Anda di halaman 1dari 10

KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA KOLONIAL

BELANDA
Galih Prasetio 11140220000061
SKI VII B

Pendahuluan

Politik pendidikan bukan hanya suatu bagian dari politik kolonial akan tetapi
merupakan inti politik kolonial.1 Oleh karena itu, diselenggarakannya pendidikan di
Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda lebih ditekankan untuk kepentingan penjajahan
terhadap rakyat sendiri. Walaupun pada akhirnya kolonial Belanda membuka kesempatan
bagi rakyat pribumi, tujuannya tidak lain untuk membentuk kelas elit dan menyiapkan tenaga
terdidik sebagai buruh.2 Kebijakan politik pendidikan kolonial Belanda terhadap rakyat
Indonesia yang mayoritas umat Islam ini, sesungguhnya didasari oleh rasa takut mereka akan
Islam. Di mata kolonial Belanda, Islam dipandang bukan saja sebagai ancaman terhadap
“Kebijakan keamanan dan Ketertiban (Rust en Orde)”, melainkan juga terhadap masa depan
keberlanjutan pendudukan dan penjajahan mereka di Indonesia.3

Untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan pengaruh Islam dari rakyat jajahannya
maka kolonial Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah dengan sistem yang telah mereka
tetapkan sendiri. Gagasan Snouck Hurgronje mengenai politik asosiasinya 4 meyakini bahwa
pendidikan Barat yang diberikan kepada rakyat jajahannya akan mengalahkan Islam. Karena
menurut pandangannya, pendidikan barat merupakan sarana yang paling meyakinkan untuk
mengurangi dan akhirnya menaklukkan pengaruh Islam di Indonesia.5 Perkembangan sekolah
yang semakin merakyat itu telah merangsang kalangan umat Islam untuk memberikan respon.
1
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Cet.II, (Bandung: Jemmars,1987), hal.3. Istilah “koloni”
berasal dari bahasa Latin colonia, yang artinya tanah pemukiman atau jajahan. Sedangkan dalam arti luas,
adalah pemukiman warga suatu Negara di wilayah di luar Negara mereka;biasanya suatu wilayah di sebrang
lautan, yang kemudian mereka nyatakan sebagai wilayah mereka. Istilah “kolonialisme” adalah suatu sistem
dimana suatu Negara menjalankan politik pendudukan atau penjajahan terhadap wilayah lain. Lihat, Hassan
Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jil. 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1982), hal. 1811-1812
2
Ary H. Gunawan, Kebijakan-kebijakan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal.21
3
Prijono, “Riwayat Penjajahan Barat dan Perlawanan Umat Islam”, dalam beberapa peninggalan dari
Sejarah Perjuangan Islam, (Jakarta: t.p.,1945), hal.73-89, sebagaimana dikutip Alwi Shihab, Membendung
Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1998), hal.69
4
Politik asosiasi bertujuan untuk mempererat ikatan antara negeri jajahan dengan Negara penjajahnya
melalui kebudayaan, dimana lapangan pendidikan merupakan garapan utama. Dengan adanya asosiasi ini maka
Indonesia bisa memanfaatkan kebudayaan Belanda tanpa mengabaikan kebudayaannya sendiri. Lihat Husnul
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal.39
5
Harry J. Benda, “Christiaan Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan Belanda Terhadap Islam di
Indonesia”,dalam Ahmad Ibrahim dkk., Islam Asia Tenggara: Perspektif Sejarah, Alih bahasa A. Setiawan
Abadi, ( Jakarta:LP3ES,1989), hal.135; Lihat juga, Husnul Aqib Suminto, Politik Islam, hal 43
Dalam hal ini mereka memikirkan untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang seluas-
luasnya masih sangat tampak dalam politik kebijakan pemerintah Hindia Belanda.
Kebanyakan rakyat Indonesia bagaimanapun masih akan tetap bodoh karena tingkat
pendidikan bagi mereka hanya terbatas pada sekolah rendah.

Kesadaran untuk memperbaharui pendidikan Islam ini dimiliki oleh sejumlah tokoh,
khususnya mereka yang sudah mengenyam pendidikan Islam tradisional dan pendidikan
sekolah ala Belanda. Dalam pemikiran mereka perlu di tempuh cara kombinasi yaitu mata
pelajaran keagamaan tetap diadakan tetapi ditambah dengan mata pelajaran umum seperti
membaca, menulis, berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam, dan sebagainya. Metode
pendidikan pun direkayasa sedemikian rupa sehingga lebih efektif sesuai dengan tingkat
perkembangan masyarakat. Secara konkrit diantara salah satu contoh tokoh adalah KH.
Ahmad Dahlan di Yogyakarta, mendirikan sekolah “Mulo Met de Quran” dan kemudian
sekolah-sekolah Islam yang dapat disebut sebagai madrasha menurut istilah pendidikan
Islam.6

Usaha untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam yang sebanding dengan sekolah
ala Belanda dalam perkembangannya menjadi salah satu agenda dan gerakan Islam di
Indonesia. Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Persatuan Islam
dan organisasi Islam lainnya, memiliki bagian atau seksi khusus dalam rangka pendirian
madrasah-madrasah di berbagai daerah.7 Dengan mendirikan madrasah, umat Islam
nampaknya telah memberikan respon yang cukup tepat terhadap kebijakan pendidikan
pemerintah Hindia Belanda. Namun, di pihak lain pemerintah Hindia Belanda nampaknya
juga tidak tinggal diam dengan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh umat Islam, ia
mengeluarkan kebijakan pendidikan yang bersifat menekan dan memberatkan umat Islam.
Salah satu kebijakan pemerintahan Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam
adalah penerbitan Ordonasi Guru ( Goeroe Ordonatie ) dan Ordonasi “Sekolah Liar”
( Ordonantie Wildescholen ). Maka tulisan ini mencoba untuk mengkaji bagaimana kebijakan
politik Hindia Belanda terhadap pendidikan di Indonesia.

Kebijakan Pendidikan dan Islam

6
Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch
Colonialism, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), hal.189; Azurmardi Azra, Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.99
7
Mahmud Yunus membahas madrasah-madrasah dalm kurun pertumbuhan ini dengan agak lebih rinci.
Lihat, Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet IV, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya,1995)
1. Kebijakan Pendidikan Islam

Belanda berusaha menanamkan pengaruhnya di bidang ekonomi dan politik dengan


jalan mendirikan sekolah-sekolah. Kebijakan di bidang pendidikan ini menempatkan Islam
sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan barat diformulasikan sebagai faktor yang
akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Pada akhir abad ke-19 Snouck Hurgronje
telah begitu optimis bahwa Islam tidak akan sanggup bersaing dengan pendidikan Barat. 8
Agama ini dinilai sebagai penghalang kemajuan, sehingga harus diimbangi dengan
meningkatkan taraf kemajuan pribumi. Memang cukup alasan untuk merasa optimis. Kondisi
pendidikan Islam pada waktu itu memang sedemikian rupa,9 sehingga diperkirakan tidak
akan mampu menghadapi superioritas Barat, tidak akan sanggup melawan pendidikan Kristen
yang jauh lebih maju dalam segala bidang, dan tidak akan bisa berhadapan dengan sikap
diskriminatif pemerintah kolonial. Tetapi ternyata kemudian kondisi agama ini berkembang
menjadi berbeda dengan perhitungan tersebut.

Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen.
Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintahan kolonial sering
mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam.10 Sekolah-sekolah negeri
juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran gereja. 11 Semua ini ikut
memperdalam jurang pemisah antara pemerintah kolonial dengan masyarakat santri. Aksi
menimbulkan reaksi. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, umat Islam berusaha
mempertahankan diri, dan kemudian ternyata berhasil.

