Anda di halaman 1dari 11

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 2

Nama Mahasiswa : PAULINA JULAN

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 825687282

Kode/Nama Mata Kuliah : MKDK 4001/PENGANTAR PENDIDIKAN

Kode/Nama UPBJJ : 50 / Samarinda

Masa Ujian : 2020/21.2 (2021.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
1. Karakteristik Pendidikan Belanda zaman VOC adalah
➢ Pendidikan selama kolonial Belanda dapat dibagi kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC
(Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). Pada masa
VOC, merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak
lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana
lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17
hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC.
➢ Penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus
sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa
pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Hal ini juga dikuatkan dari profil para
guru di masa ini yang umumnya juga merangkap sebagai guru agama (Kristen). Dan sebelum bertugas, mereka
juga diwajibkan memiliki lisensi (surat izin) yang diterbitkan oleh VOC setelah sebelumnya mengikuti ujian
yang diselenggarakan oleh gereja Reformasi.
➢ Pendidikan pada jaman VOC juga tidak melebihi perkembangan pendidikan di jaman Portugis atau Spanyol.
Pendidikan diadakan untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping
untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah terlatih dari kalangan penduduk pribumi. VOC memang
mendirikan sekolah-sekolah baru selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya
berstatus milik penguasa kolonial Portugis atau gereja Katholik Roma.
➢ Secara geografis, pusat pendidikan yang dikelola VOC juga relatif terbatas di daerah Maluku dan sekitarnya.
Di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, VOC memilih untuk tidak melakukan kontak langsung dengan penduduk,
tetapi mempergunakan mediasi para penguasa lokal pribumi. Walaupun ada, itu hanya berada di pusat
konsentrasi pendudukannya yang ditujukan bagi para pegawai dan keluarganya. Secara umum sistem
pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut
1) Pendidikan Dasar
Berdasar peraturan tahun 1778, dibagi kedalam 3 kelas berdasar rankingnya. Kelas 1 (tertinggi) diberi
pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi dan berhitung. Kelas 2 mata pelajarannya tidak termasuk
berhitung. Sedangkan kelas 3 (terendah) materi pelajaran fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata.
Proses kenaikan kelas tidak jelas disebutkan, hanya didasarkan pada kemampuan secara individual.
Pendidikan dasar ini berupaya untuk mendidik para murid-muridnya dengan budi pekerti. Contoh
pendidikan dasar ini antara lain Batavische school (Sekolah Betawi, berdiri tahun 1622); Burgerschool
(Sekolah Warga-negara, berdiri tahun 1630); Dll.
2) Sekolah Latin
Diawali dengan sistem numpang-tinggal (in de kost) di rumah pendeta tahun 1642. Sesuai namanya, selain
bahasa Belanda dan materi agama, mata pelajaran utamanya adalah bahasa Latin. Setelah mengalami buka-
tutup, akhirnya sekolah ini secara permanent ditutup tahun 1670.
3) Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
Sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh Gubernur Jenderal van
Imhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah dibagi menjadi 4 kelas secara berjenjang. Kelas 1 belajar membaca,
menulis, bahasa Belanda, Melayu dan Portugis serta materi dasar-dasar agama. Kelas 2 pelajarannya
ditambah bahasa Latin. Kelas 3 ditambah materi bahasa Yunanu dan Yahudi, filsafat, sejarah, arkeologi
dan lainnya. Untuk kelas 4 materinya pendalaman yang diasuh langsung oleh kepala sekolahnya. Sistem
pendidikannya asrama dengan durasi studi 5,5 jam sehari dan Sekolah ini hanya bertahan selama 10 tahun.
4) Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
Berdiri tahun 1743, dimaksudkan untuk mendidik calon perwira pelayaran dengan lama studi 6 tahun.
Materi pelajarannya meliputi matematika, bahasa Latin, bahasa ketimuran (Melayu, Malabar dan Persia),
navigasi, menulis, menggambar, agama, keterampilan naik kuda, anggar, dan dansa. Tetapi iapun akhirnya
ditutup tahun 1755.
5) Sekolah Cina
1737 didirikan untuk keturunan Cina yang miskin, tetapi sempat vakum karena peristiwa de
Chineezenmoord (pembunuhan Cina) tahun 1740. selanjutnya, sekolah ini berdiri kembali secara swadaya
dari masyarakat keturunan Cina sekitar tahun 1753 dan 1787.
6).Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional
telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur
mengurusi atau mengaturnya. Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan
Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini,
pendidikan mulai memperoleh perhatian relatif maju dari sebelumnya. Beberapa prinsip yang oleh
pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain: (1) Menjaga
jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu; (2) Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan
sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan
kolonial; (3) Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.;
(4) Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan
sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung,
Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial
di Indonesia. Era ini sesungguhnya telah beroleh pengaruh dari faham gerakan Aufklarung (pencerahan)
