1
berskala nasional yang memiliki arti bahwa nasionalisme
Indonesia tumbuh baik pada masa-masa ini. Masa Pergerakan
Nasional tidak saja pada pergerakan yang bersifat perbaikan
derajat dari sisi politik, akan tetapi juga menuju perbaikan
aspek-aspek lain seperti perekonomian, pendidikan,
keagamaan, dan sebagainya (Pringgodigdo, 1980, hlm. 7).
2
nasionalisme ke-Indonesiaan mulai terbentuk (Leirissa, et al,
1989, hlm. 26). Pada abad ke-18 dan ke-19 terlihat jelas
perjuangan Bangsa Indonesia. Masyarakat dari berbagai
wilayah di Indonesia secara umum berjuang dengan semangat
kedaerahan yang muncul akibat dari adanya rasa
etnonasionalisme. Fenomena ini berubah pada abad ke-20,
perjuangan dilakukan secara menyeluruh dan nasional, hal ini
disebabkan tumbuhnya rasa nasionalisme ke-Indonesiaan.
Demikian juga dipengaruhi oleh perasaan senasib dan
sepenanggungan akibat penindasan yang lama oleh pihak
penjajah. Rasa sepenanggungan ini terkomunikasikan dengan
baik melewati pendidikan, transmigrasi dan media lain yang
gerakannya masif pada awal abad ke 20-an (Kustanto, 2010,
hlm. 2)
4
(Kartodirdjo, Poesponegoro & Notosusanto, 1975, hlm. 190).
Sejalan dengan tumbuhnya gagasan nasionalisme modern, di
Bandung tanggal 29 November 1925 berdiri organisasi
bernama Algemeene Studie Club atas prakasa anggota
Perhimpunan Indonesia, pada nasionalis dan mahasiswa
Technische Hoge School. Ir. Soekarno menjadi pemimpin
organisasi tersebut, perkembangan organisasi ini mendorong
untuk mendirikan partai politik baru pada tanggal 4 Juli 1927,
dengan mendukung berdirinya Partai Nasional Indonesia
(PNI). Tujuan PNI adalah mencapai Indonesia merdeka
(Rutgers, 1951, hlm. 36), dengan asas berdiri di atas kaki
sendiri, nonkoperasi, dan marhaenisme. Melihat
perkembangan PNI yang cepat dan didukung masyarakat
Pemerintah Hindia Belanda berkali-kali memberikan
peringatan yang kemudian menangkap ketuanya yakni Ir.
Soekarno, Maskum, Gatot Mangkupraja dan Supriadinata. Di
pengadilan, Ir Soekarno membacakan pidato yang dikenal
dengan Indonesia Menggugat dan kemudian mereka dijatuhi
hukuman penjara 30 Desember. Pada tahun 1931, PNI
dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dengan
dibubarkannya PNI, para pemimpin PNI kemudian
membentuk Partai Indonesia (Partindo) tanggal 1 Mei 1931
dengan tujuan Indonesia merdeka.Sama seperti PNI, Partindo
memiliki gerak yang sempit hingga akhirnya Soekarno
dibuang ke Ende, Flores. Akibatnya Partindo membubarkan
diri tanggal 18 November 1936.
7
Java (Sutjiatiningsih, 1999, hlm. 17). Hal ini menjadi bukti atas
eksistensi pemuda Sunda dalam Pergerakan Nasional untuk
mencapai Indonesia merdeka. Selain itu, bila dikaitkan
dengan masa sekarang, hal ini menjadi sebuah refleksi bagi
para pemuda Sunda yang dinilai kurang eksis di kancah
nasional.
8
surat kabar Sekar Rukun. Surat kabar Sekar Rukun didirikan
pada Desember 1922 yang dikelola oleh pengurus
Perkumpulan Sekar Rukun. Surat kabar Sekar Rukun
diterbitkan satu bulan sekali secara berkala yang mayoritas
isinya pun lebih terfokus dalam hal kebudayaan Sunda
karena memang tujuan awal Perkumpulan ini terfokus pada
kebudayaan Sunda. Wawasannya tidak hanya terfokus pada
lingkungan internal organisasi tetapi sudah lebih luas bahkan
sudah dapat menjalin hubungan dan merancang kerjasama
dengan organisasi pemuda lainnya. Kegiatannya
berhubungan dengan buku, perpustakaan, koperasi, kesenian,
keterampilan wanita, olahraga, dan diskusi.
12
ETNO-NASIONALISME & NASIONALISME
13
ramai diperbincangkan pada tahun yang sama,
memperlihatkan bahwa sejak awal pembentukan
kesadaran kebangsaan Indonesia dimulai dalam perdebatan
berbasis nasionalisme-etnik atau etno-nasionalisme. Hal ini
pun turut memperkuat argumen bahwa Indonesia sebagai
sebuah bangsa bukanlah sesuatu yang telah lama ada atau
sesuatu yang diwariskan. Kebangsaan Indonesia sebagai
sesuatu yang baru muncul pada awal abad ke-20 itu berawal
dari evolusi nasionalisme etnik.
15
Nasionalisme tidak dapat begitu saja tertanam dalam
diri setiap bangsa, karena memerlukan suatu proses supaya
rasa nasionalisme dapat tertanam yang kemudian
diperjuangkan oleh suatu bangsa tersebut. Adisusilo
mengemukakan beberapa tahap nasionalisme, antara lain,
pertama, Stirrings, yaitu tahap dimana suatu bangsa sadar jika
dirinya sedang berada dalam suatu penderitaan akibat dari
tekanan-tekanan bangsa asing, dan mencoba untuk
melakukan suatu perubahan dengan melakukan perlawanan
terhadap gagasan asing dan cara hidup asing. Kedua, tahap
centre-piece nasionalisme, yaitu masa perjuangan untuk
mendapatkan kemerdekaan. Ketiga, tahap konsolidasi, yang
lebih difokuskan pada konsolidasi ekonomi (Adisusilo, 2013,
hlm. 7). Pemaparan dari Adisusilo memberikan suatu
keterangan jika nasionalisme muncul dari bangsa- bangsa
yang memiliki penderitaan bersama akibat dari penjajahan
bangsa asing. Bangsa terjajah berusaha merdeka dan hidup
bebas bersama dengan sebangsanya tanpa intervensi dari
bangsa asing. Hal tersebut terjadi pada bangsa Indonesia di
paruh pertama abad ke-20 yang ditandai dengan lahirnya
golongan intelektual pribumi yang sadar jika penderitaan
akibat dari penjajahan bangsa asing harus segera diakhiri
dengan jalan menanamkan kesadaran nasional. Munculnya
ide persatuan Indonesia pada awal tahun 1920-an menjadi
babak baru bagi pemikiran masyarakat pribumi di Indonesia
dalam hal memandang masalah kebangsaan. Pada tahun 1922
perkumpulan mahasiswa asal Indonesia di Belanda yang
16
menamakan dirinya Indonesische Vereeniging yang kemudian
berubah menjadi mulai Perhimpunan mempropagandakan
nama Indonesia sebagai suatu identitas kebangsaan dan nama
Indonesia, yang memiliki makna politis untuk menggantikan
penyebutan Nederlands-Indie atau Hindia-Belanda.
