Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PENGANTAR PENDIDIKAN

“KH. MAS MANSYUR’’

DOSEN PENGAMPU ALI ARMADI M.Pd

Disusun Oleh :

Hafidhatun Nashiro

21

Prodi PGSD

STKIP PGRI SUMENEP

2021-2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadiran Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat Dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayahnya serta
berbagai upaya.tugas makalah mata kuliah Pengantar Pendidikan yang membahas
tentang TEORI ‘’Tokoh Kh.Mas Mansyur’’dapat diselesaikan dengan baik dan
tepat waktu.

Dalam penyusunan makalah ini,berdasarkan yang berkaitan dengan tugas


Mata Kuliah Pengantar Pendidikan dan serta informasi dari media massa yang
berhubungan dengan Tokoh Kh.Mas Mansyur.Penulis menyadari bahwa makalah
ini masih kurang sempurna untuk itu terima kasih kepada Bapak ALI ARMADI
M.Pd diharapkan Berbagai masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaanya.Akhir kata,semoga makalah ini dapat membawa manfaat untuk
pembaca.

Sumenep,18 Oktober 2021

Hafidhatun Nashiro

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................................................i


KATA PENGANTAR .......................................................................................ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................iii

BAB. I PENDAHULUAN ..........................................................................1


1.1 Latar Belakang ......................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................
1.3 Tujuan ......................................................................................
1.4 Manfaat ....................................................................................
BAB. II PEMBAHASAN ..............................................................................
2.1 Latar Belakang Keluarga K.H. Mas Mansyur .........................
2.2 Latar Belakang Pendidikan K.H. Mas Mansyur ......................
BAB. III PENUTUP .......................................................................................
3.1 Penutup ....................................................................................
3.2 Saran ........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam perkembangan pendidikan Islam di Jawa ini tentu saja tidak
luput dari peran para tokoh dan pembaharu gerakan Islam di Indonseia
seperti, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Hasyim Asy’ari. Didukung pula
dengan adanya perkumpulan-perkumpulan beberapa organisasi Islam yang
berkembang pada saat itu seperti, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama’,
Persatuan Umat Islam dan perkumpulan-perkumpulan keagamaan lainnya.
Seperti yang sudah dipaparkan diatas, bahwasanya perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia tidak luput dari peran para tokoh pembaharu
KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. Tentunya KH. Ahmad
Dahlan mempunyai beberapa murid yang berguru kepadanya, salah satu
murid yang mempunyai semangat juang yang tinggi untuk memajukan umat
Islam di Indonesia kala itu, ialah KH. Mas Mansyur.
Sejak kecil Mas Mansyur mendapatkan pendidikan langsung dari
ayahnya, KH. Mas Ahmad Marzuki. Pada tahun 1906 ia dikirim untuk
belajar di Pesantren Kademangan. Dua tahun setelah itu ia lalu pergi belajar
di Makkah. Tahun 1910 timbul pergolakan politik wilayah Hijaz. Terhitung
baru dua tahun Mas Mansyur mengecam pendidikan di Makkah, namun ia
harus dihadapkan pada dua pilihan sulit yakni terus menuntut ilmu di
Makkah atau kembali ke Tanah Air. Ia justru memilih pilihan pertama,
yakni akan tetap melanjutkan pendidikan di Makkah.
Mas Mansyur pun melanjutkan studinya di Universitas Al Azhar di
Kairo. Sebagai santri yang haus ilmu, ia tak melewatkkan kesempatannya
untuk membaca buku-buku yang ada di perpustakaan Universitas.
Selain membaca buku-buku agama dan sastra Arab, ia melahap pula
buku-buku pengetahuan umum, termasuk karya-karya filsafat dan sastra
Barat yang banyak diterjemahkan kedalam bahasa Arab kala itu.

