Anda di halaman 1dari 5

Nama : Hudi Vondroi

Nim : 19421138

Tugas : Pendidikan Agama Islam

Judul : Sejarah pendidikan islam di Indonesia

Proses keberhasilan Islam di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang


memiliki pengaruh tradisi Hindu-Budha sangat kuat, merupakan hasil dari kelonggaran-
kelonggaran yang diberikan Islam terhadap tradisi setempat. Karena itu dalam keberagaman
umat Islam Indonesia, ajaran-ajaran Islam sedikit banyak telah kehilangan nilai kearabannya.
Menjadikan wajah Islam Indonesia berbeda denganwajah Islam di dunia manapun. Sejarah
pendidikan islam di mulai sejak agama islam masuk di indonesia, yaitu kira-kira pada abad
ke 12 masehi. Ahli sejarah pada umumnya sependapat, bahwa agama islam mula-mula masuk
ialah ke pulau sumatera bagian utara di daerah aceh. Apabila sejarah masuknya islam itu di
tetabkan kapan masuknya islam, tahun berapa, dan siapakah yang mula-mula memasukkan?

Tidaklah dapat jawaban yang pasti dalam sejarah. Setengah ahli sejarah mengatakan, bahwa
agama islam masuk ke daerah aceh pada pertengahan abad ke 12 masehi. Setengah mereka
berpendapat, bahwa islam telah masuk ke aceh sebelum abad ke 12 masehi. Alasannya ialah
karena pada ke 12 telah banyak ahli-ahli agama yang termasyhur di aceh. Hal itu
menunjukkan, bahwa islam telah masuk ke dareah aceh sebelum abad ke 12, karena tidak
mungkin islam baru masuk, lalu lahir orang-orang ahli dalam islam itu. Pendapat ini di
kuatkan setengah ahli sejarah, bahwa orang arab/islam telah mengenal pulau sumatra dalam
abad kesembilan. Oleh itu banyak di antara meraka itu datang ke sumatra dan ke pulau-pulau
indonesia yang lain untuk berniaga. Sunggguhpun mereka datang ke indonesia engan maksud
hendak berniaga, tetapi mereka tidak lupa memegang al-qu’an di tangan kanannnya. Dalam
usaha melaksanakan perniagaan, mereka menyiarkan agam islam kepada penduduk negri.
Dengan berangsur-angsur penduduk negri tertarik kepada agama islam, lalu mereka memeluk
agama itu. Sebab itu tidak heran, bahwa agama islam telah masuk ke daerah aceh sebelum
abad ke 12.

Lembaga pendidikan yang merupakan pusat pengembangan pendidikan Islamdi Kerajaan


Aceh adalah:
a. Balai Seutia Hukama,
Lembaga ilmu pengetahuan, tempatberkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendekiawan
untuk mengembangkan ilmupengetahuan. Departemen yang mengurus masalah pendidikan
dan pengajaran dise-but
b. Balai Jamaah Himpunan Ulama
yaitu kelompok studi para ulama untuk bertukarpikiran membahas persoalan-persoalan
pendidikan.
Jenjang dan struktur pendidikannya pun sudah tersusun sebagaimana lembagapendidikan
formal saat ini. Jenjang pendidikannya yaitu:
1. Meunasah
(madrasah), terdapat di kampung dan berfungsi seperti sekolah dasar.Materi yang diajarkan
meliputi menulis dan membaca huruf Arab, ilmu agama,bahasa melayu, akhlak, dan sejarah
Islam.
2. Rangkang
setingkat madrasah tsanawiyah. Jenjang pendidikan ini diselenggarakandi tiap mukim.
Materi yang diajarkan adalah bahasa Arab, ilmu bumi, sejarah,ilmu hisab, akhlak, dan lain-
lain.
3. Dayah
terdapat di daerah Ulubalang setingkat madrasah aliyah. Terkadang dilak-sanakan di masjid,
materi yang diajarkan bahasa Arab, fikih, tauhid, tasawuf, ilmubumi, sejarah dan tata negara,
ilmu pasti, dan faraid.
4. Dayah
Teuku Cik, disamakan dengan perguruan tinggi. Pada jenjang ini diajarkanfikih, tafsir, hadis,
tauhid, ilmu bahasa dan sastra Arab, sejarah dan tata negara,mantik, ilmu falak, dan filsafat.

