R. ladjeng milih pangoeroes tjabang. Noe
kapilih, President : Achmad Soedjana, Vice President :
Achjar, Secretaris : Kosasi, Penningmesteer: Koentjoeng,
Commissarissen : Abdoelah sareng Darmin. Taboeh 3
koempoelan ditoetoep”.

(Tanggal 2 April hari Minggu dimulai jam 1. Di


Noormalschool Serang diadakan sebuah
Perkumpulan yang tujuannya membuat cabang
S.R. yang membuka kegiatan dalam kumpulan
tersebut adalah Padmadijadja dari Osvia yang
ditemani oleh Achmad ketua Jong Java, cabang
Serang. Setelah Padma membicarakan mengenai
apa maksud mengenai murid sunda mendirikan
kumpulan S.R. dilanjutkan dengan memilih

42
pengurus cabang. Yang terpilih sebagai Presiden :
Achmad Soedjana, Wakil Presiden : Achjar,
Sekretaris : Kosasi, Bendahara : Koentjoeng,
Komisariat : Abdulah dan Darmin. Jam 3 kumpulan
ditutup).

Selain itu, Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bogor


berdiri pada 13 Agustus 1922, setelah sebelumnya para
pemuda Sunda di Bogor didatangi oleh perwakilan
Perkumpulan Sekar Rukun cabang pusat. Selain itu,
dijelaskan pula bagaimana dinamika Perkumpulan Sekar
Rukun cabang Bogor yang selalu berganti-ganti ketua cabang.
Dalam sebuah catatan yang ditulis oleh Djamil sebagai
sekretaris Pekrumpulan Sekar Rukun cabang Bogor (1924).

“dina sasih Mei 1922 H. B. Sekar Roekoen ngintoenan


oetoesan ka Bogor, maksadna bade njebarkeun S.R. tea.
Koemargi harita parantos tomper kana vacantie, teu tiasa
diadegkeun enggal2. Nja tjiosna dina kaping 13 Agustus
1922. Bestuurna dipresidenan ku djr. Djoho. Sareng
dina lebet sataun bestuur sering pisan robahna”

(di bulan Mei 1922, pengurus Sekar Rukun


mengirim utusan ke Bogor dengan tujuan untuk
menyebarkan mengenai S.R. Karena ketika saat itu
mengalami beberapa masalah, tidak bisa didirikan
dengan segera. Jadinya, didirikan di tanggal 13
Agustus 1922. Pengurusnya, yang terpilih sebagai
43
presiden adalah Djoho. Kemudian dalam setaun,
kepengurusan sering banyak berubah)

Perkumpulan Sekar Rukun semakin melebarkan


organisasinya. Pada tahun 1923 saja berdiri cabang sekar
Rukun di Bandung, Salatiga dan Tasikmalaya. Mereka yang
memiliki sebuah komponen dan masa anggota tiap-tiap
cabang diperkenankan untuk mengikuti kongres
Perkumpulan Sekar Rukun ke-3 pada tahun 1923. Kongres
Perkumpulan Sekar Rukun ke-1 dilaksanakan pada tahun
1919/1920 ketika memang Perkumpulan Sekar Rukun cabang
Betawi atau Jakarta pertama kali muncul. Kongres tiap
tahunnya diselenggarakan, selanjutnya kongres ke-4
dilaksanakan pada tahun 1924, di Bandung. Secara persiapan
dibentuklah panitia kongres yang terdiri dari ketua pelaksana,
wakil ketua pelaksana, sekretaris, bendahara dan anggota
panitia. dari perwakilan anggota Perkumpulan Sekar Rukun
di Bandung. Dalam surat kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh
Tjabang Bandoeng (1924) disebutkan sebagai berikut:
“Voorz:Tatang Sadrah Prawira Koeseomah (Osvia), Vice
Voorz : Hasan (T.S.), Secretaris A : Sata Bramidjaja,
Secretaris B : B.Idris (T.S.) Penningmesteeres A : A. Siti
Moegajah (F.K.S), Penningmesteeres B : Siti Hasanah
(F.K.S), Leden : Adang E. Wiradilaga, Haroen Soerja”.

(Ketua : Tatang Sadrah Prawira Koeseomah


(Osvia), Wakil Ketua : Hasan (T.S.), Sekretaris A :

44
Sata Bramidjaja, Sekretaris B : B. Idris (T.S.),
Bendahara A : Siti Moegajah (F.K.S.), Bendahara B :
Siti Hasanah (F.K.S.), Anggota : Adang E.
Wiradilaga, Haroen Soerja).

Perkumpulan Sekar Rukun tetap berproses serta


berdinamika dalam berorganisasi. Pasalnya Perkumpulan
Sekar Rukun acapkali melakukan sebuah kongres yang di
dalamnya membahas mengenai Anggaran Dasar/Anggarat
Rumah Tangga. Dalam kongres Perkumpulan Sekar Rukun
yang ke II diputuskan beberapa hal yakni : 1) Anggaran
Rumah Tangga (ART) 1 ditambah kata di Bandung, 2) ART 5
setiap keputusan dan urusan cabang dikembalikan ke
cabangnya masing-masing, 3) dalam keputusan di mana
menunjukkan kepada pribadi disetiap perkumpulan harus
mengggunakan kata “sim kuring” bukan “pribados”, 4) diminta
kepada setiap yang berlangganan rutin surat kabar Sekar
Rukun disetiap cabang dapat menitipkan uang langgananya
pada saat kongres, dan 5) setiap cabang diminta
kontribusinya dalam segala hal terutama mengenai
Perkumpulan Sekar Rukun (Hoofdbestuur, 1924).
Dalam tiga tahun dari tahun 1919-1922, memiliki 7
cabang dan 1 cabang pusat dalam Perkumpulan Sekar Rukun
dapat dikatakan perkembangan yang cukup lambat. Beberapa
faktor bisa saja mempengaruhi dalam bperkembangan ini,
yang utama adalah tentu saja persaingan dalam organisasi.
Dapat diketahui organisasi serupa di daerah jawa yang
45
mengakomodir para pemuda yakni Jong Java masih menjadi
saingan yang cukup kuat dalam basis kepemudaan. Selain itu,
organisasi yang serupa seperti Paguyuban Pasundan yang
memang lebih awal hadir dari Perkumpulan Sekar Rukun pun
ikut mempengaruhi, pasalnya Paguyuban Pasundan dianggap
lebih matang untuk mengakomodir orang-orang Sunda, hal
ini dikarenakan, para tokoh yang hadir di dalam Paguyuban
Pasundan adalah tokoh yang sudah terkenal secara ketokohan
orang Sunda. Tentu, Perkumpulan Sekar Rukun yang di mana
para pimpinannya adalah masih menjadi seorang pelajar.
Cakupan keanggotaannyapun adalah pelajar, dua faktor di
atas tentu yang menjadikan perkembangan Perkumpulan
Sekar Rukun dinilai lambat
Dalam urusan organisasi lainnya, surat kabar Sekar
Rukun dijadikan juga sebagai sarana media informasi. Selain
dengan bagaimana dinamika organisasi juga laporan- laporan
organisasi disebarluaskan oleh surat kabar tersebut. Hal itu
memang lumrah pada masa Pergerakan Nasional atau awal
abad ke-20. Surat kabar memiliki peranan yang sangat penting
dalam media informasi tersebut, pasalya selain radio, surat
kabar adalah salah satu media di mana masyarakat dapat
mendapatkan informasi daripadanya. Sudah menjadi sebuah
ketentuan umum bahwa surat kabar pada awal abad ke-20 ini
memiliki peranan news & views, tidak terkecuali dalam surat
kabar Sekar Rukun. Dalam beberapa kesempatan, surat kabar
ini digunakan oleh beberapa pengurus cabang untuk
melaporkan arus kas selama kepoengurusan, biasanya diakhir

46
kepengurusan dari cabang tersebut serta menyertai pergantian
kepengurusan sebagai laporan pertanggungjawaban
kepengurusan. sebagai salah satu contoh yang melakukan
pelaporan terkait dana dilakukan oleh Perkumpulan Sekar
Rukun cabang Bogor pada tahun 1924. Disebutkan dalam
surat kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh penningmesteer atau
biasa disebut dengan bendahara cabang Bogor yaitu Patmah
(1924):

“PERTELAAN DJOEROE HARTA S.R. TJABANG


BOGOR – koemargi ajeuna waktosna, bestuur heubeul
seren soemeren, ka bestuur anjar kapaksa sim koering noe
kedah ngagentos djr. Wasir dina sasih Juli ping 15
nerangkeun kas tjabang Bogor ka djoeragan-djoeragan
sadajana. Moeng oerang djoeg-djoeg perloena, entong
pantjang catoer, pondok maksoed meakkeun waktos. Dina
sasih September 22’ nampi artos seueurna f. 20,70,
ngaloearkeun f. 15,69. October 22’ seueurna f. 20,90
ngaloearkeun f. 9.10. November seueurna f. 20,45
ngaloearkeun f. 0,61. December seueurna f. 22,99
ngaloearkeun f. 0,14. Januari 23’ seueurna f. 25,93,
ngaloearkeun f. 0,_. Februari seueuna f. 52,80
ngaloearkeun f. 2,62. Maret seueurna f. 60, 53
ngaloearkeun f. 25, 40. April seueurna f. 47,22
ngaloearkeun f. 7,19. Mei seueurna f. 48,28 ngaloearkeun
f. 0,_. Juni seueurna f. 48,28 ngaloearkeun f. 0,_. Juli
seueurna f. 51,83 ngaloearkeun f. 5,49. Agustus
seueurna f. 46,34 ngaloearkeun f. 1,14. Dina sasih
47
September samemeh congress di kas aja f. 62,21. Doegi ka
aja sakieu soteh, koemargi masih gaduh hoetang ka H. B.
4 sasih, djoemlah 4Xf. 5,05 = f. 20,20 djadi noe tjabang
mah memeh congress aja f. 42,01. Waktos congres ti kas
tjabang seep f. 35,24 moeng ayeuna parantos
dipoelangkeun deui. Seep sajih September dina kas aja
f.138,78 nja eta artos tjb. sareng artos congress f. 70, 45.
Sasih October disanggakeun ka H. B. f. 83,83 njaeta f.
50,_. njotjokan sambetan H. B. ongkos congress. Bagian
H. B. tina sapertiloena sakantoenna f. 6,81 nja kitoe deui
sakalian keur tjab : Batawi f. 6,81. Majar acherstand tjab.
Bogor 4 sasih, 4xf. 5,05=f. 20,20 – Djadi joemlah
sadajana ngaloearkeun dina sasih ieu prantos f. 97,09.
Dina sasih ayeuna artos dikas f. 135,53-f. 97,09 = f. 42,
44, anoe setor f. 82,70 djoemlah f. 73,14”.

(PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA S.R.


CABANG BOGOR – Karena sekarang waktunya,
pengurus lama berhenti, ke pengurus baru terpaksa
saya digantikan oleh Wasir di bulan Juli tanggal 15
menerangkan kas cabang Bogor kepada semua.
Tetapi kita seperlunya, jangan panjang catur,
pendek maksud menghabiskan waktu. Di Bulan
September 1922 mendapatkan uang yang
banyaknya f. 20,70 mengeluarkan f. 15,69. Oktober
1922 banyaknya f. 20,90 mengeluarkan f. 9,10.
November banyaknya f. 20, 45 mengeluarkan f.
0,61. Desember banyaknya f. 22,99 mengeluarkan f.
48
0,14. Januari 1923 banyaknya 25,93 mengeluarkan f.
0,_. Februari banyaknya f. 52,80 mengeluarkan f.
2,62. Maret banyaknya f. 60,53 mengeluarkan f.
25,40. April banyaknya f. 47,22 mengeluarkan f.
7,19. Mei banyaknya f. 48,28 mengeluarkan f. 0,_.
Juni banyaknya f. 48,28 mengeluarkan f.0,_. Juli
banyaknya f. 51,83 mengeluarkan f. 5,49. Agustus
banyaknya f. 46,34 mengeluarkan f. 1,14. Di bulan
September sebelum kongres di kas ada f. 62,21.
Sampai ada dengan jumlah segini, karena masih
memiliki hutang ke kepengurusan 4 bulan,
jumlahnya 4Xf. 5,05 = f. 20,20 jadi yang cabang
sebelum kongres ada f. 42,01. Ketika kongres dari
kas cabang habis f. 35,24 tetapi sekarang telah
dipulangkan kembali. Setelah bulan September di
kas terdapat f. 138,78 yaitu uang cabang dengan
uang kongres yaitu f. 70,45. Bulan Oktober
diberikan ke kepengurusan f. 83,83 yaitu f. 50,_
mencocokkan hutang ke pengurus perihal biaya
kongres. Bagian pengurus dari sepertiga selebhnya
yaitu f. 6,81 bersamaan untuk cabang Betawi f. 6,81.
Membayar jaminan simpanan cabang Bogor 4 bulan
4Xf.5,05 = f. 20,20. Jadi jumlah pengeluaran
semuanya bulan ini yaitu f. 97,09. Dibulan sekaran
dikas berjumlah f. 135,53-f. 97,09 = f. 42,44 yang
setor f. 82,70 dijumlahkan f. 73,14).

49
Selain itu, Perkumpulan Sekar Rukun lebih terfokus
kepada wilayah-wilayah yang di mana para pelajar Sunda di
wilayah tersebut lebih memilih untuk bergabung dengan
organisasi pemuda lainnya, seperti di Jakarta yang waktu itu
lebih dikenal dengan sebutan Batavia, Sukabumi, Purwakarta
dan Sukasari. Namun, perlu kita ketahui juga bahwa,
simpatisan-simpatisan Perkumpulan Sekar Rukun banyak
dijumpai di beberapa wilayah lain, contoh adalah Bandung.
Hingga pada akhirnya berdiri Perkumpulan Sekar Rukun
cabang Bandung. Pada tahun 1922, Perkumpulan Sekar
Rukun pernah mengadakan pertemuan di Bandung yang
selebihnya membahas menganai organisasi, kebudayaan
Sunda dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Seperti
dalam surat kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh Sekretaris I
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bandung (1922).

“Koempoelan Oemoem S.R. di Bandung ping 2 April


1922, […] nyarioskeun poezi Soenda” oepami
ngabandingkeun dina kasaean istri: raraj sapertos daoen
seureuh, angkat sapertos matjan teu nangan s.d.t. moeng
andjeuna sering ngoeping jen noe djaman ajeuna kirang
ngaraos dina kasaeana eta poezi, teh malah sok pojok
moal enja kana eta katjapangan. Doepi eta margina noe
sok mojok teh. Seueur teuing maos poezi Walanda, doepi
peozi soenda teu di pake di damel anak tere”

(Kumpulan Umum S.R. di Bandung tanggal 2 April


1922, […] membicarakan peribahasa Sunda, kalau

50
dibandingkan dengan kebaikan wanita: pulang
seperti daun sirih, berangkat seperti macan yang
gemulai dan seterusnya tetapi dia sering
mendengarkan bahwa di zaman sekarang kurang
merasa kebaikan dari peribahasa, malah jarang
digunakan dalam perkataan. Sampai perihal hal
tersebut. Terlalu banyak memperlajari peribahasan
Belanda, sampai-sampai peribahasa Sunda tidak
digunakan malah dianaktirikan)

Perkumpulan umum ini yang dilaksanakan diberbagai


cabang wilayah cukup efektif. Terkadang, perkumpulan
umum ini menjadi perkumpulan rutinan anggota atau para
pemuda Sunda di perantauan. Hal ini dilakukan agar kembali
merekatkan organisasi secara rutin, tentu hal tersebut sangat
efektif demi keberlangsungan organisasi. Biasanya
perkumpulan umum ini tidak sembarangan diadakan begitu
saja, tetapi melalui apa yang akan dibahas dan siapa saja
panitia yang menyediakan dalam perkumpulan umum yang
rutin dilaksanakan melalui beberapa pengumuman salah
satunya melalui surat kabar Perkumpulan Sekar Rukun.
Semisal saja dalam perkumpulan umum Perkumpulan Sekar
Rukun cabang Betawi yang rutin dilaksanakan. Misal saja,
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi ini membuat
sebuah perkumpulan umum untuk membahas kesalahan-
kesalahan yang ada di surat kabar Sekar Rukun, kesalahan

51
tersebut dibahas serta dievaluasi dalam ranah forum
perkumpulan umum tersebut. seperti dikutip dalam surat
kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh Hoofdbestuur (1923)
“dina pangalajang No. I taoen ka II seueur pisan lepatna, koemargi
roesoeh waktos njitakna henteu kaboedjeng diparios anoe jaktos”
(dalam jejak langkah No.1 tahun ke II banyak sekali
kesalahan, karena terburu-buru ketika mencetak sehingga
tidak sempat memeriksa dengan teliti). Tetapi, dalam jalannya
kongres yang tiap tahun diselenggarakan oleh Perkumpulan
Sekar Rukun dalam tingkat pusat dengan melibatkan cabang-
cabang yang lain. Menjadi tuan rumah dalam kongres ini
dalam konteks internal dan dinamika organisasi memang
sangat bergengsi. Selain memang membahas tujuan oragnisasi
juga membahas menegnai struktur kepengurusan pusat.
Pasalnya cabang-cabang ini akan dijadikan tuan rumah dalam
perkumpulan umum tiap tahun. Sebagai contoh,
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bogor dan cabang
Bandung kurang akur akibat kongres yang dilakukan pada
tahun 1924. Karena pada waktu itu cabang Bogor juga
mendaftarkan diri menjadi tuan rumah kongres, namun
cabang Bandung yang terpipilih dalam pertemuan tersebut.
Kongres tersebut tetap dijalankan di Bandung, namun konflik
dan perdebatan kian meruncing. Akibatnya, Hoofdbestuur
memutuskan agar perkumpulan umum tersebut dilanjutkan
di cabang Betawi. “Djadi Congres IV tjiosna di Batawi, waktosna
sasih December 1924” (jadi kongres IV diselenggarakan di
Betawi, waktunya bulan Desember 1924) (Prawira, 1925).

52
Fokus terhadap kebudayan Sunda yang diusung oleh
Perkumpulan Sekar Rukun bukan berarti organisasi tersebut
tidak memperhatikan aspek sosial. Sebagai organisasi masa
Pergerakan Nasional yang memiliki sebuah ciri dan
karakteristik sesuai dengan jiwa zaman, terutama perjuangan
dalam menghadapi pemerintah kolonial Hindia Belanda,
Perkumpulan Sekar Rukun juga banyak menyelipkan narasi-
narasi yang berisikan kritikan terhadap pemerintahan orang-
orang Belanda yang ada di wilayah Sunda. Hal ini tentu
diakibatkan oleh ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat
ketika itu. Seperti yang terdapat dalam kolom surat kabar
Sekar Rukun yang ditulis oleh salah satu anggota
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bandung bernama
Panjoeat (1922).
“Loemajan- Di Bandung sim kuring Kamari pelesir,
ugaliwat ka tempat Walanda, ningal gedong noe
araheng, roepana manis katambah koe perhiasan noe
parantes, bet sereset mani asa njaboet hinis, asa peurih
henteu kalawan raheut, ari inget ka tempat oerang di
Bandung Kidul, imah-imah meh teu aja tingaleun, meh
sadajana boetoet. Didinja sim kuring ngerik hate, na ari
bangsa semah bisa sakitu imah-imahna, na ari oerang
mani euweuh kamadjenganana, ser aya pertanjaan kieu,
eh naha ari oerang moal bisa kana imah-imah kitoe teh?
Na naon atuh lantaranana, bet bangsa oerang teh teu aja
anoe moelja? […]”

53
(Lumayan- Di Bandung saya kemarin pergi
berjalan-jalan melewati tempat- tempat Belanda,
melihat gedung yang besar-besar, sangat terlihat
manis ditambah perhiasan yang cocok sebagaimana
mestinya, dengan cepat seperti mencabut serpihan
kayu, tidak terasa sakit meskipun tajam, ketika
mengingat ke tempat saya di Bandung Selatan,
rumah-rumahnya tidak layak untuk dilihat, seperti
semuanya jelek. Dari situ, tergetar hati, kenapa
bangsa pendatang bisa seperti itu rumah-
rumahnya, kenapa kita tidak ada kemjauannya,
timbul juga sebuah pertanyaan, kenapa kalau kita
tidak bisa masuk ke rumah megah-megah itu?
Memang apa alasannya, bangsa kita itu tidak ada
yang mulia? […])

Untuk menyemangati setiap anggota Perkumpulan


Sekar Rukun, di dalam surat kabar Sekar Rukun sering juga
ditulis mengenai propaganda-propaganda semangat untuk
bersatu. Tentu situasi sosial dan budaya menjadi bahasan
yang nomer satu bagi perkumpulan Sekar Rukun. Tetapi,
lebih daripada itu, untuk menyatukan Perkumpulan Sekar
Rukun digunakan cara lain yakni membuat narasi mengenai
sejarah. Nampaknya, cerita sejarah yang membangun memori
kolektif cukup menyemangati para anggota Perkumpulan
Sekar Rukun. Disebutkan bahwa kemajuan sebuah bangsa

54
harus melihat bagaimana posisi kejayaan di masa lalunya,
tentu hal tersebut menjadi sebuah landasan bagaimana
fondasi bangsa ke depan.

Perkembangan Perkumpulan Sekar Rukun tidak juga


hanya berfokus pada kebudayaan dan pemberdayaan
organisasi saja. Tetapi juga dalam bidang pendidikan. Bidang
pendidikan ini tentu banyak diasosiasikan oleh para pengurus
juga para tokoh lain yang terlibat dalam Perkumpulan Sekar
Rukun, yakni Prof. Dr. Husein Djajadiningrat dan Iwa
Kusumasumantri. Pendidikan ini tentu menjadi tujuan dan
cita-cita organisasi terutama bagi para pemuda Sunda. Fokus
pendidikan yang dicita-citakan oleh Perkumpulan Sekar
Rukun adalah pendidikan umum dan juga pendidikan
wanita. Dalam pendidikan umum dalam membantu para
anggotanya yang notabeni adalah para pelajar, Perkumpulan
Sekar Rukun banyak menyediakan bibliotheek atau
perpustakaan agar mudah diakses. Pengaruhnya sangat besar
bagi para anggota Perkumpulan Sekar Rukun, pasalnya
sebelum diadakan program bibliotheek tersebut, para pelajar
sangat kesulitan dalam mengakses buku- buku khususnya
buku bagi pembelajaran di sekolah. Selain itu, dalam konteks
pendidikan wanita yang diinisiasi oleh Perkumpulan Sekar
Rukun juga lahir dari pemikiran R. Ajoe yang merupakan
seorang tokoh Sunda dan sedang menjabat sebagai Regent dari
Meester Cornelis (Jatinegara, Batavia).

55
Pendidikan bagi wanita menurut R. Ajoe didasari atas
beberapa tujuan pendidikan bagi para kaum wanita, antara
lain: 1) menyatukan para wanita-wanita Sunda, 2) menghargai
kebangkitan Sunda dan belajar berbagai macam keperluan
wanita di rumah, seperti memasak, membatik, menyulam
dan pendidikan bagi para anak- anaknya, 3) diutamakan
adanya program kursus kebahasaan, seperti bahasa Sunda,
Belanda dan Inggris, dan 4) lain-lain (D. & S. 1926). Akhirnya
wacana ini disepakati oleh pengurus Perkumpulan Sekar
Rukun cabang pusat (Betawi/Batavia) dan disosialisasikan ke
pengurus Perkumpulan Sekar Rukun di cabang daerah yang
lain. Adanya program peningkatan pendidikan bagi kaum
wanita ini mengundang beberapa respon dari berbagai pihak.
Karena memang pada periode tahun 1920-an pendidikan
wanita masih sedikit dan tabu. Berbagai program pengajaran
itu datang dari para tokoh intelektual khususnya tokoh senior
di dalam Perkumpulan Sekar Rukun, seperti Prof. Dr. Husein
Djajadiningrat juga para anggota Perkumpulan Sekar Rukun
yang bersekolah di Kweekschool atau sekolah guru. Hal
pengajaran tersebut memang dilakukan demi mengangkat
harkat dan martabat para wanita Sunda yang diharapkan
mendapatkan pendidikan guna mengembangkan
kemampuan dan potensinya.

56
SUNDA
SEBAGAI IDENTITAS ORGANISASI

Perkumpulan Sekar Rukun yang merupakan organisasi


daerah yang menonjolkan kedaerahannya tersebut.
Kedaerahan disini sangat berkaitan dengan etnis di mana
Perkumpulan Sekar Rukun yang notabeni anggotanya berasal
dari pemuda Sunda. Jika kita lihat mengenai pemuda sunda
ini berkaitan berkaitan dengan identitas kebudayaan Sunda
karena berkaitan dengan sistem nilai kolektif masyarakatnya
yang mayoritas memiliki kesamaan kebiasaan, budaya,
bahasa, pola pikir, tingkah laku dan wilayahnya. Masyarakat
di wilayah Jawa yang memiliki penutur bahasa Sunda
dinyatakan bahwa mereka memiliki budaya dan identitas
Sunda yang khas hal itu terlihat jelas dalam Perkumpulan
Sekar Rukun. Bisa dilihat dalam berbagai informasi di dalam
surat kabar Sekar Rukun. Bahasa pengantar yang merupakan
bahasa Sunda dalam surat kabar dan isi dari surat kabar
tersebut yang notabeni dikelola oleh Perkumpulan Sekar
Rukun menunjukkan bahwa Perkumpulan Sekar Rukun
menjunjung tinggi Sunda sebagai identitas utama dalam
organisasi tersebut.

57
Perkumpulan Sekar Rukun memiliki sebuah
pandangan bahwa Sunda merupakan identitas kebangsaan
yang nampaknya berdiri sendiri. Sunda telah memenuhi
syarat- syarat sebagai suatu bangsa. Tentu saja, hal
demikian dapat dilihat dalam berbagai atribut kebangsaan
yang dimiliki oleh orang Sunda, seperti memiliki
kebudayaan, bahasa, adat istiadat serta kekhasan di dalam
masyarakatnya yang menambah bagaimana identitas ke-
Sundaantersebut. selain itu, dalam segi pakaian memiliki
sebuah perbedaan yang cukup khas antara keduanya dan
hal itu yang paling terlihat dalam menunjukkan perbedaan
tersebut (M.S., 1922) Begitupula perbedaan tersebut berlaku
dengan Jawa, meskipun di dalam satu pulau yang sama
yakni pulau Jawa, namun keduanya merupakan bangsa
yang berbeda. Perbedaan itu bisa menjadikan sebuah
kekuatan hidup berdampingan untuk meraih sebuah cita-cita
bersama. Hal ini terutama dalam hal memajukan bangsanya
yang kemudian dapat meraih kemerdekaan bersama, Karena
Perkumpulan Sekar Rukun ini lahir dan berkembang juga di
daerah yang notabeni bukan mayoritas masyarakat Sunda,
memiliki sebuah tujuan untuk menghimpun para pemuda
sunda untuk terus mengedepankan budaya Sunda tersebut
secara bahasa, kebudayaan, adat istiadat dan lain sebagainya.
Perkumpulan Sekar Rukun pun menerima para pemuda yang
bukan merupakan etnis Sunda yang ingin belajar mengenai
Sunda. Selain memang dengan perluasan organisasi yang
lebih masif dengan cara tersebut tetapi kepentingan dan

58
tujuan edukatif mengembangkan ke-Sundaansecara budaya
terus dilakukan. Hal ini ditujukkan kerjasama bersama
mengenai etnisitas agar lebih dikembangkan. Berbagai macam
mungkin dilakukan dalam menyebarluaskan mengenai
Kesundaan, tetapi hal yang paling nampak adalah dalam
program-program cabang Perkumpulan Sekar Rukun
diberbagai wilayah. Program ini melalui yang dinamakan
perkumpulan umum. Perkumpulan umum ini lebih banyak
membahas mengenai Sunda. Pupuh, tembang, bahasa, sosial,
politik dan lain sebagainya yang menjadi bahasan utama di
dalam setiap cabang Perkumpulan Sekar Rukun (W., D., P.,
w.k., 1923). Sebagai contoh cabang Betawi yang melakukan
sebuah kajian teks mengenai bahasa Sunda secara rutin.
“Batjaan – Koe tjabang Batawi ajeuna prantos diajakeun
bibliotheek basa Soenda sareng Malaju. Tempatna di
kamar maca Kweekschool Goenoengsari diboekana saban
dinten Ahad ti taboeh 9 dongkap ka taboeh 11 endjing-
endjing. Marangga djoeragan-djoeragan gera naramboet
gening samemeh aja mah mani, tjing harengen bae.
Sanes lid S.R. oge tiasa nambut eta boekoe”(Sekar
Rukun, 1922, No. 4, hlm. 2).

(Bacaan – Oleh cabang Betawi sekarang telah


diadakan perpustakaan bahasa Sunda dan Melayu.
Tempatnya di kamar baca Kweekschool
Gunungsari yang dibuka setiap hari Minggu dari
jam 9 hingga 11 pagi. Silahkan kepada kawan-
kawan segera meminjam (buku) sebelum ada
59
(perpustakaan), selalu bertanya- tanya. Selain
anggota S.R. juga bisa meminjam buku tersebut).

Selain itu, di dalam surat kabar selalu dimuat mengenai


kebahasaan Sunda, sebagai contoh cara pengucapan dan
dialek (Anak Pedjambon, 1922) Tidak lupa dalam setiap
penerbitan surat kabar tersebut dimuat juga mengenai lirik
tembang atau pupuh yang berisikan mengenai ke-
Sundaanatau perjuangan Perkumpulan Sekar Rukun dalam
menjalankan sebuah organisasinya. Tentu ini menambahkan
ciri bagaimana mengenai ke-Sundaandari organisasi dan
setiap anggota Perkumpulan Sekar Rukun.

Perkumpulan Sekar Rukun sangat menyoroti


kebahasaan Sunda. Jelas, karena bahasa digunakan dalam
kehidupan sehari-hari para anggota Perkumpulan Sekar
Rukun. Memang kita ketahui pada masa Pergerakan Nasional
selain bahasa daerah tetapi digunakan juga bahasa Melayu
dan Belanda. Bahasa Belanda tentu yang diajarkan di sekolah-
sekolah manapun ketika saat itu. Ini juga menjadi sorotan
utama bagi Perkumpulan Sekar Rukun. Karena kebiasaan
para pemuda saat itu menggunakan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar di sekolahnya masing-masing, juga
kebiasaan ini dilakukan sehari-hari. Perkumpulan Sekar
60
Rukun meyoroti hal demikian, agar tidak lupa dengan bahasa
daerah yakni bahasa Sunda. Ditakutkan hal tersebut
menyisihkan bahasa sendiri karena seringnya menggunakan
bahasa Belanda.
“Djoeragan2 moegi oelah lali, salebeting oerang diajar
basa walanda the oelah kamalinaan. Doegi ka lali kana
kaboga soerangan, sing karesa ngareret kagigir. Basa
oerang oge gaduh hak dipikaheman, dimoemoele geuning
sanajan aja paripaos: “kana basa soerangan mah moal
nepi kapoho sapisan”, oge ari kedah ka kagok ngedalkeun
mah kedah bae”(H, 1924)

(kawan-kawan jangan lupa, meskipun sedikit-


sedikit kita belajar bahasa belanda jangan terlalu
betah. Hingga lupa kepemilikian sendiri, harus
mau melihat ke pinggir. Bahasa kita memiliki hak
untuk dipahami, diutamakan meskipun ada
peribahasa: “bahasa sendiri tidak akan sangat
dilupakan” kalau merasa canggung, entah harus
bagaimana).

Perkumpulan Sekar Rukun telah membuktikan


bagaimana Sunda menjadi sebuah ciri organisasi
Perkumpulan Sekar Rukun. Tujuan- tujuan Perkumpulan
Sekar Rukun ketika diawal pembentukan serta bagaimana
implementasi program, pandangan, pemikiran, ciri khas dan
lain sebagainya menandakan bahwa Perkumpulan Sekar
61
Rukun sangat menjunjung tinggi mengenai ke Sundaan.
Proses tersebut terus diimplementasikan oleh Perkumpulan
Sekar Rukun beberapa periode kedepan terutama oleh
cabang-cabang kepengurusan. Meskipun banyak di daerah
yang notabeni bukan mayoritas beretnis Sunda, namun
edukasi mengenai ke-Sundaanterus menerus diutamakan oleh
Perkumpulan sekar Rukun demi terus mencapai dan
memperbaiki tujuan-tujuan yang telah ditetapkan diawal
terutama mengenai rasa ke-Sundaantersebut. Selain itu, untuk
menunjukkan identitas Perkumpulan Sekar Rukun, surat
kabar cukup menjadi implementasi berikutnya dalam segala
aspek yang berkaitan dengan Perkumpulan Sekar Rukun.
Bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar surat kabar
memang menjadi hal yang paling mendasar, di mana
memang mangsa pasar surat kabar tersebut adalah para
anggota Perkumpulan Sekar Rukun atau orang-orang Sunda
di manapun berada yang diperanatari oleh Pekrumpulan
Sekar Rukun.

