Anda di halaman 1dari 12

PROPOSAL PENELITIAN SEJARAH

SEJARAH SMP PADA ERA KOLONIAL MULO DI KOTA


SURABAYA, 1916 - 1942

Disusun oleh:

Salsa Azizah 202315500127

Dosen Pengampu:

Ibnu habib Al Wahid M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2023

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
rahmat dan tuntunan-Nya serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal
penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan proposal penelitian ini masih jauh
dari kesempurnaan, itu semua keterbatasan karena keterbatasan penulis sebagai
manusia biasa yang perlu memahami lebih dalam tentang materi-materi yang telah
disampaikan dalam perkuliahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik
yang bersifat membangun.
Kegiatan pembuatan proposal penelitian yang penulis laksanakan ini
merupakan salah satu bentuk tugas untuk membuat penelitian mata kuliah pengantar
ilmu sejarah yaitu Bapak Ibnu Habib Al Wahid M.Pd yang telah memberikan tugas
ini kepada kita semua. Besar harapan penulis segala sesuatu yang penulis kerjakan,
lakukan, korbankan baik waktu, pikiran, dan tenaga dalam penulisan proposal
penelitian ini mendapat ridho dari Allah SWT, dan juga dapat menghasilkan nilai
yang baik, serta menjadi yang berguna.
Akhir kata semoga proposal ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan
bagi siapa saja yang membacanya.

Jakarta, 20 Desember 2023

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Bagi bangsa Indonesia, pendidikan memiliki peran penting dalam


pembangunan intelektualitas karena merupakan salah satu asset kehidupan budaya
yang bertujuan untuk memajukan pemikiran bangsa nasional. Dalam sudut pandang
ini memiliki dampak positif untuk memajukan peradaban bangsa Indonesia. Sekolah-
sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ini mengarahkan
sistem pendidikan ke arah yang lebih modern.

Pada tanggal 19 Agustus 1816 Pemerintah Kolonial Belanda mulai


memperhatikan pendidikan di Hindia Belanda namun pendidikan ini hanya untuk
anak-anak Belanda. Sejatinya pada masa Pemerintah Kolonial Belanda sudah terdapat
sekolah-sekolah untuk bumi putera, namun fasilitas yang diberikan tidak sepadan
dengan sekolahan bagi anak-anak Belanda.

Diantara tahun 1900 dan tahun 1942 di Hindia Belanda mengalami sistem
pendidikan dualisme yang dimana kurikulumnya lebih tersistematis serta guru-guru
yang mengajar diambil dari negara Belanda. Dan pada tahun 1907 Gubernur Jenderal
Van Heutz membuat gagasan untuk mengembangkan Sekolah Desa. Pejabat
Pemerintahan Kolonial Belanda mulai mewajibkan penduduk desa untuk
mementingkan pendidikan karena sebagian besar penduduk yang miskin tidak tertarik
pada pedidikan.

Pada awal abad ke-20 sekolah-sekolah Belanda yang ada di Jawa Timur
terbagi ke beberapa jenjang yaitu: pendidikan sekolah dasar yang terdiri dari ELS,
HIS, pendidikan menengah umum yang terdiri dari MULO, AMS, HBS. Misalnya di
Surabaya sekolah HBS menciptakan murid-murid yang cukup hebat sampai alumni

3
nya bisa melanjutkan ke pendidikan tinggi baik dari kalangan bumiputera, Asia
Timur, dan Eropa.

Surabaya yang merupakan kota industri memicu penduduk dari luar Surabaya
untuk merantau ke tempat tersebut. Pada jenjang pendidikan lanjutan yaitu MULO,
AMS, dan HBS mengalami perkembangan pesat dan kebuka bagi semua kalangan.
Perkembangan MULO di Surabaya dengan daerah Jawa Timur memiliki perbedaan
yang mencolok seperti di Surabaya memiliki peningkatan baik prasarananya maupun
siswanya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pendidikan di Surabaya pada era politik etis?
2. Bagaimana strafikasi sosial masyarakat Surabaya?
3. Apa saja sistem kurikulum MULO?
4. Apa saja Kontribusi MULO bagi masyarakat di Kota Surabaya?

1.3. Definisi

1. Kondisi pendidikan Kota Surabaya pada era politik etis mengalami perkembangan
dari mulainya pembangunan-pembangunan sekolah Belanda. Dengan adanya
politik etis mengharuskan Pemerintah Hindia Belanda memberikan fasilitas
pendidikan bagi penduduk bumiputera. Gagasan untuk menyelenggarakan
pendidikan modern bagi penduduk bumiputera oleh Snouck Hurgronje yang
berpendapat bahwa hanya dengan memberikan pendidikan secara barat pada anak-
anak bumiputera, khususnya anak-anak lapisan atas, maka Pemerintah Belanda
dapat mempertahankan kolonialismenya di Hindia Belanda.

4
Kemudian di Surabaya memunculkan sebuah kebijakan mengenai
pembangunan dan perluasan sekolah-sekolah antara lain:
a. Memberi subsidi kepada sekolah missionaris gereja yang telah lama ada sebelum
masa politik etis.
b. Membangun lagi satu sekolah ELS (Europeesche Lager School) pada tahun 1912.
c. Mendirikan HIS (Hollandsch Inlandsche School) pada tahun 1914.
d. Mendirikan dua lagi HCS (Hollandsch Chinneesche School) di Grisseesheweg
kemudian satu lagi di Pasar Turi.
e. Mendirikan MULO pada tahun 1916.
f. Mendirikan KES (Koningin Emma School) pada tahun 1912.
g. Mendirikan sekolah tinggi kedokteran di Surabaya atau NIAS pada tahun 1913.

2. Lapisan sosial masyarakat sudah tertata ketika pada medio abad ke-19 di Surabaya.
Adanya lapisan sosial ini untuk membedakan etnis di Surabaya. Pembagian lapisan
ini telah tercantum pada Regerings Regelement 1854 oleh pemerintah kolonial
Belanda. Bahkan pada abad ke-20, penggolongan etnis masyarakat Surabaya masih
membagi dalam tiga lapisan yaitu: lapisan pertama, orang-orang Belanda dan Eropa
lainnya. Lapisan kedua, orang-orang dari bangsa Timur Asing yaitu orang Melayu,
Tionghoa, Arab, dan India. Lapisan ketiga atau terendah, orang-orang bumiputera.
Pelapisan sosial penduduk yang sejatinya telah diterapkan sepertinya
memberikan efek yang besar di dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Bumiputera
merupakan penduduk asli yang lahir dan mereka yang merupakan pendatang dari
Madura, Bali, atau luar Jawa, yang bertujuan untuk mengadu nasib dan
memperbaiki kebutuhan ekonomi hidupnya.
Pelapisan masyarakat Kota Surabaya dapat terlihat pula berdasarkan pada jenis
pekerjaan. Perubahan sosial dapat dilakukan dalam proses sosialisasi dengan cara
mengadakan berbagai jenis lembaga pendidikan, sesuai dengan tingkat dan jenis
kebudayaan masing-masing. Peranan pendidikan mendukung bangsa bumiputera
untuk berpikir dan berkembang.

5
3. Dalam suatu pendidikan pastinya ada sebuah kurikulum sebagai bentuk sistematika
pembelajaran. Kurikulum pada masa Belanda memiliki suatu perbedaan karena
adanya bentuk dualisme. MULO dikategorikan sebagai pendidikan menengah yang
diperluas memiliki perbedaan bahasa pengantar. Sekolah dasar yang diperluas
pertama yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) merupakan kelanjutan dari
sekolah dasar yang berbahasa pengantar Belanda. MULO diciptakan pemerintah
untuk memberikan suatu pandangan yang luas dalam pendidikan.
MULO memiliki proses strategis untuk menjembatani sekolah rendah
bumiputera dengan sekolah menengah kejuruan, sedangkan untuk HBS tidak
mungkin karena jumlahnya yang terbatas dan biayanya sangat mahal. Posisi strategis
MULO inilah yang dijadikan khususnya di Surabaya karena merupakan basis untuk
persamaan hak dan murid bumiputera dengan Eropa.
Mata pelajaran MULO Surabaya terdapat beberapa kategori yaitu bahasa,
berhitung, ilmu-ilmu alam, dan sebagainya. Di rapor terdapat penilaian untuk tingkah
laku atau kedisiplinan dan juga absensi sedangkan di ijazah dipersempit dan dibagi
menjadi dua kategori yaitu verplicht (diwajibkan) dan facultatief (tidak diwajibkan).
Jika dilihat dari struktur mata pelajaran yang diajarkan terfokuskan agar siswa nanti
mampu untuk memanfaatkan dari hasil pelajaran tersebut.
Fungsi MULO pada intinya ialah untuk memberikan dasar yang lebih baik
bagi pendidikan kejuruan dan bagi lanjutan pelajaran.

4. Pendidikan pada masa kolonial dengan masa sekarang memiliki perbedaan karena
beberapa faktor. Ada beberapa faktor yang menjadikan MULO memiliki peranan
penting yaitu:
a. Pertama adalah pendidikan Barat pada paruh pertama abad 20 mampu membentuk
kelas sosial baru yang kala itu kelas menengah atas dilihat dari keturunan keluarga
ketika dimasuki pendidikan seperti MULO mampu menciptakan kelas menengah ke
atas.

6
b. Kedua adalah jiwa jaman pada saat itu masih memiliki jiwa nasionalisme yang
sangat tinggi untuk meraih kemerdekaan Barat yang dianggap memiliki kurikulum
yang lebih berkembang membuat masyarakat di Kota Surabaya berlomba-lomba
bersekolah yang bernaungan Barat seperti HBS, MULO, AMS, dan lainnya.
c. Faktor ketiga adalah belum banyaknya masyarakat bumiputera yang melek
pendidikan sehingga lulusan setingkat MULO lebih banyak berpeluang untuk
memiliki kesempatan kerja apalagi Kota Surabaya dianggap kota industri.
Kontribusi adanya MULO adalah mobilitas sosial, memunculkan jiwa nasionalisme,
dan terbukanya kesempatan lapangan bekerja.

1.4. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui kondisi MULO pada Akhir Era Kolonial 1900-1942.
2. Untuk mengetahui kondisi kota Surabaya pada paruh pertama abad ke-20.
3. Untuk mengetahui pendidikan di Surabaya pada politik etis.
4. Untuk mengetahui stratifikasi sosial masyarakat di Surabaya.
5. Untuk memenuhi mata kuliah pengantar ilmu sejarah.

1.5. Kegunaan Penelitian


1. Sebagai informasi dan pengetahuan bagi pembaca yang memiliki ketertarikan
terhadap sejarah pada era kolonial Belanda.
2. Sebagai informasi perkembangan sosial dan ekonomi pada era kolonial
Belanda.
3. Sebagai informasi mengenai kondisi pendidikan di Surabaya.
4. Sebagai informasi perkembangan MULO di Surabaya.
5. Sebagai informasi mengenai awal terbentuknya MULO.

1.6. Landasan Teoritis


Kondisi MULO Pada Akhir Era Kolonial 1940-1942

7
Pihak pemerintah Surabaya mulai ada niat untuk mendirikan sekolah bagi
para bumiputera pada tahun 1940 yang nantinya diberi nama
InheemscheMuloscholen. Pemerintah Surabaya menyadari bahwa di wilayah lain
sudah membangun Inheemsche Muloscholen seperti di Palembang, Bandung, Solo,
dan Yogyakarta pada tahun 1938. Dalam kasus yang ada di Yogyakarta,
pembangunan Inheemsche Muloscholen dan Inheemsche AMS dilakukan atas inisiatif
perkumpulan Muhammadiyah di Yogyakarta, dengan subsidi dari pemerintah.
Pembukaan Inheemsche Muloscholen di Surabaya dimulai pada tanggal 1 Agustus
1940 bersamaan dengan yang ada di Banjarmasin dan Solo.
Pembangunan Inheemsche Muloscholen di Surabaya mendapat dukungan dari
asosiasi Mardi Santoso. Kontruksi bentuk bangunan dari InheemscheMuloscholen
dibuat oleh pihak pemerintah Surabaya setelah itu hasil dari desainini diberikan
kepada asosiasi Mardi Santoso supaya dapat persetujuan. Rencana dari bentuk desain
ini terdapat 4 ruang kelas, kantor untuk para direktur dan para guru, bentuk kerangka
pembangunannya akan disamakan dengan Inlandsche Vervolg School, terdapat 2
fasilitas toilet. Luas per kelas akan disamakan denganbangunan kelas HIS, dan juga
ada ruang untuk digunakan olahraga. Selama masih dalam proses tahap percobaan
tidak ada kelas paralel yang akan dibentuk. Directeur van Verkeer en Waterstaat
diberikan dana sebesar ƒ 6.000,00 untuk membangun sekolah ini. Penyelesaian
proyek ini harus selesai sebelum tanggal 1 Agustus 1940 karena pada hari tersebut
akan dibuka serta diresmikan.
Ketika diresmikan pada tanggal 1 Agustus, tercatat bahwa Inheemsche
Muloscholen di Surabaya merupakan sekolah pertama dari jenis baru yang dibuat
oleh pemerintah Hindia Belanda di Jawa Timur. Dalam sebuah pemberitaan di
umumkan bahwa lembaga sekolah jenis baru ini bertujuan untuk menguji
perkembangan sistem pendidikan Belanda jenjang ke atas serta sekolah tersebut juga
dimaksudkan sebagai pelatihan yang berfokus pada kehidupan praktis bagi para anak-
anak bumiputera. Bahasa pengantar utama adalah bahasa asli bagi sekolah di
Surabaya menggunakan bahasa Jawa yang akan diberikan kesempatan untuk

8
berkembang menjadi alat media untuk ilmu pengetahuan dan pengetahuan Barat,
namun bahasa Belanda akan diberikan sebagai bahasa tambahan dan juga bahasa
Melayu. Dari suatu pemberitaan tujuan tersebut guna memiliki korespondensi
perdagangan. Nantinya siswa-siswa akan diberikan semacam pelatihan khusus untuk
mempersiapkan masa depan dalam bidang perdagangan dan industri. Bentuk biaya
sekolah di Inheemsche Muloscholen sama halnya dengan sekolah MULO lainnya.
Untuk kondisi MULO Bijzondere (Khusus) seperti InheemscheMuloscholen,
Christelijke MULO, dan R.K. MULO di Surabaya keberadaannyabelum diketahui
kondisinya ketika dipegang oleh pemerintah Jepang karena tidak ada adanya bukti
atau data yang menjelaskan sekolah- sekolah tersebut. Pemerintah Jepang lebih
memfokuskan sekolah-sekolah yang berstatus Gouvernement untuk dirubah dengan
kebijakannya. Di Surabaya MULO yang berstatus Gouvernement hanyalah MULO
Praban sedangkan MULO lainnya yang dijelaskan di atas hanya berstatus swasta
sehingga keberadaannya tidak terlalu dijelaskan dalam media maupun catatan
pemerintah. Pada dasarnya pemerintahan Jepang hanya lebih memantau sekolah-
sekolah Belanda yang berstatus Gouvernement di Surabaya serta lebih memfokuskan
pada sekolah tersebut.

Kondisi Kota Surabaya Pada Paruh Pertama Abad ke-20


Pada abad awal ke-20 tersebut diyakini Kota Surabaya mengalami sebuah
kemajuan yang cukup pesat dengan diawali adanya kebijakan politik etis. Politik etis
ini mendasari adanya tiga kebijakan yaitu; edukasi, irigasi, dan migrasi. Edukasi atau
bidang pendidikan mempengaruhi perkembangan suatu Kota Surabaya dengan
munculnya sekolah-sekolah pribumi dan Eropa pada awal abad ke-20. Perkembangan
penduduk pada abad ke-20 mengalami peningkatan yang menjadikan kota ini
semakin padat. Perkembangan penduduk memunculkan sebuah lapisan masyarakat
sosial di Surabaya. Adanya suatu pendidikan dapat merubah status masyarakat di
Kota Surabaya dari kalangan biasa menjadi kalangan menengah. Kondisi pendidikan
Kota Surabaya pada era politik etis mengalami perkembangan dari dimulainya

9
pembangunan-pembangunan sekolah Belanda. Pembukaan sekolah Belanda untuk
menampung dari seluruh kalangan masyarakat di Surabaya. Bagi kalangan
bumiputera politik etis memiliki dampak positif karena bisa untuk memasuki sekolah
Eropa.

Pendidikan di Surabaya Pada Politik Etis


Menurut Sutjipto Tjiptoatmodjo, sebelum memasuki abad ke-20, Kota
Surabaya sudah mengalami kemajuan seiring dengan berjalanannya jalur
perdagangan di Sungai Brantas dan muara Kali Mas. Adanya dua sungai tersebut
berdampak akan meningkatnya perekonomian Surabaya sebagai kota industri.
Terdapat suatu statemen yang menjelaskan bentuk kondisi Surabaya pada
pertengahan Abad ke-19:
"Kota itu (Surabaya) lebih bagus dan lebih hidup daripada Batavia. Di dalam kota
terdapat banyak gudang-gudang, kantor dagang, dan pasar. Namun disitu juga
terdapat rumah-rumah tua yang memberi kesan tidak sedap kepada para pelancong.
Surabaya berkembang tidak hanya sebagai kota dagang, tetapi juga sebagai kota
industri kerajinan.
Dengan adanya politik etis mengaharuskan Pemerintah Hindia Belanda
memberikan fasilitas pendidikan bagi penduduk bumiputera. Gagasan untuk
menyelenggarakan pendidikan modern bagi penduduk bumiputera antara lain oleh
Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa hanya dengan memberikan pendidikan
secara barat pada anak-anak bumiputera, khususnya anak- anak lapisan atas, maka
Pemerintah Belanda dapat mempertahankan kolonialismenya di Hindia Belanda.
Dengan memberikan pendidikan tersebut akan terjalinlah hubungan akrab antara
pemerintahan jajahan di bidang spiritual, intelektual, dan politik, dengan golongan
atas masyarakat bumiputera yang merupakan ruling class. 3 Berkaitan dengan sistem
politik etis yang menjadi landasan.

10
Stratifikasi Sosial Masyarakat Surabaya
Lapisan sosial masyarakat sudah tertata ketika pada medio abad ke-19 di
Surabaya. Adanya pelapisan sosial ini untuk membedakan etnis di Surabaya.
Dalam kacamata Wertheim, membagi stratifikasi sosial dengan tiga kategori
kelompok sosial. Dasar dari pengelompokan Wertheim dilihat pada kondisi riil di
Surabaya sebagai wilayah perdagangan dan juga administrasi pemerintah. Hal ini
terlihat dalam pembagian kelompok masyarakat surabaya menjadi tiga kelompok
sosial. Pertama, kelompok masyarakat atas adalah golongan priyayi. Pengelompokan
ini diprakarsai pada faktor pendidikan Barat dan geneologi. Kelompok sosial dengan
status priyayi yang diperoleh dari jenjang pendidikan, kemudian berkembang menjadi
kelompok elite baru.
Pada masa transisi menjadi kelompok sosial priyayi baru inilah yang
memegang peranan penting dalam masyarakat. Kedua, kelompok masyarakat kelas
menengah yang terdiri dari para pedagang dan pengusaha. Kelompok terakhir adalah
kelompok masyarakat bawah yang terdiri dari para buruh pabrik, para kuli dan para
pekerja kasar lainnya. Maka fungsi pendidikan sangatlah vital dalam merubah
stratifikasi sosial masyarakat Surabaya menjadi kelompok masyarakat atas.
Pendidikan dianggap sebagai salah satu jalan bagi masyarakat bumiputera untuk
memperoleh kedudukan yang lebih tinggi.
Pelapisan masyarakat Kota Surabaya dapat terlihat pula berdasarkan pada
jenis pekerjaan. Orang Belanda dan Eropa menguasai perekonomian yang penting
sebagai pemilik perusahaan, industri, perkebunan, dan pemilik modal. Mereka juga
menguasai bidang-bidang profesi dalam pemerintahan, ahli hukum, arsitek, dan lain-
lain. Orang- orang Tionghoa dan Timur Asing sebagian besar bekerja sebagai
pedagang, perantara, buruh, dan pekerja bebas lainnya. Sedangkan orang-orang
bumiputera bekerja sebagai tenaga buruh kasar, tukang becak, kuli pelabuhan, dan
buruh pabrik. Hanya mereka yang mempunyai pendidikan modernn yang bisa
mendapatkan pekerjaan pantas seperti sebagai pegawai kantor pemerintah dan pekerja
profesional.

11
DAFTAR PUSTAKA

Moch.Kholisin. Sejarah SMP Pada Era Kolonial Mulo Di Kota


Surabaya 1916-1942.Cetakan Pertama Gresik:2020.
Gazalba, Sidi. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu Bhatara Karya
Aksara. Jakarta.1996.

12

Anda mungkin juga menyukai