2. Ordonasi Guru (Goeroe Ordonantie)

8
Aqib Sumintro menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, penetrasi Belanda keluar Jawa segera di ikuti
oleh kedatangan mahasiswa al-Azhar di Mesir, dan modernisasi Islam menjalar bagaikan api liar. (Lihat:Harry
J.Benda, Continuity and change in Indonesia Islam dalam Aqib Sumintro, hal.49
9
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada sekitar tahun 1850 oleh Brumund dinilai hanya
merupakan tempat lahirnya kepercayaan bodoh dan asusila. Snouck Hurgronje pernah menyatakan bahwa
dilihat dari sudut didaktis, pesantren tidak banyak berarti. Dikatakannya bahwa para santri membuang waktu
dengan menelusuri ilmu moral, dan kadang-kadang mengarah ke intoleransi. Baru dua belas tahun kemudian ia
mengakui bahwa pesantren tinggi mampu mendidik murid ke pengertian lebih luas.
10
Dalam hal ini Snouck Hurgronje dalam Aqib Sumintro, hal.51 sampai memberikan pernyataan bahwa
pemerintah tidak boleh memberikan bantuan kepada sekolah zending yang mewajibkan pendidikan agama
Kristen kepada murid-murid Islam. Ia bahkan memperingatkan bahwa bantuan pendidikan itu dibayar oleh
pajak yang datang dari orang Islam sendiri. “Mustahil mereka harus membiayai usaha untuk menjauhkan
anaknya dari agama nenek moyangnya”.
11
Pemerintah kemudian mengatur bahwa pendidikan di negeri ini harus menghormati aliran agama
seseorang. Tidak boleh menggunakan propaganda salah satu dogma, juga tidak boleh bersifat satu aliran gereja
saja. Dalam Aqib Sumintro, Politik Islam Hindia Belanda, hal.50-51.
Suatu Kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan
adalah Ordonansi Guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan
setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum
melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan
pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini
dimaksudkan sebagai media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak
terjang para pengajar Islam di negeri ini.

Sesudah terjadinya peristiwa Cilegon tahun 1888,12 K.F. Holle selaku penasihat
urusan pribumi pada tahun 1890 menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi, karena
pemberontakan para petani di Banten itu dinilai dimotori oleh para ulama dan guru agama.
Maka di Jawa terjadilah pemburuan terhadap guru agama dan demi penyeragaman dalam
pengawasannya, maka K.F. Holle13menyarankan agar bupati melaporkan daftar guru di
daerahnya setiap tahun. Kemudian pada tahun 1904 Snouck Hurgronje mengusulkan agar
pengawasan tersebut meliputi adanya izin khusus dari bupati, daftar tentang guru dan murid,
serta pengawasan oleh bupati harus dilakukan oleh suatu panitia. Pada tahun 1905 lahirlah
suatu peraturan tentang pendidikan agama Islam yang disebut dengan Ordonansi Guru,14

12
Perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal
dengan “Geger Cilegon”, pada tanggal 9 Juli 1888 yang dipimpin oleh para ulama. Dalam setiap
pengajian/dzikiran yang diadakan di rumah-rumah atau pun di masjid, para ulama itu selalu menanamkan
semangat jihad menentang penjajah kepada masyarakat.
Melalui pesantren-pesantren, para tokoh itu dengan mudah melancarkan taktik perjuangan menentang
pemerintahan kolonial. Gerakan itu antara lain dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji
Marjuki, dan Haji Wasid.
https://humaspdg.wordpress.com/
13
K.F. Holle termasuk diantaranya. Menurut beberapa sumber, ia sangat mendalami terhadap
kebudayaan, pertanian, pendidikan bahkan sejarah pribumi, terutama  Sunda. Ia seakan-akan menghalangi
terjadinya fanatisme dalam beragama dikalangan penduduk pribumi.
14
Staatsblad 1905 no. 550 dalam Aqib Sumintro,hal.53., isinya antara lain:
 Seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila sudah memperoleh izin dari bupati.
 Izin tersebut baru diberikan bila guru agama tersebut jelas-jelas bisa dinilai sebagai orang baik, dan
pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan ketertiban umum.
 Guru agama Islam tersebut harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran
yang diajarkan.
 Bupati atau instansi yang berwewenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu.
 Guru agama Islam bisa dihukum kurang maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima
rupiah, bila ternyata mengajar tanpa izin atau lalai mengisi/ mengirimkan daftar tersebut; atau enggan
memperlihatkan daftar itu kepada yang berwewenang, berkeberatan memberi keterangan, atau enggan
diperiksa oleh yang berwewenang.
Staatsblad 1925( dalam Aqib Sumintro, hlm.52) no. 219, isinya antara lain:
 Setiap guru agama harus mampu menunjukkan bukti tanda terima pemberitahuannya.
 Ia harus mengisi daftar murid dan daftar pekerjaan yang sewaktu-waktu bisa diperiksa oleh pejabat
yang berwewenang.
 Pengawasan dinilai perlu justru memelihara ketertiban keamanan umum.
 Bukti kelayakan bisa dicabut, bila guru yang bersangkutan aktif memperbanyak murid dengan maksud
yang bisa dinilai sebagai mencari uang.
Ordonansi Guru ini ditujukan untuk mengatur pelaksanaan pengawasan Belanda terhadap
pembelajaran agama Islam di tanah Jawa dan Madura, kecuali Surakarta dan  Yogyakarta.

