A. Masa Penjajahan
Pendidikan adalah hak setiap manusia untuk meningkatkan harkat dan
martabatnya sehari-hari. Dalam menyelenggarakan pendidikan itu sendiri banyak faktor
yang memengaruhinmya baik faktor internal maupun eksternal pada sistem pendidikan.
Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah suatu hasil perencanaan menyeluruh
melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan di dorong oleh kebutuhan
praktis perkembangan zaman. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari pedidikan yang
ditempuh oleh rakyatnya, bagaimana sejarah pendidikan di masa lampau dapat
melahirkan cendekiawan yang menggagas dasar kebangsaan dan nasionalisme Indonesia.
Begitu pula dengan masa itu, Indonesia yang mengalami perkembangan dari masa klasik
hingga sekarang melalui proses perkembangan dalam pendidikannya (Rifa’i, 2011).
Sebab, pemerintah kolonial antara 1875 dan 1900 dua ratus lima puluh juta gulden telah
dihabiskan untuk pembangunan rel kereta api, pelabuhan, dan irigasi (Furnivall, 1944:
211; Penders, 1968: 32).
Para tokoh-tokoh besar juga merupakan lulusan lembaga pendidikan dengan
sistem pendidikan Barat. Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan yang mendasar dari suatu
bangsa untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa itu sendiri. Pendidikan pada abad
ke-20 merupakan kelanjutan dari abad sebelumnya dengan perkembangannya yang
sangat pesat mengalami kemajuan terutama memenuhi kebutuhan tenaga ahli dan
terampil. Pendidikan pada masa itu didasarkan pada golongan penduduk menurut
keturunan atau lapisan kelas sosial dan golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.
Ada banyak perbedaan pelayanan anak-anak bumiputera/pribumi dengan anak-anak
Belanda/Eropa yang berkaitan dengan status mereka. Terjadinya perubahan kebijakan
pendidikan di Indonesia dengan kebijakan politik menjalankan watak kolonialisme di
Indonesia. Pendidikan pertama kalinya dikaitkan dengan bagaimana mengukuhkan
kekuasaannya. Banyak sekolah yang mulai berdiri di abad ke-20 munculnya
sekolahsekolah swasta dan para kaum cendekiawan sehingga memunculkan organisasi
modern di masa pergerakan nasional (1908-1942). Dengan demikian, pendidikan gaya
Barat telah mampu melemahkan pamor priyayi tradisional, tetapi telah memunculkan
kelas baru orang Indonesia yang memiliki kesadaran politik yang telah menggunakan
bentuk baru yang dipersiapkan untuk reformasi politik, mengambil peran utama dalam
agitasi radikal, baik di kota maupun di desa. Program Politik Etis yang berupaya
mengembangkan pendidikan Barat untuk bumiputera/pribumi, tetapi dalam kenyataannya
program tersebut telah menanamkan kesadaran nasionalisme untuk mengambil alih
sistem yang akan dikembangkan sesuai dengan sistem yang telah lama ada berkembang
berpengaruh dalam sistem pendidikan adat. Di sisi lain, kenyataan ini telah
membangkitkan keinginan untuk meningkatkan martabat bangsa yang dicari oleh
organisasi modern masa itu (Sumarno, Aji, & Hermawan, 2019: 372). Tujuan dari
penelitian ini adalah memahami berbagai macam perkembangan dan pelaksanaan
pendidikan di zaman kolonial Belanda di Indonesia abad 19-20.
Akhirnya, ada kesenjangan yang cukup besar dalam pendaftaran etnis dan
tingkat melek huruf. Tentu saja, sebagian besar anakanak Belanda dan sebagian besar
anak-anak Indo-Eropa terdaftar di sekolah-sekolah orang Eropa, di mana mereka
diajarkan kurikulum sekolah dasar Belanda standar. Tetapi ada juga kesenjangan
yang cukup besar antara Cina dan Indonesia. Kesenjangan ini terlihat jauh lebih jelas
dalam tingkat melek huruf daripada dalam tingkat pendaftaran sekolah yang tercatat
secara resmi (Frankema, 2014: 5). Ini mungkin menunjuk pada peran penting untuk
pendidikan rumah di kalangan orang Cina, yang akan sesuai dengan kenyataan bahwa
orang Cina adalah yang pertama memberikan tekanan pada otoritas kolonial untuk
mendukung perluasan sekolah-sekolah Cina ke seluruh daerah seperti di Kota
Malang, Yogyakarta, Singkawang, Makassar, Pasuruan, dan lain-lain.
Penilaian pada masa kolonial hampir mirip seperti sekarang ini. Walaupun
instrumennya belum beragam seperti saat ini. Angka yang digunakan untuk apresiasi
hasil yang diperoleh adalah dari 0-10. Instrumen tes tetap merupakan alat evaluasi
yang utama. Dapat dikatakan hanya pemberian tugas yang merupakan alat evaluasi
tambahan. Memang keadaan ini pun tidak berbeda dengan prinsipil dengan alat
evaluasi yang digunakan guru sekarang. Walaupun demikian guru belum mengenal
bentuk tes obyektif. Bentuk soal yang digunakan masih berupa uraian (esai). Bentuk
ini digunakan sampai pasca Indonesia merdeka dan terus digunakan tanpa ada
perubahan dalam bentuk sampai nantinya digunakan bentuk tes obyektif. Pendidikan
kolonial untuk golongan bangsawan serta penguasa tidak diragukan lagi mutunya.
Para pemimpin nasional diberi kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah-
sekolah kolonial bahkan beberapa mahasiswa yang dapat melanjutkan ke universitas
terkenal di Eropa. Dalam sejarah pendidikan Indonesia dapat dikatakan bahwa
intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan orang Eropa, Timur Asing, dan
IndoEropa. Masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pada waktu itu adalah
kekurangan kesempatan yang sama yang diberikan kepada semua anak bangsa.
Bangsa ini tidak diberikan ruang yang lebar guna membaca dan mengamati
banyak realitas pahit kemiskinan yang sedemikian membumi di bumi pertiwi. Dalam
pendidikan kolonialis, pendidikan bagi bangsa ini bertujuan membutakan bangsa ini
terhadap eksistensi dirinya sebagai bangsa yang seharusnya dan sejatinya wajib
dimerdekakan. Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang
sedemikian mungkin mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh
penjajah pula, bukan lagi untuk memanusiakan manusia sebagaimana dengan konsep
pendidikan yang ideal itu sendiri. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada
pembentukan dan pendidikan anak muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah
airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan normanorma
masyarakat penjajah agar dapat di transfer oleh penduduk pribumi dan menggiring
penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintah kolonial (Kartono, 1997: 49-50).
Selain itu, agar penduduk pribumi menjadi pengikut negara yang patuh pada penjajah,
bodoh, dan mudah ditundukkan serta dieksploitasi, tidak memberontak, dan tidak
menuntut kemerdekaan bangsanya.
Dari segi penilaian yang digunakan pada zaman kolonial hampir sama dengan
saat ini meskipun dalam instrumennya belum beragam, tapi penilaian menggunakan
angka 0-10 sama seperti saat ini. Setidaknya berkat adanya sekolah-sekolah tersebut
banyak bermunculan tokoh-tokoh pahlawan yang terdidik (cendekiawan), seperti Ki
Hadjar Dewantara, Soekarno, M. Hatta, Sutan Sjahrir, dr. Radjiman Wediodiningrat, dr.
Tjipto Mangoenkoesoemo, dan lain-lain. Pendidikan kolonial untuk bangsawan pribumi
juga tidak diragukan lagi bahkan banyak diantarannya yang melanjutkan ke universitas
terkenal di Eropa. Mereka tentu saja dipimpin oleh prinsip-prinsip non-asimilasi, tetapi
konsepkonsep mereka tidak banyak berpengaruh langsung pada kebijakan pemerintah
kolonial Belanda. Memang saat zaman kolonial Belanda, pendidikan hanya dipusatkan
untuk membantu dan semuannya untuk kepentingan penjajah terutama dalam pemenuhan
kebutuhan tenaga ahli dan terampil. Namun, dalam sejarah pendidikan dapat dikatakan
bahwa intelegensi bangsa Indonesia tidak kalah dengan penjajah karena banyak
bermunculan tokoh-tokoh bangsa yang berpendidikan Barat membentuk organisasi
sosiopolitik dan budaya modern dengan strategi kooperatif maupun nonkooperatif.
B. Masa Kemerdekaan
Didalam UUD 1945, dengan jelas dinyatakan bahwa setiap Warga Negara
berhak untuk mendapatkan Pendidikan, adalah tugas pemerintah untuk
mencerdaskan kehidupan rakyat, artinya ialah memberikan kesempatan kepada
semua waraga Negara untuk memperoleh Pendidikan. (Tilaar, 2002 :69)
Pendidikan Nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan undang-
Undang Dasar Negara Indonesia 1945 yang berakar pada nilai-nilai Agama,
Kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Sejarah pendidikan Indonesia zaman kemerdekaan berawal dari Proklamasi
Kemerdekaan, dimana Proklamasi Kemerdekaan menimbulkan hidup baru
disegala bidangkhususnya di bidang Pendidikan.
Salah satu hasil panitia penyelidik pengajaran pada waktu itu adalah
memberikan perumusan tentang tujuan pendidikan nasional. Hasil rumusannya adalah
bahwa pendidikan bertujuan mendidik Warga Negara yang sejati, bersedia
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat. Dengan kata lain,
tujuan pendidikan pada masa tersebut menekankan pada pemahaman semangat dan
jiwa kepahlawanan (patriotisme). Sifat warga negara sejati yang dikehendaki oleh
tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan oleh menteri Kementerian Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan. Kemudian pada tahun 1946 rumusan tersebut
dituangkan ke dalam suatu pedoman bagi guru-guru yang memuat sifat-sifat
kemanusiaan dan kewarganegaraan yang pada dasarnya berintikan Pancasila, yaitu:
Bambang Yudhoyono, UU No. 20/2003 masih tetap berlaku, namun pada masa
SBY juga ditetapkan UU RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Penetapan
Undang – undang tersebut disusul dengan pergantian kurikulum KBK menjadi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini berasaskan pada PP
No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. KTSP merupakan kurikum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing – masing satuan pendidikan.
KTSP terdiri dari tujuan pendidikan, tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan
kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan serta silabus (BSNP, 2006:
2). KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan pesrta didik
serta lingkungan.
2. Beragam dan terpadu.
3. Tanggapan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan.
6. Belajar sepanjang hayat.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Pendidikan pada zaman reformasi mengalami suatu perkembangan yang pada
dasarnya lebih maju daripada pendidikan pada zaman orde baru. Pendidikan pada
zaman reformasi mengutamakan pada perkembangan peserta didik yang lebih
terfokus pada pengelolaan masing – masing daerah (otonomi pendidikan). Dalam hal
tenaga kependidikan diberlakukan suatu kualifikasi profesional untuk lebih
meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Sedangkan sarana dan prasarana juga
sudah mengalami suatu peningkatan yang baik. Namun daripada hal tersebut
pendidikan yang ada di Indonesia masih belum mengalami suatu pemerataan. Ini
terlihat dari adanya beberapa sekolah –sekolah terutama di daerah pedalaman masih
terdapat keterbatasan dalam berbagai aspek penyelenggaraannya. Dinamika sosial
politik Indonesia yang juga berdampak pada perubahan kurikulum merupakan suatu
bentuk penyempurnaan dalam bidang pendidikan untuk meningkatan mutu
pendidikan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: PSNP
Eisenstadt, S. N. 1986. Revolusi dan transformasi masyarakat, (terj.) Candra Johan Jakarta: CV.
Rajawali.
Hadiatmadja, R.A. Soepardi., dkk., 2000. Pedidikan sejarah perjuangan PGRI (PSPPGRI), Jilid
II, III, IV, V. Semarang : IKIP PGRI
Kahin, George Mc. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Nin Bakdi Somenato
(Penterj.), Jakarta – Sinar Harapan & Sebelas Maret University Press.
Kartodirdjo, Sartono.. dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kosasih, A. (2016). PERJUANGAN ORGANISASI GURU DI MASA REVOLUSI. Jakarta:
Universitas Indraprasta.
Poerbakawatja, Soegarda. 1970. Pendidikan dalam Indonesia merdeka. Jakarta: Gunung Agung
Ricklefs, M. C. 2001. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Salim, Agus dkk. 2007. Indonesia Belajarlah!: Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Said, Muh. dan Junima Affan, 1987. Mendidik dari zaman ke zaman, Bandung: Jemmars,.
Sjamsuddin, Helius. 1993. Sejarah pendidikan di Indonesia zaman kemerdekaan (1945- 1950).
Depdikbud. Jakarta
Soearni, Eddy. 2003. Pengembangan Tenaga Kependidikan pada Awal Era Reformasi (1998-
2001) dalam “Guru di Indonesia, Pendidikan, Pelatihan dan Perjuangan Sejak Jaman
Kolonial Hingga Era Reformasi”. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI, Dirjen
Dikdasmen, Direktorat Tenaga Kependidikan
Sultani, Z. I. (2020). PERKEMBANGAN DAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN ZAMAN
KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA ABAD 19-20. Malang: Universitas Negeri
Malang.
Sumarsono, Moestoko.1986. Pendidikan Indonesia dari jaman ke jaman. Balai Pustaka: Jakarta
Sukardjo & Ukim Komarudin. 2009. Landasan Kependidikan Konsep dan Aplikasinya. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Sumarno, R.N. Bayu Aji, & Eko Satriya Hermawan. 2019. Ethical Politics and Educated Elites
in Indonesian National Movement. Advances in Social Science, Education and
Humanities Research, Vol. 383: 369- 373.
Suratminto, Lilie. 2013. Educational Policy in The Colonial Era. Historia: International Journal
of History Education, Vol. XIV, No. 1 (June 2013): 77-84.
Suyanto & Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium
III. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Tilaar, H.A.R., 2002. Pendidikan untuk masyarakat Indonesia. Jakarta – PT Gramedia Yunus.,
2003. PGRI dari masa ke masa. Jakarta: PGRI YPLP.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2003. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Zidah, A. (2021). Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Era Reformasi di Indonesia .
Malang: Universitas Negeri Malang.