PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad ke XIII M agama Islam mulai masuk ke Indonesia, dan ada yang berpendapat
bahwa penyebaran Islam pertama kali dilakukan oleh para pedagang dan mubaligh dari
Gujarat-India. Sekarang jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang paling besar
dibandingkan umat Islam di negara-negara lain di dunia ini oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa umat Islam di Indonesia mempunyai peranan yang penting bagi bangsa-bangsa dan
negara-negara Islam lainnya. Lebih-lebih di Indonesia sendiri, umat Islam merupakan
mayoritas penduduk dan mereka bertebaran di segenap pelosok tanah air serta banyak yang
berkumpul dalam berbagai organisasi sosial, pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan politik.
Semenjak datangnya Islam di Indonesia yang disiarkan oleh para mubaligh khususnya di
Jawa oleh Wali Sanga atau Sembilan Wali Allah hingga berabad-abad kemudian, masyarakat
sangat dijiwai oleh keyakinan agama, khususnya Islam. Sejarah telah mencatat pula, bahwa
Islam yang datang di Indonesia ini sebagiannya dibawa dari India, dimana Islam tidak lepas
dari pengaruh Hindu. Campurnya Islam dengan elemen-elemen Hindu menambah mudah
tersiarnya agama itu di kalangan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, karena
sudah lama kenal akan ajaran-ajaran Hindu itu.
Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia adalah hasil pekerjaan dari Kaum Sufi dan
Mistik.Sesungguhnya adalah Sufisme dan Mistisisme Islam, bukannya ortodoksi Islam yang
meluaskan pengaruhnya di Jawa dan sebagian Sumatera.Golongan Sufi dan Mistik ini dalam
berbagai segi toleran terhadap adat kebiasaan yang hidup dan berjalan di tempat itu, yang
sebenarnya belum tentu sesuai dengan ajaran-ajaran tauhid.
Sebelumnya, masyarakat sangat kuat berpegang teguh pada Agama Hindu dan
Budha.Setelah kedatangan Islam, mereka banyak berpindah agama secara sukarela. Tetapi
sementara itu mereka masih membiasakan diri dengan adat kebiasaan lam, sehingga
bercampur-baur antara adat kebiasaan Hindu-Budha dengan ajaran Islam.
Terpuruknya nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam yang
tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus
diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan
secara komprehensif oleh barat yang pada masa lalu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan
Islam. Pertama faktor internal yaitu, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat
memerlukan satu system yang betul – betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak
manusia – manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua
faktor eksternal adanya kontak Islam dengan barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa
kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan
phragmatik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada barat, sehingga
ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir.
Dalam makalah ini, kami akan membahas pembaharuan islam di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Priode Pendidikan Islam Di Indonesia?
2. Bagaimana Pembaharuan Pendidikan Di Indonesia?
3. Bagaimana Gerakan Pembaharuan Islam Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari gerakan pembaharuan islam di indonesia ini kita mengetahui bahwa pengalaman
agama islam di indonesia masih banyak bercampur dengan Hindu-Budha, Dan jelas sekali
kemurnian ajarannya. Dari gerakan pembaharuan islam di indonesia Tujuannya diperluas,
Tidak saja urusan dengan perekonomian melainkan lebih luas dan besar yaitu menentang
politik kolonil belanda dalam segala seginya dengan menggunakan dasar perjuangan islam,
Sedangkan gerakan sosial kemasyarakatan islam ini menjelaskan tentang Muhammadiyah, Al-
irsyad, dan persatuan islam.
B. Saran
Dari makalah yang kami paparkan bahwa kami sedikit mengambil memberikan saran bagi
yang sempat membaca makalah ini agar bisa mengambil hikmah dari sebuah cerita awal
kelahiran islam di indonesia,di mana pada jaman dahulu Imam bonjol melancarkan kemurnian
Aqidah islam seperti yang dilakukan oleh gerakan wahabi, Karena kaum tua yang sangat
kuat,dan pastinya makalah ini belum sepurnah oleh karna itukami minta partisipasiteman-
teman untuk menyempurnakan makalah ini,sekian dan terimah kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam kurun Modern, Jakarta ;
Pustaka LP3ES, 1994, Cet. Ke 2.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004
Azyurmadi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta : Logos
1990.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan
perkembangan, Jakarta : lembaga studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995, Cet. Ke-1
http://langitjinggadipelupukmatarumahmakalah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-pembaharuan-
islam-di-indonesia.html
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN MASALAH
1. agar kita mengetahui pembaruan Islam di Indonesia.
2. agar kita mengetahui gerakan yang muncul di pembaruan Islam.
3. agar kita mengetahui perbedaan organisasi terbesar di Indonesia yang meliputi NU dan
Muhammadiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pertama adalah indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam
yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka
lebih mengikuti aturan-aturan lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel
dengan apa yang disebut Clifford Geerts sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa.
Kedua adalah kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran
Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri karena disamping ia
memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan
di pedesaan, hubungan guru murid yang khas.
