Dosen Pembimbing :
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, nikmat,
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang jauh dari kata sempurna.Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Semoga makalah ini menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca serta
dapat menambah pemahaman pembaca.Penulis mengakui makalah ini masih jauh dari kata
sempurna.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini, sehingga
penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini agar kedepannya dapat lebih baik.
penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul..........................................................................................................
Kata Pengantar..........................................................................................................
Daftar Isi...................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................
B. Rumusan Masalah...................................................................................................
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Warisan zaman kolonial tahun 1950-an ?
2. Bagaimana lahirnya konsep pendidikan nasional (karakteristik dan
implementasinya) ?
3. Bagaimana sekolah-sekolah swasta ?
4. Bagaimana pendidikan profesi (kedinasan) ?
5. Bagaimana Isu-isu dalam Masalah Pendidikan tahum 1950an/1960-an ?
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Pemerintah kolonial Belanda memiliki kebutuhan akan pengadaan tenaga, baik dibidang
administrasi maupun teknik kejuruan. Pemerintah kolonial berusaha memenuhi kebutuhan
dengan mendirikan sekolah-sekolah. Mula-mula mendirikan sekolah rendah, selanjutnya
didirikan sekolah menengah dan sekolah tinggi.
Pada masa itu kesempatan mendapatkan pendidikan di sekolah merupakan hal yang langka,
apalagi sekolah dengan sistem Belanda dan memakai pengantar bahasa Belanda. Karena jenis
sekolah ini memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah . Oleh karena itu sistem
penerimaan murid pada tipe sekolah ini didasarkan atas tolok ukur tertentu, antara lain status
pegawai orang tua, serta gaji tertentu. Diskriminasi lebih jelas terlihat dalam penerimaan
murid di sekolah Eropa. Dalam sudut pandang sosiologis jelas bahwa sistem sekolah yang
ada di tanah air, mengandung dualisme di satu pihak dan diskriminasi di pihak lain (Sartono,
1990:76-77).
Di kalangan masyarakat pribumi, penggunaan bahasa Belanda masih terikat adat istiadat,
khususnya di kalangan pangreh praja. Akibat sistem pengajaran yang berwajah ganda itu,
masyarakat mengalami stratifikasi, sehingga sulit diharapkan adanya integrasi masyarakat.
Lapangan kerja bagi kaum terpelajar pribumi terbatas oleh karena adanya diskriminasi di
berbagai bidang pekerjaan, baik itu sektor pemerintah maupun swasta.
Ketidak seimbangan antara jumlah lembaga sekolah dengan permintaan pasar kebutuhan
sekolah, diatasi dengan pendirian lembaga-lembaga sekolah swasta, antara lain yang dibuka
oleh Zending, Misionaris, Muhammadiyah, Taman Siswa, Kayu Tanam dan beberapa
organisasi lain. Terhadap sekolah semacam itu pemerintah Belanda memberikan pengawasan
yang sangat ketat serta melakukan klasifikasi berdasarkan persyaratan tertentu. Ada sekolah
yang diberikan subsidi serta ada sekolah yang dipersamakan, dan sekolah yang diakui.
Lembaga sekolah lain masuk dalam kategori sekolah liar. Sekolah-sekolah model terakhir ini
mempunyai keleluasaan dalam menerima murid, yaitu tidak terlalu ketat dalam menerapkan
kriteria yang terbuka untuk mobilitas vertikal golongan pribumi.
Perkembangan bidang pengajaran, terjadi pada dua dasa warsa pertama abad ke-20 ketika
didirikan Sekolah Tinggi pertama. Pada tahun 1922 didirikan Technische Hoge School (THS)
di Bandung, menyusul kemudian Sekolah Tinggi Kedokteran Geneeskundige Hoge School
(GHS) pada tahun 1927 di Jakarta dan Pendidikan Tinggi Hukum disebut Rechts Hoge
School (RHS) pada tahun 1924 juga di Jakarta. Pada tahun 1941 dibuka Landbouw Hoge
School dan pada tahun 1940 didirikan Faculteit der Letteren di Jakarta juga. Dengan
berdirinya banyak perguruan tinggi di tanah air, maka pengajaran diusahakan mengikuti
kurikulum yang dikembangkan di negeri Belanda, sehingga dengan sistem persamaan dapat
meneruskan pelajarannya sampai ke negeri Belanda. sehingga pada awal abad ke-20,
kemudian banyak dilakukan pengiriman mahasiswa program pascasarjana di negeri Belanda
untuk bidang-bidang yang lebih luas. Jenis pendidikan formal lain yang ada di tanah air juga
berkembang pesat, dengan didirikannya jenis lembaga pendidikan kejuruan yang cukup
beragam (Agus Salim, 2007:208-211).