1
2

Menariknya dari penelitian ini adalah K.H. Mas Mansyur adalah salah
satu tokoh pembaharu Islam di Indonesia, yang mana ia ingin sekali
mencetak kader-kader generasi muda bangsa. Ketika ia menempuh
pendidikan di Mesir,keadaan negaranya sedang dijajah oleh Inggris dan
Turki, disinilah jiwa mudanya mulai bergetar karena menyaksikan dari
dekat dan kemudian timbullah nasionalisme Mesir. Ia sering
mendengarkan tokoh-tokoh ulama dari Mesir tiap kali menggembleng
semangat bangsa-nya ataupun membaca buah pikiran mereka yang
dicantumkan dalam berbagai surat kabar dan majalah. Timbullah dalam
pikirannya untuk membanding-bandingkan keadaan negara Mesir
dengan Tanah Airnya sendiri yang memang mempunyai nasib yang sama,
masing-masing merupakan tanah jajahan.
Ada suatu tempat yang paling berkesan yang pernah ia kunjungi
selama di Mesir. Tempat itu adalah Syanggit, sebuah desa di Selatan
Tripoli dan terletak ditengah-tengah gurun Libya. Ia tertarik kepada
Syanggit, karena desa itu memiliki sebuah pendidikan yang khas
semacam pesantren dengan kurikulum, sistem, dan disiplin pengajaran
serta pengelolahan yang mengagumkan, sehingga banyak menelurkan
kaum cerdik pandai dan pemimpin berbobot. Oleh karenya ia pernah
berangan dan bertanya, dapatkah kita mengadakan pondok seperti Syanggit
di Tanah Air.
Setibanya di Tanah Air, tahun 1916 ia terjun ke bidang
dakwah. Ia juga berniat untuk mencetek kader-kader bangsa. Salah satu
pendidikan kader adalah sekolahan atau madrasah. Maka dari itu ia
pun bersama-sama dengan beberapa Kiyai mulai mendirikan perkumpulan
serta perkuruan Nadhatul Wathon (Kebangkitan Tanah Air), dan organisasi
Taswirul Afkar (Bertukar Pikiran).
Selain dari pada itu, Mas Masnyur bersama KH. Wahab Hasbullah
mendirikan pula organisasi dengan nama “Jam’iyah Nadlatul Wathon”
dan mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda pada tahun 1916 M.
Pada tahun 1920, Mas Mansyur memutuskan untuk masuk ke ormas
3

Muhammadiyah. Ia memulai karirnya di Muhammadiyah dari cabang terus


menjadi perhatian kalangan elit organisasi itu.
Tahun 1922, Mas Mansyur mendirikan Madrasah sendiri yang ia
beri nama Madrasah Mufidah. Bertempat di Jalan Kalimas Udik 1C, Pabean
Surabaya. Dulunya beralamatkan Kp. Baru Nur Anwar Gg. I no. I
Lingkungan : Kampung Baru, Ketjamatan : Semampir, Kotamadya :
Surabaya, dijawa Timur.
1.2 Rumusan Masalah
1. Siapakah KH. Mas Mansyur?
2. Bagaimana sejarah berdiri dan perkembangan Madrasah Mufidah?
3. Bagaimana latar belakang berdirinya Yayasan Kiai Haji Mas Mansyur?
1.3 Tujuan
Secara garis besar, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana gambaran secara umum tentang siapakah
sebenarnya sosok KH. Mas Mansur, dan apa yang melatarbelakanginya
untuk mendirikan Madrasah Mufidah, serta bagaimana sejarah dan
perkembangan Madrasah Mufidah 1922-2011. Namun ujuan khusus dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui tentang siapakah sosok KH. Mas Mansyur.
2. Untuk mengetahui tentang bagaimana sejarah berdiri dan
perkembangannya Madrasah Mufidah 1922-2011.
3. Untuk mengetahui tentang bagaimana sejarah Yayasan Kiai Haji Mas
Mansyur 2011.
1.4 Manfaat
1. Manfaat Objektif
Untuk menambah wawasan dan mengetahui tentang siapakah
sebenarnya sosok K.H. Mas Mansyur, dan apa yang melatar
belakanginya untuk mendirikan madrasah mufidah, serta bagaimana
sejarah dan perkembangan Madrasah Mufidah 1922-2011.
4

