Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN

PERKEMBANGAN SISTEM DAN LEMBAGA PENDIDIKAN ZAMAN


INDONESIA MERDEKA

Dosen Pembimbing :

1. Dr. Siti Fatimah, M.Pd, M.Hum


2. Elfa Michellia Karima, M. Pd

Disusun oleh kelompok 3:

1. Jeni Ahmana 19046025


2. Dwi Rahayu Septiani 19046080
3. Kholifaturahmah 19046090
4. Melisa Aprilia Putri 19046180
5. Gino Alvides 17046104
6. Nadila Efendi 19046106
7. Febi Gustia 19046021
8. Rizky Putra 19046053
9. Gita Fitri Komala Desi 19046086

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, nikmat,
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang jauh dari kata sempurna.Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Semoga makalah ini menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca serta
dapat menambah pemahaman pembaca.Penulis mengakui makalah ini masih jauh dari kata
sempurna.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini, sehingga
penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini agar kedepannya dapat lebih baik.

Padang, Maret 2021

penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul..........................................................................................................

Kata Pengantar..........................................................................................................

Daftar Isi...................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................................
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Warisan Zaman Kolonial Tahun 1950-an................................................................


B. Lahirnya Konsep Pendidikan Nasional...................................................................
C. Sekolah-Sekolah Swasta..........................................................................................
D. Pendidikan Profesi ( Kedinasan )............................................................................
E. Isue-isue dalam masalah pendidikan tahun 1950an-1960an...................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah kolonial Belanda memiliki kebutuhan akan pengadaan tenaga,


baik dibidang administrasi maupun teknik kejuruan. Pemerintah kolonial berusaha
memenuhi kebutuhan dengan mendirikan sekolah-sekolah. Mula-mula mendirikan
sekolah rendah, selanjutnya didirikan sekolah menengah dan sekolah tinggi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Warisan zaman kolonial tahun 1950-an ?
2. Bagaimana lahirnya konsep pendidikan nasional (karakteristik dan
implementasinya) ?
3. Bagaimana sekolah-sekolah swasta ?
4. Bagaimana pendidikan profesi (kedinasan) ?
5. Bagaimana Isu-isu dalam Masalah Pendidikan tahum 1950an/1960-an ?

C. Tujuan

1. Memahami Warisan zaman kolonial tahun 1950-an


2. Memahami lahirnya konsep pendidikan nasional (karakteristik dan
implementasinya)
3. Memahami sekolah-sekolah swasta
4. Memahami pendidikan profesi (kedinasan)
5. Memahami Isu-isu dalam Masalah Pendidikan tahum 1950an/1960-an
BAB II

PEMBAHASAN

A.Warisan zaman kolonial tahun 1950-an

1. Pendidikan Zaman Pergerakan

Pemerintah kolonial Belanda memiliki kebutuhan akan pengadaan tenaga, baik dibidang
administrasi maupun teknik kejuruan. Pemerintah kolonial berusaha memenuhi kebutuhan
dengan mendirikan sekolah-sekolah. Mula-mula mendirikan sekolah rendah, selanjutnya
didirikan sekolah menengah dan sekolah tinggi.

Pada masa itu kesempatan mendapatkan pendidikan di sekolah merupakan hal yang langka,
apalagi sekolah dengan sistem Belanda dan memakai pengantar bahasa Belanda. Karena jenis
sekolah ini memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah . Oleh karena itu sistem
penerimaan murid pada tipe sekolah ini didasarkan atas tolok ukur tertentu, antara lain status
pegawai orang tua, serta gaji tertentu. Diskriminasi lebih jelas terlihat dalam penerimaan
murid di sekolah Eropa. Dalam sudut pandang sosiologis jelas bahwa sistem sekolah yang
ada di tanah air, mengandung dualisme di satu pihak dan diskriminasi di pihak lain (Sartono,
1990:76-77).

Di kalangan masyarakat pribumi, penggunaan bahasa Belanda masih terikat adat istiadat,
khususnya di kalangan pangreh praja. Akibat sistem pengajaran yang berwajah ganda itu,
masyarakat mengalami stratifikasi, sehingga sulit diharapkan adanya integrasi masyarakat.
Lapangan kerja bagi kaum terpelajar pribumi terbatas oleh karena adanya diskriminasi di
berbagai bidang pekerjaan, baik itu sektor pemerintah maupun swasta.

Ketidak seimbangan antara jumlah lembaga sekolah dengan permintaan pasar kebutuhan
sekolah, diatasi dengan pendirian lembaga-lembaga sekolah swasta, antara lain yang dibuka
oleh Zending, Misionaris, Muhammadiyah, Taman Siswa, Kayu Tanam dan beberapa
organisasi lain. Terhadap sekolah semacam itu pemerintah Belanda memberikan pengawasan
yang sangat ketat serta melakukan klasifikasi berdasarkan persyaratan tertentu. Ada sekolah
yang diberikan subsidi serta ada sekolah yang dipersamakan, dan sekolah yang diakui.
Lembaga sekolah lain masuk dalam kategori sekolah liar. Sekolah-sekolah model terakhir ini
mempunyai keleluasaan dalam menerima murid, yaitu tidak terlalu ketat dalam menerapkan
kriteria yang terbuka untuk mobilitas vertikal golongan pribumi.

Perkembangan bidang pengajaran, terjadi pada dua dasa warsa pertama abad ke-20 ketika
didirikan Sekolah Tinggi pertama. Pada tahun 1922 didirikan Technische Hoge School (THS)
di Bandung, menyusul kemudian Sekolah Tinggi Kedokteran Geneeskundige Hoge School
(GHS) pada tahun 1927 di Jakarta dan Pendidikan Tinggi Hukum disebut Rechts Hoge
School (RHS) pada tahun 1924 juga di Jakarta. Pada tahun 1941 dibuka Landbouw Hoge
School dan pada tahun 1940 didirikan Faculteit der Letteren di Jakarta juga. Dengan
berdirinya banyak perguruan tinggi di tanah air, maka pengajaran diusahakan mengikuti
kurikulum yang dikembangkan di negeri Belanda, sehingga dengan sistem persamaan dapat
meneruskan pelajarannya sampai ke negeri Belanda. sehingga pada awal abad ke-20,
kemudian banyak dilakukan pengiriman mahasiswa program pascasarjana di negeri Belanda
untuk bidang-bidang yang lebih luas. Jenis pendidikan formal lain yang ada di tanah air juga
berkembang pesat, dengan didirikannya jenis lembaga pendidikan kejuruan yang cukup
beragam (Agus Salim, 2007:208-211).

Pendidikan di zaman pergerakan nasional, sangat berpengaruh terhadap tumbuhnya


nasionalisme di kalangan kaum muda. Berkenaan dengan hal ini beberapa lembaga
pendidikan yang lahir pada masa pergerakan, di antaranya Sekolah Kartini (Jepara), Taman
Siswa (Yogyakarta), dan Kayu Tanam (Padang). Ada hubungan yang cukup signifikan antara
berdirinya Yayasan Pendidikan Taman Siswa dengan tumbuhnya nasionalisme di Indonesia.

Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswanya, berhasil menggabungkan teori-teori


pendidikan humanis yang sangat modern dengan unsur-unsur tradisional dalam pendidikan di
Jawa. Di Sumatera Barat di kota kecil yang bernama Kayu Tanam di perbukitan Singgalang
(50 km dari Padang menuju Bukit Tinggi), seorang tokoh pendidikan Mohammad Syafei
mendirikan sekolah yang bernama INS (Indinesische Nederlandsche School) pada tahun
1926. Sekolah ini mengajarkan bagaimana seorang anak dapat belajar dan bekerja,
menciptakan kemandirian sikap hidup dan tidak tergantung pada pemerintah kolonial. Pada
masa itu ia telah berusaha untuk menolak sistem pendidikan yang mempersiapkan murid
menjadi buruh atau pegawai kantor pemerintah hindia belanda.

2. Pendidikan di Era Awal Kemerdekaan

Pada masa awal kemerdekaan, pendidikan menjadi sarana mobilitas sosial di kalangan
masyarakat pribumi. Kelompok masyarakat terdidik yang sudah ada sejak zaman Belanda
menjadi kelompok pertama yang menikmati posisi utama dalam struktur masyarakat. Mereka
adalah adalah kelompok pegawai pertama pribumi yang mengisi jabatan birokrasi
pemerintahan di Indonesia (Agus Salim, 2007:217).

Akumulasi masyarakat terdidik pada masa awal kemerdekan kemudian menjadi motor
penggerak perubahan masyarakat. Pendidikan keagamaan yang tadinya mendominasi corak
pendidikan pribumi pada masa sebelum revolusi bersenjata, pada akhirnya pun tampak
bergeser ke arah sekuler. Pendidikan pesantren banyak mengalami kendala. Dalam
perkembangannya satu persatu jenis pesantren yang diasuh ulama yang kurang kuat
kemudian berubah menjelma menjadi pendidikan madrasah yang menerima kurikulum
sekolah umum. Lewat saluran politik, para santri menjalin hubungan dengan pemerintah
republik yang memungkinkan mereka membangun gedung dengan ruang kelas modern dan
asrama untuk para santri. Tetapi model pendidikan pesantren dan madrasah tetap memiliki
identitasnya yang lama, yaitu wadah pendidikan bagi kelompok masyarakat menengah ke
bawah.
3. Pendidikan Zaman Pemerintahan Soekarno

Pada masa pemerintahan Soekarno, upaya pembangunan pendidikan dilakukan dengan


dukungan berbagai lembaga swasta yang didirikan kelompok masyarakat, partai politik,
berbagai aliran ideologi dan agama. Dukungan masyarakat sangat dibutuhkan pada saat itu,
karena pihak pemerintah belum mampu menyediakan sarana pendukung untuk membangun
pendidikan.

Lembaga pendidikan sekolah di awal tahun 1950 sampai tahun 1960-an, mengalami
penurunan kualitas yang cukup signifikan. Banyak tenaga lulusan sekolah yang potensial
tidak lagi tertarik menjadi guru. Mereka terjun ke politik dan birokrat yang lebih menjanjikan
masa depan. Animo untuk memasuki sekolah guru mulai surut. Sekolah guru hanya diminati
keluarga- keluarga dari pedesaan. Jatuhnya nilai mata uang pada saat itu, membuat banyak
tenaga pengajart sering mengabaikan pekerjaan utamanya untuk mencarim hasil tambahan
(Agus Salim, 2007:219).

4. Pendidikan di Zaman Kekuasaan Soeharto

Pada era Orde Baru, pendidikan mengalami perkembangan pesat. Pemerintahan Soeharto
melakukan pembangunan nasional, menempatkan pendidikan dalam skala prioritas utama.
Meskipun anggaran untuk sektor pendidikan masih terbatas, tetapi semangat untuk
melakukan pemerataan kesempatan pendidikan sangat jelas dilakukan. Banyak proyek phisik
dalam bentuk pembangunan gedung sekolah baru lewat Inpres, pengangkatan guru,
pemberian fasilitas laboratorium, dan pemberlakuan kurikulum baru memberikan nuansa
dalam pembangunan pendidikan di tanah air.

Sekolah guru pada masa ini mendapat prioritas pengembangan. Tetapi sekolah pendidikan
guru untuk tingakat dasar dan menengah tidak mendapatkan input yang menggembirakan.
Rerata murid SPG dan Mahasiswa IKIP berasal dari keluarga menengah dan miskin
pedesaan. Mereka hanya memiliki tingkat kecerdasan rata-rata dan bukan anak-anak terbaik
di negeri ini. Anak-anak cerdas dari keluarga menengah atas lebih tertarik untuk bekerja di
sektor ekonomi dan konstruksi yang memiliki peluang dan masa depan yang sangat baik di
banding bila mereka menjadi guru.

Pemerintah Soeharto telah merepresi tumbunya ideologi lain selain Pancasila, terutama
Islam Garis Keras dan Komunisme. Jenis pendidkan pesantren diawasi secara ketat.
Departemen agama mengampu tugas untuk sebanyak mungkin mengajak pesantren menerima
kurikulum sekuler dalam bentuk madrasah-madrasah yang mereka kelola.

Selama pemerintahan Soeharto, kekuatan pendidikan nasional mengalami pergeseran.


Beberapa perubahan antara lain adanya kemerosotan rasa pengabdian di kalangan komunitas
pendidikan sebagai akibat berlakunya “proyek pembangunan” yang mengutamakan target
fisik. Masyarakat juga semakin dikejutkan oleh masalah-masalah pendidikan yang semakin
luas dan membutuhkan perhatian intensif. Masalah-masalah itu seperti, ijasah palsu,
perkelaian pelajar, maraknya pecandu narkoba di kalangan pelajar, komersialisasi bimbingan
belajar, perguruan tinggi liar, pembajakan soal ujian, dan rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia (Agus Salim, 2007:220).

B. Lahirnya Konsep Pendidikan Nasional (Karakteristik dan Implementasinya)

Usai diproklamirkan kemerdekaaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, banyak


perubahan yang terjadi, salah satunya dalam bidang pendidikan. Perubahan-perubahan yang
terjadi dalam bidang pendidikan merupakan perubahan-perubahan yang bersifat mendasar
yaitu menyangkut penyesuaian dengan cita-cita dari suatu bangsa dan negara merdeka.Pada
tanggal 19 Agustus 1945 pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara. Sebagai kebijakan
awal di bidang pendidikan, Ki Hadjar Dewantara mengeluarkan instruksi umum yang berisi
upaya untuk menghilangkan sistem pendidikan kolonial warisan Belanda dan ingin lebih
mengutamakan materi dan semangat patriotisme. Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan dalam (Moestoko, 1986) menyebutkan bahwa pendidikan harus mampu
membangun semangat kebangsaan dan patriotisme. Tidak menutup kemungkinan situasi awal
kemerdekaan masih diselimuti oleh semangat revolusi, sehingga sistem pendidikan nasional
pada saat itu difokuskan pada upaya perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial.

Pada tanggal 29 Desember 1945 Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP) mengusulkan pembaharuan di sektor pendidikan dan pengajaran kepada Kementerian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Terdapat tiga tuntutan pokok-pokok pembaharuan,
yakni (1) paham perseorangan (individualisme) yang hingga kini berlaku haruslah diganti
dengan paham kesusilaan dan perikemanusiaan yang tinggi, (2) sesuai dengan dasar keadilan
sosial semua sekolah harus terbuka untuk tiap penduduk negara termasuk laki-laki atau
perempuan, (3) pengajaran kesehatan dan olah raga hendaklah teratur sehingga membentuk
kecerdasan rakyat yang harmonis (Djojonegoro, 1996).

Atas usul badan pekerja kemudian Menteri Pendidikan dan Pengajaran (Mr.
Soewandi) membuat Surat Keputusan tanggal 1 Maret 1946 No. 104/Bhg.O untuk
membentuk panitia Penyelidik Pengajaran dibawah Ki Hadjar Dewantara dan penulis
Soegarda Purwakawatja.Didalam UUD 1945, dengan jelas dinyatakan bahwa setiap Warga
Negara berhak untuk mendapatkan Pendidikan, adalah tugas pemerintah untuk mencerdaskan
kehidupan rakyat, artinya ialah memberikan kesempatan kepada semua waraga Negara untuk
memperoleh Pendidikan. (Tilaar, 2002 :69).Gunawan (1986) menyebutkan bahwa kurikulum
pada masa itu disebut dengan ‘Rencana Pelajaran 1947’. Rencana pelajaran pada setiap
jenjang pendidikan sekolah memperhatikan beberapa hal, yakni (1) mengurangi materi yang
berfokus pada aspek hafalan, (2) materi pembelajaran berbasis pada kehidupan, (3),
meningkatkan pendidikan watak atau karakter, (4) meningkatkan pendidikan olahraga, dan
(5) meningkatkan kesadaran bela negara.

Dengan itu lahirlah pendidikan nasional, yang mana Pendidikan Nasional merupakan
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945
yang berakar pada nilai-nilai Agama, Kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman. Sejarah pendidikan Indonesia zaman kemerdekaan berawal dari
Proklamasi Kemerdekaan, dimana Proklamasi Kemerdekaan menimbulkan hidup baru
disegala bidangkhususnya di bidang Pendidikan.

Salah satu hasil panitia penyelidik pengajaran pada waktu itu adalah memberikan
perumusan tentang tujuan pendidikan nasional. Hasil rumusannya adalah bahwa pendidikan
bertujuan mendidik Warga Negara yang sejati, bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran
untuk negara dan masyarakat. Dengan kata lain,tujuan pendidikan pada masa tersebut
menekankan pada pemahaman semangat dan jiwa kepahlawanan (patriotisme). Sifat warga
negara sejati yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan oleh
menteri Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Kemudian pada tahun
1946rumusan tersebut dituangkan ke dalam suatu pedoman bagi guru-guru yang memuat
sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan yang pada dasarnya berintikan Pancasila, yaitu:

 Perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa


 Perasaaan cinta kepada alam
 Perasaan cinta kepada Negara
 Perasaan cinta dan hormat kepada Ibu dan Bapak
 Perasaan cinta kepada bangsa dan kebudayaan
 Perasaan berhak dan wajib ikut memajukan Negaranya menurut pembawaan dan
kekuasaannya
 Keyakinan bahwa orang menjadi bagian yang tak terpisah dari keluarga dan
masyarakat.
 Keyakinan bahwa orang yang hidup dalam masyarkat harus tunduk pada tata tertib.
 Keyakinan bahwa pada dasarnya manusia itu sama derajatnya. Sehingga sesama
anggota masyarakat harus saling menghormati,berdasarkan rasa keadilan dengan
berpegang teguh pada harga diri.
 10.Keyakinan bahwa Negara memerlukan warga Negara yang rajin bekerja,
mengetahui kewajiban, jujur dalam pikiran dan tindakan. (Depdikbud, 1996:88).

