Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengajaran dan pendidikan Islam mulai dilakukan setelah masyarakat islam terbentuk.
Pendidikan dilakukan di pesantren ataupun di pondok yang dibimbing oleh guru agama,
ulama, ataupun kyai. Para santri yang telah lulus akan pulang ke kampung halamannya
dan akan mendakwahkan Islam di kampung masing-masing.

Dalam agama Islam setiap muslim adalah pendakwah. Baru kemudian pada masa-masa
berikutnya terdapat mubalig dan guru agama Islam, yang tugasnya khusus mengajarkan
agama Islam. Mereka ini mempercepat proses Islamisasi, sebab mereka mendirikan
pesantren dan mencetak kader-kader ulama/guru-guru agama Islam.
Masuknya Islam di Nusantara dan perkembangannya juga dilakukan melalui jalur
pendidikan atau pengajaran, baik di pesantren maupun di pondok-pondok yang di
selenggarakan oleh guru-guru agama dan para ulama

Untuk menganalisis masuknya pendidikan Islam di Indonesia, maka sangat tepat kiranya
jika menelusuri proses masuknya Islam di bumi Nusantara tersebut, sebab pendidikan
Islam di Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang sama dengan sejarah masuknya
Islam di Indonesia. Informasi tentang Islam di bumi Nusantara telah diterima sejak
orang Vanesia (Italia) yang bernama Marcopolo singgah di kota Perlak dan
menerangkan bahwa sebagian besar penduduknya telah beragama Islam.Namun yang
menjadi persoalan kemudian adalah kapan tepatnya Islam masuk ke Indonesia.
Persoalan ini muncul akibat tidak adanya catatan sejarah yang menjelaskan secara
otentik prosesi masuknya Islam di Indonesia. Kerabunan fakta sejarah inilah yang
kemudian menimbulkan debatable yang cukup alot di kalangan para sejarawan,
sehingga akhirnya memunculkan beberapa teori masuknya Islam di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Sejarah masuknya islam di Indonesia
2. Sejarah masuknya islam di Indonesia melalui pendidikan dan pengajaran
Walisongo

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masuknya islam di Indonesia melalui pendidikan dan pengajaran

Berkenaan dengan masalah pendidikan Sebelum kedatangan Islam memberi


gambaran kepada kita bahwa kontak pertama antara pengembangan agama Islam dan
berbagai jenis kebudayaan dan masyarakat di Indonesia, menunjukkan adanya semacam
akomodasi cultural. Di samping melalui pembenturan dalam dunia dagang, sejarah juga
menunjukkan bahwa penyebaran Islam kadang-kadang terjadi pula dalam suatu relasi
intelektual, ketika ilmu-ilmu dipertentangkan atau dipertemukan, ataupun ketika
kepercayaan pada dunia lama mulai menurun.

Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan


pendidikan model barat yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan sekelompok
kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada). Sejak itu tersebar jenis pendidikan
rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. Selanjutnya pemerintah memberlakukan
politik Etis (Ethische Politik), yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat
sampai pedesaan.

Pendidikan kolonial Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam


tradisional pada pengetahuan duniawi. Metode yang diterapkan jauh lebih maju dari
sistem pendidikan tradisional. Adapun tujuan didirikannya sekolah bagi pribumi adalah
untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda. Jika begitu,
pemerintah Belanda tidak mengakui para lulusan pendidikan tradisional. Mereka tidak
bisa bekerja baik di pabrik maupun sebagai tenaga birokrat.

Kehadiran sekolah-sekolah pemerintah Belanda mendapat kecaman sengit dari kaum


ulama. Kaum ulama dan golongan santri menganggap program pendidikan tersebut
adalah alat penetrasi kebudayaan barat di tengah berkembangnya pesantren atau
lembaga-lembaga pendidikan Islam.