18
PEMUDA SUNDA
20
pemerintahannya. Hal-hal tersebut membuktikan peranan
besar pemuda bagi Bangsa Indonesia yang tidak dapat
disepelekan dalam jalannya sejarah Indonesia.
Sistem kebudayaan di Indonesia terdiri dari sistem
kelompok etnik pribumi yang sangat banyak dan beragam.
Sebuah Etnik terlihat dari kebiasaan, budaya, bahasa, pola
pikir, tingkah laku dan wilayahnya. Pada dasarnya hal ini
akan menimbulkan suatu kebiasaan dan budaya yang
beragam. Menurut Ranjabar (2015, hlm. 143) dari etnik- etnik
tersebut yang membentuk sebuah kebudayaan beranggapan
bahwa kebudayaan mereka itu diwariskan kepada mereka
secara turun temurun sejak nenek mereka hidup di zaman
dongeng. Menurut Harsojo (1986, hlm. 96) “Kebudayaan itu
adalah segala yang diciptakan, segala yang dikarsakan dan
segala yang dirasakan oleh manusia”. Setiap kebudayaan
hidup dalam suatu masyarakat yang baik berwujud sebagai
komunitas desa, kota, sebagai kelompok yang menampilkan
suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar dari
masyarakat yang bersangkutan. Seorang masyarakat dari
suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari ke hari di dalam
lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak
khas tersebut (Koentjaraningrat, 2015, hlm. 214). Sebaliknya,
mengenai kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak
khasnya terutama dari unsur-unsur berbeda mencolok dengan
kebudayannya sendiri.
Istilah Sunda (etnik Sunda) sendiri kemungkinan berasal
dari bahasa Sanskerta yakni sund atau suddha yang berarti
21
bersinar, terang, atau putih. (Dalam bahasa Jawa Kuno Kawi)
dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian
yang sama yakni bersih, suci, murni, tidak bercela atau
bernoda, air, tumpukan, pangkat, dan waspada (Ekadjati,
2009, hlm 1). Etnik Sunda berkaitan dengan identitas
kebudayaan Sunda karena berkaitan dengan sistem nilai
kolektif masyarakatnya yang mayoritas memiliki kesamaan
kebiasaan, budaya, bahasa, pola pikir, tingkah laku dan
wilayahnya. Masyarakat di wilayah Jawa yang memiliki
penutur bahasa Sunda dinyatakan bahwa mereka memiliki
budaya dan identitas Sunda yang khas. Kesadaran ini juga
diperteguh dengan adanya batas-batas wilayah administratif
yang dipatok di bagian wilayah pulau Jawa. Menurut
Moriyama (2013, hlm. 12) mengutip dari Herbert de Jager
(1636-1694) seorang sarjana Belanda yang berasal dari Leiden
mengatakan bahwa bahasa Sunda sebagai zondaase taal
digunakan dibagian barat pulau Jawa.
Selain bahasa Sunda dan wilayah administratif,
kebiasaan-kebiasaan orang Sunda yang tercermin dalam
budaya, pola pikir dan tingkah laku masih terjaga hingga saat
ini. Hal ini ditunjukkan dalam peribahasa-peribahasa Sunda
yang menyangkut dalam kehidupan orang-orang Sunda,
seperti; cageur, bageur, bener, pinter, singer (Lubis, 2000, hlm.
126). Dari peribahasa ini dapat disimpulkan bahwa dalam
tradisi orang- orang Sunda kesehatan dianggap sebagai bagian
yang tak terpisahkan sejak dalam kandungan, hidup hingga
meninggal. Selain itu, peribahasa lain, seperti; Hanteu yogya
22
mijodo-keun bocah; bisi kabawa salah, bisi kaparisedek nu
ngajadikeun (Lubis, 2000, hlm. 127). Hal ini diinterpretasikan
bahwa orang-orang Sunda sudah menyadari tidak sehatnya
perkawinan anak-anak yang belum cukup umur. Maka dari
itu, bahasa, wilayah, pola pikir dan tingkah laku yang khas
dari orang-orang Sunda yang membedakan kebudayaannya
dari orang lain yang menyebabkan eksistensi orang-orang
Sunda masih ada hingga saat ini. Jadi, pemuda sunda
merupakan individu yang memiliki idealisme tinggi dan
memiliki karakter yang kuat yang hidup di Jawa bagian barat
dengan menggunakan bahasa, pola pikir dan tingkah laku
yang khas dan identik dengan kesundaan. Perkumpulan Sekar
Rukun sangat dipengaruhi oleh ke-Sundaantersebut. Hal ini
dipengaruhi tentunya para anggota yang notabeni merupakan
para pemuda sunda. Tingkah-laku, gerakan, cipta, karsa dan
rasa ke-Sundaanyang memang menjadi sebuah landasan
bergerak dalam Perkumpulan Sekar Rukun.
23
PERKUMPULAN SEKAR RUKUN
24
atau berselisih. Jadi, jika ditinjau dari namanya akan
menimbulkan kebingungan tersendiri sebenarnya.
Jika diingat di Bandung pada akhir abad ke 19 dan
memasuki awal abad ke 20 sering diadakan acara hiburan bagi
warga kala itu. Salah satunya adalah pertunjukan Tunil
Tembang. Pertunjukkan ini biasanya diselenggarakan di
Societeit Parukunan, tepat di selebah timur pendopo Kabupaten
Bandung (sekarang kota Bandung) (Sumardjo, et al. 2013, hlm.
297). Bila mengingat terhadap penamaan gedung Societeit
Parukunan yang dasar katanya dari kata rukun. Mendapat
imbuhan pa- dan an. Memiliki arti bahwa gedung tersebut
adalah tempat pergaulan dan pertemuan untuk hidup rukun
dan akur antar sesama. Apabila mengingat pada hal demikian
niscaya dapat menebak bahwa Perkumpulan Sekar Rukun
merupakan organisasi yang berasal dari Tatar Sunda, bukan
dari Jawa.
Lahirnya Perkumpulan Sekar Rukun tidak terlepas
dari bagaimana dinamika pada masa Pergerakan Nasional.
Hal itu tentu terjadi juga dalam organisasi serupa yang lahir
pada masa Pergerakan Nasional. Awal abad ke-20 munculnya
kesadaran kebangsaan Indonesia, hal itu terutama berawal
dari para kaum intelektual yang mengenyam bangku
pendidikan. Kesadaran tersebut muncul akibat dari wawasan
dan pengetahuan yang relatif bertambah ketika mengenyam
pendidikan di bangku sekolah serta berbagai macam bahan
bacaan yang kita ketahui muncul dari sebuah program yang
bernama Politik Etis. Pendidikan modern yang diatur serta
25
dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda
memberikan sebuah pengaruh yang sangat besar bagi pola
pikir masyarakat Indonesia terutama dalam memandang
kolonial Belanda sebagai bangsa asing dan identitas dirinya
sebagai bangsa pribumi.