1. Cara penyiaran / pendidikan islam di Indonesia

Para pedagang muslimin yang mula-mula masuk ke indonesia pandai sekali menyiarkan
agama islam, yaitu dengan menganjurkan agama itu kepada raja-raja, sesuai dengan
perbuatan nabi muhammad saw yang berkirim surat kepada raja-raja, mengajak mereka
memeluk agama islam. Apabila raja itu telah memeluk agama islam, maka tentulah rakyat
akan turut memeluk agama itu.

Selainitu, mereka pandai bergaul dengan penduduk negeri, sehingga mereka itu di hormati
dan di sayangi oleh penduduk negri. Maka terciptalah hubungan yang erat dan silaturrahmi
yang koko antara kedua belah pihak. Akhirnya dipatri dengan perhubngan suami istri,
perhubungan antara bapak dan anak, sehingga menjadi keturunan yang msulimin.

Agama islam menyuruh tiap-tiap muslim supaya menyampaikan seruan islam kepada
siapapun dan dimanapun saja mereka berada. Penyiaran islam harus dilaksanakannya dengan
cara kebijakasaan dan dengan cara sebaik-baiknya, sesuai dengan firman allah:

َ ‫س ِبي ِل َر ِبكَ ِبا ْل ِح ْك َم ِة َوا ْل َم ْو ِع َظ ِة ا ْل َح‬


‫سنَ ِة‬ َ ‫ع ِإلَ ٰى‬
ُ ‫ا ْد‬

Artinya : “ serulah (manusia) kepada agama allah,dengan kebijaksaan dan pengajaran yang
baik”.

2. Pendidikan islam indonesia pada zaman penjajahan

Pendidikan Islam Zaman Penjajahan Bentuk penaklukan bangsa Barat atas dunia Timur
dimulai dengan jalan perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer dan akhirnya
pendudukan atau penjajahan. Selama masa penjajahan Barat, misi westernisasi terjadi secara
masif di seluruh wilayah Indonesia. Di satu sisi, kedatangan bangsa penjajah telah membawa
kemajuan di bidang teknologi. Sisi lainnya, penjajahan berdampak pada penjarahan potensi-
potensi alam di tanah jajahannya demi kepentingan imperialisme. Dalam urusan
penyelenggaraan pendidikan masyarakat pribumi, cenderung dipolitisasi demi mengokohkan
kepentingan kekuasaan mereka di tanah jajahannya. a. Pendidikan Zaman Belanda Belanda
mulai menjajah Indonesia pasa tahun 1619, yaitu ketika Jan Pieter Zoon Coen menduduki
Jakarta dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram. Setelah Belanda dapat mengatasi
perlawanan-perlawanan dari para tokoh-tokoh politik dan agama seperti Pangeran
Diponegoro, Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin dan
lain-lain, maka sejarah kolonialisme Indonesia mengalami fase yang baru, yakni Belanda
secara politik sudah dapat menguasai Indonesia. Rajaraja di daerah masih ada, tetapi tidak
dapat berkuasa penuh, baik di wilayahnya maupun di bidang ketatanegaraannya. Kekuasaan
secara politik, ekonomi, dan sosial budaya praktis berada di tangan penjajajah. Selain itu,
Belanda juga berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama, sesuai dengan prinsip-
prinsip kolonialisme, westernisasi, dan kristenisasi.12 Pemerintahan Belanda melalui
Gubernur Jenderal Van Den Capellen pada tahun 1819 M. mengambil inisiatif merencanakan
berdirinya sekolah dasar bagi pribumi agar dapat membantu pemerintahan Belanda. Surat
edaran kepada para bupati disebutkan bahwa dianggap penting untuk secepat mungkin
mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan
menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-
undang dan hukum negara. Bagi pihak Belanda, pendidikan Islam yang ada di pondok
pesantren, masjid, musalla dan lain sebagainya dianggap tidak membantu pemerintah
Belanda karena para santri pondok dianggap buta huruf Latin.13 Pada tahun 1882 pemerintah
Hindia Belanda membentuk badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama
dan pendidikan Islam yang disebut priesterradden. Atas nasehat badan inilah, pada tahun
1905 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang isinya membatasi ruang mengajar
dan untuk menjadi guru harus meminta izin terlebih dahulu. Klimaksnya, pada Tahun 1925
Belanda mengeluarkan peraturan lebih ketat bahwa tidak semua orang (dimaksud Kyai) boleh
memberikan pengajaran mengaji. Peraturan itu disebabkan tumbuhnya organisasi pendidikan
Islam, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdlatul Wathan, dan lain-lain.
Tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan
sekolah yang tidak ada izinya yang disebut ordonansi sekolah liar. Peraturan ini muncul
setelah gerakan nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928 berupa sumpah pemuda. Untuk
menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama di sekolah umum yang kebanyakan
muridnya beragama Islam, pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut “netral
agama”.14 Penjelasan di atas menunjukkan bahwa proses pelaksanaan pendidikan Islam di
Nusantara pada masa penjajahan Belanda, ruang gerak dan pengembangannya dibatasi
dengan regulasi yang diikat oleh pemerintah kolonial. Regulasi itu terbit oleh karena
pemerintah kolonial Belanda menganggap sekolah-sekolah dengan label Islam sebagai basis
pemberontakan dan perlawanan terhadap kekuasaan.

