Anda di halaman 1dari 76

BAB I

PEMBAHASAN

A. Lahirnya Pers Orde Lama

Sumber : https://www.berbagaireviews.com/2019/09/orde-lama-pengertian
sistem.html?m=1

Pers menjadi bagian penting dalam perjalanan sebuah bangsa. Pers pada masa sebelum orde
lama merupakan propaganda yang efektif bagi para pejuang untuk cita-cita Indonesia, hampir
seluruh organisasi pergerakan nasional pada masa itu menggunakan pers sebagai sarana untuk
menarik pendapat umum serta menumbuhkan rasa naisonalisme dikalangan masyarakat.
Kemudian memasuki pemerintahan orde lama pers memiliki peranan yang berbeda
dibandingkan masa sebelumnya. Pada masa orde lama pers dibagi ke dalam dua masa yaitu
masa Demokrasi Liberal dan masa Demokrasi Terpemimpin.
Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat
sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari parpol.
Beberapa partai politik memiliki media atau koran sebagai corong partainya. Pada masa ini,
pers dikenal sebagai pers partisipan.
Keberadaan pers pada masa ini dilandasi oleh kosntitusi Indonesia serikat dan UUDS. Dalam
konstitusi RIS pasal 19 disebutkan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat. Kemudian isi pasal ini dicantumkan kembali dalam UUDS 1950
mencerminkan pasang surut kehidupan politik, namun kebebasan pers dalam berpendapat
seharusnya tetap ada dalam konstitusi1.
Selain alat propaganda, para pejuang kemerdekaan Indonesia juga menggunakan pers sebagai
alat perjuangan. Pada era itu lahir juga Bintang Timur, Bintang Barat, dan Java Bode. Pada
masa pendudukan Jepang, koran-koran yang terbit semasa Belanda dilarang. Walupun begitu,
1
Hasan, Pengertian dan Sejarah Pers http://hasangunawan23-persblogspot.co.id diunduh tanggal 06 September
2019.

1
terdapat lima koran yang mendapat izin terbit, yakni Asia Raja, Tjahaya Sinar Baru, Sinar
Matahari, dan Suara Asia2.

Pemerintah juga menetapkan dibidang pers yang sifatnya positif. Pemerintah membentuk
dewan pers yang terdiri dari orang-orang persurat kabaran, cendekiawan, serta pejabat
pemerintah. Adapun dewan ini mempunyai tugas:
1. Pengertian undang-undang pers kolonial
2. Pemberian dasar sosial ekonomis yang lebih kuat pada pers Indonesia.
3. Peningkatan mutu jurnalisme Indonesia.

Sumber : https://www.duniapelajar.com/2019/09/07/otonomi-daerah-pada-masa-orde-lama/
Pers orde lama terbagi menjadi dua periode, tetapi seiring kembalinya bentuk negara dari
negara federal menjadi negara kesatuan maka dimulailah pada masa ini sitem demokrasi
liberal di Indenesia3. Pers pada masa demokrasi liberal ini merupakan suatu masa dimana pers
di Indonesia mengalami masa kebebasan yang begitu besar, setiap orang asal memiliki modal
dapat memiliki surat kabar, sehingga ia dapat memiliki kebebasan untuk mengeluarkan
pendapatnya, tanpa harus terlebih dahulu mengurus perizinan.
Pada masa demokrasi liberal ini dapat digambarkan sebagai suatu lembaran hitam dalam
sejarah pers kita, karna untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat unumu, pers kita
yang pada umumnya mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan menyalahh
gunakan “freedom of the press”, kadangkala melampaui batas-batas kesopanan. Malahan
mendekati cara-cara yang biasanya digunakan oleh pers dinegara liberal seperti Amerika
Serikat4.

2
Mahi M. Hikmat, Etika dan Hukum Pers: Menghgirup Kebebaasan Berhindar Dari Penodaan Terhabat
Martabat Agama.Bandung: Batic Press, 2011. Cet ke-i hlm 32.
3
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia (Triyinco: Jakarta,1976). Hlm.46.
4
Tribuana Said. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988)
hlm.86

2
Para wartawan kita dimasa liberal ini banyak dihinggapi oleh jiwa liberalistis dan penyakit
sinisme. Presiden Soekarno sendiri menkonstatir timbulnya lima macam krisis pada
masyarakat kita dimasa ini, yaitu krisis kewibawaan, krisis, politik, krisis pandangan dalam
angkatan bersenjata dan krisis moril5.
Pada masa Demokrasi liberal ini koran-koran sangat banyak bermunculan mulai dari surat
kabar Belanda, seperti Java Bode, de Locomotief, Algemeen Indish Dagblad de Preanger
Bode, Nieuwgier dan Nieuwe Corant. Koran-koran Belanda tersebut diberikan kebebasan
untuk mengeluarkan segala macam pendapat, seperti dalam masalah Irian Barat banyak surat
kabar Belanda, mendukung kebijaksanaan pemerintah Belanda.

Sumber:https://nasional.kompas.com/read/2017/06/28/14101551/52.tahun.harian.kompas.dar
i.koran.hitam.putih.ke.era.multimedia?page=all

Selain itu pada masa ini surat kabar mengalami oplah yang cukup besar, namun demikian
oplah yang cukup besar ini adalah bukan oplah surat kabar dalam bidang politik, ekonomi,
dan lain-lain. Namun ternyata ialah surat kabar yang berlatar belakang berbau porno, seks,
dan lain-lain. Sementara surat kabar politik, hukum, dan ekonomi kalah telak6. Karena pada
masa itu masyarakat lebih tertarik pada hal yang berbau sensualitas dan seks, akibatnya
banyak surat kabar yang mengalami kelesuan dan banyak yang kemudian gulung tikar.

Pada zaman Demokrasi Liberal ini juga ada gejala-gejala atau pertanda yang menunjukkan
bahwa waktu itu pers banyak dibuat untuk membuat fitnah, mencaci maki, menjatuhkan
martabat seseorang atau keluarga, tanpa memikirkan ukuran-ukuran sopan santun dan
tatakrama. Justru karenanya orangpun lalu saling bertanya sampai dimana kebabasan pers
dapat dilaksanakan, dan bila tidak ada batasnya, niscaya merupakan anarki7.

5
I.N.H Soebagijo. Sejarah Pers Indonesia(Jakarta: Dewan pers, 1977). Hlm.97
6
I.N.H Soebagijo. Sejarah Pers Indonesia(Jakarta: Dewan pers, 1977). Hlm 98
7
Tribuana Said. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988)
hlm.87
3
Hingga tahun 1957 pers Indonesia mengalami periode kebebasan pers, namun setelah
pemberontakan PRRI, dan Permesta, serta kegagalan kontituante merancang Undang-Undang
Dasar baru, dan dekrit Presiden Sukarno. Maka kemudian mulai muncul pembredelan
terhadap beberapa majalah yang dinilai berbahaya. Dengan latar belakang kondisi politik dan
keamanan tersebut berdasarkan ketentuan SOB, penindakan keras yang meningkat terhadap
pers dengan sendirinya tidak dapat terhindarkan. Pada bulan September 1957, tidak kurang
dari 13 penerbitan pers di Jakarta terkena pembredelan sekaligus. Mereka adalah Harian
Rakyat, Pedoman Indonesia Raya, Bintang Timur, Keng Po, Djawa Baru, Merdeka, Pemuda,
Jawa Bode, Abadi, dan Kantor Berita Antara INPS serta Aneta 8.

Pada bulan April 1958, pemerintah melarang semua koran berbahasa China. Di Medan,
koran-koran yang ditutup adalah The Sumatra Times, New China Times, Sumatra Bin Poh,
Hwa Choa Jit Poh, dan Democratic Daily News. Di Ujung Pandang, terdapat empat surat
kabar: Kuo Min-Tang, Chiao Seng Phao, Daily Chronicle dan Daily Telegraph. Puncaknya
ialah dikeluarkannya dekrit presiden oleh Presiden Soekarno.

Setelah Presiden Soekarno mengumumkan dekrit kembali ke UUD 1945 tanggal 5 Juli 1959,
terdapat larangan kegiatan politik, termasuk pers. Persyaratan mendapatkan SIT (Surat Izin
Terbit) dan Surat Izin Cetak diperketat. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang pada saat itu amat menaruh perhatian pada pers. PKI memanfaatkan
para buruh, termasuk karyawan surat kabar untuk melakukan apa yang dinamakan slowdown
strike, yakni mogokk secara halus. Dalam hal ini, karyawan dibagian setting memperlambat
kerjanya, sehingga banyak kolom surat yang tidak terisi menjelang deadline (batas waktu
cetak). Akhirnya kolom kosong itu diisi iklan gratis sebagaimana yang dialami oleh
Soerabaja Post dan harian Pedoman di Jakarta. Pada masa inilah sering terjadi polemik
antara surat kabar yang pro PKI dan yang anti PKI9.

Masalah Utama dalam masa Orde Lama ini ialah keterbelakangan dalam sektor sektor
pembangunan percetakan pers, dimana sejak tahun 1952 hingga 1964 pemerintah hanya
mendirikan beberapa perusahaan percetakan. Karena kebanyakan mesin cetak yang ada ialah
peninggalan Belanda dan Jepang10.

Masa orde lama ini pemeritahan Soekarno mulai cenderung condong untuk bersahabat dengan
negara-negara komunis atau negara-negara blok Timur. Maka akibatnya Partai Komunis
Indonesia (PKI) mengalami masa kedigdayaan karena senantiasa disokong oleh pemerintah.
Organ-Organ pers PKI dan pendukungnya seperti Harian Rakyat, Bintang Timur, Wahana
Bhakti di Jakarta, kemudian ditambah dengan Gelora Indonesia dan Kebudayaan Baru yang
juga terbit di Ibukota, belum terhitung sejumlah mingguan Terompet Masyarakat di Surabaya;
8
I.N.H Soebagijo. Sejarah Pers Indonesia(Jakarta: Dewan pers, 1977). Hlm 98
9
Elvirano Ardianto. DKK. Komunikasi Massa Suatu Pengatar Edisi Revisi. Simbiosa Rekatama Media. Hlm.
108-109
10
I.N.H Soebagijo. Sejarah Pers Indonesia(Jakarta: Dewan pers, 1977). Hlm 78

4
Harian Harapan dan Gotong Royong di Medan; dan di berbagai kota lainnya, dengan
sendirinya ikut memanaskan dan mematangkan situasi revolusioner11.

Taktik ofensif PKI yang radikal semakin membuatnya dekat dengan Presiden Soekarno
seperti dalam masalah Irian Barat serta konfrontasi dengan Federasi Malaysia, ketegangan
dengan Amerika Serikat telah dimanfaatkan oleh PKI untuk mendapatkan dukungan umum 12.
Selain itu di desa-desa, anggota PKI melancarkan aksi agitasi dan propaganda memerangi
tujuh desa, akibatnya dibeberapa tempat sering terjadi kerusuhan diantara rakyat dan ABRI
serta orang-orang yang terhasut oleh PKI13.

Taktik ofensif PKI juga mendapat perlawanan dari kalangan pers anti PKI. Perlawanan
terhadap PKI tersebut berkisar pada lahirnya manfesto kebudayaan, aksi boikot film-film
barat, dan masalah penyederhanaan partai. Pada waktu itu terjadi pula polemik sengit antara
Berita Indonesia dan Merdeka serta koran-koran anti PKI lainnya dengan Harian Rakyat dan
penyokongnya bemula dari pandangan presiden yang menyatakan tidak puas dengan sistem
kepartaian yang ada dan menginginkan rektruisasi. Khawatir dengan hal iu PKI menyerang
pihak-pihak yang menyatakan setuju dengan usulan itu.

Pertentangan dalam jajaran pers Indonesia meluaskan sorotan dan kesadaran masyarakat
terhadap ofensif PKI diberbagai bidang, termasuk pers. Penyusupan PKI dan penyokongnya
diorganisasi-organisasi pers seperti PWI, SPS, Antara dan lain-lain menimbulkan kecemasan
dikalangan luas. Setelah pemerintah menutup sejumlah koran anti PKI, PKI justru
memperbesar jaringan penerangan dan propagandanya dengan menerbitkan koran-koran
baru14.

Sementara itu membendung taktik ofensif PKI maka pada 1 September 1964 didirikan Badan
Pendukung Sukarnoisme (BPS) di lingkungan surat kabar, radio dan televisi, anggota-anggota
BPS adalaah Hismawara Darmawati, Joenoes Lubis, Asnawi Idris, dan lain-lain. Koran-koran
yang merupakan simpatisan PKI terdiri dari Pikiran Rakyat, Suara Medeka, Tempo,
Waspada, Mimbar Umum, dan lain-lain.

Pemerintah waktu itu, mendapat tekanan dari orang-orang komunis yang duduk dalam
pemerintahan, sehingga memutuskan untuk dalam bulan Februari 1965, melarang semua
aktifitas dan mencabut izin terbit koran-koran penyokong BPS, namun demikian golongan-
golongan anti BPS tetap belum puas mereka menuntut diadilinya gembong-gembong BPS
karena merupakan gembong-gembong CIA.

11
Tribuana Said. Sejarah Pers Nasional dan pemangunan Pers Pancasila. (Jakarta:CV Haji Masagung,1988).
Hlm 89
12
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia (Triyinco:Jakarta,1976). Hlm 105
13
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia (Triyinco:Jakarta,1976). Hlm 106
14
Semma, Pers Indonesia. (Jakarta: LP3ES, 2008). Hlm 109

5
Adapun lawan politik BPS adalah koran-koran PKI/PNI seperti Harian Rakyat, Bintang
Timur, Suluh Indonesia, dan lain-lain. Sepanjang tahun 1964 saling menyerang di dalam pers
nasional terjadi antara Merdeka yang mengecam front Nasional dan Suluh Indonesia yang
mendukung front Nasional15. Selain itu muncul juga fitnahan bahwa anggota BPS adalah agen
CIA akibatnya BPS kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Desember 1964,
akibatnya para wartawan yang masuk ke dalam BPS dipecat dari keanggotaan mereka dalam
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), kemudian surat-surat kabar yang bergabung ke dalam
BPS dibekukan16.

Sumber : http://www.nu.or.id/post/read/39996/duta-masjarakat

Wartawan-wartawan anggota BPS diproses di kejaksaan seperti Sumantoro, Joenoes Lubis,


Sajuti Melik, Asnawi Idris, Zein Efendi. Namun demikian keadaan berubah drastis setelah
terjadi peristiwa G 30 S PKI, hal yang justru mulai sebaliknya. Orang-orang PKI mulai
banyak yang kemudian dibunuh atau dipenjara. Sejak saat itu mulai masuk kepada masa baru,
yaitu orde baru.

Sejarah lahirnya pers di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari lahirnya idealisme perjuangan
bangsa mencapai kemerdekaan. Di zaman revolusi fisik, lebih terasa lagi betapa pentingnya
peranan dan eksistensi pers sebagai alat perjuangan. Pada 9 februari 1946, insan pers

15
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 79.
16
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 80.

6
Indonesia memperoleh wadah dengan terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI), kemudian 8 juni 1946, tokoh-tokoh pers nasional mendirikan Serikat Penerbit
Suratkabar (SPS) di Yogyakarta17.

Sebenarnya menurut catatan Tribuana Said, SPS telah lahir sebelum 6 juni 1946, tepatnya
empat bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada 9 Februari 1946.
Karena peristiwa itulah orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam”.
Di balai “Sono Suko” di Surakarta pada 9-10 Februari itu wartawan dari seluruh Indonesia
berkumpul dan bertemu. Yang datang tokoh-tokoh pers yang memimpin surat kabar, majalah,
wartawan pejuang dan pejuang wartawan. Pertemuan besar yang pertama itu memutuskan:

1. Disetujui membentuk organisasi wartawa Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan


Indonesia (PWI), diketuai Mr. Sumanang Suryowinoto dengan sekertaris Sudardjo
Tjokrosisworo.
2. Disetujui membentuk sebuah komisi beranggotakan
a. Sjamsudin Sutan Makmur (Harian Rakjat, Jakarta)
b. B.M Diah (Merdeka, Jakarta)
c. Abdul Rachmat Nasution (kantor berita Antara, Jakarta)
d. Ronggodanuksukmo (Suara Rakjat, Modjokerto)
e. Mohammad Kurdie (Suara Merdeka, Tasikmalaya)
f. Bambang Suprapto (Penghela Rakjat, Magelang)
g. Sudjono (Berdjuang, Malang)

Kemerdekaan Indonesia mendorong pesatnya perkembangan pers di Indonesia. Pemerintah


Indonesia mendirikan Radio Republik Indonesia sebagai media penyiaran. Menjelang
penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah Indonesia memasukkan proyek televisi. Sejak
tahun 1962, Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih18.

Pada 1 Oktober 1965, panglima Daerah Militer Jakarta Raya, Jendral Umar
Wirahadikusumah, mengizinkan dua harian ABRI untuk terbitan, yaitu harian berita Yudha
pimpinan Kepala Pusat Penerangan AD Ibnusubroto bersama wartawan asal Harian Berita
Indonesia dipimpin oleh S.H. Wibowo dan Angkatan Berasenjata yang dipimpin kepala Pusat
Penerangan ABRI Sugandhi. Terbit juga harian Duta Masyarakat pemimpin H. Mahbub
Djunaidi dan Duta Revolusi (keduanya media NU), Kompas pimpinan PK Ojong dan Jakob
Oetama (didukung partai Katolik). Sinar Harapan pimpinan JCT Simorangkir, H.G.
Rorimpandey, dan lain-lain (didukung Parkindo). Para wartawan harian Merdeka memperoleh
izin menerbitkan surat kabar API dengan berafiliasi pada partai IPKI (tetapi akhir November
1965 Departemen Penerangan mencabut izin terbitnya). Harian-harian buku antara lain adalah
Harian Kami pimpinan Nono Anwar Makarim dan Zulharmans, Karya Bakti pimpinan Syech
Marhaban. Kantor Berita Nasional Indonesia (KNI) yang baru juga mulai berkiprah. Merdeka

17
Mahi M. Hikmat, Etika dan Hukum Pers: Menghirup Kebebasan Berhindar dari PenodaanTerhadap Martabat
Agama. Bandung: Batic Press, 2011 .Cet ke-I. Hlm 33.
18
Mahi M. Hikmat, Etika dan Hukum Pers: Menghirup Kebebasan Berhindar dari PenodaanTerhadap Martabat
Agama. Bandung: Batic Press, 2011 .Cet ke-I. Hlm 33.

7
pimpinan B.M Diah, Indonesian Observer pimpinan Herawati Diah, Soetomo Satiman dan
Tribuana Said dan Berita Indonesia dipimpin oleh Sumantoro diterbitkan kembali, ditambah
koran-koran baru seperti Suluh Marhaen pimpinan Minai Shopian, harian Berita Djakarta,
Operasi pimpinan Bachtiar Djamily, mingguan Populer pimpinan T. Yousli Syach yang
kemudian menerbitkan harian Media Indonesia (terakhir dipimpin Surya Paloh)19.

Di Surabaya, terbit lagi harian Surabaya Post pimpinan A.Azis, Djawa Post pimpinan
S.Tedjo. Suara Rakjat pimpinan Suprapto. Di Ujung Pandang tercatat surat kabar Pedoman
Rakyat pimpinan L.E. Manuhua, di Semarang terbit kembali Suara Merdeka pimpinan
Haetami, di Yogyakarta Kedaulatan Rakyat pimpinan Samawi dan M. Wonohito
(sebelumnya sempat bernama Dwikora). Di Medan, penerbit Waspada mendirikan harian
Kesatuan pimpinan Ani Idrus sebelum kembali menerbitkan kembali Waspada. Juga terbit
Mimbar Uumum pimpinan Arif Lubis dan koran bari Proklamasi pimpinan T.D. Pardede. Di
Bandung Sakti Alamsjah dan Atang Ruswita menerbitkan kembali Pikiran Rakyat. Ini adalah
sebagian kecil dari penerbitan pers yang tumbuh antara 1966 dan 1982. Pada tahun 1966
terdaftar sebanyak 130 penerbitan pers. Pada 1982 jumlah harian turu menjadi 95, sedangkan
yang mampu terbit sesuai ketentuan perizinan hanya 51 harian. Menjelang akhir orde baru
terdaftar sebanyak 71 harian20.

Selain surat kabar, bentuk pers lainnya yaitu majalah. Sejarah keberadaan majalah sebagai
media masa di Indonesia dimulai menjelang dan pada awal kemerdekaan Indonesia. Di
Jakarta pada tahun 1945 terbit majalah bulanan dengan nama Pantja Raja pimpinan
Markoem Djojohadisoeprapto (MD) dengan prakata dari Ki Hajar Dewantoro selaku menteri
pendidikan pertama RI. Di Ternate, pada bulan Oktober 1945 Arnould Monutu dan Dr.Hassan
Misouri menerbitkan majalah mingguan Menara Merdeka yang memuat berita-berita yang
disiarkan RRI. Menara Merdeka berani dan tegas mengemukakan kaum republikan setempat
di tengah keganasan serdadu Belanda, juga menyerukan persatuan Indonesia. Menara Medeka
bertahan sampai tahun 1950. Majalah-majalah lainyang terbit setelah kemerdekaan, antara
lain: Pahlawan (Aceh); Majalah Sastra Arena, yang dipimpin oleh H.Usmar Ismail; majalah
Sastrawan (Malang), yang diterbitkan oleh Inu Kertapati; dan majalah Seniman (Solo),
pimpinan Trisno Sumardjo, dan penerbitnya Seniman Indonesia Muda. Siau Giok Tjan
menerbitkan majalah bulanan Liberty21.

Pada era Orde Lama, seperti halnya surat kabar nasib majalah pun tidak kalah tragisnya disaat
Peperti (Penguasa Perang Tertinggi) mengeluarkan pedoman resmi untuk penerbit surat kabar
dan majalah diseluruh Indonesia. Pedoman itu intinya adalah surat kabar dan majalah wajib

19
Mahi M. Hikmat, Etika dan Hukum Pers: Menghirup Kebebasan Berhindar dari PenodaanTerhadap Martabat
Agama. Bandung: Batic Press, 2011 .Cet ke-I. Hlm 34
20
Mahi M. Hikmat, Etika dan Hukum Pers: Menghirup Kebebasan Berhindar dari PenodaanTerhadap Martabat
Agama. Bandung: Batic Press, 2011 .Cet ke-I. Hlm 34-35
21
Elvirano Ardianto. Dkk. Konumikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Simbiosa Rekatama Media. Hlm
117-118.

8
menjadi pendukung, pembela dan alat penyebar “Manifesto Politik” yang pada saat itu
menjadi haluan negara dan program pemerintah, namun namun pada masa ini perkembangan

Sumber : https://www.duniapelajar.com/2012/07/20/otonomi-daerah-pada-masa-orde-lama/

majalah tidak begitu baik, karena relatif sedikit majalah yang terbit. Sejarah mencatat majalah
Star Weekly, serta majalah mingguan yang terbit di Bogor, Gledek, yang hanya berumur
beberapa bulan saja22.

B. Pertumbuhan Pers Orde Lama


Majalah mingguan Pesat terbitan Yogyakarta, edisi 16 Agustus 1950, memuat sambutan
Presiden RI Pertama, Soekarno, dalam tulisan tangan berujudul “Bersatulah Kembali!” Isinya
adalah sebagai berikut:
“Dua kali djiwa revolusi telah menjelamatkan bangsa kita. Pertama kalinja pada waktu
proklamasi. Kedua kalinja pada waktu gerilj. Kedua-dua kalinja berbentuklah penjelamatan
ini satu persatuan antara kita dengan kita, dengan tiada perpetjahan dan pertentangan
antara kita dengan kita.
Pada saat kita merajakan lima tahun usia kemerdekaan kita, kita saja memperingatkan
bangsaku supaya kembali kepada djiwa persatuan itu. Diwaktu achir-achir ini, persatuan itu
kadang-kadang dilupakan; falsafah pertentangan dan falsafah perbedaan memuntjulkan
kepalanja. Padahal perjuangan nasional kita belum selesai! Irian belum kembali keharibaan
ibu; soal-soal lain masih harus kita perdjoangkan penjelesaianja!
Bangkitlajh jiwa revolusi itu buat ketiga kalinja! Bangkitlah bentuknja jang aseli: persatuan,
persatuan, dan sekali lagi persatuan!”
Demikian Soekarni menyerukan kepada bangsanya. Pada halaman yang sama, pemimpin
redaksi Pesat sendiri, M.I Sajoeti (Sajuti Melik), menulis bahwa proklamasi kemerdekaan
22
Elvirano Ardianto. Dkk. Konumikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Simbiosa Rekatama Media. Hlm
118.

9
Indonesia tidak mengenal kompromi. Tetapi yang terjadi kemudian tidak ditentukan oleh
proklamasi yang tak kenal kompromi itu, melainkan oleh anasir-aasir yang terdapat di
dalamnya, yaitu perimbangan kekuatan baik nasional maupun internasional. Akibatnya adalah
serangkaian kompromi. Sejarah, tulis Sajuti Melik, bergerak menurut perubahan imbangan
kekuatan, dan masyarakat Indonesia bergolak karena perubahan imbangan kekuatan itu.
Sesudah negara kesatuan berdiri, masyarakat masih akan bergolak terus, karena tujuan
kemerdekaan 100% dan keadilan sosial 100% belum tercapai23.

Sumber: Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila halaman 85

Sajuti Melik menulis pikirannya tersebut setelah pembubaran negara-negara federal di


Indonesia tercapai. Bulan-bulan sebelumnya golongan Republiken, terutama masyarakat di
negara-negara federal iu sendiri, terus mendesak pemerintah pusat supaya memulihkan RI di
seluruh tanah air. Berbagai gerakan unjuk perasaan diadakan untuk menunjukkan keppada
semua pihak bahwa rakyat Indonesia menghendaki negara kesatuan sesuai dengan
Proklamasi 17 Agustus 1945 dan UUD 1945. Di Kota Medan, pemimpin-pemimpi partai dan
organisasi masyarakat serta tokoh-tokoh pers Republik mengadakan Kongres Rakyat untuk
menuntut pembubaran “Negara Sumatera Timur” (NST). Tokoh-tokoh pers Republik, seperti
Mohammad Said, Jahja Jakoeb, Ani Idrus; tokoh-tokoh partai dan masyarakat bekerja sama
menyelenggarakankongres yang berlangsung diawal tahun 1950 itu24.

Memang persetujuan KMB antara Indonesia dan Belanda di kota Den Haag melahirkan
negara Indonesia yang lain dari yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Negara
kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Federal atau Republik Indonesia Serikat (RIS)
yang berdasarkan pada konstitusi RIS, bukan pada UUD 1945. Undang-Undang 1945 yang
ditetapkan pada 18 Agustus 1945 hanya berlaku di wilayah RI yang meliputi sebagian pulau
Jawa dan Sumatera dengan ibu kotanya Yogyakarta. Jakarta adalah ibu kota RIS. Para

23
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 85.
24
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 87
10
pejuang RI tentu menyadari bahwa RIS bertentangan dengan prinsip persatuan-persatuan

bangsa dan tidak sesuai dengan jiwa proklamasi. Sebagian rakyat menilai RIS semata-mata
sebagai kehendak belanda yang harus ditolak25.

Sumber: Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila halaman 87

Beberapa pasal pokok lainnya dalam persetujuan KMB yang juga mengundang pertikaian
adalah:
1. Irian Barat tetap dijajah Belanda.
2. RIS menanggung hutang bekas pemerintah Nederlands-Indie sebesar 4.300 juta gulden.
3. RIS dan Kerajaan Belanda membentuk Uni Indonesia- Belanda yang dikepalai oleh Ratu
Belanda.
4. Bekas tentara KNIL Belanda ditampung dalam kesatuan militer RIS
5. RIS harus menjamin kelangsungan modal, Belanda di Indonesia. Karena itu, segara
setelah pengakuan kedaulatan, rakyat menuntut pembubaran26.

RIS yang berjumlah 16 negara bagian, dan menginginkan pulihnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Mula-mula Negara Jawa Timur dan Madura menggabungkan diridengan
RI, disusul oleh negara-negara baian lainnya, sehingga pada April 1950, di luar RI hanya
tinggal tiga negara bagian, yaitu Negara Sumatera Timur dan Daerah Istimewa Borneo.
Kemudian daerah Minahasa memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur untuk bersatu
dengan RI. Ini diikuti oleh daerah-daerah lainnya. Akhirnya, tepat pada 17 Agustus 1750, RIS
resmi dikubur dan yang tetap tegak hanyalah Republik Indonesia27.Sejumlah kejadian dalam

25
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 88
26
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 88.
27
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 89
11
negeri sesungguhnya telah mempercepat keruntuhan bangunan RIS, seperti dibuktikan di
Sumatera Utara, pimpinan masyarakat bersama rakyat umumnya dihampir semua negara
bagian pada dasarnya tetap setia kepada republik. Mayoritas anggota parlemen dimasing-
masing negara bagian tanpa ragu memilih penyatuan dengan Republik. Tatkala pada akhir
Januari 1950 satu pasukan serdadu KNIL dibawah pimpinanten Belanda bernama Westerling
melakukan teror di kota Bandung, keruntuhan Negara Pasundan tidak dapat dihindarkan lagi.
Di Indonesia Timur, pemberontakan pasukan yang dipimpin Kapten Andi Azis di kota Ujung
Pandang mendorong sejumlah daerah untuk keluar dari Negara Indosesia Timur.
Pemberontakan Soumokil di Ambon atas nama apa yang dinamakan “Republik Maluku
Selatan” Pada tanggal 25 April 1950 lenih melicinkan jalan bagi kehancuran NIT. Seperti
diberitakan oleh pers waktu itu, pada bulan Juni 1950 Dewan Perwakilan RIS telah
merampungkan suatu konstitusi sementara pengganti UUD RIS28

Sumber: Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila halaman 89
Tetapi, Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) yang menjadi landasan kostitusional bagi
tegaknya Negara Kesatuan RI pada 17 Agustus 1950, juga lain dari UUD 1945. Mneurut
UUDS 1950 itu, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem parlementer yang
berdasarkan pemikiran demokerasi liberal. Dalam RI yang berlandaskan UUDS 1950,
presiden dan wakil presiden adalah jabatan konstitusional, sedang pemerintahan eksekutif
berada pada menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. Akibatnya, terjadilah
pertentangan bebas diantara partai-partai, diantara golongan-golongan dalam masyarakat,
termasuk diantara pers29.
Salah satu akibat pertarungan bebas tersebut adalah jatuh bangunnya kabinet. Selama periode
antara tahun 1950-1957, tercatat sebanyak enam kali perubahan kabinet: Kabinet Perdana
Menteri Mohammad Natsir (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951-
Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), Kabinet Ali Sostroamidjojo (Juli

28
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 90.
29
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 90.
12
13
1953-Juli 1955), Kabinet Burhanudin Harahap (April 1955-Maret 1956). Kabinet Ali
Sostroamidjojo kedua (April 1956-Maret 1957). Usia rata-rata keenam kabinet tersebut adalah
13 bulan, dengan rekor usia terpendek enam bulan dipegang oleh Kabinet Natsir30.
Masa ini juga mencatat banyak pergolakan bersenjata dan berbagai tindak kekerasan, atau
seperti dikatakan oleh seorang tokoh parlemen, Dr. Diapari, di Indonesia telah tumbuh suatu
keadaan anarki. Pada 17 Oktober 1952, segolongan tentara dan masyarakat kepartaian
mengadakan demonstrasi untuk menuntut pembubaran parlemen Gerakan tersebut tidak
berhasil, malahan balik menghantam pemimpin-pemimpinnya. Selanjutnya, Kartosuwirjo
memimpin pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat dan Kahar Muzakkar di Sulawesi
Selatan, serta Daud Beureuh di Aceh. Terjadi pergolakan dewan-dewan milter di beberapa
daerah yang memuncak dengan pemberontakan Permesta di Sulawesi (Maret 1957) dan
pemberontakan PRRI di Sumatera Barat (Februari 1958). Untuk mengatasi kemelut politik
dalam negeri, pemerintah menetapkan berlakunya keadaan darurat perang sejak 14 Maret
1948 dan mengambil langkah-langkah untuk menumpas kedua pemberontakan itu dengan
suatu operasi militer31.

