Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Sumber
Disusun oleh:
2022
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum datangnya bangsa Belanda di Nusantara, masyarakat setempat
sudah mengenal pendidikan meskipun masih bersifat kedaerahan, keagamaan,
ataupun kekeluargaan. Hal tersebut didasari karena sebelum bangsa Belanda datang
ke Nusantara sudah ada agama Hindu Budha yang pasca kedatangannya sudah
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sektor pendidikan di Nusantara.
Selain itu setelah agama Islam menyebar di nusantara juga memunculkan banyak
tempat menempa ilmu yang tentunya bersifat keagamaan. Pendidikan yang diajarkan
agama Islam sendiri dilakukan di pondok pesantren ataupun di langgar. Tujuan dari
pendidikan Islam yaitu untuk bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar.
Sistem pendidikan yang diberlakukan semenjak imperialisme Belanda
membentuk masyarakat feodal dan elit baru untuk taat terhadap bangsa Belanda.
Kedatangan Daendels ke Hindia Belanda pada tahun 1808 membawa pembaruan
dalam bidang pendidikan, seperti menugaskan para bupati untuk mendirikan sekolah-
sekolah. Namun pendidikan yang dicita-citakan tidak tercapai, karena membutuhkan
biaya yang banyak. Pada tanggal 19 Agustus 1816 dibentuk Komisaris Jenderal oleh
PKB yang datang ke Hindia Belanda bertujuan untuk memperlancar roda
pemerintahan. Pada saat inilah PKB mulai memperhatikan pendidikan di Hindia
Belanda, namun pendidikan ini hanya merujuk pada anak-anak Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda mendapatkan banyak kecaman dari berbagai
kalangan karena sudah menyiksa masyarakat Indonesia dan mengeruk sumber
dayanya. Sebagai respon dari banyaknya kecaman tersebut pemerintah kolonial
Belanda menerapkan politik kolonial etis dengan alasan jasa balas budi dan atas dasar
keprihatinan terhadap penduduk Nusantara. Politik kolonial etis sendiri mencangkup
3 hal yakni; imigrasi, irigasi, dan edukasi. Salah satu kota yang difokuskan dalam
politik kolonial etis adalah Surabaya karena didiami banyak penduduk Eropa dan
juga karena wilayah Surabaya sendiri terdapat pelabuhan-pelabuhan. Namun siapa
sangka dengan diberlakukannya politik kolonial etis menjadi duri dalam daging
kolonial Belanda. Hal tersebut didasarkan karena dengan diberlakukannya politik
kolonial etis terutama dalam sektor pendidikan yang diperuntukan bagi setiap strata
2
sosial yang melahirkan idealisme-idealisme pergerakan yang salah satunya lahirnya
Budi Utomo.
B. Rumusan Masalah
Berikut ini beberapa rumusan masalah yang mana akan kita bahas dalam
makalah ini, beberapa masalah tersebut antara lain:
1. Bagaimana implementasi politik kolonial etis pada bidang pendidikan di
Indonesia?
2. Bagaimana kondisi pendidikan pada masa politik kolonial etis di Surabaya?
3. Apa dampak dari pendidikan pada masa politik kolonial etis di Surabaya?
C. Tujuan Pembahasan
1. Menjelaskan implementasi politik etis pada bidang pendidikan di Indonesia.
2. Menjelaskan pendidikan pada masa kolonial etis di Surabaya.
4. Menjelaskan dampak dari pendidikan pada masa politik kolonial etis di Surabaya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Afandi, N Alfia dkk. 2020. Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Di Hindia Belanda
Tahun 1900-1930. Jurnal Artefak Vol.7 No.1 April 2020 hlm. 21-30
4
pendidikan di Indonesia masih bersifat perorangan, rumah tangga, surau/surau, dan
Masjid.2
Ada banyak Surau/Langgar sebelum diterapkannya politik kolonial etis
meskipun masih sulit diidentifikasi pesantren yang pertama berdiri. Namun pada
abad ke-17 sudah ditemukan beberapa pesantren yang cukup terkenal pada waktu itu
seperti Pesantren Sunan Bonang di Tuban, ampel denta di Surabaya, dan lain
sebagainya. Sedangkan sekolah-sekolah yang didirikan oleh oleh kaum missionaris
gereja kebanyakan berupa sekolah anak-anak yang pada masa politik kolonial etis
sekolah tersebut lebih diperhatikan dan didanai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pada masa politik etis pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan
konkordasi dalam dunia pendidikan yang memiliki prinsip untuk menjaga sekolah
Hindia-Belanda memiliki standart dan kurikulum yang sama dengan sekolah-sekolah
di Belanda. Hal tersebut juga memiliki tujuan agar murid-murid dari Hindia-Belanda
memiliki peluang besar untuk melakukan perpindahan ke sekolah-sekolah di negeri
Belanda. Hal tersbut didasarkan karena banyaknya orang Belanda yang memilih
untuk kembali ke negeri asal mereka untuk perlop atau pensiun. Tapi juga perlu
diketahui bahwa bahwa hal tersebut bukan hanya untuk didasari pada kepentingan
Belanda melainkan juga diperuntukan bagi sekolah-sekolah lain yang orientasinya
bukan Belanda. 3
Untuk menyelaraskan dengan arah etis (etische koors) yang menjadi
landasan politik kolonial Belanda pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial
Belanda mendasarkan kebijakannya berdasarkan pokok-pokok pikiran sebagai
berikut:
a. Pendidikan dan pengetahuan Barat diterpakan sebanyak mungkin bagi golongan
penduduk bumi putera, dengan demikian bahasa Belanda diharapkan dapat
menjadi bahasa pengantarbagi sekolah-sekolah.
b. Pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan
kebutuhan mereka. 4
Dengan demikian kondisi sistem pendidikan pada masa politik kolonial etis
dapat ditempuh melalui dua jalur di atas. Di satu pihak melalui jalur pertama di
2
Machmud, Yusuf. 1992. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
hlm. 99
3
Galih, D Rangga. “Penerapan Politik Etis Di Surabaya Tahun 1911-1930. Volume 5, No. 3,
Oktober 2017. Hlm 761
4
Ibid.
5
harapkan dapat terpenuhi kebutuhan akan unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik
bermutu tinggi bagi keperluan industri dan ekonomi, di lain pihak terpenuhi
kebutuhan tenaga menengah dan rendah berpendidikan. Meskipun pemerintah
kolonial Belanda sudah merubah beberapa kebijakan dalam sektor pendidikan, namun
mereka tetap memberlakukan kebijakan lama dalam hal pengklasifikasian strata
sosial sehingga masyarakat terbagi-bagi menjadi golongan-golongan.
6
pendidikan yang bercorak agama Islam tidak sesuai dengan sistem pendidikan
kolonial. 7 Namun seiring dengan berjalannya waktu, gerakan modernisasi dalam
bidang pendidikan mulai tampak dengan munculnya sejumlah perguruan dan
organisasi yang telah mendirikan sekolah-sekolah non pemerintah seperti
Muhammadiyah dan NU yang lahir karena ketidakpuasan masyarakat dengan
ditiadakannya pelajaran agama Islam. 8
Pada masa politik kolonial etis sektor pendidikan di Surabaya dan sekolah
dibagi menjadi beberapa jenjang pendidikan, mulai dari yang paling dasar ialah
pendidikan rendah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, ada
juga yang menggnakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar, Kemudian jenjang
selanjutnya setelah sekolah rendah adalah pendidikan lanjutan, pendidikan lanjutan di
Surabaya ada dua jenis, yakni jenis pendidikan lanjutan yang bersifat umum dan
bersifat kejuruhan, selanjutnya setelah jenjang pendidikan lanjutan, di Surabaya pada
masa ini juga memiliki sekolah dengan jenjang pendidikan Tinggi.
1. Sekolah Rendah Dengan Bahasa Pengantar Bahasa Belanda
a. Sekolah Taman Kanak-kanak (Frobelschool)
Sekolah ini didirikan oleh perkumpulan umat kristiani dimana mereka
mendapatkan subsidi dari pihak kolonial Belanda. Di Surabaya sendiri terdapat
dua macam sekolah taman kanak kanak-kanak. pertama sekolah yang didirikan
oleh Nyonya Asian van Timor yang sering dipanggil dengan Tante Asia di Jl.
Werfstraat (sekarang Jl. Penjara). Sekolah ini didirikan pada tahun 1848,
sekolah ini terkenal dengan sekolah Kristen karena setiap awal dan akhir
pelajaran selalu melantunkan lagu-lagu agama Kristen. Sekolah yang kedua yaitu
sekolah yang didirikan oleh J. W. Van Emde bernama sekolah Van Emde, yang
didirikan di Jl. Emde (sekarang Jl. Krembangan). 9
b. ELS (Europeesche Lagere School)
ELS ini ialah sekolah bagi anak-anak keturunan Eropa, Timur Asing, dan
anak-anak tokoh terkemuka. Pada awalnya lama belajar di ELS adalah 3 tahun,
kemudian pada tahun 1907 masa belajar di ELS diubah menjadi 7 tahun.