2. Manfaat Subjektif
Untuk memenuhi salah satu persyaratan Tugas Individu , dilakukan
untuk menambah ilmu penegtahuan dan pemahaman dari sebuah
informasi atau fakta yang terjadi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Keluarga K.H. Mas Mansyur

K.H. Mas Mansyur lahir dari lingkungan pesantren di Surabaya.


Ayahnya bernama Kiai Haji Mas Ahmad Marzuki, seorang alim yang
dikenal luas, tidak hanya di Jawa Timur, tetapi juga terkenal di Jogjakarta. Ia
seringkali menghadiri pertemuan dengan para Kiai di Jogjakarta dan ia juga
bersahabat baik dengan Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Mas Ahmad Marzuki lahir pada tahun 1843 dan wafat di Surabaya pada
tanggal 10 Januari 1930. Dilihat dari silsilahnya ia berasal dari keluarga
keturunan Kraton Sumenep Madura (bangsawan Astatinggi), susunan
silsilahnya sebagai berikut Mansur bin Ahmad Marzuki bin Abdul Hamid
bin Hasan bin Abdullah Mansur.

Abdullah Mansur adalah putra Kiai Sinder II keturunan Pangeran


Pinderaga dari Keraton Sumenep. Pangeran Pindarega mempunyai putra
bernama Pangeran Kabu-Kabu (Bukabu) yang kemudian mempunyai
keturunan Mochtar Pangeran Kuda Panolih. Abdullah Mansur menaruh
minat pada ilmu pengetahuan sehingga ia mengembara dengan tujuan
menuntut ilmu. Untuk pertama kali ia melangkahkan kakinya di Besuki,
sebuah kota pesisir di pojok timur Pulau Jawa, dengan berlayar
menyeberangi Selat Madura, kemudian ia mengarahkan perjalanannya ke
Barat hingga sampai di pesisir bernama Wonorejo. Ia terus berjalan ke
Wonokromo, Surabaya dan menetap beberapa lama disitu. Lalu ia pindah ke
Utara, yaitu daerah Pabean, suatu daerah yang terletak di delta Kalimas dan
Kali Pegirian, Surabaya.

Daerah Pabean yang teletak di pinggiran Kali Mas merupakan


pusat perdagangan kala itu. Ia mulai meyiarkan ilmu yang diperolehnya
selama mengembara. Terakhir, ia pindah lagi ke Kampung Baru Sawahan
yang letaknya tidak jauh dari Pabean. Dikampung inilah istrinya Indruk
5
6

melahirkan dua orang anak yang bernama Muhammad dan Sofroh. Indruk
adalah keturunan Abdurrahman Basyeiban, ia adalah cicit Abu Bakar
Basyeiban yang silsilahnya sampai kepada Fatimah putri Nabi
Muhammad Saw. Abdurrahman menikah dengan Ratu Ayu Khadijah, putri
Pangeran Syarif Hidayatuulah (Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat). Ia
dikaruniai tiga anak dua putra dan seorang putri yang bernama Sulaiman,
Abdurrahim, dan Jene. Mereka menyeebar ke arah Timur untuk
menyebarkan agama Islam. Sulaiman sampai desa Kanigoro, Mojoagung,
Abdurrahim ke Segarapura, Pasuruan, dan Jene ke Jepara, Jawa Tengah.