Indonesia Raya Masa Pertama

Indonesia Raya terbit sebagai surat kabar di Jakarta pertama kali pada 29 Desember 1949 atau
dua hari setelah persitiwa penandatangan kedaulattan Republik Indonesia oleh Belada tanggal
27 Desember 194932. Pemimpin redakasi yang pertama dijabat oleh Hiswara Darma Putra
bersama dengan Mochtar Lubis, yang saat itu masih bekerja di kantor berita Antara sebagai
redaktur Hubungan Luar Negeri sampai 8 bulan Indonesia Raya terbit. Pemimpin umum
dijabat oleh Juli Effendi bersama Hiswara33.

Susunan pimpinan ini kemudian mengalami perubahan ketika Hiswara dan Juli Effendi
mengundurkan diri. Mochtar Lubis menjadi pemimpin redaksi yang baru sejak Agustus 1950
setelah meninggalkan Antara, sementara Hiswara pindah ke Merdeka tahun berikutnya.
Sedangkan Hasjim Mahdan, menjadi pemimpin umum sejak Oktober 195134.

Dalam tajuk rencana dalam edisi pertamanya dituliskan tekad dan konsepsi diri dari koran
Indonesia Raya.
Tajuk Rencana dalam badan penerbitan ini, tergabung wartawan Indonesia yang
berpendirian merdeka, wartawan yang tidak diikat oleh pendirian partai atau suatu golongn.
Yang dikejar hanyalh tujuan jurnalistik semata yaitu mepertahankan kemerdekaan pers
nasional yang kuat dan bebas dan mempertinggi mutu junalisitk Indonesia sejalan dengan

30
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 92
31
Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta: CV Haji Masagung,1988).
Hlm 92.
32
Abdurrachman Surjomihardjo (ed.), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta: Leknas
LIPI & Departemen Penerangan RI, 1980), hlm. 183
33
Ignatius Hariyanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2006), hlm.
51
34
Abdurrachman Surjomihardjo (ed.), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta:
Leknas LIPI & Departemen Penerangan RI, 1980), hlm185

14
kemajuan dilain lapangan yang kini diperjuangkan oleh segenap bangsa Indoonesia. Oleh
sebab itu, maka pada asasnya Indonesia Raya, berdiri di luar seglaa partai atau aliran
politik, bagi, terutama sekali kebenaran dan objektivitas akan terus menjadi obor dan
pegangan dalam usaha. Kami akan menghindarkan dari politik pemberitaan yang berat
sebelah, yang menguntungkan satu golongan dan merugikan golongan lain. Agitasi yang bisa
meluapkan perasaan dan pikiran rakyat dengan cara membabi buta sedapat-dapatnya akan
dibatasi dan berusaha sungguh-sungguh untuk mendidik rakyat umum berpikir dan
berpandangan cara nuchter, rieel, dan zakelijk. Ini tidak berarti bahwa kami akan berdiam
diri terhadap kelakuan dan tindakan-tindakan yang tidak adil, tidak senonoh dan dianggap
merugikan kepentinagn umum. Terhadap kelakuan-kelakuan yang demikian dari pihak
manapun datangnya kami akan selalu bersikap awas, memberi peringatan dan penghantam
jika dianggap tindakannya sudah tidak bisa dibiarkan sebab paham pers merdeka, bukan
berarti bahwa mesti bersikap menarik diri jika melihat hal-hal yang merugikan.

Juga bukan maksudnya harus tetap bungkam jika da usaha-usaha yang perlu dibantu. Kami
tak segan-segan akan menghalau yang dianggap salah dan merugikan, sebaliknya akan
membantu yang perlu dibantu dan dianggap baik buat kepentingan umum. Dengan cara
begini, menurut paham kami, pers merdeka yang menjadi kejaran semua wartawan yang
berhaluan merdeka akan mempunyai isi dan berarti sebagai aparat yang berguna buat
kebaikan umum dan masyarakat35.

Kehadiran surat kabar Indonesia Raya tidak lepas kaitannya dengan kelompok militer saat
itu terutama para tentara dari divisi Siliwangi yang berupaya menghadapi kekuatan-kekuatan
Belanda yang kehadirannya masih kuat. Misalnya, ide kelahiran Indonesia Raya datang dari
sejumlah tentara dari divisi tersebut untuk membangkitkan semangat republik bagi rakyat dan
juga tentara, terutama upaya untuk mengisi kekosongan setelah alih kekuasaan
dilaksanakan36.

Ide pendirian surat kabar Indonesia Raya disebut oleh Hill37 muncul tiga bulan sebelum
pengakuan kedaulatan oleh Belanda, dan Moctar Lubis sendiri didekati dua minggu sebelum
terjadinya pengakuan kedaulatan. Disebutkan juga oleh Atmakusumah38 bahwa beberapa
tentara yang ikut memberikan dukungan terhadap hadirnya surat kabar yang membawa
semangat republik ini adalah: Mayor Brentel Susilo dari Angkatan Darat, Gubernur Militer
Daan Jahja (pejabat panglima divisi IV Siliwangi sampai akhir 1948), Basarudin Nasution
(Direktur Sekolah Hukum AD), Kolonel Tahibonar Simatupang (pejabat ASAP), Kolonel
Abdul Haris Nasution (KSAD), Letkol S. Parman, perwira staf gubernur militer Jakarta, juru

35
Tajuk Rencana Indonesia Raya, 29 Desember 1949
36
Abdurrachman Surjomihardjo (ed.), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta: Leknas
LIPI & Departemen Penerangan RI, 1980), hlm. 183, 221, 249; juga David T. Hill, Mochtar Lubis: Author,
Editor, And Political Actor, tesis doktor Australian National University, Canberra, 188, hlm 139
37
David T. Hill, Mochtar Lubis: Author, Editor, And Political Actor, tesis doktor Australian National University,
Canberra, 188, hlm 59
38
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 186

15
bicara AD Major Bachtar Lubis (kakak dari Mochtar Lubis), dan Letkol Sutojo
Siswomihardjo, Komandan batalyon VCPM. Bantuan lain juga diberikan oleh Sjah Sjahsam
(adik Sultan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia)39.

Hubungan erat dengan kelompok tentara inilah yang menyebabkan sampai bertahun-tahun
kemudian Indonesia Raya emendapat julukansebagai “koran tentara”. Tetapi Indonesia Raya
bukanlah suara resmi atau milik tentara, walau ia sering disebut “surat kabar” komando
Angkatan Darat, tidak seperti yang terjadi dengan Berita Yudha atau Angkatan Bersenjata
yang terbit pada awal 196540 Namun, diakui bahwa pembagian bantuan keuangan untuk
membeli kertas, biaya percetakan dan gaji karyawan, menyertai dukungan moral dan
perlindungan tentara kepada koran Indonesia Raya. Hal ini tidaklah dipungkiri oleh
pengsuhnya. Disamping itu juga, pimpinan tentara berlangganan semua surat kabar nasional
dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka, dan agar para prajurit memperoleh
bahan bacaan dari kalangan pers republiken. Langganan tetap tentara pada Indonesia Raya
terus berlanjut sampai akhir 195341.

Bagi Mochtar Lubis sendiri, kerjasama yang demikian ia nilai lebih sebagai kesamaan
kepentingan dalam arti personal, bukan institusional. Artinya, bantuan yang diberikan diatas
lebih karena kedekatan sebagai seorang kawan, bukan kerja sama antar lembaga 42. Selain itu,
bantuan tersebut juga dikarenakan Indonesia Raya adalah koran baru, sehingga belum cukup
mampu bersaing dengan koran-koran Belanda yang dicetak pada percetakan besar, juga
dengan koran-koran Tionghoa yang dicetak di pusat-pusat penerbitan peninggalan sebelum
perang43.

Nama Indonesia Raya sendiri berasal dari saran Tengku Sjahril ketika bertandang ke rumah
Mochtar Lubis, tetangganya pada saat surat kabar ini hendak diterbitkan “Daripada susah-
susah , ambil saja nama lagu kebangsaan kita,” kata Sjahril44.

Pada tahun-tahun pertamanya, Indonesia Raya banyak menyajikan berita-berita politik, baru
kemudian dalam perkembangannya, sejak Agustus 1950, berita-berita budaya diarahkan
kepada kehidupan di bidang politik, ekonomi, dan sosial45.

39
Ignatius Hariyanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2006), hlm
54
40
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 186
41
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 185-186
42
David T. Hill, Mochtar Lubis: Author, Editor, And Political Actor, tesis doktor Australian National University,
Canberra, 188, hlm 62
43
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 188.
44
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 189. Namun
menurut Hill ( Mochtar Lubis Mochtar Lubis: Author, Editor, And Political Actor, tesis doktor Australian
National University, Canberra, 188. 60,catatan kaki no. 7), Brentel Susilo menamai demkian setelah berdirinya
Partai Indonesia Raya, dimana pamannya Raden Sutomo menjadi slaah satu pendirinya. Namun koran ini tidak
ada kaitannya dengan partai tersebut, juga tabloid dengan nama yangs ama , yang pernah diterbitkan oleh Partai
Masyumi di Yogyakarta pada 1947-1948. Lihat Soebagidjo IN, Jagat Wartawan Indonesia, (Jakrta: Gunung
Agung, 1981) hlm. 479-480.

16
Indonesia Raya baru melengkapi penerbitannya dengan sebuah mingguan berisi tulisan-
tulisan feature pada 16 Oktober 1955 dengan nama yang berlainan: Masa dan Dunia.
Pemimpin umum dan pemimpin redaksinya sama seperti harian, Hasjim Hamdan dan
Mochtar. Pelaksana teknis dilakukan oleh Sam Soeharto sebagai Direktur Pelaksana.
Mingguan ini terdiri dari delapan halaman dengan format lebih kecil daripada harian yang
mempunyai empat halaman, tetapi sedikit lebih besar dari ukuran surat kabar tabloid yang
umum dikenal. Umur Masa dan Dunia yang cara berlangganannya terpisah dari harian,
hanya enam setengah bulan dan berakhir pada nomor 28, tanggal 29 April 195646.

Tiga bulan kemudian, tepatnya 29 Juli 1956, muncul pengganti Masa dan Dunia yaitu
Minggu Indonesia Raya tanpa melepaskan identitas lama dengan tetap mencantumkan logo
Masa dan Dunia di halaman II. Cara berlangganan penerbitan baru ini dijadikan satu dengan
harian. Berlainan dengan surat kabar mingguan umumnya, Minggu Indonesia Raya bukan
semata-mata media hiburan karena dihalaman perrtamanya dimuat berita-berita aktual. Hanya
dua halaman tengah diisi feature. Sedangkan halaman IV diisi dengan iklan, seperti juga yang
dilakukan pada harian. Formatnya mula-mula sebesar harian dan juga terdiri dari empat
halaman. Tetapi sejak januari 1958, format ini berubah kecil dengan delapan halaman; logo
Masa dan Dunia ditiadakan dan isi keseluruhan umumnya berupa feature. Redaktur
pelaksananya adalah Kartanigtyas Sidharta47.

Dengan mengutip angka-angka yang ditulis Henri Chambert-Loir48, disebutkan bahwa


Indonesia Raya memulai penerbitannya dengan oplah 5.000 eksempplar. Bulan Oktober
1951, pada saat pergantian Pimpinan Umum dari Julli Effendi kepada Hasjim Mahdan, oplah
merosot menjadi 3.500. Tetapi kemudian meningkat terus, terutama pada akhir 1956 sewaktu
terjadi pergerakan di daerah-daerah luar Jawa yang pemberitaannya memenuhi halaman surat
kabar ini. Akhirnya, oplah Indonesia Raya mencapai angka stabil 47.500 eksemplar
menjelang ditutup akhir 195849.

Dengan sumber yang sama, Daniel Dakhidar menunjukkan bahwa puncak oplah yang dicapai
oleh Indonesia Raya pada 1957 sampai dengan pertengahan 1958 mengalami kesulitan
internal dan eksternal50.

Kesulitan eksternal yang menyebabkan terjadinya enam kali pembredelan terhadap koran
Indonesia ini51telah membawa kesulitan finnansial bagi para pengasuhnya. Dari sinilah mulai

45
Henri Chambert-Loir, Indonesia Raya: Suatu Gambaran Keaktulian, terjemahana salah satu bab dari salah
satu tesisi penulis yang sama , Mochtar Lubis: Une Vision de I’Indonesia Contemporaine, (Jakarta: LEKNAS
LIPI, t.t), hlm. 5-6
46
Ignatius Hariyanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2006), hlm.
56
47
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 189-190.
48
Henri Chambert-Loir, Indonesia Raya: Suatu Gambaran Keaktulian, terjemahana salah satu bab dari salah satu
tesisi penulis yang sama , Mochtar Lubis: Une Vision de I’Indonesia Contemporaine, (Jakarta: LEKNAS LIPI,
t.t), hlm. 5-6.
49
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 188. Kompilasi
data oplah koran Indonesia Raya bisa dilihat pada lampiran buku ini.
50
Daniel Dhakidae, The Sate , The Rise Of Capital and The Fall of Political Journalism in Indonesia : Political
Economy Of Indoensia News Industry, tesis doktor Cornell University, Ithaca, New York 199, hlm. 162
17
terjadi perselisihan antara Hasjim Mahdan dan Mochtar Lubis. Hasjim Mahdan ingin agar
Mochtar Lubis memperlunak editorial koran tersebut, namun ditolak oleh Mochtar Lubis 52.
David Hill berpendapat bahwa pada periode pertama Indonesia Raya ada lima isu yang
menjadi sorotan dalam editorialnya53. Tiga isu berkaitan dengan masalah hubungan sipil dan
militer pada waktu itu, yaitu peristiwa 17 Oktober 195254, penahanan Roeslan Abdulghani,
dan peristiwa pergerakan di daerah luar Jawa55. Dua isu lain yang disebut Hill “Tidak
sepenting isu yang lain, tetapi cukup untuk menggambarkan karakter wartawan Indonesia
Raya”, yaitu peristiwa pernikahan Presiden Soekarno dengan Hartini, serta akses
penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika berupa penyediaan “Komite Ramah Tamah”, yang
ditulis oleh Indonesia Raya sebagai prostitusi terselubung56.

Atmakusumah sambil mengutip Herbert Feith menyebutkan bahwa Indonesia Raya


dibesarkan pada tahun ketika pelaksanaan demokrasi parlementer boleh dikatakan cukup
efektif. Kabinet bisa diminta tanggung jawabnya oleh parlemen, walaupun dewan perwakilan
rakyat itu bukan hasil pemilihan umum. Pers sangat bebas, dan badan-badan peradilan
menjalankan tugasnya secara amat independen tanpa campur tangan pemerintah57.

Disebutkan pula bahwa selama setengah tahun terakhir antara bulan Agustus dan Desember
1956, ada tiga peristiwa yang terjadi pada Indonesia Raya sebelum surat kabar ini masuk
dalam rentetan pembredelan dan penahanan terhadap para redakturnya58.

Peristiwa pertama berkenaan dengan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulghani sehubungan
dengan peritiwa penggelapan uang yang dilakukan oleh Lie Hok Thay, Wakil Direktur
Percetakan Negara Kementrian Penerangan. Hal itu terjadi pada 13 Agustus 1956, dan
segeraa Indonesia Raya menerbitkan buletin kilat yang memuat berita utama bahwa Menteri

51
Tentang Pembredelan ini, lihat Atmakusumah, Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta:
Harian Kompas, 1992), hlm 195 dst. Juga Edward C.Smith, Pembredelan Pers di Indonesia (Jakrta: Grafiti
Pers, 1983), hlm. 118 dst.
52
Ignatius Hariyanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2006), hlm.
58
53
Hill ( Mochtar Lubis Mochtar Lubis: Author, Editor, And Political Actor, tesis doktor Australian National
University, Canberra, hlm. 68
54
Tentang Persitiwa ini, bdk. Biografi AH Nasution , Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba Pertama
(Jilid), (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 1-214) Hill ( Mochtar Lubis Mochtar Lubis: Author, Editor, And
Political Actor, tesis doktor Australian National University, Canberra, hlm. 69-75; juga Harold Crouch, The
Army and Politics in Indonesia, (Cornell University Press, 1978), hlm. 29-31; Ulf Sundhaussen, Politik Militer
Indonesia 1945-1965: Menuju Dwifungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES, 1988), hlm. 124-130. Lihat juga memoar
“Djatikusumo: Prajurit dari Kraton”, Tempo, No. 20 Tahun XXVII, hlm. 65, serta Peter Kasenda, “ Tahir
Bonar Simatupang: Pejuang, Prajurit dan Pemikir”, Prisma, No. 2 tahun 1991, hlm. 68-70
55
Bdk. Barbara Silars Harvey, Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983); R.Z
Leirissa, PRRI Permesta:Strategi Membangun Indonesia tanpa komunis, (Jakarta: Grafiti, 1991); 30 Tahun
Indoensia Merdeka buku 2, hlm. 103-104, 124-131.
56
Hill ( Mochtar Lubis Mochtar Lubis: Author, Editor, And Political Actor, tesis doktor Australian National
University, Canberra, hlm. 68-93
57
Herbeth Feith, “Dynamics of Guided Democracy” dalam Ruth McVey (ed). Indonesia, Southeast Asian
Studies, Yale University, by arrangement with HRAF Press, New Heaven, 1967, seperti dikutip oleh
Atmakusumah, Mochtar Lubis ..., hlm.190.
58
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 195-200.

18
Luar Negeri terlibat korupsi bersama Lie Hok Thay. Keesokan harinya, 14 Agustus 1956,
surat kabar Indonesia Raya memuat pertanyaan Wakil KSAD Letkol Zulkifli Lubis yang
menuduh perdana menteri dan KSAD “membela kebatilan” dengan membebaskan Roeslan
Abdulghani dari rencana penahanan.
Pada Agustus 1965, jaksa agung berbalik menuduh Indonesia Raya melanggar pasal 154
KUHP yaitu ”menyatakan kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah atau karena dan
permusuhan terhadap pemerintah atau karena menghina pemerintah”, karena menerbitkan
berita tentang tuduhan korupsi tersebut dan memuat tajuk rencana yang menuduh kabinet
yang melakukan komplotan politik.
Peristiwa kedua, adalah pemuatan surat-surat pembelaan dari Letkol Zulkifli Lubis dalam
koran ini, yang isinya menolak tuduhan pemerintah yang diumumkan pada 28 Oktober 1956
bahwa ia telah mempersiapkan dan melakukan percobaan kudeta.
Zulkifli Lubis diberhentikan dari semua tugasnya, tetapi ketika dikeluarkan surat perintah
penangkapan, ia menghilang. Surat-surat pembelaan itu juga disiarkan oleh surat kabar lain.

Peristiwa ketiga ialah ketika Letkol Ahmad Husein, komandan resmi Angkatan Darat
Sumatera Tengah dan Ketua Dewan Banteng, mengambil alih pemerintahan sipil dari
Gubernur Ruslan Muljoharjo yang diangkat oleh pemerintah pusat. Husein menuntut
pembentukan kabinet baru untuk mengubah keadaan negara yang tidak menggembirakan.
Peristiwa 20 Desember 1956 itu disiarkan sebagai berita besar dalam Indonesia Raya dan dua
surat kabar lainnya di ibu kota edisi pagi berikutnya59.

Malam harinya, pemimpin redaksi Indonesia Raya ditangkap oleh Corps Polisi Militer
(CPM). Ia juga disangka terlibat dalam “gerakan Zulkifli Lubis”. Ia juga dituduh memuat
tulisan yang menyokong dan membenarkan gerakan Dewan Banteng di Sumatera Tengah
serta mengecam pemerintah dalam persoalan ini. Siang hari menjelang penangkapan Mochtar
Lubis taggal 21 Desember 1956, ia menuliskan tajuk rencana yang menyatakan bahwa
pengambilalihan kekuasaan Gubernur Sipil oleh tentara Sumatera Tengah akan membawa
akibat di daerah-daerah lain. Baik kabinet Ali Roem-Idham Chalid maupun Presiden
Soekarno atau KSAD Nasution dikatakan tidak akan dapat mengatasi masalah ini tanpa
bantuan Bung Hatta. Dianjurkannya agar kabinet, bahkan kalau perlu presiden dan KSAD,
bersedia mengundurkan diri60.

Sejumlah pembredelan yang dialami koran ini dalam masa waktu antara 1957 dan 1958
akhirnya membawa pada konflik antara Mochtar Lubis dan Hasjim Mahdan.

Pada 4 November 1958, mencuatlah peristiwa yang jarang terjadi dalam pers Indonesia, yaitu
terbitnya sebuah surat kabar dalam dua versi yang merupakan wujud pertikaian intern,
59
Ignatius Hariyanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2006), hlm.
61
60
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 195-200. Lihat
juga Mochtar Lubis, Catatan Subversif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 1 tanggal 22 Desember
1956.

19
Kelompok Hasjim Mahdan menerbitkan korannya di sore hari, keduanya tetap dengan
memakai nama Indonesia Raya61.

Koran dalam dua versi itu hanya muncul pada hari itu saja, karena menurut izin yang
diberikan Peperda pada 16 Oktober, hanya Hasjim Mahdan yang diberi izin terbit, namun dari
situ terlihat bahwa para pembaca koran tersebut lebih suka jika Indonesia dipegang oleh
Mochtar Lubis, dan terbukti jumlah oplah koran ini kemudian kemudian semakin merosot,
bahkan para agennya pun menolak mengedarkan koran ini karena kehilangan pelanggannya.
Bisa jadi penarikan diri para agen ini adalah bentuk kesetiakawanan yang ditunjukkan kepada
kelompok Mochtar Lubis. Malah ketika kelompok ini masih memegang pimpinan surat kabar,
ada pertanyaan dari perwakilan atau agen Jawa Timur untuk menolak keangenannya bila surat
kabar ini tidak lagi dikelola oleh Mochtar Lubis62. Sejak Mochtar Lubis ditahan inilah
Indonesia Raya mengalami kevakuman selama sepuluh tahun63.

Berdirinya Surat Harian Umum Kabar pikiran Rakyat

Sumber : https://www.google.com/search?q=Surat+Harian+Umum+Kabar+pikiran+Rakyat+pertama
Membahas sejarah kelahiran dan pertumbuhan surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung akan
menemukan fenomena menarik karena dua hal. Pertama, surat kabar Pikiran Rakyat yang
pertama kali terbit pada tanggal 30 Mei 1950 di Bandung ternyata berbeda dengan surat kabar
yang sekarang dikenal dan mulai terbit tanggal 24 Maret 1966. Kedua, karena perbedaan yang

61
Sebelumnya pada akhir Agustus 1958, kelompok Mochtar Lubis sudah mengiklankan penerbitan baru yang
akan dikelola kelompok mereka, yaitu Suara Indonesia Raya, namun menurut Atmakusumah, akhirnya koran
baru ini tidak pernah muncul karena tidak mendapatkan izin terbit.
62
Atmakusumah (ed.), Mochtar Lubis: Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), hlm 221. Lihat juga
perkembangan oplah Indonesia Raya periode pertama pada tabel di belakang
63
Ignatius Hariyanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2006), hlm.
63

20
pertama itu maka berbeda pula visi dan jati diri dari surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung itu
pada periode 1951-1965 dan 1966-sekarang.
Kelahiran surat kabar Pikiran Rakyat (selanjutnya disingkat PR) fase pertama, sebenarnya
tidak bisa dilepaskan dari usaha visi pribadi Djamal Ali sebagai pemimpin umum Pikiran
Rakyat. Sebagai jurnalis kawakan yang telah memimpin surat kabar Boeroeh di Yogyakarta
pada masa revolusi Indonesia, visi dan ideologi Djamal Ali nampaknya bersifat nasionalis dan
agak kekiri-kirian (walaupun bukan komunis). Citra nasionalis Pikiran Rakyat semakin kental
oleh visi yang dibangun oleh Pemimpin Redaksinya, Asmara Hadi. Sebagai menantu Presiden
Soekarno, lewat perkawinannya dengan Ratna Juwaimi, Asmara Hadi memang seorang
jurnalis yang sangat dipengaruhi oleh ideologi PNI (Partai Nasional Indonesia). Duet Djamal
Ali dan Asmara Hadi itu telah menjadikan PR sebagai pers yang nasionalis secara ideologis,
walaupun Pikiran Rakyat bukan pers corong dari PNI di satu sisi, dan pers yang Soekarnois
dalam arti mendukung dan membela kebijakan politik Soekarno, termasuk ajaran-ajarannya.
Disisi lain, bukan suatu hal yang kebetulan jika kelahiran PR fase pertama pada tanggal 30
Mei 1950 itu mengingatkan para pembacanya pada Hari Kelahiran Pancasila yang dibidani
oleh Soekarno, Presiden Pertama RI (Republik Indonesia).
Dalam konteks itu tidak mengherankan terjadi peristiwa G30S/PKI tahun 1965, dengan segala
implikasinya surat kabar Pikiran Rakyat pun terkena getahnya. Anggapan umum bahwa
Pikiran Rakyat telah masuk dalam konspirasi kekuatan Orde Lama, cukup dirasakan juga oleh
para anggota redaksinya. Dalam salah satu catatan pojoknya pada awal tahun 1966, Pikiran
Rakyat menyatakan bahwa ketika para mahasiswa Bandung melakukan demonstrasi
menentang rezijm Orde Lama dan mencuat sebuah teriakan “Ganyang Pikiran Rakyat”, sudah
cukup membuat para redaktur surat kabar ini gemetar dan kekuatan. Padahal yang dimaksud
Pikiran Rakyat oleh mahasiswa itu bukan Pikiran Rakyat, melainkan Pemuda Rakyat, sebuah
organisasi yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) Nampaknya peristiwa
G30S/PKI telah membawa akibat-akibat yang kurang menguntungkan bagi Pikiran Rakyat.
Surat kabar Pikiran Rakyat yang semula mempunyai motto “Mengajak Pembaca Berfikir
Kritis” itu kemudian disita oleh militer, dalam hal ini tentara Siliwangi. Penyitaan ini
nampaknya dilakukan karena sikap Asmara Hadi, Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat, yang
terus-menerus menyerang militer sebagai kekuatan utama Orde Baru64. Dalam pandangan
Djamal Ali, Pimpinan Umum Pikiran Rakyat, penyitaan terhadap surat kabar miliknya itu

64
A.M Hanafi, Menggugat Kudeta Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1998), hlm. 149.
21
sebagai tindakan yang diperlakukan tidak adil65. Namun, Djamal Ali berusaha untuk
mendapatkan kembali Pikiran Rakyat sebagai asset pribadinya itu, tetapi tidak berhasil. Pada
awal tahun 1970-an Djamal Ali kemudian bergabung dengan surat kabar Suara Karya milik
Golkar (Golongan Karya). Sementara itu Asmara Hadi setelah Pikiran Rakyat tidak terbit lagi
karena hilang dari peredaran elite politik Orde Baru bersama dengan memudarnya kekuatan
politik Orde Lama.
Setelah Pikiran Rakyat fase pertama bubar, tentu saja staf redaksinya menjadi pengangguran.
Dalam kenangan kolektif staf redaksi Pikiran Rakyat, termasuk Atang Ruswita, peristiwa itu
benar-benar sangat tidak menyenangkan dan telah menjadikan mereka sebagai jurnalis
gelandangan. Namun, sebuah berita yang mengembirakan datang bahwa Panglima Tentara
Siliwangi ingin membantu beberapa staf redaksi Pikiran Rakyat yang menganggur itu asal
saja mereka mau mengambil inisiatif dengan menerbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata
Edisi Jawa Barat di Bandung pada tanggal 24 Maret 1966 66. Cikal bakal Pikiran Rakyat fase
kedua, nampaknya harus dimulai dengan mendapat bantuan dan dukungan penuh dari tentara
Siliwangi dan Pemerintah Daerah Jawa Barat, pada tahun berikutnya 24 maret 1967 (tanggal
yang mengaitkan kita pada momentum sejarah Bandung Lautan Api), surat kabar Pikiran
Rakyat terbit kembali dengan mengambil motto “Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk
Rakyat”.
Pikiran Rakyat fase kedua ini tentu saja membawa visi, misi dan jati diri baru yang berbeda
dengan Pikiran Rakyat fase pertama. Jika Pikiran Rakyat fase pertama merupakan produk dari
zaman Demokrasi Liberal (tahun 1950-an) dan zaman Orde Lama (tahun 1960-an), maka
Pikiran Rakyat fase kedua sejak kelahirannya merupakan pers yang menyuarakan cita-cita
politik Orde Baru. Karena visi dan jati dirinya berubah maka Pikiran Rakyat fase kedua pun
harus dipegang dan dikendalikan oleh tokoh pers yang sejalan dengan cita-cita politik Orde
Baru. Dalam hal ini maka posisi Pemimpin Umum dan Redaksi Pikiran Rakyat fase kedua itu
kemudian dipegang oleh Sakti Alamsyah Siregar (1966-1983).
Sakti Alamsyah sendiri sebenarnya bukan orang baru dalam dunia pers, ia memulai karirnya
di bidang penyiaran radio di Bandung pada masa reolusi Indonesia dan bergabung dengan
Pikiran Rakyat sejak surat kabar itu didirikan tahun 1951. Pengalamannya pada masa
revolusi, bekerjasama dengan pemerintah gerilya dan bahu-membahu berjuang bersama

65
Djamal Ali, Sekilas Perjalanan Hidup Saya, Sebagaimana Dituturkan kepada Cendrawati Suhartono dan
Pradjoto,(Jakarta: SPS Pusat, 1995), hlm. 59.