yang berkembang di Eropa. Di antara tesisnya menyebutkan tentang penghargaan terhadap nalar,
kebebasan spiritual serta sekularisasi agama dan negara. Implikasi logis dari hal ini salah satunya adalah
penyerahan pengelolaan pendidikan kepada negara, bukan lagi kepada lembaga-lembaga keagamaan
(gereja). Secara formil, pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan beberapa sekolah di Jawa sejak
kepemimpinan Daendels, yaitu sekolah artileri (1806) di Jatinegara, sekolah pelayaran (1808) di Semarang,
sekolah bidan (1809) di Jakarta, dan sekolah seni tari (1809) di Cirebon. Daendels ini juga dikenal sebagai
tokoh pertama yang menginstruksikan para bupati agar mengusahakan pendirian sekolah-sekolah bagi
remaja-remaja pribumi. Janssens yang menggantikan Daendels juga meneruskan kebijakan yang serupa di
bidang pendidikan. Tetapi usahanya terinterupsi dengan kekalahan militer dan politik dari kerajaan Inggris.
Hindia Belanda selanjutnya dikelola oleh Inggris di bawah Raffles. Secara kelembagaan formal, Inggris
tidaklah menaruh perhatian besar kepada dunia pendidikan bagi kaum pribumi. Hanya saja, mereka
tergolong sangat berminat melakukan eksplorasi ilmiah yang kemudian menghasilkan karya-karya
intelektual yang cukup monumental, antara lain: History of Java karya Raffles, sejarah Sumatera, kamus
Melayu dan pelajaran bahasa Melayu yang merupakan karya-karya Marsden, Java Government Gazette
yang memuat ilmu pengetahuan tentang daerah dan penduduk, hasil kajian botani oleh Horsfield, dan juga
kajian kepemilikan tanah di Jawa oleh Colin Mackenzie. Karya-karya tersebut memberi kontribusi
signifikan bagi dunia ilmu pengetahuan sekaligus menjadi penanda khusus masa lima tahun (1811-1816)
kekuasaan Inggris di Indonesia. Masa pemulihan kekuasaan Belanda pasca pendudukan Inggris menjadi
titik tolak baru bagi perkembangan lebih maju dunia pendidikan di Indonesia. Pada masa ini, pendidikan
bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda.
Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat
pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya
Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi
prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya
Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f.
25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai
negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi
yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi
pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus
pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi
dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892). Perkembangan pendidikan di
Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu
Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia
Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang
kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang
diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan
sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2)
Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini
belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari
penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat)
golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera;
dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi
menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing.
Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1)
Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik
Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar
Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah
peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan
kejuruan. (3) Pendidikan tinggi. (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat
pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya
Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi
prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya
Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f.
25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai
negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi
yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi
pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus
pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi
dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892). Perkembangan pendidikan di
Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu
Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia
Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang
kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang
diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan
sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2)
Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini
belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari
penguasa kolonial. Dalam stratifikasi resmi tersebut dinyatakan bahwa penduduk dibagi kedalam 4 (empat)
golongan: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan yang dipersamakan dengan Eropa; (3) Golongan Bumiputera;
dan (4) Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera. Tahun 1920, rumusan ini mengalami revisi
menjadi seperti berikut ini: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputera; dan (3) Golongan Timur Asing.
Perlu dicatat bahwa untuk golongan pribumi (bumiputera), secara sosial terstratifikasi sebagai berikut: (1)
Golongan bangsawan (aristokrat) dan pemimpin adat; (2) Pemimpin agama (Ulama); dan (3) Rakyat biasa.

2. Masalah pendidikan yang terjadi pada masa pasca kemerdekaan yaitu


➢ Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai banyaknya peserta didik yang putus sekolah, serta
banyaknya lulusan yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, karena minimnya sarana
dan prasarana pada saat itu. Sekolah sangat terbatas.
➢ Masih adanya pendidikan ala pemerintahan kolonial tidak menghargai kebebasan murid dan guru hanya
bertugas mentransfer ilmu tanpa pernah membangunkan kesadaran siswa tentang masyarakat dan
lingkungannya.
➢ Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu pengetahuan alam (IPA), matematika.
➢ Rendahnya efisiensi internal karena lamanya masa studi melampaui waktu standart yang sudah ditentukan di
karenakan minim sarana dan prasarana di awal kemerdekaan RI
➢ Pada zaman penjajahan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak-anak Indonesia sangat terbatas. Dari
sejumlah anak-anak usia sekolah, hanya sebagian kecil saja yang sempat menikmati sekolah.
➢ Jabatan sebagai Menteri hanya dalam waktu singkat seperti misalnya K.H Dewantara menjabat jabatan ini
hanya selama 3 bulan. Kemudian, jabatan Menteri PP dan K dijabat oleh Mr. T.S.G. Mulia yang hanya
menjabat selama 5 bulan. Selanjutnya, jabatan Menteri PP dan K dijabat oleh Mohammad syafei kemudian ia
digantikan oleh mr. suwandi.

Solusi yang dilakukan untuk mengatasinya.

➢ Untuk menjembatani sistem pendidikan nasioanl maka diperlukan alat, dan alat ini adalah sekolah.
Membuka sekolah adalah salah satu cara pemerintah Indonesia dalam upaya menciptakan manusia yang
sesuai dengan amanat pancasila dan UUD 1945. Permasalahannya adalah pembuatan sekolah di kala
zaman mempertahankan republik yang penuh dengan perang, ancaman disintegrasi, dan masalah lainnya
adalah sebuah tantangan besar yang dihadapi pemerintah Indonesia karena sebagian dana dipakai untuk
kebutuhan mempertahankan republik. Meski demikian pemerintah tetap berupaya membuat sekolah dan
di sinilah peran sekolah-sekolah tetap membantu pemerintah dalam menyelenggarakan sekolah.
Sementara pemerintah masih berjibaku menemukan sistem serta formula yang cocok bagi sekolah yang
akan dibangu.
➢ Pembebasan harus dilakukan lewat pendidikan dan pendidikan yang harus digunakan adalah pendidikan
yang membebaskan. Pendidikan yang membebaskan merupakan proses pendidik mengkondisikan siswa
untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis.
➢ Pada masa jabatan Mr. Suwandi, dibentuk Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang
bertugas untuk meneliti dan merumuskan masalah pengajaran setelah Kemerdekaan. Setelah
menyelesaikan tugasnya, panitia ini menyampaikan saran-saran kepada pemerintah. Kemudian,
disusunlah dasar struktur dan sistem pendidikan di Indonesia. Tujuan umum pendidikan di Indonesia
merdeka adalah mendidik anak-anak menjadi warga negara yang berguna, yang diharapkan kelak dapat
memberikan pengetahuannya kepada negara. Dengan kata lain, tujuan pendidikan pada masa itu lebih
menekankan pada penanaman semangat patriotism.
➢ Pendidikan pada awal Kemerdekaan terbagi atas 4 tingkatan, yaitu: pendidikan rendah, pendidikan
menengah pertama, pendidikan menengah atas, dan pendidikan tinggi. Pada akhir tahun 1949, tercatat
sejumlah 24.775 buah sekolah rendah di seluruh Indonesia. Untuk pendidikan tinggi, sudah ada sekolah
tinggi dan akademi di beberapa kota seperti Jakarta, Klaten, Solo dan Yogyakarta. Selain itu, ada pula
universitas seperti Universitas Gajah Mada.

