Oleh:
Alfa Dini Savitri
NIM 2220120003
PROGRAM STUDI: SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
UIN SUNAN GUNUNG DJATI
PASCASARJANA
BANDUNG
2022
Abstrak
Politik etis dipusatkan membangun irigasi, menyelenggarakan emigrasi, dan
memberikan sebuah pendidikan bagi bangsa Indonesia. Politik etis menuntut bangsa
Indonesia kearah kemajuan, namun tetap bernaung di bawah penjajahan Belanda. Awal mula
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, bahwa Belanda memperhatikan pribumi dan
membantu Indonesia dalam masa kesulitan. Meskipun pada kenyataannya kebijakan politik
etis tidak serta merta mensejahterakan rakyat Indonesia, namun mampu merubah tatanan
kehidupan bangsa, dimana sistem irigasi ada dimana-mana, masyarakat mengenal sistem
pertanian dan perkebunan modern. Emigrasi atau trasmigrasi, dimana masyarakat dikirim
keluar pulau Jawa, masyarakat Indonesia menjadi kenal satu sama lain dan membangun
hubungan yang baik. Dampak politik etis yang sangat menonjol adalah program edukasi atau
pendidikan. Adanya pendidikan bagi bangsa Indonesia, akhirnya dapat merubah pemikiran
bangsa Indonesia untuk berfikir lebih maju, lambat laun semakin banyak sekolah formal yang
didirikan di Hindia Belanda, dampak dari adanya kebijakan politik etis ini adalah melahirkan
para intelektual yang akhirnya akan menyadari bahwa bangsanya sedang dalam penjajahan
dan menginginkan perubahan. Tulisan ini membahas tentang pengaruh pemerintah Kolonial
Belanda dalam kerangka Kebijakan Etisnya Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda selama ini periode tahun 1900 sampai kemerdekaan Indonesia
disertai dengan dikeluarkannya serangkaian kebijakan yang dianggap mendesak dan
merugikan pendidikan Islam, khususnya pesantren di Indonesia, di berupa tata cara guru, tata
cara sekolah liar, dan lain-lain berdirinya Sekolah-sekolah Belanda yang sejak awal abad ke-
20 abad keberadaan aliran-aliran tersebut berpengaruh langsung terhadap keberadaannya
pendidikan Islam
Kata Kunci: Imperialisme Barat, Politik etis, Pendidikan
i
A. Pendahuluan
Pemerintah Kolonial Belanda dengan haluan politik liberalnya, mengeluarkan
pernyataan secara resmi melalui pidato yang dibacakan oleh Van dedem dalam rapat
parlemen pada tahun 1891 “Keharusan untuk memisahkan keuangan Indonesia dari
negeri Belanda. Diperjuangkannya (juga kemajuan rakyat, antara lain, dengan
membuat bangunan umum) desentralisasi, kesejahteraan rakyat dan ekspansi yang
pada umumnya menuju ke suatu politik yang konstruktif.” 1 Hal-hal yang
diperjuangkan didalamnya bertujuan agar dapat menyelenggarakan desentralisasi,
kesejahteraan rakyat, serta efisiensi, sistem ini setelahnya dikenal dengan politik etis.
Sistem ini bertumpu pada aspek kemanusiaan dan keuntungan ekonomi. Ini
disebabkan oleh adanya “Kecaman-kecaman terhadap pemerintahan bangsa Belanda
yang dilontarkan dalam buku Max Havelaar (1860) dan berbagai pengungkapan
lainnya mulai membuahkan hasil.”2
Kebijakan politik etis ini dicetuskan oleh Conrad Theodore van Deventer sebagai
bentuk balas budi pemerintah colonial Belanda terhadap rakyat indonesia selama
diterapkannya cultuur stelsel. Dalam pandangan Van Deventer terdapat tiga aspek
penting dari program politik etis nya ini, diantaranya edukasi (Pendidikan), irigasi
(pengairan), dan emigrasi (perpindahan penduduk). Aspek edukasi menjadi aspek
yang memberikan dampak menonjol dikalangan masyarakat pribumi, karena berhasil
membawa masyarakat pribumi pada peristiwa ‘Kebangkitan Nasional’. Meskipun
begitu dalam pelaksanaannya, penerapan pendidikan di kalangan pribumi masih
bersifat diskriminatif. karena terdapat 2 jenis sekolah, yakni ‘Sekolah Kelas I’ dan
‘Sekolah Kelas II’.
Sekolah Kelas I diperuntukan bagi anak-anak dari kalangan pegawai negeri.
