Anda di halaman 1dari 12

Pendidikan Pada Masa Pemerintah Kolonial Belanda*)

Irvan Nur Rizki, Alfi Khusnia, Khusniatun Aisyah, Siti Fatimah Az-zahra, Tri Rizki
Hartati.**)
*)
**)
Abstrak
Makalah ini membahas tentang pendidikan pada masa kolonial Belanda di Indonesia.
Belanda datang ke indonesia pada sekitar tahun 1602 – 1942. Pendidikan pada masa
penjajahan Belanda pada awalnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bangsa
Belanda di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya pendidikan digunakan sebagai alat
penjajah untuk mencetak tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang sangat diperlukan
untuk perusahaan-perusahaan Belanda. Sistem pendidikan jaman kolonial Belanda
merupakan sistem yang rumit karena penjenisannya cukup banyak sebagai realisasi dari
diskriminasi sistem pendidikannya. Tujuan dan kebijakan politik pendidikan yang dibuat dan
diterapkan oleh Belanda semata-mata hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Pendidikan kolonial tidak hanya berakibat negatif bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga
memberikan dampak positif karena setelah penjajahan Belanda di Indonesia berakhir dan
Indonesia mencapai kemerdekaan sebagian penduduk di Indonesia khususnya di Jawa sudah
tidak menderita tuna aksara atau buta huruf lagi. Karena penduduk Indonesia telah lama
mengenal pendidikan atau sekolah. Pendidikan kolonial juga melahirkan tokoh-tokoh
pergerakan nasional dan tokoh-tokoh pendidikan yang berjiwa nasionalis dan patriotis untuk
memperjuangkan nasib bangsa Indonesia.

Kata kunci: Pendidikan, Belanda, dan Indonesia.

Pendahuluan

Sumber daya alam Indonesia dan letaknya yang berada di jalur perdagangan dunia
menjadi daya tarik bangsa-bangsa Eropa untuk mendatangi Indonesia. Riklefs (2008: 57)
menjelaskan dalam bukunya bahwa pada tahun 1400, Prameswara seorang pangeran dari
Palembang telah menemukan sebuah pelabuhan yang baik dan dapat dirapati kapal-kapal di
segala musim. Pelabuhan itu terletak di bagian yang paling sempit di Selat Malaka. Di Selat
Malaka inilah sistem perdagangan Indonesia dihubungkan dengan jalur perdagangan dunia.
Dunia pun segera tahu bahwa rempah-rempah Indonesia merupakan salah satu hasil yang
paling berharga di dalam sistem perdagangan tersebut (Riklefs, 2008: 59-60). Riklefs (2008:
70-71) menceritakan tentang sejarah baru Indonesia yang dimulai pada bulan Juni 1596.
Kapal-kapal Cornelis de Houtman tiba di Banten yang merupakan pelabuhan lada terbesar di
Jawa Barat. Di situ, orang-orang Belanda segera terlibat dalam konflik kepentingan dengan
orang-orang Portugis dan pribumi sendiri. Setelah kedatangan Belanda yang pertama kali,
banyak perusahaan ekspedisi Belanda yang bersaing untuk mendapatkan rempah-rempah
Indonesia. Perseroan-perseroan yang saling bersaing itu bergabung membentuk Perserikatan
Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada bulan Maret
1602. VOC sebagai serikat dagang Belanda bertujuan untuk menguasai perdagangan rempah-
rempah di Nusantara. Hegemoni politik dan sistem eksploitasi membawa perubahan dalam
berbagai bidang, seperti: sistem birokrasi, industrialisasi, transportasi, edukasi, komunikasi,
dan berbagai bentuk hubungan sosial lainnya. Perubahan ini yang akhirnya membawa
dampak psikologis berupa kesadaran berbangsa dan bertanah air, yaitu nasionalisme itu
sendiri.

Indonesia dalam perjalanan sejarahnya juga bergerak dengan proses, pergerakan, dan
perkembangan pendidikannya. Kita dapat ketahui bahwa tokoh-tokoh pemimpin bangsa
Indonesia juga merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila di lihat sejarah
perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu bangsa, begitu
pula bangsa Indonesia, pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa di mata dunia dan
mensejahterakan rakyatnya.

Namun pada saat penjajahan Belanda, lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah
hasil dari suatu perencanaan menyeluruh, melainkan langkah demi langkah melalui
eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis dibawah pengaruh kondisi sosial,
ekonomi, dan politik di Belanda. Visi misi setiap pendidikan pada masa kolonial Belanda
selama di indonesia itu pun hampir sama. (Ratna, 2008: 8).

Pembahasan

Sejarah pendidikan zaman pemerintah kolonial Belanda dapat dibagi dalam tiga
periode, yaitu: (1) periode VOC pada abad ke-17 dan ke-18; (2) periode pemerintah Hindia-
Belanda pada abad ke-19; dan (3) periode Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-
20. Pada zaman VOC abad ke-17 dan ke-18, pendidikan untuk kaum ”inlanders” (penduduk
tanah jajahan ditangani oleh Nederlands Zendelingen Genootschap atau NZG), Gereja
Kristen dari Belanda yang ikut dalam misi VOC. Maskapai inilah yang ikut membiayai
kegiatan pendidikan, dengan demikian bukan dari pemerintah Belanda. Selain itu kebanyakan
kegiatan pendidikan termasuk pendirian sekolah-sekolah baru yang dikembangkan oleh VOC
pada awalnya melekat berbasis agama dan dilakukan di daerah yang struktur politiknya
lemah, misalnya di Ambon dan Banda.

Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode


besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah
Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi
(perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari
maksud dan kepentingan komersial. (Afifuddin, 2007).

Zaman VOC (Kompeni) Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum


kedatangan belanda, pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-
rempah itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan
penduduk kedalam agama katolik yang paling berhasil diantara mereka adalah Ordo Jesuit di
bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang
ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di ternate, kemudian di solor dan
pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan portugis
saat itu. Bahasa portugis hampir sama populernya dengan bahasa melayu, kedudukan yang
tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan
portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja Indonesia dan akhirnya dilenyapkan
oleh belanda pada tahun 1605. Zaman Pemerintahan Belanda Setelah VOC Setelah VOC
dibubarkan, para Gubernur/ komisaris jendral harus memulai system pendidikan dari
dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Pemerintahan
baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau Enlightenment menaruh
kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social.
Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda mendapat perintah Raja Lodewijk
untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi poetra, serta melenyapkan
perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan menambah penderitaan
rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi). Didalam lapangan
pendidikan Deandels memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau Jawa agar mendirikan
sekolah atas usaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan
sendiri. Kemudian Deandels mendirikan sekolah Bidan di Jakarta dan sekolah ronggeng di
Cirebon. Kemudian Pada masa (interregnum inggris) pemerintahan Inggris (1811-1816) tidak
membawa perubahan dalam masalah pendidikan walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli
negara yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan
pengajaran rakyat dibiarkan sama sekali. Ia menulis buku History of Java.Tahun 1826
lapangan pendidikan dan pengajaran terganggu oleh adanya usaha-usaha penghematan.
Sekolah-sekolah yang ada hanya bagi anak-anak Indonesia yang memeluk agama Nasrani.
Alsannya adalah karena adanya kesulitan financial yang berat yang dihadapi orang Belanda
sebagai akibat perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan menelan banyak korban serta
peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839). (Nizar, Samsul, 2008).

Pada tahun 1818 telah dikeluarkan Regeringsreglement untuk Hindia Belanda yang
isinya antara lain membahas bahwa semua sekolah di Hindia Belanda dapat dimasuki baik
orang Eropa maupun penduduk jajahan. Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah
sekolah tersebut hanya sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi. Menurut
Kartodirdjo (1987) sistem pendidikan yang dualitas pada masa ini juga membuat garis
pemisah yang tajam antara dua subsistem: sistem sekolah Eropa dan sistem sekolah pribumi.
Tetapi pada tahun 1892 akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan karena
kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda,
sebagaimana berikut:
1. Sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi
dengan pelajaran bahasa Belanda.

2. Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa
pelajaran bahasa Belanda.

Peraturan Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan


kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah
ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan
kaum elit. Menurut Ary Gunawan dalam prinsip kebijakan pendidikan kolonial yaitu:
1. Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
2. Pendidikan diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja, terutama demi
kepentingan kaum penjajah.
3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam
masyarakat.
4. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah)
Belanda.
5. Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada
pengetahuan dan kebudayaan barat. (Rifa’i, Muhammad, 2011).

Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Karena hasil
sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini disebabkan
karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat:
1. Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf
bahwa yang harus mendapat pengajaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
2. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan
dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah.

Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan bagaimana ia


menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan
pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Pada 1882, Belanda membentuk pristerraden
yang mendapat tugas mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925,
Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta
izin dulu. Pada 1925, terbit Goeroe-Ordonnantie yang menetapkan bahwa para kiai yang
akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan
itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para
pengikut agama Islam. (Rifa’i, Muhammad. 2011).

Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada


golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut
golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs) Pada
hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok
yaitu:
a. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
1. Sekolah rendah Eropa, yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa.
2. Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah
untuk anak-anak keturunan tmur asing.
3. Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah
untuk golongan penduduk Indonesia asli.

b. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah


1. Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan
bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892.
2. Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra.
Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.
3. Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakan kelanjutan dari
sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali
didirikan pada tahun 1914.
4. Sekolah Peralihan (Schakelschool) Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa
(tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama
belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra.

Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang
Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak
dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja
(Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872,
tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS. Pendidikan lanjutan sama dengan Pendidikan
Menengah.

Adapun diterapkannya Politik Etis (Etische Politiek) di awal abad ke- 20 M sering
dianggap sebagai awal pangkal kondisi yang membukakan kesadaran berbangsa bagi rakyat
Indonesia. Politik Etis kolonial Belanda ini awalnya tatkala dirumuskan menimbulkan sikap
pro dan kontra, baik di kalangan para intelektual, politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di
Belanda. Ada sebagian yang menentang (dalam kadar yang cukup keras) di Parlemen
Belanda, namun di lain pihak ada yang mendukung program ini yang mereka anggap sebagai
sesuatu yang ‘manusiawi’ atau bahkan sebagai ‘kewajiban moral’ terhadap rakyat Indonesia.
Terlepas dari masalah pro dan kontra tersebut, setelah Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato
di Staten General pada tahun 1901, maka mulailah berlaku Politik Etis tersebut di lapangan
secara nyata. Sebelum tahun 1901 politik Belanda semata-mata mementingkan tuntutan
ekonomi, yang karena itu penghisapan kekayaan terhadap Indonesia sama sekali tidak
memperhitungkan rakyat Indonesia. Dengan adanya pidato Ratu Wilhelmina tersebut
dimungkinkan ada keseimbangan antara unsur menjajah dengan unsur memiliki ‘kewajiban
moral’itu.

Jabaran Politik Etis itu oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi
dan emigrasi. Dukungan yang mula-mula muncul adalah dari kalangan kapitalis dan
industrialis Belanda yang pada hakekatnya berkeinginan untuk memasarkan hasil industrinya
sambil melakukan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia.

Perbaikan sosial yang nampak mulai ditanggapi antara lain dalam hal pendidikan.
Mengapa ini dilakukan ? Sebab, masalah pendidikan (edukasi) hampir tidak tergarap dan
memang sengaja tidak digarap sebelum Politik Etis dicetuskan. Hal ini tergambar dalam
tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (1908) sebagai berikut: “Sampai pada waktu-
waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan
akal budi pekeerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam
dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati
pemerintah.”
Van Deventer, yang kemudian dijuluki “Bapak Pergerakan Etis”, merupakan tokoh
yang menempatkan kesejahteraan penduduk asli di atas segala-galanya dan dia pula yang
menempatkan dirinya sebagai penentang kemiskinan di Jawa yang paling gigih dan
menyerang praktek-praktek pemerasan yang dilakukan Cultuur Stelsel dan penanam-
penanam tebu. Untuk itu, dimulailah usaha-usaha pendidikan itu. Pada tahun 1905, tahun
pemilihan di Belanda, Van Deventer dan kawan-kawannya menang dalam Parlemen Belanda,
yang karena itu mereka menjadi pemeran utama dalam pembentukan kabinet. Seorang
anggota partai Demokrat Liberal, D. Fock, menjadi Menteri Jajahan. Dia bersedia
memajukan dan meluaskan pendidikan para pribumi. Usaha ini terdukung oleh saran dan
konsep Snouck Hurgronje, seorang profesor indolog di Leiden (1906) yang menyarankan
agar pemerintah kolonial Belanda memberikan pendidikan kepada elit pribumi dalam tradisi
yang paling baik dari Barat yang nantinya diharapkan menjadi tokoh penting yang
berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia. Sementara itu pelaksana Politik Etis di bidang
pendidikan (edukasi) terutama adalah J.H. Abendanon (yang diangkat sebagai Direktur
Pendidikan di Hindia Timur pada tahun 1900). Dia dan isterinya banyak memberikan
rangsangan yang menimbulkan kesadaran kepada para angkatan muda Indonesia, antara lain
pemuda Abdoel Moeis yang belakangan menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) dan lewat
korespondensi dia berhasil mengobarkan semangat pemikiran Raden Ajeng Kartini, putri
Bupati Jepara, yang pada akhirnya merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah untuk kalangan
wanita di Indonesia.

Menurut Ki Hajar Dewantara dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa Politik
Etis penjajah sepertinya akan lunak dengan kemajuan pendidikan pribumi, tetapi tetap saja
pola kebijakan pendidikan kolonial tersebut menunjukkan sifat intelektualis, alitis,
individualis dan materialis. Setelah 1870, tak ada lagi pusat-pusat karena pendidikan dan
pengajaran semakin diperluas.

Pada 1871, keluarlah UU Pendidikan yang pertama, yaitu pendidikan dan pengajaran
makin diarahkan kepada kepentingan penduduk bumiputra. Secara tidak langsung, pengaruh
Politik Etis terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi munculnya kaum
pendidik dan pergerakan Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kemajuan
bagi rakyat Indonesia dapat ditengarai dengan kemunculan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh
yang memerhatikan pendidikan bagi rakyat. (Ricklefs, M.C. 2001 ).

Sesuai dengan semangat Politik Etis, pemerintah kolonial Belanda memperbanyak


jumlah sekolah. Pada tahun 1903 mulai didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk
School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan
program Vervolg School (sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2 tahun. Pemulaan
sekolah semacam ini lalu dilanjutkan untuk tahun-tahun berikutnya seperti:
a. MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari
sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai
empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914.
b. AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan
dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur
asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915.
c. HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah
menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, Didirikan
pada tahun 1860.

Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang
pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda
tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu
budaya, civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda
Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi
ratu Belanda. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya
yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan
standar lulusan setiap tahunnya. 

Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang
tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses
seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak. 

Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal
25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran
yang sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang
mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah
namun keras dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang
efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.

Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas berasal dari
kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi
pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang
maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah. Adanya dukungan dana dari orang tua
dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih
lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi
utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.

