Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH PELAKSANAAN PENDIDIKAN DI LUWU SULAWESI SELATAN


SEBELUM KEMERDEKAAN

Disusun oleh:

Kelompok 4
NURHIKMAH HR

NOVITA VUSTARI

ANGGUN PERMATASARI

MATA KULIAH PENGANTAR PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


PENDIDIKAN DI LUWU SULAWESI SELATAN
SEBELUM KEMERDEKAAN
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna
dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga
terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan
jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa
diperbaiki.

ABSTRAK

Di Indonesia pada permulaan abad XX, pemerintah yang berkuasa (Belanda) mulai menaruh
perhatian yang lebih luas tentang pendidikan dan pengajaran, termasuk Sulawesi Selatan dan
Luwu pada khususnya. pada masa pendudukan Jepang, jenis-jenis lembaga pendidikan
dan sebarannya di Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu tidak banyak berubah seperti
ketika dikelola oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena memang Jepang hanya
melanjutkan sekolah-sekolah yang sudah ada sebelumnya.Penyelenggaraan
pendidikan pada masa Pendudukan Jepang pernah vakum selama tiga bulan, terhitung
sejak kedatangannya pada 1942. Perbedaan yang paling mencolok antara
penyelenggaraan pendidikan pada masa Hindia Belanda dengan masa Pendudukan
Jepang hanya pada penghapusan diskriminasi dalam sistem
pendidikan.Penyelenggaraan pendidikanpada zaman penjajahan Jepang juga lebih
ditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi Jepang,
hal ini berakibat pada rendahnya mutu sekolah.
PENDAHULUAN

Lambatnya sistem pendidikan formal masuk di Kerajaan Luwu pada masa kolonial
menjadi perhatian khusus dalam perkembangan pendidikan kemudian.

Sejak masa kolonial,masalah pengajaran pendidikan formal di Sulawesi Selatan


memang sangat terbelakang dari daerah Jawa dan bahkan tertinggal dibanding dengan
Manado dan Ambon, (Safwan, 1980/1981).Namun perlu dipahami pula bahwa di
samping pendidikan formal juga ada pendidikan nonformal dan pendidikan informal.Dua
jenis pendidikan terakhir telah pesat berkembang di Sulawesi Selatan.Pendidikan
informal yang paling mencolok di Sulawesi Selatan, termasuk di daerah Luwu
adalah pasen-pasen atau pasang-pasang (pesan-pesan atau petuah-petuah)di dalam
mengarungi hidup manusia.

Kerajaan Luwu sebelum kolonial dan bangsa-bangsa asing datang merupakan kerajaan
yang dianggap paling tertua di Sulawesi Selatan dan juga merupakan kerajaan yang
terbesar pada zamannya. Hal itu berarti bahwa kebesaran tersebut bukan dibangun dari
kebodohan pendidikan tetapi dibangun dari suatu kecerdasan yang sungguh luar
biasa.Itu berarti pula bahwa pendidikan di daerah ini telah maju walaupun bukan
pendidikan formal.

pendidikan di Luwu akan dimulai di Makassar sebagai ibu Kota Sulawesi Selatan. Kota
Makassar sebelum diduduki Belanda berada dalam kerajaan Gowa dan Tallo.Namun,
sejak Perjanjian Bongaya (1667) Belanda menduduki benteng utama Kerajaan Gowa,
yakni benteng Ujung Pandang, yang oleh Speelman diubah menjadi Fort Rotterdam. Di
dalam benteng itulah Belanda melaksanakan segala hal yang berhubungan dengan
kepemerintahannya, (Safwan, 1980/1981). Lewat politik yang dilakukan Belanda, VOC
sebagai kepanjangan tangan Belanda akhirnya menjadikan Indonesia sebagai daerah
jajahan (koloni).Pada perkembangan berikutnya, untuk lebih memperkuat kedudukan,
Belanda mendirikan sekolah-sekolah rendahan bagi anak-anak Indonesia. Sekolah ini
bertujuan menghasilkan pegawai-pegawai rendahan baik untuk pegawai negeri maupun
pegawai swasta. Pembukaan sekolah itu didorong oleh kebutuhan praktis berkaitan
dengan pekerjaan di berbagai bidang dan kejuruan. Secara umum kecenderungan
penyelenggaraan pendidikan kolonial adalah sebagai berikut:

1. Membangun sekolah rendahan yang langsung dikelola dan diawasi langsung


oleh pemerintah Hindia Belanda.
2. Membiarkan terselenggaranya pendidikan Islam tradisional seperti beberapa
madrasah Islamiah di Nusantara misalnya: (a). Melanjutkan sistem lama dalam
bentuk pengajian Al-qur’an dan Kitab Kuning; (b). Mendirikan pondok pesantren;
(c). Termasuk mendirikan sekolah agama atau madrasah
3. sekolah yang didirikan Belanda misalnya: (a) 1607 mendirikan sekolah di Ambon
dengan bahasa Melayu dan Belanda; (b).1622 mendirikan sekolah di Kepulauan
Banda lengkap dengan asrama; (c).1630 mendirikan sekolah Warga.

Sekolah formal yang didirikan di Luwu pada tahun 1907 itupun belum bisa dikatakan
sekolah yang mampu mendidik anak-anak Luwu seebagaimana yang diharapkan
karena di samping sangat terbatas, juga sangat diskriminatif. Untuk memahami lebih
jauh bagaimana prosesnya sampai sekolah-sekolah masuk di Kerajaan Luwu sangat
ditentukan oleh situasi politik pada masa itu. Kalau melihat zamannya pada masa itu
masih sangat kecil kemungkinan bahwa Kerajaan Luwu akan mendirikan sekolah
formal.Sebaliknya Belanda juga tidak mungkin mendirikan sekolah formal di Luwu pada
masa itu karena belum dikuasainya kerajaan tersebut dan belum ada kepentingan
khusus yang mendesak bagi Belanda mendirikan sekolah.

PEMBAHASAN

Pendidikan dan Polemiknya Hingga Akhir Kolonial Belanda

masalah pendidikan di Luwu pada masa Hindia Belanda selalu mendapat perhatian
dan kesempatan walaupun pendirian sekolah-sekolah di Luwu tidak sebanyak di kota
Makassar sebagai ibu kota propvinsi Sulawesi Selatan. Namun setiap kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah di luar kota Makassar, kota
Palopo juga selalu mendapat jatah.Hal itu menunjukkan bahwa Kerajaan Luwu
memang dianggap penting oleh Belanda terkait dengan sumber daya alamnya.

Dilihat dari kepentingan Belanda terhadap Kerajaan Luwu memang sangat besar pada
masa kolonial tetapi sampai akhir abad XIX daerah ini belum dikuasai sepenuhnya oleh
Belanda.Nanti pada pertengahan dekade pertama abad XX, Pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan kebijakan umum untuk mengambil tindakan penguasaan
langsung untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan. Salah satu
wilayah yang menjadi fokus perhatian Belanda untuk pengiriman ekspedisi militer tahun
1905 di wilayah Sulawesi Selatan adalah Kerajaan Luwu.

Hasil dari ekspedisi militer Belanda tersebut selama dua tahun dilakukan (1905-1906) di
seluruh wilayah Sulawesi Selatan akhirnya berbuah manis bagi Belanda karena wilayah
Sulawesi Selatan dapat dikuasai secara langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam rangka penjajahan/ penguasaan seutuhnya itu, Pemerintah Hindia Belanda
melakukan penataan pemerintahan, termasuk masalah pendidikan dengan didirikannya
sekolah-sekolah.Satu tahun kemudian, yaitu tahun 1907 sekolah-sekolah di berbagai
daerah di Sulawesi Selatan. Masalah kebijakan pendirian sekolah tersebut, kota Palopo
juga mendapat jatah dengan apa yang disebut sekolah “Inlandsche School. Sekolah ini
hanya diprioritaskan pada kota-kota utama di Sulawesi Selatan. Pendirian sekolah-
sekolah di Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu yang baru dimulai pada tahun 1907
sangat terkait dengan persoalan keamanan,di samping masalah kepentingan Belanda.

di Sulawesi Selatan, pendidikan ala Barat dimulai di ibukota daerah itu Makassar. Ada
dua badan utama yang melaksanakan kegiatan pendidikan di daerah Bugis-Makassar
itu, yakni Pemerintah kolonial Hindia Belanda;dan Zending dan Missie.Kedua pelaksana
itu saling membantu, berhubung pihak Zending dan Missie adalah juga berasal dari
negeri Belanda dan Eropa lainnya.

Pengembangan pendidikan untuk wilayah Luwu sebagaimana disebutkan sebelumnya


bahwa pada tahun 1907, Belanda dapat menguasai seluruh daerah Sulawesi Selatan
walaupun masih terdapat juga perlawanan, akan tetapi pusat pemerintahan kerajaan
dikuasai sepenuhnya. Maka mulai tahun itu, pemerintah dapat memulai penguasaan
daerah-dengan sistem penjajahan yang sesungguhnya di Sulawesi Selatan.Kekuasaan
para raja benar-benar amat terbatasi, terutama raja Gowa, yang dekat betul dengan
pusat pemerintahan kolonial itu di Selebes.Pemerintah Belanda bila mengatur
pemerintahan termasuk bidang pendidikan, Makassar menjadi pusat pengembangan
pendidikan. Berhubungan kedudukan sebagai ibu Kota Sulawesi Selatan.Residen yang
bertugas, mengurus pemerintahan di Sulawesi Selatan, adalah juga bertindak selaku
pelaksana dan pengawas pendidikan (School Commisie). Tugas yang sama
dipundakkan pula kepada asisten pada tiap afdeling. 18).

Menarik pula diuraikan bahwa pada saat ekspedisi penaklukan Sulawesi Selatan
dilakukan oleh Belanda pada tahun 1905-1906, malah Pemerintah Hindia Belanda
mendirikan sekolah formal di Kota Makassar bukan untuk rakyat Sulawesi Selatan
tetapi untuk anak-anak Ambon pada tahun 1906, sementara sekolah untuk anak-anak
Sulawesi Selatan nanti satu tahun kemudian 1907. Ini kebijakan yang sedikit agak ironis
kalau hanya melihat dan memahaminya secara sepintas lalu.Namun kalau kita
mencermati bahwa dalam ekspedisi tersebut tenyata banyak orang-orang Ambon yang
dijadikan militer oleh Belanda dalam menaklukkan Sulawesi Selatan.Maka kita baru
sadar dan memahami bahwa pendirian sekolah untuk anak-anak Ambonsebagai balas
jasa kepada orang-orang Ambon, yang sedang bertugas selaku tentara pihak Belanda
menyerang para raja di daerah itu. Untuk itu, maka pada tahun 1906
dibuka Hollandsche Ambonsche School di kota Makassar.Kemudian selesai perang
pada 1907 juga didirikan sekolah Ambon di dalam kota Makassar yang disebut H.A.S.
(Holland Ambonsche School) sehingga jenis sekolah Ambon di dalam kota Makassar
menjadi dua buah, (Safwan, 1980/1981).

Sementara pengembangan dan pendirian sekolah untuk anak-anak peribumi Sulawesi


Selatan (Bugis Makassar) secara baik melalui perencanaan Pemerintah Hindia Belanda
dimulai pada tahun 1907 dan kebijakan itu memang dikeluarkan oleh Gubernur
Jenderal van Heutz, yang menyarankan agar pada tahun itu didirikan sekolah-sekolah
desa. 19) Di Sulawesi Selatan pun dapat dikatakan bahwa pada tahun tersebut,
keadaan yang selama itu belum menentu karena baru saja dapat dikuasai sepenuhnya
oleh pemerintah kolonial. Di mana sebelumnya terjadi peperangan dengan Gowa,
Bone, Luwu, Suppa, Mandar, dan tempat-tempat lain sudah dapat dipadamkan
Belanda.

Sesuai dengan anjuran Batavia untuk mendirikan sekolah-sekolah di desa oleh van
Heutz, maka pada tahun 1907 didirikan sekolah yang bernama Volksschool di kota-kota
utama, seperti Maros, Pangkajene, Segeri, Pare-Pare, Pinrang, Majene, Limbung,
Bonthain, Watampone, Sengkang, Paria, dan Palopo. pada masa itu, perhatian
terhadap pendidikan mulai membaik.Walaupun jumlah sekolah hanya sebuah per
daerah atau hingga tiga buah, jumlah murid yang masuk tidak mencapai maksimum (
target) karena beberapa alasan:Kehidupan penduduk belum pulih dari situasi
peperangan; Penduduk curiga terhadap tujuan sekolah (pendidikan).Kebanyakan orang
tuaberanggapan bahwa memasuki sekolah Belanda (nama untuk Volksschool di
kalangan penduduk desa) akan dijadikan tentera Belanda.Ada pula yang menganggap,
bahwa akan dibawa ke negeri Belanda, setelah tamat dari sekolah itu dan hingga tahun
1910, pemerintah Belanda hanya mengelola dua jenis pendidikan dasar formal masing-
masing:

1. Inlandsche School pada kota-kota utama, misalnya di Makassar, Maros, Pare


Pare, Bonthain, Bulukumba. Watampone, Majene, Polewali, dan Palopo. Lama
pendidikan ialah 5 (lima) tahun. Bahasa pengantar ialah bahasa Melayu; maka
sering dikenal pula sebagai sekolah Melayu. Guru-guru kebanyakan berasal dari
Sumatra Barat; ditambah dengan orang Bugis-Makassar.
2. Volksschool pada setiap desa utama, dimana terdapat pemukiman yang cukup
rapat penduduknya. Lagi pula terdapat perhubungan yang tidak terlalu sulit ke
tempat itu. Lama pendidikan hanya tiga tahun. Mata pelajaran yang diberikan
terbatas pada berhitung sederhana (penambahan angka, melayu, maupun
bahasa daerah dengan aksara lontarak).
Sampai pada tahun 1910 keadaan persekolahan/pendidikan formal di Sulawesi
Selatan dapat diperkirakan bahwa di afdeling Luwu hanya terdapat tiga buah
sekolah Inlandsche School(sekolah Melayu) dan 10 Volksschool (sekolah Desa),
dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut:

Nama Daerah (Afdelingen) Inlandsche School (Sekolah


Volschool (Sekolah Desa)
Melayu)
5
Kota Makassar 3

20
Afd. Makassar 5

20
Afd. Pare-Pare 5

10
Afd. Mandar 3

10
A fd. Bonthain 3

20
Afd. Bone 5

10
Afd. Luwu 3

Melihat kenyataan tersebut bahwa di daerah afdeling Luwu memang sangat


sedikit sekolah yang didirikan oleh Belanda dibandingkan dengan daerah lain di
Sulawesi Selatan.Angka perkiraan itu menunjukkan bahwa pendirian sekolah
didasarkan pada pertimbangan kepadatan penduduk dan dekatnya dengan
pusat-pusat kegiatan pemerintahan dan perdagangan.Luwumemang memiliki
luas wilayah yang lebih dibanding dengan daerah lain tetapi dari segi kepadatan
penduduk dan kedekatan dengan pusat pemerintahan Hindia Belanda di
Makassar cukup jauh. Sehingga mempengaruhi dibangunnya pendidikan dan
pengajaran lewat sekolah formal.Sekitar 27 Inlandsche School dan
95 Volkschool di Sulawesi Selatan pada tahun 1910 itu. Waktu itu, jumlah
penduduk Sulawesi Selatan sekitar 2 juta..Di Sulawesi Selatan baru saja sekitar
tiga tahun yang lewat (1907) pulih dari peperangan yang melelahkan dan
memakan ongkos yang tidak sedikit.Belanda pun melihat, bahwa sekolah yang
dibuka walau masih bisa dihitung dengan jari itu, tidak juga dipenuhi
murid.Murid-murid masih amat segan memasuki sekolah yang didirikan oleh
orang-orang yang baru saja memasuki kampung dan menembaki ayah atau
keluarga mereka.Sehingga kenyataan itu menimbulkan purbasangka terhadap
kegiatan pendidikan. Sementara yang cepat menerima kehadiran sekolah ialah
anak-anak para pegawai pemerintah; dari keluarga para pedagang besar dan;
Keluarga bangsawan yang keterlibatannya dalam peperangan hanya saja;
apalagi yang sama sekali tidak ikut, atau bahkan memihak Belanda.
3. Di samping Volksschool, Inlandsche School, dan Holland Ambonsche
School serta Holland Chineesche School, pada tahun 1911 di Makassar
dibangun Holland Inlandsche School. Kelebihan sekolah itu ialah adanya
pemberian bahasa Belanda, bahkan bahasa asing itu menjadi bahasa
pengantar, terutama pada kelas-kelas lanjutan.Tempat H.I.S. Dengan
adanya Holland Inlandsche School (disingkat H.I.S.) maka terbukalah
kesempatan bagi suku Bugis Makassar dan suku lainnya yang bumi putera untuk
mempelajari bahasa Belanda.Tamatan H.I.S. dipersiapkan untuk pendidikan
lanjutan.Maka, pada tahun-tahun berikutnya, H.I.S. didirikan pula di Bulukumba,
Bonthain, Watampone, Palopo, dan Fare-Pare (1912-1920).Mereka yang ingin
memasuki H.I.S. terpaksa pergi ke tempat-tempat di mana sekolah tersebut
dibuka.Tempat-tempat H.I.S. dan daerah sekitar yang ditampungnya: (1) H.I.S.
Makassar, menampung murid dalam kota Makassar, daerah Gowa, Takalar,
Jeneponto, Maros, Pankajene dan Segeri. (2) H.I.S. Bulukumba dan Bonthain,
menampung pula daerah Sinjai dan Selayar.(3) H.I.S. Watampone menampung
pula yang dari Wajo dan Soppeng.(4) H.I.S. Fare-Pare menampung pula yang
dari Barru, Pinrang, Enrekang, dan ada pula dari Tana-Toraja/ (5) H.I.S. Palopo
khusus untuk Luwu dan ada pula dari Kolaka. Yang berasal dari Mandar, bila
hendak memasuki H.I.S. mereka harus ke Pare-Pare, kota pelabuhan kedua
sebelah utara Makassar, (Safwan, 19801/1981).
Pendidikan Sebelum Kemerdekaan

pendidikan menjelang kemerdekaan Indonesia juga harus membicarakan sistem


pendidikan yang penyelenggaraannya sangat ditentukan oleh pemerintah pendudukan
Jepang dan tidak terkecuali di Luwu.Luwu sebagai bagian dari wilayah Sulawesi
Selatan, Indonesia juga ditempati oleh pemerintah Ken kanrikan Luwu yang dulunya
disebut afdeeling Luwu pada masa Hindia Belanda. Penyelenggaraan pendidikan di
Luwu zaman Pendudukan Jepang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain pada
umumnya. Kebijakan dan penyelenggaraannya diseragamkan untuk seluruh wilayah
Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan dan Luwu pada khususnya.Namun
penyelenggaraan pendidikan pada masa Pendudukan Jepang pernah vakum selama
tiga bulan, terhitung sejak kedatangannya pada tahun 1942. Perbedaan yang paling
mencolok antara penyelenggaraan pendidikan pada masa Hindia Belanda dengan
masa Pendudukan Jepang hanya pada penghapusan diskriminasi dalam sistem
pendidikan.Di mana pada masa Hindia Belanda ada semacam diskriminasi antara
sekolah untuk anak bangsawan dengan bukan bangsawan, antara anak peribumi
dengan anak orang-orang Eropa.Jenis sekolah, sarana dan prasarana dibedakan,
termasuk penjenjangan dan lamanya pendidikan.Sementara pada masa Pendudukan
Jepang, semua hal itu dihapuskan, termasuk termasuk lama studi pada masa
Pendudukan Jepang diseragamkan pada tiap-tiap jenjang pendidikan.

Pada masa pendudukan Jepang, jenis-jenis lembaga pendidikan dan sebarannya di


Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu tidak banyak berubah seperti ketika dikelola oleh
Pemerintah Kolonial Belanda karena memang Jepang hanya melanjutkan sekolah-
sekolah yang sudah ada sebelumnya. Yang berubah hanya nama dan lama studinya.
Dalam hal ini tentu saja ada pengecualian bagi sekolah-sekolah yang baru dibuka oleh
Jepang.Semua sekolah yang dibuka berdasarkan golongan (ras) dan status sosial
untuk sekolah tingkat dasar dengan lama studi yang bervariasi pada zaman Belanda,
kemudian dilebur dan diadaptasi sesuai dengan sistem pendidikan alaJepang. Hasil
adaptasi tersebut menjadi Sekolah Rakyat (SR) atau Futsu U Ko Gakko dengan lama
studi menjadi 6 tahun (Citra Dewi Nilasari, 2008:72).

tindakan pengawasan dan pengelolaan sekolah pada zaman Jepang dilakukan oleh
Badan Selebes Minseibu Bunkiyokatyo.Menarik di sini adalah dibukanya kursus politik
bagi pemuda yang memiliki kecerdasan yang memadai dan mereka dipersiapkan
menjadi pemimpin dan kelak dapat mengatur negaranya apabila Jepang telah pergi.
Adanya keseragaman dalam waktu pendidikan, masalah penyelenggaraan dan
pengawasan sekolah mudah dilakukan serta kurikulumnya dapat dibuat dengan lebih
baik dan seragam yang hampir sama saja dengan kurikulum di zaman Belanda.
Dengan demikian pengetahuan murid Sekolah Dasar pada waktu Jepang itu dalam
teorinya sama di manapun sekolah itu diadakan. Tetapi sayangnya isi pelajaran waktu
itu sangat rendah mutunya, walaupun kebanyakan dari guru adalah yang telah
berpengalaman semenjak zaman Belanda dahulu.Rendahnya mutu sekolah
disebabkan Jepang banyak campur tangan dengan memberikan latihan kemiliteran dan
menyuruh bergotong-royong sehingga tidak ada kesempatan bagiguru mengajar
dengan baik.Kalau tidak bergotong-royong atau latihan kemiliteran, anak-anak hanya
diajar menyanyikan lagu-lagu Jepang yang sangat mengganggu jam pelajaran di
sekolah. Murid-murid yang tidak datang ke sekolah pun tidak mendapat teguran sama
sekali dari majelis guru, karena mereka tidak berdaya sama sekali. Keseragaman
sekolah yang baik itu tidak diisi Jepang dengan materi pelajaran yang cocok buat anak
didik yang sedang berkembang itu.
PENUTUP

Pada pertengahan dekade pertama abad XX, Pemerintah Hindia Belanda


mengeluarkan kebijakan umum untuk mengambil tindakan penguasaan langsung untuk
seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan. Salah satu wilayah yang
menjadi fokus perhatian Belanda untuk pengiriman ekspedisi militer tahun 1905 di
wilayah Sulawesi Selatan adalah Kerajaan Luwu.Hasil dari ekspedisi militer Belanda
tersebut selama dua tahun dilakukan (1905-1906) di seluruh wilayah Sulawesi Selatan
akhirnya memberi hasil bagi Belanda karena wilayah Sulawesi Selatan dapat dikuasai
secara langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dalam rangka
penjajahan/penguasaan seutuhnya itu, Pemerintah Hindia Belanda melakukan
penataan pemerintahan, termasuk masalah pendidikan dengan didirikannya sekolah-
sekolah.Satu tahun kemudian, yaitu tahun 1907 sekolah-sekolah di berbagai daerah di
Sulawesi Selatan. Pendirian sekolah-sekolah di Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu
yang baru dimulai pada tahun 1907 sangat terkait dengan persoalan keamanan, di
samping masalah kepentingan Belanda. Banyak data yang menyebutkan bahwa
kebijakan Pemerintah Hindia Belanda mengambil sikap untuk mendirikan sekolah-
sekolah di Indonesia bukan untuk kepentingan pengembangan kecerdasan rakyat
peribumi (Indonesia) tetapi demi kepentingan hegemoni kekuasaan dan monopoli
perdagangan Belanda.

Berbeda halnya dengan penyelenggaraan pendidikan di Luwu zaman Pendudukan


Jepang tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain pada umumnya. Kebijakan dan
penyelenggaraannya diseragamkan untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk
Sulawesi Selatan dan Luwu pada khususnya. Perbedaan yang paling mencolok antara
penyelenggaraan pendidikan pada masa Hindia Belanda dengan masa Pendudukan
Jepang hanya pada penghapusan diskriminasi dalam sistem pendidikan.Di mana pada
masa Hindia Belanda ada semacam diskriminasi antara sekolah untuk anak bangsawan
dengan bukan bangsawan, antara anak peribumi dengan anak orang-orang
Eropa.Jenis sekolah, sarana dan prasarana dibedakan, termasuk penjenjangan dan
lamanya pendidikan.Sementara pada masa Pendudukan Jepang, semua hal itu
dihapuskan, termasuk termasuk lama studi pada masa Pendudukan Jepang
diseragamkan pada tiap-tiap jenjang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikanpada
zaman penjajahan Jepang lebih ditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap
memenangkan perang bagi Jepang, yang mengakibatkan rendahnya mutu sekolah.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya
pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya
dengan makalah ini Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman
memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada
penulis.assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik dkk. (editor). 1985. Ilmu sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif,
Jakarta, Gramedia

________, (editor), 1990. Sejarah Lokal di Indonesia: Kumpulan Tulisan, Yogyakarta,


LIPI dan Gadjah Mada University Press

Ahimsa Putra, Heddy Shri. 1988. Minawang: hubungan Patron-Klien di


Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Gadjah mada University Press

Burke, Peter. (diterjemahkan oleh Mestika Zed dan Zulfahmi), 2001. Sejarah dan Teori
Sosial, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia

Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan,


Yogyakarta, Kanisius

Citra DewiNilasari, 2008, “Pendidikan di Makassar padaMasaPendudukanJepang 1942-


1945”, SkripsiJurusanIlmuSejarah, FakultasSastraUniversitasHasanuddin, Makassar

Depdikbud. 1981. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di


Sulawesi Selatan. Ujung Pandang, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung
Pandang: Proyek inventarisasi dan dokumentasi sejarah nasional

Djumhur, danH.Danasuparta, 1971, SejarahPendidikan, Bandung, CV. Ilmu Bandung

Gonggong, Anhar, dkk, 1993, Sejarah Nasional Indonesia VII: Lahir dan
Berkembangnya Orde Baru,Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional

Gottschalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah, yang diterjemahkan oleh Nugroho


Notosusanto, Jakarta, Universitas Indonesia Press

Hasbullah, 2006, OtonomiPendidikan: KebijakanOtonomi Daerah danImplikasinya


terhadapPenyelenggaraanPendidikan. Jakarta, PT.RajaGrafindoPersada

Imran, AmrindanDjamhari, Saleh A. 1999.SejarahNasionaldanUmum, Jakarta,


DekdikbuddanBalaiPustaka

Kadir, Harun dkk. 1984. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia Di


Sulawesi Selatan (1945-1950), Makassar, diterbitkan atas kerjasama Bappeda Tingkat I
Provinsi Sulawesi Selatan dengan Universitas Hasanuddin

Kartodirdjo, Sartonodkk. 1977. Sejarah Nasional Indonesia jilid VI :


JamanJepangdanJamanRepublik Indonesia (1942-sekarang), Jakarta, BalaiPustaka

________, 1985. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia: Suatu Alternatif,


Jakarta, Gramedia

Anda mungkin juga menyukai