Kelompok ketiga adalah Islam modernis.Mereka terutama berbasis pada
Muhammadiyah.Sasaran utamanya adalah pelayanan sosial seperti pendidikan dan
kesehatan.Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik.
Keempat adalah islamisme atau islamis. Gerakan ini tidak hanya mengusung Arabisme
dari konseruatisme tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak
heran jika jihad dan penerapan syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini.
Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi Islam di Indonesia itu merupakan dampak
dari pengembangan pemikiran khususnya dalam dinamika intelektual yang diorientasikan
kepada pembangunan kebangsaan.Satu hal yang mestinya sadari bahwa semakin banyaknya
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini sebenarnya
dapat menjadi kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia.
Pada tanggal 21-27 Agustus 1925, diadakan kongres al-Islam ke-4 di Yogyakarta, yang
membahas tentang “pemurnian ajaran Islam” dan masalah khilafah. Disebabkan posisi yang
tidak mengutungkan, dan dengan maksud untuk tetap mempertahankan terpeliharanya praktek-
praktek keagamaan tradisional, seperti ajaran-ajaran mazhab yang empat, pemeliharaan
kuburan Nabi dan keempat sahabatnya di Madinah, maka lalu dibentuklah suatu komite yang
diberi nama “Komite Merembuk Hijaz”. Komite inilah, yang kemudian pada tahun berikutnya,
berubah nama menjadi “Nahdlatoel Oelama” (Nahdlatul Ulama) yang disingkat menjadi
“NU” dan diketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ary.
Dalam skala nasional, saham NU sangat banyak di saat pra dan detik-detik
kemerdekaan RI. Diterimanya Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar konstitusi negara RI
merupkan sebuah perjanjian luhur bangsa yang tidak lepas dari peran nasionalis dan pemuka
NU. NU telah berhasil melakukan sebuah transformasi besar-besaran, khususnya di bidang
sosial dan budaya. Tidak dipungkiri lagi, bahwa mainstream ke-Indonesia-an adalah ke-NU-
an.
Selepas proklamasi kemerdekaan, orientasi NU lebih terkonsetrasikan pada
transformasi bidang sosial-politik. Jasa para kiyai dan warga NU dalam perang kemerdekaan,
sangat memberi andil bagi kelangsungan negara RI. Begitu juga keberadaan NU sebagai
sebuah parpol pada pemilu tahun 1955. Era transformasi bidang sosial politik ini, berakhir saat
NU memutuskan kembali ke khittah 1926, pada Muktamar NU-27 tahun 1984 di Situbondo.
Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang sosial-ekonomi.
Lebih dari itu, di era reformasi multi partai, tidak terjunnnya NU ke kancah politik praktis juga
memainkan peran strategis bagi kontituitas bangsa dan negara melalui pemerintah. Juga secara
politis, warga NU semakin leluasa menyalurkan aspirasi politiknya dalam wadah partai yang
lahir dari NU, yakni PKB. Karena itu, bila PKB berkemelut, maka dengan segera PBNU
mengeluarkan tawshiyah. Jadi, bukan berarti bahwa peran ulama NU termarginalisasikan,
karena posisinya itu justeru di atas para politisi, khususnya politisi nahdliyin (pengikut NU).
Dalam hal itu untuk menegaskan prinsip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim
Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab
I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.Kedua kitab tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar dan
rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
1. Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah wal jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu
sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an dan sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari
pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang
teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti salah satu mazhab seperti imam Syafi'i
Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-
Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
2. Usaha Organisasi
Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan
yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam,
untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti
dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di
berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil
pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Hal ini ditandai
dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu
masyarakat.
3. Gerakan NU
NU sebagai organisasi masa Islam, sampai sekarang masih menjadi bahasan yang
menarik di dunia akademik. Banyak peneliti asing yang tertarik dengan NU, di antaranya
Martin van Bruinessen , Greg Barton, Greg Fealy, Ben Anderson, Mitsuo Nakamura dan lain
sebagainya. Mereka tertarik kultur NU dengan ketradisionalannya yang dianggap eksotik.
Berbeda dengan aliran Islam lainnya, NU sangat menghargai tradisi dan kebudayaan
setempat.Para peneliti ini mengikuti penelitian Antropologis yang sebelumnya pernah
dilakukan.Mereka adalah Clifford Gertz, Andrew Beautty, Mark R. Woodward, Robert Hefner
dan antropolog lainya yang memfokuskan pada agama Jawa.Karya-karya yang dihasilkan oleh
para peneliti ini hingga sekarang cukup populer dan selalu menjadi rujukan di dunia akademis
baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Dalam konteks seperti ini, NU menjadi obyek penelitian. Para peneliti inilah yang
memiliki otoritas untuk merepresentasikan NU, baik itu berupa sejarah, komunitas, perilaku,
dan masa depan NU. Sebagai obyek penelitian, tentunya NU sama sekali tidak memiliki
otoritas dalam merepresentasikan dirinya. Hasil-hasil penelitian beberapa peneliti ini, bukan
tidak berdampak pada perkembangan Islam di Indonesia. Kita perlu menyadari bersama bahwa
peneliti Barat bukan hanya sekedar meneliti atas nama pengetahuan belaka. Mereka datang
untuk meneliti sekaligus membuat bangunan epistemologi gerakan Islam.Sehingga wajar jika
gerakan Islam di Indonesia semakin bias kepentingan.
B. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi masa islam dan organisasi dakwah amar
ma’ruf nahi munkar yang berakidah islam dan bersumber pada Al quran dan sunnah. Secara
etimologis nama ini berasa dari kata Muhammad, yaitu nama Rasulullah SAW yang ditambah
ya’ nisbah dan ta’ marbutoh yang berarti “pengikut Nabi Muhammad Saw”.
KH.Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) Ada beberapa alasan yang dikemukakan
kalangan muhammadiyah yang menjadi faktor didirikannya organisasi ini oleh KHA. Dahlan
:
Ia melihat bahwa umat islam tidak memegang teguh alquran dan sunnah sehingga akhlak
masarakat runtuh karena sirik merajalela.
Lembaga pendidikan agama pada waktu itu tidak efisisen. Pesantren yang menjadi lembaga
pendidikan kalangan bawah, pada waktu itu dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masarakat.
Pada waktu itu pendidikan di indonesia telah terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekuler
yang dikembangkan belanda dan pendidikan pesantren.
Kemiskinan menimpa rakyat indonesia, terutama umat islam yang sebagian besar adalah
petani dan buruh.
Aktivitas misi katolik dan protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad 19 dan bahkan
sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah hindia belanda.
1. Aktivitas Muhammadiyah.
Untuk merealisasikan tujuannya yaitu :
Memajukan serta mnggembirakan pelajaran dan pengajaran agama islam di kalangan
sekutunya.
Memajukan serta mengembirakan hidup sepanjang kemauan agama islam di kalangan
sekutunya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
1. gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang
sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragama. Disini penting dipahami
bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad ke-20 diusung
sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang
berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata
hanya menjadi salah satu alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di
Indonesia sebagai sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan
nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan
antara dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di masyarakat.
Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing
tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud
kepeduliannya.
2. Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam di Indonesia menunjukkan dinamika yang
kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam banyak bentuk bermunculan seperti organisasi
massa, partai politik dan lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah (ornop). Ini
tentu tidak terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta kebebasan
berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang. Sesungguhnya kita bisa melihat dari berbagai
sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark Woodward (2001) misalnya
mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde baru ke dalam lima kelompok.
Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di
dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.
3. NU menganut paham Ahlussunah wal jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah
antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an dan sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan
akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fikih mengikuti salah satu mazhab seperti imam Syafi'i Sementara
dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Sedangkan
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi masa islam dan organisasi dakwah amar ma’ruf
nahi munkar yang berakidah islam dan bersumber pada Al quran dan sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Pada abad ke XIII M agama Islam mulai masuk ke Indonesia, dan ada yang berpendapat
bahwa penyebaran Islam pertama kali dilakukan oleh para pedagang dan mubaligh dari
Gujarat-India. Sekarang jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang paling besar
dibandingkan umat Islam di negara-negara lain di dunia ini oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa umat Islam di Indonesia mempunyai peranan yang penting bagi bangsa-bangsa dan
negara-negara Islam lainnya. Lebih-lebih di Indonesia sendiri, umat Islam merupakan
mayoritas penduduk dan mereka bertebaran di segenap pelosok tanah air serta banyak yang
berkumpul dalam berbagai organisasi sosial, pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan politik.
Semenjak datangnya Islam di Indonesia yang disiarkan oleh para mubaligh khususnya di
Jawa oleh Wali Sanga atau Sembilan Wali Allah hingga berabad-abad kemudian, masyarakat
sangat dijiwai oleh keyakinan agama, khususnya Islam. Sejarah telah mencatat pula, bahwa
Islam yang datang di Indonesia ini sebagiannya dibawa dari India, dimana Islam tidak lepas
dari pengaruh Hindu. Campurnya Islam dengan elemen-elemen Hindu menambah mudah
tersiarnya agama itu di kalangan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, karena
sudah lama kenal akan ajaran-ajaran Hindu itu.
Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia adalah hasil pekerjaan dari Kaum Sufi dan
Mistik. Sesungguhnya adalah Sufisme dan Mistisisme Islam, bukannya ortodoksi Islam yang
meluaskan pengaruhnya di Jawa dan sebagian Sumatera. Golongan Sufi dan Mistik ini dalam
berbagai segi toleran terhadap adat kebiasaan yang hidup dan berjalan di tempat itu, yang
sebenarnya belum tentu sesuai dengan ajaran-ajaran tauhid.
Sebelumnya, masyarakat sangat kuat berpegang teguh pada Agama Hindu dan Budha.
