Masyarakat Aceh
A. Pengantar
Meskipun demikian, orang rante ini banyak bermanfaat bagi masyarakat Aceh,
terutama bagi orang Eropa. Orang rante dimanfaatkan untuk melakukan berbagai
jenis pekerjaan seperti kuli angkut, penjahit keranjang, tukang kebun, juru masak, dan
supir. Selain itu mereka juga dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah kolonial
Hindia Belanda seperti pembantu prajurit yang melakukan ekspedisi, maupun terlibat
dalam pembangunan infrastruktur. Keberadaan orang rante ini semakin menunjukkan
keberagaman masyarakat yang mendiami wilayah Aceh selama periode pendudukan
pemerintah kolonial Hindia Belanda.
multikultural?
C. Pembahasan
1. Proses Modernisasi Pendidikan di Aceh
Pendidikan di Aceh sebelum kedatangan Belanda sangat dipengaruhi oleh pendidikan
Islam. Berkembangnya pendidikan Islam tersebut tidaklah mengherankan mengingat
Aceh dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudra Pasai dan Aceh.
Perkembangan pendidikan Islam di Aceh berbanding lurus dengan perkembangan
kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut. Fakta tersebut memperlihatkan dengan jelas
Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo sampai Tan Malaka. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011,
hlm. 166.
2
yang terdiri dari HIS dan Tweedee Klasse School yang merupakan sekolah-sekolah
dasar. Ketiga adalah Vervolgschool dan Schakee School yakni sekolah persiapan
menuju sekolah menengah. Keempat adalah sekolah menengah dengan MULO
sebagai sekolah dengan tingkat pendidikan paling tinggi di Aceh. Kelima adalah
sekolah-sekolah khusus seperti HCS, HAS, dan ELS. Keenam adalah sekolah
kejuruan yang terdiri dari Meijess School, Normaal Cursus, Normaal School,
Ambacht School,dan Landbouw School.
Adapun perincian terhadap jenis-jenis sekolah Barat di Aceh adalah sebagai berikut:
a.
Sekolah jenis ini mulai didirikan sejak tahun 1907 di Ulee Lheue dan pada
perkembangannya hampir merata pada setiap desa. Lamanya program pendidikan
pada Volkschool adalah tiga tahun. Sekolah ini mayoritas diisi oleh rakyat biasa.
Volkschool merupakan sekolah yang paling luas persebarannya di Aceh. Meskipun
demikian, kebanyakan rakyat Aceh yang bersekolah disini mengikuti kegiatan
pendidikan dengan terpaksa dibawah ancaman kerja rodi. Pada tahun 1938, sekolah
ini telah mencapai total 328 sekolah dengan jumlah siswa sebesar 36.000 jiwa serta
jumlah guru 600 orang.6
b.
HIS merupakan sekolah dasar bagi kaum prbumi yang dipersiapkan untuk menjadi
sekutu Belanda. HIS pertama kali didirikan pada tahun 1914. Lamanya pendidikan di
HIS adalah 7 tahun. Bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar adalah bahasa
Belanda. HIS menjadi salah satu sekolah favorit di Aceh karena lulusannya memiliki
kemungkinan untuk menjadi pegawai administratif dalam birokrasi kolonial. HIS
kebanyakan diisi oleh golongan elit terutama uleebalang. Guru-guru yang mengajar di
HIS kebanyakan berasal dari golongan pribumi serta sebagian lagi adalah orang
6 Guru-guru tersebut pada mulanya didatangkan dari Minangkabau, Mandailing, dan Batak, T
Syarwan, Op Cit., hln. 151.
4
Eropa. Pada tahun 1938, jumlah HIS hanya mencapai 8 buah dengan jumlah siswa
berkisar 1500 orang.
c.
Vervolgschool:
Schakel School
Schakel School merupakan sekolah lanjutan dari Vervolgschool. Sekolah ini pertama
kali didirikan di Kutaraja pada tahun 1921. Lama pendidikan di Schakel School
mencapai 3 tahun. Bahasa pengantar di Schakel School adalah bahasa Belanda. Tujuan
utama didirikan sekolah ini sebagai persiapan bagi kalangan pribumi yang ingin
melanjutkan pendidikan hingga ke MULO.
f.
ialah sekolah untuk anak-anak Cina yang didirikan oleh masyarakat Cina. Sekolah
ini hanya 2 buah di daerah Aceh yaitu kuta raja dan Sabang. Didirikan sejak tahun
1917
g.
Ialah sekolah sambungan untuk anak-anak militer belanda dari suku Ambon.
Meskipun demikian, terdapat sejumlah murid HAS yang berasal dari suku-suku lain
5
yang berasal dari Sulawesi maupun Nusa Tenggara. Jumlah sekolah ini hanya sebuah
saja dan terdapat di Kutaraja
h.
