Anda di halaman 1dari 7

KILAS BALIK WARTAWAN INDONESIA, PROFESI WARTAWAN

Tanggal 9 Februari diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN) sekaligus bertepatan
dengan perayaan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang telah
ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Peran kerja wartawan
tak bisa dilepaskan dari pasang surut kehidupan bernegara. Tanpa mereka, tak ada
pemberitaan yang bisa dinikmati masyarakat.

Jika dilihat dari sejarah, surat kabar pertama kali diterbitkan di Eropa pada abad ke-17.
Di Indonesia sendiri, surat kabar berkembang dan mempunyai peranannya sendiri di
tengah masyarakat hingga sekarang.

Kilas balik sebelum masa kemerdekaan, sudah berlangsung kegiatan pers di Indonesia.
Bahkan hingga kini, terhitung sudah ada ratusan surat kabar yang menjadi media
penyampai informasi kepada khalayak.

Dalam buku “Four Theories of the Press” yang ditulis oleh Fres S. Siebert, Theodore
Peterson dan Wilbur Schram, bahwa Pers dapat dikategorikan menjadi 4 kategori, yaitu :

1. Authoritarian (Pers Otoritarian)


Teori ini kebanyakan digunakan pada negara-negara barat. Dalam sistem otoriterian,
media massa/pers bukan sebagai alat kontrol pemerintah, tetapi lebih kepada
instrumen pendukung untuk mencapai tujuan negara. Dan oleh sebab itu teori pers ini
terkesan dibawah ketiak penguasa. Negara yang banyak mengadopsi sistem tersebut
seperti cina, portugal, spanyol dan sebagian Negara Asia dan Amerika Selatan.

2. Libertarian Press (Pers Libertarian)


Sistem teori tersebut merupakan kebalikan dari Otoritarian. Sering juga disebut pers
bebas yang merupakan sarana penyaluran aspirasi rakyat dalam memberikan
pengawasan dan penentuan sikap setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

3. Soviet Communist pers atau komunis soviet


Teori yang menitikberatkan pada anggapan bahwa setiap sarana produksi dan
distribusi berada dibawah kekuasaan negara komunis. Dengan sendirinya, pers
Communis sebagai instrumen yang terintegrasi dengan kekuasaan.

4. Social responsibility press atau pers tanggung jawab sosial


Pers tanggung jawab sosial (sosial responsibility) lebih kepada tanggung jawab
moralitas dan nurani sebagai pribadi insan pers maupun kepada masyarakat. Dari ke
empat kategori teori pers tersebut, pers Indonesia “Cenderung” masuk didalam
kelompok ini senapas kode etik jurnalistik yang kita miliki.

Istilah pers itu sendiri berasal dari bahasa Belanda, dan dalam bahasa Inggris berarti Press.
Secara harfiah pers berarti cetak. Dan secara maknafiah berarti penyiaran cetak atau
publikasi secara cetak. Definisi lainnya, pers adalah lembaga sosial sebagai wahana
komunikasi massa dengan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh,
memiliki, meyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan jenis saluran media.
Diketahui, pada zaman pemerintah cayus julius seorang berkebangsaan Romawi,
penyampaian informasi/pemberitaan pertama kali diperkenalkan (100-44 SM) di negara
Romawi. Awal peragaannya ditulis pada sebuah papan tulis yang dipajang disebuah
lapangan terbuka dimana rakyat banyak berkumpul.

Pada zaman pemerintahan Kaisar Quang Soo, di Cina terbentuklah penerbitan Surat kabar
tahun 911 mulailah diperkenalkan cetakan Surat kabar pertama yang namanya “King Pau”
untuk memuat keputusan-keputusan rapat permusyawaratan dan berita-berita dari istana
kekaisaran ketika itu.

Bagaimana Dengan Sejarah Pers di Indonesia?

Koran Sinar Matahari


Jika Kawan jurnalis muda berkunjung ke Monumen Pers Nasional di Surakarta, Jawa
Tengah, kalian akan menemukan banyak koleksi surat kabar, salah satunya ialah Koran
Sinar Matahari.
Sinar Matahari adalah salah satu koran berbahasa Melayu yang terbit pada dekade 1910-
an tepatnya arsip yang masih tersimpan ialah tanggal 17 April 1914 dengan isi berita
meliputi keadaan sekitar tahun 1913 sampai 1914.
Isi berita pada koran tersebut antara lain, pembangunan pabrik Goedang Garam,
perbincangkan tentang ”Boeanglah pakaian Djawa, pakailah pakaian Europa, alias cara
Wolanda, demikianlah soeara kaoem moeda, alias Hindia Madjoe”, hingga berita ulama
Makassar yang ingin memajukan Islam di Jepang.
Soeara Ra’jat
Selain Koran Sinar Matahari, ada pula Soeara Ra’jat terbitan surat kabar pada dekade
1910-an dengan menggunakan bahasa Melayu.
Soeara Ra’jat, surat kabar yang menggunakan Bahasa Melayu tepatnya terbitan tanggal 1
April 1919 ini merupakan koran pergerakan kaum sosialis, yaitu Indische Sociaal-
Democratische Vereeniging (ISDV) yang jika diterjemahkan adalah Persatuan Sosial
Demokrat Hindia Belanda dengan redaktur Darsono dan J.C. Stam.
Isi berita pada koran tersebut antara lain, kekejaman kapitalisme terhadap kaum lemah,
negeri Hindia Belanda kekurangan beras dan banyak yang mati kelaparan, hingga
pukulan besar bagi kaum ISDV dari pihak pemerintah dan kaum kapitalis.
Soeloeh Ra’jat
Berlanjut ke dekade 1920-an, ada terbitan dari surat kabar Soeloeh Ra’jat tepatnya
tanggal 2 Januari 1929 dengan menggunakan bahasa Melayu.
Majalah pergerakan rakyat ini ditandai dengan tulisan pada halaman dua, yang berjudul
“Persatuan” berisi tentang kesadaran pergerakan Indonesia akan pentingnya persatuan.
Isi dari surat kabar ini antara lain, mosi PPKI, keinginan untuk mendirikan suatu bank
kebangsaan, hingga pemerintah bermaksud membangun Hollandsch-Inlandsch Onderwij
Commissie.
Djawa Tengah Review
Masih pada decade yang sama, terbit sebuah majalah Djawa Tengah Review tepatnya
pada Juli 1929 dengan menggunakan bahasa Melayu Cina.
Isi dari majalah tersebut bervariasi dengan menampilkan beberapa foto pada masa itu.
Foto Pintu Gerbang Pasar Malam Semarang dengan arsitektur Tiongkok yang di
dalamnya terdapat rumah kopi Margoredjo yang sudah terkenal di seluruh Indonesia,
serta beberapa foto sekolah E. Teck Girl School di Bangkok mengawali halaman majalah
ini.
Isi berita serta foto dari majalah ini antara lain, dua foto candi Gedong Songo yang
berada ditengah gunung Soemowono, foto tim sepak bola etnis Cina Loh Hwa yang telah
sampai di Tanjung Priok, hingga entang pembatasan kelahiran di negeri Cina.
Majalah Abad 20

Beralih ke dekade 1930-an, terdapat sebuah majalah yakni Majalah Abad 20 dengan
terbitan tanggal 29 April 1939 yang mengulas beragam konten menarik mengenai
biografi, sastra, seni, dan sebagainya.

Pada majalah ini, diawali dengan biografi Professor Husein Djajadiningrat seorang guru
besar di sekolah tinggi kehakiman di Betawi.

Kemudian terdapat beberapa artikel lainnya, seperti sepucuk surat dari perbatasan
wilayah Sumatera Timur, artikel kesehatan kelenjar yang berguna untuk pertumbuhan
dan kesehatan badan, hingga kolom serba-serbi mengulas asal-usul nama uang dollar
Inggris.
Dimasa penjajahan, pers Indonesia mengalami distorsi, penyebaran informasi dan
pemberitaan diawasi sangat ketat oleh para penjajah dinegeri ini. Tujuannya jelas, agar
nasionalisme dan rasa persatuan tidak mudah terbentuk. Terutama dimasa penjajahan
Hindia Belanda, kegiatan jurnalistik ketika itu, pengawasan ekstra ketat oleh Belanda.
Kehidupan pers dimasa itu sebagai corong perjuangan.

Belanda menganggapnya momok yang dia harus perangi. Mereka memandang perlu
membuat undang-undang yang dikenal dengan KUHP dan mengeluarkan aturan yang
diberinama “Persbreidel Ordonantie” semacam sangsi pembredelan surat kabar dan
majalah. Bukan hanya itu, Belanda juga mengeluarkan peraturan bernama “Haatzai
Artekelen” isinya, ancaman hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan permusuhan,
kebenciaan, serta penghinaan terhadap pemerintah Nederland dan Hindia Belanda.

Nasib Pers Dimana Penjajahan


Tiga setengah Abad Indonesia dibawah ketiak Belanda dan tiga setengah tahun teraniaya
oleh Jepang. Dibawah penjajahan, kedua negara tersebut kehidupan pers Indonesia
mengalami dua Fase. Fase Hindia Belanda dan Fase penjajahan Jepang. Kedua fase tersebut
masing-masing memiliki corak pers tersendiri. Pada tahun 1856 misalnya, Belanda
mengeluarkan aturan Pers yang pertama kali bersifat “Pengawasan Preventif”. Isinya
memuat tentang semua karya cetak sebelum diterbitkan di percertakan dan oleh pencetak
terlebih dahulu menanda tangani perjanjian kepada pemerintah setempat.