Setelah kedatangan Islam, mereka banyak berpindah agama secara sukarela. Tetapi sementara
itu mereka masih membiasakan diri dengan adat kebiasaan lam, sehingga bercampur-baur
antara adat kebiasaan Hindu-Budha dengan ajaran Islam. Hal tersebut berlangsung dari abad
ke abad, sehingga sulit dipisahkan antara ajaran Islam yang murni dengan tradisi peninggalan
Hindu atau peninggalan agama Budha. Dan tidak sedikit tradisi lama berubah menjadi
seakan-akan “Tradisi Islam”. Seperti kebiasaan menyelamati orang yang telah mati pada hari
ke:7, 40, 1 tahun dan ke 1000-nya serta selamatan pada bulan ke-7 bagi orang yang sedang
hamil pertama kali, mengkeramatkan kubur seseorang, meyakini benda-benda bertuah dan
sebagainya.
AWAL KELAHIRAN GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM di INDONESIA
Melihat keadaan di lapangan bahwa pengamalan agama Islam di Indonesia yang masih
banyak bercampur dengan tradisi Hindu-Budha tersebut dan jelas sekali merusak kemurnian
ajarannya, maka tampillah beberapa ulama mengadakan pemurnian dan pembaharuan faham
keagamaan dalam Islam. Pada mulanya lahir Gerakan Padri di daerah Minangkabau yang
dipelopori oleh Malim Basa, pendiri perguruan di Bonjol, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Imam Bonjol. Sejak kembali dari Mekah, Imam Bonjol melancarkan pemurnian
aqidah Islam seperti yang telah dilakukan oleh gerakan Wahabi di Mekah. Karena kaum tua
yang masih sangat kuat berpegang teguh pada adat menentang dengan keras terhadap gerakan
Imam Bonjol maka timbulah perang Padri yang berlangsung antara tahun 1821-1837.
Sementara itu, banyak tumbuh dan lahir gerakan pembaharuan dan pemurnian Agama Islam
di beberapa tempat di Indonesia, yang satu sama lain mempunyai penonjolan perjuangan dan
sifat yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara keseluruhan mereka mempunyai cita-cita yang
sama dan tunggal yaitu “Izzul Islam wal Muslimin” atau kejayaan Agama Islam dan Kaum
Muslimin. Di antara gerakan-gerakan tersebut adalah: Partai Sarekat Islam Indonesia,
Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al Irsyad.
Gerakan-gerakan tersebut, umumnya terbagi dalam dua golongan yaitu Gerakan Modernis
dan Gerakan Reformis. Yang dimaksud dengan Gerakan Modernis ialah gerakan yang
menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Jadi semua Gerakan Islam tersebut
dapat digolongkan sebagai gerakan Modernis. Sedangkan Gerakan Reformis, berarti di
samping gerakan ini menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya, juga berusaha
memurnikan Islam dan membangun kembali Islam dengan pikiran-pikiran baru, sehingga
Islam dapat mengarahkan dan membimbing umat manusia dalam kehidupan mereka.
Misalnya: Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al Irsyad.
Sarekat Islam dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Dan dibawah kepemimpinannya
Sarekat Islam berkembang mewnjadi sebagai organisasi besar dasn berpengaruh, anggota-
anggotanya semakin Banyak dan meliputi seluruh lapisan masyarakat dan cabang-cabangnya
berdiri dimana-mana. Tujuannya diperluas, tidak saja urusan dagang dan perekonomiannya,
melainkan lebih luas dan besar yaitu: menentang politik kolonial Belandadalam segala
seginya dengan menggunakan dasar perjuangan islam. Dengan tujuan tersebut akhirnya
Sarekat Islam memasuki bidang politik dan menginginkan suatu pemerintahan yang bebas
dari penjajahan Belanda.
Karena Sarekat Islam diselundupi oleh orang-orang komunis yang tergabung dalam
organisasi Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) pimpinan Sneevliet, seorang
kader komunis yg berasal dari negeri Belanda, akhirnya tak dapat mengelakkan diri dari
perpecacahan, dan menjadilah SI Putih SI Merah yang beraliran komunis . Sarekat Islam
Putih kemudian meningkatkan diri menjadi satu organisasi politik Partai Sarekat Islam
Indonesia yang diresmikan pada tahun 1929.
Sesungguhnya Partai Masjumi ini merupakan kelanjutan dari kegiatan politik organisasi
Islam pada akhir zaman penjajah Belanda yang dikenal dengan nama MIAI (Majlis Islam
A’la Indonesia). MIAI adalah suatu wadah federasi dari semua organisasi Islam, baik yang
bergerak dalam bidang politik praktis maupun yang bergerak dalam bidang sosial
kemasyarakatan yang didirikan pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya atas inisiatif
KH Mas Masyur (Muhammadiyah), KH Wahab Hasbullah (NU), dan Wondo Amiseno
(Sarekat Islam). Kemudian pada masa pendudukan Jepang gabungan gerakan Islam yang juga
bersifat federasi semacam MIAI ini dinamakan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi).
Pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan Pemilu, Partai Masjumi mendapatka 57 kursi di
pemerintahan. Akan tetapi karena Bung Karno termakan oleh bujukan dari Komunis sehingga
pada tanggal 17 Agustus 1960 mengeluarka Surat Keputusan (SK) Presiden Nomor 200 tahun
1960 untuk membubarkan Partai Islam Masjumi dari pusat sampai ranting di seluruh wilayah
NKRI. Pada tanggal 13 September 1960 DPP Masjumi membubarkan Masjumi dari pusat
sampai ke ranting-rantingnya.
1. MUHAMMADIYAH
Sejak tahun 1905, Kyai Haji Ahmad Dahlan telah banyak melakukan dakhwah dan
pengajian-pengajian yang berisi faham baru dalam islam dan menitik beratkan pada segi
alamiyah. Baginya, Islama adalah agama amal, suatau agama yang mendorong umatnya
untuk banyak melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan bekal
pendalaman beliau terhadap Al- Qura’an dan sunannah Nabi, sampai pada pendirian dan
tindakana yang banyak bersifat pengalaman Islam dalam kehidupan nyata.
Dari kajian – kajian Kyai Haji Ahmad Dahlan ,akhirnya timbul pertanyaan kenapa banyak
gerakan-gerakan islamyang tidak berhasil dalam usahanya? Hal ini tidak lain di sebabkan
banyak orang yang bergerak dan berjuang tetapi tidak berilmu luas serta sebaliknya banyak
orang yang berilmu akan tetapi tidak mau mengamalkan ilmunya.
Atas dasar keyakinannya itulah, Kyai Haji Ahmad Dahlan ,pada tahun 1991 mendirikan
“sekolah Muhammadiyah” yang menempati sebuah ruangan dengan meja dan papan tulis.
Dalam sekolah tersebut, di masukkan pula beberapa pelajaran yang lazim di ajarkan di
sekolah-sekolah model Barat, seperti Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu Hayat dan sebagainya.
Begitu pul;a di perkenalkan cara-cara baru dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga
lebih menarik dan lebih menyerap. Dengan murid yang tidak begitu banyak,jadilah sekolah
Muhammadiyah tersebut sebagai tempat persemaian bibit-bibit pembaruan dalam Islam
Indonesia.
Dan sebagai puncaknya berdirilah gerakan Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330
yang bertepatana dengan tanggal 18 November 1992, yang di dalam Anggaran Dasarnya
yang pertama kali bertujuan: “ Menyebarkan Pengajarn Kanjeng Nabi Muhammad SAW
kepada penduduk bumi putera,di dalam residensi yogyakarta” serta “ Memajukan hal agama
Islam kepada sekutu-sekutunya.
2. AL-IRSYAD
Dalam jami’at khair, timbul suatu perbedaan pendapat yang cukup tajam, terutama persoalan
“kafa’ah”, yaitu sah tdaknya golongan Arab keturunan Sayid (keluarga Nabi) kawin dengan
golongan lainnya. Dalam hal ini Syeh Sukarti berpendapat boleh,dan tetap kufu atau
seimbang. Ia mengemukakan alasan dengan ayat Al-Qur’an bahwa: “yang paling mulia
diantara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa” (Al Hujarat 13). Selain itu
terdapat banyak bukti bahwa para sahabat kawin satu sama lain tanpa memandang keturunan
Sayyid atau tidaknya. Ternyata pendapat ini menimbulkan ketidaksenangan golongan Arab
seketurunan dengan Syaidina Ali, keluarga Nabi, dan berakhir dengan perpecahan. Kemudian
Syekh Ahmad Sukati pada tahun 1914 mendirikan perkumpulan Al Ishlah Wal Irsyad.
Maksudnya ialah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di
Indonesia. Dan sebagai amaliyahnya berdirilah beberapa perguruan Al-Irsyad di mana-mana,
di antaranya pada tahun 1915 di jakarta. Selain itu banyak bergerak dalam bidang sosial dan
dakwah Islam dengan dasar Al-Qur’an dan sunnah Rosul secara murni dan konsekuen.
3. PERSATUAN ISLAM
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada 17 September 1923 oleh K.H. Zamzam,
seorang ulama berasal dari Palembang. Persis beeertujuan mengembalikan kaum muslimin
kepada pimpinan AL-Qur’an dan sunnah Nabi dengan jalan mendirikan madrasah-madrasah,
pesantren dan tabliqh pidato ataupun tulisan. Selain itu, menerbitkan pula majalah yang
cukup menonjol pada zamannya, yaitu “Pembela Islam” dan majalah Al Muslimin.
Persis sangat menonjol dalam usahanya memberantas segala macam bid’ah dan khufarat ,
dengan cara-cara radikal dan tidak tanggung- tanggung. Lebih-lebih setelah Persis berda
dalam kepemimpinan ustadz A. Hasan, yang terkenal tajam pena dan lidahnya menegakkan
kemurnian agama, maka Persis semakin hari semakin bertambah luas dan berkembang.