26
DINAMIKA
MASA PERGERAKAN NASIONAL
28
mendirikan sebuah organisasi baru yang berdasarkan atas
etnis ke-Sundaanyang dimiliki.
Pelajar STOVIA yang berasal dari Sunda, seperti Mas
Dajat Hidajat dan R. Iskandar Brata kemudiaan mendirikan
Paguyuban Pasundan di Batavia pada 1913, asalnya mereka
merupakan anggota dari Budi Utomo juga (Suharto, 2002,
hlm. 19). Selain itu tumbuh juga organisasi kepemudaan
Sunda pada 1919. Pendiri organisasi kepemudaan Sunda
tersebut berasal dari pelajar-pelajar Kweekschool, MULO, E.N.C,
Rechtschool & P.H.S seperti Iwa Kusumasumantri, Iki
Adiwidjaja, dan Doni Ismail yang asalnya merupakan anggota
dari Jong Java. Organisasi tersebut dikenal sebagai
Perkumpulan Sekar Rukun.
Setelah Paguyuban Pasundan dan Perkumpulan Sekar
Rukun terbentuk, orang- orang Sunda banyak yang masuk
dan terlibat aktif dalam kedua organisasi tersebut. Nampak
mereka mulai tertarik dengan Paguyuban Pasundan dan
Perkumpulan Sekar Rukun dibandingkan dengan Budi Utomo
dan Jong Java yang dinilai mulai eksklusif bagi orang-orang
Jawa saja. Kemudian, para anggota Budi Utomo dan Jong Java
memiliki sebuah spekulasi bahwa orang-orang Sunda ingin
memisahkan diri dari persatuan dan kesatuan yang hendak
dibangun oleh mereka (Ekadjati, 2014, hlm. 20). Akhirnya
muncul berbagai masalah mengenai etnis itu dalam dinamika
pada masa Pergerakan Nasional. Narasi yang menyatakan
akan munculnya wacana Nasionalisme Sunda yang ketika
tahun 1918 mulai banyak diperbincangkan oleh orang-orang
29
Sunda. Dengan adanya wacana tersebut yang akan
menguatkan spekulasi dari para anggota Budi Utomo dan Jong
Java bahwa orang-orang Sunda ingin memisahkan diri dari
persatuan. Sementara Paguyuban Pasundan dan Perkumpulan
Sekar Rukun memiliki sebuah pandangan bahwa kebudayaan
Sunda berbeda dengan kebudayaan bangsa lain yang ada di
Hindia-Belanda, termasuk dengan etnis Jawa. Beberapa
perdebatan yang terjadi mengenai permasalahan ini terus
berlangsung, bahkan hingga pertengahan tahun 1920-an yang
juga melibatkan berbagai tokoh penting pergerakan yang
berasal dari Sunda.
30
DINAMIKA
PERKUMPULAN SEKAR RUKUN
31
P.H.S khususnya di Batavia, diantaranya Doni Ismail, Iki
adiwidjaja, Iwa Kusumasumantri. Pengurus pusat
Perkumpulan Sekar Rukun berada di Batavia, dengan
susunan pengurus sebagai berikut: President (Iki Adiwidjaja,
kweekschool), Vice Presidente (Doni Ismail, kweekschool),
Sekretaris I (Nawawi, P.H.S), Sekretaris II (Sanoesi, M.U.L.O),
Penningmesteer (Soerija, kweekschool), Lid (Samjoen,
kweekschool) & (Oesman, Rechtschool) (Lid Sekar Roekoen,
1922). Dalam struktur organisasi Perkumpulan Sekar Rukun
meskipun yang menjadi pelopor adalah kweekschool dinilai
dari banyaknya pelajar yang mengisi posisi penting dalam
Perkumpulan Sekar Rukun, namun para pelajar kweekschool itu
menggaet pelajar dari instansi pendidikan lain yang
khususnya orang-orang Sunda untuk mengisi struktur dalam
Perkumpulan Sekar Rukun, pasti memiliki sebuah tujuan.
Dalam analisis penulis tujuan tersebut pasti terarah pada
melebarkan sayap organisasi agar dapat diterima diberbagai
instansi pendidikan yang memang merupakan fokus anggota
dari Perkumpulan Sekar Rukun.
Nama Perkumpulan Sekar Rukun adalah nama yang
unik, pasalnya pada masa Pergerakan Nasional terutama
organisasi pemuda biasanya menggunakan nama “Jong” di
depannya kemudian dilanjutkan dengan nama etnis atau
golongan dari mana mereka berasal, semisal Jong Java, Jong
Sumateranen Bond, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond dan lain
sebagainya. Namun, Perkumpulan Sekar Rukun yang
anggotanya para pemuda Sunda memiliki nama tersendiri
32
yakni Sekar Rukun yang tidak memiliki kesamaan dengan
organisasi pemuda pada masanya. Tercantum kata sekar yang
dapat ditemukan dalam kamus bahasa Sunda ataupun kamus
bahasa Jawa yang artinya adalah bunga. Bunga ini yang dapat
diinterpretasikan sebagai makna dari pemuda. Bahwa bunga
dalam masyarakat Sunda tidak hanya bermaksud pada
perempuan tetapi juga laki-laki yang memiliki paras yang elok
(pemuda). Kata rukun banyak diketahui oleh berbagai
kalangan terdapat baik di Sunda ataupun Jawa yang artinya
akur, tidak bertikai atau berselisih Beberapa hal yang
menguatkan analisis penulis adalah jika diingat di Bandung
pada akhir abad ke-19 dan memasuki awal abad ke-20 sering
diadakan acara hiburan bagi warga kala itu. Salah satunya
adalah pertunjukan Tunil Tembang. Pertunjukkan ini biasanya
diselenggarakan di Societeit Parukunan, tepat di selebah timur
pendopo Kabupaten Bandung (sekarang kota Bandung)
(Sumardjo, et al. 2013, hlm. 297). Bila dilihat terhadap
penamaan gedung Societeit Parukunan yang dasar katanya dari
kata rukun. Mendapat imbuhan pa- dan an. Memiliki arti
bahwa gedung tersebut adalah tempat pergaulan dan
pertemuan untuk hidup rukun dan akur antar sesama.
Apabila mengingat pada hal demikian niscaya dapat menebak
bahwa Perkumpulan Sekar Rukun merupakan organisasi
yang berasal dari Tatar Sunda, bukan dari Jawa. (Sumardjo,
2015, hlm. 266).