Dari kedua anak Abdullah Mansur, hanya Muhammad yang


menetap di Sawahan. Kemudian ia menikah dengan Dewi yang masih
mempunyai hubungan darah dengannya, Dewi adalah cicit Sulaiman bin
Abdurrahman Basyeiban. Dari perkawinan ini Muhammad dan Dewi
mempunyai lima anak yang bernama Robi’ah, Arifah, Haji, Hasan dan
Hasyim. Empat orang meninggalkan kampung Sawahan karena menikah
dengan putra-puti keturunan Pesantren Sidoresmo (Ndresmo). Sedangkan
Hasan yang tetap tinggal di Sawahan akhirnya menikah dengan Khadijah
binti Amir. Mereka dikaruniai tujuh anak, yaitu Zakaria, Yahya, Sofyan,
Asy’ari, Fatimah, Abdul Hamid, dan Aminah.

Abdul Hamid menikah dengan Muslihah yang dari garis


keturunan ibu masih memiliki hubungan darah dengannya. Muslihah adalah
keturunan Abdurrahim dari Segarapura. Abdurrahim mempunyai dua orang
putri, Nyai Haji dan Nyai Cilik. Nyai Haji menurunkan Indruk, yang
menikah dengan Abdullah Mansur, buyut Abdul Hamid, sedangkan Nyai
Cilik menurunkan Muslihah. Abdul Hamid mendapatkan enam putra dari
perkawinannya. Dari keenam anaknya tersebut hanya Ahmad Marzuki
yang mempunyai umur panjang yakni 87 tahun. Ahmad Marzuki
menikah sembilan kali dan dianugerahi 31 cucu.

Pertama, menikah dengan Raudah (Raulah), putri dari seorang


pedagang beras yang kaya di Sawahan dan masih memiliki darah
7

Minangkabau dan Bugis. dari pernikahan ini Ahmad Marzuki dikaruniai


enam belas anak. Sedangkan Mas Mansur merupakan anak keempat
belas dari ibu Raudah ini. Sepeninggal ibu Raudah, Marzuki kemudian
mempersunting Aminah dan dikeruniai seorang anak, namun Aminah pun
kemudian meninggal. Ia pun menikah lagi dengan Rahmah, dikaruniai
seorang putri. Akan tetapi, ia menikah lagi dengan Aminah Jemur dan
dikaruniai sepuluh orang anak. Pernikahannya yang kelima, dengan
Mu’arah membuahkan seorang putra bernama Ma’an. Dalam perkawinannya
ini tampaklah ia melakukan poligami. Tetapi perkawinannya yang keenam,
ketujuh, dan kedelapan masing masing dengan Muntamah, Salamah, dan
Satimah., yang selalu berakhir dengan perceraian. Terakhir, dalam usia
lanjut ia menikah dengan Bayinah dari Kwanyar, Madura dan dikaruniai
dua orang anak yakni Ajib, dan Mu’ajabah. Ia di temani istri
terakhirnya hingga akhir hayatnya. Kemudian ia membentuk paguyupan
keluarga (trah) yang dikenal denga “Bani Ahmad”. Adapun Raudah, ibu
kandung dari Mas Mansur, ialah putri Tarmidzi bil Abdul Latif
Sagipodin bin Kamal bin Kadirun.

Mas Mansur lahir pada tanggal 15 Muharram 1314 H, yang


bertepatan pada tanggal 25 Juni 1896 M di Kampung Sawahan No. 4
Surabaya Utara. Sedari kecil ia sudah menunjukkan sikapnya sebagai
anak yang sholeh. Mungkin karena terlahir dari keluarga yang sederhana
dan taat dalam melaksankan perintah agama. Bakat kepemimpinannya
sudah terlihat sejak masa kanak-kanak. Mas Mansyurlah yang terlihat
paling menonjol diantara kawan-kawan sebayanya. Ia termasuk santri
yang rajin, selalu menempati janji, kata-katanya teratur, hemat dan
bijaksana. Mas Mansyur kecil gemar sekali bermain-main sekolahan dan
berlaku sebagai guru.