Pelajaran yang diajarkan ialah menulis, membaca, berhitung, Bahasa Belanda,
7
Yusuf, Machmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. .Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
hlm. 106
8
Endrayadi, Eko Crys. 2004 “Perkembangan Pendidikan Kolonial di Bandung 1900- 1942”, Tesis,
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. hlm. 121
9
G. H. Von Vaber, Neuw Soerabaia, (Soerabaia: Gemeente Soerabaia, 1933), hlm. 252
7
dan ilmu bumi. ELS baru bisa dibuka bila jumlah murid memenuhi 20 orang
dipulau jawa dan 15 orang untuk di luar Jawa. 10
8
sederhana yakni membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah ini berfungsi untuk
menyiapkan berbagai macam kebutuhan tenaga kerja rendah untuk kantor
pemerintahan dan perusahaanperusahaan swasta. 13
b. Sekolah Desa
Sekolah Desa (Volkshool) bermula ketika pada tahun 1907 sebuah
lembaga yang bernama Inlandsch Volsonderwijs berdiri, lembaga ini bertujuan
untuk mengusahakan pendidikan yang sederhana bagi penduduk desa. Lama
belajar sekolah desa yaitu 3 tahun dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa
melayu. Pengetahuan yang diajarkan ialah kepandaian membaca, menulis, bahasa
melayu, menggambar dan berhitung. Sekolah ini bertujuan untuk memberantas
buta huruf, selain itu menjadi penyebar buah pikiran dan pengetahuan bangsa
Belanda, serta mendorong masyarakat agar menjadi lebih sadar akan pentingnya
pendidikan. Di Surabaya sekolah desa didirikan pada tahun 1914 di daerah
Krembangan dengan 208 murid dan 6 guru. 14
c. Sekolah Lanjutan (Vervolgschool)
Sekolah lanjutan didirikan untuk kelanjutan dari sekolah desa, sekolah
ini mulai dibuka pada tahun 1916. Lama belajar di sekolah ini ialah 2 tahun dan
disediakan untuk murid-murid yang berprestasi baik dari sekolah desa. Sekolah
lanjutan ini setara dengan kelas 4 dan 5 disekolah rendah kelas dua, sehingga
sekolah ini didirikan ditengah-tengah lingkungan sekolah desa. Sekolah ini
sangat jarang peminatnya, sebagian dari sekolah ini khusus disediakan bagi
perempuan yang mendapat tambahan pelajaran membuat kerajinan rumah tangga.
Sekolah ini didirikan di Genuaweg (sekarang Jl. Nilam Timur), memiliki 179
murid dan 4 guru. 15
9
jenjang pendidikan lanjutan. MULO pertama kali didirikan pada tahun 1916,
sekolah ini sekarang menjadi SMP 3 dan 4 praban, yang terdiri dari 198 murid
dan 4 guru.
5. Pendidikan Tinggi
a. NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School)
NIAS atau sekolah dokter Hindia Belanda di Surabaya didirikan pada
tanggal 1 Juli 1914. Tujuan dari didirikannya sekolah ini ialah untuk mendidik
dokter-dokter yang langsung bekerja untuk melayani kesehatan masyarakat.
10
merupakan murid dari HBS Surabaya (1917- 1922). Selain itu juga Sutomo atau
Bung Tomo merupakan alumni dari MULO (1932) dan HBS (1939), Roeslan
Abdulgani merupakan alumni HIS (1920-1928), MULO (1928-1932), dan HBS
(1932-1934). 17
Pendidikan kolonial telah menghasilkan golongan terpelajar yang dipandang
oleh masyarakat sebagai golongan priyayi. Status priyayi ini kemudian menjadi cita-
cita paling utama bagi orang pribumi, walaupun status priyayi didapatkan atas dasar
pendidikan bukan dari faktor keturunan. Akibat dari adanya pendidikan kolonial yang
dibuat oleh PKB, dan pada umumnya mereka memegang peran dalam berbagai
lapangan pekerjaan salah satunya guru priyayi ini kemudian menjadi cita-cita paling
utama bagi orang pribumi, walaupun status priyayi didapatkan atas dasar pendidikan
bukan dari faktor keturunan. Akibat dari adanya pendidikan kolonial yang dibuat
oleh PKB, dan pada umumnya mereka memegang peran dalam berbagai lapangan
pekerjaan salah satunya guru Setelah status priyayi dikuasai oleh golongan
berpendidikan, maka kriteria untuk pengangkatan dari berbagai dinas, baik itu dari
lembaga pemerintahan maupun pada perusahaanperusahaan swasta dilihat dari status
pendidikannya. Selain untuk meningkatkan status sosialnya sebagai priyayi,
kelompok terpelajar juga bisa memperoleh keuntungan ekonomi dengan taraf
hidupnya yang lebih baik. 18
Pelaksanaan Politik Etis yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial
Belanda juga mengakibatkan tumbuhnya kesadaran akan harga diri sebagai bangsa.