Diantara alumni pendidikan Persis yang terkemuka adalah M.Natsir, seorang tokoh
cendikiawan dan pemimpin Islam Indonesia yang juga pernah menjadi Perdana Menteri RI
dan menduduki jabatan-jabatan penting dalam Lembaga Islam International
https://immfkikumy.wordpress.com/2011/11/10/gerakan-pembaharuan-islam-di-indonesia/
PENDAHULUAN
Berabad-abad lamanya jauh sebelum agama Islam datang, di Indonesia berdiri berbagai
macam kerajaan Hindu dan Budha. Sebutlah Kutai Kartanegara, Sriwijaya, dan Majapahit,
hingga kerajaan Mataram Kuno yang menandai berakhirnya kejayaan Hindu Budha dan
munculnya kerajaan-kerajaan Islam. Menurut tarikh sejarah masa transisi ini, Majapahit dan
Mataram Kuno meninggalkan sebuah tradisi yang berperan terhadap corak perkembangan
kebudayaan Islam di Indonesia. Menurut Savitri Scherer dalam buku Mangir karya Pramudya
Ananta Toer menyebutkan bahwa kerajaan Mataram Kuno memiliki wilayah otonom
(swapraja) yang disebut dengan tanah perdikan atau republik desa. Dipimpin oleh seorang
tokoh yang bergelar Ki Ageng, tanah perdikan ini diserahi tugas untuk mengatur pendidikan
spiritual masyarakat dan juga merawat rumah ibadah. Lebih lanjut, “perdikan” Kadilangu dan
Tembayat yang berdiri di bawah payung kerajaan Islam Demak dan Pajang berubah menjadi
pemukiman “pesantren”, dari jaman pemerintahan Sultan Agung.1[1]
Berangkat melalui lingkungan pesantren inilah benih organsisasi Nahdatul Ulama mulai
ditanam, mulai dari Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar atau dikenal
juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), dan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan
kaum saudagar). Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang
bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu muncul kesepakatan dari para ulama
pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari
sebagai Rais Akbar. Dalam perkembangannya, NU kemudian menjadi salah satu organisasi
Islam yang memiliki pengaruh terhadap gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang lebih
lanjut dalam kajian ini akan dibahas bagaimana latar belakang dan napak tilas sejarah
berdirinya organisasi N.U dan bagaimana peranan N.U dalam gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia.
Penulis,
Thibburruhany
BAB I
LATAR BELAKANG
Embrio gerakan pembaharuan dalam Islam atau tajdid sebenarnya sudah sejak lama
muncul pasca periode akhir masa pemerintahan khalifah Ali bin abi-Thalib (abad 3 H), yang juga
menandai berakhirnya masa Kurafaurrasyidin dan munculnya dinasti Muawiyah, inilah yang
disebut oleh Khoiro Ummatin sebagai episode baru dalam dalam sejarah kebudayaan
Islam2[2]. Perubahan ini tidak hanya memiliki dampak terhadap peta politik Islam namun juga
berpengaruh terhadap dinamika corak pemikiran Islam dengan munculnya berbagai macam
aliran teologi Islam seperti Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, Maturidiyah, Asyariah. Perlahan namun
pasti, setelah hampir berabad-abad lamanya embrio gerakan pembaharuan Islam ini mulai
menemukan bentuk yang rigid pada pertengahan abad ke-11 H. Pada masa itu muncul seorang
tokoh bernama Muhammad bin ‘Abdul Wahab yang membawa jargon purifikasi (pemurnian)
akidah dalam gerakan dakwahnya. Tokoh inilah yang kemudian disebut beberapa penulis
sebagai mujaddid (pembaharu).
Pun-demikian, NU yang selama ini dianggap sebagai organisasi tradisional dengan basis
pesantren justru memperlihatkan gairah progresivitas berpikir, dibandingkan dengan
organisasi modern yang malah tampak stagnan dan resisten. Kitab kuning yang telah ditulis
ulama berabad-abad lalu dan dijadikan salah satu referensi utama nahdhiyin ternyata justru
membuka wawasan yang membentang luas dalam mencermati perubahan sosial. Pemahaman
agama bergerak tidak lagi secara tekstualis, tetapi kontekstual. Tentunya ini perlu dipandang
sebagai kemajuan di dalam NU. Hal ini diperkuat dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis
modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan,
dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah
berada dalam kelompok tradisonalis.7[7] Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar
juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih
modern keimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila,
pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.8[8]
A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama
Organisasi Islam Nahdatul Ulama pertama kali berdiri pada 16 Rajab 1344 H menurut
kalender Islam atau pada tanggal 31 Januari 1926 menurut penanggalan masehi. Organisasi
ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar.9[9] Latar belakang pendirian
organisasi NU ini tidak dapat dilepaskan dari faktor sosial-politik dan keagamaan yang
terjadi pada saat itu. Setidaknya ada dua latar belakang yang melatar belakangi berdirinya
organisasi ini yaitu latar belakang kebangsaan atau nasionalisme dan agama. Pertama,
adalah latar belakang kebangsaan (nasionalisme).