Bagi suatu sekolah yang memiliki organisasi teratur, tuntutan ordonansi ini memang
tidak menjadi masalah. Tapi bagi guru-guru agama pada umumnya yang tidak memiliki
administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya, peraturan ini terasa sangat
memberatkan. Apalagi pada waktu itu lembaga pendidikan pesantren belum memiliki
administrasi yang teratur, daftar murid dan guru, atau mata pelajaran. Banyak di antara guru
agama waktu itu yang tidak bisa membaca huruf latin, sedangkan yang bisa pun sangat jarang
yang mempunyai mesin tulis untuk mengisi sekian lembar daftar laporan.

Ordonansi Guru tahun 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam untuk minta
izin itu, kemudian dinilai kurang efisien, karena laporan tentang guru agama dan aktifitasnya
yang secara periodik disampaikan bupati ternyata kurang meyakinkan, di samping situasi
politik waktu itu dinilai sudah tidak lagi memerlukan “pemburuan” guru agama. Karena itu
pada tahun 1925 dikeluarkanlah Ordonansi Guru baru sebagai pengganti yang hanya
mewajibkan guru agama untuk memberitahu, bukan meminta izin.15 Peraturan ini tidak hanya
berlaku untuk Jawa-Madura. Sejak 1 Januari 1927 berlaku pula untuk Aceh, Sumatera Timur,
Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok. Kemudian pada tahun tiga puluhan
berlaku pula untuk Bengkulu.

 Guru agama Islam bisa dihukum maksimum delapan hari kurungan atau denda maksimum f.25,-, bila
mengajr tanpa surat tanda terima laporan, tidak benar keterangan/ pemberitahuannya, atau lalai dalam
mengisi daftar.
 Juga bisa dihukum maksimum sebulan kurungan atau denda maksimum f.200,-, bila masih mengajar
setelah dicabut haknya.
 Ordonansi guru 1925 berlaku sejak 1 Juni 1925, dan Ordonansi Guru 1905 yang berlaku sejak 2
Nopember 1905 dinyatakan dicabut.
15
Staatsblad 1925 dalam Aqib Sumintro, hal.52 no. 219, isinya antara lain:
 Setiap guru agama harus mampu menunjukkan bukti tanda terima pemberitahuannya.
 Ia harus mengisi daftar murid dan daftar pekerjaan yang sewaktu-waktu bisa diperiksa oleh pejabat
yang berwewenang.
 Pengawasan dinilai perlu justru memelihara ketertiban keamanan umum.
 Bukti kelayakan bisa dicabut, bila guru yang bersangkutan aktif memperbanyak murid dengan maksud
yang bisa dinilai sebagai mencari uang.
 Guru agama Islam bisa dihukum maksimum delapan hari kurungan atau denda maksimum f.25,-, bila
mengajr tanpa surat tanda terima laporan, tidak benar keterangan/ pemberitahuannya, atau lalai dalam
mengisi daftar.
 Juga bisa dihukum maksimum sebulan kurungan atau denda maksimum f.200,-, bila masih mengajar
setelah dicabut haknya.
 Ordonansi guru 1925 berlaku sejak 1 Juni 1925, dan Ordonansi Guru 1905 yang berlaku sejak 2
Nopember 1905 dinyatakan dicabut.
Tetapi seperti halnya Ordonansi Guru sebelumnya, ordonansi baru ini pun dalam
praktek bisa dipergunakan untuk menghambat agama Islam, meskipun bukan itu tujuan yang
tercantum dalam ketentuan ordonansi tersebut. Misalnya :

a. Peristiwa yang terjadi di Sekayu pada tahun 1926. 16 H. Fachruddin selaku


Ketua Muhammadiyah menyatakan keluhan bahwa sejak diumumkannya
ordonansi ini berbagai rintangan ditimbulkan untuk menghalangi kemajuan
dan penyebaran Islam di Indonesia. Karena itu ia menghimbau gobee, selaku
Adviseur voor Inlandsche zaken, agar turun tangan.
b. Kongres Al-Islam tahun 1926 (1-5 Desember) di Bogor menolak cara
pengawasan terhadap pendidikan agama ini. Kewajiban memberitahukan
kurikulum, guru dan murid secara periodik ini dinilainya memberatkan, karena
lembaga pendidikan Islam pada umumnya tidak memiliki administrasi dan
sarana yang memadai.17 Begitu pula keharusan mengisi formulir berbahasa
Belanda, dirasakan sebagai beban sangat berat, sebab hampir semua guru
agama tidak mengerti bahasa ini, paling-paling mereka mengerti bahasa Arab.
c. Organisasi Muhammadiyah dalam kongres XVII tahun 1928 (12-20 Februari)
dengan sangat keras menuntut agar Ordonansi Guru ini ditarik kembali.
d. Reaksi yang demikian hebat terjadi di Sumatera Barat, ketika pemerintah
kolonial bermaksud hendak menerapkan Ordonansi Guru di daerah tersebut,
segera setelah timbulnya pemberontakan komunis pada tahun 1927. Dalam
menjajagi kemungkinan dilaksanakannya Ordonansi Guru di Sumatera Barat,
misi petugas Kantoor voor Inlandsche zaken, Dr. L. De Vries, memperoleh
dukungan para demang dan para asisten demang, sebagian besar kepala nagari
dan sebagian besar ulama tradisional. Ternyata tidak semua kaum muslimin
Minangkabau bersedia menerima ordonansi tersebut.

Reaksi terhadap Ordonansi Guru agaknya bukan hanya dilancarkan oleh pihak
pribumi, tapi juga oleh pihak Belanda sendiri. Sebagaimana diuraikan di atas, tujuan
ordonansi ini adalah untuk mengawasi atau mengontrol pendidikan agama Islam dan untuk

16
Pada bulan Syawal tahun 1926, di Sekayu direncanakan akan diresmikan pembukaan sekolah
Muhammadiyah oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah dari Yogyakarta. Hal ini telah dilaporkan secara tertulis
kepada Residen Palembang, melalui Asisten Residen. Tiba-tiba kontrolir setempat menutup sekolah tersebut
dengan alasan bahwa gurunya belum memiliki beslit dari residen.
17
Noer, Deliar, 1982, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. II. hal.195
itu adanya daftar guru dan segala aktifitasnya sangat diperlukan. Dalam hal ini Van der Plas
pada tahun 1934 berpendapat, bahwa untuk mencapai tujuan tersebut daftar guru yang
dipaksakan itu sama sekali tidak ada gunanya. Dia pun melihat akibat sampingan ordonansi
ini dan memandangnya sebagai “rintangan paling besar bagi karya produktif di Hindia
Belanda.” Dia berpendapat bahwa demi penyederhanaan dan efisiensi, hendaknya pemerintah
kolonial menghapuskan Ordonansi Guru yang dinilainya hanya akan menghabiskan kertas .

Menanggapi berbagai keinginan dihapuskannya Ordonansi Guru ini, Snouck


Hurgronje dalam suratnya kepada Menteri Jajahan tahun 1935 masih berpendapat perlunya
dipertahankannya ordonansi tersebut, meskipun dengan beberapa usul perubahan. Namun
betapapun situasi kondisi telah jauh berubah. Di pihak pemerintahan kolonial sendiri, situasi
ekonomi moneter menuntut diadakannya penghematan dan penyederhanaan. Di pihak
pribumi, kekhawatiran akan timbulnya pemberontakan seperti terjadi di Cilegon tahun 1888,
sudah tidak perlu ada. Bahaya gerakan tarekat maupun Pan Islam juga tidak perlu
dikhawatirkan lagi, sehingga guru agama Islam tidak lagi harus diburu. Itulah sebabnya
mengapa nasehat arsitek Ordonansi guru 1905 ini, tidak seampuh masa-masa yang lalu.
Ordonansi Guru 1905 kehilangan urgensinya dan betapapun terpaksa menghilang dari
peredaran.18

3. Ordonasi Sekolah Liar

Sejak tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik
pribumi. Kebebasan mendidik pribumi ini kemudian dihapuskan oleh adanya Ordonansi
Pengawasan tahun 1923. Sejak itu setiap orang yang hendak mendirikan suatu lembaga
pendidikan, harus memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada kepala daerah setempat,
dengan menyebutkan cara pengajaran dan tempat mengajarnya.