3. Hubungan antara manusia dan kebudayaan yaitu manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang
tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan
kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari
dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Kebudayaan berasal dari kata budaya
yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Definisi Kebudyaan itu sendiri adalah sesuatu
yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat
kita nikmati dengan panca indera kita. Lagu, tari, dan bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat
kita rasakan. Secara sederhana hubungan antara manusia dengan kebudayaan ketika manusia sebagai perilaku
kebudayaan,dan kebudayaan tersebut merupakan objek yang dilaksanakan sehari-hari oleh manusia. Di dunia
sosiologi manusia dengan kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal,maksudnya walaupun keduanya berbeda tetapi
merupakan satu kesatuan yang butuh,ketika manusia menciptakan kebudayaan,dan kebudayaan itu tercipta oleh
manusia. Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tak bisa dipisahkan dalam kehidupan ini.
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan
melestarikannya secara turun menurun. Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian
yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.Definisi Kebudyaan itu sendiri adalah sesuatu yang akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Namun kebudayaan juga dapat kita nikmati dengan panca
indera kita. Lagu, tari, dan bahasa merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat kita rasakan.
Manusia dan kebudayaan pada hakekatnya memiliki hubungan yang sangat erat, dan hampir semua tindakan dari
seorang manusia itu adalah merupakan kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan
yaitu sebagai:
1) penganut kebudayaan
2) pembawa kebudayaan
3) manipulator kebudayaan, dan
4) pencipta kebudayaan
Contoh-Contoh Hubungan Antara Manusia dengan Kebudayaan
1) Kebudayaan-kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan
Contoh: Adat-istiadat melamar di Lampung dan Minangkabau. Di Minangkabau biasanya pihak
permpuan yang melamar sedangkan di Lampung, pihak laki-laki yang melamar.
2) Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda ( urban dan rural ways of life)
Contoh: Perbedaan anak yang dibesarkan di kota dengan seorang anak yang dibesarkan di desa. Anak
kota bersikap lebih terbuka dan berani untuk menonjolkan diri di antara teman-temannya sedangkan
seorang anak desa lebih mempunyai sikap percaya pada diri sendiri dan sikap menilai ( sense of value )
3) Kebudayaan-kebudayaan khusus kelas social
Di masyarakat dapat dijumpai lapisan sosial yang kita kenal, ada lapisan sosial tinggi, rendah dan
menengah. Misalnya cara berpakaian, etiket, pergaulan, bahasa sehari-hari dan cara mengisi waktu
senggang. Masing-masing kelas mempunyai kebudayaan yang tidak sama, menghasilkan kepribadian
yang tersendiri pula pada setiap individu.
4) Kebudayaan khusus atas dasar agama
Adanya berbagai masalah di dalam satu agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda-beda di
kalangan umatnya.
5) Kebudayaan berdasarkan profesiMisalnya: kepribadian seorang dokter berbeda dengan kepribadian
seorang pengacara dan itu semua berpengaruh pada suasana kekeluargaan dan cara mereka bergaul.
Contoh lain seorang militer mempunyai kepribadian yang sangat erat hubungan dengan tugas-tugasnya.
Keluarganya juga sudah biasa berpindah tempat tinggal.
Kebudayaan mengatur supaya manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat menentukan
sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Setiap orang bagaimanapun hidupnya, akan selalu
menciptakan kebiasaan bagi dirinya sendiri. Kebiasaan (habit) merupakan suatu perilaku pribadi yang berarti
kebiasaan orang seorang itu berbeda dari kebiasaan orang lain, walaupun mereka hidup dalam satu rumah.
Kebiasaan menunjuk pada suatu gejala bahwa seseorang di dalam tindakan-tindakannya selalu ingin melakukan
hal-hal yang teratur baginya. Akal budi merupakan kelebihan yang dimiliki oleh manusia. Akal juga adalah
kemampuan dari manusia untuk berfikir sebagai kodrat. Budi artinya akal juga atau suatu bagian dari kata hati
manusia yang berupa panduan akal serta perasaan yang mampu membedakan baik dan buruk. Dengan akal dan
budi inilah manusia mampu menciptakan bebagai hal antara lain :
✓ Menciptakan
✓ Kreasi
✓ Memperlakukan
✓ Memperbaruhi
✓ Memperbaiki
✓ Mengembangkan dan
✓ Meningkatkan sesuatu
Manusia sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. Begitupun sebaliknya. Manusia yang membuat kebudayaan.
Dan hampir setiap tingkah laku manusia itu adalah kebudayaan. Dalam sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai
sebagai dwitunggal. Maksudnya adalah walaupun keduanya berbeda, tetapi keduanya merupakan suatu kesatuan.
Manusia menciptakan kebudayaan, dan setelah kebudayaan itu tercipta maka kebudayaan mengatur hidup
manusia agar sesuai dengannya. Kebudayaan yang digunakan manusia dalam menyelesaikan masalah-
masalahnya bisa kita sebut sebagai way of life, yang digunakan individu sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
Dari sisi lain, hubungan antara manusia dan kebudayaan ini dapat dipandang setara dengan hubungan antara
manusia dengan masyarakat dinyatakan sebagai dialegtis, maksudnya adalah saling terkait satu dengan yang
lainnya. Proses dialegtis ini tercipta melalui tiga tahap, yaitu:
a. Eksternalisasi, yaitu proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya.
b. Obyektivasi, yaitu proses dimana manusia menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah
dari manusia dan berhadapan dengan manusia.
c. Internalisasi, yaitu proses dimana manusia sergap kembali oleh manusia. Maksudnya bahwa manusia
mempelajari kembali masyarakatnya sendiri agar dia dapat hidup dengan baik, sehingga manusia menjadi
kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat.

