Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada abad ke XIII M agama Islam mulai masuk ke Indonesia, dan ada yang berpendapat
bahwa penyebaran Islam pertama kali dilakukan oleh para pedagang dan mubaligh dari
Gujarat-India. Sekarang jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang paling besar
dibandingkan umat Islam di negara-negara lain di dunia ini oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa umat Islam di Indonesia mempunyai peranan yang penting bagi bangsa-bangsa dan
negara-negara Islam lainnya. Lebih-lebih di Indonesia sendiri, umat Islam merupakan
mayoritas penduduk dan mereka bertebaran di segenap pelosok tanah air serta banyak yang
berkumpul dalam berbagai organisasi sosial, pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan politik.
Semenjak datangnya Islam di Indonesia yang disiarkan oleh para mubaligh khususnya di
Jawa oleh Wali Sanga atau Sembilan Wali Allah hingga berabad-abad kemudian, masyarakat
sangat dijiwai oleh keyakinan agama, khususnya Islam. Sejarah telah mencatat pula, bahwa
Islam yang datang di Indonesia ini sebagiannya dibawa dari India, dimana Islam tidak lepas
dari pengaruh Hindu. Campurnya Islam dengan elemen-elemen Hindu menambah mudah
tersiarnya agama itu di kalangan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, karena
sudah lama kenal akan ajaran-ajaran Hindu itu.
Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia adalah hasil pekerjaan dari Kaum Sufi dan
Mistik.Sesungguhnya adalah Sufisme dan Mistisisme Islam, bukannya ortodoksi Islam yang
meluaskan pengaruhnya di Jawa dan sebagian Sumatera.Golongan Sufi dan Mistik ini dalam
berbagai segi toleran terhadap adat kebiasaan yang hidup dan berjalan di tempat itu, yang
sebenarnya belum tentu sesuai dengan ajaran-ajaran tauhid.
Sebelumnya, masyarakat sangat kuat berpegang teguh pada Agama Hindu dan
Budha.Setelah kedatangan Islam, mereka banyak berpindah agama secara sukarela. Tetapi
sementara itu mereka masih membiasakan diri dengan adat kebiasaan lam, sehingga
bercampur-baur antara adat kebiasaan Hindu-Budha dengan ajaran Islam.
Terpuruknya nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi internal Islam yang
tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai satu kesatuan ilmu yang harus
diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan
secara komprehensif oleh barat yang pada masa lalu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses pembaharuan
Islam. Pertama faktor internal yaitu, faktor kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat
memerlukan satu system yang betul – betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak
manusia – manusia muslim yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua
faktor eksternal adanya kontak Islam dengan barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa
kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa perubahan
phragmatik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada barat, sehingga
ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa terminimalisir.
Dalam makalah ini, kami akan membahas pembaharuan islam di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Priode Pendidikan Islam Di Indonesia?
2. Bagaimana Pembaharuan Pendidikan Di Indonesia?
3. Bagaimana Gerakan Pembaharuan Islam Di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Priode Pendidikan Islam Di Indonesia


1. Pendidikan Islam Di Indonesia Pada Tahun 1899-1930
Pendidikan Islam di Indonesia sebelum tahun 1900 masih bersifat halaqoh (nonklasikal).
Selain itu madrasah-madrasah tidak besar sehingga kita tidak menemukan sisa-sisanya. Salah
satu pesantren yang berdiri sebelum tahun 1900 yaitu pesantren Tebuireng yang didirikan K.H
Hasyim Asy’ari.
Tokoh-tokoh Islam Indonesia yang mendirikan pesantren merupakan Alumni-alumni
dari Mekkah . Mereka bersamaan naik haji dan tinggal beberapa tahun untuk belajar mendalami
ilmu agama setelah tamat mereka kembali ke Indonesia membawa warna baru bagi pendidikan
Islam . Tokoh tersebutlah yang mendirikan pesantren seperti pesantren Tebuireng yang dirikan
oleh KH. Hasyim ‘Asy’ari, pesantren Al-Mushatafiyah Purba baru Tapanuli selatan yang
dirikan oleh Syaik Mustafa Husein tahun 1913.[1]
Dalam sejarah Minangkabau terdapat ulama besar dan termasyhur ialah syekh
Burhanuddin murid dari Syekh Abdul-Rauf Singkil ( Aceh) yang telah mendirikan Surau di
Ulakan Pariaman. Beliau ini yang mengembangkan Pendidikan agama Islam di daerah
Minangkabau.
Metodologi pengajaran masih didominasi oleh system sorogan, dimana guru membaca
buku yang berbahasa Arab dan menerangkan dengan bahasa daerah kemudian murid-murid
mendengarkan. Selain itu evaluasi belajar sangat kurang diperhatikan, hal ini didiga karena
tujuan belajarnya lillahi ta’ala.
Secara umum kurikulum lembaga pendidikan Islam tahun 1930 meliputi ilmu-ilmu ;
bahasa Arab dengan tata bahasanya fiqh, akidah, akhlak dan pendidikan. Sarana pendidikan
yang dipergunakan masjid dan madrasah ( kelas). Kelas tidak diukur dari hasil evaluasi tapi
kelas menurut tahun masuk atau periodisasi. Tidak ada istilah kenaikan kelas, begitu 6 tahun
atau 7 tahun mereka dianggap sudah tamat dan berhak untuk mengajar.
Bahwa pendidikan pada masa sebelum tahun 1900 merupakan masa tradisional dalam
system pendidikan Islam di Indonesia. Masa tersebut belum adanya pembaharuan tentang
system pendidikan baik pada kurikulum, kitab-kitab yang masih banyak menggunakan tulisan
tangan manusia dan metode pengajaran yang mengunkan system bandungan dan halaqah dalam
proses belajar mengajar.[2]
2. Pendidikan Islam di Indonesia pada tahun 1931-1945
Menurut Mahmud yunus dimana dimulainya modernisasi pendidikan Islam di Indonesia
di mulai dari tahun 1931 lembaga pendidikan Islam Indonesia memasuki warna baru.
Pembaharuan pendidikan Islam Indonesia di rintis oleh para alumni-alumni yang belajar di
negara timur tengah khususnya Mekkah.
Pengaruh pendidikan modern sangat mendapat respon positif, karena banyak lembaga
pendidikan yang menganut system modern seperti Kulliah Mu’allimin Islamiyah yang berdiri
pada tahun 1931 Pimpinan Mahmud yunus. Selain itu Pondok Modern Darussalam Gontor
ponorogo pimpinan K.H Imam Zarkasyi sudah mengikuti kurikulum dan system
pendidikanNormal sebelumnya masih secar tradisional.
Selain pengetahuan umum sebagai pembaharuan dalam periode ini, selain itu juga
pembaharuan dalam bidang metodologi misalnya Mahmud Yunus menerapkan tariqah al-
mubasyirah dalam belajar bahasa Arab, dan metodologi pengajaran setiap bidang studi sangat
variatif. Adapun evaluasi sudah menjadi alat ukur keberhasilan siswa.
Menurut Imam Zarkasyi pengaruh pembaharuan pada masa ini terhadap masyarakat,
yakni wawasan keislaman umat Islam semakin luas, pola pikir semakin rasional, alumni
pesantren dapat melanjutkan pendidikan ke universitas baik dalam maupun luar negeri.
Awal abad ke-20 merupakan masa pembaharuan model dan system pendidikan Islam di
Indonesia. Pembaharuan tersebut berasal baik dari kaum reformis Muslim sendiri maupun dari
pemeritahan kolonial Belanda.[3]
B. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia
Pembaharuan yang mengandung pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah
paham,adat istiadat, instituisi lama dan sebagainya, agar semua itu dapat disesuaikan dengan
pendapat-pendapat dan keadaan baru yang timbul oleh tujuan ilmu pengetahuan serta teknologi
modern. Modernisasi atau pembaharuan juga berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas
mental sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masyarakat
kini.Modernisasi merupakan proses penyesuaian pedidikan Islam dengan kemajuan zaman.
Latar belakang danPola-pola pembaharuan dalam Islam, khususnya dalam pendidikan
mengambil tempat sebagai : 1) golongan yang berorentasi pada pola pendidikan modern barat,
2) gerakan pembaharuan pendidikan Islam yang berorentasi pada sumber Islam yang murni
dan 3) pembaharuan pendidikan yang berorentasi pada nasionalisme.
Modernisasi pendidikan Islam Indonesia masa awalnya dikenalkan oleh bangsa kolonial
Belanda pada awal abad ke-19. Program yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda dengan
mendirikan Volkshoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa ( Nagari) dengan masa belajar
selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871
terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang
1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid.
Point penting eksprimen Belanda dengan sekolah nagari terhadap system dan
kelembagaan pendidikan Islam adalah tranformasi sebagian surau di Mingkabau menjadi
sekolah nagari model Belanda. Memang berbeda dengan masyarakat muslim jawa umumnya
memberikan respon yang dingin, banyak kalangan masyrakat muslim Minangkabau
memberikan respon yang cukup baik terhadap sekolah desa. Perbedaan respon masyarakat
Muslim Minangkabau dan jawa banyak berkaitan dengan watak cultural yang relatif berbeda,
selain itu juga berkaitan dengan pengalaman histories yang relatif berbeda baik dalam proses
dan perkembangan Islamisasi maupun dalam berhadapan dengan kekuasaan Belanda.
Selain itu perubahan atau modernisasi pendidikan Islam datang dari kaum reformis atau
modernis Muslim. Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejal abad 20
berpendapat, diperlukan reformasi system pendidikan Islam untuk mempu menjawab
tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.
Respon system pendidikan Islam tradisional seperti suaru (Minangkabau) dan Pesantren
(Jawa) terhadap modernisasi pendidikan Islam menurut Karel Steenbrink dalam kontek surau
tradisional menyebutnya sebagai menolak dan mencontoh, dalam kontek pesantren sebagai
menolak sambil mengikuti. Untuk itu, tak bisa lain dalam pandangan mereka, surau harus
mengadopsi pula beberapa unsure pendidikan modern yang telah diterapkan oleh kaum
reformis, khususnya system klasikal dan penjejangan, tanpa mengubah secara signifikan isi
pendidikan surau itu sendiri.
Selain respon yang diberikan oleh pesantren di jawa, komunitas pesantren menolak
asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat tertentu mereka pasti mengikuti
langka kaum reformis, karena memiliki manfaat bagi para santri, seperti system penjenjangan,
kurikulum yang lebih jelas dan system klasikal. Pesantern yang mengikuti jejak kaum reformis
adalah pesanteren Mambahul ‘ulum di Surakarta, dan di ikuti oleh pesantren Modern Gontor
di Ponorogo. Pondok tersebut memasukan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam
kurikulumnya, juga mendorong santrinya untuk memperlajari bahasa Inggris selain bahasa
Arab dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra kurikuler seperti olah raga, kesenian dan
sebagainya.
Sistem Pendidikan Islam pada mulanya diadakan di surau-surau dengan tidak berkelas-
kelas dan tiada pula memakai bangku, meja, dan papan tulis, hanya duduk bersela saja.
Kemudian mulialah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang
mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah Sekolah Adabiah
(Adabiah School) di Padang.
Adabiah School merupakan madrasah (sekolah agama) yang pertama di Minangkabau,
bahkan diseluruh Indonesia. Madrasah Adabiah didirikan oleh Almarhum Syekh Abdullah
Ahmad pada tahun 1909. Adabiah hidup sebagai madrasah sampai tahun 1914, kemudian
diubah menjadi H.I.S. Adabiah pada tahun 1915 di Minangkabau yang pertama memasukkan
pelajaran Agama dalam rencana pelajarannya. Sekarang Adabiah telah menjadi sekolah Rakyat
dan SMP.
Setelah berdirinya madrasah Adabiah, maka selanjutnya diikuti madrasah lainnya seperti
madras Schol di Sungyang ( daerah Batusangkar) oleh Syekh M.Thaib tahun 1910 M, Diniah
School ( madrasah diniah) oleh Zainuddin Labai Al-Junusi di Padangpanjang tahun 1915.
Di antara guru Agama banyak juga mengarang kitab-kitab untuk madrasah ialah 1)H.
Jalaluddin Thaib, seperti kitab jenjang bahasa arab 1-2, Tingkatan bahasa arab 1-2, Tafsir Al-
Munir 1-2, ( 2) Anku Mudo Abdul hamid Hakim, seperti kitab: Al-Mu’in Al-Mubin 1-5, As-
Sullam, Al-Bayan Tahzibul akhlaq, ( 3) Abdur-Rahim Al-Manafi seperti kitab : Mahadi ‘ilmu
Nahu, Mahadi ilmu Sharaf, Al-Tashil, Lubahul Fighi, Al-Huda, Asasul adab.
Ulama-ulama yang mengadakan perubahan dalam pendidikan Islam di Minangkabau
adalah 1) syekh Muhd. Thaib Umar Sungayang, batu sangkar tahun 1874-1920 M. 2) Syekh
H.Abdullah Ahmad, Padang tahun 1878 M-1933M, 3) Syekh H. Abdul karim Amrullah,
Maninjau 1879-1945 M, 4) Syekh H.M. Jamil Jambek bukittinggi 1860-1947, 5) dan lain-lain.
Surau –surau yang termashur di Minangkabau adalah sebagai berikut ; 1) Surau Tanjung
Sungyang didirikan oleh Syekh H.M Thaib Umar pada tahun 1897 M dan masih hidup sampai
sekarang dengan nama Al-Hidayah dan SMPI, PGA., 2) Surau Parabek, bukittinggi didirikan
oleh Syekh H. Ibrahim Musa pada tahun 1908 M. dan masih hidup sampai sekarang dengan
nama Thawalib, 3) Surau padang Japang didirikan oleh Syekh H. Abbas Abdullah pada tahun
… dan masih hidup sampai sekarang dengan nama Darul funun Abbasiah, 4) dan lain-lain.
Tentang keadaan pendidikan Islam di Minangkabau pada masa beberapa tahun sebelum
tahun 1900. dilukiskan dalam skema pendidikan Islam.
Melihat keadaan di lapangan bahwa pengamalan agama Islam di Indonesia yang masih
banyak bercampur dengan tradisi Hindu-Budha tersebut dan jelas sekali merusak kemurnian
ajarannya, maka tampillah beberapa ulama mengadakan pemurnian dan pembaharuan faham
keagamaan dalam Islam.Pada mulanya lahir Gerakan Padri di daerah Minangkabau yang
dipelopori oleh Malim Basa, pendiri perguruan di Bonjol, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Imam Bonjol.Sejak kembali dari Mekah, Imam Bonjol melancarkan pemurnian aqidah
Islam seperti yang telah dilakukan oleh gerakan Wahabi di Mekah.Karena kaum tua yang
masih sangat kuat berpegang teguh pada adat menentang dengan keras terhadap gerakan Imam
Bonjol maka timbulah perang Padri yang berlangsung antara tahun 1821-1837.
Pemerintahan Kolonial Belanda, sesuai dengan politik induknya “Devide et empera”
akhirnya membantu kaum adat untuk bersama-sama menumpas kaum pembaharu. Sungguh
pun kaum militer Padri dapat dikalahkan, tetapi semangat pemurnian Islam dan kader-kader
pembaharu telah ditabur yang kemudian pada kenmudian hari banyak meneruskan usaha dan
perjuangan mereka. Diantaranya, Syekh Tohir Jalaludin, setelah kembali dari Mekah dan Mesir
bersama-sama dengan Al Khalili mengembangkan semangat pemurnian Agama Islam dengan
menerbitkan majalah Al Imam di Singapura.
Pada saat itu juga, di Jakarta berdiri Jami’atul Khair pada tahun 1905, yang pada
umumnya beraggotakan peranakan Arab.Organisasi Jami’atul Khair ini dinilai sangat penting
karena dalam kenyataanya dialah yang memulai dalam bentuk organisasi dengan bentuk
modern dalam masyarakat Islam (dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-
rapat berkala) dan mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah
modern. Di bawah pimpinan Syekh Ahmad Soorkati, Jami’atul Khair banyak mengadakan
pembaharuan dalam bidang pengajaran bahasa Arab, pendidikan Agama Islam, penyiaran
agama, dan banyak berusaha mewujudkan Ukhuwah Islam.
Sementara itu, banyak tumbuh dan lahir gerakan pembaharuan dan pemurnian Agama
Islam di beberapa tempat di Indonesia, yang satu sama lain mempunyai penonjolan perjuangan
dan sifat yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara keseluruhan mereka mempunyai cita-cita yang
sama dan tunggal yaitu “Izzul Islam wal Muslimin” atau kejayaan Agama Islam dan Kaum
Muslimin. Di antara gerakan-gerakan tersebut adalah: Partai Sarekat Islam Indonesia,
Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al Irsyad.
Gerakan-gerakan tersebut, umumnya terbagi dalam dua golongan yaitu Gerakan
Modernis dan Gerakan Reformis.Yang dimaksud dengan Gerakan Modernis ialah gerakan
yang menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya.Jadi semua Gerakan Islam tersebut
dapat digolongkan sebagai gerakan Modernis. Sedangkan Gerakan Reformis, berarti di
samping gerakan ini menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya, juga berusaha
memurnikan Islam dan membangun kembali Islam dengan pikiran-pikiran baru, sehingga
Islam dapat mengarahkan dan membimbing umat manusia dalam kehidupan mereka. Misalnya:
Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al Irsyad.[4]

C. Gerakan Pembaharuan Islam


1. Gerakan Polotik Islam
a. Partai Serikat Islam Indonesia
Sebelum menjadi Sarikat Islam, pada mulanya berasal organisasi dagang yang bernama
Sarekat Dagang Islam. Didirikan pada 1911 oleh seorang pengusaha batik terkenal di Sala,
yaitu Haji Samanhudi.Anggota-anggotanya terbatas pada para pengusaha dan pedagang batik,
sebagai usaha untuk membela kepentingan mereka dari tekanan politik Belanda dan monopoli
bahan-bahan batik oleh para pedagang Cina.Kemudian akibat pelarangan terhadap Sarekat
Dagang Islam oleh Residen Surakarta, maka pada 1912 kedudukannya dipindah ke Surabaya
dan namanya pun berganti menjadi Sarekat Islam.
Sarekat Islam dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Dan dibawah
kepemimpinannya Sarekat Islam berkembang mewnjadi sebagai organisasi besar dan
berpengaruh, anggota-anggotanya semakin Banyak dan meliputi seluruh lapisan masyarakat
dan cabang-cabangnya berdiri dimana-mana. Tujuannya diperluas, tidak saja urusan dagang
dan perekonomiannya, melainkan lebih luas dan besar yaitu: menentang politik kolonial
Belandadalam segala seginya dengan menggunakan dasar perjuangan islam. Dengan tujuan
tersebut akhirnya Sarekat Islam memasuki bidang politik dan menginginkan suatu
pemerintahan yang bebas dari penjajahan Belanda.
Karena Sarekat Islam diselundupi oleh orang-orang komunis yang tergabung dalam
organisasi Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) pimpinan Sneevliet, seorang
kader komunis yg berasal dari negeri Belanda, akhirnya tak dapat mengelakkan diri dari
perpecacahan, dan menjadilah SI Putih SI Merah yang beraliran komunis . Sarekat Islam Putih
kemudian meningkatkan diri menjadi satu organisasi politik Partai Sarekat Islam Indonesia
yang diresmikan pada tahun 1929.
b. Partai Islam Majmumi
Partai Islam Masjumi berdiri pada tanggal 7 November 1945 sebagai hasil keputusan
Muktamar Umat Islam Indonesia I yang berlangsung di Yogyakarta (Gedung Madrasah
Mualimin Muhammadiyah) pada tanggal 7-8 November 1945. Kongres ini dihadiri oleh
hampir semua tokoh dari berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta pada masa
pendudukan Jepang, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam, al-Wasliyah,
Persis, al-Irsyad, serta tokoh intelektual muslim yang pada zaman Belanda aktif dalam Jong
Islamiten Bond dan Islam Study Club dan sebagainya. Dalam kongres tersebut disepakati dan
diputuskan untuk mendirikan Majlis Syura Pusat bagi umat Islam Indonesia.
Sesungguhnya Partai Masjumi ini merupakan kelanjutan dari kegiatan politik organisasi
Islam pada akhir zaman penjajah Belanda yang dikenal dengan nama MIAI (Majlis Islam A’la
Indonesia). MIAI adalah suatu wadah federasi dari semua organisasi Islam, baik yang bergerak
dalam bidang politik praktis maupun yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan yang
didirikan pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya atas inisiatif KH Mas Masyur
(Muhammadiyah), KH Wahab Hasbullah (NU), dan Wondo Amiseno (Sarekat Islam).
Kemudian pada masa pendudukan Jepang gabungan gerakan Islam yang juga bersifat federasi
semacam MIAI ini dinamakan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi).
Partai Masjumi yang mencanangkan tujuannya dengan rumusan “Terlaksananya syari’at
Islam dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia” dalam
kiprah politiknya sepanjang masa hidupnya, baik dalam bentuk program maupun kebijakan-
kebijakan partai menampakan sikap yang tegar, istiqomah, konsisten terhadap prinsip-prinsip
Islam yang bersumber pada Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Politik yang dianut oleh Partai Masjumi adalah politik yang menggunakan parameter
Islam, artinya bahwa semua program atau kebijakan partai harus terukur secara pasti dengan
nilai-nilai Islam. Ungkapan bahwa politik itu kotor, menurut keyakinan Partai Masjumi tidak
mungki terjadi manakala sikap, langkah, dan pola perjuangannya selalu berada di atas prinsip-
prinsip ajaran Islam. Masjumi mengakui terhadap realitas yang terjadi di tengah-tengah arena
politik bahwa politik itu memang kotor, kalau politik itu didasarkan pada “politik bebas nilai”
atau politik yang diajarkan oleh Nicollo Machiavelli bahwa “tujuan menghalalkan semua
cara”. Politik Islam sebagaimana yang dianut oleh Partai masjumi adalah politik yang
mengharamkan tujuan yang ditempuh dengan semua cara. Islam mengajarkan bahwa “Tujuan
yang baik harus dicapai dengan cara-cara yang baik pula”.
Pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan Pemilu, Partai Masjumi mendapatka 57 kursi
di pemerintahan. Akan tetapi karena Bung Karno termakan oleh bujukan dari Komunis
sehingga pada tanggal 17 Agustus 1960 mengeluarka Surat Keputusan (SK) Presiden Nomor
200 tahun 1960 untuk membubarkan Partai Islam Masjumi dari pusat sampai ranting di seluruh
wilayah NKRI. Pada tanggal 13 September 1960 DPP Masjumi membubarkan Masjumi dari
pusat sampai ke ranting-rantingnya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari gerakan pembaharuan islam di indonesia ini kita mengetahui bahwa pengalaman
agama islam di indonesia masih banyak bercampur dengan Hindu-Budha, Dan jelas sekali
kemurnian ajarannya. Dari gerakan pembaharuan islam di indonesia Tujuannya diperluas,
Tidak saja urusan dengan perekonomian melainkan lebih luas dan besar yaitu menentang
politik kolonil belanda dalam segala seginya dengan menggunakan dasar perjuangan islam,
Sedangkan gerakan sosial kemasyarakatan islam ini menjelaskan tentang Muhammadiyah, Al-
irsyad, dan persatuan islam.

