Anda di halaman 1dari 13

Perkembangan Pendidikan Masa Kolonial Belanda : Meer Uitgebreid Lager

Onderwijs, Algemeene Middelbare School, Hoogere Burgerschool dan


Pendidikan Tinggi

Oleh : Muhammad Dwi Kurniadi (19718251018)


Dosen Pengampu :
Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd
Muhammad0077pasca.2019@student.uny.ac.id
Program Pascasarjana Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, Jl. Colombo No.1, Karang Malang,
Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281

Pendahuluan
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (Ngalim Purwanto,
2002:11). Rumusan tentang pendidikan, lebih jauh termuat dalam UU. No. 20 Tahun 2003,
bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar masyarakat Indonesia mempunyai pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Artinya, arah dari proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek
kehidupan diri manusia dan masyarakat untuk survive dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.

Masuknya Belanda ke Indonesia untuk membentuk daerah penguasaan (koloni) serta


mencakup kepentingan ekonomi dan politik. Pada awal abad 20, pemerintah Belanda mulai
memperkenalkan sistem pendidikan Barat untuk penduduk pribumi. Konsep pendidikan barat
tersebut dapat lebih memenuhi kebutuhan untuk mengisi lowongan kerja dalam administrasi
modern dengan gaji dan hasil yang lebih baik, maka tipe-tipe sekolah seperti ini menarik banyak
murid terutama anak priyayi dan bangsawan pribumi. Sistem pendidikan Barat yang masuk
menjadikan pendidikan sebagai tempat latihan bagi anak para bangsawan untuk kemudian
menjadi kepanjangan dari kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda (Salim, 2007:199).

Sejak dijalankannya politik etis, tampak kemajuan dalam bidang pendidikan daripada
sebelumnya. Jumlah sekolah rendah meningkat cepat, sekolah-sekolah berorientasi Barat
diciptakan baik bagi orang Cina maupun orang Indonesia. Pendidikan juga berkembang secara
vertical dengan didirikannya MULO dan AMS yang lebih terbuka bagi anak-anak Indonesia
daripada HBS, dan menjadi pintu masuk ke universitas. Selama periode inilah akhirnya sistem
pendidikan mencapai kelengkapannya.
Politik etis dalam arti yang murni sesungguhnya tidak berlangsung lama dan hanya
dilaksanakan oleh segelintir orang. Pendidikan yang baik tetap terbatas pada golongan atas.
Untuk rakyat banyak pendidikan dijaga agar sedapat mungkin tetap rendah dan sederhana,
hampir tanpa jalan keluar ke pendidikan lanjutan untuk mendapat kedudukan yang lebih baik.
Namun demikian, walaupun terbatas pada golongan kecil dan dimaksudkan untuk menghasilkan
pegawai, menimbulkan elite intelektual baru, banyak sedikit menjadi asing terhadap kebudayaan
tradisional. Namun elite ini menjadi juru bicara nasionalisme Indonesia yang anti Barat.
Pendidikan yang seharusnya mendekatkan bangsa Belanda dan Indonesia, dalam kenyataan
menjauhkan mereka.

Pada awalnya, para bangsawan adalah kelompok pertama yang mendapat akses ke
pendidikan Barat. Namun, seiring berjalannya waktu rakyat biasa pun dapat mengenyam
pendidikan Barat tersebut. Sebagian ada yang berterimakasih dengan memandang Belanda
sebagai contoh dari semua hal modern karena telah mendirikan sejumlah sekolah bermutu tinggi
sama dengan yang ada di negeri Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mulai menaruh perhatian
terhadap pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak bangsa Indonesia khususnya keturunan
priyayi. Pada masa sebelumnya pendidikan Barat telah berlangsung di Indonesia, namun
awalnya hanya diperuntukkan bagi orang pribumi yang beragama Kristen serta pengetahuan
umum dan kecerdasan tidak dimasukkan dalam rencana pembelajaran. Pendidikan diarahkan
agar para tamatannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah. Sistem
persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat. Pendidikan
diarahkan untuk membentuk golongan elite-sosial (penjilat penjajah) Belanda. Dasar
pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan
kebudayaan Barat. Bermula dari prinsip inilah pemerintah Hindia Belanda menerapkan
kebijakan bahwa kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan pada anak-anak bangsawan
bumi putera serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial yang diharapkan kelak mereka
akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk memerintah
secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia (Ary, 1995:111).

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dalam


pelaksanaan Politik Etis, tentu tidak ada satupun yang utuh ditujukan bagi kepentingan
masyarakat pribumi. Semua kebijakan yang ada tampaknya hanya dibuat demi kepentingan
mereka sendiri, termasuk dalam bidang pengajaran. Pengadaan pengajaran hanya diluncurkan
sekadar untuk mengikuti perkembangan perekonomian pada masa itu. Upaya perluasan dalam
bidang pemerintahan dan pelayanan administrasi telah memunculkan kebutuhan akan tenaga
kerja, baik dalam bidang administrasi, bidang teknik, maupun bidang kejuruan Perkembangan
pengajaran dengan sistem sekolahnya, mau tidak mau, harus disesuaikan dengan sifat dualistis
masyarakat Indonesia pada masa itu. Hal ini mencakup juga pada bahasa pengantar yang
digunakan maupun sistem pengajaran yang dipakai. Pada masa itu, terdapat empat kategori
sekolah: (1) Sekolah Eropa, yang sepenuhnya memakai model sekolah di Negeri Belanda; (2)
Sekolah bagi pribumi yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya; (3) Sekolah
bagi pribumi yang memakai bahasa daerah atau pribumi sebagai bahasa pengantarnya; (4)
Sekolah yang memakai sistem pribumi (Kartodirjo, 1990:76). Pendidikan lanjutan mengalami
perkembangan yang sangat pesat dan terbuka bagi siapa saja yang bisa masuk sekolah, baik dari
golongan Eropa maupun Pribumi. Pendidikan lanjutan terdiri dari, MULO (Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs), AMS (Algemeene Middelbare School), dan HBS (Hoogere Buger School).

MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)

Berdasarkan sistem sekolahan, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) termasuk


dalam kategori sekolah dasar yang diperluas. Sekolah ini merupakan kelanjutan dari sekolah
dasar yang berbahasa pengantar Bahasa Belanda, sehingga MULO dapat dimasukkan dalam
jenjang pendidikan lanjutan. MULO pertama kali didirikan di Surabaya pada tahun 1916,
sekolah ini sekarang menjadi SMP 3 dan 4 Praban terdiri dari 198 murid dan 4 guru (Algemeen
Verslag Van Het Onderwijs in Nederlandsh-Indie, 1916, hlm. 20-23). MULO Reinierzs didirikan
pada tahun 1918 dengan 201 murid dan 3 guru. Pada tahun 1928 didirikan MULO Ketabang
(sekarang dipakai SPG I Jl. Teratai, Surabaya) terdiri dari 201 murid dan 6 guru, juga terdapat
MULO Praban tahun 1932 yang didirikan di daerah Praban terdiri dari 125 murid dan 4 guru
(Warsono, 2005: 53).

Sedangkan MULO yang didirikan oleh suatu organisasi seperti MULO Aloysius,
Katholik MULO dan MULO Buys. MULO Aloysius merupakan sekolah swasta yang didirikan
oleh komunitas Katholik pada tahun 186 terdiri dari 204 murid dan 4 guru. Katholik MULO
didirikan di daerah Ketabang pada tahun 1936 terdiri dari 211 murid dan 7 guru. MULO Buys
didirikan di Jl. Praban No. 3 yang terdiri dari 189 murid dan 5 guru (Algemeen Verslag, 1936-
1937: 88-89). Adapun mata pelajaran MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yaitu
membaca, bahasa belanda, berhitung dan matematika, sejarah (belanda dan jajahan), sejarah
dunia, geografi, ilmu alam, bahasa prancis, bahasa inggris, bahasa jerman, menggambar.

Jumlah matapelajaran MULO dari kelas I sampai kelas III sama yaitu 36 jam pelajaran,
namun terdapat perbedaan jumlah jam untuk kelas I, kelas II maupun kelas III. Dalam mata
pelajaran MULO lebih ditekankan Berhitung dan Matematika yang memiliki jumlah jam paling
banyak diantara pelajaran yang lainnya (Nasution 1983: 124). Selain itu juga pelajaran Bahasa
Inggris dan Bahasa Belanda yang memiliki jumlah jam lebih banyak. Sekolah ini setara dengan
sekolah menengah pertama. Bahasa Belanda merupakan pengantar yang digunakan dalam
MULO. Jenjang studi sekolah di MULO terbagi menjadi dua bagian. Tiga tahun untuk
menyelesaikan ELS, dan empat tahun setelah lulus ELS karena ada masa persiapan 1 tahun.

AMS (Algemeene Middelbare School)


AMS (Algemeene Middelbare School) didirikan sebagai sekolah lanjutan MULO dan
sekaligus sebagai persiapan untuk memasuki perguruan tinggi dengan lama belajar 3 tahun yang
sekarang ini setara dengan SMA (S. Kutoyo dan Sri Soetjiatingsih, 1981: 130). Di Surabaya
didirikan pada tahun 1938 Afdelling B Bidang Ilmu Pasti Alam (Natuurwetenchap) di Viaduct
Straat (sekarang JL. Dharmahusa, ditempati SMA IV dan SMP 29, Surabaya). Adapun mata
pelajaran dari kurikulum Afdelling B bidang ilmu Pasti Alam (Natuurwetenchap) sebagai
berikut: ilmu pasti, ilmu pesawat, ilmu alam, ilmu kimia, ilmu tumbuh-tumbuhan dan binatang,
cosmografie, tata Negara, ilmu negara, tata buku, sejarah, ilmu bumi, bahasa belanda, bahasa
inggris, bahasa prancis, menggambar tangan, menggambar mistar, olahraga (S. Kutoyo dan Sri
Soetjiatingsih, 1981: 133-134). Kurikulum Afdelling B ini labih ditekankan pada pelajaran Ilmu
Pasti yang memiliki jumlah jam paling banyak dibandingkan dengan pelajaran yang lainnya.
Juga terdapat mata pelajaran Bahasa Belanda relatif stabil jumlah jamnya, selain itu juga Ilmu
Alam dan Ilmu Kimia yang memiliki jumlah jam lebih banyak dari yang lainnya. Maka dari itu
mata pelajaran untuk Afdelling B lebih ditekankan pada Ilmu Pasti.

HBS (Hoogere Burgerschool)


HBS merupakan sekolah yang setara dengan SMA sekarang, di Surabaya didirikan pada
tahun 1875. HBS ini pertama kali berada di Institut Buys yang terletak di sudut Jalan Baliwerti
dan alun-alun Cottong, sekarang gedung ini ditempati oleh ITS Surabaya yaitu jalan
Cokroaminoto (G. H. Von Vaber, 1931: 270). Pada tahun 1880 Sekolah ini terdiri dari 278 murid
dan 5 guru, pendidikan HBS ini disesuaikan dengan HBS di Negeri Belanda baik kurikulum
maupun ketentuannya. Pada tahun 1912 sekolah HBS berada di Jl. Regenstraat atau Jl. Kebon
Rejo terdiri dari 209 murid terdiri 3 guru (Staatsblad, No. 7893: 189). Pada tahun 1923 HBS
berada di Jl. Ketabang dengan lama belajar 5 tahun terdiri dari 308 murid dan 8 guru.
Kurikulum HBS lebih ditekankan pada mata pelajaran bahasa Belanda yang memiliki
jumlah jam paling banyak, supaya anak-anak Eropa tidak mengalami kesulitan untuk
melanjutkan pendidikan ke Belanda. Selain itu juga bahasa Perancis, bahasa Jerman, dan bahasa
Inggris yang memiliki jumlah jam lebih banyak. Mata pelajaran Berhitung dan Aljabar juga
mendapatkan jumlah jam lebih banyak, namun hanya ditekankan pada kelas I dan kelas II.
Seperti halnya Soekarno yang dahulu bersekolah di HBS Surabaya pada tahun 1917 sampai
1922, diwajibkan membayar f 15,00 sebulan untuk uang sekolah, dan juga f 75,00 setiap tahun
untuk uang buku. Biaya pendidikan ini sangat berat bagi pribumi, sedangkan penghasilan
ayahnya sebesar f 25 per bulan pada tahun 1905. Pada tahun 1928 HBS memberikan informasi
mengenai sistem pembiayaan yang diwajibkan di sekolah kepada muridnya. dijelaskan bahwa
apabila penghasilan orang tua tinggi, maka biaya bulanan bagi anak pertama juga akan lebih
tinggi. Namun apabila penghasilan orang tua rendah, maka biaya bulanan sekolah HBS yang
dibayarkan akan rendah untuk anak pertama. Selain itu biaya bulanan bagi anak pertama akan
lebih tinggi, dari pada anak kedua dan juga biaya bulanan anak ketiga dan seterusnya lebih
murah daripada anak kedua.

Pendidikan Tinggi
cikal bakal pendidikan tinggi di Indonesia sudah disemai oleh pemerintah kolonial pada
pertengahan abad ke-19 dengan didirikannya School tot Opleiding voor Indische
Arsten (STOVIA), sebuah lembaga pendidikan dokter Jawa di Batavia. Lembaga pendidikan
tersebut untuk sementara mengambil alih peran yang mestinya dimainkan oleh lembaga
pendidikan tinggi, mengingat STOVIA ketika pertama kali didirikan tidak lebih dari sekolah
menengah untuk mendidik menjadi medisch vaccinateur (juru cacar) dengan masa pendidikan
hanya dua tahun. STOVIA meningkat menjadi lembaga pendidikan yang setara dengan
pendidikan tinggi baru pada tahun 1902 dengan masa studi tujuh tahun dan lulusannya diberi
gelar Inlandsche Arts (Dokter Bumiputera). Pada periode berikutnya didirikan pula Sekolah
Hukum untuk golongan Bumiputra (Opleidingschool van Inlandsche Rechtkundigen) pada tahun
1909 di kota yang sama, dan sekolah dokter di Surabaya pada tahun 1913 yang diberi
nama Nederlandsch Indische Arsten School (NIAS) dengan masa studi tujuh tahun.
Dengan berdirinya STOVIA dan NIAS maka di Indonesia telah ada dua lembaga
pendidikan tinggi bidang kedokteran yang dikelola oleh pemerintah kolonial. Adalah menarik
mengapa cikal-bakal perguruan tinggi di Indonesia adalah lembaga pendidikan kedokteran bukan
lembaga pendidikan teknik atau pendidikan hukum. Hal ini terkait erat dengan persepsi orang-
orang Barat yang tinggal di Indonesia pada waktu itu yang memandang bahwa alam Indonesia
dan perilaku keseharian masyarakat merupakan sumber penyakit. Indonesia yang berada di
wilayah tropis merupakan lahan yang subur untuk berkembangbiak penyakit. Di samping itu
perilaku sehari-hari masyarakat juga amat tidak sehat. Rumah-rumah dibuat dari bahan seadanya
seperti dari anyaman bambu dan atap dari ilalang yang merupakan tempat yang amat disenangi
oleh tikus. Buang air besar juga dilakukan di sembarang tempat yang tentu saja menjadi media
yang efektif untuk penyebaran penyakit. Perilaku masyarakat yang amat tidak sehat dan kondisi
alam tropis yang amat lembab dengan curah hujan yang tinggi menjadi media yang efektif untuk
terjangkitnya wabah penyakit. Kondisi semacam ini amat menakutkan penduduk Eropa di yang
tinggal Indonesia (Tillema : 1915-1923).
Berbagai usaha dilakukan agar mereka tidak tertular berbagai penyakit tropis. Maka
didirikanlah perguruan kedokteran sehingga lulusannya diharapkan dapat berperan aktif dalam
mencegah timbulnya berbagai penyakit. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendirian lembaga pendidikan kedokteran pada awalnya adalah semata-mata untuk kepentingan
masyarakat Eropa. Pengobatan dan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat pribumi pada
waktu itu pada hakekatnya adalah untuk menangkal agar penyakit tidak menjalar dan
menjangkiti masyarakat Eropa. Ketika kebutuhan akan tenaga medis semakin tinggi, maka
pemerintah kolonial bermaksud untuk memperluas pendidikan dokter tidak hanya di Batavia
tetapi juga di Surabaya. Gagasan ini muncul pada tahun 1911 yang dilatarbelakangi oleh
keinginan untuk menambah jumlah dokter serta mempertimbangkan laporan-laporan bahwa
sistem pendidikan dokter yang selama ini berjalan perlu mendapat perbaikan (Widohariadi dan
Bambang Permono, 1983: 20)
Namun upaya pengembangan tersebut sempat ditentang oleh dokter-dokter Eropa lulusan
negeri Belanda. Menurut mereka pendirian lembaga pendidikan kedokteran bagi pribumi dan
golongan Indo tidak akan menghasilkan dokter yang cakap. Ketika NIAS akan didirikan di kota
Surabaya para dokter Eropa di Indonesia yang tergabung dalam Bond van Geneesheers mencela
maksud pemerintah itu melalui buletin yang dikeluarkan oleh perkumpulan itu pada bulan
September 1912. Mereka mengatakan bahwa golongan Bumiputra tidak cakap dalam bekerja dan
cenderung malas. Golongan Bumiputra dianggap enggan jika pekerjaannya hendak diperiksa
karena hasil pekerjaannya itu memang tak tahan uji dan kritik. Jarang sekali didapati sifat
kemauan yang teguh pada mereka kecuali kemauan di dalam perkara melakukan segala
kejahatan. Tak ada suatu kebaikan yang boleh diharapkan dari pihak mereka (Koch, 1951: 42-
43).
Walaupun muncul kritik yang sangat tajam dari perkumpulan dokter Eropa namun pada
tahun 1913 pemerintah kolonial memutuskan untuk mendirikan sekolah tinggi kedokteran di
kota Surabaya yang diberi nama Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS). Pada awal
berdirinya lembaga pendidikan dokter ini dipimpin oleh Dr. A.E. Sitsen yang berasal dari
STOVIA Batavia (Widohariadi dan Bambang Permono, 1983: 20).
Sebagai bagian dari sistem kolonial, pendidikan pada periode ini bersifat elitis dan hanya
menyentuh kalangan terbatas. Golongan Bumiputra yang tersentuh sistem pendidikan hanya
terbatas pada kelompok aristokrat, yaitu kelompok yang secara aktif dimanfaatkan oleh
pemerintah kolonial untuk melanggengkan kekuasaannya dan sebagai alat untuk mengesploitasi
kekayaan bumi Indonesia. Masyarakat kelas menengah ke bawah bisa bersentuhan dengan sistem
pendidikan modern hanya pada level tertentu saja yang tidak memungkinkan yang bersangkutan
untuk melakukan mobilitas vertikal secara maksimal. Eskploitasi kolonial yang berbasis pada
kekuasaan tradisional telah memaksa pemerintah kolonial untuk memberdayakan keluarga-
keluarga penguasa tradisional melalui saluran pendidikan modern. Mereka sadar bahwa anak-
anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional suatu saat akan menjadi bagian
dari kelompok yang akan memperlancar usaha-usaha pemerintah kolonial untuk mengelola
negara jajahan yang sedang mereka usahakan.
Gagasan awal berbagai sekolah khususnya pembukaan lembaga pendidikan tinggi oleh
pemerintah kolonial adalah sebuah kebijakan pendidikan yang “melayani kepentingannya
sendiri.” Dengan kebijakan ini maka tercipta pemisahan sosial dan kesenjangan budaya antara
minoritas kecil pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga papan atas atau keluarga
aristokrat dan sebagian besar pemuda Indonesia dengan latar belakang keluarga biasa. Secara
kasat mata pembukaan THS pada tahun 1920 di kota Bandung adalah implementasi dari
kebijakan untuk melayani kepentingannya sendiri tersebut. Persis dengan kebijakan pembukaan
lembaga pendidikan dokter di Indonesia, sebelum THS berdiri kebutuhan akan tenaga teknik
terdidik yang diperlukan untuk membangun berbagai infrastruktur fisik yang mendukung
kekuasaan kolonial di Indonesia disuplai dari lulusan pendidikan teknik di Eropa khususnya dari
negeri Belanda. Namun dengan meletusnya Perang Dunia Pertama hubungan antara negeri
belanda dengan Indonesia menjadi tersendat-sendat. Hal tersebut menyulitkan pengiriman tenaga
teknik terdidik ke Indonesia serta sebaliknya, sulitnya mengirim lulusan sekolah menengah di
Indonesia ke negeri Belanda untuk dididik di perguruan teknik di negeri induk tersebut.
Akibatnya pemerintah dan industri mengalami kesulitan yang berat dan tidak dapat berfungsi
dengan lancar. Kondisi tersebut telah menyadarkan para pengambil kebijakan bahwa Indonesia
harus memiliki lembaga pendidikan sendiri dan dengan demikian pula akan meningkatkan
kehidupan intelektual di negeri ini.
Upaya untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia bukan hal yang mudah,
walaupun hal tersebut bertujuan untuk melengkapi sistem kolonial yang sedang berjalan. Pada
awal abad ke-20 pendapat umum masih menyatakan bahwa Indonesia “belum matang” untuk
berdirinya suatu perguruan tinggi karena belum memiliki sekolah menengah yang memadai yang
merupakan sumber murid yang potensial yang akan didik di perguruan tinggi. Ada pula keragu-
raguan apakah orang Indonesia dapat dididik dalam ilmu pengetahuan yang setaraf dengan orang
Barat, sekalipun orang Indonesia telah menujukkan prestasi yang luar biasa dalam mencapai
gelar akademis berkaitan dengan prestasi yang diraih oleh para lulusan STOVIA.
Di balik keraguan tersebut pemerintah tetap berusaha untuk mewujudkan dibentuknya
perguruan tinggi teknik karena didesak keadaan bahwa kebutuhan akan tenaga teknik terdidik
harus segera dipenuhi. Pada tahun 1918 dibentuk Technisch Onderwijs Commissie, suatu panitia
pendidikan teknik yang bertugas memberikan saran-saran kepada pemerintah tentang cara
mengatasi kebutuhan pendidikan teknik lanjutan. Panitia ini diketuai oleh J.CH. de Vooght,
seorang pensiunan mayor jenderal dan anggotanya antara lain kepala-kepala dinas pemerintahan,
seperti kepala irigasi, pertambangan, tenaga air, listrik, kereta api, kepala-kepala pabrik, wakil
departemen pengajaran, kepala sekolah teknik menengah, dan inspektur sekolah menengah.
Dalam peremian panitia ini gubernur jenderal menegaskan bahwa panitia ini dapat mulai bekerja
dengan anggapan bahwa perlunya pendidikan teknik tinggi, dan tugas panitia ini adalah mencari
jalan terbaik untuk mewujudkannya. Pada tahun 1920 sebuah perguruan teknik tinggi pun
berhasil didirikan di Bandung dengan nama Technische Hogeschool (THS). Lembaga
pendidikan teknik ini menjadi lembaga pendidikan tinggi pertama yang berdiri di Indonesia
dengan kurikulum perguruan tinggi dan menghasilkan lulusan seorang engineer. Perguruan
tinggi yang hanya memiliki satu jurusan yaitu de afdeeling der Weg en Waterbouw tersebut pada
tahun 1924 secara resmi diambilalih pengelolaannya oleh pemerintah dengan status sebagai
perguruan tinggi negeri. Pada tahun yang sama Sekolah Hukum untuk golongan Bumiputra
(Opleidingschool van Inlandsche Rechtskundigen) juga dinaikan statusnya menjadi Sekolah
Tinggi Hukum (Rechts Hogeschool). Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 16 Agustus
1927 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige
Hogeschool) yang merupakan kelanjutan dari STOVIA.
Berdirinya lembaga pendidkan tinggi di Indonesia pada awal abad ke-20 tidak bisa
dipisahkan dengan lahirnya kebijakan Politik Etis yang awalnya disuarakan oleh para pendukung
Van Deventer di negeri Belanda. Ia yang dengan lantang menggemakan ide tentang “Hutang
Kehormatan” kemudian disauti oleh pidato Ratu Belanda bahwa Nederland mempunyai
kewajiban moral untuk memenuhi terhadap penduduk di Indonesia. Kemerosotan kesejahteraan
harus diatasi dengan sebuah perhatian khusus. Politik Etis menentang politik eksploitasi
materialistis pada masa silam dan harus menggantinya dengan sikap laissez faire yang lebih
manusiawi. Politik ini menonjolkan kewajiban moral bangsa yang mempunyai kebudayaan
tinggi terhadap bangsa yang tertindas. Dengan mengatasnamakan Politik Etis sekolah-sekolah
dibuka untuk mengimplementasikan ide-ide yang dilahirkan oleh Van Deventer. Pendidikan dan
emansipasi menjadi inti dari Politik Etis. Pendidikan di Indonesia harus juga diarahkan kepada
tujuan untuk membebaskan rakyat secara berangsur-angsur dari ketidakmatangan yang
dipaksakan agar mandiri di atas kaki sendiri.
Namun sejatinya gagasan Politik Etis tidak pernah bisa berjalan sebagaimana
dibayangkan oleh para pengagasnya. Lembaga pendidikan tinggi yang dibentuk sebagai
implementasi dari gagasan besar Politik Etis tidak pernah menemukan momentumnya untuk
mensejahterakan rakyat Indonesia secara luas. Para alumni perguruan tinggi yang dihasilkan
pada periode ini alih-alih akan menjadi penuntun rakyat Indonesia menuju kesejahteraan yang
diidam-idamkan oleh para pengagas ide besar tersebut, justru pada kenyataannya sebagian besar
menjadi bagian dari sistem yang berjalan atas kehendak para pemodal asing. Pendidikan tinggi
pada kenyataannya berfungsi untuk menopang kekuasaan kolonial yang disangga oleh para
pemodal swasta. Namun demikian masih terdapat celah dari sistem pendidikan yang sepenuhnya
dimodali dan dipupuk oleh semangat kolonialisme. Celah tersebut tumbuh dan membesar dari
para mahasiswa yang sadar bahwa di pundak mereka cita-cita kemerdekaan Indonesia
disandarkan. Pada periode ini gagasan kesadaran berbangsa tumbuh dari persemaian pendidikan
tinggi yang disirami oleh semangat kebebasan yang mulai tumbuh. Dari STOVIA lahirlah Budi
Utomo yang dipelopori oleh salah seorang siswanya, Soetomo (Dr.), dari THS lahirlah Soekarno
(Ir.) yang kelak akan menjadi pemimpin Indonesia yang menuntun bangsa ini menuju
kemerdekaan.
Celah sempit yang terbuka di pendidikan tinggi yang lahir dari rahim Politik Etis pada
gilirannya menjadi pintu besar yang membuka kesadaran baru rakyat Indonesia bahwa
kemerdekaan harus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa dengan kelompok intelektual
dari perguruan tinggi sebagai intinya. Konsepsi ini kemudian menjadi pembenar bahwa
perjuangan melawan penjajah pada periode awal yang menekankan pada perlawanan fisik tidak
cukup efektif tanpa keterlibatan kelompok intelektual yang dibina di lembaga pendidikan tinggi,
karena dari kelompok inilah kesadaran untuk membangun bangsa yang modern lahir.
Gagasan pergerakan nasional yang lahir di lembaga pendidikan tinggi jika dilihat dari
perspektif kolonial merupakan sebuah anomali karena gagasan awal didirikannya pendidikan
tinggi di Indonesia adalah dalam rangka menopang kekuasaan kolonial itu sendiri. Namun
dengan semakin banyaknya mahasiswa yang dihasilkan oleh berbagai perguruan tinggi awal
tersebut telah melahirkan kesadaran bahwa kesejahteraan rakyat, yang pada awalnya menjadi
landasan berdirinya berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, tidak kunjung tiba. Hal ini terjadi
karena Politik Etis menyajikan slogan yang indah untuk menutupi metode-metode ekpsloitasi
modal raksasa. Secara perorangan mungkin bersikap etis terhadap bangsa Indonesia, akan tetapi
perusahaan tidak didasarkan atas motif etis melainkan motif ekonomis.
Pendirian berbagai perguruan tinggi pada masa kolonial pada gilirannya justru membuka
kotak pandora. Hal tu disebabkan karena pendidikan tinggi yang berorientasi Barat, walaupun
terbatas pada golongan kecil terutama dari golongan aristokrat tradisional dan dimaksud untuk
menghasilkan pegawai, pada gilirannya telah menimbulkan elit intelektual baru. Elit inilah yang
kemudian menjadi juru bicara nasionalisme Indonesia yang anti Barat. Pendidikan tinggi yang
pada awalnya dipenuhi gagasan asimilasi untuk mendekatkan bangsa Belanda dan Indonesia
pada kenyataannya justru menjauhkan mereka.
Perubahan drastis pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia tejadi ketika Belanda
bertekuk lutut kepada tentara Jepang. Pemerintah pendudukan Jepang yang dihinggapi sikap
paranoid kepada bangsa Barat melakukan proses de-eropanisasi secara cepat. Bahasa Belanda
dilarang sebagai bahasa sehari-hari maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Ribuan buku
referensi berbahasa Belanda dilarang digunakan di sekolah-sekolah, dan ada kemungkinan
dihancurkan, yang kemudian diganti dengan buku-buku berbahasa Indonesia. Dilihat dari aspek
pengembangan bahasa Indonesia, kebijakan tersebut menguntungkan, namun dilihat dari aspek
pengembangan ilmu pengetahuan kebijakan tersebut sangat merugikan karena buku-buku yang
dimusnahkan tidak mendapatkan gantinya yang setara. Pada tahun 1942 semua perguruan tinggi
yang ada di Indonesia ditutup untuk beberapa saat, sampai kemudian dibuka kembali dengan
corak yang amat berbeda. Jaman pendudukan Jepang di Indonesia memperlihatkan gambaran
buruk mengenai bidang pendidikan dan pengajaran jika dibandingkan dengan periode
sebelumnya.
Pembukaan kembali beberapa perguruan tinggi di Indonesia dilakukan pada tahun 1943
setelah kurang lebih satu tahun pemerintah pendudukan Jepang berkuasa. Seperti halnya
pemerintah kolonial Belanda, tujuan pembukaan kembali perguruan tinggi oleh Jepang juga
dalam rangka mobilisasi kaum terdidik untuk mendukung perang yang dibayangkan akan
berakhir dengan bersatunya kawasan Asia dibawah pimpinan Jepang. Beberapa perguruan tinggi
yang dibuka pada periode ini antara lain Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta
yang merupakan kelanjutan dari Geneeskundige Hogeschool dan Perguruan Tinggi Teknik
(Kogyo Daigaku) di Bandung yang merupakan kelanjutan dari Technische Hogeschool. Di
samping itu Jepang juga membuka pula Akademi Pamongpraja (Kenkoku Gakuin) di Jakarta,
yang mirip dengan lembaga serupa pada masa kolonial Belanda yang disebut OSVIA, serta
membuka Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor (Ricklefs, 2005: 324).
Kesimpulan
Pada masa Hindia Belanda, terdapat tiga jenjang sekolah, yaitu sekolah rendah, sekolah
menengah, dan sekolah tinggi. Jalur sekolah untuk anak Belanda adalah Europese Lagere School
(ELS) ke Lycea, HBS V dan atau HBS III. Dari sekolah Lycea dan HBS V dapat melanjutkan ke
sekolah tinggi (THS, GHS, atau RHS). Jalur sekolah bagi anak Belanda ini dapat juga dimasuki
oleh anak Bumiputera dan Tionghoa yang terpilih. Jalur sekolah Bumiputera adalah HIS dengan
lama belajar tujuh tahun. Setelah itu, mereka dapat melanjutkan ke MULO, AMS, atau ke
sekolah kejuruan Eropa dan Kweekschool. Bagi masyarakat keturunan Tionghoa biasanya
mereka memilih jalur HCS (Hollandsche Chineesche School) dengan bahasa pengantar Belanda.
Sekolah untuk Bumiputera rendahan sendiri adalah Sekolah Desa (Volkschool) dan Sekolah
Kelas II (Tweede Inlandsche School). Dari sekolah ini mereka dapat melanjutkan ke Schakel
School (sekolah peralihan) agar dapat melanjutkan ke MULO, AMS, dan sekolah tinggi.
Empat Karakter Utama Pendidikan Jaman Kolonial Belanda
1. Dualistis-diskriminatif
Sekolah dibedakan untuk anak pribumi, anak belanda dan tionghoa, juga berdasarkan bahasa
pengantarnya:
2. Gradualis
Sistem sekolah dikembangkan sangat lamban, sehingga perlu seratus tahun lebih Indonesia
memiliki sistem pendidikan yang lengkap dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
3. Konkordansi
Kurikulum dan sistem ujian disamakan dengan sekolah di negri Belanda, dan
4. Pengawasan yang sangat ketat
Pendidikan telah memberi peluang kepada bangsa Indonesia untuk mengisi jabatan yang
dahulunya khusus dicadangkan bagi "kasta" Eropa, dan secara perlahan mejadikan memiliki etos
budaya yang ingin semakin dekat dengan budayanya orang-orang Belanda.
Daftar Pustaka

Algemeen, Verslag van het Onderwijs in Nederlandsh-Indie Over Het Schooljaar 1936-1937,
Tahun 1939.

D.M.G. Koch, Menudju Kemerdekaan, Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1951.

Gunawan, Ary. 1995. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

H.F. Tillema, Kromoblanda: Over’t Vraagstuk van “het Wonen” in Kromo’s Grote Land, 6 Jilid,
’s-Gravenhage: Uden Masman, De Atlas dan Adi Poestaka, 1915-1923’

Kartodirjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Pergerakan Nasional. Jakarta: PT Gramedia.

Kutoyo, S dan Sri Soetjiatingsih. 1981. Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Timur. Jakarta: Balai
Pustaka.

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005

Nasution. 1983. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bandung: Bumi Aksara.

Salim, Agus. 2007. Indoensia Belajarlah!: Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: Tiara
wacana.

Staatsblad van Nederlandsh-Indie, No. 7920 tahun 1913, No. 7893 tahun 1914.

UU. No. 20 Tahun 2003

Warsono. 2005. SMP MULO SMP Negeri 3-4 Praban Surabaya. Surabaya: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Widohariadi dan Bambang Permono (ed.), Peringatan 70 Tahun Pendidikan Dokter di Surabaya,
Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 1983

Anda mungkin juga menyukai