62
KETERLIBATAN ORGANISASI DALAM KERJASAMA

Perkumpulan Sekar Rukun yang merupakan organisasi


kepemudaan seiyogiyanya bekerjasama dengan organisasi
serupa (pemuda) lain dalam menjalankan berbagai
programnya. Hal itu lumrah dilakukan dengan tujuan
munculnya sebuah kepentingan bersama. Untuk mencapai
sebuah tujuan organisasi yang lebih jauh tujuan bersama atau
kolektif wajib dilakukan. Kerjasama antar organisasi ini
dilakukan dalam beberapa hal, diantara; sosial, ekonomi,
budaya, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Langkah ini
dilakukan guna mencapai sebuah tujuan kebangsaan yang
besar. Dalam beberapa hal kerjasama ini pada awalnya
memang sangat terbatas. Misal, ketika awal pembentukan
Perkumpulan Sekar Rukun polemik yang terjadi adalah
masalah perbedaan etnis. Ini terjadi antara Perkumpulan
Sekar Rukun dengan Jong Java. Di mana Jong Java yang
mayoritas anggotanya adalah orang-orang yang beretnis
Jawa, berbeda dengan Perkumpuolan Sekar Rukun yang
mayoritas anggotanya adalah orang- orang yang beretnis
Sunda.
63
Perkembangan terus terjadi, setiap tantangan organisasi
pada masa-masa Pergerakan Nasional semakin kompleks.
Untuk mencapai tujuan kebangsaan yang mandiri maka tidak
hanya bisa dilakukan oleh satu organisasi saja, namun harus
berkolaborasi dengan organisasi-organisasi lainnya. Segala
bentuk perbedaan yang terjadi semisal ideologi atau
pemikiran organisasi, etnis, pandangan politik dan lain
sebagainya harus sedikit disisihkan guna tujuan besar
bersama. Hal ini dilakukan oleh organisasi-organisasi pemuda
pada tahun 1920-an. Terbukti, berkolaborasi nya organisasi-
organisasi ini berdampak pada Pergerakan Nasional kala itu.
Perlawanan dengan bentuk kooperatif dan atau non-
kooperatif berjalan sangat masif. Hingga pada puncaknya
terjadi sebuah peristiwa Kongres Pemuda 1 dan Kongres
Pemuda 2 yang pada akhirnya melahirkan sebuah peristiwa
besar dalam dinamika sejarah Indonesia yakni lahirnya
Sumpah Pemuda.

Dalam segi esensi, Sumpah Pemuda ini yang berskala


nasional tidak hanya bisa dilakukan oleh satu organisasi saja.
Namun, seluruh organisasi yang berasal dari berbagai etnis,
golongan, ideologi, pemikiran dan lain sebagainya bersatu
dalam sebuah momentum besar, yakni Sumpah Pemuda. Hal
ini akan berdampak pada pesan dan kesan yang
tersampaikan. Dalam artian, legalitas secara keIndonesiaan
sangatlah besar karena yang mengikuti Sumpah Pemuda
berasal dari berbagai pelosok di Indonesia.
64
Hubungan dengan organisasi pemuda lain yang
dilakukan oleh Perkumpulan Sekar Rukun giat juga
dilakukan oleh perkumpulan Sekar Rukun. Pada tahun 1922,
Perkumpulan Sekar Rukun bekerjasama dengan organisasi
pemuda yang fokus di dalam ranah buta huruf. Organisasi
pemuda itu disebut Analfabetisme Bestrijdings Comite (A.B.C).
Dalam surat kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh Sari &
Goeweng (1922) menjelaskan bahwa kerjasama antara
Perkumpulan Sekar Rukun dengan A.B.C dilakukan dalam
ranah pendidikan. Hal tersebut dilakukan guna menekan buta
huruf yang mayoritas terjadi pada kaum “pribumi” terutama
masyarakat lanjut usia. Program yang dilakukan secara
praktik lapangan adalah program pelatihan membaca dan
menulis yang disediakan oleh masing-masing organisasi. Hal
yang pertama kali diajarkan kepada para anggotanya yang
kemudian para anggota Perkumpulan Sekar Rukun dan A.B.C
mengajarkan masyarakat di lingkungannya guna menekan
laju buta huruf tersebut. Yang diajarkan oleh kedua organisasi
tersebut tidak hanya mengenai huruf atau bahasa sunda
saja.Jika di daerah-daerah yang mayoritas orang-orang Sunda
yang diajarkan adalah huruf atau bahasa Sunda. Misal,
cabang Surabaya yang notabeni berada di wilayah dengan
mayoritas orang-orang yang beretnis jawa, Perkumpulan
Sekar Rukun dan A.B.C hadir dalam menyediakan fasilitas
orang-orang yang ingin belajar dan membaca huruf dan
bahasa Jawa. Selain itu, program ini dilakukan juga oleh
65
Perkumpulan Sekar Rukun dan A.B.C guna menambah
program yang menarik khususnya bagi para anggota kedua
organisasi tersebut dan umumnya kepada masyarakat secara
luas. Selain itu, hal dilakukan guna menambah anggota kedua
organisasi tersebut.

Perkumpulan Sekar Rukun mengadakan kerjasama


dengan Jong Java. Meskipun memang hubungan antara
Perkumpulan Sekar Rukun dan Jong Java ini mengalami
pasang-surut. Ketika awal pembentukan Perkumpulan Sekar
Rukun ditahun 1919 memang terjadi sentimen yang sangat
kuat antara Perkumpuan Sekar Rukun dan Jong Java. Hingga
tahun 1923 masih terjadi sentimen tersebut. sentiment yang
lebih diutamakan tentu saja masalah etnis karena
Perkumpulan Sekar Rukun di mana merupakan organisasi
pemuda sunda dan Jong Java merupakan organisasi pemuda
jawa meskipun memang pada awalnya yang dimaksud Jawa
ini adalah Jawa Raya dan Sunda termasuk ke dalam Jawa
Raya tersebut. namun, dalam berjalannya waktu, Jong Java
lebih di didominasi oleh pemuda yang beretnis Jawa.

Dalam surat kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh


Hoofdbestuur (1922b) muncul sebuah artikel yang berjudul
Sekar Rukun Sukabumi yang berisikan Sunda urusan Sunda
artikel ini memuat tulisan mengenai bagaimana jalannya
Perkumpulan Sekar Rukun dan Jong Java. Dalam tulisan
tersebut dijelaskan bahwa Sunda tidak sama seperti Jawa.
Orang Sunda lebih pantas untuk mengurusi urusannya
sendiri, begitupun dengan Jawa. Kedua belah pihak ini tidak
66
boleh mencampuri urusan masing-masing. Dalam tulisan itu
ditambahkan mengenai Perkumpulan Sekar Rukun yang
memiliki sebuah tujuan memajukan bahasa dan
kebinangkitan Sunda ini sangat berbeda dengan Jong Java.
Karena bagaimanapun tidak mungkin Jong Java akan
mendukung secara penuh kemajuan bahasa Sunda dan
kebinangkitan Sunda. Karena Jong Java yang mayoritas adalah
para pemuda Jawa ini berkiblat ke Majapahit, sedangkan
Sekar Rukun yang notabeni para pemuda Sunda berkiblat ke
Padjajaran dengan Siliwangi menjadi panutan yang utama.

Menurut artikel tersebut dijelaskan bahwa rasa


kepemilikan tersebut akan muncul lebih condong kepada
tanah di mana kamu di lahirkan. Pemuda Sunda sangat jelas
kepemilikiannya bagi Sunda dan pemuda Jawa lebih jelas
kepemilikannya adalah Jawa. Meskipun memang nantinya
yang diharapkan adalah kemajuan organisasi Perkumpulan
Sekar Rukun dan atau Jong Java. Konflik organisasi yang
terjadi antara Perkumpulan Sekar Rukun dan Jong Java
seiyogiyanya dapat menjadi sebuah acuan penyemangat
pergerakan kedua organisasi tersebut. “Sim koering mah J.J
madjoe atoh S.R. madjoe leuwih atoh (oelah kaget nyebatkeun leuwih
atoh, da sahenteuna leuwih njaah ka anak sorangan, tibatan ka anak
doeloer)” (Hoofdbestuur, 1922). (Saya senang J.J. mengalami
kemajuan, S.R. mengalami kemajuan lebih bahagia lagi
(jangan kaget ketika menyebutkan lebih bahagia karena
setidaknya lebih cinta terhadap anak sendiri dibandingkan ke
anak saudara).
67
Pada tahun 1923 terdapat laporan mengenai Jong Java
dari Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi. Bulan Juni
1923 Sekar Rukun cabang Betawi menjelaskan bahwa pada
bulan Juni tersebut Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi
bermaksud membantu para anggota A.B.C. dengan HIS
Pasundan menyelenggarakan kegiatan pentas seni di
lingkaran seni. Seelanjutnya, di bulan Agustus 1923 di MULO
terjadi sebuah perselisihan yang menimbulkan pertengkaran
kecil antara anggota Perkumpulan Sekar Rukun dan Jong Java.
Hal ini dikarenakan para pemuda Sunda yang bersekolah di
MULO tidak menerima ajakan untuk bergabung dengan Jong
Java. Meskipun pada akhirnya pertengkaran kecil ini segera
diselesaikan tanpa terjadi keributan yang lebih besar
(Hoofdbestuur, 1924b).

Meskipun sentimen Jong Java masih terjadi dalam


beberapa sektor, tetapi usaha untuk konsolidasi dengan
tujuan bekerjasama pun mulai dilakukan. Awal tahun 1924
menjadi sebuah momentum konsolidasi tersebut dilakukan.
Meskipun tidak langsung secara langsung dapat
membereskan sentimen-sentimen tersebut. Menurut Karman
(1924) yang merupakan sekretaris Perkumpulan Sekar Rukun
cabang Bandung menjelaskan bahwa Perkumpulan Sekar
Rukun cabang Bandung mengklarifikasi hubungannya
dengan Jong Java cabang Bandung. Bahwa tidak ada lagi
perselisihan atau pertengkaran apapun dengan Jong Java
terutama cabang Bandung. Semoga hal ini dapat berdampak
68
pada Perkumpulan Sekar Rukun cabang lain. bahwa rasa
persatuan dan kesatuan harus didahulukan dibandingkan
mendahulukan perbedaan yang ada terutama antarav
Perkumpulan Sekar Rukun dan Jong Java. Tentu hal ini
menjadi momentum antara Perkumpulan Sekar Rukun dan
Jong Java dapat bekerjasama dikemudian hari.

Damainya Perkumpulan Sekar Rukun dan Jong Java ini


dibuktikan dalam kegiatan “Algemeene Verdegadering” atau
Pertemuan Umum yang diselenggarakan oleh Perkumpulan
Sekar Rukun cabang Bandung. Dalam Perkumpulan
Umum ini agendanya terkait dengan pelaporan pertanggung
jawaban keuangan organisasi selama satu periode,
pertanggung jawaban kepengurusan, dan pergantian
struktur organisasi untuk periode selanjutnya. Yang hadir
biasanya adalah pengurus besar Perkumpulan Sekar Rukun
cabang yang menyelenggarakan Pertemuan Umum. Namun,
yang unik di dalam Pertemuan Umum ini diundang dan
hadirnya ketua Jong Java cabang Bandung. Setelah
serangkaian kegiatan pelaporan pertanggung jawaban dan
pemilihan kepengurusan periode selanjutnya dari
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bandung, dilanjutkan
dengan kegiatan sambutan-sambutan dan ucapan
terimakasih. Sambutan pertama dilakukan oleh Presiden
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bandung yang telah
habis masa kepengurusannya. Yang unik dalam Pertemuan
Umum ini adalah sambutan dari ketua Jong Java cabang
Bandung yang isinya mengenai ucapan terimakasih karena
69
pada Pertemuan Umum tersebut Jong Java diundang secara
resmi dan menjadi pertama kalinya di cabang-cabang
Perkumpulan Sekar Rukun, Jong Java diundang dan dapat
hadir. Ketua Jong Java cabang Bandung berharap bahwa ini
menjadi awal dari kerjasama antara Perkumpulan Sekar
Rukun dan Jong Java. Selanjutnya, ketua Jong Java cabang
Bandung tersebut memberikan selamat kepada presiden dan
kepengurusan baru Perkumpulan Sekar Rukun cabang
Bandung (Hoofdbestuur, 1924c).

Diundang dan hadirnya ketua Jong Java cabang


Bandung dalam sebuah Pertemuan Umum dan resmi yang
diselenggarakan oleh Perkumpulan Sekar Rukun cabang
Bandung yang merupakan berhasilnya konsolidasi kedua
belah pihak dibalik banyaknya sentimen dan konflik yang
terjadi antar kedua organisasi tersebut. Momentum
konsolidasi antara kedua organisasi yang dimulai dicabang
Bandung ini yang ternyata dilanjutkan oleh beberapa cabang
Perkumpulan Sekar Rukun. Beberapa bulan kemudian dalam
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Sukabumi yang
menyelenggarakan kegiatan yang serupa yakni Pertemuan
Umum dalam rangka pertanggung jawaban keuangan,
pertanggung jawaban keuangan dan pemilihan struktur
organisasi periode selanjutnya. Mengundang dan dihadiri
oleh ketua Jong Java cabang Sukabumi.

Setidaknya meskipun belum diikuti oleh semua cabang


Perkumpulan Sekar Rukun, tetapi apa yang dilakukan cabang
Bandung dan cabang Sukabumi telah memunculkan dan
70
menimbulkan dampak organisasi yang baik bagi
Perkumpulan Sekar Rukun dan Jong Java. Setidaknya
sentimen-sentimen mengenai etnis dapat diredam, begitupun
ruang gerak organisasi dapat diperluaskan. Dampaknya
sangat baik bagi kedua organisasi. Hingga pada akhirnya,
momentum ini dapat menyadarkan anggota-anggota berbagai
organisasi terutama organisasi pemuda pada masa
Pergerakan Nasional tentang pentingnya bekerja sama guna
mencapai sebuah tujuan bersama.

71
KONGRES PEMUDA 1 DAN 2

Kerjasama Perkumpulan Sekar Rukun terutama di


cabang Bandung dan Serang benar-benar menjadi momentum
kerjasama organisasi. Pasalnya di tahun 1925 hingga tahun
1928 Perkumpulan Sekar Rukun mulai giat menjamahi
organisasi lain untuk menjalin sebuah kerjasama. Bilamana di
atas hanya diterangkan mengenai kerjasama antara
Perkumpulan Sekar Rukun dengan A.B.C dan Jong Java. Hal
ini memang perlu ditinjau mengapa Perkumpulan Sekar
Rukun bersikap demikian. Kita tahu bersama bahwa pada
perkembangan awalnya, Perkumpulan Sekar Rukun hanya
berorientasi pada masyarakat dan kebudayaan Sunda.
Namun, periode 1925 hingga 1928, orientasi Perkumpulan
Sekar Rukun adalah kebangsaan yang satu, tidak hanya
Sunda namun Indonesia.

Perubahan arah tujuan organisasi Perkumpulan Sekar


Rukun ini diikuti dengan berbagai program yang dilakukan
guna mencapai tujuan tersebut. Hal ini selaras dengan
perkembangan zaman, Perkumpulan Sekar Rukun di tahun
1925-1926 merupakan tahun yang paling terasa

72
pertumbuhannya. Sikap Perkumpulan Sekar Rukun yang
telah menginjak usia tujuh tahun mulai lebih dewasa
dibandingkan tahun- tahun sebelumnya. Wawasan dan
pembahasan Perkumpulan Sekar Rukun tidak lagi berkisar
dilingkungan internal saja, tetapi nampak sudah lebih luas,
apalagi menjalin hubungan kerjasama yang masif dengan
organisasi lain. Akibat gencarnya Perkumpulan Sekar Rukun,
maka diikuti oleh pertumbuhan cabang Perkumpulan Sekar
Rukun menajdi di Betawi atau Jakarta, Bogor, Sukabumi,
Purwakarta, Bandung, Salatiga, Serang, Surabaya, Yogyakarta
dan Lembang. Anggotanya pun tercatat sudah lebih dari 500
orang.

Kegiatan yang dimanfaatkan dalam menjalin sebuah


kerjasama dengan berbagai organisasi lain terutama yang
berhubungan dengan perpustakaan, koperasi, keterampilan,
olahraga yang didalamnya ada tenis dan sepakbola, diskusi,
penerbitan surat kabar atau literatur lain dan kesenian yang di
dalamnya terdapat musik, mamaos dan tonil. Di tahun 1925
terutama pada 15 November 1925 di gedung Lux Orientis
Jakarta yang sekaligus sebagai persiapan Kongres Pemuda 1.
Dihadiri juga oleh beberapa wakil-wakil dari Jong Sumatranen
Bond, Pelajar Minahasa, Jong Java, Perkumpulan Sekar Rukun
juga peminat perorangan yang lain. Sehingga terbentuk
susunan kepanitiaan dalam Kongres Pemuda tersebut yang di
dalamnya terpilihlah, seperti; Ketua (Mohammad Tabrani,
dari Jong Java), Wakil Ketua (Soemarto, dari Jong Java),
Sekretaris (Djamaloedin, dari Jong Sumatranen Bond),
73
Bendahara Suwarso (dari Jong Java), dan Anggota (Bahder
Djohan, dari Jong Sumatranen Bond), (Jan Toule Soulehuwij,
dari Jong Ambon), (Sanoesi Pane dari Jong Bataks Bond),
(Sarbaini, dari Jong Sumatranen Bond), (Paul Pinontoan, dari
Jong Celebes) dan (Achmad Hamami, dari Perkumpulan Sekar
Rukun). Selain itu, sebagai contoh lain pada Januari 1926,
Peerkumpulan Sekar Rukun mengadakan penyelenggaraan
kegiatan umum yang berbasis kesenian. Kegiatan ini
diselenggarakan di Gedung Societeit Blavatsky Park,
Weltreveden. Di sana, tepatnya Perkumpulan Sekar Rukun
cabang Betawi mementaskan tonil (sandiwara) mengenai
Sunda. Dihadiri juga oleh Dr. Husein Djajadiningrat, R. Adjoe
dan bupati Betawi. Selain itu, yang hadir dalam pementasan
tonil tersebut tidak hanya para anggota Perkumpulan Sekar
Rukun, namun juga dihadiri anggota-anggota organisasi lain
yakni Jong Islamieten Bond, Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak,
Jong Minahasa, dan Jong Sumatranen Bond. Perkumpulan Sekar
Rukun mendapat keuntungan dari tiket tonil tersebut sebesar
f.35 dan mendapatkan keuntungan dari jualan bunga f.41
(Hoofdbestuur, 1926).

