Anda di halaman 1dari 11

POLITIK ETIS DAN DINAMIKA PENDIDIKAN INDONESIA ABAD XVIII

(Kajian Historis Pengaruh Imperialisme Belanda di Indonesia)


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah: SKI Modern
Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr. Djodjo Soekarjo, M.Si
2. Dr. Samsudin, M.Ag

Oleh:
Alfa Dini Savitri
NIM 2220120003
PROGRAM STUDI: SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
PASCASARJANA
BANDUNG
2022
Abstrak
Politik etis dipusatkan membangun irigasi, menyelenggarakan emigrasi, dan
memberikan sebuah pendidikan bagi bangsa Indonesia. Politik etis menuntut bangsa
Indonesia kearah kemajuan, namun tetap bernaung di bawah penjajahan Belanda. Awal mula
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, bahwa Belanda memperhatikan pribumi dan
membantu Indonesia dalam masa kesulitan. Meskipun pada kenyataannya kebijakan politik
etis tidak serta merta mensejahterakan rakyat Indonesia, namun mampu merubah tatanan
kehidupan bangsa, dimana sistem irigasi ada dimana-mana, masyarakat mengenal sistem
pertanian dan perkebunan modern. Emigrasi atau trasmigrasi, dimana masyarakat dikirim
keluar pulau Jawa, masyarakat Indonesia menjadi kenal satu sama lain dan membangun
hubungan yang baik. Dampak politik etis yang sangat menonjol adalah program edukasi atau
pendidikan. Adanya pendidikan bagi bangsa Indonesia, akhirnya dapat merubah pemikiran
bangsa Indonesia untuk berfikir lebih maju, lambat laun semakin banyak sekolah formal yang
didirikan di Hindia Belanda, dampak dari adanya kebijakan politik etis ini adalah melahirkan
para intelektual yang akhirnya akan menyadari bahwa bangsanya sedang dalam penjajahan
dan menginginkan perubahan. Tulisan ini membahas tentang pengaruh pemerintah Kolonial
Belanda dalam kerangka Kebijakan Etisnya Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda selama ini periode tahun 1900 sampai kemerdekaan Indonesia
disertai dengan dikeluarkannya serangkaian kebijakan yang dianggap mendesak dan
merugikan pendidikan Islam, khususnya pesantren di Indonesia, di berupa tata cara guru, tata
cara sekolah liar, dan lain-lain berdirinya Sekolah-sekolah Belanda yang sejak awal abad ke-
20 abad keberadaan aliran-aliran tersebut berpengaruh langsung terhadap keberadaannya
pendidikan Islam
Kata Kunci: Imperialisme Barat, Politik etis, Pendidikan

i
A. Pendahuluan
Pemerintah Kolonial Belanda dengan haluan politik liberalnya, mengeluarkan
pernyataan secara resmi melalui pidato yang dibacakan oleh Van dedem dalam rapat
parlemen pada tahun 1891 “Keharusan untuk memisahkan keuangan Indonesia dari
negeri Belanda. Diperjuangkannya (juga kemajuan rakyat, antara lain, dengan
membuat bangunan umum) desentralisasi, kesejahteraan rakyat dan ekspansi yang
pada umumnya menuju ke suatu politik yang konstruktif.” 1 Hal-hal yang
diperjuangkan didalamnya bertujuan agar dapat menyelenggarakan desentralisasi,
kesejahteraan rakyat, serta efisiensi, sistem ini setelahnya dikenal dengan politik etis.
Sistem ini bertumpu pada aspek kemanusiaan dan keuntungan ekonomi. Ini
disebabkan oleh adanya “Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan bangsa Belanda
yang dilontarkan dalam buku Max Havelaar (1860) dan berbagai pengungkapan
lainnya mulai membuahkan hasil.”2
Kebijakan politik etis ini dicetuskan oleh Conrad Theodore van Deventer sebagai
bentuk balas budi pemerintah colonial Belanda terhadap rakyat indonesia selama
diterapkannya cultuur stelsel. Dalam pandangan Van Deventer terdapat tiga aspek
penting dari program politik etis nya ini, diantaranya edukasi (Pendidikan), irigasi
(pengairan), dan emigrasi (perpindahan penduduk). Aspek edukasi menjadi aspek
yang memberikan dampak menonjol dikalangan masyarakat pribumi, karena berhasil
membawa masyarakat pribumi pada peristiwa ‘Kebangkitan Nasional’. Meskipun
begitu dalam pelaksanaannya, penerapan pendidikan di kalangan pribumi masih
bersifat diskriminatif. karena terdapat 2 jenis sekolah, yakni ‘Sekolah Kelas I’ dan
‘Sekolah Kelas II’.
Sekolah Kelas I diperuntukan bagi anak-anak dari kalangan pegawai negeri.
Gedung sekolahnya dibangun di wilayah ibukota Keresidenan, afdelling dan
anderafdelling atau kota-kota pusat perdagangan dan kerajinan. 3 Sementara Sekolah
Kelas II diperuntukan bagi masyarakat pribumi biasa pilihan lain yang dihadirkan
bagi kalangan masyarakat pribumi biasa agar tetap mendapatkan pendidikan adalah
dengan menyekolahkan anak-anaknya di pondok pesantren.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti mencoba menjawab persoalan yang
kemudian timbul dari pemaparan di atas diantaranya:

1. Bagaimana kondisi pendidikan Indonesia sebelum penerapan politik ethis ?


2. Bagaimana pola pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial pada tahun
1900-1942?
A. Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, yaitu studi


kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah kegiatan yang berkaitan dengan
pengumpulan data pustaka penelitian yang menggunakan sumber pustaka untuk
memperoleh data penelitian dengan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan

1
Marwati Djoened Posponegoro dan Nugroho Nutosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), hlm. 21-22.
2
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, ed. Satriowahono Dkk (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007),
hlm. 227.
3
Daliman A., Sejarah Indonesia Abad XIX Awal XX (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 74.

1
membaca, mengolah, dan merekam bahan penelitian. 4 Jenis penelitian literatur yang
tidak perlu terjun langsung ke lapangan; hanya mengumpulkan beberapa buku
referensi yang diperlukan untuk penelitian.
B. Pembahasan

1. Penerapan Politik Etis di Hindia Belanda

Kehadiran awal politik etis ditengah masyarakat pribumi dianggap membawa


pandangan baru yang menuai pro dan kontra pada kalangan intelektual, politisi,
dan pemuka agama Belanda. Secara resmi system politik etis diterapkan di
Indonesia pada tahun 1901, setelah Ratu Wilhelmina menyampaikan pidatonya di
hadapan Jenderal Staten. Orientasi politik pemerintah kolonial Belanda yang
mulanya berfoskus pada tuntutan ekonomi, seketika berubah pada unsur
“kewajiban moral”.5

Sistem kolonialisme kemudian mulai bergerak melakukan pembangunan


sekolah, mulai dari Sekolah rakyat (SR) untuk tingkat SD, Meer Uitgebreid Lagere
School Onderwijs (MULO) untuk tingkat SMP, dan Algemeen Metddelbare School
(AMS) untuk SMA. Sementara pada tingkatan perguruan tinggi, pemerintah
kolnial Belanda mengahdirkan Technical Hoogere School (THS) Bandung, School
tot Opleiding Van Indien Artsen (STOVIA), Medical School and Legal Hoogere
School (RHS), atau Fakultas Hukum Batavia. Keseluruhan pendirian Lembaga
pendidikan ini didasarkan pada kebutuhan pemerintah kolonial dalam sektor staf
sipil, medis dan militer.6

Penerapan politik etis aspek edukasi ini kemudian membawa perubahan


signfikan utamanya dikalangan intelektual bumi putera. Pasca pembangunan
infrastruktur sekolah, tercatat sebanyak 2 juta anak-anak bumi putera bisa
mengenyam pendidikan di sekolah rendah, dan sebanyak 88 ribu lainnya tercatat di
sekolah Belanda.7 Kehadiran system pendidikan barat berhasil melahirkan kelas
intelektual baru yang memiliki pola piker modern dan semangat nasionalisme yang
kuat.

2. Regulasi Pendidikan Kolonial di Hindia Belanda

Dalam menjalankan program buatannya, pemerintah kolonial sempat


mempertimbangkan untuk menjadikan pendidikan tradisional sebagai bagian dari
kerangka politik etisnya, sayangnya karena dianggap berbeda haluan ideologi
secara religi maka hal ini tidak dapat diwujudkan tapi juga menjadi dilema jika
Islam dihapuskan dari kurikulumnya.8

4
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka obor Indonesia, 2004), hlm. 2.
5
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 51.
6
Wasty Sumanto & F.X Soeyarno, Landasan Historis Pendidikan Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1983),
hlm. 46.
7
Soeyarno, hlm. 41.
8
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern (Jakarta:
LP3ES, 1994), hlm. 2.

2
Islam sebagai konstruk politik sangatlah diwaspadai oleh pihak pemerintah
kolonial Belanda, sebab dalam beberapa kurun waktu belakangan, sudah banyak
perlawanan yang dilakukan oleh kalangan pribumi di bawah bendera Islam.
Utamanya ketika perang diponegoro, pemerintah kolonial semakin mengencangkan
ikat pinggang regulasinya terhadap umat muslim di Hindia Belanda. Institusi
pendidikan Islam dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi pemerintah kolonial
Belanda, tidah berehenti pada itu saja pemerintah kolonail juga mengeluarkan
ordonansi hasi terhitung sejak tanggal 6 juli 1859.9

Dalam pandangan Snouck Hourgronje kehadiran pemerintah kolonial dengan


pola pendidikan dan system pengelolaan yang dibuatnya merupakan cara yang
efektif untuk mengurangi dan menguasai pengaruh Islam di Hindia Belanda. 10
Faktor lain yang membuat Belanda merasa khawatir terhadap sistem pendidikan
Islam adalah, tujuan penyebaran zending Kristen yang mereka susupkan kedalam
program politik etis. Supaya tujuan yang direncanakan dapat tercapai penuh,
pemerintah kolonial juga menerapkan standar ganda serta memberikan hak
istimewa terhadap sekolah umum milik pemerintah kolonial daripada kepada
sekolah pribumi.

Karakteristik sekolah Belanda zaman politik etis sudah barang tentu berbeda
dengan sekolah Belanda di era sebelumnya, kehadirannya di era ini lebih merata
dan diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat sesuai dengan tujuan untuk
membalas budi pada rakyat bumi putera.11 Kemudian pertengahan abad 20,
pendidikan bagi seluruh masyarakat mulai dilaksanakan atas perintah Gubernur
Djenderal Van Heutsz, melalui sekolah-sekolah desa.12 Kehadiran Sekolah Rakyat
tidak saja memberi ruang untuk menuntut ilmu bagi masyarakat bumiputera, tetapi
juga membuka kesempatan kerja meski sekedar menjadi tenaga administrasi
rendahan.13 Namun penerapan sistem ini mendspat tanggapan negatif oleh dari
para tokoh pendidikan Islam. Selain karena hak istimewa dan jaminan atas lulusan
sekolah Belanda, sikap dualisme yang sebelumnya telah dijelaskan menjadi
penyebab tokoh muslim di masyarakat merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah
kolonial Belanda.

Geliat kebijakan politik etis kian mencengkram masyarakat bumiputera,


pemerintah kolonial semakin kuat menancapkan pengaruhnya di Hindia Belanda,
hal ini terlihat ketika pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan Ordonansi Guru
(Goeroe Ordonantie) dalam Stadsblaad 1905 No. 550. Kehadiran kebijakan ini
merupakan reaksi pemerintah kolonial Belanda terhadap pemberontakan petani di
Banten pada 1888. Dalam aturan ini dinyatakan kewajiban bagi para pendiri
pendidikan Islam untuk memperoleh izin tertulis dari bupati atau pejabat setingkat.

9
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), hlm. 105.
10
Robert Pringle, Islam Ditengah Kebhinnekaan, Memahami Islam Dan Politik Di Indonesia, 2018, hlm. 24.
11
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, hlm. 23-24.
12
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Millenium Baru (Jakarta: Logos, 2000),
hlm. 98.
13
Maksum, Madrasah : Sejarah Dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 94.