Pada tahun 1906 Hindia Belanda mengubah aturannya dari Pengawasan Preventif menjadi
“Pengawasan Represif” yakni pencetak dan penerbit diharuskan menyerahkan koran yang
telah diterbitkan kepada pejabat setempat, selambat-lambatnya 1x24 jam setelah terbit
atau sebelum di edarkan (ini gambaran singkat).

Sementara kependudukan Jepang, nasib penerbit surat kabar secara pelan-pelan


dimandulkan dan disatukan, tujuannya agar pemerintah Jepang dapat memperketat
pengawasan terhadap isi surat kabar. Hampir, setiap konten surat kabar dimanfaatkan
sebagai alat Propaganda untuk memuji pemerintahan Jepang.

Pers nasional masa kependudukan jepang memang mengalami pengekangan kebebasan


yang lebih pada zaman Belanda. Sekalipun muncul beberapa penerbit ketika itu, tetapi
menjadi alat pemerintahan yang sifatnya pro-Jepang. Dibawah tekanan penjajah, para
jurnalis berjuang bukan hanya dengan ketajaman pena-nya, melainkan dengan simpul-
simpul organisasi keagamaan, pendidikan dan politik. Karakter Belanda -Jepang dalam
tindakan terhadap masyarakat jajahannya, sangat beda dengan Inggris.

Sekedar gambaran, Malaysia, Singapura dan India adalah bekas jajahan Inggris. Semua
Negara Persemakmuran, hampir segala teknologi yang mutakhir dan sistem yang sudah
maju di inggris di angkat ke negara jajahannya, agar warga masyarakat jajahan itu merasa
nyaman. Sementara watak dan karakter Belanda dan Jepang, berupaya mengkerdilkan
masyarakat jajahan terutama dibidang pendidikan termasuk memasung kehidupan Pers
ketika itu.
Bagaimana Pers di Masa Kemerdekaan?
Kebebasan Pers di rezim kemerdekaan “Ibarat Gelang Karet”. Konsep Pers yang
bertanggung jawab ketika itu berkali-kali mengalami perubahan. Undang-undang Nomor :
11 Tahun 1966 tentang Pers yang kemudian di ubah dengan Undang-undang Nomor : 21
Tahun 1982.

Kebebasan Pers yang bertanggung jawab itu tersimpul dalam Bab II yang berisi pasal 2-5
mengenai tugas, Fungsi, Hak dan Kewajiban Pers, seperti dipasal 2 ayat 2 tentang kewajian
Pers Nasional terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekwen.

Dan ketika Pers diragukan dan dianggap membahayakan kehidupan Nasional, keluarlah
peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor : 01/Pen/Menpen/1984 tentang
surat Izin Usaha Penerbitan Pers yang dikenal dengan (SIUPP). Selama kurang lebih tiga
dekade berkuasa, pembungkaman kebebasan secara besar-besaran. Pemerintah
mengontrol hampir semua aspek. Yang dianggap mengganggu ketertiban disingkirkan, dan
suara kritis ditekan termasuk media.

Keadaan itu, Presiden BJ. Habibi mulai membalik situasi pembungkaman menjadi
keterbukaan. Habibi ketika itu, ia ingin semua orang bebas berbicara. Termasuk Keran Pers
dibuka selebar-lebarnya. SIUPP tak ada lagi, konteks kontrol media perlahan “Sirna”.
Pencabutan SIUPP berdampak Signifikan terhadap sejumlah penerbitan di Indonesia.
Sebagaimana termaktub dalam permenpen nomor 1 tahun 1984 serta di ikuti penetapan
aturan baru dalam wujud Permenpen Nomor : 1 Tahun 1998

Pondasi kebebasan Pers kian kokoh atas terbitnya Undang-undang Nomor : 40 Tahun 1999
tentang Pers, yang disahkan Presiden Habibi pada tanggal 23 September 1999, isinya
memuat 10 Bab dan 21 Pasal. Dengan terbitnya Undang-undang tersebut, maka undang-
undang sebelumnya gugur dengan sendirinya. Bukan hanya itu, sebelum mengesahkan
undang-undang pokok Pers, Presiden Habibi mengesahkan undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak asai manusia (HAM). Sehingga Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) menganugerahi gelar kepada Presiden ketiga RI, BJ. Habibi sebagai bapak
kemerdekaan Pers Indonesia sekaligus penegak hak asasi Manusia.

Anda mungkin juga menyukai