Tentang tujuan Pendidikan dan Pengajaran diarahkan kepada usaha membimbing


murid-murid agar menjadi warga Negara yang mempunyai rasa tanggung jawab.
(Kartodirdjo,1975 :265).Penanaman semangat patriotisme, sebagai tujuan pendidikan
memang sesuai dengan situasi pada waktu itu. Negara dan bangsa Indonesia sedang
mengalami perjuangan fisik, dan sewaktu-waktu pemerintah kolonialis Belanda masih
berusah untuk menjajah kembali Negara Indonesia. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa
semangat patriotisme sangat ditekankan oleh pemerintah sebagai tujuan nasional pendidikan
di Indonesia. Maka, dengan semangat itu, kemerdekaan dapat dipertahankan dan diisi.
(Depdikbud, 1979 :95-96).

Oleh sebab itu, penanaman jiwa patriotisme lewat pendidikan dianggap amat penting
dan merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru diproklamirkan.Sejalan
dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun
mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patriotisme, melainkan juga
membentuk kualitas manusia yang handal dan warga negara yang demokaratis dan
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah airsebagaimana yang terdapat
dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah.

Adapun kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan pada tahun 1950-an
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat, meningkatkan
pendidikan jasmani, meningkatkan pendidikan watak, menberikan perhatian terhadap
kesenian, dan lain sebagainya. Menyusul meletusnya peristiwa Gestapu yang gagal, maka
melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan
diadakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu “membentuk manusia
Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan
UUD 1945”. Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap,
pendidikan nasional pun terus dikembangkan. Salah satunya dengan memberikan prioritas
pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa.

Prioritas tersebut salah satunya adalah wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
bersamaan dengan peningkatan mutu yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1994. Wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun ini mempunyai dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15
tahun. Kedua, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga mencapai
SLTP. Di samping itu, juga disusun kurikulum 1994 yang diberlakukan secara bertahap mulai
tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994 ini disusun dengan maksud agar proses pendidikan
dapat selalu menyesuaikan diri dengan tantangan yang terus berkembang sehingga mutu
pendidikan akan semakin meningkat.

C. Sekolah-Sekolah Swasta

Adapun susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah
sebagai berikut:

1) Pendidikan Rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut
dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun menjadi 6 tahun.
Maksud pendirian SR ini adalah selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa
sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka yang
hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri
PKK tanggal 19 Nopember 1946 No. 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran
SR dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahwa
dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk
bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk kelas IV, V dan VI.
Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun
1949 di seluruh Indonesia.

a. Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan
guru yaitu:
- Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan guru
untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan SR yang akan lulus
dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran yang diberikan bersifat umum
untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan keguruan baru diberikan di kelas
IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan sekolah SMP, SPG
dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru dan
diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat kekuarangan
guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua yaitu,
pertama ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.

- Sekolah Guru C (SGC) berhubung kebutuhan guru SR yang mendesak maka


terasa perlunya pembukaan sekolah guru yang dalam tempo singkat dapat
menghasilkan. Untuk kebutuhan tersebut didirikan sekolah guru dua tahun
setelah SR dan di kenal dengan sebutan SGC tetapi karena dirasakan kurang
bermanfaat kemudian ditutup kembali dan diantaranya dijadikan SGB.

- Sekolah guru A (SGA) karena adanya anggapan bahwa pendidikan guru 4


tahun belum menjamin pengetahuan cukup untuk taraf pendidikan guru, maka
dibukalah SGA yang memberi pendidikan tiga tahun sesudah SMP.
Disamping Itu dapat pula diterima pelajar-pelajar dari lulusan kelas III SGB.
Mata pelajaran yang diberikan di SGA sama jenisnya dengan mata pelajaran
yang diberikan di SGB hanya penyelenggaraannya lebih luas dan mendalam.

b. Pendidikan Umum

Ada dua jenis pendidikan Umum yaitu Sekolah Menengah Pertama


(SMP) dan sekolah Menengah Tinggi (SMT).
- Sekolah Menengah Pertama (SMP) seperti halnya pada zaman jepang, SMP
mempergunakan rencana pelajaran yang sama pula, tetapi dengan keluarnya
surat keputusan menteri PPK tahun 1946 maka diadakannya pembagian A dan
B mulai kelas II sehingga terdapat kelas IIA,IIB, IIIA dan IIIB. Dibagian A
diberikan juga sedikit ilmu alam dan ilmu pasti. Tetapi lebih banayak diberikan
pelajaran bahasa dan praktek administrasi. Dibagian B sebaliknya diberikan
Ilmu Alam dan Ilmu Pasti.

- Sekolah Menengah Tinggi (SMT): Kementerian PPK hanya mengurus


langsung SMAT yang ada di jawa terutama yang berada di kota-kota seperti:
Jakarta,Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Cirebon.

c. Pedidikan Kejuruan

Yang dimaksud dengan pendidikan kejuruan adalah pendidikan


ekonomi dan pendidikan kewanitaan:
- Pendidikan ekonomi: pada awal kemerdekaan pemerintah baru dapat
membuka sekolah dagang yang lama, pendidikannya tiga tahun sesudah
Sekolah Rakyat. Sekolah dagang ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga administrasi atau pembukuan, sedangkan penyelenggaraan sekolah
dagang tersebut dilaksanakan oleh inspektur sekolah dagang.
- Pendidikan Kewanitaan: sesudah kemerdekaan pemerintah membuka Sekolah
Kepandaian Putri (SKP) dan pada tahun 1947 sekolah guru kepandaian putri
(SGKP) yang lama pelajaranya empat tahun setelah SMP atau SKP.

d. Pendidikan Teknik

Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping
pelajaranya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut kadang-
kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di Solo misalnya,
dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan kendali apa adanya.
Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada pada masa itu ialah:
- Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini lamanya satu tahun dan
merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri
atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu.
- Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang
terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun
sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah,
anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan cor.
- Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan.
Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusan-
jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan radio, bangunan
kapal, percetakan dan pertambangan.

- Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan
pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP
bagian B atau ST dan terdiri atas jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan
sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik,
bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.
- Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi keperluan guru-
guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang
menghasilkan:
- Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP
dalam jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.
- Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada
ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-gedung dan
mesin.
- Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam
jurusan bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.

e. Pendidikan Tinggi

Dalam periode 1945-1950 kesempatan untuk meneruskan studi pendidikan


tinggi semakin terbuka lebar bagi warga negara tanpa syarat. Lembaga pendidikan
ini berkembang pesat tetapi karena pelaksanaannya di lakukan pada saat terjadi
perjuangan fisik maka perkuliahan kerap kali di sela dengan perjuangan garis
depan. Lembaga pendidikan yang ada adalah Universitas Gajah Mada, beberapa
sekolah tinggi dan akademi di Jakarta (daerah kependudukan) Klaten, Solo dan
Yogyakarta. Sistem persekolahan serta tujuan dari masing-masing tingkat
pendidikan di atas diatur dalam UU No 4 Th 1950 bab V pasal 7 sebagai berikut:
tentang jenis pendidikan dan pengajaran dan maksudnya :
- Pendidikan dan pengajaran taman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya
rohani dan jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah.

- Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan


jasmani kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan
bakat dan kesukaannya masing-masing dan memberikan dasar-dasar pengetahuan,
kecakapan, dan ketangkasan baik lahir maupun batin.
- Pendidikan dan pengajaran menengah umum bermaksud melanjutkan dan
meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah-sekolah rendah
untuk mengembangkan cara hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai
anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan khusus
sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat atau
mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengajaran tinggi.

- Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud memberikan kesempatan kepada


pelajar untuk menjadi orang yang dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan
hidup kemasyarakatan

- Pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan,


baik jasmani maupun rohaninya supaya mereka dapat memliki hidupnya lahir batin
yang layak.

f. Pendidikan Tinggi Republik

Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi kendati mengalami


berbagai tantangan, tetapi tidak juga dapat dipisahkan dari perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan merupakan salah satu kekuatan dari seluruh
kekuatan rakyat Indonesia. Sejak awal kemerdekaan di Jakarta pada waktu itu
merupakan daerah pendudukan Belanda, berdiri sekolah Tinggi kedokteran sebagai
kelanjutan Ika Daigaku zaman Jepang.

Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat
dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir
ini ditutup oleh Belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan
demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi
republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan Belanda. Tetapi kuliah-kuliah
masih dilanjutkan di rumah-rumah dosen sehingga merupakan semacam kuliah
privat. Sebelum agresi militer I di Malang terdapat pula lembaga pendidikan tinggi
republik. Demikian pula terdapat sekolah tinggi kedokteran hewan sekolah tinggi
teknik di Bandung dipindahkan ke Yogyakarta. Sementara itu daerah Republik
Indonesia sendiri terdapat lembaga-lembaga pendidikan tinggi seperti :

 Sekolah Tinggi Teknik didirikan pada 17 Februari 1946 oleh Kementerian


Pengajaran dan Kebudayaan Indonesia di Yogyakarta.
 Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada didirikan pada 3 Maret 1946 oleh
Yayasan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, terdiri dari Fakultas Hukum
dan Fakultas Kesusastraan di Yogyakarta.
 Perguruan Tinggi Kedokteran dan Kedokteran Gigi didirikan pada Februari
1946 di Malang.
 Perguruan Tinggi Kedokteran II didirikan pada 4 Maret 1946 di Solo.
 Perguruan Tinggi Kedokteran I didirikan pada 5 Maret 1946 di Klaten.

D. Pendidikan Profesi (Kedinasan)

a. Sekolah Kedinasan Poltekip

Konsep Pemasyarakatan dicetuskan oleh DR. SAHARDJO, S.H dalam orasi


ilmiahnya berjudul “Pohon Beringin Pengayoman” yang disampaikan pada saat beliau
menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia di Istana Negara tanggal 5
Juli 1963. Dalam pidatonya antara lain dinyatakan bahwa tujuan pidana penjara adalah
pemasyarakatan.

Untuk merealisasikan konsep tersebut, maka diadakan Konferensi Dinas Kepenjaraan


pada tanggal 27 April 1964 di Lembang Bandung yang memutuskan penggantian Sistem
kepenjaraan dengan Sistem Pemasyarakatan serta dituangkan secara resmi dalam amanat
Presiden Republik Indonesia.Untuk melaksanakan Sistem tersebut di perlukan adanya sumber
daya manusia yang mempunyai kualifikasi memadai di bidang Pemasyarakatan dan dirasa
perlu pula untuk menciptakan kader-kader Pemasyarakatan yang berpendidikan Akademis
untuk menjadi pelopor. Untuk memenuhi maksud tersebut maka dengan keputusan Presiden
RI Nomor 270/1964 tanggal 24 Oktober 1964 secara resmi Akademi ilmu Pemasyarakatan
didirikan.Akademi ini didirikan sebagai Kawah Candradimuka kader-kader Pemasyarakatan
di Indonesia dan memiliki tugas pokok melaksanakan pendidikan pada jalur pendidikan
profesional program Diploma IV yang ditujukan pada keahliaan khusus di bidang
Pemasyarakatan.

b. STIS

Politeknik Statistika STIS yang dikenal saat ini mempunyai catatan riwayat yang
cukup panjang dalam pembentukannya, dimulai dengan berdirinya Akademi Ilmu Statistik
(AIS) sampai menjadi Politeknik Statistika STIS seperti sekarang. Pada tanggal 11 Agustus
1958, Perdana Menteri Republik Indonesia waktu itu, Ir. H. Djuanda, mengeluarkan Surat
Keputusan No. 377/PM/1958 tentang berdirinya Akademi Ilmu Statistik. Tujuan utama
pendidikan AIS adalah mendidik tenaga pelaksana kegiatan statistik pada tingkat semi ahli
yang mampu melaksanakan dan mengembangkan perstatistikan nasional. Tiga tahun
kemudian AIS sudah menghasilkan lulusan. Pada awalnya AIS mendapat bantuan dana dan
tenaga ahli dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bantuan disalurkan melalui Statistical
Research and Development Centre yaitu lembaga yang didirikan oleh Pemerintah Indonesia
c.q. Biro Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan badan PBB, United Nations Development
Programme (UNDP).

Pada tahun 1964 BPS membuka Perguruan Tinggi Ilmu Statistik (PTIS) dengan
mahasiswa yang terdiri dari lulusan AIS dan dosen yang berasal dari PBB. Tujuannya adalah
meningkatkan pendidikan untuk lulusan AIS. Namun pada tahun 1965 bantuan ini terhenti
karena Indonesia keluar dari PBB, dan sejak saat itu PTIS ditutup. Walaupun PTIS sudah
tidak beroperasi, AIS tetap melaksanakan proses pendidikan

c. AKMIL

Akademi Militer (Akmil) bermula dari didirikannya Militaire Academie (MA)


Yogyakarta pada tanggal 31 Oktober 1945, atas perintah Kepala Staf Umum Tentara
Keamanan Rakyat, Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo. Pada tahun 1950, MA
Yogyakarta setelah meluluskan dua angkatan, karena alasan tehnis, ditutup untuk sementara
dan taruna angkatan ketiga menyelesaikan pendidikannya di KMA Breda, Nederland. Pada
kurun waktu yang sama diberbagai tempat lain (Malang, Mojoangung, Salatiga, Tangerang,
Palembang, Bukit Tinggi, Brastagi, Prapat) didirikan Sekolah Perwira Darurat untuk
memenuhi kebutuhan TNI AD / ABRI pada waktu itu.
Pada tanggal 1 Januari 1951 di Bandung didirikan SPGi AD (Sekolah Perwira
Genie Angkatan Darat), dan pada tanggal 23 September 1956 berubah menjadi ATEKAD
(Akademi Teknik Angkatan Darat). Sementara itu pula pada tanggal 13 Januari 1951
didirikan pula P3AD (Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat) di Bandung. Mengingat
pada saat itu banyak sekolah perwira TNI AD, maka muncul gagasan dari pimpinan TNI AD
untuk mendirikan suatu Akademi Militer, gagasan ini pertama kali dimunculkan pada sidang
parlemen oleh Menteri Pertahanan pada tahun 1952. Setelah melalui berbagai proses, maka
pada tanggal 11 Nopember 1957 pukul 11.00 Presiden RI Ir Soekarno selaku Panglima
Tertinggi Angkatan Perang RI, meresmikan pembukaan kembali Akademi Militer Nasional
yang berkedudukan di Magelang. Akademi Militer ini merupakan kelanjutan dari MA
Yogyakarta dan taruna masukan tahun 1957 ini dinyatakan sebagai Taruna AMN angkatan
ke-4.

Pada tahun 1961 Akademi Militer Nasional Magelang di integrasikan dengan


ATEKAD Bandung dengan nama Akademi Militer Nasional dan berkedudukan di
Magelang.Mengingat pada saat itu masing-masing angkatan (AD, AL, AU dan Polri)
memiliki Akademi, maka pada tanggal 16 Desember 1965 seluruh Akademi Angkatan
(AMN, AAL, AAU dan AAK) diintegrasikan menjadi Akademi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (AKABRI). Sesuai dengan tuntutan tugas, maka pada tanggal 29 Januari
1967 Akabri di Magelang diresmikan menjadi Akabri Udarat, yang meliputi dua Akabri
bagian di bawah satu pimpinan, yaitu Akabri Bagian Umum dan Akabri bagian Darat. Akabri
Bagian Umum mendidik taruna TK-I selama satu tahun, termasuk Pendidikan Dasar
Keprajuritan Chandradimuka, sedangkan Akabri bagian Darat mendidik taruna Akabri
Bagian Darat mulai TK-II sampai dengan TK-IV. Pada tanggal 29 September 1979 Akabri
Udarat berubah namanya menjadi Akabri Bagian Darat.

Dalam rangka reorganisasi di lingkungan ABRI, maka pada tanggal 14 Juni 1984 Akabri
Bagian Darat berubah namanya menjadi Akmil (Akademi Militer).Pada tanggal 1 April 1999
secara resmi Polri terpisah dari tiga angkatan lainnya, dan ABRI berubah menjadi TNI. Sejak
itu pula Akademi Kepolisian terpisah dari AKABRI. Kemudian AKABRI berubah namanya
menjadi Akademi TNI yang terdiri dari AKMIL, AAL, AAU.

d. STAN

Dalam sejarahnya, pendirian PKN STAN melalui periode yang cukup panjang.
Perjalanan sejarah PKN STAN secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
Kursus Jabatan Ajun Akuntan yang didirikan Melalui Surat Keputusan Menteri
Keuangan No.167941 / UP tanggal 31 Juli 1952. Kursus Djabatan Ajun Akuntan (KDAA)
termasuk Ajun Akuntan Negara (AAN) yang diselenggarakan di Bandung dan Ajun Akuntan
Pajak (AAP) yang diselenggarakan di Jakarta ;

Akademi Pajak dan Pabean (AP2) yang dibentuk melalui Keputusan Menteri
Keuangan No: 248621 / UP tanggal 25 November 1957. Akademi ini awalnya bernama
Akademi Pajak yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No: 213812 / UP
pada tanggal 4 Oktober 1956. Penyelenggaraan kuliah Akademi Pajak dan Pabean berada di 3
tempat yang salah satunya dilaksanakan di Jl. Purnawarman 99 Kebayoran Baru Jakarta;

Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Negara (STIKN), berdiri tahun 1959 berdasarkan
Surat Keputusan Menkeu No: 175402 / UP / X tanggal 31 Desember 1959. Para mahasiswa
STIKN juga berkuliah di kampus Purnawarman atau kampus yang dikenal dengan nama
Kampus Sumitro Djojohadikusumo. STIKN merupakan perwujudan dari Akademi Pajak dan
Pabean yang dibubarkan oleh Menteri Keuangan pada saat itu. Selama periode berdirinya
STIKN, terdapat pula beberapa sekolah bidang keuangan lain di antaranya Akademi Treasury
Negara (ATN) yang berbentuk pada tahun 1958 oleh Departemen Keuangan dan Akademi
Dinas Pemeriksa Keuangan (ADPK) yang didirikan pada tahun 1963 oleh Badan Pemeriksa
Keuangan;

Institut Ilmu Keuangan (IIK) yang berdiri pada tahun 1967 berdasarkan Keppres
No.167 tahun 1968. IIK merupakan peleburan dari STIKN, ATN, dan ADPK dan telah
membentuk perguruan tinggi setara dengan perguruan tinggi lainnya yang melaksanakan
Tridharma Perguruan Tinggi. Namun pada akhirnya IIK dibubarkan pada tahun 1975;

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara pada awalnya bukan merupakan perubahan


dari IIK. STAN merupakan salah satu Pusdiklat di bawah Badan Pendidikan dan Latihan
keuangan (BPLK) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1974 jo.
Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1967. Pada tanggal 17 Maret 1975 melalui Surat
Keputusan Nomor 13495 / MPK / 1975 diperoleh ijin penyelenggaraan pendidikan akuntan
dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun pertama berdirinya,
penyelenggaraan pendidikan STAN masih menggunakan kampus Purnawarman. Kampus
STAN Bintaro mulai digunakan pada tahun 1988, 2 tahun setelah peresmiannya oleh Menteri
Keuangan RI saat itu, Radius Prawiro pada tanggal 16 Juli 1986. Sejak saat itu Kampus
Bintaro menjadi kampus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara atau yang dikenal juga dengan
nama kampus Ali Wardhana.

Perkembangan program reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan


menuntut Kementerian Keuangan untuk melakukan penataan Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara (STAN). Penataan ini agar STAN dapat meningkatkan peran dan kontribusinya dalam
menyediakan SDM berkompeten dan berintegritas di bidang keuangan negara yang sejalan
dengan arah dan tujuan transformasi kelembagaan Kementerian Keuangan. Hingga pada
tanggal 15 Juli 2015 keluarlah Peraturan Menteri Keuangan RI No. 137 / PMK.01 / 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Politeknik Keuangan Negara STAN yang menandai
berdirinya Politeknik Keuangan Negara STAN

E. Isu-Isu Dalam Masalah Pendidikan Tahum 1950an/1960-An

Pada periode ini difokuskan antara kurun waktu 1950-1966. Seperti diketahui sesudah
KMB pada 1949 terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalam RIS diatur mengenai
pendidikan dan pengajaran. Di dalam UUD RIS juga diatur tentang pendidikan nasional.
Menilik kebijakan PENDIDIKAN nasional di era ini dimulai dari pasal 30 UUDS 1950 RI
diantaranya, yaitu:

1). Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran,

2).Memilih pengajaran yang akan diikuti adalah bebas,

3). Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang
dilakukan terhadap itu menurut peraturan UU (Rifa’i, 2016: 159).

Menurut Supomo, ayat 1 pasal ini berasal dari rumusan pasal 31 ayat 1 UUD 1945.
Ayat 2 sama dengan bunyi pasal 29 ayat 2 dari konstitusi RIS ayat 3 dari pasal ini
rumusannya sama dengan pasal 29 ayat 12 konstitusi RIS. Diketahui salah satu hal yang
menentukan masa orde lama berkaitan dengan kebijakan pendidikan adalah terciptanya atau
terwujudnya Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia.
Semuanya dijelaskan dibeberapa sub yaitu di bab II pasal 3 menjelaskan mengenai tujuan
pendidikan nasional dan bab III pasal 4 menjelaskan mengenai dasar pendidikan nasional
(Rifa’i, 2016: 160).
Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Masa revolusi
sangat terasa serba terbatas. Tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional
sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Kita dapat merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4/1950 junto No. 12/ 1954. Kita
dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas.

Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat


mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sayang akhir era ini, pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan
kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu menjadikan
pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan orde lama. Pada Orde Lama sudah
mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem Kolonial yang serba ketat
tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung jumlah sekolah belum
begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan
guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada
yang ideal. Citra guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang diciptakaan era orde baru
sebenarnya telah dikembangkan pada orde lama. Kebijakan yang diambil orde lama dalam
bidang pendidikan tinggi yaitu mendirikan universitas setiap provinsi (Tim UNY, tanpa
tahun: 90).

Kebijakan ini bertujuan untuk lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan


tinggi. Pada waktu itu pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI,
IPB, ITB, Gajah Mada, dan UNAIR, sedangkan di provinsi-provinsi karena kurangnya
persiapan dosen dan keterbatasaan sarana dan prasarana mengakibatkan kemerosotan mutu
pendidikan tinggi mulai terjadi. Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud
interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan
ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan
dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan
bangsa Indonesia di masa mendatang.

Prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan


merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas social (Yamin, 2009:
87). Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga. Banyak generasi
muda yang di sekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar kelak dapat kembali ke tanah air
untuk mengaplikasikan ilmu yang di dapat.

Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah,
karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat itu merupakan era
setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak
untuk mendapatkan pendidikan. Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat,
yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara,
termasuk dalam bidang pendidikan.

Sesungguhnya ini amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita
pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak pemikir yang lahir
pada masa itu. Sebab ruang kebebasan dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik.
Melihat perkembangan politik saat itu, mempengaruhi jalannya kebijakan pendidikan
nasional adalah sejak 1959. Indonesia berada di bawah gelora Manipol dan USDEK. Manipol
dan USDEK telah menjadi dewa dalam bidang kehidupan lainnya.

Termasuk dalam pendidikan. Keputusan Presiden No. 145 tahun 1965 merumuskan
tujuan pendidikan nasional pendidikan Indonesia sesuai dengan Manipol dan USDEK.
Manusia sosialis Indonesia adalah cita-cita utama setiap usaha pendidikan Indonesia. Lebih
jauh perkembangan pendidikan Indonesia masa orde lama kebijkan pendidikan nasional
muncul sebuah kebijakan yang dikenal dengan Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana
tertuang dalam intruksi PP & K No. 1 tahun 1959. Sapta Usaha Tama berisi tentang:
penertiban aparatur dan usaha Kementerian PP & K, menggiatkan kesenian dan olahraga,
mengharapkan usaha halaman, mengharuskan penabungan, mewajibkan usaha-usaha
koperasi, mengadakan kelas masyarakat, membentuk regu kerja di kalangan SLA dan
universitas.

Sedangkan Pancawardhana atau lima pokok perkembangan yang oleh misi UNESCO
untuk Indonesia diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Five Principles of Education yang
berisikan:

1). Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional, internasional, dan
keagamaan,

2).Perkembangan inteligensi,
3).Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharusan dan keindahan lahir batin,

4).Perkembangan keprigelan (kerajinan) tangan serta

5). Perkembangan jasmani (Rifa’i, 2016: 177-178).

Tilaar (1995: 103-105) menyimpulkan secara konstitusional sistem pendidikan


dalam era ini didasarkan kepada pengaturan sebagai berikut:
1. Undang-Undang pokok pendidikan No. 4 tahun 1950 juncto No. 12 tahun 1954.

2. Undang-Undang No. 2 tahun 1962 tentang Perguruan Tinggi

3. Penetapan Presiden No. 5 tahun 1965.

Pengaruh Undang-Undang ini sangat terasa sekali terhadap sistem pendidikan


Indonesia seperti halnya dalam pendidikan perguruan tinggi dalam perkembangannya
sangatlah baik. Adanya Undang-Undang ini dalam perguruan tinggi swasta untuk pertama
kalinya mengenal tingkat kedudukan perguruan tinggi swasta yaitu terdaftarkan, diakui, dan
disamakan. Karena sebelumnya perguruan tinggi tidak mendapatkan kedudukan seperti itu.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional, melalui Penetapan Presiden
Indonesia No. 19 tahun 1965 mengenai Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila.
Diantaranya dirumuskan kembali tentang dasar asas pendidikan nasional, tujuan, isi moral,
dan politik pendidikan nasional. Menariknya dari rumusan tersebut, tugas pendidikan
nasional dalam revolusi Indonesia adalah menghimpun kekuatan progresif revolusioner
berporoskan Nasakom (Rifa’i, 2016: 187).

Dari perkataan Soekarno sangat jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh
perhatian serius yang tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan. Di bawah
menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem among
berdasarkan asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan
yang dikenal sebagai Panca Dharma Taman Siswa dan semboyan ing ngarso sung tulodho,
ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Pada 1950 dicetuskan pertama kali peraturan
pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954
tentang dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 dirumuskan lagi UU No.
22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan
Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang pokok sistem pendidikan nasional pancasila. Masa
akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD (Tim UNY,
tanpa tahun: 92).

Dengan demikian, sistem pendidikan pada masa orde lama telah banyak dipengaruhi
kondisi politik bangsa Indonesia saat itu. Pasca Indonesia lepas dari penjajahan dan berhasil
mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajah Belanda dengan perjanjian KMB.
Sehingga Indonesia berdasarkan semangat kebangsaan tengah belajar terus menerus untuk
membangun sebuah negara dan belajar untuk berdemokrasi.

Dalam menjalankan pemerintahan Indonesia sering melakukan kejadian euforia.


Kesalahan itu semua terbukti dari kestabilan pemerintahan saat itu dengan sistem
parlemennya. Dengan banyaknya partai saling sikut menyikut untuk berkuasa, maka
parlemen sulit bekerja sama dengan baik, positif, maju dan progresif, untuk membentuk
rancangan dan penerapan pendidikan nasional yang baik dan kuat. Sampai akhirnya Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan parlemen dan kembali ke UUD
1945. Sebagai gantinya UUDS 1950 dengan fungsi untuk menstabilkan kondisi politik
nasional saat itu.
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Praktik pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1960 an bisa dikatakan
banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan selepas penjajahan
menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Pada masa ini, lingkungan politik terasa
mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotism dan nasionalisme terasa
berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Kebijaksanaan politik
pendidikan para menteri yang bertugas antara tahun 1945-1950 dapat dikatakan belum bisa
dirasakan atau belum terlihat hasilnya. Penyelenggaraan pendidikan agama setelah Indonesia
merdeka mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah Negeri maupun Swasta.

B. Saran

Dalam pembuatan makalah ini penulis sangat menyadari masih adanya kesalahan dalam
penyajiannya. Maka diharapkan saran yang membangun perbaikan makalah ini dari Pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Sartono Kartodirdjo,1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:Sejarah Pergerakan Nasional


dan Kolonialisme sampai Nasionalisme. Gramedia, Jakarta

Agus Salim, 2007. Pendidikan Zaman Pergerakan; dalam buku: Indonesia Belajarlah
(Membangun Pendidikan Indonesia). Tiara Wacana, Yogyakarta.

Agus Salim, 2007. Pendidikan Nasional Lintas Waktu dan Kekuasaan; dalam
buku: Indonesia Belajarlah (Membangun Pendidikan Indonesia). Tiara Wacana, Yogyakarta.

Tilaar, H.A.R., 2002. Pendidikan untuk masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Kartodirdjo, Sartono.. dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Somarsono, Moestoko. (1986). Pendidikan Indonesia dari jaman ke jaman. Balai Pustaka:
Jakarta.

Ahmadi, A. 1987. Pendidikan Dari Masa ke Masa. Bandung: Armico.

Rifai, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional: Dari Masa Klasik Hingga Modern.
Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia.

Syaharuddin dan Hera Susanto. 2019. Sejarah Pendidikan Indonesia (Era Pra Kolonial
Nusantara Sampai Reformasi. Banjarmasin: Program Studi Pnedidikan Sejarah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat.

Anda mungkin juga menyukai