3
Kemudian juga tiap-tiap guru diwajibkan membuat administrasi lengkap mengenai
murid-murid yang harus dikirimkan berkala pada pejabat yang bersangkutan.14

Kontrol yang dilakukan pemerintah kolonial terhadap lembaga pendidikan


islam merupakan wujud nyata kekhawatiran Belanda yang beranggapan bahwa
dengan adanya pesantren yang dipimpin oleh seorang Kiai merupakan ancaman
potensial bagi eksistensi rezim kolonial.15 Perlu diakui, pesantren merupakan basis
utama dalam menanamkan perlawanan masyarakat terhadap pemerintah kolonial
dalam kurun akhir abad-19.16 Meskipun ordonansi guru ini begitu jelas memasung
guru agama, sayangnya tidak ada reaksi yang mencuat terhadapnya di tahun 1905.
Dua puluh tahun kemudian, pemerintah kolonial Kembali menerbitkan ordonansi
guru kedua. Berbeda dengan yang pertama, ordonansi guru 1925 ini hanya
mewajibkan para guru agama untuk melaporkan diri. Akan tetapi tujuan dan
fungsinya tetap sama. Penetapan ordonansi guru kedua ini dianggap memberatkan
kalangan guru agama Islam, utamanya pesantren karena tidak memiliki
administrasi dan sarana yang memadai. 17 Hal ini dinyatakan dalam Kongres Al
Islam 1926 (1- 5 Desember) di Bogor.18 Perlawanan tidak hanya datang dari
kalangan bumiputera tetapi juga dari kalangan Belanda sendiri. Ch. O Van Der
Plas pada 1934 berpendapat bahwa ordonansi tersebut tiada gunanya. Dalam sudut
pandangnya, untuk efisiensi lebih baik pemerintah kolonial menghapuskan
ordonansi guru yang hanya menghabiskan kertas saja. Hingga akhirnya ordonansi
guru pun dihapuskan.

Dua tahun sebelum dihapuskannya ordonansi guru, pemerintah kolonial


mengeluarkan regulasi lain yang sasarannya adalah lembaga pendidikan swasta.
Kebijakan ini disebut dengan (Toezicht Ordonnantie Particulier Onderwijs) melalui
Stadsblaad 1932 No. 494 kebijakan ini lebih dikenal oleh kalangan bumi putera
sebagai ordonansi sekolah liar (Wilde Scholen Ordonnantie). Tidak jauh berbeda
dengan tujuan ordonansi guru, adanya kebijakan ini diperuntukan bagi pengawasan
sekolah swasta serta membendung pengaruh “sekolah liar” tersebut. Tida berhenti
di sana, kehadiran kebijakan ini memberikan keleluasaan pada pemerintah kolonial
untuk membubarkan dan menutup madrasah / pesantren dan sekolah yang
dianggap tidak memiliki izin penyelenggaraan, termasuk menutup sekolah-sekolah
yang kurikulumnya tidak sesuai dengan kepentingan kolonial Belanda. Dalam
pengaturannya, pemerintah Belanda menetapkan, guru yang akan mengajar di
sekolah swasta yang bersubsidi maka harus meminta izin kepada pegawai distrik
setempat. Pelamar yang ingin mengajar di sekolah swasta harus alumni dari
sekolah pemerintah atau sekolah swasta bersubsidi dan tidak akan mengganggu
ketenangan dan ketertiban pemerintah kolonial.19

14
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 269.
15
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen Di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 147.
16
Farid Setiawan, “Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah Terhadap Ordonansi Guru,” Jurnal Jogjakarta, UIN
Sunan Kalijaga Vol. III N, no. Pendidikan Islam (2014): hlm. 50.
17
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 52.
18
Jajat Burhanuddin, Ulama Dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam Sejarah Indonesia
(Bandung: Mizan, 2012), hlm. 418.

4
3. Lembaga Pendidikan Belanda

Politik etis menjadi sebuah kehijakan menarik bagi kalangan yang menentang
pemerintah kolonial dalam aspek sosial dan politik. Meskipun kehadiran kebijakan
ini bertujuan untuk membalas budi masyarakat bumi putera, namun sejatinya
penerapan kebijakan ini merupakan Langkah yang diambil oleh pemerintah
kolonial Belanda untuk melanjutkan eksploitasi terhadap wilayah Hindia Belanda.
Pendirian sekolah mejadi dasar dari pelaksanaan politik etis.

Ruang pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial kemudian berdampak


pada sektor politik dan ekonomi. di sektor politik justru menumbuhkan kelompok
kontraprduktif dengan pemikiran nasionalisme Indonesia. Pada masa penjajahan
Belanda, pendidikan dan sekolah dibagi menjadi beberapa jenis, mulai dari tingkat
pendidikan paling dasar hingga tingkat pendidikan tertinggi dengan bahasa
Belanda sebagai bahasa pendidikan, dan sekolah rendah dengan bahasa Melayu
sebagai bahasa pendidikan.

a. European Legere School (ELS)


Sekolah itu diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa dan anak-anak
bangsawan dari timur. Masa sekolah di ELS adalah 3 tahun. Pada tahun 1907
masa studi di ELS diubah menjadi 7 tahun. Mata pelajaran di sekolah ini adalah
menulis, membaca, matematika, bahasa Belanda dan ilmu bumi.

b. Hollandsch Inlandsche School (HIS)


Hollandsch Inlandsche School dibagi menjadi dua bagian: HIS negeri dan
subsidi. Sekolah ini memiliki masa belajar tujuh tahun dan menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar untuk belajar. Bagi masyarakat
pribumi, sekolah ini adalah cara utama untuk membantu meningkatkan status
sosial mereka didalam masyarakat. Awalnya sekolah itu ditujukan hanya untuk
bangsawan elit atau diizinkan, tetapi menjadi sekolah yang terbuka untuk anak-
anak kelas bawah dan di kerenakan adanya politik etis.

c. Hollandsch - Chineesch School (HCS)


Sekolah ini didirikan pada tanggal 5 November 1930 di Surabaya dan
merupakan sekolah pertama untuk anak-anak di China. Didirikan oleh Asosiasi
Ho Tjiong Hak Kwan, yang mendirikan sekolah dasar ini di keturunan
pemukiman Cina. Sekolah dasar terdiri dari 142 siswa dan 6 guru, dan bahasa
yang diajarkan atau diajarkan oleh sekolah tersebut adalah Kuo Yu, bahasa
resmi Tiongkok. Hal ini terbuka untuk anak-anak timur asing, Cina. Didirikan
pada tahun 1908, sekolah ini memiliki masa studi tujuh tahun dan bahasa
pengajarannya adalah bahasa Belanda. Sekolah ini mengajarkan membaca dan
menulis, berbicara, matematika, menyanyi dan melukis dalam bahasa Belanda.

d. Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO)


Sekolah ini berdasarkan Sistem Sekolah Kolonial atau PKB. Sekolah
Mulo sendiri merupakan sekolah yang tergolong sekolah dasar lanjutan, yang
19
Moh. Slamet Untung, “Kebijakan Penguasa Kolonial Belanda Terhadap Pesantren,” Forum Tarbiyah Vol. 11
No (n.d.): hlm. 15.

5
merupakan lanjutan dari sekolah dasar yang bahasa pengantarnya adalah
bahasa Belanda. Sekolah Mulo sendiri dapat diterima pada jenjang
pendidikan menengah yang pertama kali didirikan pada tahun 1916 atau
sekarang menjadi Sekolah Menengah Pertama. Sekolah Mulo mengajarkan
membaca, bahasa Belanda, aritmatika, sejarah Belanda dan kolonialnya,
sejarah dunia, geografi, sains, bahasa Inggris dan Jerman, dan menggambar.
Kedua, ada perbedaan antara kelas 1 dan kelas 3. Dengan kata lain, berbeda
dengan waktu belajar yang diadakan di Sekolah Mulo. Bahwa perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan waktu mata pelajaran pada mata pelajaran yang
dicapai di Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3. Misalnya,Kelas 3 memiliki waktu jam
pelajaran perhitungan yang lebih lama untuk Kelas 1 dan 2, dan sebagian
besar waktu dalam bahasa Belanda dan Inggris lebih banyak di kelas 1 dan 2.

e. Sekolah Desa (Sekolah Rakyat)


Pendidikan untuk masyarakat desa juga memerlukan perhatian karena
jumlah penduduk di pedesaan lebih besar dari pada penduduk di perkotaan.
Di pulau Jawa dan Madura saja, di sekitar tahun 1906 jumlah anak yang telah
memasuki usia sekolah diperkirakan 4,5juta. Untuk anggaran biasa
pengajaran sekolah kelas dua diperlukan f. 5.600.000 per tahun.20
Gubernur Van Heutsz dalam usahanya untuk menanggulangi masalah
ini telah mengadakan suatu lembaga baru yang dinamakan sekolah desa
(Volk School) dalam tahun 1907. Jenis sekolah ini dianggap lebih murah dan
sederhana. Pembiayaan dipikul oleh masyarakat desa sendiri. Mayarakat
dapat menyediakan dana melalui lumbung desa atau koperasi desa. Dengan
demikian, masyarakat dapat melatih diri untuk mengurus dan mengatur
kesejahteraan desanya. Setelah berdiri sekolah desa maka sekolah kelas dua
dilebur didalamnya. Lama belajar sekolah desa 3-4 tahun. Setelah tamat dari
sekolah desa, murid-murid dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi
yaitu sekolah lanjutan (Vervolg School) lama belajar 2-3 tahun. Dengan
adanya sekolah lanjutan ini maka diharapkan untuk menjadikan standard
pendidikan tendah enam tahun tahap demi tahap akan tercapai.21
Perkembangan sekolah desa sejak tahun 1907 sampai dengan 1940 terus
meningkat.
f. Sekolah Schakel
Sekolah Schakel didirikan pada tahun 1921. Tujuan dari pendidikan
sekolah ini adalah untuk memperoleh pengetahuan yang lebih tinggi setelah
tamat dari sekolah desa. Ide untuk mengadakan sekolah ini datangnya dari
K.F. Creutszberg, Direktur Pendidikan, Agama dan Industri, yang merasakan
tidak ada keseimbangan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat
perkotaan dalam memperoleh pengetahuan Barat. Karena disekolah desa
tidak diajarkan bahasa Belanda, maka mereka tidak dapat melanjutkan ke
sekolah menengah.

20
Encyclopaedie van Ned. Indie, Bag. Ke III, n.d., hlm. 108.
21
S.L. van Der Wal, Het Onderwijsbeleid in Ned. Indie, n.d., hlm. 693.

6
Agar sekolah desa mempunyai kesempatan sebagaimana H.I.S. dapat
melanjutkan ke Mulo didirikan sebagai percobaan sekolah Schakel. Masa
belajar lima tahun, setelah sekolah desa tiga tahun. Jadi, masa belajar
seluruhnya delapan tahun dan dianggap setarap dengan H.I.S. tujuh tahun
akhirnya menjadi permanen. Peranan sekolah Schakel tidak kecil karena
berfungsi sebagai jembatan penghubung antara sekolah desa dengan apa
yang disebut pendidik Barat, misalnya pengetahuan bahasa Belanda.

Dengan adanya Schakel maka perbedaan kelas masyarakat untuk


memasuki sekolah Barat telah lenyap dan bahasa Belanda yang selama ini
dianggap sebagai jurang pemisah telah berhasil dijembatani.

Setelah terbukanya H.I.S untuk anak-anak pribumi maka mereka dapat


melanjutkan ke sekolah menengah, terutama ke M.U.L.O. dan tamatan dari
sini dapat memasuki sekolah kejuruan. Dengan demikian, mereka dapat
menduduki posisi yang baik di dalam masyarakat dimana sebelumnya
diduduki oleh orang Belanda. Kemudian sejak berdirinya A.M.S. sebagai
lanjutan dari M.U.L.O. maka kesmpatan untuk memasuki Perguruan Tinggi
terbuka. Suatu hal yang menguntungkan lagi ialah H.B.S. tiga tahun
dianggap sederajat dengan M.U.L.O. maka dengan demikian setelah
memiliki ijazah M.U.L.O. dapat memasuki H.B.S. lima tahun. Dengan
demikian, dua pintu terbuka untuk memasuki Perguruan Tinggi.

g. Simpulan

Pendidikan formal di Indonesia pertama kalinya dilaksanakan oleh


Zending. Pendidikan ini amat terbatas karena mempunyai tujuan untuk
membina kader pendeta. VOC tidak mencampuri urusan pendidikan rakyat,
kecuali bergerak dalam bidang perdagangan. Kemudian ketika VOC
digantikan oleh penguasa kolonial Belanda, pendidikan mendapat perhatian
kendati terbatas untuk kalangan masyarakat Belanda dan segelintir golongan
bangsawan
Dampak dari adanya kolonialisme dan intervensi politik Belanda
menyebabkan pembangunan sekolah. Sekolah yang dibangun seperti SD
adalah Meer Uitgebreid Lagere School Onderwijs (MULO) untuk SMP dan
Algemeen Metddelbare School (AMS) untuk SMA. dampak positif
membangun sekolah-sekolah dalam implementasi kebijakan timbal balik
pemerintah Hindia Belanda di antaranya adalah: Meningkatkan pendidikan
formal Berkurangnya jumlah buta huruf Pribumi.
Politik etis dianggap sebagai sebuah hal yang membuka pandangan
berbeda mengenai pendidikan tetapi ketika dirumuskan, menimbulkan pro
dan kontra di kalangan intelektual, politisi, dan pemuka agama Belanda.
Sepanjang pelaksanaan politik etis, pemerintah kolonial Belanda telah
memberlakukan kebijakan-kebijakan yang sangat menekan terhadap
pendidikan Islam di Indonesia. Dalam hal ini, yang paling merasakan
dampak dari kebijakan tersebut adalah pesantren. Karena sebagaimana

7
diketahui pesantren lembaga pendidikan tradisional yang menjadi sentral
pendidikan masyarakat pribumi saat itu.
Tetapi alih-alih tenggelam dan menghilang sebagaimana dikehendaki
oleh Belanda, pesantren justru mampu mengonsolidasi dirinya melewati
berbagai tantangan hingga habis masa penjajahan Belanda di Indonesia. Dan
sembari secara bertahap menata diri, pesantren memodernisir lembaga
pendidikannya. Hasil dari pergulatan dengan sekian banyak tantangan itu
adalah keberadaan pesantren yang semakin banyak dan merata serta lahirnya
madrasah sebagai anak kandung pesantren yang membawa citra modern
dalam sistem pendidikannya. Sepanjang beberapa dekade terakhir, pesantren
bukan hanya memiliki madrasah dalam lembaga pendidikannya. Pesantren
kini semakin bervariasi dalam memajukan pendidikannya ketika mereka
bereaksi terhadap perubahan situasi dan kondisi social budaya, pergeserean
doktrin Islam dan tuntutan modernitas.

8
Daftar Sumber
A., Daliman. Sejarah Indonesia Abad XIX Awal XX. Yogyakarta: Ombak, 2012.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Millenium Baru.
Jakarta: Logos, 2000.
Burhanuddin, Jajat. Ulama Dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam
Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan, 2012.
Encyclopaedie van Ned. Indie, Bag. Ke III, n.d.
Maksum. Madrasah : Sejarah Dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Marwati Djoened Posponegoro dan Nugroho Nutosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid
IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Niel, Robert Van. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984.
Pringle, Robert. Islam Ditengah Kebhinnekaan, Memahami Islam Dan Politik Di Indonesia,
2018.
Putuhena, M. Shaleh. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: Lkis, 2007.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Edited by Satriowahono Dkk. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2007.
S.L. van Der Wal, Het Onderwijsbeleid in Ned. Indie, n.d.
Setiawan, Farid. “Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah Terhadap Ordonansi Guru.” Jurnal
Jogjakarta, UIN Sunan Kalijaga Vol. III N, no. Pendidikan Islam (2014).
Shihab, Alwi. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen Di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Soeyarno, Wasty Sumanto & F.X. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha
Nasional, 1983.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun
Modern. Jakarta: LP3ES, 1994.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985.
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2009.
Untung, Moh. Slamet. “Kebijakan Penguasa Kolonial Belanda Terhadap Pesantren.” Forum
Tarbiyah Vol. 11 No (n.d.).
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka obor Indonesia,
2004.

Anda mungkin juga menyukai