Hadirnya organisasi lain dalam Perkumpulan Sekar


Rukun bukanlah yang pertama kali dilakukan. Jelas
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bandung dan Sukabumi
menjadi yang pertama dengan hadirnya Jong Java. Namun,
kegiatan di Betawi ini menjadi salah satu kegiatan yang besar
yang dilakukan oleh Perkumpulan Sekar Rukun dalam
menjalankan kegiatannya yang dihadiri berbagai organisasi
74
kepemudaan yang mewakili golongan, etnis dan berbagai
daerah di Indonesia. Tidak itu saja, hal itu menjadi sebuah
momentum yang lebih besar yang diselenggarakn oleh
Perkumpulan Sekar Rukun di mana para pemuda Sunda juga
dapat diperhitungkan di dalam kancah organisasi berskala
nasional. Organisasi Sunda yang memang sudah memiliki
jalinan yang sangat baik dengan organisasi di luar etnis Sunda
pada masa Pergerakan Nasional hanya Perkumpulan Sekar
Rukun.

Kerjasama ini dilanjutkan oleh Perkumpulan Sekar


Rukun dengan organisasi pemuda lain. Pada tanggal 30 April
hingga 2 Mei 1926, Perkumpulan Sekar Rukun kembali
bergiat secara aktif bersama-sama dengan organisasi pemuda
lain yang menunjukkan kekuatan nasional. Rapat pengurus
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi yang notabeni
adalah pengurus pusat Perkumpulan Sekar Rukun untuk
turut secara aktif dalam mengikuti Kongres Pemuda 1.
Kongres ini dilaksasanakan di Gedung Setan (Kimia Farma)
Jakarta. Kongres Pemuda 1 ini bernama “Kerapatan Besar
Pemuda” dihadiri oleh berbagai organisasi pemuda Jong Java,
Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong
Islamieten Bond, Studerenden Minahasa, kemudian Jong Bataks
Bond dan Pemuda Kaum Theosofi juga ikut dalam kerapatan
besar tersebut (Hoofdbestuur, 1926).

Panitia dalam kegiatan Kongres Pemuda 1 ini adalah


perwakilan dari organisasi- organisasi pemuda yang kala itu
mengikuti kongres. Dalam berjalannya Kongres Pemuda 1 itu
75
terpilihlah ketua bernama Muhammad Tabrani. Kongres
Pemuda 1 ini memiliki beberapa tujuan, namun tujuan yang
paling utama adalah membina perkumpulan pemuda dalam
artian organisasi pemuda yang tunggal. Dalam artian, tidak
ada lagi organisasi pemuda yang terlalu menjunjung tinggi
sifat etnis, golongan dan atau daerah dari mana organisasi
pemuda itu berasal. Namun, yang lebih jelas memajukan
persatuan dan kebangsaaan serta menguatkan antara
sesama organisasi-organisasi pemuda kebangsaan. Kongres
Pemuda 1 Sidang I ini yang diselenggarakan selama 4 jam
yaitu dari pukul 20.00 WIB sampai dengan pukul 00.15 WIB
dengan acara rapat pertama ini meliputi; 1) pembukaan
kongres, 2) pidato ketua Kongres Pemuda 1 yaitu Mohammad
Tabrani dan 3) Pidato Soemarto mengenai Gagasan Persatuan
Indonesia. Kemudian dilanjutkan dalam Sidang II yaitu
berlangsung juga selama 4 jam dimulai pukul 20.00-00.15
WIB. Agenda mendengarkan beberapa pidato dari tokoh,
seperti; 1) Stienje Adams mengenai “Kedudukan Wanita”, 2)
R.T. Djaksodipoero dengan pidato berjudul “Rapak Lumuh”
dan 3) Bahder Djohan dengan pidato berjudul “Kedudukan
Wanita dalam Masyarakat Indonesia”. Sidang ke III
dilaksanakan pada 2 Mei 1926 pada pagi hari yang dimulai
dari pukul 09.00 WIB dengan dua orang yang berpidato yaitu
Muhammad Yamin dan Paul Pinontoan.

Dalam Kongres Pemuda 1 ini, Perkumpulan Sekar


Rukun menjadi salah satu organisasi yang menyuarakan a gar
sidang-sidang kongres digunakan bahasa Melayu sebagai
76
bahasa pengantar Laporan utusan dari Perkumpulan Sekar
Rukun ini ditandatangani oleh Samjun sebagai wakil ketua
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi dan Sutaprana
sebagai sekretaris Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi
(Hoofdbestuur, 1926). Gagasan mengenai kebahasaan
memang sangat terkenal dalam Kongres Pemuda 1 ini. Tidak
hanya Perkumpulan Sekar Rukun yang menyuarakan ini,
tetapi organisasi pemuda lain menyuarakan hal yang sama.
Semisal saja seorang tokoh dari Jong Sumatranen Bond yakni
Muhamad Yamin yang meyuarakan hal yang sama. Artinya,
ketika masalah bahasa pengantar dalam sidang-sidang
kongres disepakati bahasa Melayu, organisasi pemuda ini
tidak lagi egois dalam hal etnis, golongan dan asal daerah
mereka masing-masing. Mereka mulai mengerti rasa
persatuan dan kesatuan harus mulai diutamakan dalam hal
yang paling mendasar yakni bahasa.

Perwakilan dari para organisasi pemuda tersebut


menyampaikan beberapa pidatonya dalam kongres pemuda
1. Para pemuda tersebut harus memperkuat rasa persatuan
dan kesatuan yang harus tumbuh di atas kepentingan etnis,
golongan dan rasa kedaerahan. Selain itu, di bahas juga
mengenai sejarah pergerakan dan perlawanan di Indonesia
serta bagaimana peran pemuda dalam mengisi ruang-ruang
pergerakan dan perlawanan terkhusus kepada pemerintahan
kolonial Hindia-Belanda. Dalam Kongres Pemuda 1 tersebut
dibahas juga mengenai bagaimana peran perempuan dalam
Pergerakan Nasional, golongan Islam serta isu-isu poligami.
77
Kongres Pemuda 1 menghasilkan sebuah proses yakni
mengakui dan menerima cita- cita persatuan Indonesia.
Meskipun masih dalam konteks samar-samar dan belum jelas.
Para organisasi pemuda terutama Perkumpulan Sekar Rukun
mengakui meskipun terdapat perbedaan sosial dan kesukuan,
tetapi terdapat pula rasa persatuan nasional yang dijunjung
oleh para pemuda. Penulis mengatakan bahwa dalam
Kongres Pemuda 1 beberapa hal berhasil dilakukan dan hal
yang lain tidak. Misal, momentum rasa persatuan dan
kesatuan semakin kuat dikalangan pemuda Indonesia kala
itu. Namun, beberapa hal lain yang dirancang sebagai tujuan
Kongres Pemuda 1 memang belum tercapai sepenuhnya
seperti, masih terdapat kesalahpahaman dan kurangnya
pengertian mengenai fungsi dari fusi organisasi pemuda ini.
Kongres Pemuda 1 pun gagal dalam organisasi pemuda ini
yang sangat berbeda dalam hal etnis, golongan dan daerah
menjadi satu organisasi yang tunggal sebab masih terdapat
beberapa keraguan pada organisasi pemuda tersebut guna
pentingnya kegunaan persatuan dan kesatuan.

Kongres Pemuda 1 mengilhami bagi para organisasi


pemuda tersebut, tidak terkecuali dalam Perkumpulan Sekar
Rukun. Rasa persatuan dan kesatuan telah benar- benar
merasuki Perkumpulan Sekar Rukun. Dalam surat kabar
Sekar Rukun yang ditulis oleh N. (1926) menyajikan artikel
yang berjudul “Pangajaran Sareng Kabangsaan” (Pendidikan
dan Kebangsaan) dalam artikel tersebut dijelaskan mengenai
78
pendidikan yang berpedoman dalam hal pengajaran di
sekolah-sekolah dasar. Pengajaran di sekolah tersebut
terutama mengenai kesejarahaan hanya mencakup sejarah
yang sangat dingkat terutama hanya membahas sejarah ke-
Hindiaan dalam artian timeline waktunya hanya dari para
kompeni yang datang ke Nusantara. Tanpa disadari bahwa
pengajaran tersebut memiliki 2 dampak sekaligus. Di mana
memang anak-anak hanya mengetahui sejarah Nusantara atau
Indonesia dari datangnya kompeni atau Belanda tanpa
menjelaskan bagaimana kondisi Indonesia pra Kolonial.
Selanjutnya, hal ini juga yang menimbulkan kebencian anak-
anak terhadap Belanda atau lebih luas lagi adalah Eropa.
Bahwa Belanda atau Eropa ini bukan bangsa yang asli berasal
dari daerah Nusantara, tetapi mereka mencoba menguasai
Nusantara sepenuhnya. Maka dari itu, untuk melawan sifat
kolonial tersebut diperlukan rasa persatuan dan kesatuan
sejak dini. Perkumpulan Sekar Rukun kembali menuangkan
argumentasinya bahwa sejarah menjadi salah satu jalan dalam
menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan.

Arah gerak Pekrumpulan Sekar Rukun ini meskipun


menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan tetapi sempat
menuai pro dan kontra dalam kalangan masyarakat Sunda.
Kontra tersebut ditujukkan oleh sastrawan dan budayawan
Sunda salah satunya adalah Satjadibrata. Satjadibrata ini
mengkritik arah gerak Perkumpulan Sekar Rukun dalam
bentuk sindiran yang berbunyi:

79
Kacang bae roay bae

Daun pulus dilulunan

Tacan bae tacan be

Sugan tulus lalunan

(Satjadibrata, 1926)
Kacang saja, roay (sejenis kacang merah)
Saja daun pulus (sejenis
tumbuhan berdaun gatal)
digulung-gulung Belum saja
belum saja
Moga lanjut perlahan-lahan.

Bentuk sindiran tersebut mengarah pada pergerakan


dari Perkumpulan Sekar Rukun yang belum mencapai sebuah
titik kecemerlangan namun sudah berlagak bahwa
Perkumpulan Sekar Rukun seperti organisasi yang besar.
Pasalnya permasalahan mengenai Sunda saja belum selesai
atau masih banyak hal yang perlu dibahas oleh Perkumpulan
Sekar Rukun, namun mengapa Perkumpulan Sekar Rukun
mulai menjamahi persoalan Nasional. Sementara menurut
Satjadibrata Perkumpulan Sekar Rukun belum mampu dalam
mengurusi hal tersebut. Selebihnya, sindiran ini ditujukkan
agar Perkumpulan Sekar Rukun tidak lupa mengurusi
berbagai hal mengenai kesundaan.
Pada tanggal 15 Agustus 1926 Perkumpulan Sekar
Rukun dan organisasi pemuda lain, mengadakan sebuah
80
pertemuan kembali. Diantaranya yang hadir adalah
Perkumpulan Sekar Rukun, Jong Java, Jong Minahasa, Jong
Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Bataks Bond, Jong
Celebes, Jong Minahasa, Jong Ambon Sutenderen dan PPPI
(Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia). Pertemuan ini
diadakan di gedung bioskop “Oost Java” di Jakarta.
Pertemuan kali ini membahas usulan dari Jong Java mengenai
federasi antara berbagai organisasi pemuda. Hal ini terutama
difokuskan kepada sikap Jong Java yang ingin kembali
menghidupkan Jawa Raya. Namun, hasil dari pertemuan
tanggal 15 Agustus 1926 belum menemukan mufakat
(Hoofdbestuur, 1926b).
Pada tanggal 20 Februari 1927, organisasi pemuda
kembali melakukan sebuah perkumpulan resmi. Usul yang
diuttarakan dalam Perkumpulan tersbeut jelas masih
mengenai usul fusi yang diutarakan pertama kali oleh Jong
Java. Meskipun memang pembahasannya tidak berkembang
dengan jelas mengenai usul fusi tersbut. Tetapi, akibat
perlunya fusi tersebut namun beberapa organisasi pemuda
tidak mengindahkan termasuk Perkumpulan Sekar Rukun
karena persatuan dan kesatuan tidak hanya harus berbentuk
fusi. Namun, organisasi pemuda yang ada bisa menunjukkan
persatuan dan kesatuan ketika bergerak dan memiliki satu
tujuan bersama. Pada akhirnya Mr. Sartono dan Sunario
mereka mendirikan Jong Indonesia dalam pertemuan tersebut.
Nampak organisasi pemuda tersebut masih terbagi menjadi
dua kubu. Kubu pertama menghendaki persatuan dan

81
kesatuan nasional Indonesia yang dituangkan serta
diaktualisasikan dalam organisasi pemuda yang berbentuk
fusi. Kubu kedua adalah menghendaki agar semangat
persatuan dan kesatuan nasional Indonesia para pemuda itu
dituangkan dalam satu organisasi pemuda yang berbentuk
federasi. Mereka menganggap masih perlu ada organisasi-
organisasi pemuda yang berasas atau bersifat kedaerahan
yang berdiri sendiri. Akan tetapi, organisasi-organisasi
pemuda itu bersatu serta bergabung dalam satu organisasi
yang berbentuk federasi (Sagimun, 1992, hlm. 61).
Pada tanggal23 April 1927 organisasi pemuda tersebut
mengadakan kembali pertemuan. Pertemuan ini menuaikan
beberapa hasil, yakni; 1) Indonesia harus menjadi ideal bagi
seluruh anak Indonesia dan 2) Segala perserikatan pemuda
harus berdaya upaya dalam menuju mempersatukan diri
dalam satu perkumpulan. Semakin lama tembok kedaerahan
dan kesukuan yang mengungkung dan sempit itu semakin
hilang, diambrukan oleh sebuah arena yang besar yakni
semangat Indonesia raya yang semakin hari semakin kuat
cemerlang (Secretaris HB, 1927) Dalam beberapa waktu dari
perkumpulan yang dilakukan 23 April 1927, organisasi
pemuda tersebut mulai merancang kembali pertemuan-
pertemuan yang akan dilakukan. Pertemuan tersebut
direncanakan akan dilakukan pada 27-28 Oktober 1928 di
beberapa tempat yang berbeda.
Peristiwa tersebut yang kita kenal sebagai peristiwa
Kongres Pemuda 2 dan “Sumpah Pemuda” yang akan

82
dilakukan di Jakarta. Dalam menghadapi Kongres Pemuda 2,
Perkumpulan Sekar Rukun mengadakan sebuah kongres
tahunan yang dihadiri oleh pengurus besar dan perwakilan
dari cabang-cabang. Yang menjadi tuan rumah dalam kongres
besar ini adalah Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi.
Diadakan pada tanggal 6-7 Oktober 1928 di Loge Gebouw
(Gedung Loge), Vrijmetselaarweg (jalan Vrijmetselaar), Jakarta.
Yang hadir dalam kegiatan tersebut yakni Dr. Husein
Djajadiningrat beserta istri, J. Kats (Orang Belanda), Oto
Subrata (Ketua Paguyuban Pasundan), Mr. Sartono dan Mr.
Sunaryo (Pimpinan PNI), dan perwakilan dari organisasi
pemuda Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Indonesia, dan Pemuda Kaum Betawi
(Hoofdbestuur, 1928).
Dalam kongres ini juga muncul sebuah diskusi
mengenai hubungan Perkumpulan Sekar Rukun dengan
Kongres Pemuda 2. Beberapa pihak mempermasalahkan,
apakah dalam Kongres Pemuda 2 ini, Perkumpulan Sekar
Rukun sebagai utusan yang mandiri atau gabungan utusan
dengan Jong Java dengan konsep Jawa Raya-nya. Ketua
Perkumpulan Sekar Rukun pusat yakni Iki Adiwidjaja
mengumumkan hasil rapat pimpinan bagaimana sikap
Perkumpulan Sekar Rukun mengenai hal tersebut. Iki
Adiwidjaja mengemukakan bahwa Perkumpulan Sekar
Rukun akan melebur ke dalam utusan Jong Java. Alasan
tersebut juga ditambah dengan kondisi organisasi yang tidak
memiliki uang untuk membayar biaya kongres sebesar f. 250.

83
Tapi biaya itu tidak hanya dibebankan dalam Perkumpulan
Sekar Rukun Pusat tapi seluruh cabang Perkumpulan Sekar
Rukun harus memberikan sumbangan sebesar f. 35
(Hoofdbestuur, 1928).
Tentu pengumuman yang dikeluarkan oleh Iki
Adiwidjaja ini mengalami beberapa protes dari anggota
Perkumpulan Sekar Rukun yang lain. Nampak banyak
anggota dari Perkumpulan Sekar Rukun tidak setuju dengan
keputusan tersebut. Pertimbangan itu bersumber dari saran
anggota-anggota Perkumpulan Sekar Rukun. Saran pertama
oleh O. Soebrata yang menyarankan agar Perkumpulan Sekar
Rukun bergabung dengan Jong Java saja. Hal ini dikarenakan
memberikan sebuah contoh bagi organisasi lain tentang
pentingnya persatuan dan kesatuan.
“Ku djrg. O. Soebrata S.R ngahidji sareng J.J pikeun
masihan tjonto ka pakempelan2 sanes oelah doegi ka
aing-aingan. Sapertos ti tanah Djawa oelah aja oetoesan
ti roepa2 bangsa kitoe deui tanah sanes. Ka II
ngaemoetkeun waragad oepami S.R. gadoeh oetoesan
sorangan di Jeugdcongres seueur teuing
piwarageunana” (Secretaris, 1928).

(Oleh Tuan O. Soebrata S.R bersatunya dengan J.J


memberikan sebuah contoh terhadap organisasi
yang lain jangan sampai egois. Seperti di tanah
Jawa jangan sampai ada utusan dari berbagai
bangsa begitupula dari daerah-daerah lain. Kedua,
mengingatkan semuanya kalau S.R mempunyai
84
utusan sendiri dalam kongres terlalu banyak orang-
orang yang akan mewakili).

Saran kedua disarankan oleh disuarakan oleh Asik yang


lebih menyarankan agar Perkumpulan Sekar Rukun secara
mandiri saja masuk ke dalam Kongres Pemuda ke- 2. Hal ini
dilakukan agar ada perwakilan dari tanah Sunda karena pada
dasarnya Jawa dan Sunda merupakan sebuah konsep yang
berbeda. Apalagi momen ini selain memang bersatunya para
organisasi kedaerahan juga menjadi momen bersatunya
orang-orang Sunda.
“theorie djr. Asik sae, nanging praktijk sesah
didjalankeunana. H.B parantos ichtiar manging teu
hasil. Sesahna ngahidjikeun oerang Soenda langkoeng
sae taroskeun ka best Pasoendan. […]. Tina perkawis ieu
djadi debat rame, ti leden (vergadering) S.R dina
Jeugcongres kedah gadoeh oetoesan sorangan”
(Secretaris, 1928).

“Teori dari Tuan Asik bagus, meskipun memang


praktiknya susah untuk dijalankan oleh pengurus
yang sudah berusaha tapi hasilnya masih nihil.
Susah untuk menyatukan orang-orang Sunda lebih
baik tanyakan saja ke Paguyuban Pasundan. […].
Mengenai hal ini menjadi perdebatan yang sangat
seru, dari anggota (perkumpulan) S.R dalam
kongres harus memiliki utusan sendiri”.

85
Akhirnya setelah perdebatan terjadi dalam rapat
internal Perkumpulan Sekar Rukun, diputuskan bahwa
Perkumpulan Sekar Rukun mengikuti Kongres Pemuda 2
secara mandiri serta biaya yang harus dikeluarkan oleh
organisasi ditanggung oleh seluruh anggota yang hadir dalam
Kongres Perkumpulan Sekar Rukun tersebut. Adapun yang
menjadi utusan dalam Kongres Pemuda 2 adalah Sekar
Rukun cabang Betawi, yakni: Muvradi, Kornel Singawinata
(Inoe) (mahasiswa kedokteran), Mareng Suriawidjaja (Siswa
AMS), dan Julaeha (Hoofdbestuur, 1928).

Dalam kongres Pemuda 2 diikuti oleh kurang lebih 750


orang (Sagimun, 1992, hlm. 62). Kebanyakan yang mengikuti
Kongres Pemuda 2 ini adalah para pemuda yang masing-
masing mewakili organisasinya. Selain utusan Perkumpulan
Sekar Rukun yang sudah disebutkan di atas, dihadiri juga
oleh perwakilan organisasi pemuda lainnya, yaitu: 1) Utusan
Jong Java dipimpin oleh Joko Marsaid, 2) PPPI dipimpin oleh
Sugondo Djojopuspito, 3) Jong Sumatranen Bond dipimpin oleh
Mohamad Yamin, 4) Jong Bataks Bond dipimpin oleh Amir
Syarifudin, 5) Jong Indonesia dipimpin oleh Kacasungkono, 6)
Jong Islamieten Bond dipimpin oleh Muhamad Cai, 7) Jong
Ambon dipimpin oleh J. Laeimana, 8) Jong Celebes dipimpin
oleh Senduk, dan 9) Pemuda Kaum Betawi dipimpin oleh
Rohyani. Selain itu dihadiri juga oleh organisasi orang dewasa
dan partai politik, seperti; 1) Mr. Sartono mewakili Partai

86
Nasional Indonesia (PNI) dan Permufakatan Perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), 2) Inu Martakusuma
mewakili PNI cabang Bandung, 3) Abdulrachman mewakili
Budi Utomo, 4) S.M Kartowisuwiryo mewakili Partai Sarikat
Islam (PSI), 5) Mr. Sunario mewakili Persaudaraan Antar
Pandu Indonesia (PAPI) dan Indonesische Padvinders
Organisatie (INPO), 6) Kadir mewakili PSI cabang Jakarta, 7)
Dr. Amir mewakili Dienaren von Indie, 8) Sigit mewakili
Indonesische Studieclub dan 9) Muhidin mewakili Pasundan
(Sekar Rukun, 1928).

Selain itu, terbentuklah sebuah panitia Kongres


Pemuda 2, susunannya sebagai berikut;

Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI)

Wakil Ketua: Joko Marsaid (Jong Java)

Sekretaris: Mohamad Yamin (Jong Sumatranen Bond)

Bendahara: Amir Syarifuddin (Jong Bataks Bond)

Pembantu I: Mohamad Cai (Jong Islamieten Bond)

Pembantu II: Kacasungkono (Jong Indonesia)

Pembantu III: J. Leimana (Jong Ambon)

Pembantu IV: Senduk (Jong Celebes)

Pembantu V: Rohyani (Pemuda Kaum Betawi)

87
Perkumpulan Sekar Rukun tidak terlibat ke dalam
susunan panitia. Kemungkinan besar karena awalnya
Perkumpulan Sekar Rukun dalam jalannya Kongres Pemuda
2 akan digabungkan ke dalam Jong Java namun tidak
terlaksana dan Perkumpulan Sekar Rukun lebih memilih
untuk membawa nama organisasinya dalam Kongres Pemuda
2 tersebut. Sidang pertama diselenggarakan hari Sabtu malam
tanggal 27 Oktober 1928 dimulai pukul 19.30 bertempat di
gedung Khatolieke Yongelingen Bond, Waterlooplein, Batavia.
Dalam susunan kegiatan hari pertama ini di mana susunan
acara Kongres Pemuda 2 di hari pertama yakni 1) menjamu
utusan dan tamu, 2) pembukaan rapat oleh Soegondo
Djojopespito dan 3) membicarakan masalah kebangsaan
dengan mendengar beberapa pidato dari tokoh pemuda
seperti; Mohammad Yamin, Martokusumo, Maamoen Rasid,
Mr. Sartono, Kartosuwirjo, Nona Siti Sundari dan Nona
Puradiredja. Pada pidato pembukaan rapat kongres ini,
Sugondo Djojopuspito memaparkan sebuah uraian tentang
lahirnya organisasi modern pertama di Indonesia yaitu
munculnya Budi Utomo 1908. Dilanjutkan dengan pemaparan
mengenai timbulnya Perkumpulan Pemuda di beberapa
daerah dan bersifat kedaerahan. Selain itu, dilanjutkan juga
keterangan mengenai Kongres Pemuda Indonesia 1 tahun
1926. Termasuk perwakilan dari Perkumpulan Sekar Rukun
yaitu Kornel Singawinata. Bahwa persatuan dan kesatuan itu
tidak hanya dalam konteks pembicaraan saja tapi juga harus
menyertai jiwa serta perilaku.

88
“Djrg. Inoe njarioskeun jen persatoean teh oelah bae
kaloear tina biwir. Nanging kedah asoep njerep kana
hate. Saoerna goenana persatoean teh njaeta soepaja
tanah oerang bisa tjara tanah deungeun saperti Inggris
Naderland” (Verslaggever, 1928).

(Tuan Inu membicarakan bahwa persatuan jangan


hanya keluar dari bibir saja. Tetapi juga harus
masuk ke dalam hati. Katanya guna persatuan
supaya tanah kita bisa seperti Inggris Belanda).

Selanjutnya sidang II diselenggarakan pada hari


Minggu pagi, 28 Oktober 1928 pada pukul 08.00-12.00 WIB
yang bertempat di gedung Oost Java Bioscoop di Koningsplein
Noord, Batavia. Sidang yang dihaadiri oleh beberapa surat
kabar, seperti Keng-Po, Sin-Po, Fadjar Asia, Sekar Rukun.
Dalam sidang ke-II ini membicarakan masalah wanita dan
pendidikan yang disampaikan oleh Sarmidi Mangunsarkoso,
Ki Hajar Dewantara, Nona Poernomowoelan dan
Djokosarwono. Perwakilan Perkumpulan Sekar Rukun
kembali menyampaikan pandangannya yang diwakili
kembali oleh Kornel Singawinata. Menurut Kornel
Singawinata bahwa yang perlu dalam merajut persatuan dan
kesatuan harus dilandasi oleh keberanian dan hati yang
bersih.

“Djoeragan Inoe Ka Pajoen. Saoer andjeoenna kasalahan


ngatik boedak di Indonesia teh sok di singsieunan.
89
Achirna boedak teh sok borangan (penakoet). Saoer
andjeunna kabersihan di loewar (uiterlijke reinheid)
henteu perloe. Babari kotor mah koembah bae! Tapi anoe
kedah koe oerang dikahareupkeun nja eta kabersihan
hate” (Verslaggever, 1928).
(Tuan Inu kedepan. Menurutnya bahwa kesalahan
yang mendasar anak-anak di Indonesia adalah
sering ditakut-takuti. Akhirnya anak tersebut
menjadi penakut. Menurutnya, diluar tidak
memerlukan kebersihan. Kalau cepat kotor segera
dicuci! Tetapi yang perlu kita kedepankan adalah
kebersihan hati)

Kemudian dilanjutkan sidang ke-III yang


diselenggarakan juga pada hari Minggu malam tanggal 28
Oktober 1928, pukul 20.00-23.00 WIB, betempat di gedung
Indonesische Clubgebouw (IC), Batavia. Perkumpulan Sekar
Rukun juga ikut terlibat dalam pembicaraan sidang ke-III ini.
Dalam sidang III ini membicarakan masalah kepanduan oleh
Ramelan dan Theo Pangamanan mengenai arti pergerakan
pemuda- pemuda. Di dalam sidang ke-III ini terdapat
perdebatan sengit antara Mohammad Yamin dan Maamoen
Rasid. Perdebatan ini mengenai arak-arakan yang akan
dilakukan oleh kawan-kawan kepanduan pasca kongres.
Pasca perdebatan tersebut yang tanpa adanya keputusan
bersama kemudian dilanjutkan pemaparan bagaimana posisi
Indonesia dalam Internasionalisme oleh Mr. Sunario. Karena
90
suasana masih tegang, maka Kornel Singawinata maju ke
depan peserta sidang. Di depan hadapan sidang, Kornel
Singawinata tidak berpidato melainkan untuk melucu. Hal ini
dilakukan agar peserta sidang yang asalnya tegang akibat
perdebatan antara Mohammad Yamin dan Maamoen Rasid
dapat diredam oleh lelucon dari Kornel Singawinata.
“Saparantosna Mr. Soenarjo, noe madjeng djoeragan
Inoe. Edas loetjoe : santen Tarik ditjampoer banjol, noe
goemoedjeng mani rame, kakara koe poetjoenghoelna oge
parantos keprok” (Verslaggever, 1928)

(Sesudah Mr. Soenario, yang maju kedepan adalah


tuan Inoe. Sangat lucu, suaranya besar dicampur
dengan cerita lelucon, yang memperhatikan sangat
ramai, nampak semuanya tepuk tangan)

Kongres Pemuda 2 ini ditutup oleh Soegondo


Djojopuspito selaku ketua Kongres. Dikumandangkan juga
lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Supratman berupa
instrumental biola yang dilakukan oleh dirinya. Kemudian,
Mohammad Yamin membacakan putusan kongres dan semua
hadirin berdiri untuk mengikuti bacaan dari Mohammad
Yamin. Isinya berupa berikut: Pidato-pidato tersebut
mengeluarkan keyakinan mengenai persatuan dan kesatuan
Indonesia secara mutlak dengan memperhatikan dasar-dasar
persatuanya, yaitu: 1) kemauan, 2) sejarah, 3) bahasa, 4)
hukum adat dan 5) pendidikan dan kepanduan. Selain itu,
Kongres menghasilkan sebuah putusan kongres, yakni:
91
Pertama: Kami putera dan puteri Indonesia
mengaku bertumpah darah yang
satu, tanah Indonesia

Kedua: Kami putera dan puteri


Indonesia mengaku berbangsa
satu, bangsa Indonesia

Ketiga: Kami putera dan puteri Indonesia


menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia

Kongres Pemuda 2 ini ditutup kira-kira jam 23.00.


Kongres Pemuda 2 yang menjadi skala perkumpulan terbesar
yang pernah diselenggarakan oleh para organisasi pemuda
tersebut. Karena yang hadir dalam Kongres Pemuda 2 ini
sangat banyak dan beragam. Selain itu, kesepakatan yang
dihasilkan memang sangat penting teurtama dalam sejarah
kebangsaan Indonesia. Dalam pelaksanaannya pihak
pemerintah kolonial Belanda menghalang-halangi
pelaksanaan Kongres Pemuda 2, salah satunya adalah Mr. C.
Kivit de Jong yang mengerahkan PID atau polisi intel dalam
mengawasi jalnnya Kongres Pemuda. Namun putusan
Kongres Pemuda 2 ini tetap dikumandangkan dan dijadikan
sebuah naskah. Naskah tersebut yang kita tahu sekarang
sebagai Sumpah Pemuda. Keputusan tersebut kemudian
disahkan dalam kongres. Nampak terlihat jelas, rasa
92
persatuan dan kesatuan semakin bertambah. Semangat untuk
menjadi satu semakin besar dikalangan pemuda Indonesia.
Para pemuda ini telah berhasil dalam mendirikan serta
mendirikan sebuah tonggak sejarah di dalam sejarah nasional
Indonesia yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda”. “Sumpah
Pemuda” tersebut berintikan satu nusa, satu bangsa dan satu
bahasa. Jiwa semangat merdeka pun mulai dikumandangkan
oleh beberapa organisasi pemuda tersebut. Pada akhirnya hal
tersebut yang akan terus menggelora di dalam hati para
pemuda. Jadi dalam Kongres Pemuda 2 ini lebih tegas dan
kuat dalam menyatakan dan menyuarakan persatuan dan
kesatuan nasional Indonesia. Jika dalam beberapa tahun
sebelumnya organisasi-organisasi modern terutama
Perkumpulan Sekar Rukun masih merasa hidup berkotak-
kotak dan masing- masing masih mengenakan baju etnis,
golongan dan kedaerahannya. Maka, dalam Kongres
Pemuda 2 ini baju-baju etnis, golongan dan kedaerahan
tersebut mulai ditinggalkan berganti dengan baju rasa
persatuan dan kesatuan yang mutlak adanya.

93
SUNDA
DALAM ARUS PERSATUAN INDONESIA

Arah pergerakan Perkumpulan Sekar Rukun tidak


pernah lepas dari rasa, gerak dan pemikiran berdasarkan ke-
Sundaanmereka. Berbagai etnis, golongan dan kedaerahan
telah bersatu yang ditandai dengan munculnya Kongres
Pemuda 1 dan Pemuda 2 yang meleburnya organisasi
pemuda yang berbasis etnis, golongan dan kedaerahan
tersebut menjadi rasa kesatuan dan persatuan yang sangat
tinggi. Namun, perlu diketahui terutama mengenai
Perkumpulan Sekar Rukun meskipun memang rasa persatuan
dan kesatuan itu dimiliki juga oleh Perkumpulan Sekar
Rukun tidak meninggalkan rasa, gerak dan pemikiran
mengenai ke-Sundaanyang memang menjadi sebuah identitas
organisasi. Justru, Perkumpulan Sekar Rukun menunjukkan
bijak dalam organisasi, mereka telah memahami kapan
keSundaannya harus muncul dan kapan keSundaannya harus
melebur dengan yang lain tanpa terkecuali. Perkumpulan
Sekar Rukun telah membuktikannya dari tahun 1926 secara
masif hingga Kongres Pemuda 1 dan 2. Kemudian dilanjutkan
94
dalam kegiatan pasca Kongres Pemuda 1 dan 2 tersebut.