Semasa hidupnya KH. Mas Mansyur memiliki kepribadian yang


sangat menarik, sehingga banyak orang yang dibuat kagum olehnya. Ia
banyak melakukan kegiatan keagamaan dan dikenal sebagai pribadi
8

yang sabar. Saat masih muda dulu, dia mempunyai ciri khas yang
sangat mudah dikenali. Sehari-hari ia selalu mengenakan sarung polikat
warna gelap, baju jas tutup putih dan kopyah hitam, kadang-kadang
saja menggunakan serban. Dalam penampilannya ia selalu mengesankan
sebagai seorang intelektual Muslim. Ia selalu berusaha menghargai
orang lain. Antara penampilan dan kualitas otak sepadan, namun tetap saja
masih dalam koridor kesahajaan.

Di hari-hari akhir dalam hidupnya ia jatuh sakit. Ada beberapa faktor


yang menyebabkan ia sakit. Pertama, pada dasarnya Mas Mansyur
tidak bis bersikap yahunnu atau berpolitik sandiwara terhadap pihak
Jepang sperti yang dilakukan sejumlah tokoh lainnya. Kedua, perlakuan
tentara Jepang dengan Kempetai-nya yang bengis dan semena-mena
terhadap rakyat serta pemimpin lainnya, termasuk para Kiai. Ketiga,
pemerintah-pemerintah Jepang yang tak sedikit bertentangan dengan
keyakinan agamanya, seperti seikerei. Keempat, adanya semacam
politik isolasi Jepang terhadap dirinya, terutama setelah tampak gejala sikap
anti-Jepang dalam dirinya. Kelima, ketidakberdayaan dirinya untuk
memberontak kepada pemerintah Jepang yang fasis itu.

Dilihat dari faktor-faktor gejala dari penyakitnya itu, adakah ia


mengalami gangguan kejiwaan ringan yang disebut neurosis, suatu keadaan
sakit yang berasal dari konflik kejiwaan dan ditandai oleh semacam gejala
yang mempengaruhi emosi, pikiran serta fungsi-fungsi tubuh. Pada
bulan Agustus 1945, diperkirakan ia hanya dirawat dirumah saja. Namun,
kendati fisiknya sudah tidak sehat, ia masih sempat mendengar
pembacaan naskah proklamasi tersebut melalui radio. Ia terharu dan
terbangun dari tempat tidurnya.

Pada tanggal 10 November 1945, perang Surabaya meletus, para


pemuda berusaha bertahan dari gempuran tentara sekutu yang datang
bertubi-tubi dari darat, laut, dan udara. Tetapi tentara sekutu berhasil
mendesak mundur mereka dan menduduki kota, dan kemudian banyak
9

warga Surabaya yang mengungsi keluar kota. Tentara sekutu juga


melakukan penggeledahan-penggeledahan di rumah-rumah warga,
termasuk rumah KH. Mas Mansyur. Ketika rumahnya digeledah, ia tak
beraksi apa-apa, hanya diam melihat.

Namun, pada akhirnya, Mas Mansyur sempat ditahan juga. Ia


mengalami penahanan selama dua kali. Penahanan pertama terjadi
ketika Mas Mansyur menolak imbauan tentara sekutu untuk diajak ke front
depan untuk mempengaruhi para pemuda agar segera menyerah. Penahanan
kedua karena ada isu kalau Bung Tomo, tokoh pemuda pejuang Surabaya,
masuk ke kota dan singgah di rumah Mas Mansyur. Ia dijemput oleh
empat tentara sekutu dengan menggunakan jip, lalu ia dibawa dan di
interogasi.

Pada 1946, Mas Mansyur dibawa ke rumah sakit R.K.Z (Rooms


Khatolike Ziekenhuis, Rumah Sakit Katolik Roma). Sewaktu di rumah
sakit keadaanya selalu tidak sadar dan mengigau. Dua hari sebelum ajalnya,
ia selalu mengucapkan kalimat “ila baituka, Ya Allah!”yang selalu
diulanginya berkali-kali. Pada tanggal 23 Jumadil Awal 1365 H yang
bertepatan dengan tanggal 25 April 1946 pukul 1.30 WIB Mas Mansyur
menghembuskan nafas terakhirnya.