Skripsi tentang “Berdirinya Surat Kabar Pikiran Rakyat Di Bandung” diunduh dari http://eprints.
66

uny.ac.id/53255/3/BAB%20III%20fix%2011407144025.pdf pada 10 September 2019 pukul 20.00 WIB.


22
militer Indonesia, turut mempengaruhi pandangan dan karirnya dibidang pers pada masa-masa
selanjutnya. Ketika Orde Baru berhasil mengkonsolidasikan kekuasannya, ia mendapat restu
dari pemerintah dan militer khususnya Jawa Barat, untuk menerbitkan kembali Pikiran Rakyat
dengan semangat, visi, dan warna baru yang sesuai dengan tuntunan zaman. Prinsip perlunya
menjalin kemitraan yang baik antara pers, pemerintah (termasuk militer), dan masyarakat,
dengan demikian telah diletakan dasar-dasarnya oleh Sakti Alamsyah. Pandangan dan
kebijakan tersebut nampaknya yang mewarnai penampilan, keberadaan, dan jati diri PR
sampai sekarang.
a) Pengaruh Pandangan Idealisme Terhadap kemunculan Surat Kabar Pikiran Rakyat

Pada perkembangannya wartawan di Bandung banyak mendapat kesulitan terutama perihal


kebebasan pers. Pada bulan Januari 1966, sejumlah wartawan kehilangan pekerjaan, akibat
koran milik Bandung N.V. bernama Pikiran Rakyat berhenti terbit. Koran yang pertama
kali terbit pada 30 Mei 1950 ini harus berhenti karena terlambat memenuhi ketentuan yang
mengharuskan setiap koran untuk berafiliasi dengan salah satu kekuatan politik atau
memilih bergabung dengan koran yang ditentukan Departemen Penerangan. Atas dorongan
Panglima Kodam (Pangdam) Siliwangi Ibrahim Adjie pada waktu itu, para wartawan yang
diwakili oleh Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita menerbitkan koran Angkatan Bersenjata
edisi Jawa Barat yang berfaliasi dengan Harian Umum angkatan bersenjata yang terbit di
Jakarta dengan surat izin terbit (SIT) No. 021/SK/DPHM/SIT/1966. Nomor perdana yang
terbit pada 24 Maret 1966 ini bertepatan dengan peringatan ke-20 peristiwa heroik
Bandung lautan Api. Namun, belum genap setahun Koran ini terbit, Menteri Penerangan
mencabut kembali peraturannya tentang keharusan berafiliasi. Pangdam Siliwangi pun
serta merta melepas sepenuhnya ketergantungan Koran ini dengan Kodam.

Seiring dengan keputusan ini pulalah, terhitung 24 Maret 1967, Harian Angkatan
Bersenjata edisi Jawa Barat berganti nama menjadi Harian Umum Pikiran Rakyat juga
dikenal dengan singkatan Pikiran Rakyat hingga saat ini. Enam tahun pertama sejak masa
kelahirannya, bisa dikatakan merupakan masa-masa penuh keprihatinan, kantor maupun
peralatan cetak dan tulis bukan milik Pikiran Rakyat. Pada masa ini, oplah Pikiran Rakyat
pun tak pernah lebih dari 20.000 eksemplar per harinya. Namun berkat kegigihan dan
keuletan yang didasari jiwa idealisme para perintis saat itu, Pikiran Rakyat secara pasti
terus mendapat tempat di hati pembacanya. Pada 9 April 1973, bentuk badan hukumnya
diubah dari yayasan menjadi perseroan terbatas dengan nama PT Pikiran Rakyat Bandung.

23
b) Pembagian Tema Berita Pada Halaman Harian Pikiran Rakyat
1) Halaman Muka
a. Halaman Muka
Berita-berita utama terkini yang datang dari dalam dan luar negeri hingga pukul
00.00 WIB akan diulas secara lengkap pada halaman ini. Bagaikan etalase, halaman
ini memunculkan peristiwa-peristiwa terbaik dan menarik yang datang dari berbagai
kota. Belum lagi sentuhan Human Interest yang bisa didapatkan dari popnews yang
terletak pada bagian bawah (kaki) halaman.
b. Bandung Raya
Bandung adalah Ibukota Provinsi Jawa Barat yang sekaligus juga rumah bagi Harian
Umum Pikiran Rakyat. Tak heran bila kemudian kami menetabkan adagium “Tak
ada jauh jatuh di Bandung yang tak diketahui wartawan Pikiran Rakyat”, dan dengan
mencakup Wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, halaman
ini adalah pasar yang sangat menentukan.
c. Cirebon & Purwasuka
Wilayah di utara Jawa Barat, atau lebih dikenal dengan sebutan Pantura (Pantai
Utara) mulai dari Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu, Cirebon, Majalengka,
dan Kuningan memperoleh porsi pemberitaan yang signifkan. Dinamika masyarakat
yang ada di wilayah ini bahkan kerap di tempatkan pada halaman 1 (utama).
d. Wilayah Bogor
Kota-kota di wilayah eks-karesidenan Bogor, yakni Depok, Bogor, Sukabumi dan
Cianjur, adalah kawasan yang terus berkembang dengan kompleksitas permasalahan
yang begitu dinamis. Ini adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan hiruk-
pikuknya Ibukota Jakarta.
e. Wilayah Priangan
Tidak dapat dipungkiri, wilayah priangan merupakan basis kedua Pikiran Rakyat
setelah Bandung Raya. Warga Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Banjar, dan Sumedang
sudah lama diidentikkan dengan konsumen setia koran ini. Tidak heran bila porsi
pemberitaan dari kawasan ini pula termasuk dominan.
f. Nusantara
Halaman ini memotret perkembangan yang terjadi seantero nusantara, termasuk
Ibukota Jakarta. Anda tak perlu khawatir tertinggal untuk mengetahui peristiwa
menarik apapun di empat penjuru mata angin Indonesia.
g. Ekonomi dan Keuangan
Anda pelaku bisnis, pengamat ekonomi ataupun orang awam sekalipun, tak akan
pernah kekurangan informasi yang berkaitan denganperkembangan ekonomi dan
keuangan67. Di halaman ini, halhal yang berkaitan dengan pasar, uang, valuta, atau
ekonomi umum, dikupas dengan gamblang.
h. Luar Negeri
Dengan didukung sejumlah kantor berita asing, halaman ini mengupas peristiwa
penting apapun yan dialami manusia di belahan bumi manapun. Tak jarang pula

Skripsi tentang “Berdirinya Surat Kabar Pikiran Rakyat Di Bandung” diunduh dari http://eprints.
67

uny.ac.id/53255/3/BAB%20III%20fix%2011407144025.pdf pada 10 September 2019 pukul 20.00 WIB.


24
wartawan Pikiran Rakyat dikirim langsung ke mancanegara untuk meliput peristiwa-
peristiwa berskala global.
i. Pendidikan
Kita tak bisa memungkiri, pendidikan adalah investasi masa depan karena itulah,
Pikiran Rakyat menyajikan fenomena apapun yang terjadi di dunia pendidikan pada
halaman tersendiri. Berbagai persoalan yang terjadi di level pendidikan dasar,
menengah hingga tinggi, tak akan luput dari pantauan Pikiran Rakyat.
j. Olahraga
Olahraga tetap menjadi favorit bagi pembaca yang tak mengenal strata usia, jenis
kelamin, pendidikan ataupun penghasilan. Olahraga adalah universal, oleh karena itu
Pikiran Rakyat pun selalu secara lengkap dan mendetail menyajikannya, baik
berskala lokal, nasional, maupun global68.
c) Halaman Suplemen Pikiran Rakyat
a. Teropong
Isu-isu politik, Hukum, Agama, dan Pendidikan yang paling menonjol dalam satu
pekan, akan ditarik menjadi laporan utama TEROPONG. Laporannya disajikan secara
holistik dan komprehensif, karena dilengkapi dengan analisis cerdas dari pakar,
wawancara ekslusif dengan tokoh berkompeten serta pandangan yang pro dan kontra
terhadap satu persoalan krusial.
b. Belia
Suplemen ini ditangani oleh pekerja-pekerja cakap dibidangnya, sehingga tulisan-
tulisan menarik tentang dunia ABG (Anak Baru Gede) dan remaja bisa kita temukan.
Lewat susunan kalimat khas kaum belia, disajikan secara apik tips, trend dan budaya
pop yang perlu diketahui generasinya remaja sebelum mereka bergaul dengan
sesamanya.
c. Gelora
Dengan delapan halaman yang ada, nyaris tidak ada even olahraga tingkat lokal,
nasional, maupun internasional yang tidak diulas secara mendalam. Analisis dari ahli,
atlet ataupun dokter olahraga bisa ditemukan pada kolom ini. Jutaan penggemar Persib
pun akan terpuaskan oleh liputan mengenai klub kesayangan warga Bandung tersebut.
d. Cakrawala
Anda sulit untuk mengikuti dan mengerti teknolgi mutakhir ataupun perkembangan
ilmu pengetahuan dunia? Istilah-istilah kesehatan bergitu sulit dicerna? Semua itu akan
terbantahkan saat anda membaca CAKRAWALA. Teori-teori yang Njelimet akan
terjemahkan secara lugas dan mudah diaplikasikan.
e. Otokir
Pemberitaan mengenai otomotif selalu menarik perhatian para pembaca. Perkembangan
industri dan model kendaraan, fluktuasi harga, tips-tips singkat berkendaraan, ataupun
aksesoris keluaran terakhir, digarap secara mendetail. Belum lagi laporan mengenai
mesin kendaraan, keunggulan suatu produk sampai hobi otomotif.
f. Hikmah

Skripsi tentang “Berdirinya Surat Kabar Pikiran Rakyat Di Bandung” diunduh dari http://eprints.
68

uny.ac.id/53255/3/BAB%20III%20fix%2011407144025.pdf pada 10 September 2019 pukul 20.00 WIB.


25
Suplemen ini memperoleh tempat di hati dan pikiran pembaca khususnya dari kaum
wanita. Banyak hal yang bersifat human interest dan menyentuh sisi kewanitaan
dihadirkan secara menarik dalam kolom ini. Begitu pula petunjuk-petunjuk ringkas
bagaimana memelihara kesehatan, mendidik anak, memasak, berkebun, dan banyak
lainnya.
g. Khazanah
Penikmat maupun pekerja seni dan budaya memperoleh tempat yang sangat memadai.
Suplemen ini adalah barometer perkembangan seni dan budaya. Esais, penyair dan
pekerja seni ternama kerap mengisi rubrik-rubriknya. Tentu saja bukan hanya jenis
kesenian konvensional yang bisa ditemukan di sini, melainkan juga yang bersifat
kontemporer.
h. Peer Kecil
Hari minggu adalah waktu untuk PEER KECIL, biasa disebut dengan PERCIL. Sajian
edukatif dan menghibur bagi anak-anak disajikan dalam empat halaman khusus. Bukan
hanya cerita-cerita anak yang menarik yang disajikan di sini, melainkan juga opini anak,
animasi, belajar ilmu pengetahuan atau bahkan sekedar berfoto dengan gayanya.
Perkembangan Pikiran Rakyat

Pikiran Rakyat menapaki jalan panjang dan berliku sebelum berhasil menduduki tampuknya
yang sekarang. Mulanya Pikiran Rakyat (namanya dalam ejaan lama Pikiran Rakjat)bermodal
pinjaman jangka pendek 6 bulan dari Pangdam VI/Siliwangi (sekarang Kodam
III/Siliwangi)69. Para awaknya bekerja terpencar-pencar dan selama tiga tahun pertama
mereka tidak mengenal gaji dalam arti yang sebenernya lantaran pendapatan yang minim.

Setelah dari HU Angkatan Bersenjata yang terbit di Jakarta, Pikiran Rakyat lahir atas izin
pemerintah pusat dengan Surat Izin Terbit (SIT) No. 021/SK/DPHM/SIT/1966. Saat itu
namanya masih HU Angkatan Bersenjata Edisi Jawa Barat. Nomer perdananya terbit pada 24
Maret 1966 di Bandung, dibawah pimpinan Sakti Alamsjah (1966-1983). Terbit tiga kali
dalam semingu pada 1965, koran ini berjargon “Mengajak pembaca berfikir kritis”.

Setahun kemudian, dengan adanya surat Keputusan Pepelrada Jawa Barat No. Kep.
005/Pepelrada-DB/1967 tanggal 5 februari 1967, HU Angkatan Bersenjata Edisi Jawa Barat
lepas total dari HU Angkatan Bersenjata Jakarta.

Bersama dengan itu, namanya juga berubah menjadi Pikiran Rakyat. Pikiran Rakyat pada saat
itu terbit harian dengan empat halaman. Halaman mukanya memanjang berita nasional dan
luar negeri, setengah halaman dibawahnya terdapat kolom “Apa dan Siapa”, yaitu selayang
pandang profil tokoh Jawa Barat.

Terbitan tiap hari minggunya tampil dengan nama Lembaran Minggu Pikiran Rakyat dengan
Redaktur penyelenggara Soeharmono Tijtrosoewarno dan Warsonotydara70. Terbitan ini

69
Taufik Rahzen, Seabad Pers Kebangsaan, (Jakarta: I. Boeke, 2007), hlm. 859.
70
Skripsi tentang “Berdirinya Surat Kabar Pikiran Rakyat Di Bandung” diunduh dari http://eprints.
uny.ac.id/53255/3/BAB%20III%20fix%2011407144025.pdf pada 10 September 2019 pukul 20.00 WIB.

26
dibubuhi slogan “Entang tapi Bernilai” dan dilengkapi berita seputar kejadian penting di Jawa
Barat, beritra Internasional kolom foto terbaik minggu ini, kolom surat pembaca, cerita
pendek, sajak puisi, esai sastera, dan lain-lain.

Di bawah nauangan jajasan Pikiran Rakyat Bandung, Pikiran Rakyat melompat-lompat


secerdik kancil untuk tetap terbit sebagai media massa yang netral. Namun, tekannya memang
pada medium kebijakan pemerintah dan masyarakat Jawa Barat. Halhasil bahasanya pun
datar-datar saja, Pikiran Rakyat memang cerdik mencari posisi aman dimata pemerintah. Hal
ini tampak pada politik redaksional koran ini dalam menyampaikan pemberitaan kepada
pembacanya.

Pikiran Rakyat juga sempat berganti-ganti slogan, antara lain “Indipendent, sebut saja PR”,
bacaan warga Jawa Barat, korannya masyarakat Jawa Barat, menyebar mengakar. Slogan
“Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” tetap hadir sejak tahun 1966 hingga sekarang71.
Disimak dari slogan Pikiran Rakyat serta perubahannya, tampak jelas kecerdikannya
suratkabar ini dalam memikat pembaca dan pemerintah yang berkuasa.

Hingga akhir 1973, sirkulasi HU Pikiran Rakyat masih jauh ketinggalan dibanding suratkabar
lain terbitan Jakarta yang waktu itu sudah membanjiri dan mendominasi pasaran surat kabar
di Jawa Barat. Oplah Pikiran Rakyat selama hampir tujuh tahun (1966-1973) tidak pernah
lebih dari 22.500 eksemplar.

Tahun 1974 adalah awal kebangkitan Pikiran Rakyat, suratkabar ini berhasil memiliki mesin
cetak sendiri yang lebih modern dan reprensentatif melalui fasilitas kredit dari BRI dan
bantuan PMDN. Sejak tahun itu Pikiran Rakyat mampu tinggal landas menuju perwujudan
cita-cita yang menyertai kelahirannya yaitu, menjadi surat kabar yang terus maju dan
berkembang baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Unsur kedekatan pada penguasa tetap dilakukan Pikiran Rakyat untuk menghidupi dirinya,
dan sebagai konpensasinya Pikiran Rakyat menjadi penyebar berita-berita pemerintah72.
Suratkabar masa itu memang mengabdi kepada penguasa sebagai jalan aman untuk meraih
kemakmuran dan keamanan dari pembredelan.

Perjuangan surat kabar Pikiran Rakyat bukan main tekunnya. Kini pikiran rakyat menjadi raja
koran di Jawa Barat. Pemasaran mencapai daerah-daerah pelosok hingga muncul guyonan
politis, guyonannya yaitu bukan orang Jawa

Barat kalo tidak baca PR. Goyonan ini pernah menjadi iklan propaganda di kota Bandung dan
daerah lain di Jawa Barat.

71
Skripsi tentang “Berdirinya Surat Kabar Pikiran Rakyat Di Bandung” diunduh dari http://eprints.
uny.ac.id/53255/3/BAB%20III%20fix%2011407144025.pdf pada 10 September 2019 pukul 20.00 WIB.
72
Skripsi tentang “Berdirinya Surat Kabar Pikiran Rakyat Di Bandung” diunduh dari http://eprints.
uny.ac.id/53255/3/BAB%20III%20fix%2011407144025.pdf pada 10 September 2019 pukul 20.00 WIB.
27
Pikiran Rakyat perlahan-lahan mampu melawan invasi koran dari daerah luar Jawa Baratdan
Jakarta sekalipun, lantas ia berambisi menguasai kosumsi koran di Jawa Barat. Langkah
pertama, ia menggaet koran-koran kecil di Bandung khususnya, lalu membeli sebagian besar
saham mereka sampai kemudian Pikiran Rakyat menjadi induk dari korankoran lainnya,
seperti Galamedia yang kemudian menjadi anggota keluarga besar Pikiran Rakyat untuk
menggeserkoran daerah seperti Radar Bandung.

Galamedia hingga kini masih menjadi koran alternative selain Pikiran Rakyat sebagai bacaan
utama masyarakat Jawa Barat.performa Galamedia di kota Bandung dan sekitarnya tampil
sebagai koran berita daerah yang mirip Pos Kotadi Jakarta. Selain koran Galamedia, group
Pikiran Rakyat memiliki majalah berbahasa Sunda, seperti Mangle dan Galaura73.
Etika Pers Orde Lama
Jika dilihat dari sejarah perkembangan pers masa orde lama dari awal tahun 1945 hingga
tahun 1966, terjadi pergeseran dari pers perjuangan yang awalnya berperan besar dalam
membentuk nasionalisme rakyat Indonesia dan mampu menggerakkan rakyat dalam merebut
kemerdekaan, menjadi pers simpatisan yang hanya menjadi corong partai politik tertentu.
Sejak masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin, pers Indonesia semakin terkekang
dan mengalami hubungan yang tidak harmonis dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah
berusaha mengontrol dan membatasi pers dengan mengeluarkan SIT (Surat Ijin Terbit) yang
wajib dimiliki setiap usaha penerbitan pers dan setiap pemimpin redaksi yang masih ingin
menerbitkan surat kabarnya diwajibkan menandatangani dokumen kontroversial berisi 19
pasal kewajiban pers untuk patuh dan mendukung manipol Soekarno74.
Disinilah, etika jurnalistik para pekerja pers dipertanyakan. Apakah mereka lebih memilih
untuk mempertahankan ideologi mereka sendiri dan menolak menandatangani dokumen itu,
yang artinya mereka harus siap untuk diasingkan, surat kabar mereka diberangus dan
dibreidel? Ataukah mereka memilih untuk menandatangani dokumen tersebut demi
kelangsungan surat kabar dan hidup mereka? Sebagian wartawan dan editor, seperti Mochtar
Lubis memilih menolak menyetujui dokumen tersebut hingga akhirnya dipenjara selama 9
tahun dari tahun 1957 hingga tahun 1966. Namun, kisah lain ditorehkan Rosihan Anwar,
pemimpin redaksi harian Pedoman, salah satu surat kabar terkemuka pada masa itu. Rosihan
Anwar terpaksa menandatangani dokumen yg kontroversial ini agar surat kabarnya bisa tetap
hidup. Namun ironisnya, tak berapa lama kemudian, pada bulan Januari tahun 1961,
harian Pedoman dilarang terbit karena dianggap lebih memihak partai lain selain PKI yang
berkuasa pada masa itu. Mochtar Lubis yang saat itu sedang menjalani masa penahanan dan
merupakan orang yang paling menentang keberadaan dokumen tersebut kemudian
memberikan informasi kepada International Press Institute (IPI) bahwa Rosihan Anwar telah
menandatangani dokumen tersebut. Akibatnya, Rosihan Anwar untuk sementara waktu
dikeluarkan dari keanggotaaan IPI. Dalam surat penjelasan kepada IPI, Rosihan berkilah
bahwa itulah cara terbaik untuk tetap menjadi wartawan, mendobrak penghalang dan tetap
menjaga agar kepercayaan rakyat terhadap demokrasi tetap hidup75.

73
Skripsi tentang “Berdirinya Surat Kabar Pikiran Rakyat Di Bandung” diunduh dari http://eprints.
uny.ac.id/53255/3/BAB%20III%20fix%2011407144025.pdf pada 10 September 2019 pukul 20.00 WIB.
74
Semma. Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). Hlm. 105
75
Semma. Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). Hlm. 106
28
Jika ditinjau dari pendekatan etika komunikasi, sanksi yang diberikan IPI kepada Rosihan
Anwar termasuk harian yang dipimpinnya, yaitu harian Pedoman, merupakan hal yang
dipelajari dalam pendekatan makro etika komunikasi. Hal itu karena etika yang dikenakan
merupakan etika komunikasi antar institusi jurnalistik. Kebebasan pers era orde lama dapat
dibedah dari empat bahan pembentuk etika komunikasi76.
Pertama, berdasarkan standar moral, pada era orde lama, dapat dilihat bahwa standar moral
atau code of conduct yang berlaku spesifik untuk profesi jurnalis belum terbentuk. Pada masa
itu, kode etik jurnalistik maupun undang-undang pers memang belum dirumuskan. Sehingga,
para jurnalis di masa orde lama mengalami pergolakan batin yang cukup hebat. Di satu sisi
mereka ingin karya jurnalistiknya diterbitkan sesuai idealisme mereka masing-masing dan
kebebasan pers yang terjamin. Namun, di sisi lain, dengan adanya SIT yang mengontrol isi
materi jurnalistik, jurnalis tidak lagi leluasa menjalankan kebebasan berpendapat mereka atau
mengungkapkan kebenaran sesungguhnya kepada publik.
Kedua, melalui teori normatif sebagai perangkat yang menganalisis pola hubungan antar
institusi, kita dapat melihat bahwa pola hubungan negara dengan media massa di Indonesia
pada masa orde lama bersifat otoriter, dimana etika komunikasi ditentukan dan tunduk pada
pemerintah. Ketiga, nilai sosial yang terinternalisasi dalam diri jurnalis sebagai bagian dari
etika komunikasi muncul dari nilai-nilai dalam komunitasnya. Nilai-nilai sosial yang muncul
pada masa itu bisa jadi merupakan rasa takut pada pemerintah. Terutama karena adanya
ancaman kehilangan pekerjaan dan dipenjara bagi para jurnalis. Namun, nilai-nilai sosial itu
juga bisa berupa sikap kritis dengan mental kuat dimana para jurnalis berusaha sekuat tenaga
untuk mempertahankan ideologinya walaupun itu bertentangan dengan pemerintah. Terakhir,
berdasarkan nilai filsafat, yang muncul dari kesadaran intelektual dan pendidikan karakter,
jurnalis dapat memilih prinsip hidupnya untuk patuh pada kekangan pemerintah atau menolak
otoritas pemerintah tersebut77.

Pers Masa Demokrasi Terpimpin

Akibat kegagalan Konstituante menyusun Undang-undang dasar baru, maka kemudian


Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, maka kemudian Indonesia memasuki
era-baru yaitu era Demokrasi Terpimpin. Media Massa harus diarahkan untuk mendorong
aksi massa revolusioner di seluruh Indonesia. Rakyat harus didorong untuk memiliki
keyakinan yang teguh tentang sosialisme agar dukungan bagi kelangsung Revolusi dan
peranannya dalam pembangunan nasional dapat terwujud.

Pers di era orde lama dan orde baru dapat dikategorikan ke dalam periode kedua di mana
kontrol Negara terhadap pers – meski di masa-masa awal berkuasanya rezim, hubungan
harmoni masih dapat terlihat – sangat besar sehingga mematikan dinamika pers. Setelah

76
Semma. Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). Hlm. 106
77
Semma. Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). Hlm. 106

29
penyerahan kedaulatan Jepang pada 15 Agustus 1945, wartawan Indonesia mengambil alih
semua fasilitas percetakan surat kabar dari tangan Jepang dan berupaya menerbitkan surat
kabar sendiri. Surat kabar pertama yang terbit di masa republik itu bernama Berita Indonesia
yang terbit di Jakarta sejak 6 September 1945.
Kondisi perpolitikan di Indonesia dalam tahun-tahun 1945-1958 dapat dikatakan masih sangat
panas. Pertikaian dengan Belanda ataupun Jepang belum lagi tuntas, dan pergolakan di
beberapa tempat dengan pihak Belanda ataupun Jepang yang belum menarik diri masih
terjadi. Sebagai upaya serangan balik terhadap propaganda anti Belanda yang dilancarkan
oleh surat kabar-surat kabar republik, maka Belanda juga menerbitkan surat kabar berbahasa
Indonesia, diantaranya Fadjar (Jakarta), Soeloeh Rakyat (Semarang), Pelita Rakyat
(Surabaya), serta Padjajaran dan Persatoean (Bandung). Pada masa itu, sebagian besar surat
kabar terbit dalam empat halaman, dikarenakan kurangnya pendanaan dan percetakan yang
masih minim. Pada Desember 1948 di Indonesia telah terbit 124 surat kabar dengan total tiras
405.000 eksemplar. Tetapi pada April 1949, jumlah surat kabar berkurang menjadi hanya 81
dengan tiras 283.000 eksemplar. Ini diakibatkan oleh Agresi Militer Belanda Kedua yang
terjadi pada Desember 1948. Sementara, jangkauan tiras berubah dari 500 menjadi 5.000
eksemplar. Sepanjang periode ini, pers Indonesia semakin memperkuat semangat kebangsaan,
mempertajam teknik berpolemik, dan mulai memperlihatkan peningkatan semangat partisan78.
Akhirnya, pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang mengakhiri masa Demokrasi Liberal dan kembali menjadikan UUD 1945 sebagai dasar
negara. Masa ini dikatakan sebagai masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini, pers nasional
menganut sistem otoriter. Pers dijadikan sebagai corong penguasa yang harus mendukung
kedudukan presiden dan mendoktrin manipol. Pers berfungsi sebagai alat penggerak aksi
massa dalam memberikan informasi dan mendorong masyarakat agar mau mendukung
pelaksanaan manipol dan setiap kebijakan pemerintah79.
Penguasa melakukan rekayasa terhadap pers melalui sistem regulasi represif. Dalam upaya
mengkonsolidasi kekuasaannya, Soekarno dengan ketat mengontrol pers dan berusaha
membuat pers menjadi jinak dan penurut. Pada tanggal 12 Oktober 1960, dalam kapasitasnya
sebagai Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), Soekarno mengeluarkan dekrit bahwa setiap
penerbitan pers harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk mendapatkan SIT (Surat Ijin
Terbit)80. Agar ijin tersebut diperoleh, pers harus memenuhi persyaratan tertentu seperti, loyal

78
Semma, Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). Hlm. 113
79
Semma, Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). hlm. 114
80
Semma, Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). hlm. 105
30
kepada manifesto politik Soekarno, serta turut berjuang menentang imperialisme,
kolonialisme, liberalisme, federalisme, dan separatisme. Para penerbit dan pemimpin redaksi
diharuskan menandatangani dokumen berisi 19 pasal tentang janji-janji pemenuhan kewajiban
untuk setia pada program manipol, pemerintah dan Soekarno sendiri. Tujuannya ialah
menjadikan pers sebagai alat pendukung, pembela, dan penyebar manifesto politik
Soekarno81.
Akibatnya, pers Indonesia merasa berada dalam pengepungan manipol Soekarno. Wartawan
Indonesia kala itu menamakan sistem pers demokrasi terpimpin sebagai pers manipol. Setelah
harian Indonesia Raya dilarang terbit pada tahun 1961, Mochtar Lubis, sang editor dipenjara
di Madiun bersama PM Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan
Hamid, dan Soebadio Sastrosatomo. Semua tahanan tersebut dinilai sebagai oposan oleh
Presiden Soekarno
Soekarno kemudian menempatkan percetakan swasta di bawah pengawasan pemerintah
berdasarkan Peraturan Administrasi Militer Tertinggi no.2/1961. Pada tanggal 15 Mei 1963,
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tentang pemberian wewenang kepada Menteri
Penerangan untuk menangani pedoman pers. Lalu, pada tanggal 12 September 1962, kantor
berita Antara dinasionalisasikan dengan Dekrit Presiden no.307/196282.
Kantor berita Antara selanjutnya berada dalam pengaruh kaum komunis, seiring dengan
semakin meningkatnya pengaruh PKI di pemerintahan. Kondisi ini kemudian sampai pada
taraf kritis karena lebih dari separuh berita yang diterbitkan bersifat pro-komunis. Surat kabar
milik PKI, yaitu harian Rakyat, tirasnya meningkat menjadi 75.000 eksemplar pada tahun
1964 dan terus meningkat menjadi 85.000 eksemplar pada tahun 1965. Hal ini kemudian
mendorong para wartawan dari 10 surat kabar yang tergabung dalam BPS (Barisan
Pendukung Soekarno) gigih menentang PKI. Pertentangan ini terlihat jelas pada isi berita
harian Rakyat milik PKI melawan harian Merdeka milik B.M. Diah. Namun, Soekarno
ternyata lebih memihak PKI karena menganggap PKI lebih dapat diandalkan sebagai landasan
kekuasaan daripada kaum nasionalis. Sehingga pada bulan Februari dan Maret tahun 1965, 17
surat kabar yang tergabung dalam BPS dilarang terbit.
Tak menyerah, pada tahun 1965, Angkatan Bersenjata menerbitkan surat kabar Berita Yudha.
Pada bulan Maret 1965, Menteri Penerangan mengeluarkan Peraturan Nomor 29 yang
menegaskan bahwa surat kabar harus berasal dari 9 partai politik yang ada. Aturan tersebut
merupakan upaya Soekarno untuk mengintegrasikan surat kabar agar partai-partai politiklah

81
Semma, Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008). hlm. 106
82
Semma, Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008).. hlm. 106
31
yang pertama mengontrol surat kabar. Karena itulah, Frans Seda dari Partai Katholik ingin
menerbitkan surat kabar Katholik. PK Ojong dan rekannya Jakob Oetama kemudian ditunjuk
sebagai pemimpin redaksi dan editor. Pada tanggal 28 Juli 1965, harian Kompas terbit
pertama kali. Surat kabar Indonesia mengalami peningkatan oplah, dari yang awalnya hanya
berjumlah 692.500 eksemplar pada tahun 1961, empat tahun kemudian, pada tahun 1965,
surat kabar di Indonesia berjumlah 114 dengan oplah 1.469.350 eksemplar83.
Pada masa ini pula, muncul saluran televisi Indonesia yang pertama, yaitu TVRI yang
awalnya digunakan untuk menyiarkan tayangan Asian Games IV. Namun, setelah
menayangkan acara tersebut, TVRI belum dapat meneruskan siarannya, karena tidak adanya
studio khusus dan keterlambatan persediaan film. Lalu, atas desakan Yayasan Gelora Bung
Karno, pemerintah membangun studio darurat sebagai studio operasional TVRI yang
memungkinkan siaran TVRI selama satu jam setiap harinya, hingga akhirnya jam siaran
TVRI terus bertambah dan pada tanggal 12 November 1962, TVRI mulai mengudara secara
reguler setiap hari. TVRI berperan sentral dalam proses komunikasi politik pemerintah. TVRI
adalah medium untuk mempromosikan program-program pemerintah, memperteguh
konsensus nasional tentang budaya nasional, pentingnya pembangunan, tertib hukum, dan
menjaga kemurnian identitas bangsa. TVRI lebih banyak diperlakukan sebagai alat
propaganda pemerintah untuk propaganda politik ke dalam dan ke luar negeri, serta medium
konsolidasi kekuasaan dan monopoli informasi oleh pemegang kekuasaan84.
Maka kemudian Pers, Radio, dan Film harus digerakkan sebagai satu kesatuan terpadu secara
terpimpinm berencana dan terus menerus kea rah kesadaran mengenai sosialisme Indonesia
dan Pancasila. Maka kemudian ditentukan langkah-langkah untuk menciptakan pers Manipol
menuju tercapainya pers sosialis ialah,

a) Mendirikan kantor berita nasional yang kuat dan lengkap


b) Membantu organisasi penerbitan pers menyelenggarakan seminar-seminar pers
c) Mengadakan pendidikan dan latihan bagi para pelaksana pers
d) Mengadakan pendidikan wartawan
e) Mendirikan pusat pers
f) Membantu penyedian kertas Koran
g) Menyelenggarakan kunjungan kerja oleh wartawan ke proyek-proyek pembangunan

83
Semma, Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008).. hlm. 107
84
Sudibyo. hlm. 279
32
h) Menyiapkan undang-undang pers yang mencangkup antara lain : penjabaran fungsi-
fungsi pers dalam rangka melaksanakan Manipol demi kelangsungan revolusi dan
pembanguan semesta berencana ; penjabaran hak-hak dan kewajiban-kewajiban pers;
serta penjabaran kebebasan pers, terutama peredaranya di kalangan pekerja
i) Membangun pabrik-pabrik kertas agar impor kertas Koran tidak diperlukan lagi
j) Meningkatkan kesejahtraan pekerja-pekerja pers85

Pada masa ini juga pemerintah melarang penerbitan surat-surat kabar yang tidak
menggunakan huruf latin. Hal ini berarti melarang penerbitan pers yang menggunakan aksara
Cina. Antara Tahun 1960 hingga 1965, peredaran pers di Indonesia tidak menunjukkan
perkembangan yang stabil sebagai pencerminan keadaan secara umum. Jumlah surat kabar
dan oplah pada tahun 1960 hampir tidak berbeda dengan tahun sebelumnya. pada tahun 1959,
oplah 94 surat kabar harian mencapai 1.036.500 lembar sedang oplah 273 jenis penerbitan
lainnya berjumlah sedikir di atas tiga juta lembar. Pada tahun 1960, jumah surat kabar harian
mencapai 97 dengan oplah sebanyak 1.0905000, sedang jumlah berbagai jenis penerbitan
lainnya adalah 230 penerbitan dengan oplah sebanyak 3.350.000 lembar per terbit86.

Masalah utama dalam masa Demokrasi Terpimpin ini ialah keterbelakangan dalam sektor
pembanguan percetakan pers, dimana sejak tahun 1952 hingga 1964 Pemerintah hanya
mendirikan beberapa perusahaan percetakan. Karena kebanyakan mesin cetak yang ada ialah
peninggalan Belanda dan juga Jepang87.

Masa Demokrasi Terpimpin ini Pemerintah Soekarno mulai cenderung condog untuk
bersahabat dengan negara-negara Komunis atau negara-negara blok Timur. Maka akibatnya
Partai Komunis Indonesia (PKI) mengalami masa kedigdayaan karena senantiasa disokong
oleh Pemerintah. Organ-organ Pers PKI dan pendukungnya seperti Harian Rakyat, Bintang
Timur, Warta Bhakti di Jakarta, kemudian ditambah dengan Gelora Indonesia dan
Kebudayaan Baru yang juga terbit di Ibukota, belum terhitung sejumlah mingguan Trompet
Masyarakat di Surabaya; Harian Harapan dan Gotong Royong di Medan; dan di berbagai
kota lainnya, dengan sendirinya ikut memanaskan dan mematangkan sistuasi revolusioner88.

Taktik ofensif PKI yang radikan semakin membuatnya dekat dengan Presiden Soekarno
seperti dalam Masalah Irian Barat serta Konfrontasi dengan Federasi Malaysia, ketegangan
85
I.N.S Soebagiyo Sejarah Pers Indonesia. hlm. 78
86
I.N.S Soebagiyo Sejarah Pers Indonesia. hlm. 78
87
I.N.S Soebagiyo Sejarah Pers Indonesia. hlm 78
88
Tribuana Said. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. hlm. 89
33
dengan Amerika Serikat telah dimanfaatkan benar oleh PKI untuk mendapatkan dukungan
umum89. selain itu di desa-desa , anggota PKI melancarkan aksi agitasi dan propaganda
memerangi tujuh setan desa, akibatnya dibeberapa tempat sering terjadi kerusuhan diantara
rakyat dan ABRI serta orang-orang yang terhasut oleh PKI90.

Taktik PKI ofensif PKI juga mendapat perlawanan dari kalangan Pers Anti PKI. Perlawanan
terhadap PKI tersebut berkisar pada lahirnya Manifesto Kebudayaan, aksi boikot film-film
barat, dan masalah penyederhanaan Partai. Pada waktu itu juga terjadi pula polemic sengit
antara Berita Indonesia dan Merdeka serta Koran-kora anti-PKI lainnya dengan Harian
Rakyat dan penyokongnya bermula dari pandangan Presiden yang menyatakan tidak puas
dengan sistem kepartaiaan yang ada dan menginginkan rektruiasasi. Khwatir dengan hal itu
PKI menyerang pihak-pihak yang enyatakan setuju dengan usulan itu.

Pertentangan dalam jajaran pers Indonesia meluaskan sorotann dan kesadaran masyarakat
terhadap ofensif PKI di berbagai bidang, termasuk pers. Penyusupan PKI dan penyokongnya
di organisas-organisasi pers seperti PWI, SPS, Antara dan lain-lain menimbulkan kecemasan
di kalangan luas. Setelah Pemerintah menutup sejumlah Koran anti-PKI, PKI justru
memperbesar jaringan penerangan dan propagandannya dengan menerbitkan Koran-kora
baru91.

Sementara itu membendung taktif ofensif PKI maka pada 1 September 1964 didirikan Badan
Pendukung Sukarnoisme (BPS) di lingkungan surat kabar, radio dan televisi, angota-anggota
BPS adalah Hismawara Darmawati, Joenoes Lubis, Asnawi idris dll. Koran-koran yang
merupakan simpatisan PKI terdiri dari Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Tempo, Waspada,
Mimbar Umum, dan lain-lain.

Pemerintah di waktu itu, telah mendapat tekanan dari orang-orang Komunis yang duduk
dalam pemerintahan, sehingga memutuskan untuk dalam bulan Februari 1965, melarang
semua aktifitas dan mencabut izin terbit Koran-koran penyokong BPS, namun demikian
golongan-golongan anti BPS tetap belum puas mereka menuntut diadilinya gembong-
gembong BPS karena merupakan gembong-gembong CIA.

Adapun lawan politik BPS adalah Koran-koran PKI/PNI seperti Harian Rakyat, Bintang
Timur, Suluh Indonesia, dll. Sepanjang tahun 1964, saling menyerang di dalam pers nasional

89
Taufik. Seabad Pers Kebangsaan, (Jakarta: I. Boeke, 2007). hlm 105
90
Taufik. Seabad Pers Kebangsaan, (Jakarta: I. Boeke, 2007). hlm. 106
91
Semma. Pers di Indonesia. (Jakarta:LP3ES, 2008)... hlm. 109
34
terjadi antara Merdeka yang mengecam front Nasional dan Suluh Indonesia yang mendukung
Front Nasional92. Selain itu muncul juga fitnahan bahwa anggota BPS adalah agen CIA
akibatnya BPS kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Desember 1964,
akibatnya para wartawan yang masuk ke dalam BPS dipecat dari keanggotan mereka dalam
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), kemudian surat-surat kabar yang bergabung ke dalam
BPS dibekukan93.

Wartawan-wartawan Anggota BPS diproses di kejaksaan seperti Sumantoro, Joenoes Lubis,


Sajuti Melik, Asnawi Idris, Zein Effendi. Namun demikian keadaan berubah drastis setelah
terjadi peristiwa G30/S PKI, hal yang terjadi justru mulai sebaliknya. Orang-orang PKI mulai
banyak yang kemudian dibunuh atau dipenjara. Sejak saat itu mulai masuk kepada masa baru
yaitu, masa orde baru.

Mengenai izin terbit, pada tahun 1960 lebih terperinci lagi syarat-syaratnya. Pada permintaan
izin terbit harus menyetujui dan menandatangani kesanggupan 19 pasal. Kesembilan belas
pasal itu mencerminkan kebijaksanaan pemerintah waktu itu. Peraturan Peperti No. 10/1960
ini bersama dengan Penpers No.6/1963 bisa disebut tulang punggung kebijaksanaan
pemerintah di bidang pers sesudah tahun 1959 sampai dengan lahirnya Orde Baru 1965.
Khususnya sampai dengan lahir UU No. 11/1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers94.

Di samping Surat Izin Terbit (SIT), sejak pecahnya Gerakan 30 September 1965 berlaku pula
Surat Izin Cetak (SIC), yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komanda Operasi
Penulisan Keamanan dan ketertiban Derah (Kopkamtibda)95.

Dengan adanya SIC itu, Laksusda berhak penuh melakukan pemanggilan kepala wartawan
yang dinilai melakukan kesalahan atau yang dianggap perlu dimintai keterangan. Nomor Izin
Cetak harus dicantumkan pada setiap penerbitan pers, seperti halnya Nomor Izin Terbit yang
dikeluarkan oleh Menteri Penerangan96.

Ketentuan mengenai SIT dalam UU Pokok Per situ diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Penerangan No.03/Per/Menpen/1969, tanggal 27 Mei 1969. Di dalam peraturan ini
dikemukakan secara terperinci syarat-syarat untuk mendapatkan SIT beserta acara-caranya.

92
Tribuana Said. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. hlm 79
93
Tribuana Said. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila hlm 80
94
Tim LSPP.. hlm 183
95
Tim LSPP.. hlm 189
96
Tim LSPP.. hlm 190
35
Di samping SIT danSIC, sebenarnya masih ada yang disebut Surat Izin Pembagian Kertas
(SIPK). Izin ini dia akan sejak soal kertas Koran merupakan masalah. Persoalan kertas Koran
ini memang rumit, dan diatur secara khusus oleh Departemen Keuangan.

Masalah kertas koran yang masih impor ini bisa dijadikan “senjata” untuk menghambat
perkembangan pers. Meskipun sekarang sejumlah surat kabar bisa melakukan impor kertas
sendiri, tetapi itu tidak berarti mereka terbatas dari ketentuan-ketentuan yang bisa
“dipukulkan” terhadap mereka97.

Dari kebijaksanaan pemerintah terhadap pers, baik di zaman Belanda, Jepang maupun RI,
nyatalah betapa wewenang untuk membredel pers merupakan salah satu ciri yang menonjol.
Dan dasar dari wewenang itu selalu: “untuk menjaga ketertiban umum”98.

Meskipun Pers breidel Ordonnantie dari tahun 1931 sudah dicabut pada tahun 1954 di zaman
pemerintahan RI, tetapi masih adanya lembaga SIT praktis berarti kuatnya wewenang
penguasa untuk melakukan pembredelan atau untuk menentukan boleh-tidaknya seorang
warga negara mengusahakan penerbitan pers99.

Dalam praktik, jika salah satu dari ketentuan itu masih berlaku, efeknya terhadap pers masih
tetap sama saja. Dengan meniadakan Persbredel Ordonnantie pada tahun 1954, penegasan
tiadanya sensor serta pembredelan dalam UU Pokok Pers 1966 (pasal 4) dan tidak perlunya
SIT (pasal 8), pada hakikatnya Pemerintah RI pun mengakui bahwa pembredelan pers dan
izin penertiban surat kabar tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kita bernegara100.

Selain pembredelan pers sekarang masih berlaku, ketentuan UU zaman Belanda yang sampai
kini juga belum dihapus adalah HaatzaaiArtikelen. Itu sebabnya dalam sidang parlemen 23
Juni 1954 yang membicarakan RUU Pencabutan Persbreidel Ordonnantie, banyak anggota
yang menyetujui usulan mandemen Tan PoGoan. Dalam usul ini dikemukakan, agar
pencabuan Pers breide lOrdonnantie dibarengi juga dengan pencabutan pula pasal 11 SOB
(Peraturan dalam Keadaan Perang dan Darurat Perang)101.

Meskipun gagasan pencabutan pasal 207 dan 208 KUHP serta pasal 11 SOB pada prinsipnya
disetujui oleh sidang untuk memisahkan gagasan itu menjadi usul inisiatif tersendiri yang

97
Taufik. Taufik. Seabad Pers Kebangsaan, (Jakarta: I. Boeke, 2007). hlm. 190
98
Taufik. Seabad Pers Kebangsaan, (Jakarta: I. Boeke, 2007). hlm. 190
99
Tim LSPP. hlm 190
100
Tim LSPP. hlm. 191
101
Tim LSPP.. hlm 190
36
akan dibicarakan dalam rapat-rapat bagian. Dalam sidang tanggal 23 Juni 1954 itu akhirnya
hanya disetujui RUU tentang Pencabutan PersbredelOrdonnantie102.

Pemberangusan Koran-Koran
Dalam UUDS yang berlaku setelah pembatalan UUD RIS pada tahun 1950, terdapat satu
pasal yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat” (pasal 19). Tetapi dalam pasal-pasal KUHP mengenai tindak pidana
pers dan juga persbreidel Ordonantie Tahun 1931 bikinan Belanda masih tetap berlaku. Baru
pada tahun 1954 Persbreidel Ordonantie tersebut dicabut berdasarkan UU No. 23 Tahun 1954,
karena dianggap bertentangan dengan pasal 19 UUDS 1950. Begitupun pembreidelan maupun
penangkapan terhadap wartawan terjadi atas dasar pasal-pasal dalam Reglement Staat van
Oorlog en Beleg (SOB) peninggalan Pemerintahan kolonial Belanda.
Berbeda dengan masa 1945-1949, pers Indonesia sejak pengakuan kedaulatan mulai
menghadapi penuntutan hkum karena kasus-kasus delik. Dalam tiga tahun pertama periode ini
tercatat tidak kurang dari 11 perkara delik, yang terbagi dalam lima jenis:
1. Delik terhadap kepala negara/wakil kepala negara
2. Delik terhdap pemerintah
3. Delik terhadap alat negara
4. Delik terhadap pegawai negeri dalam melakukan tugas,
5. Delik terhadap kepala negara dan wakil kepala negara sahabat.
Dasar hukum pemroses kasus-kasus delik tersebut dipengadilan adalah undang-undang dan
peraturan-peraturan peninggalan kolonial. Memang, perkara delik tidak dapat dijadikan dalil
untuk memberangusan penerbitan pers. Begitu pun, pencabutan persbreidel Ordonantie
merupakan langkah maju dalam proses dekolonisasi yang sedang berjalan.
Adanya SO dengan sendirinya memberi peluang bagi aparatur keamanan pemerintah untuk
mengambil tindakan terhadap pers bila dipandang perlu.

102
I.G.N Soebagio. Sejarah Pers Indonesia hlm. 76

37
Dalam kongres PWI keempat pada tanggal 12-15 Mei 1950, beberapa kasus telah dibahas,
misalnya penahanan atas beberapa wartawan di Surabaya, Ternate dan Manado. Pada bulan
Oktober 1950, pemimpin rdkasi Kgn Po Injo Beng Goat diadili karena tajuknya mengulas
tentang reorganisasi dalam tentara yang dinilai melanggar KUHP (pasa 171 ayat 11), yaitu
dengan sengaja menimbulkan keresahan dalam masyarakat dengan menyebarkan desus-desus.
Kemudian, pada bulan Desember tahun itu, redaktur Suara Merdeka Semarang sempat
ditahan karena memberitahukan kasus desersi sekolompok tentara di Kudus.

Sumber: Asa Bafaqih: memimpin demonstrasi wartawan Jakarta tanggal 5 Agustus 1953 menolak tuduhan
bahwa berita dalam harian pemandangan yang dipmpinnya merupakan pembocoran rahasia negara dan
menolak untuk menyebutkan sumber berita itu. (Repro Ipphos)

Peristiwa besar dalam masa kabinet Sukiman (April 1951 Februari 1952) adalah penangkapan
sekitar 15.000 orang diseluruh Indoensia pada pertengahan bulan Agustus 1951. Mereka
terdiri dari orang-orang PKI, diantaranya anggota parlemen, tokoh-tokoh masyarakat Cina,
gembong-gembong partai dan juga sejumlah wartawan. Adajuga anggota-anggota Masyumi
yang ditahan, termasuk Isa Anshary. Beberapa surat kabar seperti Abadi, Pedoman, Indonesia
Raya, Merdeka, Waspada dan harian Belanda Java Bode pada mulanya menyambut baik
operasi tersebut, tapi kemudian tindakan pemerintah Sukiman menimbulkan perdebatan
hangat. Demikianlah, tatala Kabinet Sukiman jatuh, beberapa surat kabar, antara lain Abadi
dan Pedoman menyambutnya dengan rasa lega.

38
Kabinet yang menyusul, pimpinan Perdana Menteri Wilopo (April 1952-Juni1953),
menghadapi persoalan dalam tentara keluarnya Nadhatul Ulama dari Masjumi, dan
pencabutan SOB.

Sumber: Harian Pemandangan 8 Agustus 1955 memberikan keterangan pimpinan PNI untuk membantu
formatir kabinet, Burhanddin Harahap dari Masjumi.

Sumber: Indonesia Raya edisi 19 Juli 1955 menyajikan berita yang menyerang PNI.

Perdebatan mengenai masalah angkatan bersenjata Republik, terutama antara komisi


pertahanan dalam parlemen dengan pimpinan departemen pertahanan, memuncak dengan
peristiwa demonstrasi di epan Istana Merdeka pada tanggal 17 Oktober 1952. Dalam persitiwa
39
tersebut terjadi penahanan terhadap Sukiman, Muhamad Yamin dan empat anggota parlemen
lainnya, larangan keluar rumah antara pukul delapan malam dan lima pagi, larangan
berkumpul dan pemberangusan dua surat kabar harian Jakarta-Merdeka dan Berita Indonesia-
dan majalah Mimbar Indonesia serta Mingguan Merdeka. Gejolak tersebut disulut oleh
adanya beberapa mosi dalam parlemen (antara lain Mosi Manai Sophiaa) untuk meneliti
keadaan departemen pertahanan dan angkatan bersenjata.

Serangan terhadap parlemen sebelumnya juga telah dilancarkan oleh sebgain pers, antara lain
oleh Abadi, Indonesia Raya dan koran berbahasa Inggris yang dimpin Mochtar Lubis bernama
Times of Indonesia. Sekitar waktu itu parlemen sendiri sedang meyiapkan rancangan undang-
undang pers yang akan membatasi pers asing dan melarang pers Indonesia menerima bantuan
atau modal asing. Setidaknya dua tokoh, Sjamsuddin Sutan Makmur dan Sunarjo, telah
menyatakan bahwa mereka setuju rancangan undang-undang tersebut. Dari pihak pemerintah,
Roeslan Abdul Gani, waktu itu Sekretairs Jendral Kementrian Penrangan, menulis dalam
Mimbar Indonesia (17 Agustus 1952) bahwa kegiatan kewartawanan orang-orang perlu
dikenakan pembatasan. Bukan kebetulan bahwa pada bulan Oktober tahun itu pemimpin
redaksi Nieuw Soerabajasch Handelsblad Surabaya, Ny. Fuhri Mierop, diadili atas tuduhan
menghina dan menyebarkan kebencian dan rasa permusuhan dalam ulasannya tentang pidato
presiden, Wartawan Belanda tersebut kemudian diusir dari Indonesia. Ny.Fuhri-Mierop telah
pernah diadili dalam kasus delik yang diajukan oleh Ir. H. Laoh, waktu menjabat menteri
tenaga dan pekerjaan umum dalam kabinet Hatta masa RIS.

Juga dalam tahun 1952, seorang menteri lain pernah menuntut surat kabar karena menghina.
Dr. Sumitro, waktu itu menteri keuangan, mengadukan Merdeka ke pengadilan kerana tulisan
dan karikatur mengenai kasus penjualan besi tua sisa Perang Dunia II di Pulai Murotai dekat
Halmahera. Karena Sumitro menyebut Merdeka sebagai “Koran Kuning” (Yellow Paper)
pemimpin redaksi B.M. Diah balik menuntut Sumitro ke pengadilan. Menurut penulis
Soengjo I.N, inilah pertama kali istilah “koran kuning” digunakan dalam dunia pers di
Indonesia.

40
Sumber: Dalam warta Bandung 10 Januari 1956 diberitakan kemungkinan Menteri Luar Negeri Anak Agung
dikorbankan untuk menyelamatkan Kabinet Burhanuddin Harahap.

Sumber: Harian Waspada Medan edisi 11 Januari 1956 memuat berita tentang partai kecil Partai Rakyat
Nasioonal meng-ulti-matum kabinet Masjumi yang dipimpin Burhanuddin Harahap.

41
Sumber: KSAD Mayor Jenderal Bambang Sumber: Tanggal 24 Desember 1956,
Sugeng mengirim surat kepada PWI Pusat Harian Pedoman menyiarkan: Kolonel
agar pers jangan membuat berita yang Simbolon memberntuk “Dewan Gajah”,
dapat merugikan operasi keamanan di Kabinet memecat Simbolon dan foto-foto
Aceh. Hal ini menjadi berita utama Letkol A. Husein yang sebelumnya telah
pemandangan edisi 15 Maret 1955 mendirikan “Dewan Banteng”.

Masalah perundingan dengan kerajaan Belanda tentang status Irian Barat merupakan salah
satu topik hangat masa Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953). Berbagai aksi protes terhadap
Belanda terjadi dibeberapa tempat. Antara Bulan Maret dan April 1953 terjadi penyerbuak ke
dua surat kabar Belanda, Malang Post dan De Vrije Pers Surabaya, oleh kelompok pemuda.
Tetapi, tindakan kekerasan juga pernah dialami oleh Antara cabang semarang dan harian
Waspada Medan dalam persoalan lain.

Pelantikan kabinet Ali Sastroamidjojo (Juli 1953-juli 1955) tanpa dukungan wakil-wakil dari
Masjumi, medapat sambutan sinis dari pers Masjumi dan PSI. Mimbar Indonesia menurunkan
tajuk berjudul “Belasungkawa kita kepada rakjat Indonesia”. Abadi menulis bahwa Indonesia
telah mengambil satu langkah lagi menuju kekacauan yang sangat besar dalam masyarakat.
Pada tahun 1953, kasus penindakan pers memang meningkat sedikit dibanding tahun
sebelumnya: 14 untuk 1953, 12 untuk 1952. Tahun 1952 tercatat lima kasus yang menyangkut
pers Indonesia dan 7 kasus menyangkut yang non-Indonesia. Tahun 1953, perbandingan
inibarbalik: DI Banjarmasin, pemimpin redaksi Tekad, Asnawi Musa, dan pemimpin redaksi
Tugas, A. Djohansjah, ditahan atas tuduhan menghina pejabat-pejabat setempat.

42
Kasus pers yang menonjol pada tahun tersebutadalah gugatan pemerintah terhadap pemimpin
redaksi Pemandangan, Asa Bafagih, yang dituduh membocorkan rahasia negara. Untuk
menangkis tuduhan itu, Mochtar Lubis bersama Asa Bafagih memimpin satu demonstrasi
protes para wartawan di Jakarta ke beberapa menteri, jaksa agung dan parlemen, pada tanggal
5 Agustus 1953. Setelah pawai protes tersebut, Jaksa Agung Suprapto mengumumkan bahwa
penuntutan terhadap Asa Bafagih tidak dilanjutkan. Asa Bafagih sendiri awal tahun
berikutnya pindah ke surat kabar baru NU, Duta Masjarakat yang memuat kata sambutan dari
Presiden Sukarno.

Kasus-kasus pers selama tahun 1954 antara lain terdiri dari pengusiran redaktur koran
Belanda di Surabaya De Vrije Pers pemeriksaan oleh polisi terhadap redaktur Keng Po
(karena tulisan berjudul “Berapa lama kabinet Ali-Wongso akan bertahan?”), hukuman
penjara tujuh hari terhadap pemimpin redaksi Harian Rkjat (karena tulisan yang menyerang
presiden AS). Pada tahun ini tercatat seluruhnya delapan kasus pers.

Sumber: Tanggal 4 Desember 1957, Keng Po memberitakan pengambil alihan perusahaan pelayanan Belanda
KPM, keterangan Mohammad Hatta menyambut gembira presiden selamat dari perbuatan teror, dan seruan
Menteri Penerangan bahwa setiap aksi sejalan dengan politik pemerintah.

Dalam masa kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), kasus-kasus


mengenai pers antara lain adalah penuntutan terhadap Berita Indonesia (perkara menodai
nama baik pimpinan Masjumi), terhadap Bintang Timur¸ pengrusakan oleh sejumlah orang
terhadap kantor Java Post dan Daily News Surabaya, dan beberapa peristiwa lainnya..

43
Dalam masa kabinet Ali Sastroamidjojo yang kedua (20 Maret- 14 Maret 1957) jumlah kasus
pers meningkat pesat. Pada awal tahun 1956 Menteri Luar Negeri Subandrio mengemukakan
pendapat bahwa pers Indonesia telah melakukan anarki dan mengancam bahwa pemerintah
akan mengadakan penertiban. Pada 14 September tahun itu pihak angkatan darat
mengumumkan keadaan darurat dan khusus menyangkut pers mengeluarkan ketentuan
sebagai berikut:

Selama tahun 1956 tercatat sebanyak 32 kasus pers meliputi penahanan, pemeriksaan,
peringatan, gugatan dan sebagainya. Jumlah ini melonjak pada tahun berikutnya menjadi 125
kasus-kasus pers. Dari jumlah 125 tersebut, 13 merupakan penahanan, 7 hukuman penjara, 22
pemeriksaan dan peringatan, 32 pembreidelan, dan sebagainya. Wartawan yang tergolong
paling sering dan lama ditahan dalam periode ini adalah pimpinan redaksi Indonesia Raya
Mochtar Lubis.

Sebelum keadaan darurat yang dimumkan bulan september 1956, sebenernya pihak
pemerintah, khusus jajaran keamanan, telah banyak memberikan imbauan atau peringatan
pemerintah tersebut tidak saja menyangkut soal-soal pejabat tetapi juga berkenaan dengan
operasi keamanan yang mengalami peningkatan akibat pemberontakan bersenjata atau
pembangkangan di beberapa provinsi sejak tahun 1950. Misalnya, pada bulan Maret 1955,
kepala staff angkatan darat waktu itu, mayor Jenderal Bambang Sugeng, pernah menulis surat
kepada pengurus pusat PWI meminta perhatian para wartawan tentang “cara pemberitaan
mengenai peristiwa di Aceh yang telah menimbulkan akibay-akibat yang merugikan di dalam
pasukan-pasukan Indonesia”. Setelah kabinet Ali Sastroamidjojo mundur pada 14 Maret
1957, puncak kemelut politik dan keamanan dalam negeri ditandai dengan keluarnya
keputusan Presiden Sukarno untuk memberlakukan keadaan SOB.