B. Saran
Dari makalah yang kami paparkan bahwa kami sedikit mengambil memberikan saran bagi
yang sempat membaca makalah ini agar bisa mengambil hikmah dari sebuah cerita awal
kelahiran islam di indonesia,di mana pada jaman dahulu Imam bonjol melancarkan kemurnian
Aqidah islam seperti yang dilakukan oleh gerakan wahabi, Karena kaum tua yang sangat
kuat,dan pastinya makalah ini belum sepurnah oleh karna itukami minta partisipasiteman-
teman untuk menyempurnakan makalah ini,sekian dan terimah kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam kurun Modern, Jakarta ;
Pustaka LP3ES, 1994, Cet. Ke 2.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan Pertengahan, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004
Azyurmadi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milinium Baru, Jakarta : Logos
1990.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia ; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan
perkembangan, Jakarta : lembaga studi Islam dan Kemasyarakatan, 1995, Cet. Ke-1
http://langitjinggadipelupukmatarumahmakalah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-pembaharuan-
islam-di-indonesia.html

LATAR BELAKANG MASALAH


Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW saat ini sudah berusia kurang lebih empat
belas abad, yakni sejak abad VII hingga abad XX ini. Dalam perjalanan sejarahnya yang
panjang itu islam yang bersumber pada al-quran dan al-hadist telah dipahami oleh para
penganutnya memiliki latar belakang social, cultural, politik, pendidikan, kecendrungan,
kecerdasan, disiplin, aliran dan sebagainnya yang berbeda-beda. Berbagai keragaman latar
belakang yang dimiliki para penganutnya itu ternyata telah digunakan untuk memahami Al-
Quran dan As-Sunnah. Dari sinilah islam dalam kenyataan empiris lahir dalam sosok dan wajah
yang amat fariatif, walaupun sumbernya sama yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam makalah ini akan disuguhkan tentang pembaruan islam yang terjadi di Indonesia
dan gerakan-gerakan yang muncul sebagai dampak dari pembaruan itu.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pembaruan Islam di Indonesia?


2. Gerakan-gerakan apa yang muncul dari pembaruan isalam?
3. Apa perbedaan NU dan Muhammadiyah?

C. TUJUAN MASALAH
1. agar kita mengetahui pembaruan Islam di Indonesia.
2. agar kita mengetahui gerakan yang muncul di pembaruan Islam.
3. agar kita mengetahui perbedaan organisasi terbesar di Indonesia yang meliputi NU dan
Muhammadiyah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembaharuan Islam di Indonesia


Sejak abad ke-20, gerakan pembaruan pemikiran di dunia Islam terjadi secara massif
(besar-besaran) dengan munculnya tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi terkemuka di
berbagai negara, seperti Mesir, Iran, Pakistan (India), dan Indonesia. Gagasan pembaruan
tersebut dimunculkan melalui istilah dan aksentuasi yang berbeda, antara lain tajdid (renewal,
pembaruan) dan ishlah (reform, reformasi), baik yang bertendensi puritanistik dari segi ajaran
maupun revivalistik dari segi politik.
Ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di
Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin
diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh
ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah),
Ahmad Surkati (Al-Irshad), Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di
Mekkah dan berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari
Mesir. Tokoh lainnya seperti Tjokroaminoto (Sarekat Islam) juga dikenal menggali inspirasi
gerakannya dari ide-ide pembaharuan Islam di anak benua India.Sekalipun demikian, Karel
Steenbrink menyatakan keraguannya pada adanya pengaruh pemikiran Muhammad Abduh
kedalam konstruk gerakan Islam Indonesia modern.
Ide-ide pembaharuan Islam dari luar yang masuk ke Indonesia dengan demikian dapat dibaca
berlangsung secara berproses setidaknya melalui 3 (tiga) jalur:
1. Jalur haji dan mukim, yakni tradisi (pemuka) umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah
haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu
keagamaan atau pengetahuan lainnya. Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian
juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah mereka di tanah air. Dari hasil observasi
C.S. Hurgronje terhadap komunitas muslim dari Jawa yang bermukim di Mekah pada tahun
1884-1885 M, menyebutkan bahwa kurikulum yang dipelajari mereka di sana antara lain
teologi, fikih, ilmu bahasa dan sastra Arab, aritmatika yang berguna untuk perhitungan fara’id
(ilmu waris) dan juga ilmu falak dengan metode hisab. Masyhur dalam sejarah bahwa K.H.
Ahmad Dahlan yang menguasai ilmu falak mempergunakan metode hisab (bukan lagi dengan
ru’yat) untuk menentukan waktu awal puasa atau jatuhnya hari raya Ied, yang ketika itu
memperoleh penentangan kuat dari ulama setempat yang masih berfaham tradisionil;
2. Jalur publikasi, yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan
Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut
kemudian menarik muslim nusantara untuk mentransliterasikannya ke dalam bahasa lokal,
seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura. Di Sumatera
Barat juga terbit al-Munir yang sebagian materinya disadur K.H. Ahmad Dahlan kedalam
bahasa Jawa agar mudah dikonsumsi anggota masyarakat yang hanya menguasai bahasa ini;
3. Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah. Menurut Achmad Jainuri, para
pemimpin gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni
pendidikan Mekah. Alumni pendidikan Mesir yang terlibat dalam gerakan pembaharuan ini
rata-rata baru muncul sebagai generasi kedua.
Patut dicatat disini bahwa faktor domestik seperti proyek pendidikan yang diterapkan
pemerintah kolonial Belanda ketika itu telah menunjukkan implikasi nyata berupa kemunculan
kaum pribumi terpelajar.Dimana golongan inilah yang peka terhadap isu-isu pembaharuan.
Namun secara umum sebagaimana diutarakan oleh Alfian, kelahiran dan perkembangan
pembaharuan Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap hal-hal berikut ini:
 Kemunduran Islam sebagai agama karena praktek-praktek penyimpangan;
 Keterbelakangan para pemeluknya; dan
 Adanya invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat.
Dengan kian massifnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah
masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam
di Indonesia menurut Achmad Jainuri di klompokan sebagai berikut:
 Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi
(pembaratan) dengan mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan
melestarikan tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari
kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan;
 Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan
kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam
berinteraksi dengan perkembangan zaman;
 Radikal-puritan, seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka
enggan memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka
lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga
mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan,
menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di
Turki.

B..Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia.

Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam di Indonesia menunjukkan


dinamika yang kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam banyak bentuk bermunculan seperti
organisasi massa, partai politik dan lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah
(ornop). Ini tentu tidak terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta
kebebasan berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang.Sesungguhnya kita bisa melihat dari
berbagai sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark Woodward (2001)
misalnya mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde baru ke dalam lima
kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar
sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.

Pertama adalah indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam
yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka
lebih mengikuti aturan-aturan lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel
dengan apa yang disebut Clifford Geerts sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa.
Kedua adalah kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran
Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri karena disamping ia
memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan
di pedesaan, hubungan guru murid yang khas.
Kelompok ketiga adalah Islam modernis.Mereka terutama berbasis pada
Muhammadiyah.Sasaran utamanya adalah pelayanan sosial seperti pendidikan dan
kesehatan.Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik.

Keempat adalah islamisme atau islamis. Gerakan ini tidak hanya mengusung Arabisme
dari konseruatisme tetapi juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak
heran jika jihad dan penerapan syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini.

Kelompok kelima adalah neo-modernisme Islam.Ia lebih dicirikan dengan gerakan


intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Mereka berasal dari berbagai
kelompok termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis.Kelompok ini sangat
kritis terhadap penerapan syariah Islam tanpa perubahan dan kritik terhadap doktrin terlebih
dahulu, serta membela kesetaraan perempuan, pluralisme dan toleransi.

Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi Islam di Indonesia itu merupakan dampak
dari pengembangan pemikiran khususnya dalam dinamika intelektual yang diorientasikan
kepada pembangunan kebangsaan.Satu hal yang mestinya sadari bahwa semakin banyaknya
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini sebenarnya
dapat menjadi kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia.

3. Perbedaan Organisasi Islam Terbesar Di Indonesia.


A. NU
Secara resmi, NU (Nahdhatul Ulama) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di kota Surabaya.
Latar belakang berdirinya, mempunyai akar sejarah yang panjang. Dua tokoh penting yang
telibat di dalamnya adalah K. H. Hasyim Ay’ari dan K.H. Wahab Hasbullah.
Sejarah berdirinya NU, bermula dari suatu kelompok diskusi taswir al-afkar (potret
pemikiran) yang dibentuk oleh K.H. Wahab Hasbullah bersama rekannya K. H. Mas Mansur.
Dari kelompok diskusi inilah kemudian dibentuk organisasi yang diberi nama jam’iyah nahdha
al-wathan (perkumpulan kebangkitan tanah air). Organisasi ini, bertujuan untuk mem-perluas
dan mempertinggi mutu pendidikan madrasah.

