Tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN) sekaligus bertepatan
dengan perayaan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang telah
ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Peran kerja wartawan
tak bisa dilepaskan dari pasang surut kehidupan bernegara. Tanpa mereka, tak ada
pemberitaan yang bisa dinikmati masyarakat.
Jika dilihat dari sejarah, surat kabar pertama kali diterbitkan di Eropa pada abad ke-17.
Di Indonesia sendiri, surat kabar berkembang dan mempunyai peranannya sendiri di
tengah masyarakat hingga sekarang.
Kilas balik sebelum masa kemerdekaan, sudah berlangsung kegiatan pers di Indonesia.
Bahkan hingga kini, terhitung sudah ada ratusan surat kabar yang menjadi media
penyampai informasi kepada khalayak.
Dalam buku “Four Theories of the Press” yang ditulis oleh Fres S. Siebert, Theodore
Peterson dan Wilbur Schram, bahwa Pers dapat dikategorikan menjadi 4 kategori, yaitu :
Istilah pers itu sendiri berasal dari bahasa Belanda, dan dalam bahasa Inggris berarti Press.
Secara harfiah pers berarti cetak. Dan secara maknafiah berarti penyiaran cetak atau
publikasi secara cetak. Definisi lainnya, pers adalah lembaga sosial sebagai wahana
komunikasi massa dengan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, meyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan jenis saluran media.
Diketahui, pada zaman pemerintah cayus julius seorang berkebangsaan Romawi,
penyampaian informasi/pemberitaan pertama kali diperkenalkan (100-44 SM) di negara
Romawi. Awal peragaannya ditulis pada sebuah papan tulis yang dipajang disebuah
lapangan terbuka dimana rakyat banyak berkumpul.
Pada zaman pemerintahan Kaisar Quang Soo, di Cina terbentuklah penerbitan Surat kabar
tahun 911 mulailah diperkenalkan cetakan Surat kabar pertama yang namanya “King Pau”
untuk memuat keputusan-keputusan rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana
kekaisaran ketika itu.
Beralih ke dekade 1930-an, terdapat sebuah majalah yakni Majalah Abad 20 dengan
terbitan tanggal 29 April 1939 yang mengulas beragam konten menarik mengenai
biografi, sastra, seni, dan sebagainya.
Pada majalah ini, diawali dengan biografi Professor Husein Djajadiningrat seorang guru
besar di sekolah tinggi kehakiman di Betawi.
Kemudian terdapat beberapa artikel lainnya, seperti sepucuk surat dari perbatasan
wilayah Sumatera Timur, artikel kesehatan kelenjar yang berguna untuk pertumbuhan
dan kesehatan badan, hingga kolom serba-serbi mengulas asal-usul nama uang dollar
Inggris.
Dimasa penjajahan, pers Indonesia mengalami distorsi, penyebaran informasi dan
pemberitaan diawasi sangat ketat oleh para penjajah dinegeri ini. Tujuannya jelas, agar
nasionalisme dan rasa persatuan tidak mudah terbentuk. Terutama dimasa penjajahan
Hindia Belanda, kegiatan jurnalistik ketika itu, pengawasan ekstra ketat oleh Belanda.
Kehidupan pers dimasa itu sebagai corong perjuangan.
Belanda menganggapnya momok yang dia harus perangi. Mereka memandang perlu
membuat undang-undang yang dikenal dengan KUHP dan mengeluarkan aturan yang
diberinama “Persbreidel Ordonantie” semacam sangsi pembredelan surat kabar dan
majalah. Bukan hanya itu, Belanda juga mengeluarkan peraturan bernama “Haatzai
Artekelen” isinya, ancaman hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan permusuhan,
kebenciaan, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda.
Pada tahun 1906 Hindia Belanda mengubah aturannya dari Pengawasan Preventif menjadi
“Pengawasan Represif” yakni pencetak dan penerbit diharuskan menyerahkan koran yang
telah diterbitkan kepada pejabat setempat, selambat-lambatnya 1x24 jam setelah terbit
atau sebelum di edarkan (ini gambaran singkat).
Sekedar gambaran, Malaysia, Singapura dan India adalah bekas jajahan Inggris. Semua
Negara Persemakmuran, hampir segala teknologi yang mutakhir dan sistem yang sudah
maju di inggris di angkat ke negara jajahannya, agar warga masyarakat jajahan itu merasa
nyaman. Sementara watak dan karakter Belanda dan Jepang, berupaya mengkerdilkan
masyarakat jajahan terutama dibidang pendidikan termasuk memasung kehidupan Pers
ketika itu.
Bagaimana Pers di Masa Kemerdekaan?
Kebebasan Pers di rezim kemerdekaan “Ibarat Gelang Karet”. Konsep Pers yang
bertanggung jawab ketika itu berkali-kali mengalami perubahan. Undang-undang Nomor :
11 Tahun 1966 tentang Pers yang kemudian di ubah dengan Undang-undang Nomor : 21
Tahun 1982.
Kebebasan Pers yang bertanggung jawab itu tersimpul dalam Bab II yang berisi pasal 2-5
mengenai tugas, Fungsi, Hak dan Kewajiban Pers, seperti dipasal 2 ayat 2 tentang kewajian
Pers Nasional terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekwen.
Dan ketika Pers diragukan dan dianggap membahayakan kehidupan Nasional, keluarlah
peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor : 01/Pen/Menpen/1984 tentang
surat Izin Usaha Penerbitan Pers yang dikenal dengan (SIUPP). Selama kurang lebih tiga
dekade berkuasa, pembungkaman kebebasan secara besar-besaran. Pemerintah
mengontrol hampir semua aspek. Yang dianggap mengganggu ketertiban disingkirkan, dan
suara kritis ditekan termasuk media.
Keadaan itu, Presiden BJ. Habibi mulai membalik situasi pembungkaman menjadi
keterbukaan. Habibi ketika itu, ia ingin semua orang bebas berbicara. Termasuk Keran Pers
dibuka selebar-lebarnya. SIUPP tak ada lagi, konteks kontrol media perlahan “Sirna”.
Pencabutan SIUPP berdampak Signifikan terhadap sejumlah penerbitan di Indonesia.
Sebagaimana termaktub dalam permenpen nomor 1 tahun 1984 serta di ikuti penetapan
aturan baru dalam wujud Permenpen Nomor : 1 Tahun 1998
Pondasi kebebasan Pers kian kokoh atas terbitnya Undang-undang Nomor : 40 Tahun 1999
tentang Pers, yang disahkan Presiden Habibi pada tanggal 23 September 1999, isinya
memuat 10 Bab dan 21 Pasal. Dengan terbitnya Undang-undang tersebut, maka undang-
undang sebelumnya gugur dengan sendirinya. Bukan hanya itu, sebelum mengesahkan
undang-undang pokok Pers, Presiden Habibi mengesahkan undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak asai manusia (HAM). Sehingga Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) menganugerahi gelar kepada Presiden ketiga RI, BJ. Habibi sebagai bapak
kemerdekaan Pers Indonesia sekaligus penegak hak asasi Manusia.