Anda di halaman 1dari 2

Selokan Penyelamat Rakyat Yogyakarta

Saluran air itu melintasi kota Yogyakarta sepanjang lebih dari 30 kilometer. Di sisi Barat ia
membentang hingga ke sungai Opak, sementara di sisi Timur ia membentang hingga sungai
Progo. Di sepanjang saluran tersebut, ribuan hektar areal pertanian menggantungkan
hidupnya dari saluran ini. Masyarakat Yogyakarta menyebut saluran tersebut dengan nama
Selokan Mataram. Selokan Mataram bukan hanya menjadi sekedar saluran air yang menjadi
sumber penghidupan bagi masyarakat agraris di Yogyakarta. Selokan Mataram merupakan
saksi bisu perjalanan sejarah Yogyakarta itu sendiri. Selokan Mataram menjadi bukti
kepandaian diplomasi salah satu raja terbesar dari kesultanan Yogyakarta, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX.

Semua bermula ketika Jepang mulai menduduki wilayah Hindia Belanda pada tahun 1942.
Berbagai wilayah strategis di seluruh Hindia Belanda mulai dikuasai. Jepang pada mulanya
mempropagandakan dirinya sebagai “saudara tua” bangsa Indonesia. Mereka berusaha
meyakinkan bangsa Indonesia bahwa kedatangan Jepang akan membawa perubahan bagi
bangsa Indonesia. Para pejabat Belanda disingkirkan untuk digantikan oleh orang-orang
Jepang dan pribumi. Dampak kedatangan Jepang tersebut juga terjadi di Yogyakarta.

Yogyakarta pada masa tersebut sedang mengalami krisis pangan akibat besarnya kebutuhan
pangan yang tidak diimbangi dengan kemampuan produksi pangan. Hal tersebut membuat
Jepang berusaha menutup krisis pangan yang terjadi di Yogyakarta. Jepang kemudian
meminta pendapat pemimpin Yogyakarta saat itu, Sultan Hamengkubuwono IX agar
Yogyakarta mampu terlepas dari krisis pangan tersebut. Sultan Hamengkubuwono IX
kemundian mengusulkan pada Jepang untuk mengerahkan rakyat Yogyakarta untuk
membangun sebuah saluran air yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis pangan di
Yogyakarta. Usulan tersebut ternyata diterima oleh Jepang dan pembangunan saluran air
tersebut segera dimulai.

Ada kisah menarik dibalik usulan pembangunan saluran air tersebut. Usulan tersebut tidak
terlepas dari kepercayaan yang berkembang di masyarakat Yogyakarta. Mereka percaya jika
Yogyakarta akan makmur dan sejahtera apabila dua sungai besar yang mengalir di sebelah
Barat dan Timur Yogyakarta yaitu sungai Progo dan sungai Opak disatukan. Pembangunan
Selokan Mataram dianggap sebagai perwujudan dari kepercayaan tersebut. Selain itu,
pembangunan saluran tersebut diharapkan mampu menjadi saluran irigasi yang menghidupi
wilayah pertanian di Bantul dan Sleman. Dengan demikian, Selokan Mataram diharapkan
mampu menggenjot produksi pertanian di Bantul dan Sleman sehingga dapat mengatasi krisis
pangan yang terjadi di Yogyakarta.

Uniknya, berdasarkan tulisan Moehammad Roem, dkk dalam buku Tahta Untuk Rakyat,
Sultan Hamengkubuwono IX sesungguhnya memalsukan data statistik mengenai kondisi
sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta kepada Jepang. Pemalsuan data statistik tersebut
dimaksudkan agar Jepang memberikan izin kepada Hamengkubuwono IX untuk membangun
Selokan Mataram guna memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta. Tujuan
Hamengkubuwono IX tidak lain untuk melindungi rakyat Yogyakarta dari ancaman romusha.
Romusha merupakan pekerja pribumi yang dimobilisasi Jepang untuk kepentingan perang
pasifik. Jumlah romusha yang dimobilisir oleh Jepang tidak dapat dipastikan jumlahnya,
namun yang jelas kondisi para romusha tersebut sangatlah memprihatinkan. Banyak dari para
romusha ini yang mati kelaparan ataupun mengalami penyiksaan oleh tentara Jepang. Supaya
rakyat Yogyakarta terhindar dari romusha, maka Hamengkubuwono IX berusaha meyakinkan
Jepang untuk merestui pembangunan Selokan Mataram.

Pembangunan Selokan Mataram mengerahkan banyak tenaga rakyat Yogyakarta. Menurut


Selo Soemardjan seperti yang tertulis dalam buku Perubahan Sosial di Yogyakarta,
pembangunan tersebut diperkirakan menyedot tenaga kerja sebanyak 10.000 hingga 15.000
orang. Jumlah yang tergolong cukup besar pada masa itu. Meskipun menyedot tenaga kerja
yang sangat besar, proyek pembangunan ini hanya menghabiskan sedikit anggaran. Mayoritas
dari para pekerja tidak mendapatkan bayaran. Pekerjaan tersebut dianggap sebagai bagian
dari kerja wajib rakyat Yogyakarta untuk melaksanakan titah Sultan Hamengkubuwono IX.
Kerja wajib tersebut dikenal dengan istilah gugur gunung. Minimnya anggaran untuk
membangun Selokan Mataram juga dikarenakan para pemilik tanah tidak diberikan ganti rugi
atas tanah yang digunakan untuk membangun Selokan Mataram. Para pemilik tanah ini harus
menyediakan tanahnya secara sukarela untuk dijadikan bagian dari Selokan Mataram.
Meskipun demikian, apa yang dialami oleh rakyat Yogyakarta masih lebih baik dari yang
dialami oleh para romusha di daerah lainnya.

Pembangunan Selokan Mataram selesai pada tahun 1944. Pada awalnya saluran ini diberi
nama Gunsei Yosuiro. Seiring perkembangan zaman, rakyat Yogyakarta lebih sering
menyebutnya dengan nama Selokan Mataram hingga saat ini. Bagi masyarakat Yogyakarta,
Selokan Mataram tidak hanya sekedar saluran air belaka, namun harus diingat sebuah
monumen historis yang menyelamatkan rakyat Yogyakarta dari kekejaman Jepang.

Anda mungkin juga menyukai