2
Masa kerajaan islam, merupakan salah satu dari periodesasi perjalanan Sejarah
Pendididkan Islam di Indonesia, sebab sebagaimana lahirnya kerajaan Islam yang
disertai dengan berbagai kebijakan dari penguasanya saat itu, sangat mewarnai Sejarah
Islam di Indonesia, terlebih-lebih agama Islam juga pernah dijadikan sebagai agama
resmi negara/kerajaan pada saat itu.Karena itulah, bila kita berbicara tentang perjalanan
sejarah pendidikan Islam di Indonesia, tentu saja kita tidak bisa mengenyampingkan
bagaimana keadaan Islam itu sendiri pada masa kerajaan Islam.Berikut ini akan
dikemukakan beberapa kerajaan Islam di Indonesia, serta bagaimana peranya dalam
pendidikan Islam dan dakwah islamiyah tentunya. Kemudian pada masa penjajahan
pendidikan islam mendapatkan perhatian khusus dari kolonial belanda dan jepang.
Mereka beusaha untuk melumpuhkan Islam pada masa saat itu dengan membuat
kebijakan yang membatasi proses berlangsungnya pendidikan Islam di Indonesia. Dan
yang terakhir pada masa kemerdekaan.
Setelah merdeka pendidikan Islam di Indonesia mendapatkan kedudukan dalam
menjalankan proses pendidiakan nasional. Pada saat itulah pendidikan Islam mulai
mendapat sorotan. Hingga munculah lembaga-lembaga pendidikan Islam dari zaman
kerajaaan Islam hingga kemerdekaan. Seperti, pesantren, madrasah, perguruan tinggi
Islam Negeri, Institut Islam Agama Negeri.
Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik dalam
Negara mayoritas maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam pendidikan mendapat
posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya, umat Islam selalu mempunyai
perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk kepentingan masa depan
umat Islam.

Besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam


melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam system yang sederhana, peengajaran
diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat ibadah semacam
masjid, musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan
mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga
keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous religious and social institution) ke
dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa, umat Islam mentransfer
lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren; di Minangkabau mengambil
Surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan

3
Islam; demikian halnya di Aceh dengan mentransfer lembaga meunasah sebagai
lembaga pendidikan Islam.

B. Pendidikan dan pengajaran Wali song

Di dalam satu keterangan di dalam Babad Tanah Jawi naskah Drajat, Sunan Ampel
mengajarkan ilmu tasawuf dengan laku suluk menurut ajaran tarekat Naqsyabandiyah.

Sementara, Sunan Giri dalam melakukan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat


lebih menekankan pada pendidikan. Ia merupakan salah satu wali yang mengembangkan
sistem pesantren yang pada kemudian hari diikuti oleh hampir oleh seluruh lapisan
masyarakat Indonesia.

Dalam menyampaikan dakwah Islam, Sunan Giri senantiasa menyampaikan dengan


cara-cara yang lunak dengan mengikuti ajaran Islam yang diterima sebagai kewajaran.
Titik tolok dakwah yang dikembangkan pada dasarnya adalah menanamkan pendidikan
budi pekerti luhur kepada masyarakat.

Sunan Bonang dikenal sebagai guru tasawuf yang diyakini memiliki kekuatan keramat
sebagaimana lazimnya seorang wali.

Sebuah naskah primbon asal Tuban, yang menurut Schrieke dalam Het Boek Van
Bonang (1916) adalah tulisan Sunan Bonang sendiri, merupakan ikhtisar bebas dari
Kitab Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn karya al-Ghazālī dan Kitab al-Tamhīd Fī Bayān al-Tawḥīd
karya Abu Syakur bin Syu‘aib al-Kasi al-Hanafi al-Salimi.

Sunan Kalijaga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syattariyah dari
Sunan Bonang sekaligus tarekat Akmaliyah dari Syekh Siti Jenar. P

elajaran tarekat dalam bentuk laku ruhani yang disebut mujahadah, muqarabah, dan
musyahadah secara arif disampaikan Sunan Kalijaga baik secara tertutup diberikan
kepada murid-murid ruhani sebagaimana layaknya proses pembelajaran di dalam sebuah
tarekat.

Sementara itu, pelajaran yang disampaikan secara terbuka, dilakukan melalui


pembabaran esoteris kisah-kisah simbolik dalam pergelaran wayang, sehingga menjadi

4
pesona tersendiri bagi masyarakat dalam menikmati pergelaran wayang yang digelar
Sunan Kalijaga.

Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat
memperhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutamakan pencapaian
kesejahteraan sosial masyarakat.

Setelah memberikan perhatian penuh, baru Sunan Drajat memberikan pemahaman


tentang ajaran Islam. Ajarannya lebih menekankan pada empati dan etos kerja keras
berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan, usaha menciptakan kemakmuran,
solidaritas sosial, dan gotong royong.