4. Proses pembudayaan yang terjadi di kota Palembang yaitu


Kota Palembang, merupakan salah satu kota tertua di Indonesia yang secara historis memiliki hubungan dengan
Cina dan Arab. Terutama sekali pada masa Kerajaan Sriwijaya dan Kesultanan Palembang. Kerajaan
Sriwijaya merupakan pusat pendidikan Agama Budha, sedangkan Kesultanan Palembang erat sekali dengan
Islam. Pengaruh dua unsur tersebut paling kentara terlihat pada sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya dan
Kesultanan Palembang. Integrasi nasional di Kota Palembang, dapat dilihat dari berbagai hasil kebudayaan
masyarakatnya diantaranya Bukit Siguntang, Motif Songket, Masjid Agung, Kampung Arab Al Munawar,
dan Kampung Kapiten, Bukit Siguntang merupakan identitas penting bagi masyarakat Kota Palembang
pada umumnya, dan Melayu pada khususnya. Di Bukit Siguntang inilahditemukan berbagai arca Budha,
manik-manik, lempengan emas dan lainnya. Penemuan arkeologis tersebut menandakan bahwa Bukit
Siguntang merupakan tempat yang sakral.Bukit ini memiliki sejarah panjang dan istimewa, sehingga pantas
dijadikan sebagai perwujudan identitas nasional. Perpaduan antara budaya lokal dengan Cina dan Arab pada
masyarakat Palembang merupakan hasil dari proses akulturasi dan asimilasi kebudayaan. Proses ini yang
disebut assimilation incorporation atau cultural autonomy, yang menghasilkan kebudayaan yang harmoni
sebagai ciri khas kelokalitasan. Ciri khas tersebut merupakan identitas nasional Bangsa Indonesia, yang
dapat dijadikan penanda dan pengingat, bahwa corak ragam budaya sangat berpotensi besar meningkatkan
kesadaran sebagai satu bangsa. Bhineka Tunggal Ika, seperti yang dinyatakan upaya membangun kesadaran
terhadap adanya kearifan lokal sebagai sebuah realitas budaya, yang juga berfungsi dalam memposisikan
identitas budaya, bagi masyarakat tertentu sebagai pencirinya, pada akhirnya harus menjadi spirit yang
tidak boleh diabaikan dalam konteks menjaga nilai-nilai kebangsaan agar tidak pudar dan agar nilai-nilai itu
tetap dihayati dalam situasi apapun, maka menjadi suatu keniscayaan untuk selalu menjaga identitas budaya
lokal yang beragam dalam konteks eksistensi perwujudan integrasi nasional. Integrasi nasional pada
masyarakat Kota Palembang yang terbentuk dari berbagai proses akulturasi dan asimilasi dari berbagai
kebudayaan mulai dari zaman sriwijaya sampai kepada masa kesultanan darussalam. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan beberapa tahapan yaitu pengumpulan data, pengujian data, analisis data dan laporan
penulisan penelitian. Pengumpulan data penelitian ini meliputi studi kepustakaan yang berhubungan dengan
Integrasi Nasional,.
➢ Kulturasi Budaya Melayu, Tionghoa, dan Timur Tengah di Palembang
Kota Palembang kian unik karena menjadi wadah akulturasi budaya Melayu, Tionghoa, dan Timur Tengah.
Meskipun tidak langsung berbatasan dengan laut, aliran-aliran sungai di kota ini mempermudah kapal para
pedagang untuk masuk hingga ke kaki pegunungan. Selain aktivitas perdagangan, para pedagang yang
berasal dari Tiongkok dan Timur Tengah berbaur dengan masyarakat lokal sehingga menyebabkan akulturasi
budaya. Masyarakat lokal Palembang awalnya merupakan penduduk yang tinggal di sekitar Sungai Melayu
dan lama-kelamaan dikenal dengan sebutan penduduk Melayu. Akulturasi budaya Melayu, Tionghoa, dan