ELS merupakan sekolah untuk anak-anak orang Belanda sendiri. Jumlah orang
pribumi termasuk kalangan bangsawan yang masuk ke ELS sangat terbatas mengingat
biayanya yang sangat tinggi. Sekolah ini hanya terdapat 4 buah di seluruh Aceh yaitu
masing-masing di Kutaraja, Langsa, Sigli, dan Sabang.
i.
MULO merupakan sekolah dengan tingkatan tertinggi di Aceh. Sekolah ini terdapat di
Kutaraja didirikan tahun 1922. Sekolah ini merupakan satu-satunya sekolah tinggi
yang ada di Aceh. Murid MULO hampir seluruhnya berasal dari anak-anak Eropa.
Mahalnya biaya pendidikan di MULO dan kebijakan pemerintah kolonial yang
cenderung diskriminatif menjadi alasan MULO tidak cukup berkembang. Bukti
bahwa MULO merupakan sekolah yang sangat elitis dibuktikan dengan jumlah
siswanya yang hanya mencapai 79 orang pada masa akhir kekuasaan pemerintah
kolonial Hindia Belanda.
j.
Meisjesschool:
Ialah sekolah dasar untuk anak-anak putri yang ditambah untuk jahit menjahit dan
sebagainya. Jumlah sekolah ini seluruh Aceh hanya 5 buah yang terdapat: 1 buah di
Kutaraja, 1 buah di Bireuen, 1 buah di Tapaktuan dan 1 buah di Sigli serta 1 buah di
Takengon.
k.
Normal Cursus dan Normaal School merupakan sekolah yang ditujukan orang
pribumi Aceh yang berminat menjadi guru. Normaal Cursus dan Normaal School
diktujukan untuk memenuhi kebutuhan guru di Volkschool.
l.
Ambacht School
di berbagai instansi pemerintah seperti Dinas Pekerjaan Umum, ataupun Dinas Seni di
Kutaraja.
m.
Landbouw School
kemudian juga menjadi dasar pendirian sekolah-sekolah modern bagi kaum pribumi
di Aceh.
Selain kepentingan secara politis, kepentingan ekonomi juga mewarnai pelaksanaan
kebijakan politik etis.9 Berkembangnya sistem birokrasi Barat di Hindia Belanda
membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda berusaha mencari tenaga kerja yang
mampu menopang berjalannya sistem tersebut. Kaum pribumi merupakan pilihan
yang tepat bagi kebijakan tersebut. Alasan utama dipilihnya kaum pribumi adalah
biaya upahnya yang sangat murah. Dengan demikian, orientasi pendidikan jelas
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja birokrasi tersebut. Selain itu,
tenaga kerja di bidang perkebunan serta pembangunan infrastruktur juga berusaha
dipenuhi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal tersebut juga berlaku dalam
kasus yang terjadi di Aceh.
Reaksi Masyarakat Aceh terhadap perkembangan pendidikan Barat terbagi menjadi
menjadi tiga.10 Pertama sebagian masyarakat Aceh, terutama kaum uleebalang
menerima dengan positif kehadiran pendidikan Barat. Sikap tersebut tidak
mengherankan mengingat kaum uleebalang merupakan sekutu pemerintah kolonial
Hindia Belanda selama Perang Aceh. Dukungan kaum uleebalang terhadap
pendidikan Barat membuat mereka dengan mudah mengirimkan anak-anaknya untuk
bersekolah di sekolah-sekolah Barat. Kedua sikap yang berkebalikan dilakukan oleh
kaum ulama. Kaum ulama menolak dengan sangat keras kehadiran sekolah-sekolah
tersebut. Sekolah-sekolah Barat dianggap oleh kaum ulama sebagai sarana
mengkafirkan orang-orang Aceh.11 Sistem pendidikan Barat dinilai menjauhkan umat
Islam Aceh dari nilai-nilai Islam. Sikap tersebut dapat dimengerti mengingat
9 Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta:Pustaka Jaya, 2009, hlm. 66.
10 Anwar, Banda Aceh: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial. Yogyakarta: UGM, Tesis tidak
Diterbitkan, 2002, hlm. 162.
11 T. Syarwan, Op. Cit., hlm. 110.
8
kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat memusuhi Islam telah
memberukan kesan kuat pada kaum ulama di Aceh. Ketiga adalah sikap sebagian
rakyat Aceh yang berusaha untuk memodernisasi pendidikan tradisional yang sudah
ada. Modernisasi pendidikan tradisional dipilih karena hal tersebut dianggap sebagai
jalan tengah untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Islam serta beradaptasi dengan
perkembangan jaman yang semakin modern.