Pemerintah pusat yang diselenggarakan oleh Kabinet Djuanda Kartawidjaja sejakdibenuk


bulan April 1957 menghadapi tugas-tugas berat di bidang politik, ekonomi maupun
keamanan. Pada tanggal 3 Desember 1957, sebagai akibat kegagalan PBB untuk
menyelesaikan sengketa Irian Barat Organisasi-Organisasi Buruh PNI, PKI dan lain-lain
melancarkan aksi-aksi pengambil alihan pemerintah mengeluarkan perintah kepada 46.000
warga negara Belanda untuk meninggalkan Indonesia. Pada pertengahan bulan Februari 1958,
PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi mengadakan pemberontakan terbuka terhadap
pemerintah pusat, sedang pada bulan September Menteri Pertahanan Jenderal A.H Nasution

44
mentapkan pelarangan Masjumi, PSI dan partai-partai kecil lainnya yang mendukung
pemberontakan tersebut.

Dengan latar belakang kondisi politik dan keamanan di atas dan berdasarkan ketentuan SOB,
penindakan yang miengkat terhadap pers dengan sendirinya tidak dapat dihindarkan. Pada
bulan September 1957, tidak kurang dari 13 penerbitan pers di Jakarta terkena pembreidelan
sekaligus. Mereka adalah Harian Rakyat, Pedoman, Indonesia Raya, Bintang Timur, Keng
Po, Djiwa Baru, Merdeka, Pemuda Java Bode, Abadi dan kantor berita Antara INPS serta
Aneta. Pembreidelan ini berlaku selama 24 jam. Menyusul pada awal Desember, semua surat
kabar berbahasa Belanda terkena larangan terbit.

Pada bulan April 1958, pemerintah melarang semua koran-koran berbahasa Cina. Di Medan
koran-koran yang ditutup adalah The Sumatra Times, New China Times, Sumatra Bin Poh,
Hwa Chou Jit Poh, dan Democratic Daily News. Di ujung pandang, terdapat empat surat
kabar . Kuo Min-Tang, Chiao Seng Po, Daily Chonicle dan Daily Telegraph. Larangan
tersebut dicabut kembali sebulan kemudian. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan
ketentuantuannya hanya mengizinkan terbitnya sebelasa surat kabar berbahasa Cina di
Indonesia, sedang beberapa koran miliki Cina, seperti Keng Podan Sin Po, diwajibkan
mengganti nama (Sin Po menjadi Pantjawarta, Keng Po menjadi Pos Indonesia).

Sejak menjelang penutupan tahun 1956 presiden Soekarno sudah mulai mengkampnyekan
gagasannya mengenai Demokrasi Terpemimpin. Merdeka, 21 Desember 1955 menyiarkan
berita utama: Demokrasi Terpemimpin terbaik buat Indonesia.

Mengenai kasus-kasus menyangkut pers nasional sepanjang tahun 1958, catatan penulis
Soebagijo I.N dalam bukunya, mengutip laporan pengurus pusat PWI kepada kongres PWI IX
di Bandung tahun 1959, adalah sebagai berikut:
15 Januari: pembreidelan Suara Maluku Ambon

45
24 Januari: penyerbuan kantor Masjarakat Baru Samarinda.

28 Januari: penahanan wartwan Satya Graha dari Berita Minggu dan Tom Anwar dari Bintang
Minggu Jakarta.

31 Januari: Pembreidelan Suara Islam Maluku dan penahanan redakturnya Ali Fauzy.

1 Februari: penahanan Enggak Bahauddin dari Indonesia Raya.

3 Februari: penahanan Suharto dari Indonesia Raya.

6 Februari: panahanan Asfia Mahjus dari Tjahaja Islam Pontianak.

20 Februari: penahanan M.A Syamsuddin dari Penerangan Padang.

21 Februari: pembreidelan Keng Po.

22 Februari: pembreidelan Pedoman.

23 Februari: pembreidelan Bintang Minggu.

24 Februari: pemukulan terhadap Chutbanny dari Utusan Banten Serang.

25 Februari: pembreidelan Tegas Banda Aceh.

13 Maret: pembreidelan Bara Ujung Pandang.

21 Maret: penahan Syarie Musyoffa dari Indonesia Berjuang dan Syahdan Salim Rahman
dari Terompet Islam Banjarmasin. Juga penahanan Notosutardjo dari Pemuda Jakarta.

1 April: pembreidelan Suara Maluku Ambon.

2 April: pembreidelan Sin Po Jakarta dan Tjahaja Timur Ujung Pandang.

12 April: pembreidelan Pembangunan Palembang.

14 April: pembreidelan Pemuda Jakarta.

29 April: pembreidelan Pembangunan dan Suara Rakjat Sumatera Palembang dan penahanan
Idrus Nawawi dari Suara Rakjat Sumatera.

6 Mei: penahanan Salman A.S dari Marhaen Ujung Pandang.

8 Mei: penahanan Jusuf Sou’yb dari Lembaga Medan.

9 Mei: pemeriksaan Abdul Muis dari Barat Ujung Pandang.

10 Mei: pembridelan Lembaga Medan.

22 Mei: penahanan Ismuwil dari Waspada Jakrta, Tom Anwar dari Bintang Timur, Suhardi
dari Berita Minggu, Jakarta.

46
29 Mei: pembreidelan Aneta, Indonesia Raya dan Bintang Minggu Jakarta.

14 Juni: pembreidelan Berita Minggu Jakarta.

Juni: pembreidelan Fikiran Rakjat Palembang.

25 Juni: pembreidelan Indonesia Raya Jakarta.

2 Agustus: tewasnya Darwis Abbas dan Sofyan Manan dari Haluan Padang.

28 Agustus: pembreidelan Obor Rakjat Palembang.

6 September: pembreidelan Berdjuang Lombok.

25 September: pembreidelan Bara Ujung Pandang.

4 Desember: pembreidelan Pasific Samarinda.

9 Desember: penggranatan percetakan harian Patriot Medan.

13 Desember: pembreidelan Times of Indenesia Jakarta.

27 Desember: larangan mengedarkan Suluh Indonesia Jakrta di Sumatera Selatan dan Jambi.

Satu penilaian tenatng isi pers nasional pada masa ini telah diberikan oleh harian Masjumi
Abadi yang dipimpin oleh Suardi Tasrif, dalam tajuknya 25 November 1958.

C. Peran dan Fungsi Pers Orde Lama


Pers Sebagai Organ Partai
Setelah pengakuan kedaulatan, sruktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa
sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan China. Koran-koran
Belanda yang hadir sebelum masa kemerderkaan dibolehkan hadir oleh pemerintah dan
dianggap sebagai Koran Tamu. Koran-koran tamu itu mempunyai percetakan sendiri, lengkap
dengan peralatannya yang serba modern. Dan merekapun mendapat privilege yang sama
dengan Koran-koran Belanda ini dibenarkan menulis apa saja yang mereka kehendaki, dan
kantor beritanya pun masih tetap pula dibenarkan menyiarkan berita yang sesuai dengan
selara mereka sendiri103.
Namun secara ekonomi organ pers pribumi mengalami kelesuan dalam keuangan terutama
dibandingkan dengan organ pers Belanda atau China yang didukung oleh capital besar104,
sebaliknya Pers pribumi tidak mengalami kapital yang besar. Pers Pribumi yang dapat
bertahan ialah pers yang tercatat sebagai organ Partai seperti harian pedoman, abadi, yang
nota bene adalah harian milik partai politik.
Menurut catatan tahun 1954, di Jakarta tercatat sebanyak 27 surat kabar dengan jumlah oplah
hampir 50% dari jumlah oplah untuk seluruh Indonesia. Koran-koran yang mencatat oplah

103
I.N.H Soebagijo. Sejarah Pers Indonesia. (Jakarta:Dewan Pers, 1977). Hlm 99
104
Said Tribuana. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta:CV Haji Masagung, 1988)
hlm. 95-99

47
besar umumnya merupakan organ atau pendukung partai, Harian Rakyat (PKI) 55.000
eksemplar, Pedoman (PSI) 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia 40.000 eksemplar, dan Abadi
(Masyumi) 34.000 Eksemplar. Selain surat-surat kabar di atas di Jakarta terbit harian
Pemandangan, Merdeka, Bintang Timur (organ Partindo), Duta Masyarakat (organ Nahdatul
Ulama), Sin Po (China, Komunis), Keng Po (Cina nonkomunis)105.

Pada masa ini Pers digunakan oleh Partai Politik terutama sebagai sebuah alat propaganda
politik terutama menjelang Pemilu 1955, oplah dan penerbitan surat kabar mengalami
peningkatan yang demikian pesat, dibandingkan periode sebelumnya. hal ini disebabkan para
politikus menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik perhatian umum dan dukungan
Umum.
Menurut Hatta, surat kabar yang telah menjadi suara golongan politik tertentu tidak
mengurangi kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai suatu kesatuan, pers
adalah suara dari rakyat yang merdeka, yang bebas mengeluarkan pendapat yang berlainan
tentang masalah-masalah negara dan masyarakat. Tetapi tambahnya, dalam proses
pembangunan, kedudukan dan peranan pers nasional tidak semata-mata menjadi “anggota
perasaan umum” atau terompet perasaan umum, melainkan mendorong perasaan umum itu
untuk menginsafi dasar-dasar perekonomian negara dan masyarakat106.
Namun-namun kemudian hasil-hasil yang terjadi ketika partai menjadi organ politik partai
politik ialah, praktek-praktek dimana pemerintah memberikan dukungan kepada pers yang
menyokonngnya di satu pihak, dan menghambat mereka yang menentangnya. Surat-surat
kabar yang mendukung suatu kabinet biasanya akan memperoleh pesanan besar dari kantor-
kantor pemerintah, mendapat kredit untuk membeli perangkat keras, dan lebih disukai bila
ada undangan untuk ikut delegasi-delegasi ke luar negeri, sebaliknya wartawan-wartawan
Koran lawan akan mendapat larangan terbit.
Kebijaksanaan pemerintah terhadap pers di zaman Indonesia merdeka mengalami beberapa
kali perubahan. Hal itu disebabkan beberapa kali pula terjadi perubahan dalam corak
pemerintahan.
Kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda terhadap pers yang tertuang dalam Pers breidel
Ordonnantie, secara formal belum diganti pada awal pemerintahan Republik Indonesia. Baru
pada tahun 1954, tanggal 2 Agustus, berlakulah pencabutan Pers breidel Ordonnantie itu.
(UU No.23 tahun 1954, Lembaran Negara 54-77).
Penghapusan Pers breidel Ordonnantie itu antara lain diperjuangkan oleh Persatuan
Wartawan Indonesia yang didirikan di Sala 9 Februari 1953. Dalam kongresnya ke-7 di
Denpasar bulan Agustus 1953 misalnya, PWI mengeluarkan keputusan: Menurut kepada
pemerintah supaya segera mengeluarkan Undang-Undang Pers yang bersumber pada hak
kemerdekaan berfikir dan kebebasan mempunyai serta mengeluarkan pendapat, sesuai dengan
pasal 18 dan 19 Undang-Undang Dasar Sementara. Dalam kaitan ini kongres memutuskan

105
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm. 96
106
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm. 101

48
pula untuk membentuk panitia, yang sama-sama dengan Pengurus Pusat PWI
memperjuangkan segera dikeluarkannya UU Pers yang mencakup hak ingkar, larangan
terhadap persasing dan penghapusan Pers breidel Ordonnantie.
Sebelum UU Pokok Pers akhirnya disahkan pada tanggal 12 Desember 1966, pers Indonesia
masih menghadapi peraturan-peraturan yang dirasa menekan oleh para wartawan.
Perkembagan politik besar peranannya dalam melahirkan peraturan-peraturan itu107.
Diantara peraturan-peraturan tersebut, dapat dikemukakan antara lain peraturan yang
dikeluarkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer pada 14 September
1956 (Peraturan KSAD selaku Penguasa Militer No.PKM/001/0/1956)108.
Pasal 1 peraturan itu menegaskan larangan untuk cetak, menerbitkan dan menyebarkan serta
memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise atau lukisan-lukisan yang memuat atau
mengandung kecaman, persangkaan atau penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden,
sesuatu kekuasaan atau majelis umum atau “seorang pegawai negeri pada waktu itu atau
sebab menjalankan pekerjaan dengan sah”109.
Larangan itu berlaku juga bagi tulisan-tulisan, yang dinilai “memuat atau mengandung
pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antaranya atau terhadap golongan-
golongan penduduk”. Dilarang pula “tulisam-tulisan yang memuat berita-berita atau
pemberitahuan-pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat”110.
Ketentuan tersebut, yang sangat mirip dengan isi Haatzaai Artikelen, mendapat protes keras
dari surat-surat kabar dan PWI mulai dari Pusat sampai ke cabang-cabang.Serikat Perusahaan
Surat kabar (SPS) Pusat menolak dan mengecam peraturan ini. PWI cabang Besuki bahkan
menganjurkan rekan-rekannya mem-blok out semua berita tentang ketentaraan kalau
peraturan Kasad tetap berlaku. (178)
Peraturan yang ditandatangani oleh KSAD Mayor Jenderal A.H. Nasution itu akhirnya
dicabut pada 28 November 1956. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pembredelan,
sensor dan tindakan-tindakan terhadap para wartawan tidak terjadi lagi. Faktanya akan
dikemukakan dalam bagian berikut.
Pembatasan-pembatasan terhadap pers justru semakin terasa, setelah diumumkan Keadaan
Perang pada 14 Maret 1957. Perlu dicatat adanya usaha-usaha, baik dari pihak para wartawan,
Kementrian Penerangan maupun Penguasa Militer untuk menyelesaikan masalah-masalah
pers yang timbul, sebaik mungkin111.
Sebagai hasil pertemuan-pertemuan antara berbagai pihak itu, disepakati antara lain
membentuk “Badan Kontak”, baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Badan kontak antara
pemerintah-penguasa militer di satu pihak itu dimaksudkan untuk menampung persoalan-
persoalan yang timbul di antara pers dan pemerintah umumnya juga terhadap tindakan-
tindakan yang diambil.
Sebelum Badan Kontak itu dibentuk, Sekjen Departemen Penerangan di kala itu (1957), R.M.
Harjoto, diterima sebagai perantara antara penguasa militer dengan pers.Bandan Kontak itu,

107
Tim LSPP. Media Sadar Publik. (Jakarta : Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005). Hlm. 176-179
108
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm. 179
109
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm. 180
110
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm. 190
111
Tim LSPP. Media Sadar Publik. (Jakarta : Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005). Hlm. 180

49
tidak saja diusahakan terbentuk di Pusat, tetapi juga di daerah-daerah.Di kala itu penguasa
militer di daerah masing-masing sering membuat peraturan-peraturan sendiri dan melakukan
tindakan-tindakan sendiri terhadap persatuan pun wartawan.
Itulah sebabnya Kepala Staf Angkatan Darat yang juga menjadi Penguasa Militer Pusat,
Mayor Jenderal A.H Nasution, mengeluarkan instruksi kepada para penguasa militer di daerah
tertanggal 4 Desember 1957, yang isinya sebagai berikut: Semua peraturan mengenai
pembatasan pemasukan surat-surat kabar dan sensor preventif yang dibuat oleh masing-
masing Penguasa Militer Daerah112, supaya dicabut.
Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya akhirnya mengeluarkan juga ketenuan menegnai
permintaan izin terbit bagi harian-harian dan majalah-majalah di Jakarta. Ini terjadi tanggal 1
oktober 1958113. Pemerintah Hindia Belanda dalam ketentuan-ketentuan yang mengenai pers
tidak mengadakan izin terbit, meskipun masalah lisensi atau izin terbit ini pernah menjadi
masalah hangat dikalangan penguasa colonial. Ketentuan mengenai izin terbit bagi per situ
baru kemudian diadakan oleh Pemerintah Balatentara Jepang dan di zaman Republik
Indonesia, dimulai sewaktu berlakunya SOB tersebut sampai sekarang114.
Suatu ketentuan yang menarikdanbarupertama kali terjadi dalam sejarah pers di Indonesia,
ialah berlakunya ketentuan mengenai jumlah iklan yang maksimal boleh dimuat oleh sebuah
surat kabar. Para pemimpin surat kabar diminta untuk membuatiklan tidak lebih dari sepertiga
ruangan atau halaman-halaman yang tersedia.
Setelah pengakuan kedaulatan, sruktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa
sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat-surat kabar Belanda dan China115. Koran-koran
Belanda yang hadir sebelum masa kemerderkaan dibolehkan hadir oleh pemerintah dan
dianggap sebagai Koran Tamu. Koran-koran tamu itu mempunyai percetakan sendiri, lengkap
dengan peralatannya yang serba modern. Dan merekapun mendapat privilege yang sama
dengan Koran-koran Belanda ini dibenarkan menulis apa saja yang mereka kehendaki, dan
kantor beritanya pun masih tetap pula dibenarkan menyiarkan berita yang sesuai dengan
selara mereka sendiri.
Namun secara ekonomi organ pers pribumi mengalami kelesuan dalam keuangan terutama
dibandingkan dengan organ pers Belanda atau China yang didukung oleh capital besar,
sebaliknya Pers pribumi tidak mengalami kapital yang besar. Pers Pribumi yang dapat
bertahan ialah pers yang tercatat sebagai organ Partai seperti harian pedoman, abadi, yang
nota bene adalah harian milik partai politik116.
Menurut catatan tahun 1954, di Jakarta tercatat sebanyak 27 surat kabar dengan jumlah oplah
hampir 50% dari jumlah oplah untuk seluruh Indonesia. Koran-koran yang mencatat oplah
besar umumnya merupakan organ atau pendukung partai, Harian Rakyat (PKI) 55.000
eksemplar, Pedoman (PSI) 48.000 eksemplar, Suluh Indonesia 40.000 eksemplar, dan Abadi
(Masyumi) 34.000 Eksemplar117. Selain surat-surat kabar di atas di Jakarta terbit harian

112
Tim LSPP. Media Sadar Publik. (Jakarta : Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005). Hlm. 179
113
Tim LSPP. Media Sadar Publik. (Jakarta : Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005). Hlm. 180
114
Tim LSPP. Media Sadar Publik. (Jakarta : Lembaga Studi dan Pembangunan, 2005). Hlm. 190
115
Said Tribuana. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila. (Jakarta:CV Haji Masagung, 1988)
hlm. 112-113
116
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm. 130
117
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm. 190
50
Pemandangan, Merdeka, Bintang Timur (organ Partindo), Duta Masyarakat (organ Nahdatul
Ulama), Sin Po (China, Komunis), Keng Po (Cina nonkomunis)118.
Pada masa ini Pers digunakan oleh Partai Politik terutama sebagai sebuah alat propaganda
politik terutama menjelang Pemilu 1955, oplah dan penerbitan surat kabar mengalami
peningkatan yang demikian pesat, dibandingkan periode sebelumnya. hal ini disebabkan para
politikus menggunakan Pers sebagai sarana untuk menarik perhatian umum dan dukungan
Umum.
Menurut Hatta, surat kabar yang telah menjadi suara golongan politik tertentu tidak
mengurangi kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai suatu kesatuan, pers
adalah suara dari rakyat yang merdeka, yang bebas mengeluarkan pendapat yang berlainan
tentang masalah-masalah negara dan masyarakat. Tetapi tambahnya, dalam proses
pembangunan, kedudukan dan peranan pers nasional tidak semata-mata menjadi “anggota
perasaan umum” atau terompet perasaan umum, melainkan mendorong perasaan umum itu
untuk menginsafi dasar-dasar perekonomian negara dan masyarakat.
Namun-namun kemudian hasil-hasil yang terjadi ketika partai menjadi organ politik partai
politik ialah, praktek-praktek dimana pemerintah memberikan dukungan kepada pers yang
menyokonngnya di satu pihak, dan menghambat mereka yang menentangnya. Surat-surat
kabar yang mendukung suatu kabinet biasanya akan memperoleh pesanan besar dari kantor-
kantor pemerintah, mendapat kredit untuk membeli perangkat keras, dan lebih disukai bila
ada undangan untuk ikut delegasi-delegasi ke luar negeri, sebaliknya wartawan-wartawan
Koran lawan akan mendapat larangan terbit119.
D. Gaya Pers dan Isu-Isu
Dalam seri pertamanya, Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis antara tahun 1950 dan
1958 membangun sebuah nama sebagai ‘koran utama membongkar aib di Jakarta’, dengan
gaya sensasionalis dan kenijakan redaksional investigasi yang agresif 120. Sementara itu,
Mochtar juga menjadi pendiri dan pemimpin redaksi harian berbahasa Inggris pertama di
Indonesia, The Times of Indonesia, Mei 1952, walaupun tekanan kerja di Indonesia Raya
mengharuskan dia meninggalkan kedudukannya di The Times setelah bekerja hanya 13 bulan.
Dalam iklim pascarevolusi, kehidupan umum dan politik semrawut dan berubah cepat.
Penerbitan-penerbittan muncul dan mencerminkan beragam pandangan politik. Partai politik
berkembang biak dengan menjadi lebih dari 28 partai atau organisasi politik mengikuti
pemilihan umum pertama di negeri ini pada 1955. Namun, politik nasional dikuasai empat
partai: Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi yang modernis Islam, Nahdlatul Ulama
yang lebih tradisional (yang pecah dari Masyumi pada 1952), dan PKI (Partai Komunis
Indonesia), yang masing-masing memperoleh lebih dari 16 persen suara pada 1955121.
Sekalipun prestasi pemilihan umumnya buruk (hanya memeroleh dua persen suara), PSI
merupakan partai minoritas berpengaruh dijajaran elite politik dan pegawai negeri. Setelah

118
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm.179
119
Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia di Indonesia (Triyinco:Jakarta, 1976). hlm. 170
120
Oey Hong Lee (1971) Indonesian Goverentment and Press During Guided Democracy, Hull Monograph s on
South-east Asia, Inter Documentation Company, Zug, hlm. 51-52. Untuk ikhtisar pers antara tahun 1950 dan
1958, lihat Oey 1971: 40-65 dan Smith 1970A: 119-71
121
Kenneth Conboy dan Jamees Morrison (1999) Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia,1957-
1958, Naval Institute Press, Annapolis, hlm. 13, yang menyatakan bahwa bahwa CIA (AS) menyediakan satu
juta dolar kepada Masyumi sebelum pemilihan umum untuk memperkuat pemilihan, lihat Feith 1962: 424-37.
51
kabinet peralihan nonpartai Wakil Presiden Hatta hinga Agustus 1950, enam kabinet koalisi
berjalan secara berturut-turut selama kurang dari tujuh tahun, tiga diketuai perdana menteri
Masyumi dan tiga lagi PNI. Mochtar Lubis memandan, baik perubahan kabinet yang kerap
kali itu maupun kemajemukan partai, sebagai pertanda bahwa sistem partai tidak stabil, yang
di dalamnya terjadi ‘dagang sapi’ diantara para pemimpin partai dan bukan apa yang baik
untuk masyarakat, dan itulah yang menentukan kebijakan pemerintah122.
Selama masa ini adalah hal yang lumrah bagi wartawan untuk merasakan bahwa pemerintah
yang sedang berkuasa akan menyukai koran-koran yang simpatik dengan partai atau koalisi
yang ada dalam pemerintah tersebut. Rasa suka itu berwujud dengan menyediakan berita dan
dukungan materi. Umpamanya, Rosihan Anwar, pemimpin redaksi terkemuka koran PSI
Pedoman, sangat kritis tentang perlakuan terhadap pers oleh, kabinet-kabinet pimpinan PNI
dibawah Ali Sostroamidjojo123, yang ia klaim ‘mengabaikan surat-surat kabar yang tergolong
besar (sirkulasinya) saat itu, seperti Pedoman, Indoneisa Raya dan Abadi, dan memberi
keuntungan bagi koran-koran yang sebenarnya kecil peredarannya, seperti Merdeka dan lain-
lain’124.
Sebagaimana disinggung oleh Rosihan Anwar, maka pedoman, Abadi dari Masyumi dengan
pemimpin redaksi Suardi Tasrif, bersama harian Tionghoa Keng Po yang digambarkan oleh
Feith sebagai ‘independen secara politis (tetapi cenderung Sosialis)’125, sering dipandang
sebagai satu kelompok besar bersama Indonesia Raya. Rosihan Anwar, Tasrif, dan Mochtar
berteman baik,dan terlepas dari sengketa dan friksi yang sering berlangsung diantara mereka,
kritik mereka yang paling keras diarahkan kepada kelompok lainnya. Terbitan-terbitan
nasionalis radikal ini termasuk Harian rakyat dari PKI, Suluh Indonesia dari PNI, Merdeka
dari B.M. Diah, dan koran peranakanTionghoa Sin Po126. Persteruan Indonesia Raya dengan
Merdeka, Harian Rakyat, dan Suluh Indonesia sering terlihat dari polemik dan perdebatan
penuh semangat di halaman-halaman koran-koran tersebut. Dengan mencerminkan berbagai
posisi politik, temmpat pasar pers iu bagaimanapun juga di dominasi oleh terbitan-terbitan
sekuler127.
Walaupun bukan salah satu koran terbesar, Indonesia Raya mencapai peringkat menengah
pada 1956. Dalam angka bulat (dengan menyadari angka penjualan sangat tidak bisa
dipercaya karena dikatrol ke atas untuk kepentingan iklan dan maksud-maksud lain, Sirkulasi
Indonesia Raya, dari dasar 5.000 pada 1950, merosot menjadi 3.500 pada Oktober 1951, naik
menjadi 10.000 pada 1954, dan melebihi 20.000 pada tahun 1955 ke 1957. Pada saat itu,
sirkulasi terbesar dimiliki Harian Rakyat (55.000), Pedoman (48.000), Suluh Indonesia
(40.000), dan Abadi (34.000) dan kebanyakan terbitan bersirkulasi di bawah 10.000128. Pada
1957 penjualan Indonesia Raya menanjak melebihi 40.000, dan mencapai puncakmya pada
122
Hill ( Mochtar Lubis Mochtar Lubis: Author, Editor, And Political Actor, tesis doktor Australian National
University, Canberra, hlm. 50-51
123
Ali Sostro Amidjojo memimpin dua kabinet : Juli 1953-Juli 1955 dan Maret 1956-Maret 1957 (Feith 1962)
124
Rosihon Anwar (1983) Menulis Dalam Air: Di Sini Sekarang Esok Hilang , Sebuah Otobiografi, Sinar
Harapan, Jakarta, hlm. 174
125
Feith 1962: 323
126
Charles A. Coppel (1983) Indonesian Chinese in Crisis, ASAA-Oxford Unniversity Press, Kuala Lumpur, hlm
9.
127
Hill ( Mochtar Lubis Mochtar Lubis: Author, Editor, And Political Actor, tesis doktor Australian National
University, Canberra, hlm. 52.
128
Atmakusumah 1980: 188
52
47.500 selama paruh waktu tahun kedua 1958, persis sebelum surat kabar Mochtar Lubis itu
berhenti terbit129. Secara nasional pada 1950 ada 92 surat kabarharian yang terdaftar dengan
sirkulasi total 499.500. penjualan selama dasawarsa hingga 1959 mencapai puncak pada tahun
1957 ketika ada 120 harian yang terdaftar dengan penjuaalan 1.049.500 eksemplar, tetapi
merosot pada 1958 menjadi 95 koran dengan 961.500 eksemplar dalam sirkulasi130.
Bila Indonesia Raya berdiri dengan bantuan dukungan dari militer, lalu bagaimana koran ini
membangun reputasi sebagai ‘Duri Independen’ di sisi pemerintah-pemerintahan yang sususl
menyusul? Lima isu kunci saat itu telah dipilih untuk perhatian khusus karena isu-isu itu
menggambarkan gaya jurmalisme dan politik koran dan pemimpin redaksinya tiga peristiwa
adalah penting dan besar secara nasional. Ini mencakup ketegangan dalam militerserta antara
militer dan pemerintahan sipil; dua isu lainnya kurang penting, tetapi mengungkapkan sifat-
sifat jurnalisme Indonesia Raya131.
Peristiwa 17 Oktober 1952
Satu contoh adanya titik temu pandangan antara perwira intel Siliwangi yang membantu
didirikannya Indonesia Raya dan redaksi koran itu adalah insiden 17 Oktober 1952. Ini
merupakan krisis politik pertama yang melibatkan tentara’132. Peristiwa ini menunjuk pada
adanya perpecahan yang rumit di dalam jajaran tentara dan menggambarkan rangkaian
perpecahan sosial dan politik yang mengembang133.
Rencana reorganisasi tentara, yang diketahui memeroleh dukungan Wakil Presiden Hatta,
untuk mengurangi jumlah pasukan dan menakankan pelatihan dan keterampilan di atas
semangat ber-revolusi, dipandang oleh para perwira yang dirugikan sebagai hal yang
‘menguntungkan administratur’ seperti para ‘teknokrat militer’ di pusat komando dan tidak
menguntungkan para perwira peta (Pembela Tanah Air) yang kurang tingkat pendidikannya
dan kini dalam ancaman dilepaskan. Para perwira yang menentang Nasution, Simatupang, dan
lain-lain yang berada di belakang rencana rasionalisasi itu menekan para politisi yang
bersimpati, khususnya di dalam PNI (Perdana Menteri Wilopo memimpin koalisi PNI),
Masyumi, dan beberapa partai kecil. Ada rasa tidak puas di dalam PNI mengenai dugaan
keuntungan dari kebijakan-kebijakan Wilopo bagi kelompok Nasution dan bukan bagi para
pendukung PNI dalam militer. Dengan tekanan pada pendidikan dan profesionalisme, rencana
itu ditafsirkan oleh kalangan pengkritik sebagai upaya untuk memerkuat PSI di dalam
angkatan bersenjata. Menteri Pertahanan, Sultan Hamengku Buwono IX, nonpartai dan sangat
simpatik dengan reorganisasi militer, menghadapi kritik dar serangkaian “pembangunan
solidaritas” politik dalam PKI, partai berhaluan kiri Murba, dan beragam partai nasionalis
kecil, bersama-sama satu faksi dalam PNI.
Sejak September 1952 menteri pertahanan menerima tekanan berupa rangkaian mosi ‘tidak
percaya’ mengenai penanganan reorganisasi tentara. Kabinet pecah, para anggota PSI dan
partai Kristen mendukung sultan dalam melawan serangan PNI. Pengunduran diri para