Pada akhirnya Perkumpulan Sekar Rukun sadar


bahwasanya untuk mewujudkan kemajuan serta
kemerdekaan setiap bangsa terutama pribumi yang memiliki
rasa telah ditindas dan dijajah oleh pemerintah kolonial
Hindia-Belanda bertahun-tahun lamanya diperlukan
kerjasama dari setiap perkumpulan atau organisasi-
organisasi kebangsaan yang ada di sana. Perkumpulan Sekar
Rukun melihat bahwa masing-masing dari tiap- tiap individu
atau perkumpulan-perkumpulan bangsa pribumi tersebut
sama seperti sebatang lidi. Jika sebatang lidi itu beridiri
sendiri yang tidak disatukan dengan lidi- lidi yang lain maka
lidi tersebut akan sangat mudah untuk dipatahkan. Maka lidi
tersebut akan terlihat sebagai benda yang tidak berguna sama
sekali. Berbeda jika lidi- lidi tersebut disatukan dan diikatkan
maka lidi tersebut akan mulai berubah menjadi kesatuan yang
kuat serta sulit untuk dipatahkan, selain itu lidi tersebut akan
terlihat sangat berguna. Itu artinya, sebesar dan sekuat
apapun bangsa Indonesia kala itu melakukan sebuah
perlawanan atau pertentangan kepada pihak pemerintahan
kolonial Hindia Belanda jika masih terpisah-pisah maka akan
mudah untuk dipadamkan (Bisma, 1927) Maka dari itu,
melalui sebuah kerjasama dari setiap golongan, kelompok,
daerah, etnis dan lain sebagainya serta dikuatkan dengan
keinginan tekad yang bulat maka setiap tujuan tersebut akan
dapat dilakukan dan diwujudkan secara lebih efektif dan
efisien.
95
Melalui pengalaman sejarah Indonesia pada abad ke-18
dan ke-19 di mana memang perlawanan-perlawanan
dilakukan besar-besaran. Kita belajar mengenai perang
Diponegoro, perang Banjar, perang Padri dan lain sebagainya.
Namun, yang menjadi sebuah evaluasi dari perang-perang
yang merupakan simbol dari perlawanan terhadap
pemerintah kolonial Hindia Belanda hanya dilakukan tiap-
tiap daerah dengan rasa kedaerahan atau golongannya saja.
Belum ada persatuan dan kesatuan dalam sebuah perlawanan
tersebut. Maka dengan mudah perlawanan tersebut dapat
ditumpas habis oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Begitupula ketika masuk kea abad 20, bentuk perlawanan
yang dilakukan oleh orang-orang “pribumi” kala itu adalah
dengan membentuk sebuah organisasi modern yang lebih
bersifat intelektual. Pada awalnya memang organisasi
tersebut hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa ada rasa
bagaimana bekerjasama dengan organisasi lain dalam rangka
persatuan dan kesatuan, dalam hal ini terutama organisasi
pemuda yang di mana anggotanya memiliki sebuah idealisme
yang sangat tinggi. Ternyata segala bentuk yang dilakukan
tanpa dengan kerjasama yang baik maka akan nihil hasilnya.
Sebagai contoh adalah Perkumpulan Sekar Rukun yang
awalnya hanya menjunjung tinggi dengan keSundaannya
tanpa mengindahkan budaya lain dalam hal kerjasama. Segala
bentuk kegiatannya hanya mengenai Sunda saja tidak dapat
dilebarkan secara luas. Berbeda ketika memang Perkumpulan
Sekar Rukun telah bekerjasama dengan organisasi lain yang

96
serupa, terutama dalam setiap kumpulan-kumpulan atau
bahkan dalam ranah Kongres Pemuda 1 dan 2.

Dalam pergolakan politik pada masa Pergerakan


Nasional Justru yang sering menggaungkan rasa persatuan
dan kesatuan berasal dari organisasi yang berdomisili diluar
Hindia-Belanda namun mencakup orang-orang Indonesia,
yakni Perhimpunan Indonesia (PI). PI mulai
mempropagandakan nama Indonesia sebagai suatu identitas
kebangsaan dan nama yang memiliki makna secara luas baik
politis, sosial atau budaya menggantikan nama Hindia
Belanda. Ide kebangsaan tersebut yag kemudian mereka bawa
ke Indonesia dan mulai disebarluaskan secara masif melalui
surat-surat kabar yang mereka terbitkan sehingga memiliki
dampak sebuah kesadaran baru mengenai kebangsaan bagi
kaum pergerakan di Indonesia (Hatta, 2016, hlm. 166).

Ideologi PI itu nampaknya hampir diterima oleh seluruh


organisasi yang berada di wilayah Hindia Belanda kala itu
tidak terkecuali oleh Perkumpulan Sekar Rukun dan beberapa
organisasi yang serupa lainnya. Hal ini karena keberadaan
seorang tokoh Sunda yang juga aktif di PI dan Perkumpulan
Sekar Rukun. Tokoh tersebut yaitu Iwa Kusumasumantri.
“Pada masa ini boleh dikatakan S.R moelai bangoen lagi begitoe lagi
Mr. Iwa sedatangnja dari Europa ta’ ketinggalan membantoe
membangoenkan lagi S.R” (Hoofdbestuur, 1928b) (Pada masa
ini boleh dikatakan SR mulai bangun lagi begitu lagi Mr. Iwa
sedatangnya dari Eropa yang tidak ketinggalan
membangunkan kembali S.R). Tanggapan positif dari
97
Perkumpulan Sekar Rukun terhadap ideologi baru tersebut
ditumjukkan pada saat Perkumpulan Sekar Rukun bergabung
dalam Kongres Pemuda 1 dan 2 yang terjadi ditahun 1926 dan
1928. Maka, diterimanya sebuah ide baru tersebut oleh
Perkumpulan Sekar Rukun maka berubahlah sebuah
perspektif Perkumpulan Sekar Rukun dalam memandang
kebangsaan. Di mana sebelumnya Perkumpulan Sekar Rukun
memandang Sunda sebagai suatu bangsa yang berdiri sendiri
dan terpisah dari bangsa-bangsa yang lain. namun, setelah
masuknya sebuah ide tersebut maka Perkumpulan Sekar
Rukun memandang bahwa Sunda sebagai bagian dari
Indonesia. Perubahan ini pun yang dilakukan secara
organisasi turut merubah pandangan dari para anggotanya
dalam hal memahami sebuah masalah kebangsaan.

Meskipun begitu, dalam era Pergerakan Nasional ini


masih terdapat beberapa perbedaan pandangan dalam
memahami persatuan dan kesatuan Indonesia. Dalam ranah
internal ataupun eksternal organisasi. Selain itu, tidak jarang
juga bahwa sebuah ide persatuan dan kesatuan Indonesia
menjadi sebuah diskusi yang sensitif dan memunculkan
sebuah pemahaman yang berbeda-beda antar satu dengan
yang lainnya. Sebagian individu atau organisasi
berpandangan bahwa nasionalisme dalam membina
persatuan dan kesatuan Indonesia yang tepat adalah ketika
bangsa Indonesia dapat bersatu melepaskan kesukuan,
golongan, daerah dan kebudayaannya masing-masing secara
total demi terjalinnya sebuah persatuan dan kesatuan serta
98
kemajuan bersama sebagai sebuah negara bangsa. Sementara
dalam beberapa pandangan lain bahwa nasionalisme
Indonesia dalam rangka persatuan dan kesatuan adalah
bahwa persatuan dan kesatuan Indonesia dapat dicapai tanpa
melepaskan identitas dari kesukuan, golongan, daerah dan
kebudayaannya masing-masing sebelum pada akhirnya dapat
bersama-sama dalam perstuan dan kesatuan serta kemajuan
Indonesia. Dua pandangan tersebut detidaknya mewarnai
sebuah dinamika perkembangan nasionalisme yang terjadi di
Indonesia pada saat itu.

Perkumpulan Sekar Rukun sebagai salah satu organisasi


pemuda dan kedaerahan Sunda kala itu memandang bahwa
pandangan nasionalisme demi terciptanya persatuan dan
kesatuan yang dianut oleh Perkumpulan Sekar Rukun adalah
pandangan yang kedua, yaitu membangun nasionalisme
dalam rangka terciptanya persatuan dan kesatuan tanpa
menghilangkan identitas dari kesukuan, golongan, daerah
dan kebudayannya masing-masing. Sebelum pada akhirnya
dapat menciptakan sebuah persatuan dan kesatuan serta
kemajuan Indonesia (Bisma, 1927). Sehingga meskipun
bekerjasama dengan organisasi lain, program-program yang
dikerjakan oleh Perkumpulan Sekar Rukun selalu berkaitan
dengan apa yang diyakininya tersebut. Dalam artian,
Perkumpulan Sekar Rukun masih mengembangkan
keSundaannya dalam program kerjanya. Selain itu, bagi
Perkumpulan Sekar Rukun perbedaan dalam ranah
pergerakan dan perjuangan merupakan sebuah keniscayaan
99
pada bangsa yang sedang bersama-sama bergotong-royong
dalam mencapai persatuan dan kesatuan serta
memajukannya. Dalam pandangan organisasi sangatlah wajar
jika orang-orang atau organisasi-organisasi tersbut memiliki
sebuah cara dan jalannya masing-masing. Selama memang
tujuan dan cita-citanya masih tetap untuk mencapai sebuah
persatuan dan kesatuan serta kemajuan Indonesia (Bisma,
1927).

Sangatlah wajar bilamana sebagian harus dengan jalan


pendidikan, sebagian dengan jalan ekonomi, sebagian dengan
jalan budaya, sebagian dengan jalan agama dan sebagian
yang lain berbeda lagi jalan dan cara yang ditempuhnya.
Maka dari itu perbedaan jalan dan cara pergerakan atau
perjuangan tersebut melahirkan sebuah organisasi-organisasi
yang berbeda pula. Namun, meskipun berbeda jalan dan cara
perjuangan atau pergerakan tersebut secara organisasi,
Perkumpulan Sekar Rukun meyakini bahwa pada akhirnya
semua organisasi memiliki sebuah tujuan atau cita-cita yaitu
persatuan dan kesatuan serta mengurus tanah airnya sendiri
oleh mereka sendiri. Selain itu, komitmen yang dibangun
akan juga sangat terasa kuat dan akan saling melengkapi
antara satu dengan yang lainnya. Justru hal berbeda-beda
inilah yang membuat Indonesia bersatu juga Indonesia akan
kuat dalam mengurusi negara bangsanya sendiri. Dalam hal
inilah karakter ke-SundaanPerkumpulan Sekar Rukun sangat
ditonjolkan, di mana sikap saling melengkapi sebagai orang
Sunda diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
100
Juga yang dilakukan oleh Perkumpulan Sekar Rukun semata-
mata sebagai bentuk dari jalan pergerakan dan perjuangan
yang ditempuh dalam mencapai sebuah kemerdekaan
Indonesia.

Perkumpulan Sekar Rukun memiliki sebuah pandangan


yang lebih dalam, yakni dalam mempersatukan rakyat
Indonesia yang bermacam-macam suku bangsa, daerah,
golongan dan lain sebagainya haruslah bertumpu pada
konsep keanekaragaman atau multikultural. Dalam
keanekaragaman dan multikultural tersebut merupakan
sebuah potensi yang sangat besar yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Hal ini tentu menjadi sebuah anugerah beragam
suku bangsa, daerah, golongan dan lain sebagainya dalam
memajukan serta membangun sebuah persatuan dan kesatuan
negara bangsa. Maka dari itu, setiap suku bangsa, daerah,
golongan, etnis dan lain sebagainya yang berada di wilayah
Hindia Belanda atau Indonesia tidak dapat dipaksakan agar
seragam. Karena akan menimbulkan sebuah pertentangan
dan konflik dalam masyarakat. Biarkan mereka agar dapat
secara dewasa berkontribusi dengan jalan dan caranya sendiri
dalam rangka menciptakan sebuah persatuan dan kesatuan
serta kemajuan Indonesia (Pasam, 1929).

Dalam bangsa yang beranekaragam tersebut yang


memiliki keanekaragaman suku, bahasa, daerah, golongan,
etnis dan lain sebagainya tidak ada korelasinya antara
melestarikan serta mengembangkan atribut identitas suatu
suku bangsa tertentu dengan adanya sebuah upaya
101
separatism, justru artibut identitas tersebut haruslah
dilestarikan dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan Indonesia. Keanekaragaman suku bangsa yang
beranekaragam di Hindia Belanda saat itu semisal suku
Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Batak dan lain sebagainya yang
merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihilangkan
begitu saja. Kita tidak akan dapat memaksakan untuk
menghilangkan identitas asli bangsa Indonesia yang
beranekaragam dan merubahnya secara total dengan hanya
satu identitas, yaitu Indonesia saja tidak dengan menyertakan
asal-usul bangsanya. Nasionalisme yang didalamnya
terdapat persatuan dan kesatuan tidak hanya dapat dinilai
dalam hal-hal demikian. Justru spirit untuk memelihara dan
mengembangkan identitas suku, etnis, golongan dan lain
sebagainya sangatlah penting. Karena jika perbedaan-
perbedaan tersebut dapat terpelihara dengan baik maka
pada akhirnya persatuan dan kesatuan akan juga terpelihara
dengan baik (Moehjidin, 1929). Selain itu, Perkumpulan Sekar
Rukun juga menyatakan bahwa Sunda merupakan sebuah
identitas yang tidak dapat diganggu gugat pada masa itu dan
kelak dan seharusnya tetap dijaga agar tetap hidup.
Identitas yang sudah lama dibentuk dan berkembang
dalam masyarakat jangan dijadikan sebuah penghambat
bagi jalannya persatuan dan kesatuan. Orang Sunda dirumah
sendiri, mereka seyogianya harus tetap menjadi orang Sunda.
Maka dari itu, mereka harus berprilaku sesuai dengan adat
dan nilai keSundaannya tersebut serta harus tetap

102
berkomitmen dan bertanggung jawab dalam menjaga
identitas keSundaannya tersebut. Jika keluar dari wilayah
keSundannya mereka akan menjadi orang yang berasal dari
pulau Jawa dan jika lebih jauh dari itu, maka harus
dipastikan dan diakui mereka berasal dari Indonesia.
Begitupun hal ini harus diterapkan oleh suku bangsa yang
lain. Jika hal itu dapat tertanam dengan baik dan dilakukan
secara konsisten maka permasalahan suku, etnis, golongan,
daerah dan lain sebagainya tidak akan berbenturan dengan
spirit nasionalisme yang sedang giat di bangun pada masa
Pergerakan Nasional. Hal tersebut menjadi sebuah realisasi
persatuan dan kesatuan yang jauh lebih kokoh dalam rangka
tujuan dan cita-cita meraih kemerdekaan bersama bagi bangsa
Indonesia. Gagasan mengenai pandangan kebangsaan ini juga
dituliskan dan dibahas begitu mendalam. Dalam catatan
Hoofdbestuur (1928b) :

“Maksoed S.R boekanlah hendak memetjahkan


persatoean Indonesia atau akan mengasingkan
2
pemoeda Soenda dari jang lain. Akan tetapi S.R
mempoenjai toedjoean jang diharap oleh perhimpoenan2
kebangsaannja Sebagai bangsa Soenda dan sebagai
bangsa Indonesia. Soepaja pemoeda Soenda
menghargai cultuur dan bahasa sendiri sebab bangsa
kami tidak adalah kehinaan di doenia ini hanja
mendjadi manoesia jang ta’ karoean kebangsaanja.
Tiada adalah kerendahan oentoek kebangsaan djikalau
bangsa itoe tidak mengetahoei kepada bahasa dan adat
103
lembaga tanah airnja sendiri. Bagaimanakah nasib
Indonesia djikalau sebagaian dari Indonesiers menjadi
korban terseboet tahadi. Bangsa sematjam itoelah
biasanja yang lekas kena pengaroehnja bangsa asing.
Itulah sebabnya S.R dimedan kesikapannja disertai
dengan menghargakan cultuurnja sendiri. Sera
meskipoen pada masa ini masih djaoeh dari
kesempoernaan. Djoega diboektikan dengan practikijnja
beladjar seni2 bangsa sendiri, begitoe lagi
memakai bahasa dalam koempoelan2 dan
madjalah (organ) bahasa sendiri jaitoe bahasa Soenda
atau jikalau perloe bahasa Indonesia. Ta’ lain hanja
mengandoeng maksoed soepaja pemoeda Soenda
semakin lama semakin tebal perasaanja kepada
kebangsaan, serta menghargai persatoean Indonesia.
Sebab dengan memakai bahasa Indonesia itoe jang
sekarang oleh perkebangsaan soedah didjadikan bahasa
oemoem terletaklah bibit persatoean oentoek Ra’jat
Indonesia”

(Maksud S.R bukanlah hendak memecahkan


persatuan Indonesia atau akan mengasingkan
pemuda-pemuda Sunda yang lain. Akan tetapi
S.R memiliki tujuan yang diharapkan oleh
perhimpunan-perhimpunan kebangsaannya
sebagai bangsa Sunda dan sebagai bangsa
Indonesia. Supaya pemuda Sunda memahami
kultur dan bahasa sendiri sebab bangsa kami
104
bukanlah bangsa yang hina di dunia ini hanya
menjadi bangsa yang tak karuan kebangsaannya.
Tidak ada adalah kerendahan untuk kebangsaan
jikalau bangsa itu tidak mengetahui kepada bahasa
dan lembaga adat tanah airnya sendiri.
Bagaimanakah nasib Indonesia jikalau sebagaian
dari orang Indonesia menjadi korban tersebut tadi.
Bangsa yang semacam itulah biasanya yang lekas
dipengaruhi oleh bangsa asing. Itulah sebabnya
S.R memiliki sikap disertai dengan menghargai
kulturnya sendiri. Juga pada masa ini masih jauh
dari kesempurnaan. Juga dibuktikan dengan
praktiknya belajar seni-seni bangsa sendiri yaitu
bahasa Sunda atau jikalau perlu bahasa Indonesia.
Tidak lain hanya mengandung maksud supaya
pemuda Sunda semakin lama semakin tebal
perasaannya kepada kebangsaan, serta menghargai
persatuan Indonesia. Sebab dengan memakai
bahasa Indonesia itu yang sekarang oleh
perkembangan kebangsaan sudah dijadikan bahasa
umum hingga terletak bibit persatuan Rakyat
Indonesia).