Timur Tengah tampak jelas pada arsitektur bangunan, kesenian, makanan khas, dan adat istiadat Palembang
lainnya. Keunikan ini membuat Palembang memiliki nuansa istimewa dibandingkan kota-kota lain di tanah
air.
➢ Akulturasi Melayu dan Jawa
Budaya Palembang terpengaruh oleh budaya Melayu, Jawa, Tionghoa dan Arab. Bahasa sehari-hari yang
dipakai di kota Palembang disebut baso Palembang atau baso sari-sari. Bahasa ini mengandung unsur kata
bahasa Melayu dialek o seperti apo, cakmano, kemano,siapo dengan unsur kata bahasa Jawa
seperti lawang, wong, banyu dan lain-lain. Atap rumah limas rumah adat Palembang hampir mirip dengan
rumah joglo di Jawa Tengah. Pakaian pengantin Palembang model aesan gede merupakan percampuran
budaya Melayu, Cina dan Jawa. Di Palembang ada juga wayang kulit yang mirip dengan wayang di Jawa.
Baju aesan gedeRumah LimasWayang kulit Palembang. Budaya Palembang dimulai sejak kerajaan Sriwijaya
kerajaan maritim terbesar di nusantara yang mengalami puncak kejayaan pada abad 7 Masehi saat masa
pemerintahan raja Balaputeradewa. Saat itu Palembang merupakan pusat penyebaran agama Buddha di Asia
Tenggara. Sriwijaya juga berperan menyebarkan bahasa Melayu ke seluruh daerah jajahannya di nusantara,
Malaysia dan Thailand selatan. Kemudian Sriwijaya mulai berkurang pengaruhnya pada abad ke-11 karena
diserang kerajaan Cola dari India lalu akhirnya meredup. Nama Palembang muncul lagi ketika mulai
berdirinya kesultanan Palembang Darussalam pada abad 15 saat Islam mulai menyebar di Nusantara.
Kesultanan Palembang Darussalam didirikan oleh sekelompok orang dari Kesultanan Demak Jawa Tengah
yang kalah berperang dengan kesultanan Mataram Islam. Mereka dipimpin oleh Ki Gede Sido ing Lautan.
Ki Gede Sido ing Lautan sendiri masih mempunyai darah Palembang. Saat itu di Palembang dipimpin oleh
sekelompok pemimpin dari etnis Melayu. Singkatnya tanpa pertumpahan darah Ki Gede Sido ing
Lautan berhasil melakukan pendekatan dengan para pemimpin etnis Melayu dan menjadi sultan pertama
Kesultanan Palembang. Pada saat itu di lingkungan internal kerajaan dipakai bahasa Jawa sebagai bahasa
resmi. Lambat laun hubungan interaksi antara pihak kerajaan yang berasal dari Jawa dengan masyarakat
Palembang yang berbahasa Melayu membentuk sebuah bahasa baru yang sekarang dikenal sebagai bahasa
Palembang / bahaso Plembang. Bahasa Palembang mengawinkan kosakata dari bahasa Melayu Palembang
(dialek o) dengan bahasa Jawa. Bahaso Plembang juga mengenal baso alus/kramo (bahasa halus) dan baso
sari-sari (sehari-hari). Selain bahasa, hubungan antara etnis Jawa dan Melayu akhirnya melahirkan sebuah
budaya baru yang dikenal dengan budaya Palembang. Kesultanan Palembang Darussalam mencapai puncak
kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II pada awal abad ke-19. Pada masanya
dibangun Masjid Agung Palembang dan Benteng Kuto Besak. Setelah Sultan Mahmud Badaruddin II
mangkat, kesultanan mengalami kemunduran dan akhirnya kesultanan Palembang Darussalam dibubarkan
oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1823. Dewasa ini beberapa budaya Palembang terancam punah
diantaranya bahaso alus Palembang dan wayang kulit karena sedikitnya pemakai bahaso alus dan dalang
wayang kulit Palembang hanya tersisa satu orang.

5. Yang membedakan Moci sebagai binatang dan Bunga sebagai manusia yang dihubungkan dengan
kebudayaan adalah hasil belajar yaitu manusia pada hakekatnya mempunyai jiwa, sedangkan binatang hanya
memiliki pernafasan, rasa, indra dan naluri saja. Oleh karena jiwa yang menyebabkan adanya kebudayaan, sedang
yang memiliki jiwa hanya manusia, binatang tidak, maka dengan sendirinya dapat ditarik satu kesimpulan bahwa
manusialah yang berkebudayaan. Sebaliknya, karena binatang tidak mempunyai jiwa, maka sudah barang tentu
tidak berkebudayaan. Manusia sebagai pribadi mempunyai jiwa, tetapi juga golongan manusia dalam bentuk
kesatuan sosial, mempunyai jiwa sendiri jiwa sendiri-sendiri pula. Jadi, disamping adanya perbedaan jiwa diantara
pribadi-pribadi dalam suatu golongan, terdapat pula perasaan kejiwaan di antara mereka yang dinamakan jiwa
golongan. Jiwa golongan ini ada yang berbentuk kelompok, suku dan bangsa atau nation, dan lain-lain.
Demikianlah, jiwa (atau pikiran, rasa dan kemauan) suatu golongan manusia atau bangsa berbeda dengan jiwa
golongan bangsa lain. Perbedaan jiwa menyebabkan perbedaan cara berpikir dan merasa serta berkemauan, pada
hal berpikir, merasa dan berkemauan itulah yang melahirkan kebudayaan. Manusia dengan kemampuan akalnya
atau budinya, telah mengembangkan berbagai macam sistem tindakan demi keperluan hidupnya, sehingga menjadi
makhluk yang paling berkuasa di muka bumi ini. Berbagai sistem tindakan tersebut harus dibiasakan oleh manusia
dalam hidup dengan cara belajar sejak ia lahir sampai saat ia nati, karena kemampuan manusia untuk melaksanakan
'semua sistem tindakan tersebut tidak dibawa sejak lahir . Jadi nanusia hanya mampu melaksanakan semuanya itu
dengan belajar. Dapat dilihat bahwa belajar nerupakan aspek yang sangat penting dalam kebudayaan

Anda mungkin juga menyukai