3. Memaknai ulang reformasi pendidikan islam

Reformasi juga dapat disebut sebagai upaya pembaharuan (modernisasi), dengan demikian
maka reformasi pendidikan Islam dapat dimaknai sebagai upaya untuk menutup dan
menyempurnakan berbagai kekurangan. Benang merah dari pengertian diatas adalah bahwa
reformasi adalah upaya pembaharuan yang dilakukan secara menyeluruh pada seluruh sistem
kehidupan sosial, politik, ekonomi bahkan pendidikan, termasuk didalamnya adalah
pendidikan Islam. Diskursus tentang Reformasi pendidikan Islam sebenarnya berkaitan
dengan gagasan reformasi pemikiran Islam yang sedang berkembang pada masanya. Dalam
pandangan para reformis Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridho Muhammad Iqbal
hingga KH. Ahmad Dahlan (di Indonesia) menganggap bahwa pemikiran Islam harus
dikembalikan pada kemurnian Islam (pan-Islamisme) dan membebaskan diri dari kekangan
mazhab yang berkembang pada abad pertengahan. Kecenderungan gerakan reformasi itulah
yang kemudian menjadi embrio lahirnya gagasan pembaharuan dalam pendidikan Islam.
Meminjam istilahnya Quraish Shihab bahwa sebagai upaya membumikan kembali Islam
berdasarkan teks aslinya yaitu Al-Qur’an dan HaditS (Shihab, 1997, p. 128). Arti penting dari
proses reformasi yang dilakukan para intelektual muslim dunia sangat berpengaruh terhadap
Pendidikan Islam di Indonesia. KH. Ahmad Dahlan misalnya, terinspirasi dari pemikiran-
pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin alAfghani, mengimplementasikan konsep
pendidikan Islam dengan corak yang baru yaitu klasikal yang sebelumnya masih berbentuk
talaqqi, bandongan dan wetonan (Nata, 2006, p. 5). Bahkan dalam perspektif keagamaan, ia
telah mengkritisi berbagai tradisi keagamaan yang menurutnya dianggap tidak benar bahkan
menyimpang dari tuntunan Rasulullah Muhammad SAW. Pemikiran Rekonstruktif yang
ditawarkan KH. Ahmad Dahlan dalam perjalanannya menuai banyak kritik dan penolakan
bahkan dia dianggap sebagai kyai “Kafir”. karena dia menawarkan konsep pendidikan yang
notabene diadopsi dari sistem pendidikan yang dikembangkan penjajah Hindia Belanda dan
tidak pernah di perkenalkan dalam sejarah Islam. KH. Ahmad Dahlan sebenarnya ingin
merombak tradisi dan cara pendidikan yang paa saat ini terkesan monoton dan menjenuhkan
menjadi pendidikan yang interaktif dan komunikatif dengan mengajarkan ilmu-ilmu umum
tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan saja. Fazlurrahman menilai sejak abad
pertengahan pendidikan Islam dilaksanakan secara mekanis dengan mengutamakan kognitif
daripada afektif yang bertujuan melindungi muslimin dari perumusan gagasan-gagasan Barat
yang mengancam moral umat Islam. Memasuki era kontemporer, pendidikan Islam pun juga
masih dihadapkan pada problem pembelajaran yang tidak kreatif. Sekalipun pesantren-
pesantren dan madrasahmadrasah atau sekolah-sekolah Islam lainnya mulai bermunculan
pada era-era itu, tapi pendidikan Islam belum bisa memainkan peranan yang signifikan dalam
proses perkembangan masyarakatnya, bahkan cendrung hanya menanamkan bekal
keagamaan semata kepada para peserta didiknya. Kondisi ini tentunya logis karena pesantren
(madrasah) hampir sepanjang masa penjajahan dalam bahasanya Madjid “mengasingkan diri”
dari dunia luar (Madjid, 1997). Secara perlahan pesantren mulai melihat fenomena
pembaharuan sebagai narasi alternatif dalam menjaga keberlangsungan pendidikan
tradisionalnya ditengah lokomotif modernisasi yang terus bergerak semakit cepat. . Seperti
halnya yang terjadi di Indonesia, gelombang reformasi dibelahan dunia yang lain juga
mengalami proses seleksi sosio-budaya dan sosio-kultural yang mengitarinya. Misalnya, arah
baru pendidikan yang ditawarkan Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani, Fazlurrahman,
dan oleh beberapa intelektual muslim lainnya selalu menghadapi resistensi sosio-budaya dan
masyarakatnya. Sehingga penolakan atau sekedar kritik-argumentasi menjadi sesuatu yang
muncul sebagai seleksi alam bagi sempurnya sebuah proses perubahan. Oleh karena itu
gerakan reformasi dalam pendidikan Islam, termasuk di Indonesia harus dilakukan dalam
rangka membongkar keterbelakangan dan kejumudan dalam berfikir umat Islam yang sudah
semakin “akut”. Fenomena reformasi kadangkala juga menuntut adanya upaya dekonstruksi
terhadap bangunan pemikiran umat tentang Islam dan pendidikan Islam. Sehingga reformasi
pendidikan Islam dapat dimaknai aktualisasi dari kesadaran agar menarik diri dari “sumur
dangkal” ketertingalan.
Setidak-tidaknya telah muncul beberapa paradigma pengembangan pendidikan, yaitu
paradigma formisme, mekanisme, dan organisme dalam perkembangan pemikiran pendidikan
islam. Dalam konteks ini, kita perlu melihat pendidikan sebagai bagian integral dari proses
pembangunan bangsa. Itu berarti, pendidikan hendaknya di bangun atas dasar paradigma
pendidikan yang jelas dan tepat. Katakan saja, ada empat pilar utama yang perlu diperhatikan
dalam membangun paradigma pendidikan, yaitu:

a. Pendidikan untuk semua masyarakat dalam arti cita-cita pembaruan tidak lain adalah
membangun masyarakat madani. Ini berarti, paradigma baru pendidikan islam
diarahkan kepada terbentukya msyarakat madani, dapat dirasakan seluruh lapisan
masyarakat, pendidikan berperan dalam membangun masyarakat madani yang
tumbuh atas kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan pentingnya pendidikan akan
kelangsungan hidupnya, pendidikan harus berlangsung dari masyarakat,oleh
masyarakat, dan untuk seluruh masyarakat.
b. Pendidikan demokratis, proses pendidikan yang mampu mengembangkan seluruh
potensi peserta didik, model pendidikan yang dapat mengembangkan prinsib
demokratis.
c. Pendidikan bertumpu pada kebudayaan okal, kondisi pendidikan indonesia kurang
memperhatikan kebudayaan lokal, sebab faktor utamanya adalah sistem pendidikan
yang di terabkan lebih besifat “sentralistik”. Pendidikan sentralistik krang
mengakomodasi budaya adanyakebudayaan kebhinnekaan, sebab bangsa indonesia
teridiri atas berbagai pulau, kebiasaan, adat istiadat, agama, dan kebudayaan.
d. Pendidikn yang seimbang, pendidikan yang didesain antara amtak dan iptek,
pendidikan dapat dikonsepsikan sebagai aktualisasi nilai ilahi pada manusia, disusun
sebagai proses sepanjang hayat yang didasrkan pada pengalaman-pengalaman yang
berguna dari berbagai sumber, baik pengetahuamn teknologi,keterampilan, sikap,
didalam dan iluar sekolah.

Referensi :
Prof. H. Mahmud Yunus, sejarah pendidikan Islam, (Jakarta, Mutiara), hlm 10-12
B.J. Boland, pergumulan Islam di Indonesia, (jakarta, Grafiti Pers), hlm 117
Dr. Hujair AH. Sanaky, M.Si, Pembaruan Pendidikan Islam, (Sewon Bantul
Yogyakarta, Kaukaba), hlm 23-25
Umar, Eksistensi pendidikan Islam di Indonesia
Ta’dibuna, Sejarah Reformasi pendidikan Islam Indonesia, Vol. 8, No, 1 April, hlm.
38-46

Anda mungkin juga menyukai