129
Keterangan tentang sirkulasi Indonesia Raya dijelaskan dalam grafik dalam Chambert-Loir 1973: 73
130
Statistik nasional dari Serikat Penerbit Surat Kabar Pusat (1971) Garis Besar Perkembangan Pers Indonesia,
SPS, Jakarta, hlm. 260.
131
Hill ( Mochtar Lubis Mochtar Lubis: Author, Editor, And Political Actor, tesis doktor Australian National
University, Canberra, hlm. 52
132
Crouch 1978: 29
133
Dasar hiitungan ini dari Feith 1962: 246-73 dan Crouch 1978: 29-32.
53
anggota itu kemungkinan besar akan menjaatuhkan kabinet. Lobi berjalan intensif dalam
beberapa mosi yang mengkritik keadaan angkatan bersenjata dan Kementrian Pertahanan.
Manai Shopiahaan, seorang pemimpin PNI, mensponsori mosi keras untuk pembentukan
Komisi Negara guna menyelidik pimpinan Angkatan Bersenjata dan Kementrian Pertahanan.
Malam sebelum pemungutan suara, Presiden Soekarno turun tangan untuk melobi faksi-faksi
PNI yang mendukung mosi, yang diterima 16 Oktober, ditentang oleh Masyumi, PSI, dan tiga
partai lainnya, tetapi dimenangkan oleh PNI dan kebanyakan partai yang lain. Perlawanan
terhadap sultan merongrong kabinet dan kedudukan pimpinan tentara. Pimpinan militer
menafsirkan tindakan-tindakan para politisi sebagai campur tangan yang tidak dibenarkan
terhadap urusan internal tentara.
Pada pagi 17 Oktober 1952, demostrasi berlangsung dan merusak gedung parlemen, sebagian
Kementerian Luar Negeri, lalu unjuk rasa bergerak ke kantor Kedutaan Besar Belanda dan
akhirnya berkumpul di depan istana presiden. Tank, meriam, dan senjata berlapis baja
ditempatkan di depan istana, beberapa diarahkan ke gedung sebagai unjuk kekuatan 134. Selagi
demonstrasi berlansung, sekelompok besar perwira militer senior termasuk Kepala Staf
Angkatan Darat Kolonel Nasution mendekati Presiden Soekarno dengan berargumen bahwa
negara sedang tidak stabil karena sifat parlemen ‘yang tidak mewakili.’ Pada saat itu negara
belum mengadakan pemilihan umum dan parlemen merupakan badan aneka bagian yang
banyak anggotanya dipilih oleh dewan daerah-daerah federal dukungan Belanda pada masa
1946-1949. Para perwira menyodorkan pernyataan tertulis kepada presiden dan mengimbau
kepadanya untuk segera membubarkan parlemen yang sedang aktif dan membentuk yang baru
sesegera mungkin. Presiden berdiri teguh, menolak tuntutan para perwira dan mengklaim,
seperti yang ia ucapkan kepada para demonstran di depan istana, bahwa pembubaran
parlemen akan menjadikannya diktator. Dengan berdiri teguh, ia menjinakkan gerakan para
perwira melawan parlemen dan memaksa mereka untuk mundur dalam suatu ‘demonstrasi
luar biasa yang ditunjukkan oleh kewenangan presiden.’135.
Indonesia Raya telah mendukung faksi Nasution sebelum 17 Oktober.karena khawatir
kekacauan akan timbul dari ketidak stabilan politik, koran ini prihatin terhadap sifat tidak
disiplin parlemen, perpevahan dalam parlemen menjadi faksi-faksi, dan ketidakmampuan
kabinet mengambil tindakan tegas mengenai reorganisasi tentara. Dengan meningkatnya
ketegangan, pada 16 Oktober tajuk rencana Indonesia Raya menyayangkan ketidakmampuan
rangkaian kabinet berturut-turut untuk bekerja efisien dan memecahkan masalah-masalah
bangsa dengan rasional. Dengan mendahului tuntutan kelompok Nasution kepada Soekarno,
Indonesia Raya menulis: “Selama kita punya parlemen semacam ini, yang para anggotanya
bertindak untuk kepentingan sendiri, untuk ambisinya sendiri, negeri ini tidak bisa diperintah
oleh kabinet manapun... Cara-cara parlemen ini hanya akan membawa kita ke jurang
kehancuran dan kekacauan... kami menganggap pembubaran parlemen ini dan

134
Rincian tambahan tentang kejadian sekita peristiwa 17 Oktober diperoleh dari wawancara dengan Mayor
Jendral (Purnawirawan) Dr. Azis Shaleh (13 September 1982), H.J.C Princen (1 September 1982), dan lain-lain.
Keteragan dari Soekarno tertulis dalam An Autobioghraphy as told to Cindy Adams, Bobbs-Merril, Indianapolis,
1965, hlm. 266-67.
135
Feith 1962: 259

54
penyelenggaraan pemilihan umum secepatnya sebagai satu-satunya jalan keluar bagi negeri
kita136.
Indonesia Raya menempatkan berita demonstrasi di halaman satu pada edisi 17 Oktober 1952.
Berita itu, ‘Demonstrasi Rakyat Menuntut Pembubaran Parlemen’, menggambarkan gerakkan
kerumunan melintasi kota, tetapi nyaris tidak menyebut keterlibatan para perwira dalam
gerakan menentang parlemen137. Peliputan koran ini memaparkan peristiwa itu sebagai
demosntrasi publik yang besar dan bukan sebgai tindakan yyang terang-terangan yang
dilakukan para perwira militer untuk meningkatkan tekanan terhadap Soekarno138. Indonesia
Raya memerhatikan bahwa plakat-plakat yang dibawa pendemo itu rapi dan teratur, tanpa
mensinyalir bahwa para demonstran diatur oleh militer. Dengan menggambarkan peristiwa itu
sebagai tanggapan masyarakat luas terhadap ketegangan politik yang kritis dan mengecilkan
peran yang menentukan dari para perwira tinggi militer yang terlibat, peliputan Indonesia
Raya menyampaikan suatu pandangan atas peristiwa itu yang ingin disebarluaskan oleh para
perwira tersebut. Indonesia Raya melegitimasi prakarsa-prakarsa militer dengan
meggambarkan prakarsa itu berada di dalam ranah kepentingan publik dan merupakan akibat
tekanan politik yang luas.
Mochtar Lubis mengenang kemudian ‘Indonesia Raya mendukung para kolonel karena sistem
partai liberal menjadikan Indonesia tidak mungkin maju ... [para partai] akan mendepak
keluar kekuasaan satu kabinet setiap bulan, kadang-kadang setiap dua bulan, atau yiga bulan.
Keadaan menjadi terlalu kacau. Kami mengkritik seluruh keadaan ... Jadi, ketika peristiwa 17
Oktober itu terjadi, kami memberikan dukungan kami. Kami mengatakan kita harus punya
lebih banyak ketertiban di dalam kehidupan politik kita daripada yang sudah kita lihat pada
masa lampau .... Miiter ... yang baru saja datang dari revolusi punya hak suara yang sama
dengan dengan para politisi keparat ini mengenai masa depan rakyat, masa depan bangsa ini.
Mengapa kita membiarkan para politisi, yang telah menunjukkan sikap mereka yang sangat
tidak bertanggung jawab, untuk menentukan sendiri masa depan negeri ini?139 Karena cemas
kan prospek adanya kekacauan publik, Mochtar ‘mendukung militer sebagai benteng untuk
melawan keresahan. Ia ingin parlemen dibubarkan dan syarat-syarat lebih ketat ditetapkan
untuk pembentukan partai politik guna menghentikan kelompok-kelompok kecil dengan
kepentingn-kepentingan kawasan sempit untuk membentuk partai politik independen.
Mochtar Lubis punya hubungan pribad yang baik dengan Kolonel Nasution dan para
komandan pasukan yang mengelilingi istana. Ia telah mengetahui niat para perwira
sebelumnya dan telah setuju Indonesia Raya memberikan dukungannya. Brentel Susilo, salah
satu narasumber informasi koran ini, kemudian mengklaim bahwa ia berniat mempengaruhi
liputan Indonesia Raya agar koran itu memperkecil pemeran kekuatan militer dan konfrontasi
136
“Sebaiknya Parlemen Dibubarkan”, tajuk rencana Indonesia Raya,16 Oktober 1952, hlm. 2
137
Indonesia Raya tidak sendirian dalam menyajikan tafsiran seperti itu, misalnya “Riwayat Pendahuluan
Demokrasi Rakyat” dalam Siasat, 26 Oktober 1952, hlm. 5-6. Juga tidak membesarkan keikutsertaan militer.
Mochtar Lubis sejak 1949 telah bekerja di Gelanggang, bagian kenudayaan majalah Siasat, dan akrab dengan
staf redaksi, yang sangat cenderung kepada PSI dan siliwangi.
138
Feith 1962: 261
139
Wawancara dengan Mochtar Lubis, 27 Januari 1981. Kecuali ditulis sebagai terjemahan, bahan wawancara
dari Mochtar Lubis dikutip dari naskah asli dalam bahasa Inggris

55
perwira senior dengan Soekarno, dengan lebih menekankan keinginan rakyat dan ‘demokrasi
rakyat’140.
Dalam koran pojok satir yang terkenal dikolom itu, ‘Di Pinggir Jalan’, Mochtar Lubis dengan
nama samaran Mas Kluyur, dengan bergurau mencatat kecurigaan Menteri Penerangan PNI
pada Indonesia Raya141. Karena Indonesia Raya telah membuat yang menggigit pada 16
Oktober berjudul ‘Sebaiknya Parlemen Dibubarkan’ dalam cetak tebal, sang menteri menuduh
koran itu ‘mengatur pertunjukkan’. Sunggguh pun tampilnya tajuk itu dapat dijellaskan oleh
pengakuan Mochtar bahwa ia mengetahui niat para perwira, Mas Kluyur tidak mengakui hal
ini pada saat itu, tetapi hanya mencela ‘warung kopi ini bernama parlemen sementara.’
Rasa kecewa besar Mochtar terhadap Nasution dan para sekutunya karena tidak lebih tegas
menekankan tuntutan mereka menyebabkan berpisahnnya jalan politik mereka. Seagai
konsekuensi insiden 17 Oktober, Nasution dan pendukung-pendukung kuncinya dipecat.
Selama tiga tahun Nasution tanpa jabatan sebelum tahun 1955 ia diangkat kembali menjadi
Kepala Staf Angkatan Darat, direhabilitasi sebagai sekutu politik Soekarno.
Perkawinan Soekarno dengan Hartini
Mendapat scoop (berita eksklusif) luar biasa pada September 1954, Indonesia Raya
menyingkap perkawinan rahasia Soekarno dengan Ny. Hartini Suwondo dari Salatiga, kota
kecil di Jawa Tengah142. Mochtar Lubis telah didatangi perutusan dari kelompok-kelompok
perempuan yang meminta Indonesia Raya untuk mengangkat isu-isu itu karena pemolakan
mereka terhadap perkawinan poligami rahasia presiden itu143. Persatuan Wanita Republik
Indonesia (Perwari) mengklaim bahwa perceraian Hartini belum final secara hukum ketika ia
menikah dengan presiden bulan Juni 1954. Soekarno mengakui kemudian bahwa ‘situasi itu
memalukan dan membuat saya marah secara menyakitkan,’ bahwa ia’ dibuat sengsara...
terutama ketika koran-koran menyoroti saya,’ yang mereka lakukan, diawali oleh Indonesia
Raya144.
Mayoritas berita Indonesia Raya mengenai perkawinan itu ditulis oleh Kustiniyati Mochtar,
wartawan perempuan yang bergabung di Indonesia Raya sejak Noveber 1952145, tetapi isinya
mencerminkan kedudukan moral tinggi yang memuat Mochtar Lubis dikenal. Mochtar
merasa, adalah munafik bila presiden telah menulis buku, Sarinah, mengenai pembebasan
peremuan Indonesia dari batasan tradisional, tapi lalu melakukan poligami 146. Dengan
menggambarkan perkawinan itu sebagai hal merendahkan perempuan Indonesia, Indonesia
Raya mewakili sikap pebaca sekuler, ‘modern’, kota, yang tidak bisa menerima bahwa Islam
mengizinkan poligami atau bahwa Soekarno erhak berprilaku seperti seorang penguasa Jawa
tradisional.

140
Wawancara dengan Brentel Susilo, 14 Oktober 1981 dan 29 September 1982
141
Indonesia Raya, 18 Oktober 1952, hlm.3
142
Feith 1962: 365. Rincian tentang kampanye Indonesia Raya ada di Chambert-Loir 1874: 75
143
J.D Legge (1973) Sukarno: A Political Biography, penguin, Hammondworth
144
Soekarno 1965: 284
145
Kustiniyati Mochtar (tidak ada hubungan keluarga dengan Mochtar Lubis) menyebutkan dalam artikel di
memoarnya, “Catatan Pribadi dari 23 Tahun dalam Pers “ (hlm 66-102). Dalam S.K Trimurti (dan lain-lain)
(1974) Wartawan Wanita Berkisah P.T. Badan Penerbit Indonesia Raya, Jakarta, terutama hlm. 74-75.
146
Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia, panitia Penerbit buku-buku karangan
Presiden Soekarno, Jakarta, edisi ketiga, 1963 (edisi pertama 1947)
56
Ketetapan hati untuk mengejar isu itu menunjukkan bahwa Mochtar Lubis sendiri melihat
usaha meneruskan pemeritaan itu beralasan, apalagi karena, seperti dijelaskan oleh Chambert-
Loir, ‘Surat dari ketua umum persatuan wanita yang dipakai Indonesia Raya untuk
meluncurkan pemberitaan iu merupakan surat pribadi dan penanda tangan surat ini
memermasalahkan koran itu menggunakan surat tersebut dengan cara demikian.147’ Ini
merupakan kritik paling menonjol dari sekian banyak kritik mengenai kehidupan pribadi dan
perilaku presiden, yang dikejar dengan kekerasan hati jurnalistik selama lebih dari satu
tahun148.
Panggilan moral Mochtar Lubis merupakan salah satu alasan bagi serangan ini. Namun, hal
itu juga terbukti menguntungkan secara komersial. Sorotan terhadap perkawinan Hartini
meningkatkan sirkulasi Indonesia Raya. Akan tetapi, dengan memilih isu ‘moral’, Mochtar
Lubis dapat menyerang Soekarno tanpa terlihat bahwa ia telah melepaskan klaim korannya
sebagai independen secara politik. Sejak hari-hari revolusi, Mochtar telah menumbuhkan rasa
tidak suka terhadap presiden, suatu perasaan mendalam yang menjadi permusuhan. Mochtar
Lubis telah kritis atas dukungan Soekarno terhadap program romusha Jepang untuk
menghimpun tenaga kerja Indonesia guna bekerja di luar negeri. Dalam sebuah cerita
pendeknya yang bernada mencemooh, ‘Kentung dan Tukang Obat’, yang diterbitkan bulan
Desember 1949, Mochtar menyindir kemampuan berpidato Soekarno sebagai sumber
inspirasi bagi seorang penjual obat palsu yang mengaku
Orang pada asyik dengar nama Soekarno, dan gua juga pidatonya tiru-tiru Soekarno, suara
dibikin gede, matanya dibesarkan, aksi dibikin banyak. Pendeknya, hebat, deh! Pendeknya,
gua percaya deh sekarang, jual omong saja, bilang apa saja, puji setinggi langit, janji segede
gunung, tentu semua orang percaya, biar yang dijual cuma air gincu. Gua udah putuskan,
mau tiru saja Bung Karno; tentu obat air gincu laku!149
Soekarno lambat laun mewakili hampir semua nilai politik dan sifat pribadi yang tidak
disukai Mochtar. Mochtar memandangnya sebagai penganut hubungan seks tanpa pandang
bulu, egois, irasional, antiintelektual, dan oportunis dalam politik. Keberdayaan berpidato
untuk mempengaruhi rakyat, gaya, populisnya, dan daya tariknya bagi orang Jawa tradisional
membuat Mochtar Lubis cemas. Akan tetapi, Feith mengamati bahwa sekalipun ‘reaksi awal
publik politik terhadap perkawinan majemuk itu negatif ... prestise presiden naik tak lama
kemudian ketika menjadi jelas bahwa perasaan malu dan tersinggung sama sekali tidak
meluas di luar publik ini 150.
Bila Feith itu benar, maka Indonesia Raya tidak sejalan dengan perasaan umum di luar dunia
politik kota. Mochtar Lubis juga tidak sejalan dengan kalangan militer pendukung Indonesia
Raya. Mayor Brentel Susilo, yang tidak setuju dengan celaan koran itu terhadap perkawinan
Hartini, merasa hal itu tidak bijak untuk melemparkan serangan pribadi terhadap kepala
negara. Sekalipun Brentel Susilo tidak punya hubungan formal dengan Indonesia Raya, ia
tetap memainkan peran penting dalam menjembatani pendanaan bila diperlukan. Ia mulai was

147
Chambert-Loir 1974: 75. Terjemahan Mochtar Lubis.
148
Indonesia Raya 26 November 1955, hlm. 1. Chambert-Loir 1974:75
149
“Kentung dan Tukang Obat”, Mutiara, No 9, I, 7 Desember 1949, hlm 6-7 & 26-27, dikutip dari hlm. 27.
150
Feith 1962:365.

57
was terhadap gaya asal tembak dan sikap pemimpin redaksi memusuhi presiden. Sejak 1956
Brentel Susilo lebih suka meminggirkan Mochtar ke luar Indonesia Raya, tetapi, sementara
itu, ia menunggu waktu.
Konferensi Asia-Afrika dan Panitia Keramahtamahan
Pada 18 April 1955 Jawaharlal Nehru dari India, Chou En-lai dari Tiongkok, Gamal Abdel
Naser dari Mesir dan banyak pemimpin terkemuka dari dunia ketiga berkumpul di Bandung,
Jawa Barat untuk pembukaan konferensi pertama kepala peemerintahan Asia dan Afrika.
Konferensi itu merupakan pemicu untuk perkembangan dunia ketiga sebagai kekuatan politik.
Ini merupakan kesempatan bagi Soekarno dan perdana menteri saat itu, Ali Sostroamidjojo
dari PNI, untuk menampilkan diri dan negeri mereka sebagai pelopor gerakan ini dan untuk
menetapkan diri mereka sebagai negarawan internasional. Konferensi Bandung menempatkan
Indonesia pada peta dunia151.
Seperti yang dapat diramalkan, usaha ambisius demikian oleh suatu bangsa muda yang
menghadapi tantangan berat di dalam negeri dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial
mengundang kecaman. Selama tahap perencanaan konferensi, Indonesia Rayaberpaduan
suara dengan Abadi dari Masyumi dan Pedoman dari PSI berikut koran-koran lain yang
berasosiasi dengan pihak oposisi terhadap pemerintah yang dipimpin PNI dengan mengecam
rencana itu, yang dipandangnya mengesampingkan perhatian dari masalah-masalah dalam
negeri152. Begitu menjadi jelas bahwa tokoh-tokoh puncak dalam jumlah besar dari dua
benua telah tiba di Bandung. Adalah sulit bagi pers oposisi untuk mengecilkan maknanya.
Namun, Indonesia Raya memilih untuk mengangkat satu isu yang memalukan dari peristiwa
itu.
Pada waktu meliput konferensi, Mochtar Lubis diberitahu bahwa ia dapat memperoleh karu
‘hospitality committee’ (panitia keramahtamahan) bersama daftar ‘ rumah aman’ yang
menyediakan perempuan untuk melayani rasa senng para utusan. Ia pergi ke rumah-rumah itu,
mewawancarai para perempuan, dan menyiarkan berita eksklusif, yang ia pandang sebagai
salah satu isu terpenting yang diangkat pada tahun 1950-an. Kemudian mochtar Lubis
menyatakan secara pribadi bahwa ia tak keberatan jika laki-laki dalam kedudukan berwenang
berkunjung ke pelacur, tetapi yang ia tolak adalah pemerintah menyediakan perempuan bagi
para utusan konferensi153. Penyingkapan Indonesia Raya atas ‘panitia keramahtamahan’ ini
memang ‘mengurangi sedikit perstise yang baru diperoleh pemerintah’, tetapi skandal itu
dipandang oleh para pengamat hanya mengurangi sedikit saja rasa bangga nasional yang
diperoleh dari pertemuan internasional tersebut154.
Indonesia Raya mengangkat kembali isu ‘panitia keramahtamahan’ tahun berikutnya ketika
koran itu menuduh seorang pegawai negeri Indonesia keturunan Tionghoa, Lie Hok Thay,
yang terlibat dalam skandal keuaangan yang diungkap Indonesia Raya yang memfasilitasi

151
Feith 196: 384-94. Dalam memoarnya Ali Sostroamidjojo (1979) menulis spanjang 30 halaman tentang
konferensi. Ia menyimpulkan: “Karena Konferensi Bandung itulah negara kita segera memperoleh tempat
terhormat di peta politik dunia (hlm.304)
152
Catatan Komentar dalam Feith 1962: 393 dan catatan kaki 128
153
Wawancara dengan Mochtar Lubis, 24 April 1981
154
Feith 1962: 394

58
pembentukan ‘panitia’ tersebut dan, dalam hal lebih umun, mencarikan perempuan untuk
‘memuaskan berahi’ beberapa pejabat Indonesia155. Satu bulan sebelumnya, Indonesia Raya
telah menyajikan berita-berita di halaman satu mengenai ‘Pengalaman Pahit Pegawai Negeri
Wanita’ yang dilecehkan secara seksual oleh atasannya, kepala kantor kebudayaan,
kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan. Laporan cabul itu memberi sedikit ruag
bagi fakta dan penjelasan rasional156.
Berita-berita demikian mengilustrasikan ketegangan kberulang-ulang dalam gaya jurnalistik
Indonesia Raya, karena ketika koran ini ingin mengungkapkan dan mengutuk pelecehan dan
eksploitasi seksual, tetapi tergiur untuk memaparkan bahan dengan cara yang bisa
meningkatkan sirkulasi. Deskripsi gaduh sensasi Indonesia Raya seperti itu tidak biasa dalam
pers Indonesia saat itu. Skeptis terhadap amarah moral koran itu, sejumlah kelompok
perempuan mengadu bahwa koran-koran seperti Indonesia Raya melanggar moralitas publik
dalam peliputan mereka. Satu kelompok perempuan, dalam peliputan mereka. Satu kelompok
perempuan, dalam pernyataannya yang ditujukan khusus kepada Indonesia Raya, mengimbau
kepada pers agar tidak memuat perkataan-perkataan yang bersifat sensi dan melangar batas-
batas kesusilaan157.
Peliputan Indonesia Raya atas ‘panitia keramahtamahan’ Konferensi Asia Afrika dan
perkawinan Hartini dicatat oleh pemimpin PKI Njoto sebagai contoh bagaimana ‘pers sayap
Kanan’ mengecilkan prestasi pemerintah dan mencemoohkan presiden158.’ Pemimpin redaksi
sayap Kiri Antara, Djawoto, memeringatan bahaya apa yang ia juluki sebagai ‘jurnalisme
koboi159’, yang diduga merupakan acuan tersirat atas Mochtar Lubis, yang karena berbadan
tinggi dan memiliki hubungan dekat dengan orang Amerika, dikarikaturkan sebagai koboi
jangkung160. Gaya jurnalisme ini, kelompok haluan kiri mengatakan, mengabaikan isu-isu
penting seperti kolonialisme dan, sebagai gantinya, mengangkat dugaan bahaya komunisme.
Mereka menuduh pers demikian itu bersifat anarkis, simplitis, dan sensasionalis161. Mochtar
tidak merasa terganggu dan kepentingan penerbitannya terus meluas. Pada Oktober 1955
Indonesia Raya memulai penerbitan majalah mingguan berisi karangan khas (feature), Masa
& Dunia, yang tiga bulan kemudian beralih menjadi edisi Minggu Indonesia Raya.

155
“Lie Hok Thay Carikan Wanita-Wanita untuk Pembesar-Pembesar Indonesia” Indonesia Raya, 18 Agustus
1956, hlm 1 dan Indonesia Raya, 27 Agustus 1956, hlm.1, dengan artikel utama “Panitia Keramahtamahan”
(hospitality Committee)
156
Indonesia Raya, 31 Juli 1956, hlm. 1 dan nomor-nomor berikutnya
157
Dikutip dalam Atmakusumah 1980: 194-95, yang melukiskan protes Kongres Wanita Indonesi (Kowani)pada
5 Agustus 1956, kemudian dibuktikan oleh Nani Suwondo dalam rapat dengan pers 8 Juni 1958, yang diadakan
di Indonesia Raya. Sepucuk surat dari seorang wanita pegawai negeri yang diusik secara seksual oleh
pimpinannya disiarkan di Indonesia Raya, tetapi sebenarnya tak pernah dimaksudkan untuk disiarkan.
Atmakusumah mengutip sumbernya adalah Alex .A. Rachim ‘perkembangan Pornografi dalam Pers Indonesia’,
dalam Nugrohosusanto (penyunting) (1977-78) Pornografi dalam Pers Indonesia-Sebuag Orientasi, Seri
Monografi Dewan Pers, Jakarta, hlm. 93.
158
Njoto (1958) Pers dan Masa, N.V. Rakyat, Jakarta, hlm 77.
159
Njoto 1958: 42 mengutip Djawoto Jurnalistik dalam praktek, Yayasan Kantor Berita Nasional Antara,
Jakarta, 1959 (edisi kedua), hlm. 67.
160
Mochtar melukiskan sebuah karikatur tentang dirinya yang tampil di surat kabar saingannya (wawancara 27
Januari 1981)
161
Seperti Njoti 1958: 77, 80 & 107.
59
Penangkapan Roeslan Abdul Ghani
Setelah gagalnya gerakan 17 Oktober 1952, Indonesia Raya memertahankan dorongannya
bagi suatu gaya pemerintahan yang tegas dan bersatu, dengan mengkritik sifat kecenderungan
memecah belah dan tidak menentu dari perpolitikan partai162. Frekuensi dan keteguhan
kampanye Indonesia Raya melawan korupsi dan inefisiensi menetapkan koran itu sebagai
nyamuk pengganggu politik. Keteguhan ini meningkat setelah 1953 dengan sikap
antikomunismenya dengan semakin kuatnya kekuasaan dan pengaruh Partai Komunis.
Mochtar Lubis menjadi semakin independen dari para pemasok militernya. Ia memanfaatkan
basis media yang telah ia dirikan dengan bantuan militer dan secara bertahap tumbuh di luar
jangkauan pengaruhnya. Akan tetapi, Indonesia Raya tetap mendukung dengan bulat faksi-
faksi militer yang kritis terhadap pemerintah pusat. Dalam satu tajuk rencana, misalnya,
koran itu memuji Angkatan Bersenjata sebagai ‘pelopor dalam revolusi, pelopor dalam
pembangunan (ekonomi)’ sementara menghantam ‘para politikus kita yang tua, korup, dan tak
bersusila yang terbukti gagal pada masa lalu163. Hubungan Mochtar dengan Militer dapat
diukur dengan hubungannya yang berubah ubah dengan dua tokoh militer yang penting,
keduanya orang Mandailing seperti Mochtar sendiri: Abdul Haris Nasutuion dan Zulkifli
Lubis164. Dekat dengan Nasutin hingga bulan Oktober 1952, kesetiaan beralih ke Zulkifli pada
1955, saat ia sudah menentang keras taktik-taktik politik Nasution.
Memasuki tahun 1956, usaha-usaha rekonsiliasi faksi-faksi pasca-Oktober 1952 dalam
pimpinan tentara menjadi kandas165. Nasution dan beberapa perwira 17 Oktober telah
diaktifkan kembali. Ia naik pangkat menjadi Mayor Jendral dan diangkat kembali sebagai
kepala staf Angkatan Darat bulan Oktober 195. Akan tetapi suatu perpecahan sedang
berkembang pada garis celah yang berbeda dengan garis celah Oktober 1952. Di satu pihak,
Nasution telah berkongsi dengan presiden dan kabinet PNI dari Ali Sostroamaidjojo, dan
berasosisasi, menurut pandangan para pengkritik, dengan pengaruhyang meningkat dari
kalangan etnis Jawa dalam pemerintahan dan Angkatan Bersenjata. Pengecam aliansi
kekuasan terpusat ini adalah sekelompok perwira di seputar Wakil Kepala Staf Kolonel
Zulkifli Lubis dan Kolonel Simbolin, seorag mantan pesaing Nasution untuk jabatan kepala
staf. Sentimen-sentimen kritis di daerahluar Jawa dan di Jawa Barat terhadap Jakarta sedang
meningkat, yang menunjang para perwira pembangkang, yang di dukung para pemimpin
Masyumi dan PSI dan surat-surat kabar yang simpati kepada mereka, termasuk Indonesia
Raya. Perpecahan ini segaris dengan ketegangan antara Jakarta di satu pihak dan
ketidaksengajaan daerah atas kontrol pusat di pihak lain166. Mochtar sangat ingin mengecam

162
Chamber-Loir 1974: 72 catatan kekecewaan Indonesia Raya terhadap Nasution setelah kegagalan peristiwa 17
Oktober mengutip tajuk rencana 12 November 1956. Ia juga mencatat tekanan yang terus menerus dari
Indonesia Raya untuk bentuk pemerintahan yang lebih otorier dengan berkurangnya partai-partai politik.
163
‘Pelopor Dalam Revolusi, Dalam Pembangunan’ Indonesia Raya, 13 Juli 1955, hlm. 3
164
Rincian singkat biografi kedua pria ini dimasukkan dalam buku, Apa dan Siapa: Sejumlah orang
Indonesia:1981-1982, Grafitipers, Jakarta 1981, masing-masing 422-24 dan hlm. 334-35.
165
Feith 1962: 440-44 & 500-507 dan Ulf Sundhaussen (1982)The Road to Power: Indonesian Military Politics
1945-1967, Oxford University Press, Kuala Lumpur, hlm. 72-103.
166
Feith 1962:502. Lihat Ali Sasroamidjojo 1979: 339-43 tentang pendapatnya mengenai peristiwa tersebut.

60
Nasution dan garis politik saat itu berikut tabiat moral kabinet PNI167. Sebagai kontras pada
Januari 1956 Zulkifli Lubis dinyatakan sebagai tokoh Indonesia 1955 pilihan para pembaca
Indonesia Raya168.
Pada 13 Agustus 1956 Indonesia Ray, yang biasanya berupa koran pagi, menerbitkan buletin
luar biasa pada sore hari untuk melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani
berdasarkan investigasi terlibat dalam korupsi dengan menerima nikmat keuangan dari Lie
Hok Thay, wakil direktur Percetakan Negara169. Pada pukul 6 pagi itu, dua jam sebelum
menteri menurut rencana berangkat untuk menghadiri konferensi di London, Roeslan
ditangkap atas perintah panglima divisi Siliwangi, Kolonel Alex Kawilarang, yang didukung
Zulkifli Lubis. Hari itu juga Kawilarang, yang ditetapkan sebagai atase militer berikutnya di
AS, menrurut rencana akan digantikan oleh seorang pilihan Nasution. Intervensi yang
dilakukan oleh perdana menteri berakibat Nasution membatalkan perintah menagkap Roeslan
dan sang menteri berangkat pada waktunya. Jakarta dihinggapi hiruk pikuk. Indonesia Raya
lalu menyerang dengan mengklaim Kawilarang punya kewenangan moral dipihaknya dan
mengutuk campur tangan pihak berwenang untuk melepaskan seorang koruptor170. Karena
mengkritik aliansi Nasution dengan PNI, kecenderungan berpihak Indonesia Raya dengan
jelas mendukung perwira yang melawan pemerintah pusat.
Penyelidikan ad hoc yang dilakukan oleh pemerintah membebaskan Roeslan dari dugaan
tindak pidana pada bulan Agustus 1956, tetapi Indonesia Raya tetap menekan. Pada
Desember 1956, Mochtar Lubis dihadapkan ke pengadilan atas tuduhan memfitnah dalam
komentar tentang kasus Roeslan dan dalam kalim-klaim tajuk rencananya bahwa kabinet telah
bersekongkol untuk menutup-nutupi fakta. Mochtar menunjukkan dokumen-dokumen yang
menunjang klaimnya bahwa menteri luar negeri telah menerima rumah dan mobil dari Lie, da
sebagai balas budi, membawa ke luar negeri secara tidak sah mata uang asing baginya 171.
Mochtar dibebaskan dari tuduhan, dan pada bulan April 1957, satu bulan setelah jatuhnya
kabinet Ali, Mahkamah Agung mendenda Roeslan karena melanggar secara tidak sengaja
peraturan mengenai valuta asing172.
Perwira Memberontak
Selain menyerang Roeslan Abdulgani, Indonesia Raya juga membela Zulkifli Lubis dari
kecaman-kecaman, baik dari haluan kiri politik maupun dari faksi Nasution. Zulkifli Lubis
meninggalkan jabatannya sebagai Wakil Kepala Staf satu minggu setelah pemberitaan
Roeslan. Hal yang sama dilakukan juga oleh sejumlah pendukung kunci. Pada bulan
November, setelah gerak-gerik berkomplot dan manuver internal tentara selama tiga bulan,
Zulkifli Lubis berusaha menghimpun kekuatan pasukan dari para pendukungnya di ibu Kota
dalam langkah gerak melawan Nasution. Ia didukung para perwira yang merasa bahwa
167
Tentang kampanye Indonesia Raya pada tahun 1956, lihat David T.Hill (1978a) ‘Press Chalenge,
Goverentment Responses:Two Campaign in Indonesia Raya’ (hlm. 21-38) dalam Paul Tickell (ed) (1987) The
Indonesian Press: Its Past, Its People, Its Problems, Monash University, Clayton.
168
Indonesia Raya,7 Januari 1956
169
Feith 1962: 503-507
170
Lihat Indonesia Raya, 14 Agustus 1956, dan edisi berikutnya.Feith 1962:503-4 melukiskan segi-segi kunci
liputan Indonesia Raya.
171
Indonesia Raya mncoba mengemukakan watak moral Menteri Luar Negeri lewat pertanyaan, dengan
menyiarkan catatan yang diakuidari Lie Hok Thay, yang meminta satu eksemplar buku karya Simone de
Beauvoir: The Second Sex! (Minggu Indonesia Raya, 2 Desember 1956, dan edisi minggu-minggu berikutnya).
172
Feith 1962: 510
61
mereka kelak akan dicopot atau ditangkap karena simpati mereka yang pro-Zulkifli Lubis.
Pada 28 November 1956, kabinet memecat Kolonel Zulkifli Lubis atas tuduhan akan
melakukan kup yang tak berhasil173. Ia bersembunyi di bawah tanah hingga mucul di
Sumatera pada tahun 1957 bersama-sama para perwira yang terlibat dalam pemberontakan
daerah. Sementara berhati-hati untuk tidak bersikap mendukung tindak-tanduk Zulkifli Lubis
secara terang-terangan, Indonesia Raya dalam posisi sulit untuk membela kolonel itu dari
aneka tuduhan di dalam media pesaing174.Ketika Mochtar Lubis ditangkap beberapa bulan
kemudian, ia diperiksa secara luas mengenai hubungannya dengan Zulkifli Lubis dan
pemuatan oleh Indonesia Raya sejumlah ragam surat dari kolonel itu175. Zulkifli Lubis adalah
sepupu jauh dari Mochtar176 dan pernah menjadi atasan Bachtar Lubis, kakak Mochtar,
selama revolusi saat ia memimpin organisasi intel militer, Brani. Sekalipun sang pemimpin
redaksi membantah bahwa ‘Indonesia Raya telah menjadi terompet kolonel Lubis ,’177 koran
itu tetap memberi ruang, baik dalam berita maupun dalam komentar tajuk, terhadap alasan-
alasan perwira ini dalam menentang secara terbuka seorang atasan tentara dan pihak
berwenang sipil. Sama halnya, koran itu juga memberi liputan luas dan menguntungkan bagi
para perwira siliwangi, seperti kolonel Alex Kawilarang, ketika mereka menantan pemerintah
sipil178. Indonesia Raya bersimpati kepada para perwira Siliwangi dan bersedia dalam tahun
1956, sama seperti pada 1952, untuk mendukung mereka dalam menghadapi lawan-lawan
politik mereka.
Pada 20 Desember 1956, komandan resimen di Sumatera Barat, Letnan Kolonel Ahmad
Husein, mengambil alih pemerintahan di Sumatera Tengah dalam sebuah kup tak berdarah. Ia
menyatakan bahwa tindakan itu merupakan kelanjutan dari keputusan yang diambil satu bulan
sebelumnya dalam reuni Divisi Banteng (yang dulu bertempur di Sumatera Tengah saat
revolusi dan kemudian dibubarkan oleh Nasution). Pertemuan itu memilih Ahmad Husein
sebagai ketua ‘Dewan Banteng’ yang baru, dan menyatakan prihatin atas perlakuan terhadap
daerah-daerah luar Jawa. Ia menghimbau pemerintah pusat agar mengisi kedudukan-
kedudukan pemerintah lokal dengan orang mampu dari daerah bersangkutan, dan bukan
dengan orang luar, dan ia juga menyuarakan tidak setuju terhadap pimpinan negara dan
tentara179.
Hari berikutnya, setelah mendengar pernyataan Ahmad Husein, Mochtar menulis tajuk
rencana yang ‘mengambil kesimpulan bahwa peristiwa ini pasti tidak akan terbatas di
Sumatera Tengah belaka, tetapi akan berakibat pula pada daerah lain... Kabinet [koalisi] Ali-

173
Bagian ini didasarkan pada Feith 1962: 500-507. Lihat Juga Atmakusumah 1980: 196-99.
174
Indonesia Raya bersengketa dengan Harian Rakyat tentang tuduhannya bahwa Zulkifli Lubis secara tak
pantas ikut campur dalam permohonan sambungan telepon dalam negeri bersama delegasi Indonesia (Indonesia
Raya ‘Lagi-lagi Harian Rakyat Bohong! Mau Bikin Cemar Nama Z. Lubis’, 20 Agustus 1956, hlm. 1 Lihat juga
Indonesia Raya, 20 Desember 1956, hlm. 1).
175
Lihat buku harian Mochtar Lubis di Penjara, Catatan Subversif, Sinar Harapan, Jakarta, 1980, hlm. 14 dan 17.
176
Wawancara dengan Mochtar Lubis, 27 Januari 1981. Mochtar menekankan kepada saya bahwa ia mempunyai
banyak kerabat dalam partai politik dan hubungan dengan merea sama dekatnya dengan hubungannya dengan
Zulkifli Lubis
177
Catatan Subversif 1980: 17. Dari 1946 di Yogyakarta Zulkifli Lubis telah memimpin kantor ke V Kementrian
Pertahanan (yang mengurus persoalan intelejen) dan Pemeriksaan khusus militer. Lihat Tempo 1981:334.
178
Lihat ‘Menteri Luar Negeri Tersangkut Perkara 1.500.000 Rupiah’ , Indonesia Raya,14 Agustus 1956,
bersama pertanyaan lainnya di halaman satu dari Zulkifli Lubis serta perwira lain-lain yang mendukung
Kawilarang.
179
Catatan ini berdasarkan Feith 1962: 520-26.
62
Roem-Idham tidaklah akan dapat mengatasinya, demikian pula Presiden Soekarno sendiri,
tanpa Bung Hatta, ataupun KSAD Nasution saja. ‘Ia berseru kabinet bubar dan ‘jika perlu
untuk kepentingan yang lebih besar maka Presiden Soekarno dan KSAD Nasution harus pula
bersedia meninggalkan kedudukan mereka.180’ Sebelum tantangan berani ini bisa naik cetak,
Mochtar Lubis ditangkap pada 21 Desember 1956, dan tajuk rencana itu tidak pernah
diterbitkan. Esok harinya, judul berita halaman satu Indonesia Raya menunjukkan dengan
jelas keragu-raguan koran itu terhadap kemampuan pemerintah menangani situasi politik:
‘Kabinet Tak Bisa Atasi Ledakan Sum (sic) Tengah’. Spasi kosong dibiarkan untuk menandai
bahan yang disensor dan huruf-huruf besar menyatakan ‘Mochtar Lubis Dibawa CPM (Corps
Polisi Militer)181.
Tajuk rencana Mochtar yang tak berhasil dimuat secara tepat memerkirakan bahwa
pemberontakan Sumatera Tengah akan menyebar ke daerah-daerah lain di luar Jawa. Tajuk
itu juga mewakili wawasan politik yang menunjuk sifat rangkaian gerakan pemberontakan
yang mau mengambil alih kekuasaan di banyak provinsi di luar Jawa sepanjang tahun 1957.
Inflasi dan manipulasi kusr valuta asing telah merugikan daerah-daerah penghasil ekspor
daerah-daerah luar Jawa dan menguntungkan Jawa sebagai daerah Impor 182. Dalam pemilihan
umum 1955, PNI, NU, dan PKI, tifga dari empat partai besar memeroleh lebih dari 85 persen
suara dari jawa (dan terutama Jawa Tengah dan Timur). Hal ini memperkeras keretakan
antara ketiga partai politik itu dan Masyumi yang memeroleh banyak suara di luar Jawa183.
Hasil pemilihan umum mempertajam rasa kecewa yang dirasakan oleh beberapa kalangan di
luar Jawa, seperti juga waktu wakil presiden Hatta mengundurkan diri pada 1 Desember 1956.
Banyak orang non-jawa, terutama orang Sumatera, memandang Hatta sebagai wakil mereka
dalam kemitraan dengan Soekarno, sedangkan Soekarno mereka pandang sebagai wakil
kepentingan Jawa184. Penigkatan suara PKI dalam pemilihan daeraj di Jawa pertengahan 1958
mempertajam perasaan nonkomunis orang luar Jawa bahwa negara secara bertahap mengalah
kepada Kaum Komunis Jawa185.
Selagi situasi ini menimbilkan dilema bagi banyak orang Jawa nonkomunis, bagi orang
Sumatera seperti Mochtar Lubis kesetiaan daerah hanyalah meningkatkan perlawanan kubu
mereka terhadap komunisme. Setelah rangkaian pertemuan pada Septemberdan Oktober 1957,
para perwira pemberontak mengemukakan tuntutan pendukung kepentingan daerah. Tuntutan
itu ialah: Pemilihan seorang presiden baru (karena dugaan keberpihakan Soekarno kepada
PKI), penggantian Nasution dan para pendukungnya di dalam pimpinan Angkatan darat, dan

180
Diketik dari kenangan Mochtar Lubis tentang tajuk rencana yang disensor, dalam Catatan Subversif 1980: 2 .
Chambert-Loir 1974: 87-88 menyediakan terjemahan bahasa Prancis dan satu naskah rancangan yang diperoleh
dari Hasjim Mahdan.
181
Indonesia Raya, 22 Desember 1956, hlm. 1.
182
Sundhaussen 1982: 102.
183
Feith 1982: 436-37
184
Feith 1962: 524. Mochtar Lubis membahas pendapatnya tentang hubungan Soekarno dan Hatta, dengan latar
belakang pembangunan politik, dalam Mochtar Lubis (penyunting), Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-
Surat Bung Hatta Kepada Presiden Soekarno1957-1965, Sinar Harapan, Jakarta. Untuk kritik terhadap bukunya,
lihat Sutan Ali Asli,‘Hati Nurani Melawan Kezaliman’-nya Mochtar Lubis: Menunggangi “perpecahan” yang
Tidak Ada!’, Merdeka 10-12 November 1986 (dalam tiga bagian).
185
Untuk bahasan hasil pemiihan umum daerah, lihat Daniel S. Lev (1966) The Transition to Guided Democracy:
Indonesian Politics, 1957-1959, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca, hlm. 84-105
63
Akhirnya pembubaran PKI. Tema kedaerahan gerakan ini berjalan terpadu dengan tema anti-
Soekarno dan anti-PKI.
Mochtar walaupun bukan juru bicara resmi, telah mengutarakan keluh kesah para
pemberontak daerah di dalam tajuk rencana Indonesia Raya. Ia memeroleh dukungan star
Indonesia Raya dalam sikap yang ia ambil mengenai pemberontakan di Sumatera Barat.
Sebagian penyebab dari ini ialah dua pertiga staf redaksi itu orang Sumatera, termasuk di sini
Hasjim Mahdan, Enggak Bahau;din, Dja’far Husin Assegaff, Ali Mochtar Hoeta Soehoet,
Mohamadnoer, selain juga Mochtar Lubis sendiri. Namun etos kerja dalam koran itu
sedemikian rupa sehingga staf bukan orang Sumatera pun bersimpati pada pandangan bahwa
rangkaian pemerintahan Jakarta berturut-turut telah mengabaikan daerah-daerah di luar Jawa.
Pada 15 Januari 1958, pemberontakan daerah memuncak keika Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) diimaklumat di Sumatera. Sebagaimana tersingkap kemudian dan
sebagaimana Mochtar lalu mengakui, CIA Amerika sangat terlibat dalam pendanaan dan
mendukung PRRI sebagaibagian ‘usaha Amerika Serikat membendung meluasnya pengaruh
atau kekuasaan orang komunis di Indonesia186. Mochtar Lubis disebut secara khusus dalam
Manifes PRRI, yang memutus hubungan dengan pemerintah pusat yang dipimpin Soekarno.
Dalam menjelaskan mengapa mereka menyatakan kemerdekaan, mereka mencantumkan
dalam spesifikasi mereka: ‘Mochtar Lubis, wartawan yang berani menegakkan kebenaran dan
keadilan dan telah menyerang kedzaliman dan penindasan dititik sumbernya, sudah ditahan
lebih dari satu tahun... tanpa pernah iajukan ke pengadilan187.” Maklumat itu kemudian
menyebut kasus-kasus tertentu yang dibongkar Mochtar Lubis dalam Indonesia Raya, seperti
tuduhan-tuduhan terhadap Roeslan Abdulgani.
Lalu mengapa Mochtar Lubis ditangkap, dan siapa yang memerintahkan penangkapan?
Mochtar Lubis sendriri menekankan bahwa penyensoran tajuk rencana untuk edisi 21
Desember 1956, sebelum koran itu terbit, menunjukkan’hingga jelas sekali bahwa penahanan
saya semata-mata ditujukan kepada kegiatan saya sebagai wartawan188.’ Indonesia Raya telah
memuat berita pertama tentang kup Sumatera189. Dibelakang perintah untuk menangkapnya,
Mochtar Lubis melihat Nasution, Soekarno, dan PKI. Sementara Nsution, yang dikecam
secara terbuka dalam satu tulisan di Indonesia Raya edisi 12 November 1956, dipandang
Mochtarr lemah kemauannya dan tak berprinsip, Mochtar berpendapat bahwa
penangkapannya disebabkan oleh pengaruh komunis pada presiden dengan melihat ‘adanya
tangan komunis dibelakang penahanan saya190.’ Ia menggaris bawahi bahwa ia tidak
ditangkap karena hubungannya dengan para perwira militer yang aktif mengancam persatua n
negara melainkan karena perlawananya sudah lama terhadap PKI dan kritik terhadap
presiden.
Akan tetapi, laporan-laporan Mochtar sendiri mengenai interogasinya memerkirakan pihak
berwajib percaya ia bersekongkol dengan Zulkifli Lubis dan kalangan simpatisan lain di luar

186
Kutipan dari Mochtar Lubis (penyunting) (1986) Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta
Kepada Presiden Soekarno1957-1965, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 50. Tentang keterlibatan CIA, lihat Conboy
and Mirisson 1999.
187
Dikutip dalam Hana (1961) WAH-29-59, hlm. 2
188
Catatan Subversif 1980: 3
189
Hana (1961) WAH-29-59, hlm. 3
190
Catatan Subversif 1980: 47
64
Jawa untuk merongrong kewenangan pemerintah pusat191. Sekian tahun kemudian, dalam
suatu wawancara, Nasution menggambarkan bagaimana ia menggerakkan perintah bagi
penangkapan Mochtar karena hubungan pemimpin redaksi itu dengan Zulkifli Lubis ‘Koran
Mochtar Lubis mendukung Zulkifli Lubis. Kami baru dapat bertindak terhadapnya ketika
menemukan kartu pers Mochtar ditangan salah satu perwira [Zulkifli] Lubis, yang telah
ditangkap. Saya menyuruh komandan garnizun untuk menangkap Mochtar192.
Orang Amerika, Willard Hanna, seorang kawan baik Mochtar Lubis dan pengamat lama
politik Indonesia pada masa ini, percaya bahwa, walaupun ada pernyataan-pernyataan militer
‘yang kabur dan bertentangan’ tentang penangkapannya, Mochtar Lubis diduga oleh pihak
berwajib ‘sangat terlibat secara mendalam dalam menghasut ketidakpuasan masyarakat
terhadap rezim Jakarta yang merupakan alasan dasar bagi pemberontakan [daerah] 193. Hanna
menawarkan empat alasan mengapa Mochtar ditahan tanpa diadili: pertama, ‘ia menyebabkan
tersinggung banyak orang terkemuka, termasuk Bung Karno dan anggota-anggota komando
militer’; kedua, ia dicurigai, tidak ‘hanya bersimpati, tetapi bahkan mungkin membantu para
pemberontak daerah’; ketiga, suatu sidang pengadilan terbuka akan ‘berakibat terungkapnya
hal ihwal sensasional’; dan akhirnya, bila dibebaskan, Mochtar akan ‘kembali ke perannya
sebagai nyamuk pengganggu194.
Sementara sejumlah wartawan pernah ditahan selama beberapa hari atau didakwa berdasarkan
peraturan perundang-undangan tentang pers karena memfitnah atau melakukan pelanggaran
serupa sebelum 1957, Mochtar Lubis adalah pemimpin redaksi pertama dalam sejarah
Indonesia pasca 1949 yang ditahan tanpa dakwaan selama lebih dari dua minggu195.
Sebagaimana yang diamati oleh Oey Hong Lee, ‘Bagi dunia pers Indonesia’ “peristiwa
[Mochtar] Lubis” secara keseluruhan merupakan pengalaman awal dari apa yang mulai
berlaku bulan Maret 1957 dan yang membatasi kebebasan wartawan mengutarakan pendapat
mereka196. Mochtar Lubis telah menjadi pemimpin redaksi anti Soekarno dan antii komunis
paling berani dan paling terkemuka. Penangkapan dan penahanannya yang lama – dan khusus
tekadnya untuk tidak mengkompromikan pandangannya untuk memperoleh keringanan
perlakuan – menghasilkan baginya reputasi sepanjang hidup sebagai lambang berani bagi
‘kebebasan pers’. Ketika perhatian masyarakat tentang keberadaannya meningkat, pada 16
Oktober 1957 pihak berwenang militer menanggapi protes kalangan pers atas penahanan
Mochtar, terutama di Indonesia Raya, dengan melarang menerbitkan komentar tentang kasus
itu, kecuali kalau bersumber kepada narasumber berwenang, seperti Dinas Penerangan

191
Catatan Subversif 1980: 14
192
Brian May (1978) The Indonesian Tragedy, Routledge dan Kegan Paul, London, hlm. 391. Tampaknya
Nasution merujuk kepada kartu nama seorang staf redaksi Indonesia Raya yang diberikan oleh Kapten Sulistiadi,
anggota faksi Zulkilfli Lubis. Lihat Catatan Subversif 1980: 16 dan 38.
193
Hana (1961) WAH-29-59, hlm. 3
194
Hana (1961) WAH-29-59, hlm. 2
195
Smith (1969) menyediakan data olahan tentang kegiatan-kegiatan melawan pers. Pada 1952 terjadi dua
penangkapan dan dua wartawan dipenjarakan (hlm. 152) dan pada 1953, dua wartawan juga ditahan (hlm. 178).
Pada 1954 redaktur Harian Rakyat adalah satu-satunya wartawan yang ditahan, mendapat hukuman tujuh hari
karena mengkritik presiden AS (hlm. 182&186). Pada 1955 dua wartawan ditahan (hlm. 194), dua ditahan dan
seorang dipenjarakan tahun berikutnya (hlm. 199). Semua penahanan tampaknya untuk waktu singkat.
196
Oey 1971:52

65
Angkatan Darat197. Pengendalian peliputan di dalam negeri gagal untuk membendung
perhatian internasional. Selama masa tahanannya, sekian banyak protes atas namanya
dilancarkan oleh seragkaian organisasi internasional, termasuk himbauan berulang-ulang
Institut Pers Internasional yang berkedudukan di Zurich 198. Perhatian luar negeri meningkat
juga ketika, pada bulan Agustus 1958, ia dianugerahi penghargaan Ramon Magsaysay yang
bergengsi untuk bidang jurnalime dan sastra, yang dipandang sebagai Hadiah Nobel ukuran
Asia yang diidam-idamkan orang banyak.
Politik perang dingin dan sang warga dunia
Dalam waktu tujuh tahun antara didirikannya Indonesia Raya dan penangkapan Mochtar
Lubis, ia telah menetapkan awal suatu kawasan dukungan internasional yang akan
memainkan peranan yang semakin meningkat di dalam kegiatan-kegiatan profesional dan
politiknya dan dalam pengayaan intelektualnya. Ia telah membentuk hubungan-hubungan
pribadi dan profesional ini melalui perjalanan yang kerap kali dilakukan ke luar negeri, peran
sertanya dalam organisasi-oragnisasi kunci yang mengemuka sebagai bagian Peang Dingin,
dan jejaring luas dengan kawan asing serta koleganya di Jakrta. Wartawan nasionalis muda ini
telah melakukan beberpa jurus gerak berharga di atas panggung dunia.
Sejak perjuangan kemerdekaan, Mochtar Lubis telah berhubungan secara bebas dengan staff
diplomatik, wartawan dan penduduk Barat, khususnya Amerika, di Jakrta. Mochat Lubis
dipandang sebagai salah satu wartawan Indonesia yang terdekat bagi orang Amerika.199
Dampaknya terhadap mereka tercermin dalam tulisan-tulisan mereka selama tahun 1950-an
dan 1960-an. Misalnya, Willard A. Hanna, kepala Dinas Penerangan AS dan bagi American
Universities Field Staff, menulis dalam beberapa kesempatan dengan kata sanjungan
mengenai Mochtar Lubis, yang ia pandang, dalam tahun 1956, sebagai 'salah ‘eorang
wartawan muda dan tokoh sastrawi terkemuka di Indonesia. Ia menguasau bahan bacaan
secara luas dan dikagumi secara luas pula akan gaya sastrawi dan jurnalismenya,
pengungkapan terus terang opini poliitknya yang bernalar dan rekaman panjang kegiatan-
kegiatan patriotiknya dalam revolusi Indonesia’.200
Sungguhpun wartawan-wartawan lokal memandang Indonesia Raya sebagai pro-Siliwangi,
Hanna lebi suka menggambarkannya sebagai koran ;harian independen terkemuka’
Indonesia.201 Pada tahun 1959 ia melaporkan dengan ungkapan isi hati bahwa ‘dalam arti
besar ... semangat dan kesemarakan dunia surat kabar Indonesia telah hilang sejak mundurnya

197
Atmakusumah 1980: 202, mengutip Lembaga Pers dan Pendapat Umum (Yogyakarta), Kronik Pers 1957,
Oktober 1959, hlm. 84.
198
‘IPI Protest to Indonesia’ IPI Report, Juni 1958, hlm.12. Jurnal ini secara teratur menyiarkan laporan tentang
Mochtar Lubis dari penangkapan sampai pelepasannya pada 1961.
199
Salah satu cerita pendek Michtar yang awal melukiskan pengarangnya berteman dengan para wartawan asing
yang ada di Jakarta, saat mereka duduk-duduk di lobi hotel, tukar menukar cerita dan minum. Lihat ‘ Sarah
Ywone Dew dan macam-macam yang lain’ Mutiara 7,II Mei 1950, hlm. 8-9 dan 24-25. Lihat juga ceritanya
’Perempuan’ [dicetak ulang H.B Jasin (penyunting) (1968) Analisa, Oxford Press, Kuala Lumpur, hlm. 8-21]
diperlihatkan dalam club wartawan di Tokyo.
200
Hanna (1956a) [WAH-9-‘56], hlm.8
201
Lihat Willard A. Hanna (1956b), “Eternal” at Five and One Half: The Biography of a Newspaper”, American
University Field Staff SEA Series Vol. IV, No. 12. [WAH 12-56] hlm. 183
66
MochtarLubis secara tak sengaja.’202 Hanna sebe;umnya telah membnantu Mochtar dalam
menyusun Pesr dan Wartawan, satu dari sejumlah buku panduan karya orang Indonesia muda
itu dengan memaki bahan sebagian besar dari penerbitan-penerbitan berbahasa Inggris.203
Edward C.Smith, mantan perwira Angkatan Udara AS yang berdinas dalam korps diplomatik
di Indonesia tahun 1957-1958, menulis disertai mengenai pembungkaman pers Indonesia
pada tahun 1949-1965 yang menunjukan bahwa dari semua wartawan dan surat kabar zaman
itu, ia memberi perhatian terbesar kepada Mochtar Lubis, Indonesia Raya dan harian
berbahasa Inggris yang didirkan Mochtar, The Times of Indonesia.204Sama halnya dengan
Robert H, Crawford, dalam kajiannya mengenai pers Jakarta, mengangkat Mochtar Lubis dan
Indonesia Raya sebagai ‘terkemuka’ di antara ‘wartawan dan surat kabar yang sangat berani
dan punya rasatanggung Jawab’ selama masa demokrasi konstitusional.205 Mochtar
menyediakan prisma pribadi yang memungkinkan orang-orang asing dapat menafsirkan
masalah Indonesia.
Selama masa awal pascaperang, Mochtar berkelana secara luas di luar negeri sampai pada
tingkat yang mengejutkan banyak penagamat, termasuk Willard Hanna yang menggambarkan
dia sebagai ‘seorang John Gunther Indonesia dini’.206 Pada tahun 1950 ia melakukan dua
perjalanan ke luar negeri. April ia berkunjung ke berbagai ibu kota Asia Tenggara bersama
Adam Malik untuk memperrerat hubungan lebih dengan Antara dengan kantor-kantor berita
nasional yang lain, dan September ia pergi ke Korea, Lewat Jepang, sebagai koresponden
perang.207 Tiga bulan dalam tahun 1951 dihabiskan di Amerika.208 Bulan Mei 1952 ia
menghadiri konferensi IPI di Paris bersama kolega Suardi Tasrif dan Rosihan Anwar, kembali
ke tanah aiar lewat Roma dan Kairo.209 Pada 1953 ia bergabung dalam ‘Kunjungan Muhibah’

202
Hana (1961) WAH-29-59, hlm. 5
203
Dalam Pers dan Wartawan 1952: Mochtar Lubis berteerimakasih kepada Dr. WO. Hanna. Hanna kelak
bersekutu dengan Mochtar, sebagai pendonor pribadi kepada Yayasan Obor. Buku petunjuk lainnya Teknik
Mengarang (disunting oleh Mochtar Lubis), Balai Pustaka, Jakarta (edisi I 1949) (edisi kelima Kurnia Ersa,
Jakarta, 1981) dan Teknik Mengarang Scenario Pilem, Balai Pustaka, Jakarta, 1953.
204
Tesis Smith 1969, diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada 1983. Dalam tinjauan terhadap terjemahan itu
wartawan senior Mohammad Said menulis ‘Smith mengagumi Mochtar dan dapat dikatakan Mochtar telah
menjadi “Pahlawannya”... [seperti] Smith, banyak politisi Amerika dan dari negara-negara kapitalis Barat
lainnya menyongsong “pahlawan” mereka, Mochtar, karena alasan tertentu.’ (‘Sejarah Pembredelan Pers di
Indonesia’, harian Waspada, Medan, 20 Mei 1983).
205
Robert H. Crawford (1967) The Daily Indonesian Language Press of Two Recent Critical Periods,Ph.D.,
Syracuse University, University Microfilms, Ann Arbor, hlm. 139
206
Hanna 1956a: 1 & 12 John Ghunter (1901-70) adalah penulis yang biasa mengadakan perjalanan dalam
peliputan untuk tulisan-tulisannya.