Secara umum, ajaran Sunan Drajat dalam menyebarkan dakwah Islam dikenal
masyarakat sebagai pepali pitu (tujuh dasar ajaran), yang mencakup tujuh falsafah yang
dijadikan pijakan dalam kehiduapan sebagai berikut;

Pertama, memangun resep tyasing suasama (kita selalu membuat senang hati orang
lain.)

Kedua, jroning suka kudu eling lan waspodo (dalam suasana gembira hendaknya tetap
ingat Tuhan dan selalu waspada.)

Ketiga, laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah (dalam upaya
mencapai cita-cita luhur janggan menghiraukan halangan dan rintangan.)

Keempat, meper hardaning pancadriya (senantiasa berjuang menekan gejolak nafsu-


nafsu inderawi.)

Kelima, heneng-hening-henung (dalam diam akan dicapai keheningan dan di dalam


hening akan mencapai jalan kebebasan mulia.)

Keenam, mulya guna panca waktu (pencapaian kemuliaan lahir batin dicapai dengan
menjalankan salat lima waktu.)

Ketujuh, menehono teken marang wong kang wuto. Menehono mangan marang wong
kang luwe. Menehono busana marang wong kang wuda. Menehono pangiyup marang
wong kang kaudanan (berikan tongkat kepada orang buta. Berikan makan kepada orang

5
yang lapar.berikan pakaian kepada orang yang tidak memiliki pakaian. Berikan tempat
teduh kepada orang yang kehujanan.)

Beberapa contoh dari dakwah Wali Songo di atas terutama yang berkaitan dengan
tasawuf (laku suluk) dapat memberikan deskripsi bahwa sesungguhnya dakwah yang
dikembangkan Wali Songo pada hakikatnya adalah dakwah yang selaras dengan firman
Allah:

Hendaklah engkau mengajak orang ke jalan Allah dengan hikmah, dengan peringatan
yang ramah tamah serta bertukar pikiran dengan mereka melalui cara yang sebaik-
baiknya.

Penanaman nilai-nilai ajaran Islam melalui keteladanan yang baik (uswah ḥasanah)
sebelum berucap kata, bukan dengan cara propaganda dan cara yang tidak bijak lainnya,
menjadikan dakwah yang diajarkan Wali Songo mendapatkan simpati di hati
masyarakat.

Ajaran-ajaran semacam ini yang selalu digaungkan di dalam ajaran Islam dan bahkan
dianjurkan karena sesuai dengan dalil normatif al-Qur’an dan Sunnah.

Jika demikian model dakwah yang dikembangkan oleh Wali Songo, maka kita akan
menemukan kecocokan model dakwah atau ajaran tasawuf Wali Songo dengan tipologi
tasawuf Akhlaki yang diserukan oleh al-Ghazālī.

Nampaknya tawaran tasawuf al-Ghazālī lebih mendapat simpati bagi Wali Songo untuk
diajarkan kepada masyarakat secara luas. Ini bisa diperkuat dengan data yang sudah
penulis jelaskan tentang ajaran tasawuf Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang
menjadikan buku-buku karya al-Ghazālī sebagai rujukan utama.

Proposisi lain yang mungkin dapat diperdebatkan adalah bukankah selain ajaran Wali
Songo di atas terdapat pula ajaran Syekh Siti Jenar, di mana pemikiran-pemikirannya
masuk dalam tipologi tasawuf falsafi?

Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pemikirannya yang memiliki kesamaan dengan
ajaran Ibn ‘Arabī yang monistik sebagai berikut:

6
...Seh Lemah Abang ngandika/ aja na kakeyan semu/ iya ingsun iki Allah/ nyata ingsun
kang sajati/ jejuluk Prabu Satmata/ tana ana liyan jatine/ ingkang aran bangsa Allah/
molana Maghrib mujar/ iku jisim aranipun/ Seh Lemah Bang angandika/ kawula
amedhar ngelmi/ angraosai katunggalan/ dede jisim sadangune/ mapan jisim nora nana/
dene kang kawicara/ mapan sajati ning ngelmu/ sami amiyak warana//

Syekh Lemah Abang berujar, ‘Marilah kita berbicara dengan terus terang bahwa Aku ini
Allah. Akulah yang sejatinya disebut Prabu Satmata (salah satu nama Syiwa), tidak ada
yang lain yang disebut ilahi’, Maulana Maghrib mencela, ‘tapi itu jisim namanya,’
Syekh Lemah Abang menyahut, ‘Saya menyampaikan ilmu yang bukan tubuh, karena
tubuh pada hakikatnya tidak ada. Yang kita bincang adalah ilmu sejati. Kepada
semuanya saja, kita buka tabir rahasia ilmu sejati’.

Dengan demikian, benih-benih tasawuf falsafi di Indonesia sedari awal memiliki


kekuatan yang sama besar dengan tasawuf akhlaki.

Terlebih peranan ajaran Syekh Siti Jenar, sebagai wali dengan kapasitas keilmuan yang
sangat mumpuni, banyak mendapat tempat di hati masyarakat. Hal ini menunjukkan
kedua model tasawuf pernah ada dan tumbuh bahkan pada taraf menjadi suatu
mainstream di Nusantara.

Statemen di atas bisa saja menjadi benar, jika dakwah dan ajaran Syekh Siti Jenar tidak
mendapatkan resistensi dari para anggota wali lainnya.

Pada kenyataannnya di dalam sejarah dibuktikan bahwa adanya usaha-usaha


pemakzulan terhadap paham yang cenderung pada ajaran filosofis-panteistis yang
diajarkan Syekh Siti Jenar. Bahkan diceritakan bahwa Sunan Giri (anggota Wali Songo)
dikabarkan menentang ajaran Siti Jenar yang berpandangan panteisme.

Sebuah debat langsung digelar di hadapan Raden Fatah, sultan pertama kerajaan Islam
di Jawa yang berakhir dengan pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati kepada Siti
Jenar dan para pendukungnya.

7
Siti Jenar dianggap salah karena telah mempercayai bahwa Tuhan tidak berwujud
kecuali dalam bentuk nama, Dia mengalir dalam diri insān kāmil (manusia paripurna),
yang terkenal dengan ajaran ‘manunggaling kawula Gusti’ (union whit the One)

Terlepas dari benar tidaknya cerita tersebut, makna yang hendak diambil adalah bahwa
Wali Songo tidak pernah membuka ruang terhadap pemikiran filosofis Ibn ‘Arabī, al-
Ḥallāj, dan sebagainya, yang memiliki tendensi ke arah panteisme.

Sebaliknya Wali Songo lebih simpati terhadap karya-karya al-Ghazālī dan al-Qusyairī
yang memiliki orientasi pada pembentukan karakter dan budi pekerti yang baik dalam
hal mu’amalah.

Implikasi dari adanya usaha membendung arus pemikiran panteistis di Indonesia,


mengindikasikan akan dominasi pemikiran tasawuf akhlaki sebagai pemikiran tasawuf
yang diridhoi dan direstui dan dijadikan sebagai basis utama pemikiran tasawuf di
Indonesia.

8
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Islam datang ke Indonesia ketika pengaruh Hindu dan Buddha masih kuat. Kala
itu, Majapahit masih menguasai sebagian besar wilayah yang kini termasuk wilayah
Indonesia. Masyarakat Indonesia berkenalan dengan agama dan kebudayaan Islam
melalui jalur perdagangan, sama seperti ketika berkenalan dengan agama Hindu dan
Buddha. Melalui aktifitas niaga, masyarakat Indonesia yang sudah mengenal Hindu-
Buddha lambat laun mengenal ajaran Islam. Persebaran Islam ini pertama kali terjadi
pada masyarakat pesisir laut yang lebih terbuka terhadap budaya asing. Setelah itu,
barulah Islam menyebar ke daerah pedalaman dan pegunungan melalui aktifitas
ekonomi, pendidikan, dan politik.
Proses masuknya agama Islam ke Indonesia tidak berlangsung secara
revolusioner, cepat, dan tunggal, melainkan berevolusi, lambat-laun, dan sangat
beragam. Dan dalam perkembangan selanjutnya bermunculan banyak kerajaan-kerajaan
islam di Indonesia seperti samudera pasai dan kerajaan-kerajaan islam lainnya.

Anda mungkin juga menyukai