Melalui pendidikan kolonial paham-paham seperti demokrasi, nasionalisme,
kemanusiaan dan hak-hak menentukan nasib sendiri mulai masuk ke dalam
masyarakat Indonesia. Isu nasionalisme tampak juga ke seluruh wilayah Indonesia
berkat adanya Boedi Oetomo (BU) pada tahun 1908. Organisai BU telah
menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa perjuangan mereka akan sia-sia apabila
mengandalkan kekuatan dan sifat kedaerahan masing-masing tanpa memperhatikan
persatuan nasional. 19
17
Prayudi, G Muhammad dan Salindri, Dewi. 2015. “Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial
Belanda Surabaya Tahun 1901-1942”. Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Jember.
hlm. 31
18
Ibid.
19
Endrayadi, Eko Crys. 2004 “Perkembangan Pendidikan Kolonial di Bandung 1900- 1942”, Tesis,
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. hlm. 135
11
12
BAB III
KESIMPULAN
Politik etis atau politik balas budi adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda (PKB). Kebijakan politik etis ini diterapkan pada tahun
1901, setelah pidato Ratu Wilhelmina yang berjudul Ethische Richting yang berarti
Haluan Etis. Pidato Ratu tersebut kritikan yang ditulis oleh C. Th. Van Deventer
yang dimuat dalam majalah De Gids pada tahun 1899 berjudul Een Eereschuld
berarti Utang Budi, yang membahas bahwa PKB memiliki keharusan untuk
memajukan kesejahteraan masyarakat Hindia Belanda. Caranya adalah dengan
melalui 3 program yang diusung. Ketiga program tersebut adalah irigasi, edukasi dan
emigrasi.
Pada masa politik kolonial etis sektor pendidikan di Surabaya dan sekolah
dibagi menjadi beberapa jenjang pendidikan, mulai dari yang paling dasar ialah
pendidikan rendah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, ada
juga yang menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, kemudian jenjang
selanjutnya setelah sekolah rendah adalah pendidikan lanjutan, pendidikan lanjutan di
Surabaya ada dua jenis, yakni jenis pendidikan lanjutan yang bersifat umum dan
bersifat kejuruhan, selanjutnya setelah jenjang pendidikan lanjutan, di Surabaya pada
masa ini juga memiliki sekolah dengan jenjang pendidikan Tinggi. Berikut
merupakan sekolah yang beroperasi pada masa politik etis :
a. Hollandsche Inlandsche School (HIS), adalah sekolah dasar untuk masyarakat
pribumi.
b. Europeesche Lagere School (ELS), adalah sekolah dasar untuk anak Eropa dan
para pembesar pribumi.
c. Hogere Burgerlijk School (HBS), adalah sekolah menengah yang diperuntukkan
bagi siswa lulusan ELS.
d. Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), adalah sekolah menengah bagi
siswa lulusan HIS.
e. Algemeene Middelbare School (AMS), adalah sekolah menengah atas bagi siswa
lulusan HBS dan MULO.
f. School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), adalah sekolah pendidikan
dokter Jawa.
g. Recht Hoge School, adalah sekolah hukum.
h. Landbouw School, adalah sekolah pertanian .
13
i. Technik Hoghe School, adalah sekolah teknik.
Pelaksanaan Politik Etis yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda
berdampak pada tumbuhnya kesadaran akan harga diri sebagai bangsa. Melalui
pendidikan kolonial paham-paham seperti demokrasi, nasionalisme, kemanusiaan dan
hak-hak menentukan nasib sendiri mulai masuk ke dalam masyarakat Indonesia. Isu
nasionalisme tampak juga ke seluruh wilayah Indonesia berkat adanya Boedi Oetomo
(BU) pada tahun 1908. Organisai BU yang merupakan hasil nyata dari penerapan politik
etis di Hindia Belanda yang telah menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa perjuangan
mereka akan sia-sia apabila mengandalkan kekuatan dan sifat kedaerahan masing-
masing tanpa memperhatikan persatuan nasional.
14
DAFTAR PUSTAKA
Aan, Ong Hing. (1903). Peringatan Hari Ulang Tahun ke-50 THHK Surabaya.
Surabaya: THHK Surabaya
Afandi, N Alfia dkk. (2020). “Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Di Hindia
Belanda Tahun 1900-1930”. Jurnal Artefak Vol.7 No.1 (21-30)
15