207
Perjalanan panjang satu bulan dengan Adam Malik diceritakan dalam Perkenalan ke Asia Tenggara, Gapura,
Jakarta, 1951. Chamber-Loir (1974:31& 34-6) menuliskan rincian tentang ini, dan perjalanan Mochtar yang
berikutnya ke luar negeri, diringkaskan disini. Pengalamannya di Korea dilukiskan dalam Catatan Korea, Balai
Pustaka, Jakarta, 1951.
208
Lihat Perlawatan ke Amerika Serikat,Gapura, Jakarta, 1952.
209
Lihat Mochtar Lubis ‘Panorama dari Tujuh Bukit’ (hlm. 45-53) dalam Suardi Tasrif, Mochtar Lubis, dan
Rosihan Anwar (1953) Ke Barat dari Rumah: Tiga Laporan Perjalanan Jurnalistik, Kementrian Penerangan
Jakarta.
67
Indonesia ke Burma yang dipimpin Sultan Yogyakarta, Hamengku Buwono IX. Ia berperan
dalam Konferensi sosialis Asia di Rangoon. Bulai Mei tahun berikutnya ia pergi ke konferesi
IPI lain bersama Tasrif dan B.M Diah, sambil menjelajahi Eropa Barat. Tahun itu
juga ia undang Pemerintah AS untuk kembali ke New York bulan Oktober, dan dari sana
menerapkan perjalanan ke Meksiko dan kemudian ke Eropa Barat.210 Bulan Februari 1955 ia
kembali ke Rangoon untuk emngahdiri konferensi yang diselenggarakan bersama oleh
Kongres untuk Kebebasan Budaya (Congress for Cultural Freedom) dan Perhimpunan
Masyarakat (Burma) untuk prtluasan Tujuan-Tujuan Demokratis (Burmese) Society for the
Rxtension of Democratic Ideals).211 Dan kemudian pada tahun itu ia berkunjung ke Australia
dengan Misi Muhibah yang dipimpin Mohamad Roem. Pada April 1956 ia berada di Tokyo
untuk mengikuti konferensi IPI yang ia lanjutkan bulan september di pertemuan IPI liannya di
Zurich bagi wartawan Belanda di Indonesia.
Memakai alat ukur apapun zaman itu, ini merupakan perjalanan gencar yang melelahkan.
Sebagaimana ia utarakan, perannya sebagai pemimpin radaksi mengharuskannya memahami
masalah internasional dan ia secara aktif tertarik pada isu-isu besar mengani konflik ideologi
global. Tulisan-tulisanya dalam Indonesia Raya dan buku-bukunya berdasarkan lawaan-
lawatannya menerangkan pandangan-pandanganna mengenai orang dan politik neagara-egara
yang ia kunjungi. Dua perjalanan ke luar negeri, pada awal kariernya menggaris bawahi ini.
Bulan September 1950 Mochtar Lubis memulai lawatan, sebagai koresponden perang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa meliputi Perang Korea.212 Laporan-Laporannya yang diterbitkan,
sehingga ia memperoleh penghargaan Persatuan Wartawan Indonesia, segaris dengan politik
Pemerintah Indonesia (sebagaimana diutarakan Wakil Presiden Hatta) sebagai politik
‘nonblok melalui politik luar negeri bebas aktif.213 Bulan Februari 1948 Sjahrir telah
menaburkan bibit-bibit politik luar negeri pascaproklamasi kemerdekaan, yaitu komitmen
pada politik nonblok’, dalam pidatonya di depan parlemen sementara, Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP).214 Pada 2 September 1948 Hatta dalam pernyataan di depan KNIP
menganjurkan agar Indonesia ‘mendayung diantara dua batu’, Rusia di satu pihak dan
Amerika di pihak lain.215Dalam praktik, Hatta lebih terbuka untuk kerja sama dengan pihak

210
Mochtar menceritakan kesannya yang pedas tentang staff diplomatik Indonesia di luar negeri dalam seri
artikel Indonesia Raya, dikumpulkan menjadi buku yang kontroversial, Indonesia di Mata Dunia: dan goresan-
goresan perjalanan ,Tintamas, Jakarta, 1955 (edisi kesatu, kedua 1960). Untuk pembahasan tentang karya ini
dan kisah perjalanan Mochtar yang lain, lihat Hanna 1956a.
211
Laporan tentang konferensi diterbitkan sebagai Cultural Freedom in Asia, CCF and Charle E. Tuttle Co,
Rutland, Vermont and Tokyo, Japan (1955)
212
Sebagai koresponden resmi PBB, ia diberi surat pengangkatan oleh Jendral MacArthur dan diberi seragam
tentara AS untuk dikenakan (Catatan Korea 1951: 13 &15). Ia tinggal di Korea selama dua minggu dan
menuliskan reaksinya tentang peperangan dalam ‘Wartawan Perang’ (hlm. 34-36) Buku Kenang-kenangan Dua
Tahun Usia Reporters Club, 1952, tanpa penerbit, Jakarta.
213
Rose 1987: 170
214
Michael Leifer (1983) Indonesia’s Foreign Policy, Royal Institute of Internationa Affairs & George Allen &
Unwin, London, hlm.19.
215
Leifer 1983:20, Pidato Hatta kemudian disiarkan sebagai Mendayung Antara Dua Karang, Departemen
Penerangan, Jakarta, 1951.
68
Amerika, tetapi merahasiakan aspek-aspek signifikan urusan diplomatiknya dengan AS untuk
menghindari perlawanan dalam negeri dari pihak kiri. Sikapnya terhadap Uni Soviet lebih
berhati-hati.216 Sebagai Perdana Menteri hingga Agustus 1950 Hatta juga memegang
Portofolio urusan luar negeri dan mengambil posisi netral perihal ‘apa yang dinamakan
sebagai perang saudara korea’, yang ia nyatakan sebagai masalah yang sesungguhnya urusan
bagi kedua adidaya Perang Dinging217. Politik luar negeri ‘bebas dan aktif’ ini didukung
dengan bersemangat oleh PNI dan Soekarno saat itu.
Mochtar melaporkan bahwa konflik korea sebenarnya bukan karna orang korea, yang
merupakan korban adidaya-adidaya asing yang sedang berperang. Ia menunjuk pada pelajaran
bagi Indonesia: ‘Pelajaran bagi kita ialah sekali kita membeiarkan persatuan nasional
kitadikoyak-koyak oleh ideologi dan pengaruh dari luarnegeri, maka terbukalan pintu yang
menuju kepada bencana besar bagi bangsa dan negara kita. 218 Ia mencatat bahwa Amerika
tetap membuat kesalahan fatal karena mendukung ;kekuatan-kekuatan rekasioner di Asia’
yang bertentangan dengan kepentingan terbaik bagi orang Asia. 219 Mochtar menggambarkan
rezim korea Selatan Syngman Rhee sebagai tidak populer, yang bertahan hanya karena
‘dukungan dari Amerika Serikat dan Karena Prestise yang diperoleh dari pengakuan PBB’
(hlm. 53 dan 79-87). Pemimpin Korea Utara Kim II Sung, yang Mochtar pandang sebagai
patriot dalam perjangannya melawan Jepang, ‘dapat menujuk bagaimana Rhee itu hanyalan
seorang boneka Amerika, seorang penghianat Nasinal (hlmn.82). Bagi, Mochtar, penyerbuan
Kim ke Selatan pada 25 Juni 1950 merupakan usaha sah untuk menyatukan negara.
Tidak lama setelah pengamatannya atas keterlibatan militer AS di Korea, Mochtar memeroleh
kesempatan berkunjung ke Amerika selama tiga bulan dan tiba pada kunjungan pertama dari
banyak kunjungam pada 31 Mei 1951. Ia ingin menilai ‘gaya hidup Amerika’ dan bukan
untuk menganalisis sistem politik. Bagi dia,orang per orang, dan bukan sistem politik, yang
memberikan kunci untuk memahami Amerika. Kesan-kesannya pada umumnya positif,
walaupun ia tersentak dengan adanya rasisme dan pencemaran bersama-sama dengan
kemewahan, hidup berlebihan, dan kemubaziran.
Orang Amerika sangat mengesankan dia. Ia menemukan mereka bersahabat , membantu,
berakal sehat, bekerja keras dan berprestasi secara efesien. Ia memuji prestasi Otoritas
Lembah Tennessee dalam memperbaiki tingkat kehidupan kaum tani; Perusahaan mobil Foed
untuk menyediakan saran dan standar hidup yang tinggi bagi kaum butuh; dan serikat buruh
dalam prestasi berorganisasi dan disiplin mereka. Selama perlawanannya, ia ditemui dan
dibantu oleh wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Amerika serta tokoh-tokoh profesional
terkemuka yang membuka pintu rumah dan kantor mereka. Orang Amerika yang

216
Leifer 1983: 27-8
217
Rose 1987: 170 mengutip bagian ini dalam J.M Van der Kroef “Indonesia and The West’ Far Eastern Survey,
20,4 (21 Desember 1952) hlm. 40
218
Catatan Korea 1951: 4 Rujukan halaman yang belakang di dalam teks merujuk ke edisi ini
219
Ia secara khusus menyebut keputusan AS di Indo-China dan Formosa. Catatan Korea 1951: 75
69
berhubungan dengan dia tidak ingin mecanmpuri negara lain yang sudah bosan membayar
untuk membantu negara berkembang, tetapi dengan nyaris putus asa ingin menghilangkan
komunisme di dunia. Ia mencatat tanpa nada mengecam bahwa sebgaian besar kemakmuran
Amerika diperoleh dengan mengarahkan prekonomiannya untuk produksi bahan perangkat
peperangan. Mochtar menjelaskan pandangan pemerintah Amerika mengenai situasi poliitk
dunia sebagaimana adanya: Rusia merupakan ancaman dan Amerika mempersenjatai diri
untuk melindungi diri. Ia tidak suka bagaimana orang asing mancap orang Amerika sebagai
“kapitalistis, materialistik, dan belakangan ini imprealistis [dan] saya sendiri tidak percaya
pada pemberian cap-cap ini’ karena dalam pemberian cap seperti ini sendiri sudah terkandung
pembatasan pengerian yang lebih dalam. 220
Namun, orang Indonesia ini mengkiritik mentalitas antikomunis Amerika dan bagaimana hal
itu dibina oleh pemerintah. Berkomentar atas upaya Senator McCarthy untuk memburu orang
komunis, Mochtar tidak melihat adanya ancaman komunis di Amerika. Tingkat kehidupan
terlalu tinggi untuk membuat orang mau megubah keadaan sosial atau ekonomi. Dengan
mendengungkan kembali ancaman keamanan yang sering dilontarkan terhadap anggota
parlemen Indonesia, ia mencatat bahwa kaum politikus Amerika biasanya berhubungan
dengan bisnis besar dan berada dalam politik untuk pamrih pribadi. Sekalipun Mochtar
skeptis terhadap banyak klaim mengenai pola hidup Amerika, ia sangat menikmati Amerika
serta mengagumi efesiensi, keterbukaan, kebebasan individu, disiplin, dan kerja keras
Amerika. (Halamn 72)
Ketika Februari 1952, ketika kembali di Jakarta, Mochtar mengikuti berita ekslusif harian
Abadi, yang mengungkap perundingan kembali ketentuan-ketentuan hubungan AS-Indonesia,
berdasarkan Undang-Undang kemanan Bersama (Mutual Security Act) 1951 Amerika.221
Undang-Undang ini mengharuskan suatu negara penerima bantuan sperti Indonesia untuk,
sebagai salah satu ketentuan ‘memberi sumbangan penuh, sejalan dengan kapasitas politik
dan ekonominya, penduduknya, sumber daya lamnya, sarana dan keadaan ekonominya, untuk
mengembang dan memelihara kemampuan pertahanannya sendiri dan untuk kekuatan
pertahanan dunia bebas.’222 Pada 5 Januari 1952, sebelum ada perdebatan dalam kabinet,
tanpa diketahui para kepala angkatan bersenjata, dan satu bulan sebelum keberadaan
persetujuan itu menjadi pengetahuan umum, Menteri Luar Negeri Indonesia Subardjo menulis
kepada Duta Besar AS untuk menerima baik ketentuan-ketentuan UU tersebut.
Ketika terungkap kongkalikong pemerintah dengan pihak Amerika ini dikecam oleh banyak
kalangan pers Indonesia, termasuk Indonesia Raya. Kecaman publik dan kasak kusuk politik
yang kemudian timbul berakibat jatuhnya kabinet pimipinan Masyumi.223 Opini publik tidak

220
Perlawatan ke Amerika Serikat, 1952: 99
221
Untuk rincian, lihat Feith 1962: 200 dan Atmakusumah 1980: 191-92
222
First Report to Congres on the Implementation of The Mutual Security Act of 1951, dikutip dalam Feith 1962:
198-205.
223
Feith 1962: 198-205
70
merestui cara tertutup dalam merundingkan persetujuan itu, dan ada kecurigaan bahwa
Amerika berusaha menjaring Indonesia secara terlalu ketat dalam rangkulan strateginya.
Amerika telah berupaya dlaam sejarah kemerdekaan singkat Indonesia untuk menekan bangsa
muda ini agara tunduk pada kebijakannya. Bulan Mei 1951 Departemen Luar Negeri AS
menolak pernyataab Menteri Luar Negeri Subardjo bahwa ‘akan menjual [karet] ke setan
jikalau ini demi kepentingan rakyat’ karena pihak Amerika menafsirkan hal ini sebagai
pengakuan bahwa Indonesia akan menjual barang strategis kepada Tiongkok, yang melangar
embargo perdagangan yang disponsori AS untuk barang semacam itu. Departemen Luar
Negeri AS memberitahu Indonesia bahwa penjualan barang demikian ke Tiongkok akan
berarti ‘Indonesia telah menjauhi politik independesinya dan akan dipandang Amerika telah
meilihi kubu Sovyet.224 Penolakan Indonesia Raya terhadap persetujuan MSA menunjukan
niat Mochtar Lubis bahwa Indonesia hebdaknya menganut politik luar negeri independen,
nonblok dan memelihara jarak sehat dari maksud-maksud geopolitik Amerika di Asia
Tenggara dan juga dari maskud-maksud Rusia dan Tiongkok. Pada waktu kemduian, ia
merenungkan terungkapnya kasus MSA itu, ‘Sebelumnya, status Amerika Serikat itu tinggi.
Tampkknya AS menghayati cita-cita kami akan kemerdekaan. Waktu ini terjadi, generasi
saya.... terpukul. Kami menjadi sangat curiga terhadap Amerika Serikat.’225
Dalam tahun berikutnya perubahan-perubahan politik dalama negeri di Indonesia
menyebabkan Mochtar mengambil sikap pro-Amerika yang tidak meragukan. Pada tahun-
tahun setelah 1953 gerakan komunis Indonesia tumbuh dan Presiden Soekarno dan PNI yang
berkuasa mulai bekerjasama dengannya. Juga kabinet-kabinet pimpinan PNI mulai dekat
dengan Tiongkok dan Uni Sovyet yang menunjukan kesedian mendukung ‘klaim nasional’,
dan perjuangan pribadi Suarno, untuk memperoleh bagian barat Papua (yang dipertahankan
Belanda stelah peralihan kedaulatan). Kabinet Ali Sastroamidjojo mengangkat duta besar
Indonesia pertama untuk Tiongkok pada bulan Oktober 1953 dan pada Maret 1954 Rusia
membuka kedutaan di Jakarta.226 Kelompok-kelompok anti Sukarno di Seputar partai-partai
Masyumi dan Sosialis, bersamaan dengan perkembangan itu, bergerak ke posisi kerja sama
lebih aktif dengan AS.
Satu aspek penting dalam peran Mochtar Lubis pada tahun 1950-1n adalah partisipasinya
dalam oragnisasi-organisasi seperti IPI. Organisasi-organisasi internasional yang berorientasi
Barat ini, yang bernafas dalam sikap-sikap Perang Dingin, membantu memberntuk
pandangnnya atas dunia luar dan memberinya sikap percaya diri yang meningkat mengenai
peran yang ia mainkan di Indonesia. Peran serta Mochtar di IPI sejak 1951 membuat dia
dikenal luas dalam komunitas internasional tersebut. Muda dan percaya diri, ia berhubungan

224
Ali Sastroamidjojo 1979: 231
225
Paul F. Gardner (1997) Shared Hopes, Separate Fears: Fifty years of US-Indonesian Relations, Westview
Press, Boulder, hlm 106-7, dari wawancara 9 September 1994
226
David Mozingo (1976) Chinese Policy towards Indonesia, 1949-1967, Cornell University Press, Ithaca,
terutama hlm. 86-144.
71
dengan nyaman dengan orang Barat dan berdiri sama tinggi sebagimana apa adanya dalam
situasi-siatuasi demikian. Pada 1954, misalnya, dalam suatu seminar pers di Zurich ia
menanggapi dengan amarah klaim peserta Belanda bahwa pers di Indonesia masih
terbelakang. Karena rasa nasionalismenya terusik, ia memukul meja dan menuntut orang
Belanda itu mencabut pernyataan mereka.227 Namun, Mochtar juga mendapatkan banyak
kawan dalam pertemuan-pertemuan di Luar negeri, sampai pada tingkat bahkan kawan dekat
di Indonesia mengira bahwa pandangannya lebih dekat kepada kolega-kolega IPI daripada
kawan-kawan Indonesianya.228 Waktu ia ditahan, IPI secara aktif melebihi pembebasannya,
begitu juga lobi dilakukan oleh Kongres untuk Kebebasan Budaya (CCF) dan organisasi
pengarang PEN International dan Amnesty International.229
Dalam laporan-laporan internasionalnya, Indonesia Raya meliput peristiwa-peristiwa di
negara-negara Barat secara luas dan umumnya positif. Kritik-kritiknya spesifik, disajikan
ditengah-tengah informasi beragam, yang menunjukkan perhatian luas koran itu pada
perkembangan-perkembangan di Barat. Materi asing yang dipakai dalam Indonesia Raya
umumnya dari sumber-sumber Barat sesuai dengan orientasi bahwa koran ini. Rubrik hiburan,
misalnya berisi laporan-laporan dari Hollywood, artikel-artikel ilmu pengetahuan populer dari
Amerika, demikian pula tulisan tulisan berdaya tarik emosional (human interst). Berita-berita
mengenai kegiatan di negra Komunis sering disajikan secara negatif. Peristiwa-peristiwa
komunis internasional sering dikaitkan dengan partai komunis domestik dengan sedemikian
rupa sehingga meyajkan partai Indonesia sebagai agen gerakan internasional. Selama masa
de-Stalinisasi di Rusia pada tahun 1950-an, pemimpin PKI Aidit dicemoohkan karena
dukungan sebelumnya bagi Stalin yang kemudian ia kecam setelah Stalin meninggal. Ia
khsusnya disindar dalam kartun-kartun Sam Soeharto. Dalam salah satu kartun, Khruschev
meghantam patung besar Stalin dan Aidit diperlihatkan dihajar sepatu lars Stalin selagi sepatu
itu jatuh dari patung yang rubuh itu.230 ‘Mas Khuluyur’ sudah biasa mencomoohkan orang
kmunis Indonesia dengan menyebut mereka sebagai ‘kamaradski’.
Di dalam negeri, Indonesia Raya memberi ruang bagi pernyataan antikomunis oleh tokoh-
tokoh masyarakat, tetapi melaporkan pernytaan-pernyataan PKI dengan tafsiran redaksional
dan komentar yang tidak menguntungkan PKI. Beberapa bulan setelah sukses PKI dalam
pemilhan umum 1955,Indonesia Raya memuat berita halaman satu berjudul’Jika PKI
berkuasa hak elemnter perseorangan dan demokrasi akan lenjap’. PKI bukan nasionalis, tapi
diktatur.’ Berita merinci pidato pemimpin Masyumi Mohammad Natsir yang mengingatkan
rakyat terhadap komunisme.231 Dalam tajuk rencana susulan yang beralih dari bahasan
tentang gerakan komunis dunia ke partai dalam negeri, koran itu memeringatkan untuk tidak

227
Wawancara Suardi Tasrif 23 Januari 1981
228
Wawancara Soebadio Sastrosatomo, 24 Pebruari 1981
229
Amnesty newsletter,( London), No. 8, 4 Oktober 196
230
Indonesia Raya 30 Juni 1956, hlm. 1
231
Indonesia Raya, 13 Desember 1955, hlm. 1
72
menerima klaim PKI bahwa partai ini menempuh jalaur parlementer menuju komunisme. Apa
pun jlau yang diambil PKI akan menghadirkan kediktatoran komunis dan mengahpuskan
‘kebebasan’ dan ‘semnagat rakyat’ di Indonesia, tajuk rencana itu berargumen.232
Koran itu semakin menjadi antikomunis dan karena itu menarik minat para aktivis
antikomunis sebagai penulis tetap, seperti asais Wiratmo Sukito yang menulis olom budaya
dan H. Firdaus A.N. yang menyusun Rubrik Agama.233 Darai September 1956 Firdaus
,encantumkan di atas namanya kedudukan ‘Sekretaris Jenderal Front Anti-Komunis’.234
Tahun berikutnya ia mewakili Indonesia dalam koneferensi Liga Anti-Komunis Rakyat Asia
di Saigon dan pada 26 Juni 1961 ia ditangkap karena ‘menghina Presiden Sukarno’ dalam
buku yang ia tulis mengani perkawinan Hartini.235
Komunisme merupakan salah satu dari hanya sedikit topik yang cara penyajiannya dalam
Indonesia Raya mencampur adukkan dengan bebas berita dan opini sehingga klaim bahwa
koran itu ‘profesional’ dan tidak bisa diragukan. Satu contoh mengenai ini ialah peliputan
tentang perbedaan pendapat anatara dua pemimpin PKI, Aidit dan Aimin, bulan Juli 1956,
mengenai sila pertama Pancasila yang dinyatakan oleh Sukarno sebagai fondasi sistme
keyakinan Indonesia. Di bawah judul berita ‘Aidit tidak jujur’, berita itu menggaris bawahi
kritik Alimin terhadap pernyataan-pernyataan Aidit mengenai sikap PKI terhadap ‘Ketuhanan
yang Maha Esa’. Koran itu tidak hanya melaporkan apa adanya yang dikatakan oleh Alimin
tentang latar belakang keterangan Aidit, berarti itu lebih jauh berisi tuduhan-tuduhan tanpa
dasar terhadap PKI dalam gaya yang jelas patisan a;ias berat sebelah.236
Sementara pemimpin redaksi koran itu mulai menonjol secara internasional, koran itu
berusaha merayu dengan gesit para pembaca di dalam negeri dalam suatu masyarakat yang
semakin terpecah menurutt garis ideologi. Dalam perlawanannya terhadap Sukarno dan Partai
Komunis yang sedang naik daun, Mochtar berjuang dalam pertempuran yang tidak berimbang
dan akibatnya harus membayar mahal.
Kematian Berlambat-Lambat Indonesia Raya
Pada 5 Januari 1957, dua minggu setelah ditangkap, Mochtar dialihkan dari Rumah Tahanan
Milite Budi Utomo ke tahanan rumah dan dibebaskan pada 29 April 1961. Secara teknis
iadilarang menerima tamu, diwawancarai, memakai telepon, atau menulis.237 Akan tetapi, ia
tidak dicegah untuk menulis dan kekecualian secara bertahan dibuat untuk tamu, setelah ia
mengembangkan hubungan akrab dengan para penjaganya. Mochtar menerima pinjaman film

232
‘Kongres Partai Komunis di Moskow’, Indonesia Raya, 23 Februari 1956
233
Firdaus A.N. (1967) Dari Penjara ke Meja Hijau, Pustaka Nida, Jakarta, hlm. 59
234
Indonesia Raya, 18 September 1956
235
Riwayat Analisa Perkawinan Soekarno-Hartini diterbitkan dengan nama samaran pada 1955. Firdaus menulis
pada 1967 ia ditahan dan diadili (lihat halaman 79-80). Pada 1964, ia terbukti dihukum enam bulan kurungan,
dikurangi masa tahanan (Firdaus 1967: 153). Front antikomunis di dalam negeri mengganti namanya menjadi
Liga Anti Komunis Rakyat Indonesia, rujukan mencolok terhadap Badan Asia yang lebih luas (Firdaus 1967: 94)
236
’Aidit Tidak Jujur’, Indonesia Raya, 5 Juli 1956, hlm. 1
237
Catatan Subversif 1980: 57
73
untuk ditonton di rumah dari kawan PSI Maria Ulfah, saat itu ketua Badan Sensor Film.238
Sungguhpun kondisi penahanannya memberi rasa santai dan nyaman, ada pembatas asa gerak
gerikna dan akses bagi pengunjung. Ia khususnya rindu pada kursus belajar terbang di Jakarta
Air Club dan kegiatan berlayar di Sailing Club Pulau Seribu.239

Perbedaan kebijakan antara Mochat dan direktur-direktur yang lain dalam perusahaan koran
itu melebar selagi larangan terbit tambahan sering dan kian lama. Didorong terutama oleh
hasratnya pada jurnalisme dan politik, Mochtar hanya memberi sedikit perhatian pada urusan
administrasi sehari-hari, dan pengelolaan keuangan merupakan suatu kelemahan di
perusahaan ini. Persilisihan anatara Hasjim Mahdan mengibaratkan posisinya sebagai
nahkoda kapal yang bilamana menghadapi badai dan marabahaya, menyesuaikan arah untuk
menjamin kapal, awak, dan penumpangnya tiba ditujuan mereka. 240 Secara kontras, bagi
Mochtar Lubis, bilamana sebuah koran tidak dapat lagi mencetak berita sesuai dengan
haluannya, koran itu punya tanggung jawab moral utnuk tutup. Kepentingann staff menjadi
hal kedua setelah ‘misi’ koran. Hasjim Mahdan memandang taktik Mochtar untuk
mengarhkan kapalnya lurus ke tujuannya, sekalipun arah marabahay, tetapi sebagai nahkoda
bersedia untuk tenggelam bersama kapalnya, sebagai perbuatan’bunuh diri’ yang masuk akal.
Bulan Agustus 1958 konflik memuncak ketika Menteri Penerangan menawarkan kepada
Hasjim Mahdan bantuan keuangan dari pemerintah asalkan Mochtar Lubis mundur dan kritik
dikendalikan.241 Pemegang, saham perusahaan, Hasjim Mahdan dan Sarhindi, yang beberapa
anggota staf Indonesia Raya menganggap mereka masih bertindak sering dengan Brentel
Susilo, mecabut dukungan mereka bagi Mochtar, yang dipecat oleh badan pengurus
perusahaan pad 20 Agustus 1958242. Redaktur senior Enggak Bahau’ddin dan K. Sidharta
dialihkan ke tugas yang tingkat tanggung jawabnya lebih rendah dan digantikan oleh Soejono
Harjadi, seorang pendatang baru di koran ini. Dalam suatu demosntrasi solidaritas bulat,
seluruh staff redaksi berpihak kepada Mochtar Lubis.243 Perpecahan internal itu diberikan
dalam rician gamblang pada halaman depan koran. Pada awalnya, staff koran menolak
menerima arahan badan pengurus dan mampu meneruskan penerbitan Indonesia Raya
berdasarkan aturan tenaga kerja lama sampai saat pihak berwenang melarang terbit koran itu
pada 10 September. Dengan meneruskan perjuangan mereka, anggota staff yang berpihak
pada Mochtar keluar dari kantor Indonesia Raya dan menerbitkan koran dengan nama yang
sama dan bersaing dengan Indonesia Raya dari Hasjim Mahdan.244

238
Mochtar Lubis, ‘Maria Ulfah Subadio’, Kompas, 17 April 1988, hlm.1 dan 13.
239
Catatan Subversif 1980: 65
240
Hasjim Mahdan, ‘Pembaca Indonesia Raya Berhak Mengetahui Inti Persoalannya’, Indonesia Raya 7
Oktober 1958 (dikutip sebagian dalam Atmakusumah, 1980:210)
241
Atmakusumah 1980: 209
242
Atmakusumah 1980: 216 mencatat bahwa Hasjim Mahdan dan Sarhindi bersama-sama menguasai75% saham
perusahaan
243
Wawancara dengan Atmakusumah , 26 Maret 1981
244
Atmakusumah 1980: 178-79
74
Gerakan ini tidak berlangsung lama, begitu juga rencana faksi Mochtar Lubis untuk
menerbitkan koran saingan, Suara Indonesia Raya. Pihak berwenang militer lokal, dengan
kuasa keadaan darurat yang dimaklumatkan setelah pemberontakan daerah luar Jawa, telah
menetapkan semua koran harus didaftar sampai tangal 1 Oktober 1958 agar memenuhi
ketentuan guna memeroleh izin penerbitan yang wajib. Aplikasi faksi Mochtar Lubis ditolak.
Permohonan Hasjim Mahdan dikabulkan. Versi Indonesia Raya itu hambat tak bernyawa, dan
tak lagi menyerupai koran lama, menarik minat sedikit pembca dan bertahan hanya sampai 2
Januari 1959 ketika koran itu secara sukarela berhenti terbit.245

245
Indonesia Raya dari Hasjim Mahdan mulai mencetak antara 20.000 dan 22.000 (Atmakusumah 1980:221),
jauh di bawah puncaknya 47.500 pada 1957-58 yang dicapai surat kabar tersebut sebelum perpecahan
(Chambert-Loir 1974: 73)
75
DAFTAR PUSTAKA
1. I.N.H, Seobagio. 1977. Sejarah Pers Indonesia. Jakarta: Dewan Pers
2. Said, Tribuana. 1998. Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers dan Pancasila. Jakarta:
CV Haji Masagung
3. Semma. 2008. Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta:LP3ES
4. Sudibyo. 2004. Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta
5. Taufik. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: PT TRIYINCO.
6. Tim LSPP.2005. Media Sadar Publik. Jakarta:Lembaga Studi dan Pembangunan
7. Adam. B. Ahmat. 2003. Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan.

8. Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu Perwakilan KITLV.

9. Ardianto. Elvinaro. Dkk. 2010. Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi.

10. Simbiosa Rekatama Media.

11. Hikmat. Mahi. M, 2011. Etika dan Hukum Pers Menghirup Kebebasan Berhindar
dari Penodaan Terhadap Martabat Agama. Bandung: Batic Press.

12. Ignatius Hariyanto, Indonesia Raya Dibredel, (Yogyakarta: PT LkiS Pelangi Aksara
Yogyakarta, 2006)

13. Oey Hong Lee (1971) Indonesian Goverentment and Press During Guided Democracy,
Hull Monograph s on South-east Asia, Inter Documentation Company, Zug.

14. Hill ( Mochtar Lubis Mochtar Lubis: Author, Editor, And Political Actor, tesis doktor
Australian National University, Canberra

76

Anda mungkin juga menyukai