Hal ini diperkuat dengan sejarah lahir Perkumpulan
Sekar Rukun mengapa dinamakan Sekar Rukun. Disarankan
33
oleh beschermeer Prof. Dr. Husein Djajadidingrat bahwa Sekar
merupakan gambaran dari Nji Sekar (wanita) dan Rukun
merupakan gambaran dari Oedjang Oekoen (pria). Kata Nji
Sekar dan Oedjang Oekoen memang sangat menggambarkan
maksud dan nilai pemuda Sunda pada saat itu (Hoofdbestuur,
1925). Nampak para pemuda Sunda ini memiliki sebuah
keunikan tidak ingin nama organisasinya mirip dengan nama
organisasi lain yang familiar ketika saat itu. Yang jelas adalah
ketika masa Pergerakan Nasional tersebut khususnya di Jawa
memiliki organisasi yang serupa yakni Jong Java, cakupan Jong
Java secara organisasi memang lebih luas karena mencakup
Jawa Raya yang di dalamnya terdapat orang Jawa, Sunda atau
bahkan Madura, namun penilaian orang-orang Sunda bahwa
Jong Java terlalu bersifat kejawa-jawaan. Maka muncul sebuah
organisasi baru yang menghimpun orang-orang Sunda
namun tidak dengan maksud menyaingi Jong Java. Para
pemuda yang mendirikan Perkumpulan Sekar Rukun tahu
bahwa jika perkumpulan mereka diberinama Jong Sunda akan
dinilai sangat bertolakbelakang dengan Jong Java dan
perpecahan tersebut akan terlihat sangat jelas. Maka dari itu,
sebagai solusi nama Perkumpulan Sekar Rukun dimunculkan
agar memperhalus perbedaan yang ada terutama dalam
konteks Jawa Raya.
Dalam sebuah kutipan Surat Kabar Sekar Rukun terlihat
ketika terdapat pandangan bahwa Perkumpulan Sekar Rukun
dibentuk tidak untuk memecah para pemuda Sunda dan Jawa.
34
“maksad S.R sanes pisan hajang ngabibit aing-aingan,
ieumah pikeun nandakeun jen di P. Djawa teh aya hidji
bangsa anoe boga: basa, kabinangkitan s.d.t sorangan.
Pikeun nandakeun ngahidjina Soenda sareng Djawa.
Sapoelo pikeoen babarengan ngoedag hiji haloean
toedjoean noe saroea nja eta Jong Java. Kapan J.J. teh.
Sanes Pakoempolan noe Djawa bae, tapi noe Sunda,
Djawa, Madoera, Bali. Sareng Upami Soenda prantos
ngahidji pisan, kapan langkoeng ngarakeutkeunana
sareng Djawa teh. Moega oelah inggis ku bisi rempan koe
sugan […]”
35
Dinamika yang terjadi pada masa Pergerakan Nasional
tentu ada, Perkumpulan Sekar Rukun dan organisasi lain
yang serupa tentu dibenturkan dengan etnis dan golongan
tertentu, namun hal itu menjadi sesuatu lumrah karena pada
akhirnya akan diselesaikan dan bersatu meskipun dinamika
dalam organisasi tidak pernah terelakkan.
Perkumpulan Sekar Rukun dalam periode tahun 1920-
an terus menjalankan organisasi nya. Salah satunya berfokus
pada kebudayaan Sunda. Hal itu memang menjadi fokus
utama Perkumpulan Sekar Rukun untuk melestarikan budaya
Sunda, tercantum dalam surat kabar Sekar Rukun di mana
banyak ditemukan pupuh Sunda seperti Sinom, Pucung dan
lain sebagainya. Isinya tentu mengenai ke-Sundaandan
mengenai Perkumpulan Sekar Rukun:
“Sinom- [1] December sasih ajeuna dinten minggoe
endjing-endjing. Leresan kaping sabelas. Sim abdi
parantos nampi serat kabar vereeniging, nu katelah
Sekar Roekoen, teu kinten abdi bingahna, matja
karangan ti wargi. Wargi elid Sekar Roekoen sadajana.
[2] moegi-moegi salamina, ngadeg ieu vereeniging,
margi perloe ker sadaja, sadajana moerid-moerid nu aja
di Batawi, soepadoes tiasa koempoel, namoeng kangge
oerang Soenda, soepados ngadjadi hidji rerempagan di
nagri pangoembaraan. [3] soegana nambihan loeang,
tina parkempelan alit, oerang damel karadjinan. Koe
sadaja para istri, tina modal saeutik. Oerang enggal
36
toentoet-toentoet njaeta keur saperloena, kaperloean istri-
istri soepaja oerang sing teras saladjengna. [4] sim abdi
teu kinten bingah, parantos ngiring djadi lid ti pameget
noe noe loeangan, ka djisim abdi noe laip. Pitoeloeng noe
maha sutji. Sim abdi sareboe noehoen, diparinan
kamadjengan, mangpaat kadiri abdi. Ka hadjang mah
sing teras saladjengna. [5] menggah zaman ajeuna mah,
istri noe taja pangarti. Estoening sok dikarinah koe
djalma nu seueur harti. Taja harga sadoeit, istri nu bodo
baliloe. Mana enggal ajeuna mah, oerang oedag anoe
pasti, susuganan oerang teh tiasa ngoedag”
(E.I.R.S&B.K. 1922)
41
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Serang berdiri pada
2 April 1922. Pertama kali dibuat di Noormalschool Serang.
Seperti yang dijelaskan dalam kolom narasi surat kabar Sekar
Rukun yang ditulis oleh Kosasi sebagai sekretaris
Pekumpulan Sekar Rukun cabang Serang (1922).
42
pengurus cabang. Yang terpilih sebagai Presiden :
Achmad Soedjana, Wakil Presiden : Achjar,
Sekretaris : Kosasi, Bendahara : Koentjoeng,
Komisariat : Abdulah dan Darmin. Jam 3 kumpulan
ditutup).
44
Sata Bramidjaja, Sekretaris B : B. Idris (T.S.),
Bendahara A : Siti Moegajah (F.K.S.), Bendahara B :
Siti Hasanah (F.K.S.), Anggota : Adang E.
Wiradilaga, Haroen Soerja).
46
kepengurusan dari cabang tersebut serta menyertai pergantian
kepengurusan sebagai laporan pertanggungjawaban
kepengurusan. sebagai salah satu contoh yang melakukan
pelaporan terkait dana dilakukan oleh Perkumpulan Sekar
Rukun cabang Bogor pada tahun 1924. Disebutkan dalam
surat kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh penningmesteer atau
biasa disebut dengan bendahara cabang Bogor yaitu Patmah
(1924):
49
Selain itu, Perkumpulan Sekar Rukun lebih terfokus
kepada wilayah-wilayah yang di mana para pelajar Sunda di
wilayah tersebut lebih memilih untuk bergabung dengan
organisasi pemuda lainnya, seperti di Jakarta yang waktu itu
lebih dikenal dengan sebutan Batavia, Sukabumi, Purwakarta
dan Sukasari. Namun, perlu kita ketahui juga bahwa,
simpatisan-simpatisan Perkumpulan Sekar Rukun banyak
dijumpai di beberapa wilayah lain, contoh adalah Bandung.