2.2 Latar Belakang Pendidikan K.H. Mas Mansyur

Perjalanan panjang Mas Mansur sebagai tokoh pejuang dan ulama tak
lepas dari peran keluarga dan lingkungan di masa kecilnya. Sejak kecil ia
belajar agama langsung dari ayahnya, K.H. Ahmad Marzuki. Selain belajar
dari ayahnya, Mas Mansur juga belajar pada Kiai Muhammad Thaha,
pengasuh pesantren Sidoresmo. Pada tahun 1906, ia menginjak usia sepuluh
tahun, oleh ayahnya Mas Mansur dikirim ke pesantren Demangan,
Bangkalan, Madura. Di pesantren ini, selain mengkaji Al-Quran Mas
Mansur juga mendalami kitab Alfiah ibn Malik.
10

Setelah menyelesaikan pendidikan di Pesantren Demangan, ia


disarankan oleh kedua orang tuanya untuk menunaikan ibadah Haji serta
meneruskan belajar agama di sana. Di negeri ini selama sekitar empat tahun
ia berguru kepada Kyai Mahfudz, ulama terkenal dari Pesantren Termas,
Jawa Tengah. Namun, tak lama ia tinggal di Tanah Suci, pada tahun 1910
situasi politik di Makkah tidak memungkinkan. Syarif Husein
memerintahkan agar semua orang asing segera meninggalkan kota tersebut,
agar orang asing tak terlibat dalam sengketa politik di Tanah Arab ketika itu.

Mas Mansyur memutuskan untuk pindah ke Mesir dan mealnjutkan


belajarnya di Universitas Al-Azhar Mesir. Keinginannya ini ia sampaikan
kepada sang ayah lewat surat yang dikirimkannya. Akan tetapi, sang ayah
tak mengizinkannya untuk pindah ke kota tersebut dikarenakan sang ayah
mengetahui pada kala itu Mesir adalah sebuah tempat untuk bersenang-
senang. Sang ayah menghawatirkan dirinya pun akan terbawa kedalam
pergaualan yang salah.

Lantaran keinginannya untuk menimba ilmu sangat kuat, ia pun


tetap nekat untuk pergi ke Mesir. Walaupun dengan ancaman dari ayah,
bahwa ia tidak akan di kirimin uang belanja. Karena, kiriman tidak datang
ini ia akhirnya hidup dari dana-dana sedekah dan mengandalkan makan di
Masjid. Puasa Senin-Kamis pun ia lakukan demi memperingan penderitaan
dalam menuntut ilmu. Hal ini terjadi tidak lama sekitar satu tahunan.
Karena sang ayah akhirnya merubah pikiran dan mulai mengirim kembali
uang untuk Mas Mansyur.

Disinlah jiwa mudanya mulai tergetar karena menyaksikan dari


dekat nasionalisme Mesir, yang kala itu sedang dijajah Inggris dan Turki.
Situasi tersebut nampaknnya menjadi memori tersendiri bagi Mas
Mansyur. Di negeri inilah tumbuh benih-benih pergolakan dan pemikiran
muncul dalam dirinya. Oleh sebab itulah semangat kebangkitan
nasionalismenya yang tengah pada puncaknya itu ternyata menjadi inspirasi
kuat perjuangannya dikemudian hari untuk ikut serta mengusir penjajah
11