Untuk memberi gambaran yang lebih jelas bagaimana kondisi yang nota bene
disemangati oleh Politik Etis di atas, di sini akan dituliskan, sebagai contoh, bagaimana
sebenarnya yang disebut Volk School (Sekolah Desa) itu. Volk School digalakkan berdasar
inisiatif Gubernur Jendral Van Heutz. Dia menganggap jenis sekolah ini adalah sekolah yang
lebih sederhana dan lebih murah. Van Heutz berkenalan dengan asisten-residen Ambarawa,
De Bruin Prince, yang mendirikan 100 sekolah di berbagai desa sebagai percobaan. Program
pelajarannya meliputi membaca, menulis dan berhitung dalam bahasa Jawa. Sementara itu
juga diajarkan ketrampilan tangan seperti membuat keranjang, pot, genting dan sebagainya.
Tempat belajarnya bersifat sementara, yaitu memakai pendapa. Kayu diambil dari hutan yang
ditebang untuk penanaman kopi. Guru-gurunya diambil dari kalangan penduduk sendiri, yang
gaji mereka berupa sebidang tanah untuk digarap. Anak-anak duduk di lantai, sedangkan bagi
anak-anak yang memiliki kewajiban menggembala kerbau, maka selama belajar (antara pukul
09.00-12.00 dan 13.00-15.00) kerbau-kerbau yang digembalakan dapat dilepas di sebidang
tanah di sebelah tempat belajar yang dipagari.
Dengan memperhatikan gambaran di atas, maka dapat dibayangkan betapa
sederhananya persekolahan yang disebut Volk School itu.
Walaupun nampaknya cukup baik tujuan didirikan bentuk-bentuk persekolahan di atas,
namun dalam prakteknya, sekalipun tidak secara langsung, terdapat kecenderungan
diskriminatif. Kecenderungan itu nampak dalam hal cara menyaring anak sekolah. Caranya
ialah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, dan juga sering diutamakan
bagi keluarga yang memiliki keturunan darah biru (darah ningrat, darah keraton) atau dari
kalangan para “priyayi” (pangreh praja atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda).
Oleh karena itu, bagi kalangan masyarakat bawah, maka hanya dari anggota masyarakat yang
mampu atau kaya saja yang dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang
cukup tinggi. Bagi anggota masyarakat yang kurang berpunya atau miskin terpaksa tidak
dapat memasukkan anak-anaknya ke sekolah, atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif
lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah yang
dilakukan Belanda di atas tidak murni hanya semata-mata untuk memberdayakan pendidikan
masyarakat, melainkan justru untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level
pendidikannya) untuk dapat direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di pemerintahan kolonial
Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi sebuah program ujian
yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang
harus ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu,
nampak jelas bahwa program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol,
apalagi setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche
Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai
pemerintah untuk kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat bahwa kegiatan
pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.

Kegiatan pendidikan masa Politik Etis inipun berdampak pula terhadap cara pandang.
Misalnya saja, anak-anak pribumi yang pernah bersekolah di sekolah-sekolah Belanda tidak
sedikit yang terpengaruh oleh cara-cara hidup kebelanda-belandaan dengan segala variasi
hidupnya. Oleh karena itu tidak heran kalau timbul kelompok elite baru di tengah-tengah
masyarakat pribumi. Di samping itu, karena tempat-tempat pendidikan Belanda itu rata-rata
terpusat di kota-kota, maka terjadilah urbanisasi kalangan pemuda di pedesaan ke kota-kota
untuk belajar di sana. Kelanjutan dari kondisi ini adalah terjadilah polarisasi kehidupan antara
desa dengan kota. Kota menjadi makin elite dan makin diminati oleh orang-orang di desa.
Kecenderungan mengagumi elite baru dan dunia perkotaan seperti itu bekas-bekasnya masih
terasa sampai sekarang ini.

Hal yang kurang menguntungkan dari timbulnya elite baru di atas adalah adanya
kebanggaan kalau disebut dengan istilah “priyayi” bagi mereka yang dapat masuk kedalam
sistem birokrasi pemerintahan Belanda. Sebaliknya, masyarakat luas menjadi mendambakan
status sosial tersebut. Tidak jarang pegawai juru ketik di kantor pemerintahan Belanda sudah
disebut “ndara” (bahasa Jawa) yang menunjukkan sebutan feodal. Memang harus diakui,
bahwa pada waktu itu gerak mobilitas sosial vertikal masih sangat sempit dan terbatas, dan
karena itu lewat pendidikan menjadi satu-satunya pilihan.

Sejak 1870 sampai menjelang Politik Etis, pemerintah Belanda berganti


mengadakan onderneming (usaha perkebunan), terutama dalam hal tanaman tebu dan kopi,
swasta diikutkan dalam usaha perkebunan, namun dalam hal persebaran kemakmuran tidak
sebagaimana diharapkan. Pengusaha perkebunan tetap sedikit, dan biasanya justru berafiliasi
dengan pemerintah kolonial, sementara itu pekerja kasar jauh lebih besar dan upah kasar
di onderneming tersebut kebanyakan tidak menjanjikan hidup layak dan juga tidak bermasa
depan. Sementara itu, kalau mereka ingin menggarap tanah sendiri lahannya tidak ada, dan
kalau ada tentu relatif sangat sempit.

Hal di atas baru dari satu segi. Segi yang lain, kehidupan para petani sendiri juga
kurang menguntungkan. Hal ini dapat dibuktikan dengan beban pajak yang harus ditanggung
oleh masyarakat, dan sementara itu modernisasi pertanian untuk meningkatkan pendapatan
petani tidak pernah dilakukan. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara besarnya pendapatan
riil para petani dengan keharusan mengeluarkan uang untuk membayar pajak. Kondisi seperti
ini dengan sendirinya mudah sekali memicu ketidakpuasan masyarakat dan pada akhirnya
mudah pula berujung menjadi kerusuhan sosial dan tidak kecil kemungkinan memuncak
berbentuk pemberontakan bersenjata. Studi Dr. Sartono Kartodirdjo terhadap pergolakan
petani di banten (1888) membuktikan hal seperti itu. Dalam studi tersebut disinggung pula
bagaimana posisi tokoh agama dalam wacana pemberontakan bersenjata tersebut.

Dalam studi-studi di bidang ekonomi-pertanian pada zaman penjajahan terdapat bukti


kuat memprihatinkan. Di antara studi-studi tersebut antara lain yang dilakukan oleh W.F.
Wertheim. Kondisi sosial, terutama yang ada kaitannya dengan perekonomian masyarakat,
nampaknya masih berlanjut seperti itu sampai datangnya fasisme Jepang di Indonesia (1941).
Oleh karena itu, ketika Jepang menduduki Indonesia hampir seluruh kekuatan ekonomi
masyarakat terkuras habis, bahkan tenaga manusianya pun ikut dilibatkan habis-habisan
(romusha) untuk kepentingan penerangan yang dilakukan oleh Jepang.
Tenaga romusha (kerja paksa) itu dimanfaatkan oleh jepang untuk membuat lapangan
terbang, tempat pertahanan, jalan, gudang. Ada juga yang dikirim ke Burma, Thailand dan
Malaysia untuk memasang sarana transportasi (seperti memasang rel kereta api) dan tempat
pertahanan. Banyak di antaranya yang mati kelaparan atau karena sakit, dan andaikata
selamat badan mereka kurus kering tidak terurus, bahkan ada yang sampai terkena gangguan
kejiwaan. Jumlah romusha yang dikerahkan ke luar Jawa itu tidak kurang dari 300.000 orang
banyaknya. Nasib masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, seperti itu perlu diungkap
kembali untuk menggambarkan betapa kondisi sosial ekonomi masyarakat begitu rapuh
akibat pemerintahan Belanda sebelumnya.
Sampai di sini dapat ditegaskan, bahwa kondisi sosial dan pendidikan masyarakat
Indonesia yang dihasilkan oleh kegiatan Politik Etis nampaknya belum memadai. Dari segi
sosial, utamanya masalah ekonomi, masih sangat rapuh. Pada hakekatnya, perbaikan ekonomi
yang ada bukan untuk masyarakat, melainkan pemerintah Belanda yang diuntungkan. Dari
segi pendidikan, juga belum menunjukkan hal yang menggembirakan, apalagi sampai derajat
memadai. Pendidikan yang dilaksanakan dalam program Politik Etis itu hanya sampai
memberikan hasil tersedianya tenaga birokrat baru, dan itupun pada level rendahan
kebanyakan, untuk direkrut dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda. Pendidikan belum
dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. (Wartono.
1999).

Pada tahun terakhir di masa pemerintahan belanda di indonesia, baru dikeluarkan


peraturan persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan
penyelenggaraan pengajaran. Ide-ide Daendels pada masa sebelumnya yang ingin
memperluas kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk jajahan tidak dilanjutkan
pada masa ini. Hal tersebut sangat jelas karena dalam ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan
pada masa ini sangatlah sedikit yang membahas masalah pengajaran untuk penduduk jajahan.
Salah satunya adalah peraturan umum tentang pendidikan sekolah yang berisi bahwa
pendidikan hanya untuk orang Belanda saja dan bahkan peraturan ini berlaku hingga tahun
terakhir pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen. (Muhammad Said dan Junimar
Affan. 1987).

Pada masa ini sekolah-sekolah diperdasaan diperbanyak. Namun demikian, masih ada
perbedaan pelayanan bagi anak-anak bumiputera dengan anak-anak Belanda, yaitu
diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia diterima di
sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu sehingga dengan dalih yang dibuat-buat akhirnya
anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di sekolah-sekolah Belanda.

Kesempatan mendapatkan pendidikan hanya diutamakan kepada anak-anak


bengsawan bumiputera serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial yang diharapkan
kelak akan menjadi kader pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan atau condong ke Belanda
dan merupakan kelompok elite yang terpisah dengan masyarakatnya sendiri. Dengan maksud
mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk
memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia.

Adapun pendidikan Kejuruan (vokonderwijs) Sebagai pelaksanaan politik etika


pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah
kejuruan yang ada yaitu sebagai berikut:
a. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan
menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan.
b. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa
pengantar Belanda.
c. Sekolah teknik (Technish Onderwijs) yaitu kelanjutan dari Ambachtsschool,
berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun.
d. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
perusahaan Eropa yang berkembang pesat.
e. Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah
pertanian yang menerima lulusan sekolah dasar yang berbahasa pengantar pendidikan.
Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian yang terdiri dari dua jurusan,
pertanian dan kehutanan. Lama belajarnya sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk
menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan.
f. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs) merupakan kejuruan yang
termuda.
g. Pendidikan Rumah Tangga (Huishoudschool).
h. Pendidikan keguruan (Kweekschool) merupakan lembaga yang tertua dan sudah sejak
permulaan abad ke-19.

Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs) Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:
a. Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School) merupakan sekolah tinggi yang
pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1920 di Bandung yang sekarang
terkenal dengan ITB.
b. Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school) didirikan pada tahun 1924 di
Jakarta. Lama belajarnya yaitu selama 5 tahun.
c. Pendidikan tinggi kedokteran. (Yunus, Mahmud,1992).

Penutup

Selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada
masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda
(Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang,
kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan
komersial.

Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada


golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut
golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu Yaitu:
1) Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs).
2) Pendidikan lanjutan / Pendidikan Menengah.
3) Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs ).
4) Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs).

Tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak pernah


dinyatakan, tetapi dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan
pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal
Belanda, disamping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga-tenaga
administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang dianggap sebagai pekerja-
pekerja kelas dua atau kelas tiga.
DAFTAR PUSTAKA

Afifuddin. 2007. Sejarah Pendidikan. Bandung: Prosfect.


Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik dari Zaman Ke Zaman. Bandung:
Jemmars.
Nizar, Samsul. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Ratna. 2008. Sejarah Indonesia. Jakarta: Yudhistira.
Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Rifa’i, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Perjuangan Sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi.
Jakarta: Depdikbud.
Yunus, Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
Wartono. 1999.  Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Studi Perubahan Sosial.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana.

Anda mungkin juga menyukai