105
FUSI ORGANISASI

Fusi organisasi ini sebenarnya sudah dibahas sebelum


Sumpah Pemuda ke 2 yang terjadi pada 28 Oktober 2020.
Persatuan Pemuda Indonesia (PPPI) misalkan terus
mendorong fusi organisasi tersebut di mana gagasan ini
kembali mulai 3 Mei 1928 hingga 12 Agustus 1928. Namun,
masih belum mencapai kata mufakat. Berjalannya Kongres
Pemuda 2. Kongres Pemuda 1 dan 2 telah berhasil
merumuskan suatu keputusan dan sekarang lebih dikenal
dengan sebutan Sumpah Pemuda. Kongres Pemuda 2 ini
segala tindak-tanduk Persatuan dan Kesatuan mulai
terealisasi dengan munculnya fusi organisasi yang nantinya
akan bernama Indonesia Muda. Fusi organisasi kembali
digagas oleh organisasi pemuda yang mengikuti Kongres
Pemuda 2. Yang paling gencar dalam merumuskan fusi ini
adalah Jong Java.

Gagasan dalam rencana fusi organisasi menuju


Indonesia Muda yang diterima oleh organisasi pemuda
106
tersebut adalah sebuah gagasan dari Jong Java. Dalam Safwan
(1973, hlm. 81-83) menyebutkan mengenai gagasan tersebut,
antara lain; a) Jong Java menerima ide fusi, b) sebelum
melaksanakan fusi hendaknya ada waktu peralihan, c) untuk
dibentuk komisi persiapan, d) tiap organisasi yang ikut
berfusi mendapatkan dua orang wakilnya dalam komisi
tersebut, e) tiap perkumpulan peserta mempunyai satu suara,
f) komisi hendaknya dipimpin oleh organisasi-organisasi
netral dalam hal ini adalah PPPI, g) ketua komisi mempunyai
suara sebagai penasehat, jika pemungutan suara gagal maka
suara ketua yang menentukan, h) sekretaris komisi bertugas
memberi laporan secara teratur mengenai tindakan-tindakan
yang diambil kepada organisasi- organisasi peserta, leporan-
laporan ini diumumkan, i) komisi bertugas mempersiapkan
segala sesuatunya untuk mempercepat peleburan organisasi-
organisasi pemuda seperti anggaran dasar/anggaran rumah
tangga, peraturan kepanduan serta rencana kerja, j) komisi
menjamin bahwa waktu peralihan tidak merugikan, k) komisi
berhak membentuk sub komisi dan minta nasehat ahli, l) jika
persiapan-persiapan telah dibuat untuk dinilai oleh macam-
macam kongres maka komisi persiapan dibubarkan.
Kemudian dibentuk pedoman besar fusi, m) pengurus besar
terikat oleh putusan- putusan komisi besar delama putusan-
putusan ini dapat dilaksanakan, n) selama pekerjaan
persiapan tersebut belum selesai, organisasi lain tetap bekerja
seperti semula dan o) jika usul diterima maka Pengurus Besar
Jong Java segera memberitahukan hal ini kepada organisasi-

107
organisasi pemuda yang ada.

Perkumpulan Sekar Rukun yang terlibat ke dalam


pertemuan tersebut menyepakati hasil dari putusan
pertemuan tersebut terutama mengenai fusi begitupun
organisasi pemuda yang lainnya yang terlibat dalam
pertemuan tersebut. Selain itu, Perkumpulan Sekar Rukun
kembali menjalankan organisasinya dengan semula tentu
dengan sebuah sentuhan yang berbeda. Dalam artian, fokus
kebangsaan dan wanita yang merupakan sebuah fokus
bahasan dalam Kongres Pemuda 2. Misal, dalam surat kabar
Sekar Rukun yang dimuat lebih banyak membahas hal-hal
tersebut. dalam surat kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh
Ariatni sebagai salah anggota Perkumpulan Sekar Rukun
cabang Betawi (1929) dengan judul “Harkat Istri Bangsa Urang”
menjelaskan mengenai bagaimana para wanita terutama
wanita Sunda ini harus peka terhadap pendidikan dalam
mendirikan harkat dan martabat wanita dalam konteks
kebangsaan. Bahwa zaman modern ini di awal abad ke 20-an
wanita-wanita sudah tidak lagi menjadi subjek tetapi juga
menjadi objek. Ditandai dengan banyaknya gerakan-gerakan
wanita yang intelektual juga memimpin sebuah kelompok
besar terutama di wilayah-wilayah Eropa. Dalam tulisan
inipun ditambahkan bahwa beberapa inspirasi wanita
Indonesia dalam mengangkat harkat dan martabat wanita
seperti Raden Dewi Sartika dan R.A Kartini. Dua sosok

108
tersebut dan inspirasi dari gerakan-gerakan wanita tersebut
diharapkan dapat memotivasi wanita Indonesia secara
keseluruhan terutama perjuangan terhadap bangsa dan
negara. Narasi-narasi seperti ini terus dilanjutkan oleh
Perkumpulan Sekar Rukun serta organisasi pemuda lain.

Mengenai fusi ini memang memang dibahas secara


internal dalam rapat-rapat Perkumpulan Sekar Rukun.
Maksudnya adalah bagaimana kebijakan organisasi tetap
harus dipikirkan secara matang. Pasalnya, untuk mengikuti
Kongres Pemuda 2 saja terdapat beberapa pemikiran-
pemikiran yang pada akhirnya akan dijadikan sebagai
landasan kebijakan dan arah gerak dalam organisasi. Berbagai
pandangan mengenai fusi tersebut memang muncul dilihat
dari beberapa pemikiran yang tercantum dalam surat kabar
Sekar Rukun. Dalam tulisan Hoofdbestuur (1929) bahwa
“sanaos ieu sanes propaganda vergadering oge teu kinten simkuring
ngaraos perloena ngadadarkeun tjita-tjita Sekar Roekoen”
(meskipun hal ini bukan merupakan propaganda
perkumpulan juga tidak lupa saya merasa perlunya untuk
mengingatkan cita-cita Sekar Rukun). Cita-cita yang
dimaksud jelas sudah ditambahkan mengenai cita-cita
mengenai tujuan persatuan dan kesatuan demi bangsa negara
yang merdeka. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa
Perkumpulan Sekar Rukun harus tetap pada tujuan awal
berdirinya organisasi yakni mengenai pemberdayaan budaya
Sunda (Hoofdbestuur, 1929b). Mengenai dinamika tersebut
mewakili anggota Perkumpulan Sekar Rukun dalam berbagai
109
macam pendapat meleburnya Perkumpulan Sekar Rukun ke
dalam fusi organisasi Indonesia Muda. Meskipun pada
akhirnya, Perkumpulan Sekar Rukun atas nama organisasi
memilih untuk melebur dalam fusi Indonesia Muda dengan
memberikan contoh serta mengimplementasikan tujuan
persatuan dan kesatuan demi terwujudnya bangsa dan negara
yang merdeka. Juga tidak melupakan cita-cita awal
Perkumpulan Sekar Rukun mengenai pemberdayaan budaya
Sunda.

Pada tanggal 23 April 1929 wakil-wakil organisasi yang


menyetujui fusi, seperti Jong Java, Perkumpulan Sekar Rukun,
Jong Sumatranen Bond serta Indonesia Muda
menyelenggarakan sebuah pertemuan kembali di Batavia.
Pertemuan ini dinamakan sebagai “Sidang Fusi Pertama” di
dalam sidang tersebut, organisasi-organisasi pemuda ini
nampak menyetujui sebuah fusi diantara organisasi pemuda.
Jong Java diwakili oleh Kuntjoro Purbapranoto, Djaksodipuro
dan Sudirman, Pemuda Indonesia mengirimkan Jusupadi,
Muljadi Dwidjodarmo dan Tamzil, Jong Sumatranen Bond
mengirimkan Muhammad Yamin, A.K Gani dan Krung Raba
Nasution, Perkumpulan Sekar Rukun mengirimkan Iki
Adiwidjaja. Ditujunjuklah Kuntjoro Purbopranoto sebagai
ketua dari organisasi-organisasi pemuda yang akan berfusi.
Disisi lain dibentuk juga komisi kecil yang membentuk
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi
baru yang akan lahir dan disetujui dengan nama “Indonesia
Muda” (Kartodirdjo, 1990, hlm. 99).
110
Komisi ini menyelesaikan tugasnya pada 23 Maret 1930
yang kemudian diikuti bubarnya tiap-tiap organisasi pemuda
yang ingin berfusi terutama Perkumpulan Sekar Rukun. Iki
Adiwidjaja sebagai ketua Perkumpulan Sekar Rukun cabang
Betawi dan pusat mengumumkan pidato peleburan ini secara
sah yang dimuat dalam surat kabar Sekar Rukun yang ditulis
Sec. Tjab. Soekaboemi (1929) yang menjelaskan bahwa
Perkumpulan Sekar Rukun ingin menyesuaikan dengan
perkembangan zaman, begitu juga cabang-cabang
Perkumpulan Sekar Rukun yang ada diberbagai wilayah.
Maka, hasil Kongres Pemuda 2 tidak lagi sia-sia ketika
peleburan tiap organisasi-organisasi pemuda telah dilakukan
guna terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa. Lebih
lanjut, fusi dari Perkumpulan Sekar Rukun ini yang
bergabung ke dalam Indonesia Muda juga telah disetujui oleh
anggota dan tiap-tiap perwakilan penguru Perkumpulan
Sekar Rukun yang ada di daerah lain.

Indonesia Muda yang nantinya akan menjalankan roda


organisasi pemuda ini secara resmi dibentuk pada 1 Januari
1931 setelah kegiatan kongres di Gedung Habiprojo, Surakarta
dari tanggal 28 Desember 1930-2 Januari 1931. Inilah tahun di
mana organisasi-organisasi pemuda lain secara anggota dan
administrasi secara sah melebur ke dalam Indonesia Muda
terutama Perkumpulan Sekar Rukun. Pada tanggal 1 Januari
1930 piagam pendirian Indonesia Muda dibacakan, yaitu;
[…] dan pada saat ini pada petang Rebo malam
Kemis tanggal 31 Desember 1930 masoek 1 Janoeari
111
1931, sampailah kami pada waktoe yang paling
akhir melakoekan kewadjiban, seperti jang terserah
kepada kami Komisi Besar, dan terboekalah zaman
baharu tempat dasar jang tiga dan toedjoean jang
satoe menjala dalam hati sanoebari segala poetera
dan poeteri, baik jang bernaoeng dibawah pandji-
pandji perkoempoelan Indonesia Moeda, atau jang
pertjaja kepada dasar dan toedjoeannja, sehingga
ternjatalah dengan seterang-terangnja keperloean
dan hak Indonesia Moeda akan berdiri… jaitoe
setelah memperhatikan segala jang mendirikan
perkoempoelan Indonesia Moeda […]” (Majalah
Indonesia Raja, 1932, No. 5,6,7, hlm. 347-348).

Selain itu kongres Indonesia Muda juga menyampaikan


tujuan dan usaha untuk Indonesia Muda yang juga termuat
dalam Majalah Indonesia Raja (1931, No. 5,6,7, hlm. 348) 1)
memperkuat perasaan persatuan di antara pemuda-pemuda
Indonesia yang masih belajar, serta membangkitkan
keinsyafan dan memperingatkan mereka berbangsa satu dan
bertumpah darah yang satu supaya sampai ke Indonesia
Raya dan 2) selain dari pada mengaku dan memajukan
kebudayaan tiap-tiap bagian penduduk Indonesia, baik yang
rohani maupun jasmani, perkumpulan akan mengkhtiarkan
supaya mempunyai kebudayaan Indonesia yang satu dan
memakai bahasa persatuan di dalam pergaulan yaitu bahasa
Indonesia. Kemudian untuk mencapai sebuah tujuan tersebut
Indonesia Muda akan berusaha dengan beberapa cara, seperti;
112
1) membangkitkan keinsyafan dan memperkuat perasaan
harga menghargai dan persatuan di antara segala anak
Indonesia, 2) mengeluarkan majalah dan menerbitkan surat
siaran lain, 3) mengadakan persidangan dan kursus, 4)
mengusahakan sport dan lain sebagainya, 5) menimbulkan
perhatian untuk tanah dan bangsa Indonesia pada orang
asing, dan 6) segala usaha lain yang tiada dilarang oleh
Undang-Undang..

Setelah pembacaan piagam pendirian Indonesia Muda,


kemudian panji-panji Indonesia Moeda yang baru dinaikkan
ke podium sehingga panji-panji Indonesia Muda berkibar
dengan iringan bunyi gamelan yang dimainkan oleh pemuda-
pemuda seni. Kemudian ada juga prosesi pemberian
penyerahan sejumlah uang untuk Indonesia Muda yang
diserahkan oleh Pangeran Koesoemojoedo sebagai tanda juga
bahwa Indonesia Muda memperoleh perkenan Kraton Solo.
Kemudian dilanjutkan juga menyanyikan lagu “Indonesia
Raya”. Perlu menjadi sebuah catatan juga bahwa Indonesia
Muda dilarang dalam politik. Selain itu, organisasi Indonesia
Muda juga bersifat organisasi non-politik. Akibat kebijakan
ini juga lah ada organisasi pemuda lain yang tidak minat
bergabung ke dalam Indonesia Muda. Selain itu, ada juga
alasan lain beberapa organisasi lain tidak masuk ke dalam
Indonesia Muda karena tidak menjalankan syariat Islam
sebagai fondasi atau dasar perjuangannya. Berbeda dengan
Perkumpulan Sekar Rukun yang lebih memilih bergabung ke
dalam Indonesia Muda melihat sisi di mana persatuan dan
113
kesatuan tidak hanya melihat politik dan fondasi secara
keagamaan. Tapi penggabungan organisasi lebih penting dan
efektif dalam sebuah upaya mencapai tujuan bersama.

Adapun organisasi pemuda yang tidak mau bergabung


ke dalam Indonesia Muda yang tercantum dalam Suhartono
(1994, hlm. 91), antara lain;
1) Organisasi yang tetap memegang teguh
kedaerahannya, seperti; Jong Ambon, Jong Minahasa,
Jong Batak Bond, Pemuda Betawi, Pemuda Timor.
Termasuk juga organisasi pemuda yang lahir pada
periode 1930-am seperti; Jeugdorganisatie
Sriwidjaja, Minangkabau Muda, Kebangunan
Sulawesi dan Putera-Puteri Tjirebon.
2) Organisasi pemuda yang berdasarkan
keagamaan seperti; Jong Islamieten Bond, Pemuda
Kristen. Termasuk juga organisasi-organisasi yang
lahir kemudian seperti Pemuda Perserikatan
Ulama, Persatuan Pergerakan Pemuda Kristen dan
Muda Katolik, Pemuda Islam Indonesia.
3) Organisasi pemuda lingkungan sekolah yang
baru muncul seperti Persatuan Pemuda Taman
Siswa
4) Organisasi kepanduang yang baru muncul
seperti Kepanduan Azas Katolik Indonesia (KAKI),
Kepanduan Masehi Indonesia (KMI), Ansor bagian
Kepanduan, Pandu Indonesia, Pandu Kesultanan,
Kepanduan Rakyat Indonesia, Al Watoni Hizbul
114
Islam, Sinar Pandu Kita, dan lain sebagainya.
5) Di kalangan organisasi pemudi, seperti
Perikatan Perkoempulan Isteri Indonesia dan
Kongres Perempuan.
6) Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda,
Pertindom di Mekkah, Persindom di New Delhi,
PPPI di Indonesia, Perpindom di Kairo dan
Makindom di Baghdad.
7) Organisasi pemuda yang merupakan bagian
dari orang dewasa atau partai politik, seperti;
Pemuda Muhammadiyah, Suluh Pemuda
Indonesia, Pemuda Ansor, Pemuda Marhaen
Indonesia, Barisan Pemuda Gerindo, Jajasan Obor
Pasundan, Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia,
Pemuda Muslimin Indonesia, dan Pakempelan
Kawulo Ngajogjakarta.