Upaya modernisasi pendidikan tradisional di Aceh kebanyakan dilakukan oleh
kalangan Islam moderat. Mereka kemudian mengirimkan sejumlah anak muda untuk
menempuh pendidikan keagamaan di luar Aceh. Beberapa sekolah agama yang
menjadi tujuan favorit antara lain sekolah Normal Islam dan sekolah Thawalib di
Sumatera Barat.12 Selain itu, sebagian lagi dikirimkan ke Jawa untuk bersekolah di
sekolah-sekolah Muhammadiyah. Mereka inilah yang kemudian membawa gagasan
kebaruan pendidikan Islam di Aceh. Pada perkembangannya mulai muncul sekolahsekolah partikelir yang merupakan cabang dari berbagai organisasi Islam seperti
Muhammadiyah, Sarekat Islam, dan Al-Irsyad. Materi yang diberikan di sekolahsekolah Islam modern tersebut lebih beragam sehingga pengetahuan siswa dapat
semakin luas.
2. Pengaruh
Modernisasi
Pendidikan
terhadap
Dinamika
Masyarakat
Multikultural
Multikulturalisme menurut Anthony Giddens berarti suatu model yang mendorong
solidaritas sosial, menciptakan rasa kebersamaan dan tidak membiarkan orang lain
hidup dengan caranya sendiri.13 Multikulturalisme dapat memperkuat hubungan antara
kelompok sosial serta etnis yang berbeda-beda. Keberadaan berbagai macam etnis
serta kebudayaan yang beragam merupakan sesuatu yang pasti ada dalam masyarakat
sama
sekali
diantara
kebudayaan-kebudayaan
tersebut. 14
14 Amartya Sen. Kekerasan dan Identitas. Yogyakarta: Marjin Kiri. 2016, hlm 202.
10
masyarakat Aceh. Karakter yang demikian membuat masyarakat Aceh tidak asing
dengan perbedaan yang ada dalam masyarakatnya. Karakter kosmopolitan ini juga
membuat masyarakat Aceh menjadi terbuka menerima pengaruh serta ide yang berasal
dari luar masyarakat mereka. Meskipun demikian, karakter kosmopolitan tersebut
hanya tumbuh pada golongan masyarakat yang mengenyam pendidikan Barat saja.
Kaum uleebalang merupakan kelompok yang paling mendapatkan pengaruh dari
modernisasi pendidikan di Aceh. Kaum Uleebalang sejak perang Aceh memang telah
menjalin hubungan yang erat dengan pihak Belanda. Oleh karena itu mereka
mendapatkan keistimewaan dalam banyak bidang termasuk pendidikan, politik, serta
ekonomi.15 Sikap tersebut menunjukkan bahwa Uleebalang pada umumnya mau
menerima keberadaan orang Belanda, sekalipun hal tersebut dilakukan demi motifmotif ekonomi serta politik.
Kaum Uleebalang kemudian sangat terpengaruh oleh kebudayaan Belanda. Pengaruh
tersebut dapat terlihat dari gaya hidup mereka yang hidup dengan berbagai fasilitas
modern seperti pesawat radio, kereta mewah, dan sebagainya. 16 Para Uleebalang
nampaknya memang ingin menunjukkan status mereka sebagai elit modern baru di
Aceh. Kemunculan elit modern tersebut tentu tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan pendidikan modern itu sendiri.
Selain itu pengaruh kebudayaan Barat terhadap golongan Uleebalang dapat terlihat
dari pernikahan antara Ramlan, anak perempuan uleebalang Pesangan dengan Teukoe
Ali Basyan seorang uleebalang Kereton.17 Upacara pernikahan tersebut dilaksanakan
di dalam sebuah gedung mewah yang dihias berdasarkan dekorasi yang khas Eropa.
Sementara itu, para tamu undangan baik pria maupun wanita juga menggunakan
pakaian yang lebih modern dengan mengadopsi gaya berpakaian orang Eropa.
Pernikahan tersebut menunjukkan jika budaya Barat sangat mempengaruhi gaya hidup
serta kebiasaan uleebalang.
Gejala modernisasi masyarakat sesungguhnya tidak terbatas pada kaum uleebalang
saja namun juga pada rakyat dari berbagai suku serta golongan. Sebagai contoh,
menurut Brau de Saint-pol Lias, Kutaraja saat itu telah dipenuhi oleh berbagai macam
tempat seperti rumah sakit, toko-toko cinderamata, perpustakaan, hingga kelab
malam.18 Pada awalnya keberadaan tempat-tempat tersebut bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan orang-orang Eropa saja. Meskipun demikian, pada perkembangannya
masyarakat Aceh dari berbagai etnis tersebut juga terbiasa mengunjungi serta
memanfaatkan berbagai macam fasilitas dan tempat hiburan tersebut. Selain itu,
teknologi komunikasi melalui telegram juga mulai dipergunakan di Aceh meskipun
hanya digunakan secara terbatas. Secara perlahan hal tersebut mulai mempengaruhi
gaya hidup masyarakat yang mendiami wilayah Aceh. Hal ini secara tidak langsung
mendorong interaksi masyarakat sehingga lebih mudah membaur satu dengan yang
lain.
Modernisasi pendidikan Islam juga memiliki dampak terhadap dinamika multikultur
masyarakat Aceh. Sistem pendidikan Islam modern merupakan sistem pendidikan
Islam yang diadopsi dari sistem pendidikan di Jawa dan Minangkabau. Hal tersebut
membuktikan jika masyarakat Aceh telah mampu beradaptasi dengan sistem
pendidikan yang lebih modern. Selain itu interaksi masyarakat Aceh dengan
masyarakat dari luar daerahnya membuat mereka mulai mengenal berbagai organisasi
D. Penutup
Pendudukan Belanda di Aceh memberikan dampak yang luas dalam berbagai bidang.
Dampak tersebut mencakup bidang politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan.
Kedatangan Belanda membawa pengaruh modernisasi terhadap berbagai bidang
tersebut. Modernisasi pendidikan menjadi salah satu prioritas utama dalam kebijakan
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebagai konsekuensinya, berbagai macam
sekolah didirikan di Aceh.
Secara umum, sekolah-sekolah yang ada di Aceh dapat dibagi menjadi empat jenis.
Pertama sekolah rakyat atau Volkschool yang didirikan bagi rakyat biasa. Kedua
adalah sekolah dasar yang terdiri dari HIS dan Tweedee Klasse School yang
merupakan sekolah-sekolah dasar. Ketiga adalah Vervolgschool dan Schakee School
yakni sekolah persiapan menuju sekolah menengah. Keempat adalah sekolah
menengah dengan MULO sebagai sekolah dengan tingkat pendidikan paling tinggi di
Aceh. Kelima adalah sekolah-sekolah khusus seperti HCS, HAS, dan ELS. Keenam
adalah sekolah kejuruan yang terdiri dari Meijess School, Normal Cursus, Normaal
School, Ambacht School,dan Landbouw School.
Modernisasi pendidikan memiliki dampak terhadap dinamika masyarakat multikultur
Aceh. Pertama gaya hidup Barat mulai diadopsi oleh masyarakat Aceh terutama
golongan uleebalang yang banyak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan
Barat. Kedua terbentuknya watak kosmopolitan masyarakat Aceh yang mau menerima
berbagai pengaruh dari luar masyarakatnya. Dengan demikian, masyarakat Aceh
13
mampu beradaptasi terhadap berbagai macam pengaruh dari luar utamanya saat
menghadapi arus modernisasi yang terjadi pada saat itu.
Kepustakaan
Buku:
Amartya Sen. (2016) Kekerasan dan Identitas. Yogyakarta: Marjin Kiri.
Anthony Reid. (2011) Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo sampai Tan Malaka.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Hanneman Samuel. (2010) Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial: Dari Kolonialisme
Belanda hingga Modernisme Amerika. Jakarta: Kepik Ungu.
Parakitri T. Simbolon. (2006) Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.
R. Michael Feener, dkk. (2011) Memetakan Masa Lalu Aceh. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Robert van Niel. (2009) Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta:Pustaka Jaya.
Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi. (2014) Pengantar Sosiologi
Kewarganegaraan: Dari Marx sampai Agamben. Jakarta: Marjin Kiri.
Taufik Abdullah, dkk. (1983) Agama dan Perubahan Sosial di Aceh. Jakarta: CV
Rajawali Press.
Artikel Ilmiah/Tesis:
Anwar. (2002) Banda Aceh: Dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial. Yogyakarta:
UGM, Tesis tidak Diterbitkan.
Muhammad Gade Ismail. (1989). Economic Position of the Uleebalang in the Late
Colonial State Aceh (East Aceh, 1900-1942) dalam The Socio-Economics
Foundations of The Late Colonial State in Indonesia, 1880-1930: Towards an
Explanation.
T Syarwan. (2002) Pendidikan Barat Untuk Penduduk Bumiputra di Aceh 1900-1942.
Yogyakarta: UGM, Tesis tidak Diterbitkan.
Internet:
Muwardi Umar, 2014, Jejak Belanda di Aceh. Tersedia pada http://www.suaratamiang.com/2014/05/jejak-belanda-di-aceh.html. Diakses pada tanggal 19 April 2016.
14