Irvan Nur Rizki, Alfi Khusnia, Khusniatun Aisyah, Siti Fatimah Az-zahra, Tri Rizki
Hartati.**)
*)
**)
Abstrak
Makalah ini membahas tentang pendidikan pada masa kolonial Belanda di Indonesia.
Belanda datang ke indonesia pada sekitar tahun 1602 – 1942. Pendidikan pada masa
penjajahan Belanda pada awalnya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bangsa
Belanda di Indonesia. Pada perkembangan selanjutnya pendidikan digunakan sebagai alat
penjajah untuk mencetak tenaga kerja murah atau pegawai rendahan yang sangat diperlukan
untuk perusahaan-perusahaan Belanda. Sistem pendidikan jaman kolonial Belanda
merupakan sistem yang rumit karena penjenisannya cukup banyak sebagai realisasi dari
diskriminasi sistem pendidikannya. Tujuan dan kebijakan politik pendidikan yang dibuat dan
diterapkan oleh Belanda semata-mata hanya untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Pendidikan kolonial tidak hanya berakibat negatif bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga
memberikan dampak positif karena setelah penjajahan Belanda di Indonesia berakhir dan
Indonesia mencapai kemerdekaan sebagian penduduk di Indonesia khususnya di Jawa sudah
tidak menderita tuna aksara atau buta huruf lagi. Karena penduduk Indonesia telah lama
mengenal pendidikan atau sekolah. Pendidikan kolonial juga melahirkan tokoh-tokoh
pergerakan nasional dan tokoh-tokoh pendidikan yang berjiwa nasionalis dan patriotis untuk
memperjuangkan nasib bangsa Indonesia.
Pendahuluan
Sumber daya alam Indonesia dan letaknya yang berada di jalur perdagangan dunia
menjadi daya tarik bangsa-bangsa Eropa untuk mendatangi Indonesia. Riklefs (2008: 57)
menjelaskan dalam bukunya bahwa pada tahun 1400, Prameswara seorang pangeran dari
Palembang telah menemukan sebuah pelabuhan yang baik dan dapat dirapati kapal-kapal di
segala musim. Pelabuhan itu terletak di bagian yang paling sempit di Selat Malaka. Di Selat
Malaka inilah sistem perdagangan Indonesia dihubungkan dengan jalur perdagangan dunia.
Dunia pun segera tahu bahwa rempah-rempah Indonesia merupakan salah satu hasil yang
paling berharga di dalam sistem perdagangan tersebut (Riklefs, 2008: 59-60). Riklefs (2008:
70-71) menceritakan tentang sejarah baru Indonesia yang dimulai pada bulan Juni 1596.
Kapal-kapal Cornelis de Houtman tiba di Banten yang merupakan pelabuhan lada terbesar di
Jawa Barat. Di situ, orang-orang Belanda segera terlibat dalam konflik kepentingan dengan
orang-orang Portugis dan pribumi sendiri. Setelah kedatangan Belanda yang pertama kali,
banyak perusahaan ekspedisi Belanda yang bersaing untuk mendapatkan rempah-rempah
Indonesia. Perseroan-perseroan yang saling bersaing itu bergabung membentuk Perserikatan
Maskapai Hindia Timur, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada bulan Maret
1602. VOC sebagai serikat dagang Belanda bertujuan untuk menguasai perdagangan rempah-
rempah di Nusantara. Hegemoni politik dan sistem eksploitasi membawa perubahan dalam
berbagai bidang, seperti: sistem birokrasi, industrialisasi, transportasi, edukasi, komunikasi,
dan berbagai bentuk hubungan sosial lainnya. Perubahan ini yang akhirnya membawa
dampak psikologis berupa kesadaran berbangsa dan bertanah air, yaitu nasionalisme itu
sendiri.
Indonesia dalam perjalanan sejarahnya juga bergerak dengan proses, pergerakan, dan
perkembangan pendidikannya. Kita dapat ketahui bahwa tokoh-tokoh pemimpin bangsa
Indonesia juga merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila di lihat sejarah
perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu bangsa, begitu
pula bangsa Indonesia, pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa di mata dunia dan
mensejahterakan rakyatnya.
Namun pada saat penjajahan Belanda, lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah
hasil dari suatu perencanaan menyeluruh, melainkan langkah demi langkah melalui
eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis dibawah pengaruh kondisi sosial,
ekonomi, dan politik di Belanda. Visi misi setiap pendidikan pada masa kolonial Belanda
selama di indonesia itu pun hampir sama. (Ratna, 2008: 8).
Pembahasan
Sejarah pendidikan zaman pemerintah kolonial Belanda dapat dibagi dalam tiga
periode, yaitu: (1) periode VOC pada abad ke-17 dan ke-18; (2) periode pemerintah Hindia-
Belanda pada abad ke-19; dan (3) periode Politik Etis (Etische Politiek) pada awal abad ke-
20. Pada zaman VOC abad ke-17 dan ke-18, pendidikan untuk kaum ”inlanders” (penduduk
tanah jajahan ditangani oleh Nederlands Zendelingen Genootschap atau NZG), Gereja
Kristen dari Belanda yang ikut dalam misi VOC. Maskapai inilah yang ikut membiayai
kegiatan pendidikan, dengan demikian bukan dari pemerintah Belanda. Selain itu kebanyakan
kegiatan pendidikan termasuk pendirian sekolah-sekolah baru yang dikembangkan oleh VOC
pada awalnya melekat berbasis agama dan dilakukan di daerah yang struktur politiknya
lemah, misalnya di Ambon dan Banda.
Pada tahun 1818 telah dikeluarkan Regeringsreglement untuk Hindia Belanda yang
isinya antara lain membahas bahwa semua sekolah di Hindia Belanda dapat dimasuki baik
orang Eropa maupun penduduk jajahan. Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah
sekolah tersebut hanya sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi. Menurut
Kartodirdjo (1987) sistem pendidikan yang dualitas pada masa ini juga membuat garis
pemisah yang tajam antara dua subsistem: sistem sekolah Eropa dan sistem sekolah pribumi.
Tetapi pada tahun 1892 akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan karena
kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda,
sebagaimana berikut:
1. Sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi
dengan pelajaran bahasa Belanda.
2. Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa
pelajaran bahasa Belanda.
Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Karena hasil
sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini disebabkan
karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat:
1. Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf
bahwa yang harus mendapat pengajaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
2. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan
dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah.
Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang
Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak
dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja
(Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872,
tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS. Pendidikan lanjutan sama dengan Pendidikan
Menengah.
Adapun diterapkannya Politik Etis (Etische Politiek) di awal abad ke- 20 M sering
dianggap sebagai awal pangkal kondisi yang membukakan kesadaran berbangsa bagi rakyat
Indonesia. Politik Etis kolonial Belanda ini awalnya tatkala dirumuskan menimbulkan sikap
pro dan kontra, baik di kalangan para intelektual, politisi dan rohaniawan (kalangan gereja) di
Belanda. Ada sebagian yang menentang (dalam kadar yang cukup keras) di Parlemen
Belanda, namun di lain pihak ada yang mendukung program ini yang mereka anggap sebagai
sesuatu yang ‘manusiawi’ atau bahkan sebagai ‘kewajiban moral’ terhadap rakyat Indonesia.
Terlepas dari masalah pro dan kontra tersebut, setelah Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato
di Staten General pada tahun 1901, maka mulailah berlaku Politik Etis tersebut di lapangan
secara nyata. Sebelum tahun 1901 politik Belanda semata-mata mementingkan tuntutan
ekonomi, yang karena itu penghisapan kekayaan terhadap Indonesia sama sekali tidak
memperhitungkan rakyat Indonesia. Dengan adanya pidato Ratu Wilhelmina tersebut
dimungkinkan ada keseimbangan antara unsur menjajah dengan unsur memiliki ‘kewajiban
moral’itu.
Jabaran Politik Etis itu oleh Van Deventer dikonsepsikan dalam wujud irigasi, edukasi
dan emigrasi. Dukungan yang mula-mula muncul adalah dari kalangan kapitalis dan
industrialis Belanda yang pada hakekatnya berkeinginan untuk memasarkan hasil industrinya
sambil melakukan perbaikan ekonomi rakyat Indonesia.
Perbaikan sosial yang nampak mulai ditanggapi antara lain dalam hal pendidikan.
Mengapa ini dilakukan ? Sebab, masalah pendidikan (edukasi) hampir tidak tergarap dan
memang sengaja tidak digarap sebelum Politik Etis dicetuskan. Hal ini tergambar dalam
tulisan Van Deventer dalam majalah De Gids (1908) sebagai berikut: “Sampai pada waktu-
waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan
akal budi pekeerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam
dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati
pemerintah.”
Van Deventer, yang kemudian dijuluki “Bapak Pergerakan Etis”, merupakan tokoh
yang menempatkan kesejahteraan penduduk asli di atas segala-galanya dan dia pula yang
menempatkan dirinya sebagai penentang kemiskinan di Jawa yang paling gigih dan
menyerang praktek-praktek pemerasan yang dilakukan Cultuur Stelsel dan penanam-
penanam tebu. Untuk itu, dimulailah usaha-usaha pendidikan itu. Pada tahun 1905, tahun
pemilihan di Belanda, Van Deventer dan kawan-kawannya menang dalam Parlemen Belanda,
yang karena itu mereka menjadi pemeran utama dalam pembentukan kabinet. Seorang
anggota partai Demokrat Liberal, D. Fock, menjadi Menteri Jajahan. Dia bersedia
memajukan dan meluaskan pendidikan para pribumi. Usaha ini terdukung oleh saran dan
konsep Snouck Hurgronje, seorang profesor indolog di Leiden (1906) yang menyarankan
agar pemerintah kolonial Belanda memberikan pendidikan kepada elit pribumi dalam tradisi
yang paling baik dari Barat yang nantinya diharapkan menjadi tokoh penting yang
berpengaruh luas dalam masyarakat Indonesia. Sementara itu pelaksana Politik Etis di bidang
pendidikan (edukasi) terutama adalah J.H. Abendanon (yang diangkat sebagai Direktur
Pendidikan di Hindia Timur pada tahun 1900). Dia dan isterinya banyak memberikan
rangsangan yang menimbulkan kesadaran kepada para angkatan muda Indonesia, antara lain
pemuda Abdoel Moeis yang belakangan menjadi pemimpin Sarekat Islam (SI) dan lewat
korespondensi dia berhasil mengobarkan semangat pemikiran Raden Ajeng Kartini, putri
Bupati Jepara, yang pada akhirnya merangsang tumbuhnya sekolah-sekolah untuk kalangan
wanita di Indonesia.
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa Politik
Etis penjajah sepertinya akan lunak dengan kemajuan pendidikan pribumi, tetapi tetap saja
pola kebijakan pendidikan kolonial tersebut menunjukkan sifat intelektualis, alitis,
individualis dan materialis. Setelah 1870, tak ada lagi pusat-pusat karena pendidikan dan
pengajaran semakin diperluas.
Pada 1871, keluarlah UU Pendidikan yang pertama, yaitu pendidikan dan pengajaran
makin diarahkan kepada kepentingan penduduk bumiputra. Secara tidak langsung, pengaruh
Politik Etis terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi munculnya kaum
pendidik dan pergerakan Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kemajuan
bagi rakyat Indonesia dapat ditengarai dengan kemunculan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh
yang memerhatikan pendidikan bagi rakyat. (Ricklefs, M.C. 2001 ).
Pada aspek materi, jelas sekali ada perbedaan yang cukup mendasar antara jenjang
pendidikan HIS, MULO, dan AMS. Namun ada kesamaan di antara jenjang yang berbeda
tersebut yaitu materi kebangsaan Belanda yang tercermin dalam pelajaran sejarah, ilmu
budaya, civic education, dan bahasa. Semua ilmu ini merupakan bagian dari propaganda
Belanda agar masyarakat memperoleh kesadaran berbangsa dan loyalitas terhadap eksistensi
ratu Belanda. Adapun kelebihan pendidikan masa Kolonial Belanda adalah aspek kualitasnya
yang terjamin. Hal ini terlihat pada standar input, proses, pembiayaan, sarana-prasarana, dan
standar lulusan setiap tahunnya.