Kondisi bangsa Indonesia yang sedang terkungkung oleh penjajahan yang dilakukan
bangsa Belanda pada saat itu menimbulkan keterbelakangan mental dan ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia. Pada tahun 1908 muncul gerakan Kebangkitan Nasional yang
diinisiasi oleh kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui jalan
pendidikan dan organisasi.Berangkat dari gerakan ini, kalangan pesantren yang turut
berjuang melawan kolonialisme membentuk organisasi pergerakan seperti Nahdlatut
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916 yang diprakarsai oleh KH. Wahab
Hasbullah bekerjasama dengan KH. Abdul Kahar (seorang pengusaha kaya) di Surabaya dan
didukung oleh masyarakat berhasil mendirikan sebuah gedung bertingkat di kampung
Kawatan Gg. IV Surabaya yang kemudian dikenal sebagai perguruan Nahdlatul Wathon
yang berarti Pergerakan Tanah Air. Tidak berhenti sampai disitu, di tahun 1918 kalangan
pesantren mendirikan sebuah organisasi bernama Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan
Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum
dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum
Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota.10[10] Organisasi-organisasi inilah yang nantinya menjadi embrio dari lahirnya sebuah
organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama. Sekaligus menjadi titik dimana ditemukanlah
tiga pilar penting bagi NU yaitu: (1) Wawasan Ekonomi kerakyatan, (2) Wawasan Keilmuan,
Sosial Budaya, dan (3) Wawasan Kebangsaan.11[11]
Latar belakang kedua yang tidak kalah pentingnya adalah latar belakang keagamaan
dimana perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu, diantaranya
adalah pada tahun 1924, Syarif Husein raja Hijaz ( Makah ) yang berfaham Sunni (ahlus
sunah wal jama’ah) ditakluk- kan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Aliran
Wahabi ini bentuk ajarannya adalah melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum
Sunni, yang sudah berlaku di Tanah Arab dan akan menggantinya dengan model Wahabi.
Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul, maulid Nabi, ziarah kubur dan
lain sebagainya akan segera dilarang. Dan bahkan Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan
pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia
berencana meneruskan kekhilafahan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah
Usmaniyah.12[12]
Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di
Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII
atau Sarekat Islam di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut. Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan
pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres
Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh
minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap
pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi
sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan
dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya
hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan
sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite dan berbagai
organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk
membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi
perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama yang dipimpin
oleh KH. Hasyim Asy'ari. Dan untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH.
Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan
kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
B. Paham Keagamaan NU
Merujuk pada laman resmi organisasi NU, www.nu.or.id paham keagamaan NU adalah
Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Lebih lanjut :
“... Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam
itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al- Maturidi
dalam bidang teologi/ Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung
mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam
Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4
di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan
Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. ...”13[13]
C. Dinamika Nahdlatul Ulama dalam Politik Praktis
Sebagai sebuah organisasi Islam yang bergerak di bidang agama, pendidikan, sosial
budaya, ekonomi, dan politik. Dinamika yang terjadi dalam tubuh organisasi Nahdlatul
Ulama tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial-politik yang terjadi di
Indonesia. Seperti terjunnya NU kedalam politik praktis pada saat menyatakan
memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955.
NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa
Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno, dan bergabung
dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) Nasionalis diwakili Partai Nasional
Indonesia (PNI) Agama Partai Nahdhatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI).14[14]
Perjalanan NU di ranah politik praktis dilanjutkan dengan kemudian menggabungkan
diri dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 atas
“desakan” penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Hingga
pada tahun 1984, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Achmad Siddiq menarik gerbong
NU kembali ke “Khittah 1926” melalui muktamar NU di Situbondo. Diantara sikap kembali
ke khittah itu, NU menarik diri dari politik dan tak lagi menjadi bagian dari PPP. Dan
kemudian ormas keagamaan yang lebih tua 19 tahun dari usia Republik ini menjaga jarak
yang sama dengan seluruh parpol. Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai
yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang
dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR
dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu
2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
Fase-fase yang terjadi di tubuh organisasi NU ini menarik untuk diikuti sebab NU
sebagai gerakan Islam memberikan warna dan corak gerakan pembaharuan Islam yang
terjadi di Indonesia di setiap fasenya. Seperti pada saat terpilihnya tokoh NU, Abdurrahman
Wahid sebagai presiden RI. Dengan membawa semangat pluralisme, KH Abdurrahman
Wahid memberikan perubahan segar terhadap “wajah” Islam tidak hanya di Indonesia
namun juga di dunia.
BAB II
ISI
Generasi Muda NU
Generasi muda NU inilah yang memberikan corak pemikiran dan perubahan orientasi
NU dalam gerakan sosial sebagai upaya strategi pembaharuan. Sekaligus menjadi gerakan kritik
sebagai counter wacana terhadap isu-isu yang berkembang, khususnya yang menyangkut
ideologi NU. Sebuah desertasi Ahmad Ali Riyadi tentang pembaharuan yang dilakukan generasi
muda NU menunjukkan bahwa NU sebagai organisasi Islam tidak hanya terjebak pada
persoalan-persoalan teologis semata namun juga memiliki komitmen terhadap problematika
sosial politik dimana tema-tema yang diusung oleh kaum muda NU lebih menekankan terhadap
problem-problem kemanusiaan kontemporer melalui penelusuran doktrin, sejarah, dan kajian
kontemporer untuk menemukan makna Islam yang mampu menjawab persoalan kemanusiaan
sebagai upaya kontekstualisasi pemahaman agama yang diimplementasikan ke dalam gerakan
pengembangan masyarakat dengan pendekatan praktis dan teoritis. Dimana di tataran teoritis
mereka membangun teori-teori alternatif dengan apa yang disebut Islam kritis, Islam
emansipatoris, Islam liberal, dan Islam progresif.17[17] Ada tiga faktor yang melatarbelakangi
perkembangan generasi muda NU saat itu. Pertama, eksistensi pengetahuan yang
terformulasikan dalam paradigma mazhabiyyah. Tradisi ini berkembang dalam lingkup
pesantren sebagai cultural institution dan ada dalam tradisi bahtsul masail sebagai forum
diskursus intelektual. Tradisi bermazhab ini kemudian diberikan sentuhan dengan menggeser
paradigma dari bermazhab secara qawli menuju mazhab manhajiy. Kedua, kehadiran
pesantren sebagai infrastruktur cultural yang mendorong kesinambungan institusi lokal dan
tradisional tetapi di saat yang sama terbuka akan perubahan dan pengembangan. Ketiga, Kiai
yang memainkan peran tidak hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga pemimpin sosial.
Kesimpulan
Dari semua ini tergambar sebuah milestone atau napak tilas gerakan pembaharuan
Islam diawali dari terbentuknya organisasi-organisasi Islam di masa kolonialisme, berlanjut di
fase post-kolonialisme dengan terjunnya organisasi Islam di ranah politik praktis, di fase
selanjutnya muncul gerakan modernisasi yang digawangi oleh kaum puritan Islam yang
didominasi oleh kalangan Muhammadiyah, setelah itu di fase neo-modernisasi muncul
pemikiran dan pemahaman Islam progresif untuk merespon gerakan pembaruan dalam Islam
yang dilakukan oleh kaum puritan. Kemunculan pemikiran dan pemahaman Islam progresif ini
dipelopori oleh kaum muda Nahdalatul Ulama. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya gerakan
pembaharuan Islam khususnya di Indonesia tidak melihat bagaimana main idea pada sebuah
organisasi Islam, namun geliat sosial-kemasyarakatan-lah yang sebenarnya menjadi faktor
kunci terhadap perkembangan gerakan pembaharuan Islam ini baik di tingkatan teoritis
maupun praktis.
Saran
Setelah melakukan kajian ini ada beberapa hal yang patut menjadi bahan pertimbangan
baik dari segi akademis maupun agamis. Dimana gerakan pembaharuan yang dilakukan
organisasi Nahdlatul Ulama ini mengajarkan bahwa proses keilmuan dan keagamaan dapat
berjalan secara beriringan. Artinya bahwa pembelajaran melalui proses berpikir dapat
dikembangkan seluas-luasnya namun tetap berpegang teguh pada pedoman agama. Dan
pemaknaan bahwa agama sebagai pedoman hidup memiliki sifat yang fleksibel dan dinamis.
Tafsir dan intepretasi terhadap doktrin keagamaan berjalan sesuai dengan perkembangan dan
perubahan jaman.
DAFTAR PUSTAKA
‘Abduh, Muhammad, Rislah Taud, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq (Paris: t.t.p,
1925),
Achmad Hasyim Muzadi dkk, Profil dan DIrektori Nahlatul Ulama dari masa ke masa
(Jakarta: PT.Yellow Multi Media, 2009) hlm. 34-35.
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (jakarta: Rajawali, 1988) Abdullah, Taufik,
Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996),
Alfaruqi, Jabir, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah. NU, Fundamentalisme, dan
Liberalisme. harian Kompas, 28 Juli 2006
Donald Eugene Smith. Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis (Jakarta:
Rajawali Press, 1985)
Ummatin, Khoiro. Sejarah Islam dan Budaya Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi
Masyarakat. 2015. (Kalimedia: Yogyakarta)
Desertasi. Ahmad Ali Riyadi. Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama
(NU) di Indonesia 1990-2005. Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2006,
hlm. 219
http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,sejarah-.phpx, terakhir
diakses pada 1 Desember 2015
Said Aqil Siradj .NU, Tradisi dan Kebebasan Pikir, http://www.nu.or.id/, terakhir diakses
pada 5 Desember 2015