Hingga pada akhirnya berdiri Perkumpulan Sekar Rukun
cabang Bandung. Pada tahun 1922, Perkumpulan Sekar
Rukun pernah mengadakan pertemuan di Bandung yang
selebihnya membahas menganai organisasi, kebudayaan
Sunda dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Seperti
dalam surat kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh Sekretaris I
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bandung (1922).
50
dibandingkan dengan kebaikan wanita: pulang
seperti daun sirih, berangkat seperti macan yang
gemulai dan seterusnya tetapi dia sering
mendengarkan bahwa di zaman sekarang kurang
merasa kebaikan dari peribahasa, malah jarang
digunakan dalam perkataan. Sampai perihal hal
tersebut. Terlalu banyak memperlajari peribahasan
Belanda, sampai-sampai peribahasa Sunda tidak
digunakan malah dianaktirikan)
51
tersebut dibahas serta dievaluasi dalam ranah forum
perkumpulan umum tersebut. seperti dikutip dalam surat
kabar Sekar Rukun yang ditulis oleh Hoofdbestuur (1923)
“dina pangalajang No. I taoen ka II seueur pisan lepatna, koemargi
roesoeh waktos njitakna henteu kaboedjeng diparios anoe jaktos”
(dalam jejak langkah No.1 tahun ke II banyak sekali
kesalahan, karena terburu-buru ketika mencetak sehingga
tidak sempat memeriksa dengan teliti). Tetapi, dalam jalannya
kongres yang tiap tahun diselenggarakan oleh Perkumpulan
Sekar Rukun dalam tingkat pusat dengan melibatkan cabang-
cabang yang lain. Menjadi tuan rumah dalam kongres ini
dalam konteks internal dan dinamika organisasi memang
sangat bergengsi. Selain memang membahas tujuan oragnisasi
juga membahas menegnai struktur kepengurusan pusat.
Pasalnya cabang-cabang ini akan dijadikan tuan rumah dalam
perkumpulan umum tiap tahun. Sebagai contoh,
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bogor dan cabang
Bandung kurang akur akibat kongres yang dilakukan pada
tahun 1924. Karena pada waktu itu cabang Bogor juga
mendaftarkan diri menjadi tuan rumah kongres, namun
cabang Bandung yang terpipilih dalam pertemuan tersebut.
Kongres tersebut tetap dijalankan di Bandung, namun konflik
dan perdebatan kian meruncing. Akibatnya, Hoofdbestuur
memutuskan agar perkumpulan umum tersebut dilanjutkan
di cabang Betawi. “Djadi Congres IV tjiosna di Batawi, waktosna
sasih December 1924” (jadi kongres IV diselenggarakan di
Betawi, waktunya bulan Desember 1924) (Prawira, 1925).
52
Fokus terhadap kebudayan Sunda yang diusung oleh
Perkumpulan Sekar Rukun bukan berarti organisasi tersebut
tidak memperhatikan aspek sosial. Sebagai organisasi masa
Pergerakan Nasional yang memiliki sebuah ciri dan
karakteristik sesuai dengan jiwa zaman, terutama perjuangan
dalam menghadapi pemerintah kolonial Hindia Belanda,
Perkumpulan Sekar Rukun juga banyak menyelipkan narasi-
narasi yang berisikan kritikan terhadap pemerintahan orang-
orang Belanda yang ada di wilayah Sunda. Hal ini tentu
diakibatkan oleh ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat
ketika itu. Seperti yang terdapat dalam kolom surat kabar
Sekar Rukun yang ditulis oleh salah satu anggota
Perkumpulan Sekar Rukun cabang Bandung bernama
Panjoeat (1922).
“Loemajan- Di Bandung sim kuring Kamari pelesir,
ugaliwat ka tempat Walanda, ningal gedong noe
araheng, roepana manis katambah koe perhiasan noe
parantes, bet sereset mani asa njaboet hinis, asa peurih
henteu kalawan raheut, ari inget ka tempat oerang di
Bandung Kidul, imah-imah meh teu aja tingaleun, meh
sadajana boetoet. Didinja sim kuring ngerik hate, na ari
bangsa semah bisa sakitu imah-imahna, na ari oerang
mani euweuh kamadjenganana, ser aya pertanjaan kieu,
eh naha ari oerang moal bisa kana imah-imah kitoe teh?
Na naon atuh lantaranana, bet bangsa oerang teh teu aja
anoe moelja? […]”
53
(Lumayan- Di Bandung saya kemarin pergi
berjalan-jalan melewati tempat- tempat Belanda,
melihat gedung yang besar-besar, sangat terlihat
manis ditambah perhiasan yang cocok sebagaimana
mestinya, dengan cepat seperti mencabut serpihan
kayu, tidak terasa sakit meskipun tajam, ketika
mengingat ke tempat saya di Bandung Selatan,
rumah-rumahnya tidak layak untuk dilihat, seperti
semuanya jelek. Dari situ, tergetar hati, kenapa
bangsa pendatang bisa seperti itu rumah-
rumahnya, kenapa kita tidak ada kemjauannya,
timbul juga sebuah pertanyaan, kenapa kalau kita
tidak bisa masuk ke rumah megah-megah itu?
Memang apa alasannya, bangsa kita itu tidak ada
yang mulia? […])
54
harus melihat bagaimana posisi kejayaan di masa lalunya,
tentu hal tersebut menjadi sebuah landasan bagaimana
fondasi bangsa ke depan.
55
Pendidikan bagi wanita menurut R. Ajoe didasari atas
beberapa tujuan pendidikan bagi para kaum wanita, antara
lain: 1) menyatukan para wanita-wanita Sunda, 2) menghargai
kebangkitan Sunda dan belajar berbagai macam keperluan
wanita di rumah, seperti memasak, membatik, menyulam
dan pendidikan bagi para anak- anaknya, 3) diutamakan
adanya program kursus kebahasaan, seperti bahasa Sunda,
Belanda dan Inggris, dan 4) lain-lain (D. & S. 1926). Akhirnya
wacana ini disepakati oleh pengurus Perkumpulan Sekar
Rukun cabang pusat (Betawi/Batavia) dan disosialisasikan ke
pengurus Perkumpulan Sekar Rukun di cabang daerah yang
lain. Adanya program peningkatan pendidikan bagi kaum
wanita ini mengundang beberapa respon dari berbagai pihak.
Karena memang pada periode tahun 1920-an pendidikan
wanita masih sedikit dan tabu. Berbagai program pengajaran
itu datang dari para tokoh intelektual khususnya tokoh senior
di dalam Perkumpulan Sekar Rukun, seperti Prof. Dr. Husein
Djajadiningrat juga para anggota Perkumpulan Sekar Rukun
yang bersekolah di Kweekschool atau sekolah guru. Hal
pengajaran tersebut memang dilakukan demi mengangkat
harkat dan martabat para wanita Sunda yang diharapkan
mendapatkan pendidikan guna mengembangkan
kemampuan dan potensinya.
56
SUNDA
SEBAGAI IDENTITAS ORGANISASI
57
Perkumpulan Sekar Rukun memiliki sebuah
pandangan bahwa Sunda merupakan identitas kebangsaan
yang nampaknya berdiri sendiri. Sunda telah memenuhi
syarat- syarat sebagai suatu bangsa. Tentu saja, hal
demikian dapat dilihat dalam berbagai atribut kebangsaan
yang dimiliki oleh orang Sunda, seperti memiliki
kebudayaan, bahasa, adat istiadat serta kekhasan di dalam
masyarakatnya yang menambah bagaimana identitas ke-
Sundaantersebut. selain itu, dalam segi pakaian memiliki
sebuah perbedaan yang cukup khas antara keduanya dan
hal itu yang paling terlihat dalam menunjukkan perbedaan
tersebut (M.S., 1922) Begitupula perbedaan tersebut berlaku
dengan Jawa, meskipun di dalam satu pulau yang sama
yakni pulau Jawa, namun keduanya merupakan bangsa
yang berbeda. Perbedaan itu bisa menjadikan sebuah
kekuatan hidup berdampingan untuk meraih sebuah cita-cita
bersama. Hal ini terutama dalam hal memajukan bangsanya
yang kemudian dapat meraih kemerdekaan bersama, Karena
Perkumpulan Sekar Rukun ini lahir dan berkembang juga di
daerah yang notabeni bukan mayoritas masyarakat Sunda,
memiliki sebuah tujuan untuk menghimpun para pemuda
sunda untuk terus mengedepankan budaya Sunda tersebut
secara bahasa, kebudayaan, adat istiadat dan lain sebagainya.
Perkumpulan Sekar Rukun pun menerima para pemuda yang
bukan merupakan etnis Sunda yang ingin belajar mengenai
Sunda. Selain memang dengan perluasan organisasi yang
lebih masif dengan cara tersebut tetapi kepentingan dan
58
tujuan edukatif mengembangkan ke-Sundaansecara budaya
terus dilakukan. Hal ini ditujukkan kerjasama bersama
mengenai etnisitas agar lebih dikembangkan. Berbagai macam
mungkin dilakukan dalam menyebarluaskan mengenai
Kesundaan, tetapi hal yang paling nampak adalah dalam
program-program cabang Perkumpulan Sekar Rukun
diberbagai wilayah. Program ini melalui yang dinamakan
perkumpulan umum. Perkumpulan umum ini lebih banyak
membahas mengenai Sunda. Pupuh, tembang, bahasa, sosial,
politik dan lain sebagainya yang menjadi bahasan utama di
dalam setiap cabang Perkumpulan Sekar Rukun (W., D., P.,
w.k., 1923). Sebagai contoh cabang Betawi yang melakukan
sebuah kajian teks mengenai bahasa Sunda secara rutin.
“Batjaan – Koe tjabang Batawi ajeuna prantos diajakeun
bibliotheek basa Soenda sareng Malaju. Tempatna di
kamar maca Kweekschool Goenoengsari diboekana saban
dinten Ahad ti taboeh 9 dongkap ka taboeh 11 endjing-
endjing. Marangga djoeragan-djoeragan gera naramboet
gening samemeh aja mah mani, tjing harengen bae.
Sanes lid S.R. oge tiasa nambut eta boekoe”(Sekar
Rukun, 1922, No. 4, hlm. 2).
62
KETERLIBATAN ORGANISASI DALAM KERJASAMA
71
KONGRES PEMUDA 1 DAN 2
72
pertumbuhannya. Sikap Perkumpulan Sekar Rukun yang
telah menginjak usia tujuh tahun mulai lebih dewasa
dibandingkan tahun- tahun sebelumnya. Wawasan dan
pembahasan Perkumpulan Sekar Rukun tidak lagi berkisar
dilingkungan internal saja, tetapi nampak sudah lebih luas,
apalagi menjalin hubungan kerjasama yang masif dengan
organisasi lain. Akibat gencarnya Perkumpulan Sekar Rukun,
maka diikuti oleh pertumbuhan cabang Perkumpulan Sekar
Rukun menajdi di Betawi atau Jakarta, Bogor, Sukabumi,
Purwakarta, Bandung, Salatiga, Serang, Surabaya, Yogyakarta
dan Lembang. Anggotanya pun tercatat sudah lebih dari 500
orang.
79
Kacang bae roay bae
(Satjadibrata, 1926)
Kacang saja, roay (sejenis kacang merah)
Saja daun pulus (sejenis
tumbuhan berdaun gatal)
digulung-gulung Belum saja
belum saja
Moga lanjut perlahan-lahan.
81
kesatuan nasional Indonesia yang dituangkan serta
diaktualisasikan dalam organisasi pemuda yang berbentuk
fusi. Kubu kedua adalah menghendaki agar semangat
persatuan dan kesatuan nasional Indonesia para pemuda itu
dituangkan dalam satu organisasi pemuda yang berbentuk
federasi. Mereka menganggap masih perlu ada organisasi-
organisasi pemuda yang berasas atau bersifat kedaerahan
yang berdiri sendiri. Akan tetapi, organisasi-organisasi
pemuda itu bersatu serta bergabung dalam satu organisasi
yang berbentuk federasi (Sagimun, 1992, hlm. 61).
Pada tanggal23 April 1927 organisasi pemuda tersebut
mengadakan kembali pertemuan. Pertemuan ini menuaikan
beberapa hasil, yakni; 1) Indonesia harus menjadi ideal bagi
seluruh anak Indonesia dan 2) Segala perserikatan pemuda
harus berdaya upaya dalam menuju mempersatukan diri
dalam satu perkumpulan. Semakin lama tembok kedaerahan
dan kesukuan yang mengungkung dan sempit itu semakin
hilang, diambrukan oleh sebuah arena yang besar yakni
semangat Indonesia raya yang semakin hari semakin kuat
cemerlang (Secretaris HB, 1927) Dalam beberapa waktu dari
perkumpulan yang dilakukan 23 April 1927, organisasi
pemuda tersebut mulai merancang kembali pertemuan-
pertemuan yang akan dilakukan. Pertemuan tersebut
direncanakan akan dilakukan pada 27-28 Oktober 1928 di
beberapa tempat yang berbeda.
Peristiwa tersebut yang kita kenal sebagai peristiwa
Kongres Pemuda 2 dan “Sumpah Pemuda” yang akan
82
dilakukan di Jakarta. Dalam menghadapi Kongres Pemuda 2,
Perkumpulan Sekar Rukun mengadakan sebuah kongres
tahunan yang dihadiri oleh pengurus besar dan perwakilan
dari cabang-cabang. Yang menjadi tuan rumah dalam kongres
besar ini adalah Perkumpulan Sekar Rukun cabang Betawi.
Diadakan pada tanggal 6-7 Oktober 1928 di Loge Gebouw
(Gedung Loge), Vrijmetselaarweg (jalan Vrijmetselaar), Jakarta.