Belanda dan Jepang dari Tanah Air. Disana ia sering mendengarkan tokoh-
tokoh utama Mesir yang menggembleng semangat bangsanya, ataupun
membaca buah pikiran mereka yang dicantumkan dalam berbagai surat
kabar dan majalah. Secara otomatis timbullah pemikiran dalam dirinya
untuk membanding-bandingkan keadaan negara Mesir dengan Tanah Airnya
sendiri yang memang mempunyai nasib sama, masing-masing
merupakan tanah jajahan. dan Siyatul Islamiyah.Selama belajar di Al-
Azhar Mas Mansyur tinggal bersama para siswa lainnya yang berasal
dari Melayu di Ruaq Al-Malayu, sebuah asrama khusus mahasiswa
Melayu. Selama belajar disana pula setidaknya ia pernah bertemu muka
langsung dengan Syekh Rashid Ridha, adalah seorang murid Syekh
Muhammad Abduh yang menulis Tafsir Al-Manar.Dengan demikian Mas
Mansyur boleh dikatakan mengenal pemikiran-pemikiran dari Abduh, Al-
Afghani, dan Rasyid Ridha.

Sebagai seorang santri yang haus akan ilmu dan pengalaman,


tentunya Mas Mansyur tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membaca
buku-buku agama yang ada di perpustakaan Universitas. Selain membaca
buku-buku agama dan sastra Arab, ia melahap pula buku-buku tentang
ilmu pengetahuan umum, termasuk karya-karya filsafat dan sastra Barat
yang telah banyak diterjemahkan kedalam bahasa Arab kala itu. Pelopor
penerjemahan karya-karya ilmu pengetahuan Barat kedalam bahasa Arab
adalah Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Tahtawi (1801-1873) yang pernah dikirim
Universitas Al-Azhar belajar ke Paris dan kemudian memimpin Sekolah
Penerjemahan di Kairo. Dengan demikian Mas Mansyur tidak hanya
berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para pemikir Arab dan
Muslim, namun juga mengenal berbagai aliran dan paham dari Barat.
beragam bacaan yang telah dilahapnya ini membentuk watak serta
memperluas cakrawala pemikiran dan pandangannya.

Selain menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku, ia juga


aktif dalam perhimpunan siswa-siswa dari Melayu yang telah lama berdiri
12

yaitu bernama Jam‟iyyatul Khairiyatul Malawiyyah. Akan tetapi pada tahun


1912, Mas Mansyur bersama beberapa kawannya dari Tanah Air
mumutuskan untuk memisahkan diri dari organisasi tersebut dan
mendirikan organisasi persatuan pelajar sendiri yang nantinya menjadi cikal
bakal Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Kairo.

Pada awal bulan Agustus 1914 Perang Dunia I pecah. Mas


Mansyur masih berada di Kairo. Bulan Oktober, Inggris yang menguasai
Mesir menyatakan perang kepada Kesultanan Ottoman. Sebulan kemudian,
Mesir dinyatakan sebagai proktetorat Inggris. Khedive Abbas Hilmi II
digantikan oleh Husein Kamil dengan gelar Sultan. Situasi perang
tentunya sangat berpengaruh bagi kehidupan sosial-ekonomi Mesir,
terutama bagi rakyat jelata. Situasi demikian tentunya sangat
mengganggu ketenangan belajar dan bahkan bisa mengancam keselamatan
diri Mas Mansyur, jika ia masih tetap bertahan di Mesir. Maka dari itu, pada
tahun 1915 ia melanjutkan perjalannnya ke Makka dengan harapan bisa
melanjutkan pelajarannya. Akan tetapi situasi di Makkah tak jauh
berbeda dengan Kairo. Dengan situasi yang tidak kondusif seprti itu,
akhirnya Mas Mansyur memutuskan untuk kembali ke Tanah Air, ia tiba di
Tanah Jawa pada tahun 1916.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

K.H. Mas Mansur dilahirkan pada tanggal 25 Juni 1896 M di


Surabaya. Secara geneologis beliau masih mempunyai hubungan darah
dengan keluarga keraton Sumenep, Madura. Selain adanya hubungan darah
para bangsawan dalam darah Mas Mansur juga mengalir darah santri yang
sangat disegani di Surabaya dan sekitarnya. Sejak kecil beliau menimba
ilmu dengan belajar di Pesantren dan ke luar negeri (Mekah dan Mesir).