Di dalam perjalanan sejarahnya Indonesia Muda


mengadakan Kongres sebanyak tujuh kali. Tetapi beberapa
organisasi pemuda lain teurtama bernafaskan Islam di
kemudian hari lambat laun memperlemah keberadaan
Indonesia Muda. Kemudian, organisasi Indonesia Muda pada
akhirnya nanti semakin hilang pengaruhnya ketika Jepang
masuk ke Indonesia, karena di awal pemerintahannya,
Pemerintah Pendudukan Militer Jepang mengeluarkan
peraturan pembubaran seluruh organisasi yang berdiri pada
masa Hindia Belanda terutama Indonesia Muda.
115
Perjalanan Perkumpulan Sekar Rukun menjadi sebuah
bukti sejarah di tengah organisasi modern dan organisasi
pemuda yang sedang banyak muncul dan berkembang
pada masa Pergerakan Nasional memberi warna tersendiri
dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Berawal dari
menghimpun orang-orang Sunda yang berada diluar wilayah
Sunda yang kemudian mengembangkan dan melestarikan
budaya Sunda hingga kemudian bergabung dengan
organisasi pemuda daerah dan golongan lain. Sehingga
muncul sebuah kerjasama atas nama tujuan bersama
mencapai persatuan dan kesatuan bangsa dan negara
Indonesia. Pada akhirnya diimplementasikan dalam
meleburnya organisasi-organisasi pemuda tersebut ke dalam
Indonesia Muda

116
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T. (1974). Pemuda dan Perubahan Sosial. Jakarta:


LP3ES.
Abdurrahman, D. (2007). Metodologi Penelitian Sejarah.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media .
Adisusilo, S. (2013). Sejarah Pemikiran Barat Dari Klasik
Sampai Yang Modern. Jakarta: Raja Grafindo.
Anak Pedjambon. (1922). “Dialect Tjirebon” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: Februari 1922.
Anderson, B. (1988). Revoloesi Pemuda: Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Artiatni. (1929). “Harkat Istri Bangsa Urang” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: Juni 1929.
Arsip Nasional RI. (1928). Poetoesan Congres Pemoeda-
Pemoeda Indonesia.
Bisma. (1927). “Sedikit Keterangan” dalam surat kabar Sekar
Roekoen, Batavia: 1927 Bisri, B. (2017). Hukum-
Hukum Determinisme Dalam Filsafat Sejarah Ibnu
Khaldun (Dialektika Antara Sains dan Teologi).
Jurnal Yaqzhan. 3 (1), hlm. 1-15. Diakses dari:
http://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/yaqh

117
zan/article/view/2036 Djamil, D. (1924). “Wartos ti
Tjabang-Tjabang” dalam surat kabar Sekar Roekoen,
Batavia: Januari-Februari 1924.
D. & S. (1926). “Sekar Roekoen Bagian Istri” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: April 1926.
E & N.S.P w.k. (1922). “Petawis kabingahan kana ngadegna
tjabang S.R Soekasari” dalam surat kabar Sekar Roekoen,
Batavia: Februari 1922.
E.I.R.S. & B.K. (1922). “Sinom” dalam surat kabar Sekar
Roekoen, Batavia: Maret 1922.
Ekadjati, E. S. (2009). Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan
Sejarah Jilid I. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ekadjati, E. S. (2014). Dari Pentas Sejarah Sunda;
Sangkuriang Hingga Juanda. Bandung: PT Kiblat Buku
Utama.
Gottschalk, L. (2008). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
H. (1924). “Basa Soenda sareng Basa Walanda” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: Januari-Februari 1924.
Hamid, A., & Madjid, M. (2011). Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Ombak Hatta, M. (2015). Untuk Negeriku 2:
Berjuang dan Dibuang. Jakarta: Kompas Harsojo. (1986).
Pengantar Antropologi. Bandung: Penerbit Binacipta.
Hoofdbestuur. (1922). “Tjabang Batawi” dalam surat kabar
Sekar Roekoen, Batavia: Januari 1922.
Hoofdbestuur. (1922b). “Sekar Roekoen Soekaboemi” dalam
surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: Maret 1922.
Hoofdbestuur. (1923). “Ngalereskeun”. dalam surat kabar
Sekar Roekoen, Batavia: Januari 1923.
Hoofdbestuur. (1924). “Wartos ti H.B.” dalam surat kabar
Sekar Roekoen, Batavia: Januari-Februari 1924.
Hoofdbestuur. (1924b). “H.B.” dalam surat kabar Sekar
118
Roekoen, Batavia: Januari- Februari 1924.

Hoofdbestuur. (1924c). “Algemeene Vergadering” dalam


surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: Januari-Februari
1924.
Hoofdbestuur. (1925). “Wartos ti Voorl. HB Hatoeran Djr-Djr
Istri S.R. dalam surat kabar Sekar Roekoen, Batavia:
Januari-Februari-Maret 1925.
Hoofdbestuur. (1926). “Wartos Ti H.B. Margina Panglajang
Elat Kaloear” dalam surat kabar Sekar Roekoen, Batavia:
1926.
Hoofdbestuur. (1926b). “Wartos ti Tjabang-Tjabang Batawi”
dalam surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: 1926.
Hoofdbestuur. (1928). “Indonesia Mardika” dalam surat kabar
Sekar Roekoen, Batavia: 1928.
Hoofdbestuur. (1928b). “Pemboekaan Koempoelan Tahoenan
VIII” dalam surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: 1928.
Hoofdbestuur, (1929). “Biantara Djoeragan King Soelaeman
Natawijogja Dina Pesta.
S.R. Kaping 20 April ’29 di Ons Genoegen Bandoeng” dalam
surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: Juni 1929.
Hoofdbestuur. (1929b). “Partij Discipline” dalam surat kabar
Sekar Roekoen, Batavia: Agustus 1929.
Ishak. (1922). “Tjabang Soerabaja” dalam surat kabar Sekar
Roekoen, Batavia: Juni 1922.
Inglesson, J. (2018). Mahasiswa, Nasionalisme dan Penjara;
Perhimpunan Indonesia 1923-1928. Depok: Komunitas
Bambu.
Ismaun. (2005). Pengantar Belajar Sejarah Sebagai Ilmu dan
Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press.

119
Kahin, G. McT. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia.
Depok: Komunitas Bambu.

Karman. (1924). “Jaar Verslag” dalam surat kabar Sekar


Roekoen, Batavia: Januari- Februari 1924.
Kartodirdjo, S., Poesponegoro, D. M., & Notosusanto, N.
(1975). Sejarah Nasional Indonesia Jilid ke V. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kartodirdjo, S. (1990). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Hingga Nasionalisme.
Jakarta: PT Gramedia.
Kartodirdjo, S. (2014). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Ombak.
Karyanti, T. (2010). Sumpah Pemuda dan Nasionalisme
Indonesia. Jurnal Ilmiah Informatika. 1 (3), hlm. 29-43.
Koentjaraningrat. (2015). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Rineka Cipta Kohn, H. (1984). Nasionalisme; Arti dan
Sejarahnya. Jakarta: Penerbit Airlangga.
Kosasi. (1922). “Tjabang Serang” dalam surat kabar Sekar
Roekoen, Batavia: Mei 1922 Kuntowijoyo. (2008).
Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta:
Tiara Kencana.
Kustanto, J. B. H. (2010). Krisis Negara Kebangsaan dan
Kebangkitan Etnonasionalisme. Jurnal Arah Reformasi
Indonesia. 40 (1), hlm. 1-12. Diakses dari:
https://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal
%20Arah%20Reformasi%20Indonesia/
no40agustus2010/2010%20Agustus%20No.40_01%20Hari
%20Kustant o.pdf.
Kusumasumantri, I. (1965). Sejarah Revolusi Indonesia (Jilid
Pertama). Jakarta.

120
Leirissa, R. Z. et al. (1989). Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah
Pemuda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Lubis, N. H. (2000). Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda.


Bandung: Historia Utama Press.
Lubis, N. H. (2003). Sejarah Tatar Sunda Jilid 2. Bandung:
Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran.
M.S. (1922). “Terasna Papakean” dalam surat kabar Sekar
Roekoen, Batavia: Februari 1922.
Majalah Indonesia Raja. (1931). “Piagam Mendirikan
Perkoempoelan Indonesia Moeda”. Soerakarta: Januari
1931.
Moehjidin. (1929). “PAT” dalam surat kabar Sekar Roekoen,
Batavia: Juni 1929 Moriyama, H. (2013). Semangat Baru
Kolonialisme Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad Ke-
19. Depok: Komunitas Bambu.
Mulyana, A. (2015). Negara Pasundan 1947-1950: Gejolak
Menak Sunda Menuju Integrasi Nasional. Yogyakarta:
Ombak.
Murdiansyah, A. (2001). Negara Bangsa dan Konflik Etnis:
Nasionalisme vs Etno- Nasionalisme. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. 4 (3), hlm. 289-316.
N. (1926). “Pangajaran Sareng Kabangsaan” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: 1926.
Panjoeat. (1922). “Loemajan” dalam surat kabar Sekar Roekoen,
Batavia: Juni 1922.
Pasam. (1929). “Soegan Teh” dalam surat kabar Sekar Roekoen,
Batavia: Juni 1929.
Patmah. (1924). “Pertelaan Djoeroe Harta; S.R Tjabang
Bogor” dalam surat kabar Sekar Rokoen, Batavia:

121
Januari-Februari 1924.
Prawira. (1925). “Bestolen Vergadering di Paroekoenan
Bandoeng ping 26 Dec. 1925” dalam surat kabar Sekar
Roekoen, Batavia: Januari-Februari-Maret 1925.
Pringgodigdo, A.K. (1980). Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Raharjo, M., & Kumalasari, D. (2016). Perkembangan
Organisasi Tri Koro Dharmo Pada Masa Pergerakan
Nasional Tahun 1915-1918. E-Journal Universitas Negeri
Yogyakarta. Diakses dari:
http://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/risalah/art
icle/download/819/746.
Ranjabar, J. (2016). Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu
Pengantar. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Reid, A., & Marr, D. (1983). Jejak Nasionalis Indonesia Mencari
Masa Lampaunya: Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka.
Jakarta: Grafiti.
Ricklefs, M. C. (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Roem, M. (1977). Bunga Rampai Dari Sedjarah. Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang Rutgers, S. J. (1951). Sedjarah Pergerakan
Nasional Indonesia. Surabaya: CV Hayam Wuruk.
Safwan, M. (1973). Riwayat Hidup dan Perjuangan
Muhammad Husni Thamrin. Jakarta: Angkasa.
Sagimun, MD. (1988). Peranan Pemuda Dari Sumpah Pemuda
Sampai Proklamasi. Jakarta: Bina Aksara.
Sagimun, M.D. (1992). 90 Tahun Prof. Mr. Sunario. Jakarta: PT
Rosdajayaputra Saleh, M. (1923). “Tina Jero Pabetekan”
dalam surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: Januari 1923.
Sari & Goeweng. (1922). “S.R. Sareng A.B.C” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: Mei 1922.

122
Satjadibrata. (1926). “Sajak” dalam surat kabar Sekar Roekoen,
Batavia: 1926.

Sekretaris I. (1922). “Koempoelan Oemoem S.R. Di


Bandoeng Ping 2 April 1922”. dalam surat kabar Sekar
Roekoen, Batavia: Mei 1922.
Sekretaris HB. (1927). “Pertelaan Koempoelan H.B.” dalam
surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: 1927.
Sekretaris. (1928). Congres (Voorstel Tjb. Batawi)” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: November 1928.
Sec. Tjab. Soekaboemi. (1929). “Masamoan Sekar Roekoen
Tjabang Soekaboemi Ping 11-12 Mei 1929 di Societeit
Pamitraan” dalam surat kabar Sekar Roekoen, Batavia:
Agustus 1929.
Sjamsuddin, H. (2012). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Smith, A. (2003). Nasionalisme Teori, Ideologi, dan Sejarah.
Jakarta: Penerbit Airlangga.
Suharto. (2002). Pagoejoeban Pasoendan 1927-1942: Profil
Pergerakan Etnonasionalis. Bandung: Satya Historika.
Suhartono. (1994). Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Sumardjo, J. et al. (2013). Gending Karesmen: Teater
Tradisional Menak di Priangan 1904-1942. Jurnal
Panggung. 23 (3), hlm. 294-308.
Sumardjo, J. (2015). Sunda: Pola Rasionalitas Budaya. Bandung:
Penerbit Kelir Supardan, D. (2011). Pengantar Ilmu Sosial.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sujatmiko, I. G. (2014). Keterwakilan Etnik di Politik Nasional;
Kasus Etnik Sunda di Republik Indonesia. Jurnal
Sosiologi. 19 (1). hlm. 1-16.

123
Sutjiatiningsih, S. (1999). Soegondo Djojopuspito : Hasil Karya
dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Suwardi, E. (2007). Sumatranen Bond: Dari Nasionalisme


Etnik Menuju Nasionalisme Indonesia (1917-1931).
(Tesis). Tidak diterbitkan. Fakultas Ilmu Budaya.
Universitas Indonesia.
Tjabang Bandoeng. (1924). “Wartos ti H.B.” dalam surat kabar
Sekar Rokoen, Batavia: Januari-Februari 1924.
Tjabang Poerwakarta. (1922). “Tjabang Sekar Roekoen
Poerwakarta dalam surat kabar Sekar Roekoen, Batavia:
Februari 1922.
Tjabang Soekaboemi. (1922b). “Tjabang Soekabumi” dalam
surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: Februari 1922.
Tjabang Soekaboemi. (1922). “T.S.A” dalam surat kabar
Sekar Roekoen, Batavia: Maret 1922.
Tjangkung, Y. (2005). Sejarah Pergerakan Organisasi Pemuda
Jong Java 1915-1928. (Skripsi). Tidak diterbitkan. Fakultas
Sastra. Universitas Sanata Dharma. Diakses dari:
http://repository.usd.ac.id/27255/2/004314025_Full
%5B1%5D.pdf.
Verslaggever. (1928). “Kearapatan Pemoeda-Pemoeda
Indonesia” dalam surat kabar Sekar Roekoen, Batavia:
November 1928.
W., D., P., w.k. (1923). “Panalar Noe Baliloe” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: Januari 1923.
Wursanto, I. (2003). Dasar-Dasar Ilmu Organisasi. Yogyakarta:
Penerbit Andi.

124
RIWAYAT PENULIS

Penulis bernama Mohammad Refi Omar Ar Razy,


lahir di Bandung 19 Desember 1998. Merupakan seorang
anak dari pasangan H Hanafi dan Hj. Erni. Penulis
menempuh jenjang pendidikan di SDPN Pajagalan 58
Bandung lulus pada tahun 2011, kemudian dilanjutkan
bersekolah di SMPN 43 Bandung lulus tahun 2014.
Kemudian dilanjutkan SMAN 18 Bandung lulus tahun
2017 dan 2017 juga penulis mendaftarkan diri ke
Universitas Pendidikan Indonesia melalui jalur
SNMPTN/Undangan dan memilih Jurusan/Departemen
Pendidikan Sejarah kemudian diterima.
Selama menjadi mahasiswa, penulis mengikuti
berbagai kegiatan, seperti; menjadi pemakalah di
Fakultas Hukum Universitas Maranatha (2017) dengan
judul kajian “Pengaruh Logo dan Merk dalam Industri
Kreatif; Sebuah Kajian Hak Kekayaan Intelektual

125
(HaKI)”. Penulis mendapatkan program Student Exchange
ke Universiti Kebangsaan Malaysia (2019). Penulis aktif
dalam kegiatan berorganisasi intra atau ekstra kampus.
Seperti, Himpunan Mahasiswa Departemen Pendidikan
Sejarah (HIMAS) Sebagai ketua Bidang Pendidikan
(periode 2019-2020). BPO Senat FPIPS Sebagai Ketua
bidang Internal (periode 2020-2021). Ikatan Himpunan
Mahasiswa Sejarah (IKAHIMSI) sebagai Ketua Umum di
Wilayah I yang membawahi seluruh mahasiswa Ilmu
Sejarah, Pendidikan Sejarah dan Sejarah Peradaban Islam
di Provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta (periode
2019-2021), selain itu penulis juga aktif di Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat
Universitas Pendidikan Indonesia. Penulis sangat hobi
membaca buku. Penulis memiliki motto hidup; “Tidak
layak bagi orang yang berakal dan berilmu bersitirahat
dalam mencari ilmu, Tinggalkanlah Negerimu, dan
berkelanalah, kelak engkau akan menemukan pengganti
orang-orang yang kau tinggalkan. Bersusah payahlah
karena sesungguhnya ketinggian derajat kehidupan
hanya bisa dicapai dengan kesusahpayahan” (Imam
Syafi’i).

126

Anda mungkin juga menyukai