Disusun oleh:
Kelompok 4
NURHIKMAH HR
NOVITA VUSTARI
ANGGUN PERMATASARI
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna
dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.
kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga
terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bisa bermanfaat dan
jangan lupa ajukan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya bisa
diperbaiki.
ABSTRAK
Di Indonesia pada permulaan abad XX, pemerintah yang berkuasa (Belanda) mulai menaruh
perhatian yang lebih luas tentang pendidikan dan pengajaran, termasuk Sulawesi Selatan dan
Luwu pada khususnya. pada masa pendudukan Jepang, jenis-jenis lembaga pendidikan
dan sebarannya di Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu tidak banyak berubah seperti
ketika dikelola oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena memang Jepang hanya
melanjutkan sekolah-sekolah yang sudah ada sebelumnya.Penyelenggaraan
pendidikan pada masa Pendudukan Jepang pernah vakum selama tiga bulan, terhitung
sejak kedatangannya pada 1942. Perbedaan yang paling mencolok antara
penyelenggaraan pendidikan pada masa Hindia Belanda dengan masa Pendudukan
Jepang hanya pada penghapusan diskriminasi dalam sistem
pendidikan.Penyelenggaraan pendidikanpada zaman penjajahan Jepang juga lebih
ditujukan untuk menghasilkan tentara yang siap memenangkan perang bagi Jepang,
hal ini berakibat pada rendahnya mutu sekolah.
PENDAHULUAN
Lambatnya sistem pendidikan formal masuk di Kerajaan Luwu pada masa kolonial
menjadi perhatian khusus dalam perkembangan pendidikan kemudian.
Kerajaan Luwu sebelum kolonial dan bangsa-bangsa asing datang merupakan kerajaan
yang dianggap paling tertua di Sulawesi Selatan dan juga merupakan kerajaan yang
terbesar pada zamannya. Hal itu berarti bahwa kebesaran tersebut bukan dibangun dari
kebodohan pendidikan tetapi dibangun dari suatu kecerdasan yang sungguh luar
biasa.Itu berarti pula bahwa pendidikan di daerah ini telah maju walaupun bukan
pendidikan formal.
pendidikan di Luwu akan dimulai di Makassar sebagai ibu Kota Sulawesi Selatan. Kota
Makassar sebelum diduduki Belanda berada dalam kerajaan Gowa dan Tallo.Namun,
sejak Perjanjian Bongaya (1667) Belanda menduduki benteng utama Kerajaan Gowa,
yakni benteng Ujung Pandang, yang oleh Speelman diubah menjadi Fort Rotterdam. Di
dalam benteng itulah Belanda melaksanakan segala hal yang berhubungan dengan
kepemerintahannya, (Safwan, 1980/1981). Lewat politik yang dilakukan Belanda, VOC
sebagai kepanjangan tangan Belanda akhirnya menjadikan Indonesia sebagai daerah
jajahan (koloni).Pada perkembangan berikutnya, untuk lebih memperkuat kedudukan,
Belanda mendirikan sekolah-sekolah rendahan bagi anak-anak Indonesia. Sekolah ini
bertujuan menghasilkan pegawai-pegawai rendahan baik untuk pegawai negeri maupun
pegawai swasta. Pembukaan sekolah itu didorong oleh kebutuhan praktis berkaitan
dengan pekerjaan di berbagai bidang dan kejuruan. Secara umum kecenderungan
penyelenggaraan pendidikan kolonial adalah sebagai berikut:
Sekolah formal yang didirikan di Luwu pada tahun 1907 itupun belum bisa dikatakan
sekolah yang mampu mendidik anak-anak Luwu seebagaimana yang diharapkan
karena di samping sangat terbatas, juga sangat diskriminatif. Untuk memahami lebih
jauh bagaimana prosesnya sampai sekolah-sekolah masuk di Kerajaan Luwu sangat
ditentukan oleh situasi politik pada masa itu. Kalau melihat zamannya pada masa itu
masih sangat kecil kemungkinan bahwa Kerajaan Luwu akan mendirikan sekolah
formal.Sebaliknya Belanda juga tidak mungkin mendirikan sekolah formal di Luwu pada
masa itu karena belum dikuasainya kerajaan tersebut dan belum ada kepentingan
khusus yang mendesak bagi Belanda mendirikan sekolah.
PEMBAHASAN
masalah pendidikan di Luwu pada masa Hindia Belanda selalu mendapat perhatian
dan kesempatan walaupun pendirian sekolah-sekolah di Luwu tidak sebanyak di kota
Makassar sebagai ibu kota propvinsi Sulawesi Selatan. Namun setiap kebijakan
Pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan sekolah di luar kota Makassar, kota
Palopo juga selalu mendapat jatah.Hal itu menunjukkan bahwa Kerajaan Luwu
memang dianggap penting oleh Belanda terkait dengan sumber daya alamnya.
Dilihat dari kepentingan Belanda terhadap Kerajaan Luwu memang sangat besar pada
masa kolonial tetapi sampai akhir abad XIX daerah ini belum dikuasai sepenuhnya oleh
Belanda.Nanti pada pertengahan dekade pertama abad XX, Pemerintah Hindia
Belanda mengeluarkan kebijakan umum untuk mengambil tindakan penguasaan
langsung untuk seluruh wilayah Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan. Salah satu
wilayah yang menjadi fokus perhatian Belanda untuk pengiriman ekspedisi militer tahun
1905 di wilayah Sulawesi Selatan adalah Kerajaan Luwu.
Hasil dari ekspedisi militer Belanda tersebut selama dua tahun dilakukan (1905-1906) di
seluruh wilayah Sulawesi Selatan akhirnya berbuah manis bagi Belanda karena wilayah
Sulawesi Selatan dapat dikuasai secara langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Dalam rangka penjajahan/ penguasaan seutuhnya itu, Pemerintah Hindia Belanda
melakukan penataan pemerintahan, termasuk masalah pendidikan dengan didirikannya
sekolah-sekolah.Satu tahun kemudian, yaitu tahun 1907 sekolah-sekolah di berbagai
daerah di Sulawesi Selatan. Masalah kebijakan pendirian sekolah tersebut, kota Palopo
juga mendapat jatah dengan apa yang disebut sekolah “Inlandsche School. Sekolah ini
hanya diprioritaskan pada kota-kota utama di Sulawesi Selatan. Pendirian sekolah-
sekolah di Sulawesi Selatan, termasuk di Luwu yang baru dimulai pada tahun 1907
sangat terkait dengan persoalan keamanan,di samping masalah kepentingan Belanda.
di Sulawesi Selatan, pendidikan ala Barat dimulai di ibukota daerah itu Makassar. Ada
dua badan utama yang melaksanakan kegiatan pendidikan di daerah Bugis-Makassar
itu, yakni Pemerintah kolonial Hindia Belanda;dan Zending dan Missie.Kedua pelaksana
itu saling membantu, berhubung pihak Zending dan Missie adalah juga berasal dari
negeri Belanda dan Eropa lainnya.
Menarik pula diuraikan bahwa pada saat ekspedisi penaklukan Sulawesi Selatan
dilakukan oleh Belanda pada tahun 1905-1906, malah Pemerintah Hindia Belanda
mendirikan sekolah formal di Kota Makassar bukan untuk rakyat Sulawesi Selatan
tetapi untuk anak-anak Ambon pada tahun 1906, sementara sekolah untuk anak-anak
Sulawesi Selatan nanti satu tahun kemudian 1907. Ini kebijakan yang sedikit agak ironis
kalau hanya melihat dan memahaminya secara sepintas lalu.Namun kalau kita
mencermati bahwa dalam ekspedisi tersebut tenyata banyak orang-orang Ambon yang
dijadikan militer oleh Belanda dalam menaklukkan Sulawesi Selatan.Maka kita baru
sadar dan memahami bahwa pendirian sekolah untuk anak-anak Ambonsebagai balas
jasa kepada orang-orang Ambon, yang sedang bertugas selaku tentara pihak Belanda
menyerang para raja di daerah itu. Untuk itu, maka pada tahun 1906
dibuka Hollandsche Ambonsche School di kota Makassar.Kemudian selesai perang
pada 1907 juga didirikan sekolah Ambon di dalam kota Makassar yang disebut H.A.S.
(Holland Ambonsche School) sehingga jenis sekolah Ambon di dalam kota Makassar
menjadi dua buah, (Safwan, 1980/1981).
Sesuai dengan anjuran Batavia untuk mendirikan sekolah-sekolah di desa oleh van
Heutz, maka pada tahun 1907 didirikan sekolah yang bernama Volksschool di kota-kota
utama, seperti Maros, Pangkajene, Segeri, Pare-Pare, Pinrang, Majene, Limbung,
Bonthain, Watampone, Sengkang, Paria, dan Palopo. pada masa itu, perhatian
terhadap pendidikan mulai membaik.Walaupun jumlah sekolah hanya sebuah per
daerah atau hingga tiga buah, jumlah murid yang masuk tidak mencapai maksimum (
target) karena beberapa alasan:Kehidupan penduduk belum pulih dari situasi
peperangan; Penduduk curiga terhadap tujuan sekolah (pendidikan).Kebanyakan orang
tuaberanggapan bahwa memasuki sekolah Belanda (nama untuk Volksschool di
kalangan penduduk desa) akan dijadikan tentera Belanda.Ada pula yang menganggap,
bahwa akan dibawa ke negeri Belanda, setelah tamat dari sekolah itu dan hingga tahun
1910, pemerintah Belanda hanya mengelola dua jenis pendidikan dasar formal masing-
masing:
20
Afd. Makassar 5
20
Afd. Pare-Pare 5
10
Afd. Mandar 3
10
A fd. Bonthain 3
20
Afd. Bone 5
10
Afd. Luwu 3
tindakan pengawasan dan pengelolaan sekolah pada zaman Jepang dilakukan oleh
Badan Selebes Minseibu Bunkiyokatyo.Menarik di sini adalah dibukanya kursus politik
bagi pemuda yang memiliki kecerdasan yang memadai dan mereka dipersiapkan
menjadi pemimpin dan kelak dapat mengatur negaranya apabila Jepang telah pergi.
Adanya keseragaman dalam waktu pendidikan, masalah penyelenggaraan dan
pengawasan sekolah mudah dilakukan serta kurikulumnya dapat dibuat dengan lebih
baik dan seragam yang hampir sama saja dengan kurikulum di zaman Belanda.
Dengan demikian pengetahuan murid Sekolah Dasar pada waktu Jepang itu dalam
teorinya sama di manapun sekolah itu diadakan. Tetapi sayangnya isi pelajaran waktu
itu sangat rendah mutunya, walaupun kebanyakan dari guru adalah yang telah
berpengalaman semenjak zaman Belanda dahulu.Rendahnya mutu sekolah
disebabkan Jepang banyak campur tangan dengan memberikan latihan kemiliteran dan
menyuruh bergotong-royong sehingga tidak ada kesempatan bagiguru mengajar
dengan baik.Kalau tidak bergotong-royong atau latihan kemiliteran, anak-anak hanya
diajar menyanyikan lagu-lagu Jepang yang sangat mengganggu jam pelajaran di
sekolah. Murid-murid yang tidak datang ke sekolah pun tidak mendapat teguran sama
sekali dari majelis guru, karena mereka tidak berdaya sama sekali. Keseragaman
sekolah yang baik itu tidak diisi Jepang dengan materi pelajaran yang cocok buat anak
didik yang sedang berkembang itu.
PENUTUP
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan
dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya
pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya
dengan makalah ini Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman
memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada
penulis.assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dkk. (editor). 1985. Ilmu sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif,
Jakarta, Gramedia
Burke, Peter. (diterjemahkan oleh Mestika Zed dan Zulfahmi), 2001. Sejarah dan Teori
Sosial, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia
Gonggong, Anhar, dkk, 1993, Sejarah Nasional Indonesia VII: Lahir dan
Berkembangnya Orde Baru,Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional