Anda di halaman 1dari 14

Modernisasi Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap Dinamika Multikultural

Masyarakat Aceh
A. Pengantar

Dimulainya kekusaan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Aceh memilki dampak


terhadap berbagai bidang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Beberapa bidang yang
mengalami pengaruh pasca pendudukan Belanda di Aceh antara lain, bidang
pemerintahan, bidang ekonomi, bidang infrastruktur, hingga bidang pendidikan.
Seluruh bidang tersebut mengalami gejala yang sama, yakni modernisasi. Modernisasi
dalam berbagai bidang inilah yang menjadi dampak utama dari pendudukan
pemerintah kolonial Hindia Belanda di Aceh.
Modernisasi dalam berbagai bidang tersebut memiliki bentuk yang beragam.
Modernisasi dalam bidang pemerintahan misalnya, membawa perubahan pada
susunan birokrasi masyarakat Aceh.1 Pemerintah kolonial Hindia Belanda membawa
model birokrasi Barat selama berkuasa di Aceh. Selain itu, pada bidang ekonomi
membawa sejumlah perubahan seperti semakin berkembangnya sektor perkebunan.
Sektor perkebunan berhasil menarik investor asing dalam jumlah besar. Sebagai
contoh, pada tahun 1916 diperkirakan luas wilayah perkebunan di Aceh Timur
mencapai 210.000 Ha dengan nilai investasi berkisar f 31.000.000.2 Besarnya
investasi tersebut menunjukkan jika adanya perkembangan model perekonomian yang
sangat signifikan dalam masyarakat Aceh.
Pendudukan pemerintah kolonial Hindia Belanda secara umum juga mempengaruhi
dinamika masyarakat multikultur Aceh. Kedatangan pemerintah kolonial Hindia
Belanda juga turut membawa sejumlah orang dari berbagai suku. Salah satu
contohnya adalah keberadaan orang rante. Orang rante merupakan naripadana
pribumi terutama yang berasal dari Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara. 3
1 Muwardi Umar, 2014, Jejak Belanda di Aceh. Tersedia pada http://www.suaratamiang.com/2014/05/jejak-belanda-di-aceh.html. Diakses pada tanggal 19 April 2016.
2 Muhammad Gade Ismail. Economic Position of the Uleebalang in the Late Colonial State Aceh
(East Aceh, 1900-1942) dalam The Socio-Economics Foundations of The Late Colonial State in
Indonesia, 1880-1930: Towards an Explanation. 1989. Netherlands, hlm. 5.
3 Brau de Saint-pol Lias, Pendudukan Militer Belanda di Aceh, dalam Anthony Reid (eds.),
1

Meskipun demikian, orang rante ini banyak bermanfaat bagi masyarakat Aceh,
terutama bagi orang Eropa. Orang rante dimanfaatkan untuk melakukan berbagai
jenis pekerjaan seperti kuli angkut, penjahit keranjang, tukang kebun, juru masak, dan
supir. Selain itu mereka juga dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah kolonial
Hindia Belanda seperti pembantu prajurit yang melakukan ekspedisi, maupun terlibat
dalam pembangunan infrastruktur. Keberadaan orang rante ini semakin menunjukkan
keberagaman masyarakat yang mendiami wilayah Aceh selama periode pendudukan
pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Meskipun demikian, bidang pendidikan merupakan bidang yang mendapat pengaruh


signifikan dari pendudukan Belanda di Aceh. Pendudukan Pemerintah kolonial Hindia
Belanda dibarengi dengan pendirian sejumlah sekolah-sekolah Barat di Aceh.
Pendirian sekolah-sekolah Barat tersebut tentu menimbulkan berbagai reaksi dari
rakyat Aceh. Berkembangnya sistem pendidikan Barat juga ikut membentuk
karakteristik masyarakat Aceh dan pandangan orang Aceh terhadap masyarakat luar.
Beragam reaksi atas didirikannya sekolah-sekolah Barat itulah yang memberi andil
bagi dinamika masyarakat multikultur di Aceh.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses modernisasi pendidikan di Aceh?
2. Apa saja pengaruh modernisasi pendidikan terhadap dinamika masyarakat

multikultural?
C. Pembahasan
1. Proses Modernisasi Pendidikan di Aceh
Pendidikan di Aceh sebelum kedatangan Belanda sangat dipengaruhi oleh pendidikan
Islam. Berkembangnya pendidikan Islam tersebut tidaklah mengherankan mengingat
Aceh dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai dan Aceh.
Perkembangan pendidikan Islam di Aceh berbanding lurus dengan perkembangan
kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut. Fakta tersebut memperlihatkan dengan jelas
Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011,
hlm. 166.
2

keterkaitan antara perkembangan pendidikan dengan kekuasaan politik yang


menguasai wilayah Aceh.
Pendidikan Islam di Aceh terbagi kedalam tiga tingkat yaitu, Meunasah (pendidikan
dasar), Rangkang (pendidikan menengah pertama atau Tsanawiyah), dan Dayah
(pendidikan menengah atas atau Aliyah). Kegiatan pendidikan Islam di Aceh pada
umumnya memasukkan nilai-nilai Islam pada materi pembelajaran yang disisipkan
dalam berbagai macam hikayat.4 Beberapa hikayat yang digunakan antara lain hikayat
Malem Diwa, hikayat Kancamara, hikayat Naggroe Meusee dan lain-lain.
Dimasukkannya nilai-nilai Islam dalam materi pembelajaran tersebut secara tidak
langsung menunjukkan tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. Tujuan pendidikan
Islam di Aceh adalah membentuk manusia Aceh yang sanggup menjalankan dan
memperjuangkan nilai-nilai Islam. Pada masa selanjutnya, perkembangan pendidikan
Islam menjadi sangat pesat dan mampu menjangkau berbagai wilayah perkampungan
yang ada di Aceh.
Pendudukan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Aceh memiliki dampak pada
perkembangan pendidikan di Aceh. Pendidikan Islam tradisional mengalami
kemunduran. Kemunduran tersebut tidak terlepas dari sikap represif pemerintah
kolonial Hindia Belanda terhadap guru maupun peserta didik di pendidikan Islam
tradisional.5 Pemerintah kolonial Hindia Belanda nampaknya khawatir jika
pendidikan Islam tradisional justru menjadi sarana bagi berkembangnya nilai-nilai
perjuangan Islam yang justru akan merugikan pemerintah kolonial. Oleh karena itu
pemerintah kolonial Hindia Belanda berusaha merumuskan kebijakan baru untuk
mengantisipasi kemungkinan tersebut.
Terdapat sejumlah sekolah-sekolah Barat yang didirikan di Aceh. Secara umum,
sekolah-sekolah yang ada di Aceh dapat dibagi menjadi empat jenis. Pertama sekolah
rakyat atau Volkschool yang didirikan bagi rakyat biasa. Kedua adalah sekolah dasar
4 T Syarwan, Pendidikan Barat Untuk Penduduk Bumiputra di Aceh 1900-1942. Yogyakarta: UGM,
Tesis tidak Diterbitkan, 2002, hlm. 70.
5 Taufik Abdullah, dkk. (eds.) Agama dan Perubahan Sosial di Aceh. Jakarta: CV Rajawali Press,
1983, hlm. 24.
3

yang terdiri dari HIS dan Tweedee Klasse School yang merupakan sekolah-sekolah
dasar. Ketiga adalah Vervolgschool dan Schakee School yakni sekolah persiapan
menuju sekolah menengah. Keempat adalah sekolah menengah dengan MULO
sebagai sekolah dengan tingkat pendidikan paling tinggi di Aceh. Kelima adalah
sekolah-sekolah khusus seperti HCS, HAS, dan ELS. Keenam adalah sekolah
kejuruan yang terdiri dari Meijess School, Normaal Cursus, Normaal School,
Ambacht School,dan Landbouw School.
Adapun perincian terhadap jenis-jenis sekolah Barat di Aceh adalah sebagai berikut:

a.

Volkschool (Sekolah Rakyat):

Sekolah jenis ini mulai didirikan sejak tahun 1907 di Ulee Lheue dan pada
perkembangannya hampir merata pada setiap desa. Lamanya program pendidikan
pada Volkschool adalah tiga tahun. Sekolah ini mayoritas diisi oleh rakyat biasa.
Volkschool merupakan sekolah yang paling luas persebarannya di Aceh. Meskipun
demikian, kebanyakan rakyat Aceh yang bersekolah disini mengikuti kegiatan
pendidikan dengan terpaksa dibawah ancaman kerja rodi. Pada tahun 1938, sekolah
ini telah mencapai total 328 sekolah dengan jumlah siswa sebesar 36.000 jiwa serta
jumlah guru 600 orang.6
b.

Hoolandsche Inlandsche School (HIS):

HIS merupakan sekolah dasar bagi kaum prbumi yang dipersiapkan untuk menjadi
sekutu Belanda. HIS pertama kali didirikan pada tahun 1914. Lamanya pendidikan di
HIS adalah 7 tahun. Bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa
Belanda. HIS menjadi salah satu sekolah favorit di Aceh karena lulusannya memiliki
kemungkinan untuk menjadi pegawai administratif dalam birokrasi kolonial. HIS
kebanyakan diisi oleh golongan elit terutama uleebalang. Guru-guru yang mengajar di
HIS kebanyakan berasal dari golongan pribumi serta sebagian lagi adalah orang
6 Guru-guru tersebut pada mulanya didatangkan dari Minangkabau, Mandailing, dan Batak, T
Syarwan, Op Cit., hln. 151.
4

Eropa. Pada tahun 1938, jumlah HIS hanya mencapai 8 buah dengan jumlah siswa
berkisar 1500 orang.
c.

Tweede Klasse School

Tweede Klasse School kadangkala disebut sebagai sekolah Melayu merupakan


sekolah dasar yang ditujukan kepada kaum pribumi. Lama pendidikan disini adalah 5
tahun. Lulusan Tweede Klasse School pada umumnya diarahkan untuk menjadi
pegawai rendahan dalam jajaran birokrasi pemerintah colonial Hindia Belanda.
Tweede Klasse School kebanyakan berada di kota-kota besar seperti Kutaraja, Langsa,
dan sebagainya.
d.

Vervolgschool:

Vervolgschool merupakan sekolah lanjutan dari Volkschool. Lama pendidikan di


Vervolgschool adalah 2 tahun. Meskipun demikian, pada kenyataannya sekolah ini
banyak diisi oleh anak orang-orang kaya serta anak dari pegawai rendahan.
Vervolgschool tidak mengalami perkembangan yang signifikan akibat keterbatasan
tenaga pengajar. Total jumlah vervolgschool di Aceh pada tahun 1939 mencapai 45
buah.
e.

Schakel School

Schakel School merupakan sekolah lanjutan dari Vervolgschool. Sekolah ini pertama
kali didirikan di Kutaraja pada tahun 1921. Lama pendidikan di Schakel School
mencapai 3 tahun. Bahasa pengantar di Schakel School adalah bahasa Belanda. Tujuan
utama didirikan sekolah ini sebagai persiapan bagi kalangan pribumi yang ingin
melanjutkan pendidikan hingga ke MULO.
f.

Hollandsch Chinese School (HCS):

ialah sekolah untuk anak-anak Cina yang didirikan oleh masyarakat Cina. Sekolah
ini hanya 2 buah di daerah Aceh yaitu kuta raja dan Sabang. Didirikan sejak tahun
1917
g.

Hollandsch Ambonsch School (HAS):

Ialah sekolah sambungan untuk anak-anak militer belanda dari suku Ambon.
Meskipun demikian, terdapat sejumlah murid HAS yang berasal dari suku-suku lain
5

yang berasal dari Sulawesi maupun Nusa Tenggara. Jumlah sekolah ini hanya sebuah
saja dan terdapat di Kutaraja
h.

Europeesche Legere School (ELS):

ELS merupakan sekolah untuk anak-anak orang Belanda sendiri. Jumlah orang
pribumi termasuk kalangan bangsawan yang masuk ke ELS sangat terbatas mengingat
biayanya yang sangat tinggi. Sekolah ini hanya terdapat 4 buah di seluruh Aceh yaitu
masing-masing di Kutaraja, Langsa, Sigli, dan Sabang.
i.

Meer Uitgebreid Lager Onderweijs (MULO)

MULO merupakan sekolah dengan tingkatan tertinggi di Aceh. Sekolah ini terdapat di
Kutaraja didirikan tahun 1922. Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah tinggi
yang ada di Aceh. Murid MULO hampir seluruhnya berasal dari anak-anak Eropa.
Mahalnya biaya pendidikan di MULO dan kebijakan pemerintah kolonial yang
cenderung diskriminatif menjadi alasan MULO tidak cukup berkembang. Bukti
bahwa MULO merupakan sekolah yang sangat elitis dibuktikan dengan jumlah
siswanya yang hanya mencapai 79 orang pada masa akhir kekuasaan pemerintah
kolonial Hindia Belanda.
j.

Meisjesschool:

Ialah sekolah dasar untuk anak-anak putri yang ditambah untuk jahit menjahit dan
sebagainya. Jumlah sekolah ini seluruh Aceh hanya 5 buah yang terdapat: 1 buah di
Kutaraja, 1 buah di Bireuen, 1 buah di Tapaktuan dan 1 buah di Sigli serta 1 buah di
Takengon.
k.

Normaal Cursus dan Normaal School

Normal Cursus dan Normaal School merupakan sekolah yang ditujukan orang
pribumi Aceh yang berminat menjadi guru. Normaal Cursus dan Normaal School
diktujukan untuk memenuhi kebutuhan guru di Volkschool.
l.

Ambacht School

Ambacht School merupakan sekolah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan


tenaga terampil di bidang pertukangan. Kebanyakan lulusan Ambacht School bekerja

di berbagai instansi pemerintah seperti Dinas Pekerjaan Umum, ataupun Dinas Seni di
Kutaraja.
m.

Landbouw School

Landbouw School merupakan sekolah pertanian dan perkebunan. Tujuannya adalah


mencetak tenaga kerja terampil di bidang pertanian dan perkebunan. Tujuan tersebut
sejalan dengan perkembangan perkebunan di Aceh.
Kebijakan pendidikan pribumi di Aceh tersebut sangat dipengaruhi oleh politik etis.
Politik etis diberlakukan di Hindia Belanda sejak Ratu Wilhelmina menyatakan dalam
pidatonya bahwa Belanda memiliki hutang moril terhadap rakyat pribumi Hindia
Belanda. Ratu Wilhelmina menyatakan jika Belanda memiliki tanggung jawab untuk
memajukan rakyat pribumi Hindia Belanda. 7 Politik etis memiliki tiga program yaitu
irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Program edukasi merupakan program utama dalam
politik etis.
Politik etis sesungguhnya juga merupakan alat pemerintah kolonial untuk
mempertahankan kekuasaanya di Nusantara. Snouck Hurgronje merupakan tokoh
yang memiliki keyakinan ini. Ia menganggap dengan memberikan pendidikan Barat,
maka orang-orang pribumi. Nusantara bisa diarahkan menuju kesatuan budaya dengan
orang-orang Belanda.8 Ia berharap melalui proses ini akan muncul intelektual pribumi
yang mendukung kekuasaan kolonial. Hal ini yang kemudian mempermudah kontrol
pemerintah kolonial terhadap orang pribumi. Asumsi Snouck Hurgronje inilah yang
7 Pidato tersebut disampaikan tanggal 17 September 1901. Isi pidato tersebut kurang lebih sebagai
berikut, Sebagai kekuasaan yang diilhami kekristenan, Nederland merasa wajib terhadap HindiaBelanda mendorong timbulnya kesadaran, yang tercermin dalam seluruh kebijakan pemerintah,
bahwa Nederland memikul beban moril terhadap penduduk negeri itu. Oleh karena itulah saya
memberi perhatian luar biasa besar terhadap keengsaraan penduduk Bumiputra di Jawa. Saya
mengharapkan agar dilakukan penelitian mengenai sebab-musababnya. Lihat: Parakitri T. Simbolon,
Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas, 2006, hlm. 192.
8 Snouck Hurgronje mengusulkan hal tersebut setelah melihat perkembangan Pan-Islamisme yang
mulai masuk ke Indonesia. Ia khawatir jika paham itu berkembang maka akan mengancam kekuasaan
pemerintah kolonial. Ia mengusulkan agar pemerintah kolonial menyelenggarakan pendidikan Barat
bagi orang pribumi.Pendidikan ala Barat ini yang akan memenuhi kebutuhan pegawai birokrasi
kolonial serta menjauhkan orang pribumi dari paham-paham yang berbahaya bagi pemerintah
kolonial. Lihat, Hanneman Samuel, Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial: Dari Kolonialisme Belanda
hingga Modernisme Amerika. Jakarta: Kepik Ungu, 2010, hlm. 24-25.
7

kemudian juga menjadi dasar pendirian sekolah-sekolah modern bagi kaum pribumi
di Aceh.
Selain kepentingan secara politis, kepentingan ekonomi juga mewarnai pelaksanaan
kebijakan politik etis.9 Berkembangnya sistem birokrasi Barat di Hindia Belanda
membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda berusaha mencari tenaga kerja yang
mampu menopang berjalannya sistem tersebut. Kaum pribumi merupakan pilihan
yang tepat bagi kebijakan tersebut. Alasan utama dipilihnya kaum pribumi adalah
biaya upahnya yang sangat murah. Dengan demikian, orientasi pendidikan jelas
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja birokrasi tersebut. Selain itu,
tenaga kerja di bidang perkebunan serta pembangunan infrastruktur juga berusaha
dipenuhi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal tersebut juga berlaku dalam
kasus yang terjadi di Aceh.
Reaksi Masyarakat Aceh terhadap perkembangan pendidikan Barat terbagi menjadi
menjadi tiga.10 Pertama sebagian masyarakat Aceh, terutama kaum uleebalang
menerima dengan positif kehadiran pendidikan Barat. Sikap tersebut tidak
mengherankan mengingat kaum uleebalang merupakan sekutu pemerintah kolonial
Hindia Belanda selama Perang Aceh. Dukungan kaum uleebalang terhadap
pendidikan Barat membuat mereka dengan mudah mengirimkan anak-anaknya untuk
bersekolah di sekolah-sekolah Barat. Kedua sikap yang berkebalikan dilakukan oleh
kaum ulama. Kaum ulama menolak dengan sangat keras kehadiran sekolah-sekolah
tersebut. Sekolah-sekolah Barat dianggap oleh kaum ulama sebagai sarana
mengkafirkan orang-orang Aceh.11 Sistem pendidikan Barat dinilai menjauhkan umat
Islam Aceh dari nilai-nilai Islam. Sikap tersebut dapat dimengerti mengingat
9 Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta:Pustaka Jaya, 2009, hlm. 66.
10 Anwar, Banda Aceh: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial. Yogyakarta: UGM, Tesis tidak
Diterbitkan, 2002, hlm. 162.
11 T. Syarwan, Op. Cit., hlm. 110.
8

kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat memusuhi Islam telah
memberukan kesan kuat pada kaum ulama di Aceh. Ketiga adalah sikap sebagian
rakyat Aceh yang berusaha untuk memodernisasi pendidikan tradisional yang sudah
ada. Modernisasi pendidikan tradisional dipilih karena hal tersebut dianggap sebagai
jalan tengah untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Islam serta beradaptasi dengan
perkembangan jaman yang semakin modern.
Upaya modernisasi pendidikan tradisional di Aceh kebanyakan dilakukan oleh
kalangan Islam moderat. Mereka kemudian mengirimkan sejumlah anak muda untuk
menempuh pendidikan keagamaan di luar Aceh. Beberapa sekolah agama yang
menjadi tujuan favorit antara lain sekolah Normal Islam dan sekolah Thawalib di
Sumatera Barat.12 Selain itu, sebagian lagi dikirimkan ke Jawa untuk bersekolah di
sekolah-sekolah Muhammadiyah. Mereka inilah yang kemudian membawa gagasan
kebaruan pendidikan Islam di Aceh. Pada perkembangannya mulai muncul sekolahsekolah partikelir yang merupakan cabang dari berbagai organisasi Islam seperti
Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan Al-Irsyad. Materi yang diberikan di sekolahsekolah Islam modern tersebut lebih beragam sehingga pengetahuan siswa dapat
semakin luas.
2. Pengaruh

Modernisasi

Pendidikan

terhadap

Dinamika

Masyarakat

Multikultural
Multikulturalisme menurut Anthony Giddens berarti suatu model yang mendorong
solidaritas sosial, menciptakan rasa kebersamaan dan tidak membiarkan orang lain
hidup dengan caranya sendiri.13 Multikulturalisme dapat memperkuat hubungan antara
kelompok sosial serta etnis yang berbeda-beda. Keberadaan berbagai macam etnis
serta kebudayaan yang beragam merupakan sesuatu yang pasti ada dalam masyarakat

12 Ibid., hlm. 194.


13 Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi. Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan: Dari Marx
sampai Agamben. Jakarta: Marjin Kiri, 2014, hlm. 93.
9

multikultur. Keberadaan bersama berbagai kebudayaan yang beragam tersebut yang


menjadi ciri utama masyarakat multikultur.
Multikulturalisme juga bisa diartikan sebagai suatu pengakuan akan adanya budaya
yang lain. Multikulturalisme memungkinkan adanya interaksi yang saling
mempengaruhi kebudayaan yang beragam tersebut. Multikulturalisme harus
dibedakan dari Monokulturalisme Majemuk. Istilah monokulturalisme majemuk
sendiri berarti dua kebudayaan atau lebih yang hidup berdampingan namnun tidak ada
persinggungan

sama

sekali

diantara

kebudayaan-kebudayaan

tersebut. 14

Monokulturalisme majemuk memungkinkan kebudayaan yang beragam hidup secara


bersama-sama namun mereka sesungguhnya saling terisolasi dan membatasi
hubungan diantaranya. Dengan demikian multikulturalisme tidak hanya ditandai
keberadaan bersama berbagai kebudayaan yang beragam, namun juga memungkinkan
adanya hubungan yang saling mempengaruhi antar kebudayaan yang beragam
tersebut.
Perkembangan pendidikan modern di Aceh menimbulkan dampak terhadap dinamika
multikultural di Aceh. Penyelenggaraan pendidikan kolonial yang cenderung
diskriminatif justru menjadi stimulus bagi sebagian penduduk pribumi untuk
beradaptasi dengan semangat zaman yang semakin modern. Selain itu, perkembangan
pendidikan modern juga membuat masyarakat Aceh mengenal budaya-budaya serta
nilai-nilai baru dari kebudayaan lain.
Perkembangan pendidikan modern di Aceh secara tidak langsung membentuk watak
masyarakat Aceh pada umumnya. Watak masyarakat Aceh berubah menjadi lebih
terbuka dengan orang dari luar. Hal ini yang membentuk karakter kosmopolitan

14 Amartya Sen. Kekerasan dan Identitas. Yogyakarta: Marjin Kiri. 2016, hlm 202.
10

masyarakat Aceh. Karakter yang demikian membuat masyarakat Aceh tidak asing
dengan perbedaan yang ada dalam masyarakatnya. Karakter kosmopolitan ini juga
membuat masyarakat Aceh menjadi terbuka menerima pengaruh serta ide yang berasal
dari luar masyarakat mereka. Meskipun demikian, karakter kosmopolitan tersebut
hanya tumbuh pada golongan masyarakat yang mengenyam pendidikan Barat saja.
Kaum uleebalang merupakan kelompok yang paling mendapatkan pengaruh dari
modernisasi pendidikan di Aceh. Kaum Uleebalang sejak perang Aceh memang telah
menjalin hubungan yang erat dengan pihak Belanda. Oleh karena itu mereka
mendapatkan keistimewaan dalam banyak bidang termasuk pendidikan, politik, serta
ekonomi.15 Sikap tersebut menunjukkan bahwa Uleebalang pada umumnya mau
menerima keberadaan orang Belanda, sekalipun hal tersebut dilakukan demi motifmotif ekonomi serta politik.
Kaum Uleebalang kemudian sangat terpengaruh oleh kebudayaan Belanda. Pengaruh
tersebut dapat terlihat dari gaya hidup mereka yang hidup dengan berbagai fasilitas
modern seperti pesawat radio, kereta mewah, dan sebagainya. 16 Para Uleebalang
nampaknya memang ingin menunjukkan status mereka sebagai elit modern baru di
Aceh. Kemunculan elit modern tersebut tentu tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan pendidikan modern itu sendiri.
Selain itu pengaruh kebudayaan Barat terhadap golongan Uleebalang dapat terlihat
dari pernikahan antara Ramlan, anak perempuan uleebalang Pesangan dengan Teukoe
Ali Basyan seorang uleebalang Kereton.17 Upacara pernikahan tersebut dilaksanakan
di dalam sebuah gedung mewah yang dihias berdasarkan dekorasi yang khas Eropa.

15 Muhammad Gade Ismail. Loc, Cit.,, hlm. 5.


16 Anwar, Op, Cit., hlm. 187.
17 Jean Gelman Taylor, Sejarah Aceh Dalam Arsip Foto KITLV, dalam R. Michael Feener dkk
(eds.), Memetakan Masa Lalu Aceh.Denpasar: Pustaka Larasan, 2011, hlm. 237.
11

Sementara itu, para tamu undangan baik pria maupun wanita juga menggunakan
pakaian yang lebih modern dengan mengadopsi gaya berpakaian orang Eropa.
Pernikahan tersebut menunjukkan jika budaya Barat sangat mempengaruhi gaya hidup
serta kebiasaan uleebalang.
Gejala modernisasi masyarakat sesungguhnya tidak terbatas pada kaum uleebalang
saja namun juga pada rakyat dari berbagai suku serta golongan. Sebagai contoh,
menurut Brau de Saint-pol Lias, Kutaraja saat itu telah dipenuhi oleh berbagai macam
tempat seperti rumah sakit, toko-toko cinderamata, perpustakaan, hingga kelab
malam.18 Pada awalnya keberadaan tempat-tempat tersebut bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan orang-orang Eropa saja. Meskipun demikian, pada perkembangannya
masyarakat Aceh dari berbagai etnis tersebut juga terbiasa mengunjungi serta
memanfaatkan berbagai macam fasilitas dan tempat hiburan tersebut. Selain itu,
teknologi komunikasi melalui telegram juga mulai dipergunakan di Aceh meskipun
hanya digunakan secara terbatas. Secara perlahan hal tersebut mulai mempengaruhi
gaya hidup masyarakat yang mendiami wilayah Aceh. Hal ini secara tidak langsung
mendorong interaksi masyarakat sehingga lebih mudah membaur satu dengan yang
lain.
Modernisasi pendidikan Islam juga memiliki dampak terhadap dinamika multikultur
masyarakat Aceh. Sistem pendidikan Islam modern merupakan sistem pendidikan
Islam yang diadopsi dari sistem pendidikan di Jawa dan Minangkabau. Hal tersebut
membuktikan jika masyarakat Aceh telah mampu beradaptasi dengan sistem
pendidikan yang lebih modern. Selain itu interaksi masyarakat Aceh dengan
masyarakat dari luar daerahnya membuat mereka mulai mengenal berbagai organisasi

18 Brau de Saint-pol Lias., Op. Cit., hlm. 170-171.


12

pergerakan nasional yang bercorak Islam. Fakta tersebut menunjukkan jika


masyarakat Aceh telah semakin menunjukkan ciri-ciri masyarakat modern.

D. Penutup

Pendudukan Belanda di Aceh memberikan dampak yang luas dalam berbagai bidang.
Dampak tersebut mencakup bidang politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Kedatangan Belanda membawa pengaruh modernisasi terhadap berbagai bidang
tersebut. Modernisasi pendidikan menjadi salah satu prioritas utama dalam kebijakan
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebagai konsekuensinya, berbagai macam
sekolah didirikan di Aceh.
Secara umum, sekolah-sekolah yang ada di Aceh dapat dibagi menjadi empat jenis.
Pertama sekolah rakyat atau Volkschool yang didirikan bagi rakyat biasa. Kedua
adalah sekolah dasar yang terdiri dari HIS dan Tweedee Klasse School yang
merupakan sekolah-sekolah dasar. Ketiga adalah Vervolgschool dan Schakee School
yakni sekolah persiapan menuju sekolah menengah. Keempat adalah sekolah
menengah dengan MULO sebagai sekolah dengan tingkat pendidikan paling tinggi di
Aceh. Kelima adalah sekolah-sekolah khusus seperti HCS, HAS, dan ELS. Keenam
adalah sekolah kejuruan yang terdiri dari Meijess School, Normal Cursus, Normaal
School, Ambacht School,dan Landbouw School.
Modernisasi pendidikan memiliki dampak terhadap dinamika masyarakat multikultur
Aceh. Pertama gaya hidup Barat mulai diadopsi oleh masyarakat Aceh terutama
golongan uleebalang yang banyak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan
Barat. Kedua terbentuknya watak kosmopolitan masyarakat Aceh yang mau menerima
berbagai pengaruh dari luar masyarakatnya. Dengan demikian, masyarakat Aceh

13

mampu beradaptasi terhadap berbagai macam pengaruh dari luar utamanya saat
menghadapi arus modernisasi yang terjadi pada saat itu.
Kepustakaan
Buku:
Amartya Sen. (2016) Kekerasan dan Identitas. Yogyakarta: Marjin Kiri.
Anthony Reid. (2011) Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo sampai Tan Malaka.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Hanneman Samuel. (2010) Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial: Dari Kolonialisme
Belanda hingga Modernisme Amerika. Jakarta: Kepik Ungu.
Parakitri T. Simbolon. (2006) Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.
R. Michael Feener, dkk. (2011) Memetakan Masa Lalu Aceh. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Robert van Niel. (2009) Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta:Pustaka Jaya.
Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi. (2014) Pengantar Sosiologi
Kewarganegaraan: Dari Marx sampai Agamben. Jakarta: Marjin Kiri.
Taufik Abdullah, dkk. (1983) Agama dan Perubahan Sosial di Aceh. Jakarta: CV
Rajawali Press.
Artikel Ilmiah/Tesis:
Anwar. (2002) Banda Aceh: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial. Yogyakarta:
UGM, Tesis tidak Diterbitkan.
Muhammad Gade Ismail. (1989). Economic Position of the Uleebalang in the Late
Colonial State Aceh (East Aceh, 1900-1942) dalam The Socio-Economics
Foundations of The Late Colonial State in Indonesia, 1880-1930: Towards an
Explanation.
T Syarwan. (2002) Pendidikan Barat Untuk Penduduk Bumiputra di Aceh 1900-1942.
Yogyakarta: UGM, Tesis tidak Diterbitkan.
Internet:
Muwardi Umar, 2014, Jejak Belanda di Aceh. Tersedia pada http://www.suaratamiang.com/2014/05/jejak-belanda-di-aceh.html. Diakses pada tanggal 19 April 2016.

14

Anda mungkin juga menyukai