Pengawasan melalui Ordonansi 1923 ini hanya bersifat wajib lapor bagi
penyelenggara lembaga pendidikan, sementara kalangan luas pejabat kolonial menghendaki
pengawasan lebih ketat. Pada tanggal 17 Oktober 1929, Schrieke selaku direktur Pendidikan
diperintahkan oleh Sekretaris Negara atas saran Dewan Penasehat Hindia, untuk meninjau
kemungkinan ditindaknya sekolah liar. Tetapi Schrieke, yang pada dasarnya menyetujui
pendapat pendahulunya Hardeman bahwa pemerintah belum perlu mengambil tindakan
terhadap sekolah liar, nampaknya berhasil menunda masalah ini sampai tahun 1932, yakni

18
Aqib Sumintro, politik Hindia Belanda, hal.58.
keluarnya Toezicht-ordonantie particulier Onderwijs tanggal 17 September 1932 yang
dinyatakan berlaku mulai 1 Oktober 1932.19

Krisis ekonomi tahun tiga puluhan memaksa pemerintah kolonial untuk menekan
anggaran belanja pendidikan. Sementara itu tuntutan pendidikan sudah semakin meningkat,
sehingga bermunculanlah sekolah-sekolah swasta, meskipun tanpa subsidi pemerintah.
Tetapi, ini suatu ironi, justru pemerintah kolonial menyambut inisiatif masyarakat ini dengan
Ordonansi Sekolah Liar. Akibatnya timbulah reaksi hebat dari kalangan luas masyarakat,
baik dari organisasi nasional maupun Islam.20 Direktur Pendidikan sendiri agaknya bisa
memaklumi hal tersebut, namun hal ini justru menyebabkan dirinya sedikit tersisih dari
lingkungannya.21

Taman siswa yang seluruh sekolahnya terkena ketentuan ordonansi ini bertekad
untuk mengadakan perlawanan pasif. Tekad tersebut dinyatakan oleh Ki Hadjar Dewantara
dalam lawatannya ke Gubernur Jenderal, juga dalam pembicaraan lisan dengan Kiewiet de
Jounge selaku kuasa pemerintah ketika berkunjung ke rumahnya. 22 Sarekat Islam (SI) yang
sejak tahun 1932 telah menjelma menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), juga
mengumumkan suatu manifesto menentang ordonansi ini.

Pada tahun tahun 1932 sering terjadi konferensi atau rapat umum yang berakhir
dengan keputusan menolak Ordonansi Sekolah Liar. Konferensi dewan pendidikan Persatuan
Muslimin Indonesia (Permi) di Sumatera Barat tanggal 26-27 Desember 1932 memutuskan
bahwa ordonansi ini melanggar dasar-dasar Islam dan dasar-dasar umum, di samping

19
Staasblad no. 494 dan 495.dalam Aqib Sumintro,hal.59-60 Isinya antara lain:
 Sebelum memperoleh izin tertulis dari pemerintah, suatu lembaga pendidikan yang tidak sepenuhnya
dibiayai oleh dana pemerintah tidak dibenarkan memulai aktivitasnya.
 Hanya lulusan sekolah pemerintah atau sekolah swasta bersubsidi yang dinilai baik oleh pemerintah,
berhak mengajar di sekolah ini.
20
Melalui Volksraad dalam Aqib Sumintro mereka tegaskan bahwa pendidikan swasta ini seharusnya
ditolerir pemerintah karena merupakan inisiatif sendiri, di tengah ketidakmampuan pemerintah untuk
memberikan fasilitas pendidikan yang cukup.
21
Dalam hal ini Schrieke – yang menjabat sebagai Direktur Pendidikan sejak tahun 1929 – meskipun
bisa memahami bahwa tujuan utama ordonansi itu untuk memberantas pendidikan bermutu rendah, namun ia
berpendapat bahwa syarat ijazah bagi guru dinilainya terlalu berat dan tidak perlu diberikan. Ia berpendapat
bahwa syarat tentang pengetahuan maupun sekolah perlu ada, tapi untuk sementara jangan terlalu berat.
Pendirian semacam ini yang menyebabkan Schrieke kemudian agak tersisih dari lingkungannya.
22
Tepat pada hari mulai berkalunya ordonansi ini pada 1 Oktober 1932, Ki. Hadjar Dewantara selaku
pimpinan umum Taman Siswa mengirimkan utusan kepada Gubernur Jenderal, menentang ordonansi tersebut.
Pada pertengahan bulan Oktober, Kiewiet de Jonge selaku kuasa pemerintah mengunjungi rumahnya. Dalam
pertemuan ini Ki. Hadjar membeberkan rencananya, bahwa sekolah swasta tidak perlu meminta izin meskipun
tahu bahwa izin akan diberikan. Akibatnya sekolah akan ditutup atau dilanjutkan tanpa izin. Kemungkinan
terakhir ini pasti berakibat dipanggilnya yang bersangkutan ke pengadilan. Denda tidak akan dibayar. Akbiat
selanjutnya para guru laki-laki maupun perempuan akan dipenjara, dan orang lain akan menggantikannya.
mengurangi kebebasan bangsa Indonesia untuk mengatur dan membangun pendidikannya
sendiri. Para ulama besar Minangkabau, yang beranggapan ordonansi ini merupakan
percobaan untuk membunuh sekolah-sekolah Islam, menuduh pemerintah kolonial bertindak
menguntungkan Kristen. Mereka memutuskan akan berjuang hidup atau mati untuk Islam,
dan membentuk suatu panitia aksi yang diketuai oleh H. Rasul.

