Anda di halaman 1dari 3

LAPORAN BACAAN

OLEH: ROBBY FURQON

Identitas Buku

Judul : Surat Kabar Indonesia pada Tiga Zaman


Penulis : Departemen Penerangan RI
Penerbit : Departemen Penerangan RI
Cetakan :-
Tebal :-

I. Pendahuluan

Buku Surat Kabar Indonesia pada Tiga Zaman ini merupakan buku yang diterbitkan oleh
Departemen Penerangan Republik Indonesia. Pada pembahasan buku ini, penulis
menitikberatkan pada pergulatan pers di Indonesia pada masa Hindia Belanda yang penuh
tantangan dan hambatan. Selain itu, penulis juga memfokuskan pembahasan pada kritikan-
kritikan terhadap pers Indonesia pada masa Hindia Belanda. Kritikan tersebut tertuju pada
tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh pemilik pers Indonesia pada masa Hindia
Belanda, khususnya pada masa pergerakan nasional yang dikenal sebagai era kebangkitan
rakyat Indonesia untuk berusaha mewujudkan kemerdekaan melalui cara kooperatif maupun
nonkooperatif yang diinisiasi oleh kalangan terpelajar Indonesia pada masa itu.

II. Isi

Dalam dunia pers Indonesia, kita tidak akan pernah melupakan jasa-jasa dari tokoh-tokoh
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui pers, khususnya pada masa pergerakan
melalui surat kabar dan karya-karya yang dibuatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan
kita. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Ki Hajar Dewantara melalui karyanya yang berjudul Als
Ik eens Nederlander was, dr. Cipto Mangunkusumo melalui tulisannya di surat kabar Kaoem
Moeda dan De Express, dr. Wahidin Soedirohoesodo melalui surat kabar Guru Desa dan
Retnodoemilah yang dipimpin bersama dr. Radjiman Wedyodiningrat, H.O.S. Cokroaminoto
melalui surat kabar Oetoesan Hindia, R. M. Tirtoadisoerjo melalui Medan Priyayi, dan masih
banyak lagi.

Namun, bila kita menilik dari sejarah munculnya pers di Indonesia, kelahiran pers di negara
kitab oleh dikatakan terlambat sejak kedatangan pertama Belanda ke Nusantara pada akhir
abad ke-16. Hal tersebut disebabkan oleh ketakutan VOC akan surat kabar yang akan
mengancam monopoli dagangnya dan kesibukan Belanda dalam menghadapi peperangan yang
terjadi di Eropa dan Nusantara. Meskipun sempat terbit surat kabar Bataviasche Nouvelles
pada tahun 1744, keberadaannya hanya berlangsung singkat setelah dewan Heeren XVII
melarang terbitnya surat kabar tersebut pada tahun 1746. Akan tetapi, pada saat Herman
Willem Daendels berkuasa, penerbitan surat kabar mulai diperbolehkan melalui penerbitan
surat kabar Vendunieuws/Bataviasche Courant pada tahun 1811. Kemudian, saat Inggris
berkuasa, terbit surat kabar berjudul Java Government Gazette. Setelah Indonesia dikuasai
Belanda kembali pada tahun 1816, surat kabar yang terbit mulai heterogen. Tidak hanya surat
kabar yang berbahasa Belanda yang dimiliki Pemerintah seperti Javasche Courant, akan
tetapi, muncul pula surat kabar berbahasa yang dimiliki swasta, seperti Soerabaia Courant
yang terbit pada tahun 1837. Selain itu, muncul pula surat kabar berbahasa Melayu seperti
Bromartani, Slompret Melajoe, Biang Lala, Soeratkabar dari Melajoe, Bintang Timor, dan
lain sebagainya. Surat kabar dalam kedua bahasa tersebut pada umumnya berisi tentang
masalah ekonomi, sosial, dan kesusastraan. Sementara, masalah politik dikesampingkan oleh
surat-surat kabar tersebut.

Setelah kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905, bangsa-bangsa Timur mulai tergerak
untuk mengadakan pergerakan untuk mewujudkan kemerdekaan, tak terkecuali Indonesia.
Pergerakan di Indonesia diwujudkan melalui pembentukan organisasi-organisasi pergerakan
seperti Boedi Oetomo, Syarekat Islam, Indische Partij, Indonesische Studie Club, dan PKI.
Organisasi tersebut menyuarakan perjuangan kemerdekaan melalui pers, contohnya seperti
Retnodoemilah, Guru Desa, Medan Priyayi dan Darmo Kondo yang dimiliki oleh Boedi
Oetomo dan Oetoesan Hindia yang dimiliki oleh Syarekat Islam. Selain itu, pergerakan
melalui pers juga dilakukan dengan pembentukan surat kabar nonpartisan seperti Sedya Tama,
Soeara Poeblik, Matahari Indonesia, dan lain sebagainya dan pembentukan organisasi jurnalis
Inlandsche Journalisten Bond di Surakarta pada tahun 1914 yang dipimpin oleh Mas Marco
Kartodikromo. Akan tetapi, gagalnya pemberontakan yang dilakukan oleh PKI menyebabkan
Pemerintah Kolonial Belanda melakukan upaya represif kepada pers Indonesia. Salah satu
contohnya adalah dicekalnya risalah Ons Wagen karya M. Thabrani di Tanjung Priok atas
perintah Politieke Inlichtingen Dienst.

Dalam perjalanannya, pers Indonesia mengalami sejumlah tantangan dan hambatan, baik di
bidang redaksi, administrasi, dan percetakan. Tantangan dan hambatan tersebut antara lain
berupa mutu pers Indonesia yang rendah, kurangnya jurnalis yang berpendidikan, adanya
pengekangan kebebasan pers, pemberitaan yang primitif dan tidak dapat dipercaya, isi surat
kabar yang kurang bervariasi, kurangnya iklan dan adanya tunggakan uang langganan,
pengelolaan surat kabar yang ceroboh dan tanpa sistem, lingkungan pembaca terbatas,
lingkungan kerja yang buruk, dan kalah bersaing dengan surat kabar milik Belanda dan Cina.

Bila pers ingin tetap dijadikan sebagai sarana perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih
kemerdekaan, pers Indonesia harus bisa berperan sebagai pengemban cita-cita kemerdekaan
yang dapat memberikan pengertian yang luas kepada masyarakat mengenai penanganan
masalah untuk mewujudkan kemerdekaaan beserta realita yang terjadi di lapangan. Selain itu,
pemilik surat kabar harus membutuhkan kesabaran dalam menyampaikan pesan-pesan
perjuangan kepada rakyat dan surat kabar tidak boleh bersikap netral dalam bidang politik,
terutama pada saat masa penjajahan. Selain itu, dari segi internal, surat kabar harus
mempunyai jurnalis yang memiliki pengetahuan umum sesuai dengan spesialisai yang
dikuasainya, mempunyai pegawai yang terampil di bidangnya, menguasai teknologi
percetakan, mempunyai modal yang cukup untuk mengelola surat kabar, mampu menyusun
strategi agar surat kabar dapat diterima oleh masyarakat. Salah satunya melalui bahasa yang
digunakan oleh surat kabar tersebut agar dapat dibaca oleh masyarakat.
III. Kesimpulan

Pers Indonesia pada masa pergerakan merupakan sarana penting bagi tokoh-tokoh pergerakan
dan kaum terpelajar Indonesia untuk menyampaikan gagasannya tentang Indonesia merdeka.
Akan tetapi, surat-surat kabar Indonesia yang beredar pada masa Hindia Belanda memiliki
sejumlah kekurangan yang membuat surat kabar Indonesia kalah bersaing dari surat kabar
Belanda dan Cina. Agar bisa bersaing dengan kedua surat kabar tersebut, pers kita harus
memiliki tenaga yang terampil, modal yang cukup, pengelolaan yang baik, dan jurnalis yang
memiliki kapabilitas di bidangnya.

Anda mungkin juga menyukai