Yang hadir dalam kegiatan tersebut yakni Dr. Husein
Djajadiningrat beserta istri, J. Kats (Orang Belanda), Oto
Subrata (Ketua Paguyuban Pasundan), Mr. Sartono dan Mr.
Sunaryo (Pimpinan PNI), dan perwakilan dari organisasi
pemuda Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Java, Jong
Sumatranen Bond, Jong Indonesia, dan Pemuda Kaum Betawi
(Hoofdbestuur, 1928).
Dalam kongres ini juga muncul sebuah diskusi
mengenai hubungan Perkumpulan Sekar Rukun dengan
Kongres Pemuda 2. Beberapa pihak mempermasalahkan,
apakah dalam Kongres Pemuda 2 ini, Perkumpulan Sekar
Rukun sebagai utusan yang mandiri atau gabungan utusan
dengan Jong Java dengan konsep Jawa Raya-nya. Ketua
Perkumpulan Sekar Rukun pusat yakni Iki Adiwidjaja
mengumumkan hasil rapat pimpinan bagaimana sikap
Perkumpulan Sekar Rukun mengenai hal tersebut. Iki
Adiwidjaja mengemukakan bahwa Perkumpulan Sekar
Rukun akan melebur ke dalam utusan Jong Java. Alasan
tersebut juga ditambah dengan kondisi organisasi yang tidak
memiliki uang untuk membayar biaya kongres sebesar f. 250.
83
Tapi biaya itu tidak hanya dibebankan dalam Perkumpulan
Sekar Rukun Pusat tapi seluruh cabang Perkumpulan Sekar
Rukun harus memberikan sumbangan sebesar f. 35
(Hoofdbestuur, 1928).
Tentu pengumuman yang dikeluarkan oleh Iki
Adiwidjaja ini mengalami beberapa protes dari anggota
Perkumpulan Sekar Rukun yang lain. Nampak banyak
anggota dari Perkumpulan Sekar Rukun tidak setuju dengan
keputusan tersebut. Pertimbangan itu bersumber dari saran
anggota-anggota Perkumpulan Sekar Rukun. Saran pertama
oleh O. Soebrata yang menyarankan agar Perkumpulan Sekar
Rukun bergabung dengan Jong Java saja. Hal ini dikarenakan
memberikan sebuah contoh bagi organisasi lain tentang
pentingnya persatuan dan kesatuan.
“Ku djrg. O. Soebrata S.R ngahidji sareng J.J pikeun
masihan tjonto ka pakempelan2 sanes oelah doegi ka
aing-aingan. Sapertos ti tanah Djawa oelah aja oetoesan
ti roepa2 bangsa kitoe deui tanah sanes. Ka II
ngaemoetkeun waragad oepami S.R. gadoeh oetoesan
sorangan di Jeugdcongres seueur teuing
piwarageunana” (Secretaris, 1928).
85
Akhirnya setelah perdebatan terjadi dalam rapat
internal Perkumpulan Sekar Rukun, diputuskan bahwa
Perkumpulan Sekar Rukun mengikuti Kongres Pemuda 2
secara mandiri serta biaya yang harus dikeluarkan oleh
organisasi ditanggung oleh seluruh anggota yang hadir dalam
Kongres Perkumpulan Sekar Rukun tersebut. Adapun yang
menjadi utusan dalam Kongres Pemuda 2 adalah Sekar
Rukun cabang Betawi, yakni: Muvradi, Kornel Singawinata
(Inoe) (mahasiswa kedokteran), Mareng Suriawidjaja (Siswa
AMS), dan Julaeha (Hoofdbestuur, 1928).
86
Nasional Indonesia (PNI) dan Permufakatan Perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), 2) Inu Martakusuma
mewakili PNI cabang Bandung, 3) Abdulrachman mewakili
Budi Utomo, 4) S.M Kartowisuwiryo mewakili Partai Sarikat
Islam (PSI), 5) Mr. Sunario mewakili Persaudaraan Antar
Pandu Indonesia (PAPI) dan Indonesische Padvinders
Organisatie (INPO), 6) Kadir mewakili PSI cabang Jakarta, 7)
Dr. Amir mewakili Dienaren von Indie, 8) Sigit mewakili
Indonesische Studieclub dan 9) Muhidin mewakili Pasundan
(Sekar Rukun, 1928).
87
Perkumpulan Sekar Rukun tidak terlibat ke dalam
susunan panitia. Kemungkinan besar karena awalnya
Perkumpulan Sekar Rukun dalam jalannya Kongres Pemuda
2 akan digabungkan ke dalam Jong Java namun tidak
terlaksana dan Perkumpulan Sekar Rukun lebih memilih
untuk membawa nama organisasinya dalam Kongres Pemuda
2 tersebut. Sidang pertama diselenggarakan hari Sabtu malam
tanggal 27 Oktober 1928 dimulai pukul 19.30 bertempat di
gedung Khatolieke Yongelingen Bond, Waterlooplein, Batavia.
Dalam susunan kegiatan hari pertama ini di mana susunan
acara Kongres Pemuda 2 di hari pertama yakni 1) menjamu
utusan dan tamu, 2) pembukaan rapat oleh Soegondo
Djojopespito dan 3) membicarakan masalah kebangsaan
dengan mendengar beberapa pidato dari tokoh pemuda
seperti; Mohammad Yamin, Martokusumo, Maamoen Rasid,
Mr. Sartono, Kartosuwirjo, Nona Siti Sundari dan Nona
Puradiredja. Pada pidato pembukaan rapat kongres ini,
Sugondo Djojopuspito memaparkan sebuah uraian tentang
lahirnya organisasi modern pertama di Indonesia yaitu
munculnya Budi Utomo 1908. Dilanjutkan dengan pemaparan
mengenai timbulnya Perkumpulan Pemuda di beberapa
daerah dan bersifat kedaerahan. Selain itu, dilanjutkan juga
keterangan mengenai Kongres Pemuda Indonesia 1 tahun
1926. Termasuk perwakilan dari Perkumpulan Sekar Rukun
yaitu Kornel Singawinata. Bahwa persatuan dan kesatuan itu
tidak hanya dalam konteks pembicaraan saja tapi juga harus
menyertai jiwa serta perilaku.
88
“Djrg. Inoe njarioskeun jen persatoean teh oelah bae
kaloear tina biwir. Nanging kedah asoep njerep kana
hate. Saoerna goenana persatoean teh njaeta soepaja
tanah oerang bisa tjara tanah deungeun saperti Inggris
Naderland” (Verslaggever, 1928).
93
SUNDA
DALAM ARUS PERSATUAN INDONESIA
96
serupa, terutama dalam setiap kumpulan-kumpulan atau
bahkan dalam ranah Kongres Pemuda 1 dan 2.
102
berkomitmen dan bertanggung jawab dalam menjaga
identitas keSundaannya tersebut. Jika keluar dari wilayah
keSundannya mereka akan menjadi orang yang berasal dari
pulau Jawa dan jika lebih jauh dari itu, maka harus
dipastikan dan diakui mereka berasal dari Indonesia.
Begitupun hal ini harus diterapkan oleh suku bangsa yang
lain. Jika hal itu dapat tertanam dengan baik dan dilakukan
secara konsisten maka permasalahan suku, etnis, golongan,
daerah dan lain sebagainya tidak akan berbenturan dengan
spirit nasionalisme yang sedang giat di bangun pada masa
Pergerakan Nasional. Hal tersebut menjadi sebuah realisasi
persatuan dan kesatuan yang jauh lebih kokoh dalam rangka
tujuan dan cita-cita meraih kemerdekaan bersama bagi bangsa
Indonesia. Gagasan mengenai pandangan kebangsaan ini juga
dituliskan dan dibahas begitu mendalam. Dalam catatan
Hoofdbestuur (1928b) :
105
FUSI ORGANISASI
107
organisasi pemuda yang ada.
108
tersebut dan inspirasi dari gerakan-gerakan wanita tersebut
diharapkan dapat memotivasi wanita Indonesia secara
keseluruhan terutama perjuangan terhadap bangsa dan
negara. Narasi-narasi seperti ini terus dilanjutkan oleh
Perkumpulan Sekar Rukun serta organisasi pemuda lain.
116
DAFTAR PUSTAKA
117
zan/article/view/2036 Djamil, D. (1924). “Wartos ti
Tjabang-Tjabang” dalam surat kabar Sekar Roekoen,
Batavia: Januari-Februari 1924.
D. & S. (1926). “Sekar Roekoen Bagian Istri” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: April 1926.
E & N.S.P w.k. (1922). “Petawis kabingahan kana ngadegna
tjabang S.R Soekasari” dalam surat kabar Sekar Roekoen,
Batavia: Februari 1922.
E.I.R.S. & B.K. (1922). “Sinom” dalam surat kabar Sekar
Roekoen, Batavia: Maret 1922.
Ekadjati, E. S. (2009). Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan
Sejarah Jilid I. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ekadjati, E. S. (2014). Dari Pentas Sejarah Sunda;
Sangkuriang Hingga Juanda. Bandung: PT Kiblat Buku
Utama.
Gottschalk, L. (2008). Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
H. (1924). “Basa Soenda sareng Basa Walanda” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: Januari-Februari 1924.
Hamid, A., & Madjid, M. (2011). Pengantar Ilmu Sejarah.
Yogyakarta: Ombak Hatta, M. (2015). Untuk Negeriku 2:
Berjuang dan Dibuang. Jakarta: Kompas Harsojo. (1986).
Pengantar Antropologi. Bandung: Penerbit Binacipta.
Hoofdbestuur. (1922). “Tjabang Batawi” dalam surat kabar
Sekar Roekoen, Batavia: Januari 1922.
Hoofdbestuur. (1922b). “Sekar Roekoen Soekaboemi” dalam
surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: Maret 1922.
Hoofdbestuur. (1923). “Ngalereskeun”. dalam surat kabar
Sekar Roekoen, Batavia: Januari 1923.
Hoofdbestuur. (1924). “Wartos ti H.B.” dalam surat kabar
Sekar Roekoen, Batavia: Januari-Februari 1924.
Hoofdbestuur. (1924b). “H.B.” dalam surat kabar Sekar
118
Roekoen, Batavia: Januari- Februari 1924.
119
Kahin, G. McT. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia.
Depok: Komunitas Bambu.
120
Leirissa, R. Z. et al. (1989). Sejarah Pemikiran Tentang Sumpah
Pemuda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
121
Januari-Februari 1924.
Prawira. (1925). “Bestolen Vergadering di Paroekoenan
Bandoeng ping 26 Dec. 1925” dalam surat kabar Sekar
Roekoen, Batavia: Januari-Februari-Maret 1925.
Pringgodigdo, A.K. (1980). Sejarah Pergerakan Rakyat
Indonesia. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Raharjo, M., & Kumalasari, D. (2016). Perkembangan
Organisasi Tri Koro Dharmo Pada Masa Pergerakan
Nasional Tahun 1915-1918. E-Journal Universitas Negeri
Yogyakarta. Diakses dari:
http://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/risalah/art
icle/download/819/746.
Ranjabar, J. (2016). Sistem Sosial Budaya Indonesia Suatu
Pengantar. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Reid, A., & Marr, D. (1983). Jejak Nasionalis Indonesia Mencari
Masa Lampaunya: Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka.
Jakarta: Grafiti.
Ricklefs, M. C. (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Roem, M. (1977). Bunga Rampai Dari Sedjarah. Jakarta: Penerbit
Bulan Bintang Rutgers, S. J. (1951). Sedjarah Pergerakan
Nasional Indonesia. Surabaya: CV Hayam Wuruk.
Safwan, M. (1973). Riwayat Hidup dan Perjuangan
Muhammad Husni Thamrin. Jakarta: Angkasa.
Sagimun, MD. (1988). Peranan Pemuda Dari Sumpah Pemuda
Sampai Proklamasi. Jakarta: Bina Aksara.
Sagimun, M.D. (1992). 90 Tahun Prof. Mr. Sunario. Jakarta: PT
Rosdajayaputra Saleh, M. (1923). “Tina Jero Pabetekan”
dalam surat kabar Sekar Roekoen, Batavia: Januari 1923.
Sari & Goeweng. (1922). “S.R. Sareng A.B.C” dalam surat
kabar Sekar Roekoen, Batavia: Mei 1922.
122
Satjadibrata. (1926). “Sajak” dalam surat kabar Sekar Roekoen,
Batavia: 1926.
123
Sutjiatiningsih, S. (1999). Soegondo Djojopuspito : Hasil Karya
dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
124
RIWAYAT PENULIS
125
(HaKI)”. Penulis mendapatkan program Student Exchange
ke Universiti Kebangsaan Malaysia (2019). Penulis aktif
dalam kegiatan berorganisasi intra atau ekstra kampus.
Seperti, Himpunan Mahasiswa Departemen Pendidikan
Sejarah (HIMAS) Sebagai ketua Bidang Pendidikan
(periode 2019-2020). BPO Senat FPIPS Sebagai Ketua
bidang Internal (periode 2020-2021). Ikatan Himpunan
Mahasiswa Sejarah (IKAHIMSI) sebagai Ketua Umum di
Wilayah I yang membawahi seluruh mahasiswa Ilmu
Sejarah, Pendidikan Sejarah dan Sejarah Peradaban Islam
di Provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta (periode
2019-2021), selain itu penulis juga aktif di Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat
Universitas Pendidikan Indonesia. Penulis sangat hobi
membaca buku. Penulis memiliki motto hidup; “Tidak
layak bagi orang yang berakal dan berilmu bersitirahat
dalam mencari ilmu, Tinggalkanlah Negerimu, dan
berkelanalah, kelak engkau akan menemukan pengganti
orang-orang yang kau tinggalkan. Bersusah payahlah
karena sesungguhnya ketinggian derajat kehidupan
hanya bisa dicapai dengan kesusahpayahan” (Imam
Syafi’i).
126