Suatu organisasi yang dianggap loyal yaitu Budi Utomo, juga menentang keras
ordonansi ini. Organisasi ini bertekad akan menarik anggota-anggotanya dari aneka lembaga
perwakilan, andaikata pada tanggal 31 Maret 1933 Ordonansi Sekolah Liar belum ditarik
kembali, bahkan akan menutup sekolahnya serta akan memberikan bantuan keuangan kepada
para korban perlawananan pasif. Sedangkan Muhammadiyah, pada mulanya menunjukkan
sikap ragu terhadap ordonansi ini, mungkin karena sebagian sekolahnya memperolah subsidi
dari pemerintah, meskipun hanya sebagian kecil. Namun dalam konferensi daruratnya di
Yogyakarta pada tanggal 18-19 November 1932, akhirnya organisasi ini pun menolak
Ordonansi Sekolah Liar.

Dari sini terlihat bahwa usaha pemerintah kolonial untuk menekan pendidikan swasta,
ternyata memperoleh perlawanan keras dari pihak pribumi, baik dari organisasi nasional
maupun organisasi Islam. Organisasi PSII dan Permi serta Muhammadiyah bahu membahu
dengan Taman Siswa, Budi Utomo, PNI, Partindo, dan Isteri Sedar, untuk menentang keras
Ordonansi Sekolah Liar. Reaksi ini memaksa pemerintah kolonial untuk meninjau ordonansi
yang berumur setengah tahun itu. Pada pertengahan Februari 1933 ordonansi ini dinyatakan
ditarik kembali, dan pada pertengahan Oktober 1933 penarikan ini dipertegas dengan
keluarnya peraturan baru.23 Sejak itulah berbagai sekolah yang selama ini dinilai sebagai liar,
disebut sebagai “sekolah swasta tak bersubsidi”. Dalam perkembangan selanjutnya jumlah
sekolah ini semakin banyak dan mutunya pun semakin meningkat.

Daftar Pustaka

Ary H. Gunawan, Kebijakan-kebijakan Pendidikan, Jakarta:Rineka Cipta,1995, hal.21

23
Staatsblad 1933, no. 373, 17 Oktober 1933. dalam Aqib Sumintro hal.59-60.
Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization
under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.

Azra, Azumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Benda, Harry J., “Cristian Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan Belanda
Terhadap Islam di Indonesia”, dalam Ahmad Ibrahim dkk., Islam Asia Tenggara:
Perspektif Sejarah, Alih bahasa A. Setiawan Abadi, Jakarta: LP3ES, 1989.

Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia, Jil.3, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1982,
hal. 1811-1812.

Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia, Cet.II, Bandung: Jemmars, 1987.

Noer, Deliar, 1 9 8 2 , Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:


LP3ES, Cet. II

Prijono,1945 “Riwayat Penjajahan Barat dan Perlawanan Umat Islam”, dalam


Beberapa Peningglan dari Sejarah Perjuangan Islam, Jakarta:t.p.,1945.

Shihab, Alwi, 1998, Membendung Arus Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap


Penetrasi Misi Kristen Di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.

Suminto, Husnul Aqib, Politik Islam Hindia Belanda Het Kantoor Voor Inlandsche
Zaken (1899-1942 ), Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet.IV, Jakarta: Mutiara


Sumber Widya, 1995

Anda mungkin juga menyukai