Pada masa awal kemerdekaan, pendidikan menjadi sarana mobilitas sosial di kalangan
masyarakat pribumi. Kelompok masyarakat terdidik yang sudah ada sejak zaman Belanda
menjadi kelompok pertama yang menikmati posisi utama dalam struktur masyarakat. Mereka
adalah adalah kelompok pegawai pertama pribumi yang mengisi jabatan birokrasi
pemerintahan di Indonesia (Agus Salim, 2007:217).
Akumulasi masyarakat terdidik pada masa awal kemerdekan kemudian menjadi motor
penggerak perubahan masyarakat. Pendidikan keagamaan yang tadinya mendominasi corak
pendidikan pribumi pada masa sebelum revolusi bersenjata, pada akhirnya pun tampak
bergeser ke arah sekuler. Pendidikan pesantren banyak mengalami kendala. Dalam
perkembangannya satu persatu jenis pesantren yang diasuh ulama yang kurang kuat
kemudian berubah menjelma menjadi pendidikan madrasah yang menerima kurikulum
sekolah umum. Lewat saluran politik, para santri menjalin hubungan dengan pemerintah
republik yang memungkinkan mereka membangun gedung dengan ruang kelas modern dan
asrama untuk para santri. Tetapi model pendidikan pesantren dan madrasah tetap memiliki
identitasnya yang lama, yaitu wadah pendidikan bagi kelompok masyarakat menengah ke
bawah.
3. Pendidikan Zaman Pemerintahan Soekarno
Lembaga pendidikan sekolah di awal tahun 1950 sampai tahun 1960-an, mengalami
penurunan kualitas yang cukup signifikan. Banyak tenaga lulusan sekolah yang potensial
tidak lagi tertarik menjadi guru. Mereka terjun ke politik dan birokrat yang lebih menjanjikan
masa depan. Animo untuk memasuki sekolah guru mulai surut. Sekolah guru hanya diminati
keluarga- keluarga dari pedesaan. Jatuhnya nilai mata uang pada saat itu, membuat banyak
tenaga pengajart sering mengabaikan pekerjaan utamanya untuk mencarim hasil tambahan
(Agus Salim, 2007:219).
Pada era Orde Baru, pendidikan mengalami perkembangan pesat. Pemerintahan Soeharto
melakukan pembangunan nasional, menempatkan pendidikan dalam skala prioritas utama.
Meskipun anggaran untuk sektor pendidikan masih terbatas, tetapi semangat untuk
melakukan pemerataan kesempatan pendidikan sangat jelas dilakukan. Banyak proyek phisik
dalam bentuk pembangunan gedung sekolah baru lewat Inpres, pengangkatan guru,
pemberian fasilitas laboratorium, dan pemberlakuan kurikulum baru memberikan nuansa
dalam pembangunan pendidikan di tanah air.
Sekolah guru pada masa ini mendapat prioritas pengembangan. Tetapi sekolah pendidikan
guru untuk tingakat dasar dan menengah tidak mendapatkan input yang menggembirakan.
Rerata murid SPG dan Mahasiswa IKIP berasal dari keluarga menengah dan miskin
pedesaan. Mereka hanya memiliki tingkat kecerdasan rata-rata dan bukan anak-anak terbaik
di negeri ini. Anak-anak cerdas dari keluarga menengah atas lebih tertarik untuk bekerja di
sektor ekonomi dan konstruksi yang memiliki peluang dan masa depan yang sangat baik di
banding bila mereka menjadi guru.
Pemerintah Soeharto telah merepresi tumbunya ideologi lain selain Pancasila, terutama
Islam Garis Keras dan Komunisme. Jenis pendidkan pesantren diawasi secara ketat.
Departemen agama mengampu tugas untuk sebanyak mungkin mengajak pesantren menerima
kurikulum sekuler dalam bentuk madrasah-madrasah yang mereka kelola.
Pada tanggal 29 Desember 1945 Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP) mengusulkan pembaharuan di sektor pendidikan dan pengajaran kepada Kementerian
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Terdapat tiga tuntutan pokok-pokok pembaharuan,
yakni (1) paham perseorangan (individualisme) yang hingga kini berlaku haruslah diganti
dengan paham kesusilaan dan perikemanusiaan yang tinggi, (2) sesuai dengan dasar keadilan
sosial semua sekolah harus terbuka untuk tiap penduduk negara termasuk laki-laki atau
perempuan, (3) pengajaran kesehatan dan olah raga hendaklah teratur sehingga membentuk
kecerdasan rakyat yang harmonis (Djojonegoro, 1996).
Atas usul badan pekerja kemudian Menteri Pendidikan dan Pengajaran (Mr.
Soewandi) membuat Surat Keputusan tanggal 1 Maret 1946 No. 104/Bhg.O untuk
membentuk panitia Penyelidik Pengajaran dibawah Ki Hadjar Dewantara dan penulis
Soegarda Purwakawatja.Didalam UUD 1945, dengan jelas dinyatakan bahwa setiap Warga
Negara berhak untuk mendapatkan Pendidikan, adalah tugas pemerintah untuk mencerdaskan
kehidupan rakyat, artinya ialah memberikan kesempatan kepada semua waraga Negara untuk
memperoleh Pendidikan. (Tilaar, 2002 :69).Gunawan (1986) menyebutkan bahwa kurikulum
pada masa itu disebut dengan ‘Rencana Pelajaran 1947’. Rencana pelajaran pada setiap
jenjang pendidikan sekolah memperhatikan beberapa hal, yakni (1) mengurangi materi yang
berfokus pada aspek hafalan, (2) materi pembelajaran berbasis pada kehidupan, (3),
meningkatkan pendidikan watak atau karakter, (4) meningkatkan pendidikan olahraga, dan
(5) meningkatkan kesadaran bela negara.
Dengan itu lahirlah pendidikan nasional, yang mana Pendidikan Nasional merupakan
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945
yang berakar pada nilai-nilai Agama, Kebudayaan Nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman. Sejarah pendidikan Indonesia zaman kemerdekaan berawal dari
Proklamasi Kemerdekaan, dimana Proklamasi Kemerdekaan menimbulkan hidup baru
disegala bidangkhususnya di bidang Pendidikan.
Salah satu hasil panitia penyelidik pengajaran pada waktu itu adalah memberikan
perumusan tentang tujuan pendidikan nasional. Hasil rumusannya adalah bahwa pendidikan
bertujuan mendidik Warga Negara yang sejati, bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran
untuk negara dan masyarakat. Dengan kata lain,tujuan pendidikan pada masa tersebut
menekankan pada pemahaman semangat dan jiwa kepahlawanan (patriotisme). Sifat warga
negara sejati yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan oleh
menteri Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Kemudian pada tahun
1946rumusan tersebut dituangkan ke dalam suatu pedoman bagi guru-guru yang memuat
sifat-sifat kemanusiaan dan kewarganegaraan yang pada dasarnya berintikan Pancasila, yaitu:
Oleh sebab itu, penanaman jiwa patriotisme lewat pendidikan dianggap amat penting
dan merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru diproklamirkan.Sejalan
dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional Indonesia pun
mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa patriotisme, melainkan juga
membentuk kualitas manusia yang handal dan warga negara yang demokaratis dan
bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah airsebagaimana yang terdapat
dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di
sekolah.
Adapun kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan pada tahun 1950-an
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat, meningkatkan
pendidikan jasmani, meningkatkan pendidikan watak, menberikan perhatian terhadap
kesenian, dan lain sebagainya. Menyusul meletusnya peristiwa Gestapu yang gagal, maka
melalui TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan
diadakan perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu “membentuk manusia
Pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan
UUD 1945”. Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan nasional yang mantap,
pendidikan nasional pun terus dikembangkan. Salah satunya dengan memberikan prioritas
pada aspek-aspek yang dipandang strategis bagi masa depan bangsa.
Prioritas tersebut salah satunya adalah wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
bersamaan dengan peningkatan mutu yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1994. Wajib belajar
pendidikan dasar sembilan tahun ini mempunyai dua tujuan utama. Pertama, meningkatkan
pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15
tahun. Kedua, untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia hingga mencapai
SLTP. Di samping itu, juga disusun kurikulum 1994 yang diberlakukan secara bertahap mulai
tahun ajaran 1994/1995. Kurikulum 1994 ini disusun dengan maksud agar proses pendidikan
dapat selalu menyesuaikan diri dengan tantangan yang terus berkembang sehingga mutu
pendidikan akan semakin meningkat.
C. Sekolah-Sekolah Swasta
Adapun susunan persekolahan dan kurikulum yang berlaku sejak tahun 1945-1950 adalah
sebagai berikut:
1) Pendidikan Rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia sejak awal kemerdekaan yang disebut
dengan Sekolah Rakyat (SR) lama pendidikannya semula 3 tahun menjadi 6 tahun.
Maksud pendirian SR ini adalah selain meningkatkan taraf pendidikan pada masa
sebelum kemerdekaan juga dapat menampung hasrat yang besar dari mereka yang
hendak bersekolah. Mengingat kurikulum SR diatur sesuai dengan putusan Menteri
PKK tanggal 19 Nopember 1946 No. 1153/Bhg A yang menetapkan daftar pelajaran
SR dimana tekanannya adalah pelajaran bahasa berhitung. Hal ini dapat telihat bahwa
dari 38 jam pelajaran seminggu, 8 jam adalah untuk bahasa Indonesia, 4 jam untuk
bahasa daerah dan 17 jam berhitung untuk kelas IV, V dan VI.
Tercatat sejumlah 24.775 buah SR pada akhir tahun 1949 pada akhir tahun
1949 di seluruh Indonesia.
a. Pendidikan Guru
Dalam periode antara tahun 1945-1950 dikenal tiga jenis pendidikan
guru yaitu:
- Sekolah Guru B (SGB) lama pendidikan 4 tahun dan tujuan pendidikan guru
untuk sekolah rakyat. Murid yang diterima adalah tamatan SR yang akan lulus
dalam ujian masuk sekolah lanjutan. Pelajaran yang diberikan bersifat umum
untuk di kelas I,II,III sedangkan pendidikan keguruan baru diberikan di kelas
IV. Untuk kelas IV ini juga dapat diterima tamatan sekolah SMP, SPG
dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang membawahinya sejumlah guru dan
diantaranya merupakan tenaga tidak tetap karena memang sangat kekuarangan
guru tetap. Adapun sistem ujian pelaksanaannya dipecah menjadi dua yaitu,
pertama ditempuh di kelas II dan ujian kedua di kelas IV.
b. Pendidikan Umum
c. Pedidikan Kejuruan
d. Pendidikan Teknik
Seperti sekolah lain, keadaan Sekolah Teknik tidaklah teratur karena disamping
pelajaranya sering terlibat dalam pertahanan negara, sekolah tersebut kadang-
kadang juga dipakai sebagai pabrik senjata. Sekolah Teknik di Solo misalnya,
dikerahkan untuk membuat senjata yang sangat diperlukan kendali apa adanya.
Adapun sekolah-sekolah teknik yang ada pada masa itu ialah:
- Kursus Kerajinan Negeri (KKN): sekolah/kursus ini lamanya satu tahun dan
merupakan pendidikan teknik terendah berdasarkan SR enam tahun. KKN terdiri
atas jurusan-jurusan: kayu, besi,anyaman.perabot rumah, las dan batu.
- Sekolah Teknik Pertama (STP): bertujuan mendapatkan tenaga tukang yang
terampil tetapi disertai dengan pengetahuan teori. Lama pendidikan ini dua tahun
sesudah SR dan terdiri atas jurusam-jurusan: kayu, batu, keramik, perabot rumah,
anyaman, besi ,listrik, mobil, cetak, tenun kulit, motor, ukur tanah dan cor.
- Sekolah Teknik (ST): bertujuan mendidik tenaga-tenaga pengawasan bangunan.
Lama pendidikan dua tahun stelah STP atau SMP bagian B dan meliputi jurusan-
jurusan: bangunan gedung, bangunan air dan jalan, bangunan radio, bangunan
kapal, percetakan dan pertambangan.
- Sekolah Teknik menengah (STM): bertujuan mendidik tenaga ahli teknik dan
pejabat-pejabat teknik menengah. Lama pendidikan empat tahun setelah SMP
bagian B atau ST dan terdiri atas jurusan-jurusan: bangunan gedung, bangunan
sipil, bangunan kapal, bangunan mesin, bangunan mesin, bangunan listrik,
bangunan mesin kapal, kimia, dan pesawat terbang.
- Pendidikan guru untuk sekolah-sekolah teknik: untuk memenuhi keperluan guru-
guru sekolah teknik, dibuka sekolah/kursus-kursus untuk mendidik guru yang
menghasilkan:
- Ijazah A Teknik (KGSTP) guna mengajar dengan wewenang penuh pada STP
dalam jurusan: bangunan sipil, mesin, listrik dan mencetak.
- Ijazah B I Teknik (KGST) untuk mengajar dengan wewenang penuh pada
ST/STM kelas I dalam jurusan bangunan sipil, bangunan gedung-gedung dan
mesin.
- Ijazah B II Teknik guna mengajar dengan wewenang penuh pada STM dalam
jurusan bangunan sipil, bangunan gedung, mesin dan listrik.
e. Pendidikan Tinggi
Pada bulan Nopember 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta filsafat
dan sastra. Setelah aksi agresi militer I kedua lembaga pendidikan tinggi terakhir
ini ditutup oleh Belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi, dengan
demikian pendidikan tinggi waktu itu terpecah menjadi dua yaitu pendidikan tinggi
republik dan Pendidikan tingkat tinggi pendudukan Belanda. Tetapi kuliah-kuliah
masih dilanjutkan di rumah-rumah dosen sehingga merupakan semacam kuliah
privat. Sebelum agresi militer I di Malang terdapat pula lembaga pendidikan tinggi
republik. Demikian pula terdapat sekolah tinggi kedokteran hewan sekolah tinggi
teknik di Bandung dipindahkan ke Yogyakarta. Sementara itu daerah Republik
Indonesia sendiri terdapat lembaga-lembaga pendidikan tinggi seperti :
b. STIS
Politeknik Statistika STIS yang dikenal saat ini mempunyai catatan riwayat yang
cukup panjang dalam pembentukannya, dimulai dengan berdirinya Akademi Ilmu Statistik
(AIS) sampai menjadi Politeknik Statistika STIS seperti sekarang. Pada tanggal 11 Agustus
1958, Perdana Menteri Republik Indonesia waktu itu, Ir. H. Djuanda, mengeluarkan Surat
Keputusan No. 377/PM/1958 tentang berdirinya Akademi Ilmu Statistik. Tujuan utama
pendidikan AIS adalah mendidik tenaga pelaksana kegiatan statistik pada tingkat semi ahli
yang mampu melaksanakan dan mengembangkan perstatistikan nasional. Tiga tahun
kemudian AIS sudah menghasilkan lulusan. Pada awalnya AIS mendapat bantuan dana dan
tenaga ahli dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bantuan disalurkan melalui Statistical
Research and Development Centre yaitu lembaga yang didirikan oleh Pemerintah Indonesia
c.q. Biro Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan badan PBB, United Nations Development
Programme (UNDP).
Pada tahun 1964 BPS membuka Perguruan Tinggi Ilmu Statistik (PTIS) dengan
mahasiswa yang terdiri dari lulusan AIS dan dosen yang berasal dari PBB. Tujuannya adalah
meningkatkan pendidikan untuk lulusan AIS. Namun pada tahun 1965 bantuan ini terhenti
karena Indonesia keluar dari PBB, dan sejak saat itu PTIS ditutup. Walaupun PTIS sudah
tidak beroperasi, AIS tetap melaksanakan proses pendidikan
c. AKMIL
Dalam rangka reorganisasi di lingkungan ABRI, maka pada tanggal 14 Juni 1984 Akabri
Bagian Darat berubah namanya menjadi Akmil (Akademi Militer).Pada tanggal 1 April 1999
secara resmi Polri terpisah dari tiga angkatan lainnya, dan ABRI berubah menjadi TNI. Sejak
itu pula Akademi Kepolisian terpisah dari AKABRI. Kemudian AKABRI berubah namanya
menjadi Akademi TNI yang terdiri dari AKMIL, AAL, AAU.
d. STAN
Dalam sejarahnya, pendirian PKN STAN melalui periode yang cukup panjang.
Perjalanan sejarah PKN STAN secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:
Kursus Jabatan Ajun Akuntan yang didirikan Melalui Surat Keputusan Menteri
Keuangan No.167941 / UP tanggal 31 Juli 1952. Kursus Djabatan Ajun Akuntan (KDAA)
termasuk Ajun Akuntan Negara (AAN) yang diselenggarakan di Bandung dan Ajun Akuntan
Pajak (AAP) yang diselenggarakan di Jakarta ;
Akademi Pajak dan Pabean (AP2) yang dibentuk melalui Keputusan Menteri
Keuangan No: 248621 / UP tanggal 25 November 1957. Akademi ini awalnya bernama
Akademi Pajak yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No: 213812 / UP
pada tanggal 4 Oktober 1956. Penyelenggaraan kuliah Akademi Pajak dan Pabean berada di 3
tempat yang salah satunya dilaksanakan di Jl. Purnawarman 99 Kebayoran Baru Jakarta;
Sekolah Tinggi Ilmu Keuangan Negara (STIKN), berdiri tahun 1959 berdasarkan
Surat Keputusan Menkeu No: 175402 / UP / X tanggal 31 Desember 1959. Para mahasiswa
STIKN juga berkuliah di kampus Purnawarman atau kampus yang dikenal dengan nama
Kampus Sumitro Djojohadikusumo. STIKN merupakan perwujudan dari Akademi Pajak dan
Pabean yang dibubarkan oleh Menteri Keuangan pada saat itu. Selama periode berdirinya
STIKN, terdapat pula beberapa sekolah bidang keuangan lain di antaranya Akademi Treasury
Negara (ATN) yang berbentuk pada tahun 1958 oleh Departemen Keuangan dan Akademi
Dinas Pemeriksa Keuangan (ADPK) yang didirikan pada tahun 1963 oleh Badan Pemeriksa
Keuangan;
Institut Ilmu Keuangan (IIK) yang berdiri pada tahun 1967 berdasarkan Keppres
No.167 tahun 1968. IIK merupakan peleburan dari STIKN, ATN, dan ADPK dan telah
membentuk perguruan tinggi setara dengan perguruan tinggi lainnya yang melaksanakan
Tridharma Perguruan Tinggi. Namun pada akhirnya IIK dibubarkan pada tahun 1975;
Pada periode ini difokuskan antara kurun waktu 1950-1966. Seperti diketahui sesudah
KMB pada 1949 terbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalam RIS diatur mengenai
pendidikan dan pengajaran. Di dalam UUD RIS juga diatur tentang pendidikan nasional.
Menilik kebijakan PENDIDIKAN nasional di era ini dimulai dari pasal 30 UUDS 1950 RI
diantaranya, yaitu:
3). Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang
dilakukan terhadap itu menurut peraturan UU (Rifa’i, 2016: 159).
Menurut Supomo, ayat 1 pasal ini berasal dari rumusan pasal 31 ayat 1 UUD 1945.
Ayat 2 sama dengan bunyi pasal 29 ayat 2 dari konstitusi RIS ayat 3 dari pasal ini
rumusannya sama dengan pasal 29 ayat 12 konstitusi RIS. Diketahui salah satu hal yang
menentukan masa orde lama berkaitan dengan kebijakan pendidikan adalah terciptanya atau
terwujudnya Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia.
Semuanya dijelaskan dibeberapa sub yaitu di bab II pasal 3 menjelaskan mengenai tujuan
pendidikan nasional dan bab III pasal 4 menjelaskan mengenai dasar pendidikan nasional
(Rifa’i, 2016: 160).
Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. Masa revolusi
sangat terasa serba terbatas. Tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional
sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945.
Kita dapat merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4/1950 junto No. 12/ 1954. Kita
dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Para pengajar, pelajar
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serba terbatas.
Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah,
karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat itu merupakan era
setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak
untuk mendapatkan pendidikan. Orde lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat,
yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara,
termasuk dalam bidang pendidikan.
Sesungguhnya ini amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita
pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak pemikir yang lahir
pada masa itu. Sebab ruang kebebasan dibuka dan tidak ada yang mendikte peserta didik.
Melihat perkembangan politik saat itu, mempengaruhi jalannya kebijakan pendidikan
nasional adalah sejak 1959. Indonesia berada di bawah gelora Manipol dan USDEK. Manipol
dan USDEK telah menjadi dewa dalam bidang kehidupan lainnya.
Termasuk dalam pendidikan. Keputusan Presiden No. 145 tahun 1965 merumuskan
tujuan pendidikan nasional pendidikan Indonesia sesuai dengan Manipol dan USDEK.
Manusia sosialis Indonesia adalah cita-cita utama setiap usaha pendidikan Indonesia. Lebih
jauh perkembangan pendidikan Indonesia masa orde lama kebijkan pendidikan nasional
muncul sebuah kebijakan yang dikenal dengan Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana
tertuang dalam intruksi PP & K No. 1 tahun 1959. Sapta Usaha Tama berisi tentang:
penertiban aparatur dan usaha Kementerian PP & K, menggiatkan kesenian dan olahraga,
mengharapkan usaha halaman, mengharuskan penabungan, mewajibkan usaha-usaha
koperasi, mengadakan kelas masyarakat, membentuk regu kerja di kalangan SLA dan
universitas.
Sedangkan Pancawardhana atau lima pokok perkembangan yang oleh misi UNESCO
untuk Indonesia diterjemahkan dalam bahasa Inggris The Five Principles of Education yang
berisikan:
1). Perkembangan cinta bangsa dan tanah air, moral nasional, internasional, dan
keagamaan,
2).Perkembangan inteligensi,
3).Perkembangan emosional-artistik atau rasa keharusan dan keindahan lahir batin,
Dari perkataan Soekarno sangat jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh
perhatian serius yang tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan. Di bawah
menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem among
berdasarkan asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan
yang dikenal sebagai Panca Dharma Taman Siswa dan semboyan ing ngarso sung tulodho,
ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Pada 1950 dicetuskan pertama kali peraturan
pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954
tentang dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 dirumuskan lagi UU No.
22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan
Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang pokok sistem pendidikan nasional pancasila. Masa
akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD (Tim UNY,
tanpa tahun: 92).
Dengan demikian, sistem pendidikan pada masa orde lama telah banyak dipengaruhi
kondisi politik bangsa Indonesia saat itu. Pasca Indonesia lepas dari penjajahan dan berhasil
mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajah Belanda dengan perjanjian KMB.
Sehingga Indonesia berdasarkan semangat kebangsaan tengah belajar terus menerus untuk
membangun sebuah negara dan belajar untuk berdemokrasi.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Praktik pendidikan zaman Indonesia merdeka sampai tahun 1960 an bisa dikatakan
banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan Belanda. Praktek pendidikan selepas penjajahan
menekankan pengembangan jiwa patriotisme. Pada masa ini, lingkungan politik terasa
mendominir praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotism dan nasionalisme terasa
berlebihan, sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri. Kebijaksanaan politik
pendidikan para menteri yang bertugas antara tahun 1945-1950 dapat dikatakan belum bisa
dirasakan atau belum terlihat hasilnya. Penyelenggaraan pendidikan agama setelah Indonesia
merdeka mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah Negeri maupun Swasta.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sangat menyadari masih adanya kesalahan dalam
penyajiannya. Maka diharapkan saran yang membangun perbaikan makalah ini dari Pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Salim, 2007. Pendidikan Zaman Pergerakan; dalam buku: Indonesia Belajarlah
(Membangun Pendidikan Indonesia). Tiara Wacana, Yogyakarta.
Agus Salim, 2007. Pendidikan Nasional Lintas Waktu dan Kekuasaan; dalam
buku: Indonesia Belajarlah (Membangun Pendidikan Indonesia). Tiara Wacana, Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono.. dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Somarsono, Moestoko. (1986). Pendidikan Indonesia dari jaman ke jaman. Balai Pustaka:
Jakarta.
Rifai, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional: Dari Masa Klasik Hingga Modern.
Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia.
Syaharuddin dan Hera Susanto. 2019. Sejarah Pendidikan Indonesia (Era Pra Kolonial
Nusantara Sampai Reformasi. Banjarmasin: Program Studi Pnedidikan Sejarah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat.