Anda di halaman 1dari 26

KERAJAAN SUNDA

Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan 1579 Masehi di
bagian Barat pulau Jawa (provinsi Banten, Jakarta, dan Jawa Barat sekarang). Kerajaan ini
bercorak Hindu dan Buddha.

Etimologi

Nama "sunda" berasal dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang
berarti bersinar, terang, putih.[1] [2]
Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun
terdapat kata sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela atau tak bernoda, air,
tumpukan, pangkat, waspada.[3] Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu
Kuno dengan tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya". [4]
Kemudian sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao
Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-t'o kemudian
dirujuk kepada Sunda,[5] kawasan ini disebutkan juga menghasilkan lada.

Sumber sejarah primer dari tahun 1400-an, yaitu naskah kuno Bujangga Manik, yang
disimpat di Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R),
cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181), menyatakan bahwa Sunda mencakup
wilayah dari Banten sampai Kali Cipamali (Kali Brebes) dan Kali Serayu di bagian timur.
Naskah-naskah bersejarah dari Jawa Timur seperti Pararaton (1522 Saka atau 1600 Masehi)
dan karya sastra Kidung Sunda (Bali sekitar abad ke-16) merujuk kata "Sunda" atau
"Pasundan" sebagai nama kerajaan yang letaknya di pulau Jawa bagian barat.

Claude Guillot juga dalam bukunya yang berjudul The Sultanate of Banten menulis pada
halaman 11 bahwa Banten merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. "Sunda" juga menunjuk
kepada daerah pesisir bagian barat pulau Jawa, lebih tepatnya di daerah Banten. Di sekitar
tahun 1500, Shungfeng xiangsong, sebuah buku perjalanan dari Tiongkok, memakai kedua
nama "Wan-tan" dan "Shun-t'a" untuk kota Banten. Di masa yang sama dua penulis Arab, Ibn
Majid dan Sulaiman, menamakan "Sunda" pelabuhan yang letaknya paling barat di pantai
utara pulau Jawa, yang hanya dapat mengacu ke Banten. Peta Portugis yang paling lama
mengenai kawasan ini menyebut "Sunda" daerah muara sungai yang letaknya di bagian barat
pantai utara Jawa. Naskah Portugis paling sering menamakan "Sunda", kadang-kadang
"Bantam" bahkan "Sunda-Bantam", kota Banten sekarang
Catatan sejarah

Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-
Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta.

Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 (952 Saka), diketahui bahwa
kerajaan Sunda dipimpin oleh Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabuwana Mandala Swaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa. Prasasti ini terdiri dari 40 baris yang ditulis dalam Aksara Kawi pada
4 buah batu, ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi.

Berdasarkan prasasti Batutulis berangka tahun 1533 (1455 Saka), disebutkan nama Sri
Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata, sebagai raja yang
bertahta di Pakuan Pajajaran. Prasasti ini terletak di Jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis,
Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Prasasti Batutulis dianggap terletak di situs ibu kota
Pajajaran.[6] Prasasti ini dikaitkan dengan Kerajaan Sunda. Pada batu ini berukir kalimat-
kalimat dalam bahasa dan aksara Sunda Kuno.

Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang diragukan keasliannya serta diragukan sebagai
sumber sejarah, menyebutkan sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan
Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591 Saka).
Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi
Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah.
Temuan arkeologi

Di wilayah Jawa Barat ditemukan beberapa candi, antara lain Percandian Batujaya di
Karawang (abad ke-2 sampai ke-12) yang bercorak Buddha, serta percandian Hindu yaitu
Candi Bojongmenje di Kabupaten Bandung yang berasal dari abad ke-7 (sezaman dengan
percandian Dieng), dan Candi Cangkuang di Leles, Garut yang bercorak Hindu Siwa dan
diduga berasal dari abad ke-8 Masehi. Siapa yang membangun candi-candi ini masih
merupakan misteri, namun umumnya disepakati bahwa candi-candi ini dikaitkan dengan
kerajaan Hindu yang pernah berdiri di Jawa Barat, yaitu Tarumanagara, Sunda dan Galuh.

Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca
Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut.
Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri
dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan
Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.

Di situs purbakala Banten Girang, yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan
Banten sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan didirikan di abad ke-
10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan ini yang menunjukkan pengaruh Jawa
Tengah.
Berdirinya kerajaan Sunda

Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri,
Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja
Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga
tahun, 666-669 M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari,
beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri sulungnya,
menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah
dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya mendirikan kerajaan Sriwijaya. Setelah
Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada menantunya, Tarusbawa.
Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan
diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh yang mandiri. Tarusbawa juga
menginginkan melanjutkan kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan
kekuasaannya ke Sunda, di hulu sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai
Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan
Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari
Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan
Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat,
Galuh di sebelah timur).

Wilayah kekuasaan

Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga
Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di
Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan
Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah
timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci
Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini
menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan
Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
Persekutuan antara Sunda dan Galuh

Putera Tarusbawa yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda,
meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa ini lantas
dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang
Tamperan.

Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya
adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena
adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-
709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan
Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.

Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena,
sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang
Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.

Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723), kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan
Sanjaya. Di tangan Sanjaya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya
menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di
Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti
oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Rarkyan Panaraban berkuasa
di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739), lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya;
Sang Manarah (dalam carita rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga
(Hariang Banga) di Sunda.

Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun
(739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan
Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang,
yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar
Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya
kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang
menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).

Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan, maka kekuasaan
Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan gelar Prabu Pucukbhumi
Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819). Dari Rakryan Diwus, kekuasaan
Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus, yang menikah dengan putera dari Sang
Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara
iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh
dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun
891.

Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh,
Arya Kadatwan. Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia dibunuh
tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya, Rakryan Windusakti.
Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913).
Rakryan Kamuninggading menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut
oleh adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28 tahun, kemudian
diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun 942. Melanjutkan dendam
orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut kekuasaannya oleh keponakannya (putera
Kamuninggading), Sang Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera sulungnya, Rakryan
Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera dari Sundasambawa, kekuasaan
tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan
kekuasaannya ka puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu
Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan kepada
puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri
Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja
Airlangga (1019-1042).

Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya, Dharmaraja (1042-1064), lalu
ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi ((1064-1154). Prabu Langlangbhumi
dilanjutkan oleh putranya, Rakryan Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu
Dharmakusuma (1156-1175). Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh
diwariskan kepada putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun
(1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12 tahun, tapi
kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke
tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.

Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang terbesar, Rakryan


Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama enam tahun (1297-1303). Prabhu
Ragasuci kemudian diganti oleh putranya, Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan
tahun (1303-1311), kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333).
Karena hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke
menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu Ragamulya
Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan diwariskan ke putranya,
Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357), yang di ujung kekuasaannya gugur saat
Perang Bubat. Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih
kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang Prabu Bunisora
(1357-1371).

Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis.

Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra Linggabuana,


Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104 tahun (1371-1475). Dari isteri
pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal),
yang diberi kekuasaan bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu
Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat pemerintahan ini
dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Pemerintahannya
terbilang lama (1382-1482), sebab sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah
timur. Dari Nay Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di daerah Galuh
(1475-1482).

Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan menikahkan Jayadéwata


(putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan
Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja.

Masa penurunan

Sapeninggal Jayadéwata, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa


(1521-1535), kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551),
Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-
1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir,
sebab setelah beberapa kali diserang oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten,
mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
Sejarah Kerajaan Sunda: Peninggalan, Silsilah & Masa Jaya

Kerajaan Sunda berdiri pada tahun 669 Masehi. Kerajaan yang memiliki nama lain Pasundan
dan Pakuan Pajajaran ini meliputi wilayah yang saat ini menjadi bagian dari Provinsi Banten,
DKI Jakarta, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah. Kerajaan Sunda mencapai puncak
kejayaan pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Keruntuhan kerajaan ini dipicu oleh
berbagai hal antara lain karena serangan yang dilancarkan oleh Kesultanan Banten, selain itu
setelah mangkatnya Prabu Siliwangi tidak ada pemimpin penerus yang memiliki kemampuan
seperti dirinya.

Artikel ini mengulas sejarah Kerajaan Sunda dari awal berdiri hingga berbagai prasasti
peninggalannya.

Sejarah lahirnya Kerajaan Sunda

1. Akhir dari Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda memiliki hubungan yang dekat. Menurut
Naskah Wangsakerta, Kerajaan Tarumanegara menaklukkan daerah Sunda Pajajaran (sekitar
Sungai Cipakancilan, Bogor) dan menjadikannya sebagai bawahan. Kerajaan Tarumanegara
yang berdiri tahun 358 Masehi lebih dulu membesarkan kerajaannya.

Tarusbawa, sang pemimpin Sunda menikahi putri sulung raja Tarumanegara, Sri Maharaja
Linggawarman Atmahariwangsa Panunggalan Tirthabumi, yang bernama Dewi Manasih.
Tarusbawa menjadi menantu raja dan mendapatkan peran dalam pemerintahan Kerajaan
Tarumanegara.

Raja Linggawarman yang baru saja menduduki tahta raja selama tiga tahun jatuh sakit dan
meninggal pada 669 Masehi. Posisi kepala pemerintahan diberikan kepada Tarusbawa dan
Tarumanegara digantikan oleh Kerajaan Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa,
bulan Yista, tahun 519 Saka (18 Mei 669 Masehi).

Pada saat ini, Kerajaan Galuh yang semulanya berada di bawah Tarumanegara melepaskan
diri dan membentuk pemerintahannya sendiri. Tarusbawa yang ingin melanjutkan amanah
mertuanya menyetujui hal tersebut dan mulai membagi wilayah kekuasaan. Sungai Citarum
menjadi pembagi kedua wilayah. Sebelah barat sungai untuk Sunda dan sebelah timur sungai
untuk Galuh.

2. Bersatunya Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh

Sebelum pemerintahan Tarusbawa berakhir, cucunya yang bernama Nay Sekarkancana


dinikahkan dengan Rahyang Sanjaya dari Galuh. Kondisi Kerajaan Galuh pada tahun 716
Masehi mengalami gejolak. Raja ketiga Galuh, Sena, dikudeta oleh Purbasora yang juga
merupakan saudara tirinya. Alhasil Tarusbawa bersama Sanjaya melakukan penyerangan
untuk merebut kembali kekuasaan Galuh. Setelah sukses meraih kemenangan, Sanjaya
menyatukan Kerajaan Sunda dan Galuh di bawah pimpinannya.

Bersatunya Kerajaan Sunda-Galuh tidak bertahan lama. Anak Sanjaya, Rakeyan Panaraban,
membagi kedua kerajaan kembali kepada kedua anaknya, Sang Manarah atau yang biasa
disebut Ciung Wanara dalam cerita rakyat dan Sang Bang atau dikenal dengan Hariang
Banga, untuk menghindari perebutan kekuasaan. Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga
di Sunda.

Ratusan tahun berlalu dan kedua kerajaan tetap bertahan melampaui waktu. Konflik demi
konflik muncul namun berhasil diselesaikan. Titik puncak Kerajaan Sunda dan Galuh berada
pada era kemunduran Kerajaan Majapahit.

Sekitar tahun 1400-an Masehi, Prabu Kertabumi atau Brawijaya V, anggota keluarga
kerajaan dan segenap rakyatnya mengungsi ke Kawali, ibukota Galuh (sekarang sekitar
Kuningan, Jawa Barat). Galuh yang waktu itu dipimpin oleh Dewa Niskala dengan senang
hati menerima mereka. Bahkan menjodohkan salah satu putrinya dengan kerabat Prabu
Kertabumi. Ia juga mempersunting dari salah satu pengungsi.
Di sisi lain, Sunda yang kala itu dipimpin oleh Susuktunggal tidak terima dengan pernikahan
antara orang Sunda-Galuh dengan Majapahit mengingat perjanjian yang dibuat akibat
peristiwa Bubat. Dewa Niskala bersedia menghapuskan aturan dan tradisi sedangkan
Susuktunggal teguh menetapkannya. Lantas kedua kerajaan damai tersebut malah berperang.

Demi kebaikan kedua pihak, penasihat-penasihat kedua kerajaan menyarankan untuk


menunjuk penguasa baru dan kedua raja tahta. Mereka bersedia dengan jalan damai dan
menunjuk Jayadewata atau lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.

Prabu Siliwangi adalah putra Dewa Niskala yang menikahi Ambet Kasih, putri Susuktunggal.
Setelah naik menjadi raja, Prabu Siliwangi bergelar Sri Baduga Maharaja. Pada tahun 1482,
ia memutuskan untuk menyatukan kembali kedua kerajaan menjadi Kerajaan Sunda-Galuh
Pajajaran.

Letak geografis dan wilayah kekuasaan

Wilayah kekuasaan Sunda pada masa kejayaannya. Sumber: berdikarionline.com

Wilayah Sunda sewaktu masih menjadi bawahan Tarumanegara berada di hulu sungai
Cipakancilan, sekitar Bogor sekarang. Kemudian setelah mendirikan Kerajaan Sunda,
kerajaannya berlokasi di sebelah barat Sungai Citarum yang menjadi batas geografis dengan
Kerajaan Galuh. Pusat kerajaannya pada masa awal berada di Parahyangan Sunda atau
Priangan (sekitar utara dari Bandung). Sedangkan Galuh beribukota di Kawali (sekitar
Kuningan).

Kerajaan Sunda meluaskan wilayahnya ke arah barat dan selatan Jawa Barat mencakup
Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Sukabumi, dan Bandung. Sedangkan Kerajaan Galuh ke
arah timur dan utara yang meliputi Cirebon, Kuningan, Indramayu, dan Sumedang.

Ketika mencapai masa emasnya, Kerajaan Sunda berhasil mengepakkan sayapnya hingga ke
Banten dan Lampung. Di situlah ia menamakan lautan yang memisahkan kedua pulau dengan
nama Selat Sunda. Sejauh ini ia berhasil menaungi hampir setengah dari Pulau Jawa.

Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), setelah menyatukan
kembali kedua kerajaan, ibukota dipindahkan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran (sekarang
Bogor). Pakuan sendiri memiliki arti kota dalam Bahasa Sunda kuno.

Letak geografis Kerajaan Sunda yang berpusat di daerah lereng gunung membuatnya maju di
bidang perkebunan dan pertanian. Dialiri banyak sungai sehingga akses transportasi juga
menggunakan kapal. Di sisi militer, menguntungkan kerajaan karena bisa menggunakan
gunung sebagai kekuatan alami untuk menahan musuh yang datang dari bawah atau dataran
rendah.

Mengenal Kerajaan Sunda lebih dalam

Setelah berkilas balik tentang berdirinya kerajaan di tanah Sunda, mari kita mengintip
bagaimana kehidupan dalam berbagai aspek di Kerajaan Sunda.

1. Kehidupan politik dan militer

Pemerintahan era lampau tidak lepas dari kata kerajaan. Sebuah kerajaan umumnya dipimpin
oleh seorang raja dan menerapkan sistem patriarki yang kuat, sistem di mana laki-laki adalah
pemegang kekuasaan dan memiliki peran politik utama.
Kerajaan Sunda dipimpin oleh raja-rajanya. Apabila raja memiliki keturunan laki-laki maka
otomatis dinaikkan menjadi penerus selanjutnya. Jika tidak memiliki anak laki-laki, biasanya
akan diberikan kepada kerabat atau suami dari anak perempuannya.

Raja-raja tidak hanya berdiri sendiri. Ia membutuhkan bantuan dari dewan penasihat,
panglima perang, dan prajuritnya untuk bersama-sama menjalankan pemerintahan. Mereka
tidak setara, raja masih di atas mereka semua, namun saran dan perkataannya berpengaruh
bagi raja.

Berdasarkan sumber-sumber sejarah, Kerajaan Sunda memiliki undang-undang tentang


pemungutan upeti untuk menghindari penyelewengan dalam proses berjalannya dari para
petugas. Di bidang militer, Kerajaan Pakuan Pajajaran ini terkenal dengan reputasinya untuk
menahan serangan dengan baik. Dibuktikan dengan kegagalan Kerajaan Majapahit untuk
menguasai bumi Sunda. Hal ini dikarenakan setelah terjadinya peristiwa Bubat, para
pemimpin setelahnya menggencarkan kekuatan militer dengan menambah pasukan dari
golongan pemuda dan cakap membuat strategi perang.

2. Kehidupan ekonomi

Rakyat Sunda mayoritas hidup sebagai petani, peternak, pekebun, dan pedagang. Mengingat
kondisi geografis wilayah Sunda yang banyak bermukim di lereng gunung, hasil pertaniannya
meliputi teh, lada, beras, asam Jawa, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Untuk bidang ternak,
banyak yang memelihara sapi, babi, kambing, dan biri-biri.

Selain di sektor agribisnis, beberapa rakyat juga memiliki pekerjaan sebagai pelukis, pande
mas (pengrajin emas), pande dang (pembuat alat-alat rumah tangga), dan nelayan.
Perdagangan biasanya dilakukan di pasar dan pelabuhan di sungai-sungai.

Selama masa hidupnya Sunda, terdapat enam pelabuhan utama yaitu Banten, Cigede,
Tomgara, Pontang, Sunda Kalapa, dan Cimanuk (sekarang Pamanukan). Masing-masing
pelabuhan dikepalai oleh Syahbandar yang diutus oleh raja untuk mengatur jalannya
perdagangan dan akses transportasi.

3. Kehidupan sosial dan budaya


Kehidupan bersosial dalam Kerajaan Sunda tidak lepas dari penggolongan sosial. Mereka
terbagi menjadi empat kelompok, yakni kelompok rohani atau agama, cendikiawan, aparat
kerajaan, dan ekonomi.

Kelompok rohani meliputi brahmana, pratanda, dan janggan yang mengetahui tentang ritual


pemujaan, berbagai macam mantra, dan kehidupan keagamaan. Kelompok cendikiwan adalah
mereka yang memiliki kemampuan intelektual seperti memen yang tahu banyak cerita,
paraguna yang tahu banyak lagu dan nyanyian, serta prepatun yang tahu banyak pantun.
Aparat kerajaan adalah mereka yang bertugas di pemerintahan, misalnya prajurit, hulu
jurit (semacam panglima perang), dan bhayangkara (semacam polisi). Terakhir, mereka yang
hidup di sektor ekonomi seperti petani, peternak, pedagang, nelayan, dan lain-lain.

Dari segi kebudayaan, kerajaan satu ini melahirkan budaya Sunda yang sampai sekarang ada
mulai dari bahasa, aksara, tari-tarian, dan musiknya. Kebudayaan ini awalnya merupakan
percampuran dari budaya Hindu dengan budaya leluhur. Agama Hindu menjadi agama yang
dianuti dan dipraktikkan dalam berkehidupan di kerajaan. Sunda juga gemar untuk
meninggalkan prasasti sebagai bukti atas suatu peristiwa atau cerita.

Silsilah raja

Menurut Naskah Pangeran Wangsakerta, inilah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan
Sunda dari tahun ke tahun.

 Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669-723)


 Sanjaya atau Harisdarma (menantu Tarusbawa, 723-732)
 Tamperan Barmawijaya (732-739)
 Rakeyan Banga atau Hariang Banga (739-766)
 Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783)
 Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783- -795)
 Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795-819)
 Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819-891)
 Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891-895)
 Windusakti Prabu Déwageng (895-913)
 Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916)
 Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916-942)
 Atmayadarma Hariwangsa (942-954)
 Limbur Kancana (putra Rakeyan Kamuning Gading, 954-964)
 Munding Ganawirya (964-973)
 Rakeyan Wulung Gadung (973-989)
 Brajawisésa (989-1012)
 Déwa Sanghyang (1012-1019)
 Sanghyang Ageng (1019-1030)
 Sri Jayabupati atau Detya Maharaja (1030-1042)
 Darmaraja atau Sang Mokténg Winduraja (1042-1065)
 Langlangbumi atau Sang Mokténg Kerta (1065-1155)
 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155-1157)
 Darmakusuma atau Sang Mokténg Winduraja (1157-1175)
 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297)
 Ragasuci atau Sang Mokténg Taman (1297-1303)
 Citraganda atau Sang Mokténg Tanjung (1303-1311)
 Prabu Linggadéwata (1311-1333)
 Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
 Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357)
 Prabu Bunisora (1357-1371)
 Prabu Niskala Wastukancana (1371-1475)
 Prabu Susuktunggal (1475-1482)
 Jayadéwata atau Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja (menantu Prabu
Susuktunggal, 1482-1521)
 Prabu Surawisésa (1521-1535)
 Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
 Prabu Sakti (1543-1551)
 Prabu Nilakéndra (1551-1567)
 Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
Masa kejayaan
Dari seluruh raja yang telah disebutkan sebelumya, masa emas Kerajaan Sunda terjadi pada
masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Ceritanya yang lebih dikenal dengan nama Prabu
Siliwangi masih dibangga-banggakan sampai sekarang. Pertama, ia membuktikan dalam
bentuk fisik. Karena baru saja menyatukan Sunda dan Galuh dengan ibukota Pakuan
Pajajaran, tata kota dan wilayah kerajaan harus dilakukan. Hal ini bertujuan untuk
memudahkan kehidupan kerajaan dan rakyatnya.

Jayadewata membangun jalan dari Pakuan Pajajaran sampai ke Wanagiri (sekarang


Wonogiri), membuat telaga besar yang dinamakan Maharena Wijaya untuk sumber air baru,
membuat pamingtonan (semacam tempat hiburan dan pagelaran), serta
membuat kabinihajian atau kaputren (semacam tempat tinggal) untuk para putri dan prajurit.
Tak lupa juga ia membangun sarana dan prasarana keagamaan dan spiritual untuk mendorong
masyarakat melakukan kegiatan keagamaan bersama-sama. Benteng-benteng yang sudah ada
juga diperkokoh lagi olehnya.

Dari segi hukum ia menetapkan undang-undang untuk mengatur kehidupan kerajaan dan
masyarakat, terutama untuk urusan pemungutan upeti. Sektor ekonomi juga maju karena
memaksimalkan kekuatan perdagangan jalur air dengan pelabuhannya. Wilayah juga berhasil
diperluas hingga ke Lampung di Pulau Sumatera. Kedaulatan kerajaan masih dipertahankan
meskipun adanya ancaman dari Kerajaan Majapahit.

Tragedi Bubat
Ilustrasi Perang Bubat dari ilmusejarah.web.id

Peristiwa Bubat, peristiwa besar yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan
Majapahit. Ini terjadi pada masa pemerintahan Prabu Maharaja Linggabuana.

Kala itu, Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit jatuh hati pada lukisan putri Linggabuana,
Dyah Pitaloka Citraresmi. Ia ingin mempersunting Dyah Pitaloka sekaligus mempererat
hubungan kedua kerajaan dengan ikatan pernikahannya. Nyatanya, Raden Wijaya sang
pendiri Majapahit adalah keturunan Sunda karena ayahnya adalah Rakeyan Jayadarma, raja
Sunda. Dengan niat kebaikan tersebut Hayam Wuruk mengirimkan undangan ke Sunda.

Sesampainya surat lamaran tersebut, dewan penasihat keberatan dengan permintaannya


karena pada masa itu, tidak lazim bagi perempuan untuk mendatangi pihak laki-laki. Mereka
juga menduga bahwa ini adalah jebakan untuk bisa menaklukkan Sunda. Tetapi, Linggabuana
memutuskan untuk berangkat ke Majapahit atas dasar ikatan persaudaraan leluhur.

Rombongan Sunda berangkat membawa sang raja, permaisuri, putri Dyah Pitaloka, beberapa
kerabat kerajaan, dan prajurit secukupnya. Setibanya di Majapahit, rombongan Sunda
ditempatkan di Pesanggrahan Bubat (Jawa Timur).
Di sinilah tragedi tragis akan terjadi. Mahapatih Majapahit, Gajah Mada yang menjunjung
tinggi Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara di bawah kuasa Majapahit, melihat ini
sebagai bentuk tunduknya Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada bahkan menekan Hayam
Wuruk untuk mengubah niatnya dari mengeratkan ikatan diplomatis menjadi pengakuan
superioritas Majapahit.

Berita ini sampai ke telinga Linggabuana dan tidak terima atas perlakuan Gajah Mada.
Namun, tanpa seizin Hayam Wuruk, Gajah Mada melakukan penyerangan dengan pasukan
yang berjumlah besar.

Tak mundur dari perang, Linggabuana maju ke medan tempur walaupun pasukannya sangat
kalah jumlah. Alhasil, hampir semua rombongan Sunda tewas di Lapangan Bubat termasuk
sang raja. Mereka yang masih hidup hanya terdiri dari perempuan. Dyah Pitaloka tak sanggup
menerima kenyataan dan memutuskan untuk mencabut nyawanya sendiri. Perempuan lain
juga mengikuti aksi Dyah Pitaloka.

Setelah perang Bubat, hubungan Majapahit dan Sunda rusak. Pemerintahan dilanjutkan oleh
Prabu Niskala Wastu Kancana, putra Linggabuana dan adik Dyah Pitaloka. Kemudian
diberlakukan hukum larangan estri ti luaran, yang berarti larangan untuk menikah dengan
orang di luar Sunda. Dan sampai sekarang masih ada yang menerapkan peraturan tersebut di
keluarganya (orang Sunda dilarang untuk menikah dengan orang Jawa).

Runtuhnya Sang Pakuan Pajajaran

Kita sudah sampai di penghujung cerita Kerajaan Sunda. Layaknya hidup pasti akan sirna dan
mati. Kerajaan Sunda Pajajaran setelah pemerintahan Prabu Siliwangi tidak mendapatkan
pemimpin yang secakap dirinya.

Ditambah lagi serangan Kesultanan Banten yang menggempur Pakuan Pajajaran. Pasukan


Islam Banten mengambil singgasana raja yang disebut Palangka Sriman Sriwicana dan
membawanya ke hadapan Maulana Yusuf. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa
tidak ada raja lagi yang bisa dinobatkan untuk Kerajaan Pajajaran. Ialah yang akan menjadi
penguasa untuk wilayah-wilayah Sunda karena dirinya juga adalah canggah (keturunan
keempat) dari Sri Baduga Maharaja.
Dan di sinilah akhir dari sejarah Kerajaan Sunda sekitar tahun 1579. Sisa-sisa anggota
kerabat kerajaan menetap di Lebak dan hidup dengan mandala yang ketat. Kelanjutan dari
anggota istana ini adalah terlahirnya Suku Baduy.

Peninggalan dan sumber sejarah

Bukti-bukti sejarah yang sudah ditemukan sekarang tentang Kerajaan Sunda tidak begitu
banyak. Peninggalannya meliputi prasasti, situs sejarah, dan catatan atau naskah sejarah. Di
antaranya sebagai berikut.

1. Prasasti Batu Tulis

Prasasti Batu Tulis. Sumber: abangnji.com

Prasasti yang ditemukan di Batu Tulis, Bogor, adalah salah satu peninggalan sejarah Kerajaan
Sunda yang ditulis pada batu terasit, batu yang umum ditemukan di Sungai Cisadane. Ditulis
dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Pembuatnya tak lain adalah Prabu Surawisesa,
putra Prabu Siliwangi. Ia menuliskan jasa-jasa ayahnya serta penyesalannya karena tidak bisa
mempertahankan Sunda dari serangan Kesultanan Banten dan Cirebon.
2. Prasasti Huludayeuh

Prasasti Huludayeuh. Sumber: abangnji.com

Prasasti ini ditemukan di Huludayeuh, Cirebon dan ditulis dalam Bahasa Sunda kuno.
Sayangnya, prasasti ini ditemukan dalam keadaan tidak utuh. Setelah lama dicari dan
terkumpul, tulisan-tulisannya juga sudah tidak dapat diterjemahkan. Garis besar isi prasasti
ini adalah usaha Sri Maharaja Ratu Haji memakmurkan kerajaan di Pakuan Pajajaran.

3. Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu. Sumber: kelasips.com

Bukti bahwa wilayah kekuasaan Sunda telah mencapai Lampung ada pada prasasti ini karena
ditemukan di Ulubelu, Tanggamus, Lampung. Dikatakan peninggalan Sunda karena ditulis
dengan aksara Sunda kuno. Isi prasastinya adalah doa permintaan tolong kepada dewa-dewa
Hindu, seperti Siwa, Brahma, dan Wisnu. Mereka berdoa kepada dewa untuk menjaga
keselamatan dan keamanan kerajaan dari musuh.

4. Prasasti Cikapundung
Prasasti Cikapundung. Sumber: nasional.tempo.co

Ditemukan di Cikapundung, Ujungberung, prasasti ini tidak hanya dituliskan dengan aksara
Sunda Kuno, tetapi juga memuat gambar wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Isi dari
Prasasti Cikapundung adalah pernyataan bahwa setiap manusia di muka bumi dapat
mengalami kejadian apapun baik itu suka maupun duka, terbukti dalam kalimat unggal jagat
jalmah hendap (semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu) yang terdapat di prasasti.

5. Prasasti Pasir Datar

Prasasti Pasir Datar. Sumber: kelasips.com


Lucunya, prasasti ini ditemukan di kebun kopi di Pasir Datar, Sukabumi. Terbuat dari batu
alam dan merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Sunda yang misterius karena sampai
sekarang belum ada terjemahan dari prasasti ini.

6. Prasasti Kebon Kopi II

Prasasti Kebon Kopi II. Sumber: cagarbudaya.kemendikbud.go.id

Ketika menebang hutan untuk lahan kebun kopi, prasasti ini dengan tidak sengaja ditemukan.
Terletak di Pasir Muara, Bogor, dan berdekatan dengan Prasasti Kebon Kopi I. Ini menjadi
peninggalan Sunda karena berisi tentang Rakeyan Jayagiri yang menduduki tahta sebagai raja
Sunda. Prasasti ini diukir sekitar tahun 932 Masehi. Sedangkan Prasasti Kebon Kopi I
menjadi peninggalan Tarumanegara karena terdapat telapak kaki gajah tunggangan
Purnawarman yang merupakan raja Tarumanegara.

7.  Padrao Sunda Kelapa


Padrao Sunda Kelapa. Sumber: id.wikipedia.org

Kerajaan Sunda juga menjadi saksi kedatangan Bangsa Eropa ke nusantara, khususnya Pulau
Jawa. Sebuah perjanjian dibuat antara Portugis dengan Sunda yang ditandai
dengan padrao (tugu batu). Enrique Leme dari Portugis dan Prabu Surawisesa dari Sunda
yang menjadi saksi perjanjian tersebut. Isi dari padrao adalah izin untuk membangun benteng
dan gudang perdagangan bagi Portugis. Tempat membangunnya adalah tempat padrao ini
dibuat, yakni di Kali Besar Timur I, Jakarta Barat.

8. Karangmulyan
Situs Karangmulyan. Sumber: posterpiknik.blogspot.com

Kawasan ini dijadikan cagar budaya oleh pemerintah sekarang. Terletak di Cijeungjing,
Ciamis, situs sejarah ini merupakan peninggalan Kerajaan Galuh sewaktu dipimpin oleh
Ciung Wanara yang juga keturunan Sunda. Kehidupan pernah berlangsung di sini sejak abad
sembilan dibuktikan dengan penemuan keramik Dinasti Ming.

9. Catatan sejarah

Cerita sejarah Kerajaan Sunda-Galuh Pajajaran dapat dilacak dari catatan sejarah yang dibuat
oleh orang-orang pada masa kerajaan dan sumber-sumber asing. Di antaranya adalah Naskah
Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga Manik, Sanghyang Siksakanda Ng Karesian,
Sajarah Banten, Wangsakerta, Kitab Kidung Sundayana, serta berita asing dari Tome Pires
tahun 1513 dan Pigafetta tahun 1522. Sayangnya pengarang naskah-naskah yang dibuat oleh
rakyat Sunda tidak diketahui sampai sekarang.

Misteri Kerajaan Sunda

1. Langkanya peninggalan candi yang ditemukan


Meski banyak bukti yang ditemukan tentang kehidupan dan keberadaan Kerajaan Sunda,
masih ada hal yang mengganjal tentang kerajaan satu ini. Sejauh ini, sangat jarang ditemukan
candi-candi peninggalan Kerajaan Sunda. Padahal, kehidupan keagamaannya dapat dikatakan
taat dan kental dengan ajaran Hindu. Kemungkinan besar hal ini diakibatkan oleh kebiasaan
masyarakat yang sering berpindah tempat atau nomaden. Ketika ladang sudah tidak maksimal
lagi untuk bertani, maka mereka akan pindah mencari tempat baru sehingga bangunan
permanen kadang tidak banyak berdiri (seperti keraton).

2. Macan dan Prabu Siliwangi

Raja yang membawa Sunda mencapai kejayaannya ini juga turut memberikan misteri. Macan
atau dalam Bahasa Sunda maung sering dikaitkan dengan sang prabu karena cerita legenda
menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar musuh dari Banten dan
Cirebon. Ia meninggalkan wangsit untuk Kerajaan Pakuan Pajajaran tersebut. Ia berkata,
“lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung” (jika aku sudah
tidak menemanimu, lihatlah tingkah laku macan atau harimau).

Perkataan tersebut semakin dipercaya bahwa Jayadewata memiliki kekuatan untuk


menghilang dan menjelma menjadi macan oleh masyarakat. Untungnya, setelah dilakukan
penelitian, kata-kata tersebut mengartikan bahwa jika sang prabu sudah tiada maka lihatlah
sifat dan karakteristik macan untuk memimpin Sunda. Macan dideskripsikan sebagai
binatang yang tegas, berani, tetapi juga sayang dengan keluarganya. Yang menjadi ganjal
adalah, kita tidak pernah tahu apakah Prabu Siliwangi benar-benar menghilang dan menjadi
macan lalu kembali setelah berhari-hari menghilang.

Sekian cerita tentang kerajaan yang bertahan beratus tahun di tanah Sunda ini. Jangan lupa
untuk sebarkan tuliskan ini jika bermanfaat. Terima kasih banyak.

Anda mungkin juga menyukai