Anda di halaman 1dari 3

LAPORAN BACAAN

OLEH: Mahadewi Putri Sutisna

Identitas Buku

Judul : Sejarah Pembangunan Pers Pancasila


Penulis : Tribuana Said
Penerbit : Haji Masagung
Cetakan : Pertama, 1988
Tebal : XII, 272

I. Pendahuluan

Bab kedua dari buku Sejarah Pembangunan Pers Pancasila karya Tribuana Said
membahas sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia secara umum. Bab kedua ini diawali
dengan kedatangan penjelajahan dari Barat ke Nusantara dan beberapa perlawanan
kedaerahan yang dilakukan oleh para pemimpin perlawanan. Pembukaan mengenai awal
mula penjajahan di Indonesia ini dijelaskan dengan cukup panjang meskipun tidak ada
sangkut pautnya dengan pers. Pembagian selanjutnya langsung masuk ke tahap baru. Pada
pertengahan abad ke-18, pers baru mulai berkembang di Hindia Belanda setelah
diperkenalkan surat kabar oleh Belanda. Penerbitan pers dilakukan oleh pihak Belanda dan
tetap diawasi dengan ketat. Surat kabar pertama terbit tahun 1744 dan ditutup tahun 1746
dengan nama Bataviase Nouvelles.
Memasuki abad ke-19, semakin banyak surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa selain
Belanda. Terdapat surat kabar berbahasa Jawa dan Melayu yang terbit di berbagai daerah
dalam pengawasan ketat Pemerintah Kolonial. Karena pengekangan itu banyak kontributor
surat kabar yang mendapat hukuman terkait perkara penghinaan dan penghasutan. Hukuman
dari pemerintah kolonial bisa sampai berupa pengusiran dan pengasingan. Di masa ini juga
banyak tokoh-tokoh yang sudah terlibat dalam penerbitan surat kabar. Sosok-sosok seperti
Wahidin Sudirohusodo, Abdul Muis, Ki Hajar Dewantara, R.M. Tirtoadisuryo dan masih
banyak lagi mulai menjadi penggerak Pergerakan Nasional melalui tulisan mereka.
Penggambaran perkembangan pers pada buku ini lebih menekankan ke surat kabar apa saja
yang terbit pada masa itu. Banyak potongan-potongan surat kabar abad ke-19, penyebutan
nama surat kabar yang cukup lengkap namun tidak terlalu eksplanatif.

II. Isi

Memasuki abad ke-20 mulai lahir banyak organisasi yang menjadi awal dari Kebangkitan
Nasional. Salah satunya adalah organisasi Budi Utomo yang berdiri pada tanggal 20 Mei
1908. Selanjutnya mulai banyak organisasi nasional lain yang lahir dan menjadi bagian dari
Pergerakan Nasional. Pembentukan berbagai organisasi ini dan penjelasan mengenai tujuan
mereka juga dijabarkan dengan cukup panjang dalam buku ini. Banyak juga organisasi
pemuda yang berdiri serta tokoh-tokoh berpengaruh dari setiap organisasi. Perhimpunan
Indonesia (PI) yang berbasis di Eropa juga menerbitkan majalah mereka sendiri dengan
nama Hindia Poetera dan kemudian berganti menjadi Indonesia Merdeka. Para aktivis PI
juga banyak mengirimkan tulisan mereka surat kabar di Indonesia. Dari luar Indonesia pun,
Pergerakan Nasional tetap berjalan melalui para pelajar di Eropa. Kembalinya para aktivis
ini ke Indonesia kemudian akan semakin memacu perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Semangat persatuan makin membara dengan diadakannya Kongres Pemuda di Jakarta pada
tahun 1928 yang menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda.
Dengan berlakunya liberalisasi di Hindia Belanda, makin banyak wartawan Indonesia
yang menerbitkan surat kabar sendiri. Akan tetapi, bukan berarti penerbitan pers berlangsung
bebas tanpa hambatan. Masih ada kebijakan Persbreidel Ordonantie yang mengancam
kebebasan pers. Selain surat kabar Indonesia ada juga surat kabar Belanda dan Cina yang
perbedaannya tidak hanya sekadar bahasa. Pers Indonesia sangat menekankan pergerakan
kebangsaan sebagai sarana utama perjuangan kemerdekaan. Disebutkan bahwa awal mula
pers Pergerakan Nasional dimulai pada tahun 1908. Peranan pers dalam perjuangan
kemerdekaan juga bisa dianggap berjalan dalam tiga tahap, pertama, tahap kebangkitan
nasional (1908), kedua, penegasan perjuangan kemerdekaan (setelah 1928) dan ketiga adalah
masa Jepang. Pers nasional pertama adalah Medan Prijaji terbitan tahun 1907 oleh R.M.
Tirtoadisuryo. Setelah kelahiran Budi Utomo, pers nasional makin menjamur hingga ke
seluruh Indonesia termasuk beberapa penerbitan di pulau Sumatera dan Kalimantan.
Redaksional menjadi sangat penting bagi penerbitan surat kabar. Penggunaan kata
“merdeka” makin banyak digunakan sebagai nama surat kabar. Koran Benih Merdeka dari
terbitan tahun 1916 dari Medan merupakan koran pertama dengan kata merdeka di judulnya.
Ada juga Sinar Merdeka terbitan tahun 1919 di Padang Sidempuan oleh Parada Harahap.
Selain kata “merdeka”, istilah-istilah lain seperti “rakyat” dan “Indonesia” juga makin marak
terbit. Beberapa contohnya adalah surat kabar Sora Mardika (1920), Sora Ra’jat Merdika
(1931), dan Soeloeh Ra’jat Indonesia. Pergerakan politik yang semakin radikal mendorong
pers yang semakin berkembang baik secara kualitatif mau pun kuantitatif. Seruan melalui
pers makin menunjukkan arah media massa Indonesia saat itu yang berfokus pada
perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia. Tahun 1929 juga sempat terbit koran Cina
pertama yang menyokong kemerdekaan Indonesia, yaitu surat kabar Sin Tit Po oleh Liem
Koen Hian. Dua surat kabar yang sangat terkenal pada masa Pergerakan Nasional adalah
Fikiran Ra’jat di Bandung dan Daulat Ra’jat di Jakarta. Hal yang menarik perhatian banyak
orang dari dua surat kabar ini adalah banyak dimuatnya polemik politik antara Ir. Sukarno
dan Drs. Mohammad Hatta mengenai pandangan mereka. Soekarno banyak menulis di
Fikiran Ra’jat sedangkan Hatta banyak menulis di Daulat Ra’jat. Karena pendukung
keduanya dalam lingkup organisasi mau pun masyarakat luas sama kuatnya, polemik
pandangan mereka juga sangat berpengaruh. Meskipun orientasi dari pemberitaan surat
kabar adalah kebebasan dari penjajahan menuju Indonesia merdeka, tetap saja pandangan
para tokoh sangat beragam. Berbagai surat kabar ini menjadi media bagi curahan pemikiran
para tokoh-tokoh ini.
Antara tahun 1920—1927, gejolak politik dan pemberontakan semakin panas sehingga
pemerintah kolonial semakin tegas dalam menindak. Banyak tokoh pergerakan yang
dikekang bahkan sampai dibuang ke suatu tempat, termasuk di dalamnya para jurnalis dan
wartawan. Pers tetap menjadi media utama pemberitaan oleh pihak nonkooperatif dalam
menyebarkan semangat pergerakan nasional. Kaum kooperatif juga menggunakan surat
kabar untuk menarik perhatian rakyat walau tidak mengalami penangkapan dan pembuangan
seperti kaum nonkooperatif. Setelah Sumpah Pemuda, media cetak semakin dimanfaatkan
sebagai sarana penyebaran ide-ide persatuan, kebangsaan, dan kemerdekaan. Akhirnya pada
tahun 1931, Belanda mengeluarkan Persbreidel Ordonantie yang memberi wewenang
gubernur jenderal untuk mengeluarkan larangan terbit bagi suatu surat kabar. Banyak penulis
dan wartawan yang menjadi korban atas kebijkakan ini. Semakin maraknya kekangan dari
pemerintah kolonial tidak menyurutkan semangat nasionalisme rakyat. Demi memperkuat
persatuan para wartawan dan jurnalis, banyak perhimpunan profesi yang berdiri. Organisasi
wartawan Persatoean Djoernalis Indonesia didirikan tahun 1933 disusul dengan pendirian
kantor berita Antara yang dirasa dibutuhkan untuk pergerakan.
Pada masa pendudukan Jepang, pergerakan melalui pers menjadi terhambat. Melalui
Osamu Seirei no. 16, tidak boleh ada penerbitan tanpa seizin Jepang. Para jurnalis berubah
menjadi pegawai yang hanya bisa menulis apa yang pemerintah Jepang ingin. Surat kabar
yang sudah ada antara diberangus atau diubah namanya. Peraturan sensor sangat ketat dan
harus mendapatkan dua kali pemeriksaan, satu dari petugas sensor kemudian dioper ke
petugas Domei untuk dinilai kelayakan penyebarannya. Pergerakan para wartawan dan
jurnalis makin tersembunyi dan tersirat dalam tulisan-tulisan mereka yang masih berusaha
menyebarkan semangat kemerdekaan. Pergerakan sembunyi-sembunyi di masa Jepang
kemudian menjadi salah satu pendorong nilai-nilai persatuan dan kemerdekaan melalui
gerakan bawah tanah.

III. Kesimpulan

Bab kedua buku Sejarah Pembangunan Pers Pancasila karya Tribuana Said memberikan
banyak informasi mengenai sejarah dan perkembangan pers yang bermunculan sejak
dimulainya pergerakan nasional. Meskipun tidak terlalu banyak memberikan eksplanasi,
banyak sekali nama surat kabar dan majalah yang disebut beserta tampilannya. Judul-judul
surat kabar di berbagai daerah disebutkan dengan cukup lengkap sehingga tidak terbatas
pada penerbitan di pulau Jawa. Banyaknya tokoh yang berperan juga bisa menjadi acuan
untuk dipelajari lebih lanjut dalam sumber-sumber lain. Hal yang tetap ditekankan adalah
pentingnya peran pers dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai