Pada era Kolonial Belanda, untuk mengajar sekolah rakyat (Volkschool) dengan
kurikulum membaca, menulis, dan berhitung, hanya dibutuhkan kursus selama dua
tahun bagi seorang lulusan sekolah dasar.
Saat ini, sejak munculnya UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen, setiap guru, baik
tingkat TK, SD, SMP, maupun SMA, wajib memiliki kualifikasi akademik dari
pendidikan tinggi. Sebelumnya, hanya guru yang akan mengajar SMP atau SMA
saja yang harus bergelar sarjana atau program diploma empat.
Pertama, sekolah guru untuk mereka yang akan mengajar di sekolah rendah pribumi
dengan pengantar bahasa Belanda. Dalam kelompok pertama ini,
terdapat Kweekschool dan Hogere Kweekschool (HKS) yang kemudian diubah
menjadi Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK).
Kedua, sekolah guru untuk mereka yang akan menjadi guru pada sekolah rendah
pribumi dengan bahasa pengantar salah satu dari bahasa-bahasa daerah, seperti
Jawa, Sunda, Melayu atau Bugis. Dari kelompok kedua ini, terdapat Cursus voor
Volksschool Onderwijzers (CVO) yang kemudian diubah menjadi Opleiding voor
Volksschool Onderwijzers (OVVO) serta Normaalschool atau juga disebut
sebagai Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers.
Murid yang diterima di Kweekschool adalah mereka yang telah tamat dari sekolah
pemerintahan untuk anak-anak pribumi, berumur paling tidak 12 tahun, dan berasal
dari keluarga baik-baik. Namun di kemudian hari, mereka yang dapat diterima
di Kweekschool ini hanya mereka yang telah tamat kelas VII HIS. Lama studi
di Kweekschool ini ditempuh selama 4 tahun.
Metode pembelajaran yang dipakai ialah melihat dan meniru, yaitu menyaksikan
bagaimana para guru senior mengajar dan kemudian mereka menirukannya.
Setelah tamat dari pendidikan ini, para siswa ditempatkan sebagai guru Volksschool,
yaitu SD 3 tahun dengan kurikulum sangat sederhana, yakni membaca, menulis,
dan berhitung.
Salah satu perbedaan dari empat sekolah calon guru sekolah dasar di atas adalah
fasilitas belajar mengajar. Mereka yang sekolah di Kweekschool maupun HKS/HIK
mendapatkan gedung sekolah yang mewah, yang dilengkapi dengan asrama dan
perpustakaan yang lengkap. Sedangkan, kegiatan kursus CVO maupun OVVO tidak
memiliki gedung sendiri, tak berasrama, dan tak memiliki perpustakaan. Situasi
sedikit baik dialami para siswa Normaalschools yang mendapatkan gedung sekolah
yang sederhana dengan perpustakaan yang juga sederhana.
Untuk menjadi guru sekolah menengah (Middelbaar Onderwijs, setingkat SMP dan
SMA) pada zaman Hindia Belanda, dibutuhkan akta mengajar yang disebut “MO
Akte”. Terdapat dua jenis Akta MO, yaitu MO A dan MO B.
Pendidikan guru pada zaman Hindia Belanda tidak hanya diselenggarakan oleh
pemerintah saja, tetapi juga diselenggarakan oleh pihak swasta. Sekolah-sekolah
guru swasta hanya ada pada jenjang Normaalschool untuk pendidikan guru bagi SD
dengan bahasa pengantar bahasa daerah.
Era Jepang
Bergantinya kekuasaan Belanda ke tangan Jepang pada bulan Maret 1942
memengaruhi pula kebijakan mengenai pendidikan secara umum. Khusus untuk
sekolah guru, Pemerintah Jepang menggabungkan berbagai sekolah guru
menjadi satu sekolah. Pemerintah Jepang hanya membuka sekolah guru yang
didirikan oleh pemerintah, sedangkan sekolah guru swasta ditutup dan tidak
diizinkan untuk dibuka. Hanya perguruan Muhammadiyah dan Taman Siswa yang
diperbolehkan untuk dibuka.
Sekolah guru bentukan pemerintah militer Jepang memiliki sistem yang berbeda,
yaitu adanya peraturan pemisahan antara siswa laki-laki dan perempuan. Siswa laki-
laki menempati sekolah guru laki-laki atau disingkat SGL, sedangkan siswa
perempuan menempati sekolah guru perempuan (SGP). Para siswa SGL dan SGP
merupakan lulusan sekolah dasar yang kemudian menempuh pendidikan selama
empat tahun dalam asrama.
Siswa yang memasuki lembaga pendidikan ini adalah para pelajar lulusan SD
dengan hasil yang baik, kesehatan baik, dan berwatak susila, serta berumur antara
15-18 tahun. Semua pelajar KPKPKB diharuskan mengikat kontrak dengan
pemerintah dengan jaminan mendapatkan tunjangan yang diperoleh sebesar Rp 85
per bulan.
Lahirnya KPKPKB dirasa efektif dan dapat dengan cepat mengatasi masalah
kekurangan tenaga pendidik. Terbukti, selama dua tahun KPKPKB didirikan, sudah
dibangun 400 KPKPKB. Dengan banyaknya KPKPKB, kebutuhan akan tenaga guru
untuk pelaksanaan wajib belajar dengan cepat dapat terpenuhi.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, KPKPKB ditingkatkan menjadi Sekolah Guru
B (SGB) 4 tahun dan kemudian menjadi Sekolah Guru A (SGA) 6 tahun. Pada waktu
bersamaan, didirikan pula kursus-kursus persamaan Sekolah Guru B (4 tahun,
sesudah SD) dan persamaan Sekolah Guru A (3 tahun, setelah SMP) untuk
meningkatkan tenaga pendidikan. Pada perkembangannya, kursus persamaan SGB
dan SGA berubah menjadi SGB dan SGA. Sekitar tahun 1950, terjadi
penambahan jumlah SGA dan SGB di seluruh wilayah Indonesia.
Akhirnya, melalui Keppres 3/1963 pada tanggal 3 Januari 1963, FKIP dan IPG
dilebur menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di bawah Departemen
PTIP yang setara dengan universitas dan merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan guru untuk sekolah menengah. Sejak itu, jumlah IKIP terus bertambah
hingga 10 IKIP. Di luar itu, di setiap provinsi yang tidak memiliki IKIP, berkembang
FKIP di bawah universitas negeri.
Pada saat dilaksanakan kebijakan SPG, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum
SPG tahun 1968 yang kemudian disempurnakan menjadi kurikulum SPG tahun
1976. Penggantian kurikulum ini berdasarkan Keputusan Menteri P dan K tanggal 21
Juli 1976 No.0185/U/1976 tentang Pembakuan Kurikulum SPG.
Menjelang tahun 1980, SPG negeri mulai dikurangi karena jumlah guru yang
dibutuhkan oleh sekolah-sekolah mulai tercukupi. SPG secara bertahap kemudian
dialihfungsikan menjadi sekolah menengah atas lainnya. Alih fungsi tersebut dimulai
pada tahun 1989 dan berakhir pada tahun 1990. Pada saat itu, SPG dialihfungsikan
menjadi SMA, SMK, STM, SKK, maupun sekolah menengah atas lainnya.
IKIP maupun FKIP yang semula dimaksudkan mendidik guru SLTA kemudian juga
mendidik guru SLTP dengan menyelenggarakan crash program PGSLP dengan
beasiswa pada tahun 1970-an di samping juga menyelenggarakan PGSLA. Pada
tahun 1989, SPG dilebur ke dalam IKIP/FKIP.
Pada tahun 1999 dan 2000, sepuluh IKIP berubah nama menjadi universitas dengan
tetap mengemban tugas sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).
Jumlah tersebut terus bertambah, terutama dengan berkembangnya jumlah
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) swasta. (LITBANG KOMPAS)
Fakta Singkat
Pendidikan Guru
HINDIA BELANDA
Pendidikan Guru SD
Kweekschool
JEPANG
ORDE LAMA
Pendidikan Guru SD
KPKPKB, SGB, SGA
Pasal 40 ayat (2) tercantum hak pendidik dan tenaga kependidikan dalam
memperoleh: a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan
memadai; b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; c. pembinaan
karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; d. perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan e.
kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.