Pada standar input jelas sekali dapat terlihat kualitas siswa yang masuk. Mereka yang
tercatat sebagai siswa tidak hanya berlatar belakang sosial yang tinggi, namun juga proses
seleksi intelektual menjadi sebuah ukuran yang mutlak.
Pada standar proses, terlihat bahwa kelas dengan jumlah siswa yang kecil, maksimal
25 siswa menjadi ruang yang penuh mekanisme pengawasan, pembinaan, dan pengajaran
yang sangat optimal. Apalagi dengan guru-guru yang menguasai ilmu mengajar yang
mumpuni, tanggung jawab dan dedikasi yang sepenuhnya, serta pola pengajaran searah
namun keras dan penuh disiplin, tentu saja akan melahirkan jalannya kegiatan belajar yang
efektif bagi pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
Pada standar pembiayaan, jelas bahwa adanya siswa yang mayoritas berasal dari
kalangan bangsawan tinggi akan memberikan sokongan dan dukungan dana bagi
pengembangan sekolah. Mereka yang kaya akan berusaha memberikan partisipasi dana yang
maksimal agar anak-anaknya bisa sukses di sekolah. Adanya dukungan dana dari orang tua
dan statusnya sebagai sekolah negeri sudah pasti menjadikan sarana dan prasarana lebih
lengkap. Perpustakaan dengan buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris menjadi koleksi
utama semua sekolah dari HIS sampai dengan HBS.
Untuk memberi gambaran yang lebih jelas bagaimana kondisi yang nota bene
disemangati oleh Politik Etis di atas, di sini akan dituliskan, sebagai contoh, bagaimana
sebenarnya yang disebut Volk School (Sekolah Desa) itu. Volk School digalakkan berdasar
inisiatif Gubernur Jendral Van Heutz. Dia menganggap jenis sekolah ini adalah sekolah yang
lebih sederhana dan lebih murah. Van Heutz berkenalan dengan asisten-residen Ambarawa,
De Bruin Prince, yang mendirikan 100 sekolah di berbagai desa sebagai percobaan. Program
pelajarannya meliputi membaca, menulis dan berhitung dalam bahasa Jawa. Sementara itu
juga diajarkan ketrampilan tangan seperti membuat keranjang, pot, genting dan sebagainya.
Tempat belajarnya bersifat sementara, yaitu memakai pendapa. Kayu diambil dari hutan yang
ditebang untuk penanaman kopi. Guru-gurunya diambil dari kalangan penduduk sendiri, yang
gaji mereka berupa sebidang tanah untuk digarap. Anak-anak duduk di lantai, sedangkan bagi
anak-anak yang memiliki kewajiban menggembala kerbau, maka selama belajar (antara pukul
09.00-12.00 dan 13.00-15.00) kerbau-kerbau yang digembalakan dapat dilepas di sebidang
tanah di sebelah tempat belajar yang dipagari.
Dengan memperhatikan gambaran di atas, maka dapat dibayangkan betapa
sederhananya persekolahan yang disebut Volk School itu.
Walaupun nampaknya cukup baik tujuan didirikan bentuk-bentuk persekolahan di atas,
namun dalam prakteknya, sekalipun tidak secara langsung, terdapat kecenderungan
diskriminatif. Kecenderungan itu nampak dalam hal cara menyaring anak sekolah. Caranya
ialah dengan memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, dan juga sering diutamakan
bagi keluarga yang memiliki keturunan darah biru (darah ningrat, darah keraton) atau dari
kalangan para “priyayi” (pangreh praja atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda).
Oleh karena itu, bagi kalangan masyarakat bawah, maka hanya dari anggota masyarakat yang
mampu atau kaya saja yang dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang pendidikan yang
cukup tinggi. Bagi anggota masyarakat yang kurang berpunya atau miskin terpaksa tidak
dapat memasukkan anak-anaknya ke sekolah, atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif
lain, misalnya memasukkan anak-anaknya ke dalam pondok pesantren.
Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa tujuan penyelenggaraan sekolah yang
dilakukan Belanda di atas tidak murni hanya semata-mata untuk memberdayakan pendidikan
masyarakat, melainkan justru untuk menghasilkan tenaga birokrat (sesuai dengan level
pendidikannya) untuk dapat direkrut dalam jabatan-jabatan teknis di pemerintahan kolonial
Belanda. Sebagai contoh, sejak 1864 oleh Belanda telah diintroduksi sebuah program ujian
yang disebut Klein Ambtenaars’ Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang
harus ditempuh agar seseorang dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu,
nampak jelas bahwa program untuk menciptakan birokrat rendahan yang cukup menonjol,
apalagi setelah pada tahun 1900 diperkenalkan sekolah Opleiding School voor Inlandsche
Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi pegawai
pemerintah untuk kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan kuat bahwa kegiatan
pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik Belanda.
Kegiatan pendidikan masa Politik Etis inipun berdampak pula terhadap cara pandang.
Misalnya saja, anak-anak pribumi yang pernah bersekolah di sekolah-sekolah Belanda tidak
sedikit yang terpengaruh oleh cara-cara hidup kebelanda-belandaan dengan segala variasi
hidupnya. Oleh karena itu tidak heran kalau timbul kelompok elite baru di tengah-tengah
masyarakat pribumi. Di samping itu, karena tempat-tempat pendidikan Belanda itu rata-rata
terpusat di kota-kota, maka terjadilah urbanisasi kalangan pemuda di pedesaan ke kota-kota
untuk belajar di sana. Kelanjutan dari kondisi ini adalah terjadilah polarisasi kehidupan antara
desa dengan kota. Kota menjadi makin elite dan makin diminati oleh orang-orang di desa.
Kecenderungan mengagumi elite baru dan dunia perkotaan seperti itu bekas-bekasnya masih
terasa sampai sekarang ini.
Hal yang kurang menguntungkan dari timbulnya elite baru di atas adalah adanya
kebanggaan kalau disebut dengan istilah “priyayi” bagi mereka yang dapat masuk kedalam
sistem birokrasi pemerintahan Belanda. Sebaliknya, masyarakat luas menjadi mendambakan
status sosial tersebut. Tidak jarang pegawai juru ketik di kantor pemerintahan Belanda sudah
disebut “ndara” (bahasa Jawa) yang menunjukkan sebutan feodal. Memang harus diakui,
bahwa pada waktu itu gerak mobilitas sosial vertikal masih sangat sempit dan terbatas, dan
karena itu lewat pendidikan menjadi satu-satunya pilihan.
Hal di atas baru dari satu segi. Segi yang lain, kehidupan para petani sendiri juga
kurang menguntungkan. Hal ini dapat dibuktikan dengan beban pajak yang harus ditanggung
oleh masyarakat, dan sementara itu modernisasi pertanian untuk meningkatkan pendapatan
petani tidak pernah dilakukan. Akibatnya, terjadi ketimpangan antara besarnya pendapatan
riil para petani dengan keharusan mengeluarkan uang untuk membayar pajak. Kondisi seperti
ini dengan sendirinya mudah sekali memicu ketidakpuasan masyarakat dan pada akhirnya
mudah pula berujung menjadi kerusuhan sosial dan tidak kecil kemungkinan memuncak
berbentuk pemberontakan bersenjata. Studi Dr. Sartono Kartodirdjo terhadap pergolakan
petani di banten (1888) membuktikan hal seperti itu. Dalam studi tersebut disinggung pula
bagaimana posisi tokoh agama dalam wacana pemberontakan bersenjata tersebut.
Pada masa ini sekolah-sekolah diperdasaan diperbanyak. Namun demikian, masih ada
perbedaan pelayanan bagi anak-anak bumiputera dengan anak-anak Belanda, yaitu
diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia diterima di
sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu sehingga dengan dalih yang dibuat-buat akhirnya
anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di sekolah-sekolah Belanda.
Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs) Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:
a. Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School) merupakan sekolah tinggi yang
pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1920 di Bandung yang sekarang
terkenal dengan ITB.
b. Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school) didirikan pada tahun 1924 di
Jakarta. Lama belajarnya yaitu selama 5 tahun.
c. Pendidikan tinggi kedokteran. (Yunus, Mahmud,1992).
Penutup
Selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada
masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda
(Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang,
kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan
komersial.