Gedung sekolahnya dibangun di wilayah ibukota Keresidenan, afdelling dan
anderafdelling atau kota-kota pusat perdagangan dan kerajinan. 3 Sementara Sekolah
Kelas II diperuntukan bagi masyarakat pribumi biasa pilihan lain yang dihadirkan
bagi kalangan masyarakat pribumi biasa agar tetap mendapatkan pendidikan adalah
dengan menyekolahkan anak-anaknya di pondok pesantren.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti mencoba menjawab persoalan yang
kemudian timbul dari pemaparan di atas diantaranya:
1
Marwati Djoened Posponegoro dan Nugroho Nutosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), hlm. 21-22.
2
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, ed. Satriowahono Dkk (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007),
hlm. 227.
3
Daliman A., Sejarah Indonesia Abad XIX Awal XX (Yogyakarta: Ombak, 2012), hlm. 74.
1
membaca, mengolah, dan merekam bahan penelitian. 4 Jenis penelitian literatur yang
tidak perlu terjun langsung ke lapangan; hanya mengumpulkan beberapa buku
referensi yang diperlukan untuk penelitian.
B. Pembahasan
4
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka obor Indonesia, 2004), hlm. 2.
5
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm. 51.
6
Wasty Sumanto & F.X Soeyarno, Landasan Historis Pendidikan Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1983),
hlm. 46.
7
Soeyarno, hlm. 41.
8
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern (Jakarta:
LP3ES, 1994), hlm. 2.
2
Islam sebagai konstruk politik sangatlah diwaspadai oleh pihak pemerintah
kolonial Belanda, sebab dalam beberapa kurun waktu belakangan, sudah banyak
perlawanan yang dilakukan oleh kalangan pribumi di bawah bendera Islam.
Utamanya ketika perang diponegoro, pemerintah kolonial semakin mengencangkan
ikat pinggang regulasinya terhadap umat muslim di Hindia Belanda. Institusi
pendidikan Islam dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi pemerintah kolonial
Belanda, tidah berehenti pada itu saja pemerintah kolonail juga mengeluarkan
ordonansi hasi terhitung sejak tanggal 6 juli 1859.9
Karakteristik sekolah Belanda zaman politik etis sudah barang tentu berbeda
dengan sekolah Belanda di era sebelumnya, kehadirannya di era ini lebih merata
dan diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat sesuai dengan tujuan untuk
membalas budi pada rakyat bumi putera.11 Kemudian pertengahan abad 20,
pendidikan bagi seluruh masyarakat mulai dilaksanakan atas perintah Gubernur
Djenderal Van Heutsz, melalui sekolah-sekolah desa.12 Kehadiran Sekolah Rakyat
tidak saja memberi ruang untuk menuntut ilmu bagi masyarakat bumiputera, tetapi
juga membuka kesempatan kerja meski sekedar menjadi tenaga administrasi
rendahan.13 Namun penerapan sistem ini mendspat tanggapan negatif oleh dari
para tokoh pendidikan Islam. Selain karena hak istimewa dan jaminan atas lulusan
sekolah Belanda, sikap dualisme yang sebelumnya telah dijelaskan menjadi
penyebab tokoh muslim di masyarakat merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah
kolonial Belanda.
9
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: Lkis, 2007), hlm. 105.
10
Robert Pringle, Islam Ditengah Kebhinnekaan, Memahami Islam Dan Politik Di Indonesia, 2018, hlm. 24.
11
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, hlm. 23-24.
12
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Millenium Baru (Jakarta: Logos, 2000),
hlm. 98.
13
Maksum, Madrasah : Sejarah Dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 94.
3
Kemudian juga tiap-tiap guru diwajibkan membuat administrasi lengkap mengenai
murid-murid yang harus dikirimkan berkala pada pejabat yang bersangkutan.14
14
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 269.
15
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen Di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 147.
16
Farid Setiawan, “Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah Terhadap Ordonansi Guru,” Jurnal Jogjakarta, UIN
Sunan Kalijaga Vol. III N, no. Pendidikan Islam (2014): hlm. 50.
17
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 52.
18
Jajat Burhanuddin, Ulama Dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam Sejarah Indonesia
(Bandung: Mizan, 2012), hlm. 418.
4
3. Lembaga Pendidikan Belanda
Politik etis menjadi sebuah kehijakan menarik bagi kalangan yang menentang
pemerintah kolonial dalam aspek sosial dan politik. Meskipun kehadiran kebijakan
ini bertujuan untuk membalas budi masyarakat bumi putera, namun sejatinya
penerapan kebijakan ini merupakan Langkah yang diambil oleh pemerintah
kolonial Belanda untuk melanjutkan eksploitasi terhadap wilayah Hindia Belanda.
Pendirian sekolah mejadi dasar dari pelaksanaan politik etis.
5
merupakan lanjutan dari sekolah dasar yang bahasa pengantarnya adalah
bahasa Belanda. Sekolah Mulo sendiri dapat diterima pada jenjang
pendidikan menengah yang pertama kali didirikan pada tahun 1916 atau
sekarang menjadi Sekolah Menengah Pertama. Sekolah Mulo mengajarkan
membaca, bahasa Belanda, aritmatika, sejarah Belanda dan kolonialnya,
sejarah dunia, geografi, sains, bahasa Inggris dan Jerman, dan menggambar.
Kedua, ada perbedaan antara kelas 1 dan kelas 3. Dengan kata lain, berbeda
dengan waktu belajar yang diadakan di Sekolah Mulo. Bahwa perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan waktu mata pelajaran pada mata pelajaran yang
dicapai di Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3. Misalnya,Kelas 3 memiliki waktu jam
pelajaran perhitungan yang lebih lama untuk Kelas 1 dan 2, dan sebagian
besar waktu dalam bahasa Belanda dan Inggris lebih banyak di kelas 1 dan 2.
20
Encyclopaedie van Ned. Indie, Bag. Ke III, n.d., hlm. 108.
21
S.L. van Der Wal, Het Onderwijsbeleid in Ned. Indie, n.d., hlm. 693.
6
Agar sekolah desa mempunyai kesempatan sebagaimana H.I.S. dapat
melanjutkan ke Mulo didirikan sebagai percobaan sekolah Schakel. Masa
belajar lima tahun, setelah sekolah desa tiga tahun. Jadi, masa belajar
seluruhnya delapan tahun dan dianggap setarap dengan H.I.S. tujuh tahun
akhirnya menjadi permanen. Peranan sekolah Schakel tidak kecil karena
berfungsi sebagai jembatan penghubung antara sekolah desa dengan apa
yang disebut pendidik Barat, misalnya pengetahuan bahasa Belanda.
g. Simpulan
7
diketahui pesantren lembaga pendidikan tradisional yang menjadi sentral
pendidikan masyarakat pribumi saat itu.
Tetapi alih-alih tenggelam dan menghilang sebagaimana dikehendaki
oleh Belanda, pesantren justru mampu mengonsolidasi dirinya melewati
berbagai tantangan hingga habis masa penjajahan Belanda di Indonesia. Dan
sembari secara bertahap menata diri, pesantren memodernisir lembaga
pendidikannya. Hasil dari pergulatan dengan sekian banyak tantangan itu
adalah keberadaan pesantren yang semakin banyak dan merata serta lahirnya
madrasah sebagai anak kandung pesantren yang membawa citra modern
dalam sistem pendidikannya. Sepanjang beberapa dekade terakhir, pesantren
bukan hanya memiliki madrasah dalam lembaga pendidikannya. Pesantren
kini semakin bervariasi dalam memajukan pendidikannya ketika mereka
bereaksi terhadap perubahan situasi dan kondisi social budaya, pergeserean
doktrin Islam dan tuntutan modernitas.
8
Daftar Sumber
A., Daliman. Sejarah Indonesia Abad XIX Awal XX. Yogyakarta: Ombak, 2012.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam, Tradisi Dan Modernisasi Menuju Millenium Baru.
Jakarta: Logos, 2000.
Burhanuddin, Jajat. Ulama Dan Kekuasaan, Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam
Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan, 2012.
Encyclopaedie van Ned. Indie, Bag. Ke III, n.d.
Maksum. Madrasah : Sejarah Dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Marwati Djoened Posponegoro dan Nugroho Nutosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid
IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Niel, Robert Van. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984.
Pringle, Robert. Islam Ditengah Kebhinnekaan, Memahami Islam Dan Politik Di Indonesia,
2018.
Putuhena, M. Shaleh. Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: Lkis, 2007.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Edited by Satriowahono Dkk. Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2007.
S.L. van Der Wal, Het Onderwijsbeleid in Ned. Indie, n.d.
Setiawan, Farid. “Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah Terhadap Ordonansi Guru.” Jurnal
Jogjakarta, UIN Sunan Kalijaga Vol. III N, no. Pendidikan Islam (2014).
Shihab, Alwi. Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen Di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Soeyarno, Wasty Sumanto & F.X. Landasan Historis Pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha
Nasional, 1983.
Steenbrink, Karel A. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam Dalam Kurun
Modern. Jakarta: LP3ES, 1994.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985.
Tjandrasasmita, Uka. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2009.
Untung, Moh. Slamet. “Kebijakan Penguasa Kolonial Belanda Terhadap Pesantren.” Forum
Tarbiyah Vol. 11 No (n.d.).
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Pustaka obor Indonesia,
2004.