Latar belakang kepribadian K.H. Mas Mansur sehari-hari ini


mencerminkan pola hidup yang sederhana. Kesederhanaan dan kerendahan
diri itu membawa pengaruh yang luas baginya, beliau bergaul dengan
berbagai kalangan masyarakat. Selain itu, yang paling mengesankan dari
K.H. Mas Mansur adalah pengabdiannya terhadap Muhammadiyah dan
ketekunannya dalam beribadah serta keinginannya yang tinggi untuk
mengembangkan Islam, terutama organisasi Muhammadiyah.

K.H. Mas Mansur dipercaya memimpin Muhammadiyah cabang


Surabaya pada tanggal 1 November 1921, beliau merupakan salah seorang
pendiri Muhammadiyah cabang Surabaya dan menjadi ketuanya. Usaha
beliau mendirikan Muhammadiyah cabang Surabaya demi kemajuan umat
Islam. Keberadaan Muhammadiyah cabang Surabaya ini mempertebal
keyakinan dan semangatnya untuk memurnikan ajaran Islam. Kemudian
Oktober 1937, dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta
K.H. Mas Mansur terpilih menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah untuk periode 1937-1943. Kegiatan beliau sebagai
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih pada ceramah
terhadap anggotanya.

13
14

Kontribusi yang Mas Mansur berikan untuk organisasi


Muhammadiyah antara lain dalam bidang pendidikan keagamaan.
Beliau cenderung memilih model pendidikan pesantren modern. Karena
beliau menginginkan masyarakat tidak hanya mendapatkan pengetahuan
agama saja melainkan mendapatkan pengetahuan umum. Selanjutnya dalam
bidang ekonomi. Mas Mansur melihat perekonomian umat Islam yang
memprihatinkan. Sehingga beliau menegaskan bahwa dalam keadaan
memaksa masyarakat diperbolehkan melakukan simpan pinjam ke bank
walaupun hukumnya haram. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa
ini, karena tidak adanya jalan lain selain bank untuk memecahkan masalah
mengenai keuangan. Dengan begitu masalah perekonomian dapat
diatasi. Dalam bidang politik, Mas Mansur ikut memprakarsai lahirnya
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Selain MIAI, beliau juga aktif dalam
organisasi PII, sebuah organisasi yang coraknya lebih berpolitik daripada
MIAI. Masuknya Mas Mansur dalam dunia politik ini sebagai langkah
pembaharu ulama yang sebelumnya seakan-akan tabu untuk masuk di dunia
politik.

Salah satu pemikiran K.H. Mas Mansur yang masih releven adalah 12
Langkah Muhammadiyah. Langkah ini dicetuskan Mas Mansur saat
menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hal ini
dilakukan sebagai jawaban dan antisipasi terhadap kondisi
Muhammadiyah dan juga bangsa Indonesia yang masih berada dalam
keterbelakangan.

3.2 Saran

Penelitian ini penulis akui masih jauh dari kata sempurna, bahkan tidak
dapat untuk dikatakan cukup baik. Akan tetapi, penulis berharap penelitian
ini dengan segala keterbatasan dan kekurangannya mampu dijadikan sebagai
bahan bacaan yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
15

Penelitian tentang K.H. Mas Mansur dalam pandangan penulis masih


belum selesai. Masih banyak yang bisa dikaji lebih lanjut dari aspek-aspek
yang belum diteliti sebelumnya. Oleh sebab itu, masih ada kesempatan bagi
peneliti-peneliti lainyang berminat untuk melanjutkan ataupun menggali
kajian ini. Masih banyak data yang belum diperoleh oleh penulis, sehingga
diharapkan akan adanya penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/

https://library.ui.ac.id/

https://widyasari-press.com/peranan-k-h-mas-mansur-sebagai-tokoh-
muhammadiyah-pada-masa-pergerakkan-nasional/

16

Anda mungkin juga menyukai