Pada tanggal 21-27 Agustus 1925, diadakan kongres al-Islam ke-4 di Yogyakarta, yang
membahas tentang “pemurnian ajaran Islam” dan masalah khilafah. Disebabkan posisi yang
tidak mengutungkan, dan dengan maksud untuk tetap mempertahankan terpeliharanya praktek-
praktek keagamaan tradisional, seperti ajaran-ajaran mazhab yang empat, pemeliharaan
kuburan Nabi dan keempat sahabatnya di Madinah, maka lalu dibentuklah suatu komite yang
diberi nama “Komite Merembuk Hijaz”. Komite inilah, yang kemudian pada tahun berikutnya,
berubah nama menjadi “Nahdlatoel Oelama” (Nahdlatul Ulama) yang disingkat menjadi
“NU” dan diketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ary.
Dalam skala nasional, saham NU sangat banyak di saat pra dan detik-detik
kemerdekaan RI. Diterimanya Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar konstitusi negara RI
merupkan sebuah perjanjian luhur bangsa yang tidak lepas dari peran nasionalis dan pemuka
NU. NU telah berhasil melakukan sebuah transformasi besar-besaran, khususnya di bidang
sosial dan budaya. Tidak dipungkiri lagi, bahwa mainstream ke-Indonesia-an adalah ke-NU-
an.
Selepas proklamasi kemerdekaan, orientasi NU lebih terkonsetrasikan pada
transformasi bidang sosial-politik. Jasa para kiyai dan warga NU dalam perang kemerdekaan,
sangat memberi andil bagi kelangsungan negara RI. Begitu juga keberadaan NU sebagai
sebuah parpol pada pemilu tahun 1955. Era transformasi bidang sosial politik ini, berakhir saat
NU memutuskan kembali ke khittah 1926, pada Muktamar NU-27 tahun 1984 di Situbondo.
Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka transformasi bidang sosial-ekonomi.

Lebih dari itu, di era reformasi multi partai, tidak terjunnnya NU ke kancah politik praktis juga
memainkan peran strategis bagi kontituitas bangsa dan negara melalui pemerintah. Juga secara
politis, warga NU semakin leluasa menyalurkan aspirasi politiknya dalam wadah partai yang
lahir dari NU, yakni PKB. Karena itu, bila PKB berkemelut, maka dengan segera PBNU
mengeluarkan tawshiyah. Jadi, bukan berarti bahwa peran ulama NU termarginalisasikan,
karena posisinya itu justeru di atas para politisi, khususnya politisi nahdliyin (pengikut NU).

Di samping masalah kenegaraan secara internal, NU juga kelihatannya senantiasa


mengambil peran dan memberi solusi terbaik bagi negara-negara lain secara eksternal,
terutama negara-negara Islam. Cabang-cabang NU, memang eksis juga di luar negeri.
Sekarang, PCNU Arab Saudi, diketuai Ir. A. Fuad Abdul Wahab. PCNU Cabang Mesir,
diketuai Bukhari Sail, Lc. PCNU Cabang Syiria, diketuai Muflih Sabhan; PCNU Malaysia,
diketuai K.H. Fawaid As’ad. PCNU Tunisia, diketua H. Yazid al-Butoniy, lc. Bahkan, di
sejumlah negara-negara Barat juga telah dibuka cabang. Ketua PCNU Inggris, yang barusaha
terpilih adalah Eddiyanto.

Dalam hal itu untuk menegaskan prinsip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim
Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab
I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.Kedua kitab tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar dan
rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

1. Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah wal jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan
tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu
sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an dan sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari
pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang
teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti salah satu mazhab seperti imam Syafi'i
Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-
Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

2. Usaha Organisasi
 Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan
yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
 Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam,
untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti
dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di
berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
 Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
 Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil
pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. Hal ini ditandai
dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu
masyarakat.

3. Gerakan NU
NU sebagai organisasi masa Islam, sampai sekarang masih menjadi bahasan yang
menarik di dunia akademik. Banyak peneliti asing yang tertarik dengan NU, di antaranya
Martin van Bruinessen , Greg Barton, Greg Fealy, Ben Anderson, Mitsuo Nakamura dan lain
sebagainya. Mereka tertarik kultur NU dengan ketradisionalannya yang dianggap eksotik.
Berbeda dengan aliran Islam lainnya, NU sangat menghargai tradisi dan kebudayaan
setempat.Para peneliti ini mengikuti penelitian Antropologis yang sebelumnya pernah
dilakukan.Mereka adalah Clifford Gertz, Andrew Beautty, Mark R. Woodward, Robert Hefner
dan antropolog lainya yang memfokuskan pada agama Jawa.Karya-karya yang dihasilkan oleh
para peneliti ini hingga sekarang cukup populer dan selalu menjadi rujukan di dunia akademis
baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Dalam konteks seperti ini, NU menjadi obyek penelitian. Para peneliti inilah yang
memiliki otoritas untuk merepresentasikan NU, baik itu berupa sejarah, komunitas, perilaku,
dan masa depan NU. Sebagai obyek penelitian, tentunya NU sama sekali tidak memiliki
otoritas dalam merepresentasikan dirinya. Hasil-hasil penelitian beberapa peneliti ini, bukan
tidak berdampak pada perkembangan Islam di Indonesia. Kita perlu menyadari bersama bahwa
peneliti Barat bukan hanya sekedar meneliti atas nama pengetahuan belaka. Mereka datang
untuk meneliti sekaligus membuat bangunan epistemologi gerakan Islam.Sehingga wajar jika
gerakan Islam di Indonesia semakin bias kepentingan.

B. Muhammadiyah
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi masa islam dan organisasi dakwah amar
ma’ruf nahi munkar yang berakidah islam dan bersumber pada Al quran dan sunnah. Secara
etimologis nama ini berasa dari kata Muhammad, yaitu nama Rasulullah SAW yang ditambah
ya’ nisbah dan ta’ marbutoh yang berarti “pengikut Nabi Muhammad Saw”.
KH.Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) Ada beberapa alasan yang dikemukakan
kalangan muhammadiyah yang menjadi faktor didirikannya organisasi ini oleh KHA. Dahlan
:
 Ia melihat bahwa umat islam tidak memegang teguh alquran dan sunnah sehingga akhlak
masarakat runtuh karena sirik merajalela.
 Lembaga pendidikan agama pada waktu itu tidak efisisen. Pesantren yang menjadi lembaga
pendidikan kalangan bawah, pada waktu itu dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan masarakat.
Pada waktu itu pendidikan di indonesia telah terpecah menjadi dua yaitu pendidikan sekuler
yang dikembangkan belanda dan pendidikan pesantren.
 Kemiskinan menimpa rakyat indonesia, terutama umat islam yang sebagian besar adalah
petani dan buruh.
 Aktivitas misi katolik dan protestan sudah giat beroperasi sejak awal abad 19 dan bahkan
sekolah misi mendapat subsidi dari pemerintah hindia belanda.
1. Aktivitas Muhammadiyah.
Untuk merealisasikan tujuannya yaitu :
 Memajukan serta mnggembirakan pelajaran dan pengajaran agama islam di kalangan
sekutunya.
 Memajukan serta mengembirakan hidup sepanjang kemauan agama islam di kalangan
sekutunya.

Muhammadiyah melakukan berbagai aktivitas, anatara lain :


 Membersihkan islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang non-islam. Hal ini
dilakukan dengan mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama islam untuk
mendapatkan kemurniannya, memperteguh iman, menggembirakan (memotifasi dan
memasyarakatkan) dan memperkuat ibadah, mempertinggi akhlak mempergiat dan
menggebirakan dakwah islam serta amar ma’ruf nahi munkar, serta mendirikan,
menggembirakan dan memelihara tempat ibadah dan waqaf.
 mengadakan reformasi doktrin islam dengan pandangan alam pikiran modern.
 Mengadakan reformasi ajaran dan pendidikan islam pembaruan muhammadiyah terlihat
dari dua sisi ketika itu, yaitu memberikan pengajaran ajaran islamdi sekolah belanda dan
mndirikan sekolah sendiri yang berbeda dengan sistem pesantren. Disekolah ini, disamping
pendidikan agama juga juga diberikan pendidikan umum, tidak dilakukan pemisahan antara
murid laki-laki dan perempuan.
 mempertahankan islam dari pengaruh dan serangan dari luar. Untuk itu muhammadiyah
berusaha membentengi para pemuda, pelajar dan rakyat biasa dengan menimbulkan kesadaran
beragama dan berusaha untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka sesuai ajaran
islam. Dismping itu, rasa persatuan dikalang umat perlu digalang kembali.

2. Muhammadiyah Dan Pengembangan Masyarakat.


Muhammadiyah adalah salah satu organisasi sosial terpenting di Indonesia. Dalam perjalanan
dan perkembangannya selama 72 tahun, muhammadiyah telah menunjukkan aktivitasnya
dibidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, sosial dan kemasrakatan. Dalam
mata kepribadian muhammadiyah dapat dilihat bahwa muhammadiyah adalah gerakan islam.
Maksud gerakan disini adalah “ gerakan amar ma’ruf nahi mungkar ” yang ditujukan kepada
peroranganan masarakat. Dengan predikat tersebut gerakan muhammadiyah bercita-cita untuk
mewujudkan masarakat islam yang sebenar-benarnya “ baldatun toyibatun wa robbun gofur “.
Laju perkembangan muhammaiyah yang cukup pesat dalam periode 1912 - 1942 Delier Noer
“ Dengan pengabdian yang sungguh-sungguh pada kerjanya dapatlah kita amati penyebaran
yang amat cepat dari organisasi muhammadiyah". Pada tahun 1925 organisasi ini telah
mempunya 29 cabang dengan 4000 orang anggota. Pada kongres tahun 1929 tercatan 19000
anggota muhammdiyah dari pulau-pulau besar di indonesia. Pada kongres tahun 1930 yang
diadakan dibukit tinggi, mencatat 112 cabang dengan 24000 anggota. Pada tahun 1935 tersebar
pada 710 cabang termasuk 316 di jawa, 286 di sumatra, 79 di sulawesi dan 29 di kalimantan.
Pada tahun 1938 terdapat 852 cabang serta 898 kelompok yang belum berstatus cabang,
seluruhnya dengan 250.000 anggota.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
1. gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang
sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragama. Disini penting dipahami
bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad ke-20 diusung
sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang
berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam. Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata
hanya menjadi salah satu alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di
Indonesia sebagai sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan
nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan
antara dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di masyarakat.
Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing
tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud
kepeduliannya.
2. Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam di Indonesia menunjukkan dinamika yang
kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam banyak bentuk bermunculan seperti organisasi
massa, partai politik dan lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah (ornop). Ini
tentu tidak terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta kebebasan
berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang. Sesungguhnya kita bisa melihat dari berbagai
sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark Woodward (2001) misalnya
mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde baru ke dalam lima kelompok.
Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di
dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.
3. NU menganut paham Ahlussunah wal jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah
antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an dan sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan
akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fikih mengikuti salah satu mazhab seperti imam Syafi'i Sementara
dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Sedangkan
Muhammadiyah adalah salah satu organisasi masa islam dan organisasi dakwah amar ma’ruf
nahi munkar yang berakidah islam dan bersumber pada Al quran dan sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

Ma’arif, A. Syafi’i.Muhammadiyah Dan NU.1993.LPPI UMY.Yogyakarta.


Yatim, Badri.Sejarah Peradaban Islam.2007. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Ali, M. Haidar.Nahdatul Ulama Dan Islam Di Indonesia.1998. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Karim, M. Rusli.Muhammadiyah Dalam Kritik Dan Komentar.1986. CV. Rajawali.Jakarta
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/02/pembaharuan-islam-di-indonesia/
http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahlus_Sunnah_wal_Jama%27ah_menurut_Salafi
http://sejarah persis.htm
http://JIMM Bukan Ukuran Kebangkitan Kaum Muda Muhammadiyah « saidiman.htm.
http://trikkuliah.blogspot.co.id/2016/05/pembaruan-islam-di-indonesia.html

Pada abad ke XIII M agama Islam mulai masuk ke Indonesia, dan ada yang berpendapat
bahwa penyebaran Islam pertama kali dilakukan oleh para pedagang dan mubaligh dari
Gujarat-India. Sekarang jumlah umat Islam di Indonesia merupakan yang paling besar
dibandingkan umat Islam di negara-negara lain di dunia ini oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa umat Islam di Indonesia mempunyai peranan yang penting bagi bangsa-bangsa dan
negara-negara Islam lainnya. Lebih-lebih di Indonesia sendiri, umat Islam merupakan
mayoritas penduduk dan mereka bertebaran di segenap pelosok tanah air serta banyak yang
berkumpul dalam berbagai organisasi sosial, pendidikan, keagamaan, ekonomi, dan politik.

Semenjak datangnya Islam di Indonesia yang disiarkan oleh para mubaligh khususnya di
Jawa oleh Wali Sanga atau Sembilan Wali Allah hingga berabad-abad kemudian, masyarakat
sangat dijiwai oleh keyakinan agama, khususnya Islam. Sejarah telah mencatat pula, bahwa
Islam yang datang di Indonesia ini sebagiannya dibawa dari India, dimana Islam tidak lepas
dari pengaruh Hindu. Campurnya Islam dengan elemen-elemen Hindu menambah mudah
tersiarnya agama itu di kalangan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, karena
sudah lama kenal akan ajaran-ajaran Hindu itu.

Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia adalah hasil pekerjaan dari Kaum Sufi dan
Mistik. Sesungguhnya adalah Sufisme dan Mistisisme Islam, bukannya ortodoksi Islam yang
meluaskan pengaruhnya di Jawa dan sebagian Sumatera. Golongan Sufi dan Mistik ini dalam
berbagai segi toleran terhadap adat kebiasaan yang hidup dan berjalan di tempat itu, yang
sebenarnya belum tentu sesuai dengan ajaran-ajaran tauhid.

Sebelumnya, masyarakat sangat kuat berpegang teguh pada Agama Hindu dan Budha.
Setelah kedatangan Islam, mereka banyak berpindah agama secara sukarela. Tetapi sementara
itu mereka masih membiasakan diri dengan adat kebiasaan lam, sehingga bercampur-baur
antara adat kebiasaan Hindu-Budha dengan ajaran Islam. Hal tersebut berlangsung dari abad
ke abad, sehingga sulit dipisahkan antara ajaran Islam yang murni dengan tradisi peninggalan
Hindu atau peninggalan agama Budha. Dan tidak sedikit tradisi lama berubah menjadi
seakan-akan “Tradisi Islam”. Seperti kebiasaan menyelamati orang yang telah mati pada hari
ke:7, 40, 1 tahun dan ke 1000-nya serta selamatan pada bulan ke-7 bagi orang yang sedang
hamil pertama kali, mengkeramatkan kubur seseorang, meyakini benda-benda bertuah dan
sebagainya.
AWAL KELAHIRAN GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM di INDONESIA

Melihat keadaan di lapangan bahwa pengamalan agama Islam di Indonesia yang masih
banyak bercampur dengan tradisi Hindu-Budha tersebut dan jelas sekali merusak kemurnian
ajarannya, maka tampillah beberapa ulama mengadakan pemurnian dan pembaharuan faham
keagamaan dalam Islam. Pada mulanya lahir Gerakan Padri di daerah Minangkabau yang
dipelopori oleh Malim Basa, pendiri perguruan di Bonjol, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Imam Bonjol. Sejak kembali dari Mekah, Imam Bonjol melancarkan pemurnian
aqidah Islam seperti yang telah dilakukan oleh gerakan Wahabi di Mekah. Karena kaum tua
yang masih sangat kuat berpegang teguh pada adat menentang dengan keras terhadap gerakan
Imam Bonjol maka timbulah perang Padri yang berlangsung antara tahun 1821-1837.

Pemerintahan Kolonial Belanda, sesuai dengan politik induknya “Devide et empera”


akhirnya membantu kaum adat untuk bersama-sama menumpas kaum pembaharu. Sungguh
pun kaum militer Padri dapat dikalahkan, tetapi semangat pemurnian Islam dan kader-kader
pembaharu telah ditabur yang kemudian pada kenmudian hari banyak meneruskan usaha dan
perjuangan mereka. Diantaranya, Syekh Tohir Jalaludin, setelah kembali dari Mekah dan
Mesir bersama-sama dengan Al Khalili mengembangkan semangat pemurnian Agama Islam
dengan menerbitkan majalah Al Imam di Singapura.
Pada saat itu juga, di Jakarta berdiri Jami’atul Khair pada tahun 1905, yang pada umumnya
beraggotakan peranakan Arab. Organisasi Jami’atul Khair ini dinilai sangat penting karena
dalam kenyataanya dialah yang memulai dalam bentuk organisasi dengan bentuk modern
dalam masyarakat Islam (dengan anggaran dasar, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat
berkala) dan mendirikan suatu sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah
modern. Di bawah pimpinan Syekh Ahmad Soorkati, Jami’atul Khair banyak mengadakan
pembaharuan dalam bidang pengajaran bahasa Arab, pendidikan Agama Islam, penyiaran
agama, dan banyak berusaha mewujudkan Ukhuwah Islam.

Sementara itu, banyak tumbuh dan lahir gerakan pembaharuan dan pemurnian Agama Islam
di beberapa tempat di Indonesia, yang satu sama lain mempunyai penonjolan perjuangan dan
sifat yang berbeda-beda. Akan tetapi, secara keseluruhan mereka mempunyai cita-cita yang
sama dan tunggal yaitu “Izzul Islam wal Muslimin” atau kejayaan Agama Islam dan Kaum
Muslimin. Di antara gerakan-gerakan tersebut adalah: Partai Sarekat Islam Indonesia,
Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al Irsyad.

Gerakan-gerakan tersebut, umumnya terbagi dalam dua golongan yaitu Gerakan Modernis
dan Gerakan Reformis. Yang dimaksud dengan Gerakan Modernis ialah gerakan yang
menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Jadi semua Gerakan Islam tersebut
dapat digolongkan sebagai gerakan Modernis. Sedangkan Gerakan Reformis, berarti di
samping gerakan ini menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya, juga berusaha
memurnikan Islam dan membangun kembali Islam dengan pikiran-pikiran baru, sehingga
Islam dapat mengarahkan dan membimbing umat manusia dalam kehidupan mereka.
Misalnya: Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al Irsyad.

GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM

A. GERAKAN POLITIK ISLAM


1. PARTAI SAREKAT ISLAM INDONESIA
Sebelum menjadi Sarekat Islam, pada mulanya berasal organisasi dagang yang bernama
Sarekat Dagang Islam. Didirikan pada 1911 oleh seorang pengusaha batik terkenal di Sala,
yaitu Haji Samanhudi. Anggota-anggotanya terbatas pada para pengusaha dan pedagang
batik, sebagai usaha untuk membela kepentingan mereka dari tekanan politik Belanda dan
monopoli bahan-bahan batik oleh para pedagang Cina. Kemudian akibat pelarangan terhadap
Sarekat Dagang Islam oleh Residen Surakarta, maka pada 1912 kedudukannya dipindah ke
Surabaya dan namanya pun berganti menjadi Sarekat Islam.

Sarekat Islam dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Dan dibawah kepemimpinannya
Sarekat Islam berkembang mewnjadi sebagai organisasi besar dasn berpengaruh, anggota-
anggotanya semakin Banyak dan meliputi seluruh lapisan masyarakat dan cabang-cabangnya
berdiri dimana-mana. Tujuannya diperluas, tidak saja urusan dagang dan perekonomiannya,
melainkan lebih luas dan besar yaitu: menentang politik kolonial Belandadalam segala
seginya dengan menggunakan dasar perjuangan islam. Dengan tujuan tersebut akhirnya
Sarekat Islam memasuki bidang politik dan menginginkan suatu pemerintahan yang bebas
dari penjajahan Belanda.

Karena Sarekat Islam diselundupi oleh orang-orang komunis yang tergabung dalam
organisasi Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) pimpinan Sneevliet, seorang
kader komunis yg berasal dari negeri Belanda, akhirnya tak dapat mengelakkan diri dari
perpecacahan, dan menjadilah SI Putih SI Merah yang beraliran komunis . Sarekat Islam
Putih kemudian meningkatkan diri menjadi satu organisasi politik Partai Sarekat Islam
Indonesia yang diresmikan pada tahun 1929.

2. PARTAI ISLAM MASJUMI


Partai Islam Masjumi berdiri pada tanggal 7 November 1945 sebagai hasil keputusan
Muktamar Umat Islam Indonesia I yang berlangsung di Yogyakarta (Gedung Madrasah
Mualimin Muhammadiyah) pada tanggal 7-8 November 1945. Kongres ini dihadiri oleh
hampir semua tokoh dari berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang serta pada
masa pendudukan Jepang, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sarekat Islam, al-
Wasliyah, Persis, al-Irsyad, serta tokoh intelektual muslim yang pada zaman Belanda aktif
dalam Jong Islamiten Bond dan Islam Study Club dan sebagainya. Dalam kongres tersebut
disepakati dan diputuskan untuk mendirikan Majlis Syura Pusat bagi umat Islam Indonesia.

Sesungguhnya Partai Masjumi ini merupakan kelanjutan dari kegiatan politik organisasi
Islam pada akhir zaman penjajah Belanda yang dikenal dengan nama MIAI (Majlis Islam
A’la Indonesia). MIAI adalah suatu wadah federasi dari semua organisasi Islam, baik yang
bergerak dalam bidang politik praktis maupun yang bergerak dalam bidang sosial
kemasyarakatan yang didirikan pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya atas inisiatif
KH Mas Masyur (Muhammadiyah), KH Wahab Hasbullah (NU), dan Wondo Amiseno
(Sarekat Islam). Kemudian pada masa pendudukan Jepang gabungan gerakan Islam yang juga
bersifat federasi semacam MIAI ini dinamakan Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masjumi).

Partai Masjumi yang mencanangkan tujuannya dengan rumusan “Terlaksananya syari’at


Islam dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia” dalam
kiprah politiknya sepanjang masa hidupnya, baik dalam bentuk program maupun kebijakan-
kebijakan partai menampakan sikap yang tegar, istiqomah, konsisten terhadap prinsip-prinsip
Islam yang bersumber pada Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Politik yang dianut oleh Partai Masjumi adalah politik yang menggunakan parameter Islam,
artinya bahwa semua program atau kebijakan partai harus terukur secara pasti dengan nilai-
nilai Islam. Ungkapan bahwa politik itu kotor, menurut keyakinan Partai Masjumi tidak
mungki terjadi manakala sikap, langkah, dan pola perjuangannya selalu berada di atas
prinsip-prinsip ajaran Islam. Masjumi mengakui terhadap realitas yang terjadi di tengah-
tengah arena politik bahwa politik itu memang kotor, kalau politik itu didasarkan pada
“politik bebas nilai” atau politik yang diajarkan oleh Nicollo Machiavelli bahwa “tujuan
menghalalkan semua cara”. Politik Islam sebagaimana yang dianut oleh Partai masjumi
adalah politik yang mengharamkan tujuan yang ditempuh dengan semua cara. Islam
mengajarkan bahwa “Tujuan yang baik harus dicapai dengan cara-cara yang baik pula”.

Pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan Pemilu, Partai Masjumi mendapatka 57 kursi di
pemerintahan. Akan tetapi karena Bung Karno termakan oleh bujukan dari Komunis sehingga
pada tanggal 17 Agustus 1960 mengeluarka Surat Keputusan (SK) Presiden Nomor 200 tahun
1960 untuk membubarkan Partai Islam Masjumi dari pusat sampai ranting di seluruh wilayah
NKRI. Pada tanggal 13 September 1960 DPP Masjumi membubarkan Masjumi dari pusat
sampai ke ranting-rantingnya.

B. GERAKAN SOSIAL KEMASYARAKATAN


ISLAM
Merupakan gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar yang dalam ajarannya
konsisten berpegang pada :

1. Kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah secara murni.


2. Membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya kepada siapa pun yang telah berhak
melakukannya.
3. Mengamalkan ajaran Islam secara konsisten, bersih dari segala kemusyrikan,
khurafat, bid’ah, dan taqlid

Contoh: Gerakan Al Islah wal Irsyad, Persatuan Islam dan Muhammadiyah

1. MUHAMMADIYAH
Sejak tahun 1905, Kyai Haji Ahmad Dahlan telah banyak melakukan dakhwah dan
pengajian-pengajian yang berisi faham baru dalam islam dan menitik beratkan pada segi
alamiyah. Baginya, Islama adalah agama amal, suatau agama yang mendorong umatnya
untuk banyak melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dengan bekal
pendalaman beliau terhadap Al- Qura’an dan sunannah Nabi, sampai pada pendirian dan
tindakana yang banyak bersifat pengalaman Islam dalam kehidupan nyata.

Dari kajian – kajian Kyai Haji Ahmad Dahlan ,akhirnya timbul pertanyaan kenapa banyak
gerakan-gerakan islamyang tidak berhasil dalam usahanya? Hal ini tidak lain di sebabkan
banyak orang yang bergerak dan berjuang tetapi tidak berilmu luas serta sebaliknya banyak
orang yang berilmu akan tetapi tidak mau mengamalkan ilmunya.
Atas dasar keyakinannya itulah, Kyai Haji Ahmad Dahlan ,pada tahun 1991 mendirikan
“sekolah Muhammadiyah” yang menempati sebuah ruangan dengan meja dan papan tulis.
Dalam sekolah tersebut, di masukkan pula beberapa pelajaran yang lazim di ajarkan di
sekolah-sekolah model Barat, seperti Ilmu Bumi, Ilmu Alam, Ilmu Hayat dan sebagainya.
Begitu pul;a di perkenalkan cara-cara baru dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga
lebih menarik dan lebih menyerap. Dengan murid yang tidak begitu banyak,jadilah sekolah
Muhammadiyah tersebut sebagai tempat persemaian bibit-bibit pembaruan dalam Islam
Indonesia.

Dan sebagai puncaknya berdirilah gerakan Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330
yang bertepatana dengan tanggal 18 November 1992, yang di dalam Anggaran Dasarnya
yang pertama kali bertujuan: “ Menyebarkan Pengajarn Kanjeng Nabi Muhammad SAW
kepada penduduk bumi putera,di dalam residensi yogyakarta” serta “ Memajukan hal agama
Islam kepada sekutu-sekutunya.

2. AL-IRSYAD
Dalam jami’at khair, timbul suatu perbedaan pendapat yang cukup tajam, terutama persoalan
“kafa’ah”, yaitu sah tdaknya golongan Arab keturunan Sayid (keluarga Nabi) kawin dengan
golongan lainnya. Dalam hal ini Syeh Sukarti berpendapat boleh,dan tetap kufu atau
seimbang. Ia mengemukakan alasan dengan ayat Al-Qur’an bahwa: “yang paling mulia
diantara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa” (Al Hujarat 13). Selain itu
terdapat banyak bukti bahwa para sahabat kawin satu sama lain tanpa memandang keturunan
Sayyid atau tidaknya. Ternyata pendapat ini menimbulkan ketidaksenangan golongan Arab
seketurunan dengan Syaidina Ali, keluarga Nabi, dan berakhir dengan perpecahan. Kemudian
Syekh Ahmad Sukati pada tahun 1914 mendirikan perkumpulan Al Ishlah Wal Irsyad.
Maksudnya ialah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di
Indonesia. Dan sebagai amaliyahnya berdirilah beberapa perguruan Al-Irsyad di mana-mana,
di antaranya pada tahun 1915 di jakarta. Selain itu banyak bergerak dalam bidang sosial dan
dakwah Islam dengan dasar Al-Qur’an dan sunnah Rosul secara murni dan konsekuen.

3. PERSATUAN ISLAM
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada 17 September 1923 oleh K.H. Zamzam,
seorang ulama berasal dari Palembang. Persis beeertujuan mengembalikan kaum muslimin
kepada pimpinan AL-Qur’an dan sunnah Nabi dengan jalan mendirikan madrasah-madrasah,
pesantren dan tabliqh pidato ataupun tulisan. Selain itu, menerbitkan pula majalah yang
cukup menonjol pada zamannya, yaitu “Pembela Islam” dan majalah Al Muslimin.

Persis sangat menonjol dalam usahanya memberantas segala macam bid’ah dan khufarat ,
dengan cara-cara radikal dan tidak tanggung- tanggung. Lebih-lebih setelah Persis berda
dalam kepemimpinan ustadz A. Hasan, yang terkenal tajam pena dan lidahnya menegakkan
kemurnian agama, maka Persis semakin hari semakin bertambah luas dan berkembang.
Diantara alumni pendidikan Persis yang terkemuka adalah M.Natsir, seorang tokoh
cendikiawan dan pemimpin Islam Indonesia yang juga pernah menjadi Perdana Menteri RI
dan menduduki jabatan-jabatan penting dalam Lembaga Islam International

https://immfkikumy.wordpress.com/2011/11/10/gerakan-pembaharuan-islam-di-indonesia/
PENDAHULUAN

Berabad-abad lamanya jauh sebelum agama Islam datang, di Indonesia berdiri berbagai
macam kerajaan Hindu dan Budha. Sebutlah Kutai Kartanegara, Sriwijaya, dan Majapahit,
hingga kerajaan Mataram Kuno yang menandai berakhirnya kejayaan Hindu Budha dan
munculnya kerajaan-kerajaan Islam. Menurut tarikh sejarah masa transisi ini, Majapahit dan
Mataram Kuno meninggalkan sebuah tradisi yang berperan terhadap corak perkembangan
kebudayaan Islam di Indonesia. Menurut Savitri Scherer dalam buku Mangir karya Pramudya
Ananta Toer menyebutkan bahwa kerajaan Mataram Kuno memiliki wilayah otonom
(swapraja) yang disebut dengan tanah perdikan atau republik desa. Dipimpin oleh seorang
tokoh yang bergelar Ki Ageng, tanah perdikan ini diserahi tugas untuk mengatur pendidikan
spiritual masyarakat dan juga merawat rumah ibadah. Lebih lanjut, “perdikan” Kadilangu dan
Tembayat yang berdiri di bawah payung kerajaan Islam Demak dan Pajang berubah menjadi
pemukiman “pesantren”, dari jaman pemerintahan Sultan Agung.1[1]

Berangkat melalui lingkungan pesantren inilah benih organsisasi Nahdatul Ulama mulai
ditanam, mulai dari Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air), Taswirul Afkar atau dikenal
juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), dan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan
kaum saudagar). Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang
bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu muncul kesepakatan dari para ulama
pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari
sebagai Rais Akbar. Dalam perkembangannya, NU kemudian menjadi salah satu organisasi
Islam yang memiliki pengaruh terhadap gerakan pembaharuan Islam di Indonesia yang lebih
lanjut dalam kajian ini akan dibahas bagaimana latar belakang dan napak tilas sejarah
berdirinya organisasi N.U dan bagaimana peranan N.U dalam gerakan pembaharuan Islam di
Indonesia.

Penulis,

Thibburruhany
BAB I

LATAR BELAKANG

Embrio gerakan pembaharuan dalam Islam atau tajdid sebenarnya sudah sejak lama
muncul pasca periode akhir masa pemerintahan khalifah Ali bin abi-Thalib (abad 3 H), yang juga
menandai berakhirnya masa Kurafaurrasyidin dan munculnya dinasti Muawiyah, inilah yang
disebut oleh Khoiro Ummatin sebagai episode baru dalam dalam sejarah kebudayaan
Islam2[2]. Perubahan ini tidak hanya memiliki dampak terhadap peta politik Islam namun juga
berpengaruh terhadap dinamika corak pemikiran Islam dengan munculnya berbagai macam
aliran teologi Islam seperti Syiah, Mu’tazilah, Khawarij, Maturidiyah, Asyariah. Perlahan namun
pasti, setelah hampir berabad-abad lamanya embrio gerakan pembaharuan Islam ini mulai
menemukan bentuk yang rigid pada pertengahan abad ke-11 H. Pada masa itu muncul seorang
tokoh bernama Muhammad bin ‘Abdul Wahab yang membawa jargon purifikasi (pemurnian)
akidah dalam gerakan dakwahnya. Tokoh inilah yang kemudian disebut beberapa penulis
sebagai mujaddid (pembaharu).

Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dapat kita awali dengan kemunculan


kerajaan Islam Samudera Pasai di pulau Sumatra. Kemudian sepak terjang Walisongo yang ikut
berperan penting dalam penyebaran dan perkembangan Islam di pulau Jawa. Hingga
munculnya organisasi Sarekat Islam dan Muhammadiyah di tahun 1912. Duapuluh tahun
berselang, tepatnya ditahun 1926 lahirlah sebuah organisasi bernama Nadhatul Ulama
(kebangkitan ulama). Banyak hal yang melatar belakangi kemunculan organisasi Islam, seperti
Sarekat Islam yang mengawali gerakan dakwahnya dengan perdagangan, Muhamammadiyah
dengan gerakan pembaharuan, dan Nadhatul Ulama (N.U) yang muncul dengan latar belakang
“politis” yang salah satunya adalah untuk merespon gerakan pembaharuan yang dilakukan
Wahabi di Arab Saudi.
Hal ini menandakan bahwa meskipun Islam itu satu dari sudut ajaran pokoknya, akan
tetapi setelah terlempar dalam konteks sosial-politik tertentu pada tingkat perkembangan
sejarah tertentu pula agama bisa memperlihatkan struktur interen yang berbeda-beda.3[3]
Maka jika dilihat dari masalah yang menjadi dinding pembatas di antara beberapa kelompok di
atas, adalah bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem kehidupan
sosial,4[4] antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models for reality5[5],
sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama yaitu antara folk variant
dan scholarly veriant, yang dalam konteks keindonesiaan terwujud dalam bentuk komunitas
NU dan komunitas Muhammadiyah. Yang pertama sering diklaim sebagai kelompok
tradisionalis, dan yang kedua sebagai kelompok modernis. 6[6]

Pun-demikian, NU yang selama ini dianggap sebagai organisasi tradisional dengan basis
pesantren justru memperlihatkan gairah progresivitas berpikir, dibandingkan dengan
organisasi modern yang malah tampak stagnan dan resisten. Kitab kuning yang telah ditulis
ulama berabad-abad lalu dan dijadikan salah satu referensi utama nahdhiyin ternyata justru
membuka wawasan yang membentang luas dalam mencermati perubahan sosial. Pemahaman
agama bergerak tidak lagi secara tekstualis, tetapi kontekstual. Tentunya ini perlu dipandang
sebagai kemajuan di dalam NU. Hal ini diperkuat dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Arbiyah Lubis, ditemukan bahwa Muhammadiyyah termasuk dalam kelompok tradisionalis
modernis. Di mana Muhammadiyyah tampil sebagai modernis hanya dalam dunia pendidikan,
dan dalam memahami teks al Qur’an dan Hadith sebagai sumber ijtihad, Muhammadiyyah
berada dalam kelompok tradisonalis.7[7] Sementara dalam penelitian lain, Muhammad Azhar
juga mengatakan bahwa dalam beberapa hal, NU yang dianggap tradisional, ternyata lebih
modern keimbang Muhammadiyah. Sebagai contoh, proses penerimaan asas Pancasila,
pendirian BPR Nusumma, ternyata NU terkesan mendahului Muhammadiyah.8[8]
A. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama
Organisasi Islam Nahdatul Ulama pertama kali berdiri pada 16 Rajab 1344 H menurut
kalender Islam atau pada tanggal 31 Januari 1926 menurut penanggalan masehi. Organisasi
ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asyari sebagai Rais Akbar.9[9] Latar belakang pendirian
organisasi NU ini tidak dapat dilepaskan dari faktor sosial-politik dan keagamaan yang
terjadi pada saat itu. Setidaknya ada dua latar belakang yang melatar belakangi berdirinya
organisasi ini yaitu latar belakang kebangsaan atau nasionalisme dan agama. Pertama,
adalah latar belakang kebangsaan (nasionalisme).
Kondisi bangsa Indonesia yang sedang terkungkung oleh penjajahan yang dilakukan
bangsa Belanda pada saat itu menimbulkan keterbelakangan mental dan ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia. Pada tahun 1908 muncul gerakan Kebangkitan Nasional yang
diinisiasi oleh kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa melalui jalan
pendidikan dan organisasi.Berangkat dari gerakan ini, kalangan pesantren yang turut
berjuang melawan kolonialisme membentuk organisasi pergerakan seperti Nahdlatut
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916 yang diprakarsai oleh KH. Wahab
Hasbullah bekerjasama dengan KH. Abdul Kahar (seorang pengusaha kaya) di Surabaya dan
didukung oleh masyarakat berhasil mendirikan sebuah gedung bertingkat di kampung
Kawatan Gg. IV Surabaya yang kemudian dikenal sebagai perguruan Nahdlatul Wathon
yang berarti Pergerakan Tanah Air. Tidak berhenti sampai disitu, di tahun 1918 kalangan
pesantren mendirikan sebuah organisasi bernama Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan
Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum
dan keagamaan kaum santri. Selanjutnya didirikanlah Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum
Sudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota.10[10] Organisasi-organisasi inilah yang nantinya menjadi embrio dari lahirnya sebuah
organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama. Sekaligus menjadi titik dimana ditemukanlah
tiga pilar penting bagi NU yaitu: (1) Wawasan Ekonomi kerakyatan, (2) Wawasan Keilmuan,
Sosial Budaya, dan (3) Wawasan Kebangsaan.11[11]
Latar belakang kedua yang tidak kalah pentingnya adalah latar belakang keagamaan
dimana perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu, diantaranya
adalah pada tahun 1924, Syarif Husein raja Hijaz ( Makah ) yang berfaham Sunni (ahlus
sunah wal jama’ah) ditakluk- kan oleh Abdul Aziz bin Saud yang beraliran Wahabi. Aliran
Wahabi ini bentuk ajarannya adalah melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum
Sunni, yang sudah berlaku di Tanah Arab dan akan menggantinya dengan model Wahabi.
Pengamalan agama dengan sistem bermadzhab, tawasul, maulid Nabi, ziarah kubur dan
lain sebagainya akan segera dilarang. Dan bahkan Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan
pengaruh kekuasaannya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam, ia
berencana meneruskan kekhilafahan Islam yang terputus di Turki pasca runtuhnya Daulah
Usmaniyah.12[12]
Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di
Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII
atau Sarekat Islam di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan
pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut. Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan
pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres
Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh
minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta peduli terhadap
pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi
sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan
dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya
hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil
memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan
sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Berangkat dari komite dan berbagai
organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk
membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi
perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama yang dipimpin
oleh KH. Hasyim Asy'ari. Dan untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka KH.
Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan
kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

B. Paham Keagamaan NU
Merujuk pada laman resmi organisasi NU, www.nu.or.id paham keagamaan NU adalah
Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Lebih lanjut :
“... Karena itu sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam
itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al- Maturidi
dalam bidang teologi/ Tauhid/ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung
mengikuti mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam
Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4
di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan
Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. ...”13[13]
C. Dinamika Nahdlatul Ulama dalam Politik Praktis
Sebagai sebuah organisasi Islam yang bergerak di bidang agama, pendidikan, sosial
budaya, ekonomi, dan politik. Dinamika yang terjadi dalam tubuh organisasi Nahdlatul
Ulama tentu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sosial-politik yang terjadi di
Indonesia. Seperti terjunnya NU kedalam politik praktis pada saat menyatakan
memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955.
NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa
Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno, dan bergabung
dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) Nasionalis diwakili Partai Nasional
Indonesia (PNI) Agama Partai Nahdhatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI).14[14]
Perjalanan NU di ranah politik praktis dilanjutkan dengan kemudian menggabungkan
diri dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 atas
“desakan” penguasa orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Hingga
pada tahun 1984, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Achmad Siddiq menarik gerbong
NU kembali ke “Khittah 1926” melalui muktamar NU di Situbondo. Diantara sikap kembali
ke khittah itu, NU menarik diri dari politik dan tak lagi menjadi bagian dari PPP. Dan
kemudian ormas keagamaan yang lebih tua 19 tahun dari usia Republik ini menjaga jarak
yang sama dengan seluruh parpol. Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai
yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang
dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR
dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu
2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
Fase-fase yang terjadi di tubuh organisasi NU ini menarik untuk diikuti sebab NU
sebagai gerakan Islam memberikan warna dan corak gerakan pembaharuan Islam yang
terjadi di Indonesia di setiap fasenya. Seperti pada saat terpilihnya tokoh NU, Abdurrahman
Wahid sebagai presiden RI. Dengan membawa semangat pluralisme, KH Abdurrahman
Wahid memberikan perubahan segar terhadap “wajah” Islam tidak hanya di Indonesia
namun juga di dunia.
BAB II

ISI

Nahdlatul Ulama dan Gerakan Pembaharuan Islam


Tidak dapat dipungkiri, organisasi-organisasi yang berdiri sejak munculnya gerakan
Kebangkitan Nasional pada tahun 1908 memberikan dampak yang signifikan terhadap
dinamika di segala bidang. Termasuk juga gerakan-gerakan yang digawangi organisasi Islam
seperti Persatuan Sarekat Islam Indonesia, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, Al-jamiatul
Washliyah dan Alittihadiyah. Tidak terkecuali organisasi NU yang turut aktif bergerak dalam
gerakan pembaharuan Islam di ranah teoritis maupun praktis.
Nahdltaul Ulama sebagai organisasi Islam tradisionalis menunjukkan bahwa pribumisasi
Islam memiliki urgensi terhadap dinamika sosial-kemasyarakatan. Mengadopsi apa yang layak
dalam tradisi untuk dikembangkan demi kepentingan masa kini dan masa depan merupakan
langkah pemaknaan yang paradigmatis. Karena sebuah transformasi, baik pemikiran maupun
sosial, harus beranjak dan menimba inspirasinya dari tradisi. Maka, diperlukan ikhtiar untuk
menggali hal- hal dalam tradisi yang bisa mendukung transformasi. Dalam istilah Moch Abid al-
Jabiri disebut al-tajdid min al-dakhil atau pembaruan internal. Sebetulnya, jika pembaruan
pemikiran selalu berlangsung dalam rangka tradisi, usaha modernisasi akan berlangsung dalam
perangkat tradisi yang dinamis-dialogis. Sebab, tidak semua tradisi bertentangan dengan
kemajuan.15[15] Nurcholish Madjid, tokoh intelektual Muslim Indonesia, juga mengatakan
bahwa pola pemikiran Neo-modernisme Islam akan muncul dari kalangan NU yang kaya
khazanah klasik, ketimbang Muhammadiyah, dan kini hal itu terbukti dengan munculnya
Jaringan Islam Liberal (JIL) yang tokohnya banyak didominasi oleh kalangan pemuda NU.

Gerakan Kembali ke Khittah 1926


Melihat perkembangan organisasi ini tidak dapat dipungkiri bahwa “Gerakan kembali
ke khittah 1926” menjadi tonggak awal masifnya pergerakan NU dalam pembaharuan Islam.
Meskipun banyak yang menilai bahwa gerakan kembali ke khittah ini adalah faktor politik dan
non-politik semata, namun disamping itu ada faktor lain yang akhirnya membuat gerakan NU
1926 ini menjadi sebuah paradigma kebudayaan. Menurut Tedi Kholiludin, sebagai cara
pandang ada tiga tema utama yang melatar belakangi beridirinya NU yaitu integritas terhadap
bangsa, independensi dari kolonialisme, dan hak untuk berkeyakinan.16[16] Tiga konteks
itulah yang menjadi kerangka paradigmatik bagi tafsir baru atas khittah 1926 sebagai
paradigma kebudayaan, bukan paradigma politik. Maka dari itu, formulasinya jelas, bahwa
khittah tersebut, adalah peduli terhadap persoalan kebangsaan, kritis terhadap kekuasaan dan
menjaga hak warga negara untuk bebas beragama dan berkeyakinan.
Selain itu, tokoh dibalik layar gerakan kembali ke khittah 1926 saat Muktamar NU di
Situbondo tahun 1984 tidak lain adalah tokoh generasi muda NU yaitu KH. Abdurrahman
Wahid. Pada masa Gus Dur, tema-tema seperti Aswaja, Halaqoh, Bahtsul Masail, Fikih Siyasah
dan lain-lain menemukan signifikansinya dengan sentuhan pembaharuan pada aspek
metodologisnya. Bahkan pada masa ini, muncul diskursus baru tentang fiqih perempuan. Tema
ini cukup baru dan NU bisa dikatakan berhasil memberikan justifikasi teologis atas argumen
kesetaraan gender. Padahal, wacana gender, awalnya masuk ke Indonesia dengan sangat
sekuler. Menurut Djohan, perkembangan wacana yang begitu menggeliat, tidak lepas dari dua
faktor. Pertama, keputusan NU untuk kembali pada Khittah 1926. Kedua, pilihan untuk memilih
duet Gus Dur dan Kiai Achmad Siddik sebagai pimpinan NU. Saat itu, dua tokoh tersebut,
merupakan representasi “tipe lain” dari pimpinan NU yang lebih mendorong NU konsisten di
jalur sosial budaya daripada sosial-politik. Kehadiran keduanya membawa semangat intelektual
baru diantara generasi muda NU. Salah satu kontribusi Kiai Achmad Siddik adalah membuat
memasarkan tajdid bukan sebagai sesuatu yang perlu ditakuti. Di saat yang sama, Gus Dur
menjadi payung bagi generasi muda NU untuk mengembangkan tradisi intelektual.

Generasi Muda NU
Generasi muda NU inilah yang memberikan corak pemikiran dan perubahan orientasi
NU dalam gerakan sosial sebagai upaya strategi pembaharuan. Sekaligus menjadi gerakan kritik
sebagai counter wacana terhadap isu-isu yang berkembang, khususnya yang menyangkut
ideologi NU. Sebuah desertasi Ahmad Ali Riyadi tentang pembaharuan yang dilakukan generasi
muda NU menunjukkan bahwa NU sebagai organisasi Islam tidak hanya terjebak pada
persoalan-persoalan teologis semata namun juga memiliki komitmen terhadap problematika
sosial politik dimana tema-tema yang diusung oleh kaum muda NU lebih menekankan terhadap
problem-problem kemanusiaan kontemporer melalui penelusuran doktrin, sejarah, dan kajian
kontemporer untuk menemukan makna Islam yang mampu menjawab persoalan kemanusiaan
sebagai upaya kontekstualisasi pemahaman agama yang diimplementasikan ke dalam gerakan
pengembangan masyarakat dengan pendekatan praktis dan teoritis. Dimana di tataran teoritis
mereka membangun teori-teori alternatif dengan apa yang disebut Islam kritis, Islam
emansipatoris, Islam liberal, dan Islam progresif.17[17] Ada tiga faktor yang melatarbelakangi
perkembangan generasi muda NU saat itu. Pertama, eksistensi pengetahuan yang
terformulasikan dalam paradigma mazhabiyyah. Tradisi ini berkembang dalam lingkup
pesantren sebagai cultural institution dan ada dalam tradisi bahtsul masail sebagai forum
diskursus intelektual. Tradisi bermazhab ini kemudian diberikan sentuhan dengan menggeser
paradigma dari bermazhab secara qawli menuju mazhab manhajiy. Kedua, kehadiran
pesantren sebagai infrastruktur cultural yang mendorong kesinambungan institusi lokal dan
tradisional tetapi di saat yang sama terbuka akan perubahan dan pengembangan. Ketiga, Kiai
yang memainkan peran tidak hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga pemimpin sosial.

Usaha di Bidang Ekonomi


Selain pembaharuan dalam bidang pemikiran Islam, geliat NU dalam gerakan
pembaharuan Islam Indonesia di bidang ekonomi juga tidak dapat dianggap remeh.
Bermodalkan sejarah Nahdlatut Tujjar, KH. Hasyim Asy’ari menguraikan tentang
problemproblem keumatan yang terkait erat dengan soal ekonomi. KH. Hasyim Asy’ari
kemudian memelopori dan menuntut kepedulian para ulama, karena merekalah pemimpin
dan teladan umat. Apabila basisbasis dan simpul-simpul kemandirian ekonomi tidak dibangun,
selain para ulama telah berdosa, bangsa ini juga akan terus terpuruk dalam kemiskinan,
kemaksiatan, dan kebodohan akibat dari kuatnya pengaruh kolonial.
Yang tidak kalah menarik, sebagaimana dicatat Adien Jauharudin, sejak awal
pendiriannya, Nahdlatut Tujjar ternyata telah mengenal dan menerapkan manajemen
organisasi modern. Pembagian struktur organisasi dan pembagian kerja, di mana ada para
pendiri, kepala perusahaan, direktur, sekretaris, marketing, dan pengawas keliling sudah
dipraktikkan di Nahdlatut Tujjar. KH. Hasyim Asy’ari dipilih sebagai kepala perusahaan dan
mufti (semacam komisaris), KH. Wahab Hasbullah sebagai direktur perusahaan, H. Bisri sebagai
sekretaris perusahaan, dan Syafi’i sebagai marketing sekaligus pengendali perusahaan. Selain
itu, konsep investasi usaha juga mengemuka dalam bentuk sederhana, yang di era sekarang
dikenal dengan profit share. Pembagian keuntungan 50% menjadi kesepakatan bersama,
tetapi masih boleh dikembalikan untuk memperkuat modal. Dengan begitu, Nahdlatut Tujjar
didirikan bukan hanya untuk membangun basis perekonomian para ulama, melainkan menjaga
tradisi perdagangan yang sudah ada sejak sebelum datangnya kolonial dan turut menciptakan
pasar sendiri di daerah Surabaya, Kediri, dan Jombang. Lebih dari itu, Nahdlatut Tujjar juga
memiliki cita-cita ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kemaksiatan, dan
kebodohan. Hingga pada tahun 1995 NU sudah mendirikan Bank Pengkreditan Rakyat (BPR)
yang diberi nama NUSUMA UTAMA.

Usaha di Bidang Sosial-Kemasyarakatan


Secara garis besar pokok perjuangan atau orientasi gerakan NU di bidang sosial
kemasyarakatan dapat dibagi menjadi dua fase yaitu fase sebelum dan sesudah munculnya
Gerakan kembali ke khittah 1926 pada Muktamar NU Situbondo 1984. Termasuk di bidang
sosial-kemasyarakatan, menurut A. Sunarto A.S. ada dua alasan pokok yang dikemukakan oleh
Gusdur terkait pribumisasi Islam. Pertama, alasan historis bahwa pribumisasi Islam merupakan
bagian dari sejarah Islam. Baik di negeri asalnya maupun negeri lain termasuk Indonesia.
Kedua, proses pribumisasi Islam berkaitan erat antara fikih dengan adat. Menurutnya, adat
tidak mengubah nash, melainkan hanya mengubah atau mengembangkan implementasinya
agar lebih fleksibel.18[18]
Kegiatan sosial kemasyarakatan NU di bidang pendidikan sangat terlihat adalah dengan
adanya pesantren pada fase awal berdirinya NU. Tujuannya tidak lain adalah menanamkan
pendidikan agama dan memberikan cakrawala pengetahuan bagi kalangan pribumi di masa
kolonialisme Belanda. Hingga kemudian untuk menjawab perkembangan jaman yang
menuntut NU untuk membentuk sebuah sistem pendidikan yang memiliki struktur formal,
maka beridirilah lembaga pendidikan Maarif dan pondok pesantren dibina oleh RMI (Rabithah
Maahid Al Islamiyah). Kemudian pada tahun 1997 telah didirikan lembaga kemaslahatan
keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) sebagai kelanjutan dari program Muslimat NU yang lebih
dulu bergerak mengurusi masalah kependudukan sejak tahun 1969. Program-program LKKNU
terutama ditujukan pada warga NU dan lembaga-lembaga yang dimilikinya untuk
merealisasikan maksudnya sebagaimana telah tersebut diatas maka LKKNU kemudian
menyelenggarakan lokakarya tentang KB dan kependudukan dipesantren-pesantren. Pelatihan
para penyuluh KB yang sesuai dengan syariat agama Islam dan pelatihan guru, serta
mengadakan studi banding tentang pengembangan KB ke luar negeri seperti, Mesir, Tunisia,
Turki dan Filiphina.19[19]
Kegiatan sosial-kemasyarakatan NU mulai menemukan signifikansinya pasca Muktamar
di Situbondo tahun 1984. Pada saat itu, muncul kader-kader muda NU seperti Abdurrahman
Wahid, Fahmi Saifuddin, dan Mustofa Bisri. Dari sini, muncul wacana-wacana baru dimana
kemudian perkembangan pemikiran ini tidak hanya berlaku pada tataran teologis namun juga
berbicara pada tataran sosial-kemasyarakatan. Konsekuensi ini kemudian memunculkan corak
baru pada dunia pemikiran Islam dengan adanya teori-teori alternatif berupa Islam progresif,
Islam emansipatoris, Islam liberal, dan Islam kritis.20[20] Teori-teori alternatif ini diwujudkan
dalam tataran praktis melalui penelusuran doktrin, sejarah, dan kajian kontemporer untuk
menemukan makna Islam yang mampu menjawab persoalan kemanusiaan. Refleksi perubahan
tersebut diimplementasikan dalam bentuk produk baru seperti fiqh perempuan yang muncul
dalam merespon isu gender yang muncul di Barat. Tidak kalah pentingnya adalah pemikiran
Gus Dur mengenai paham pluralism21[21] dimana kemudian muncul gerakan-gerakan Islam
toleran dan Islam liberal.

Usaha di Bidang Politik


Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman
Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan. Nahdlatul
Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik, terutama dalam pengertian yang
pertama, yakni politik kebangsaan, karena Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Napak tilas gerakan NU diawali dengan
munculnya ideologi Pancasila sebagai pondasi bangsa Indonesia. Peranan NU termuat dalam
sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Peta politik NU kemudian dilanjutkan
dengan berubahnya NU menjadi partai politik di tahun 1955 setelah sebelumnya bergabung
dengan Masyumi bersama organisasi Islam lainnya. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU
dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis,
Agama, Komunis) Nasionalis diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI) Agama Partai Nahdhatul
Ulama dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah itu NU maju ke panggung politik praktis
bersama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Hingga kemunculan gerakan kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 melalui
Muktamar di Situbondo yang merubah orientasi NU sebagai jamiyah diniyah dan memutuskan
untuk tidak berpolitik. Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan
pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk
melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung
dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga
dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya. Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul
Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama
yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral
menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi
yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi Reformasi. Refleksi reformasi ini
berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU. Pasca reformasi 1998peta politik NU di
kembangkan oleh tokoh-tokoh dengan basis NU seperti Abdurrahman Wahid yang
mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai ini juga yang kemudian
mengantarkan Gus Dur sebagai presiden Republik Indonesia di tahun 1999.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari semua ini tergambar sebuah milestone atau napak tilas gerakan pembaharuan
Islam diawali dari terbentuknya organisasi-organisasi Islam di masa kolonialisme, berlanjut di
fase post-kolonialisme dengan terjunnya organisasi Islam di ranah politik praktis, di fase
selanjutnya muncul gerakan modernisasi yang digawangi oleh kaum puritan Islam yang
didominasi oleh kalangan Muhammadiyah, setelah itu di fase neo-modernisasi muncul
pemikiran dan pemahaman Islam progresif untuk merespon gerakan pembaruan dalam Islam
yang dilakukan oleh kaum puritan. Kemunculan pemikiran dan pemahaman Islam progresif ini
dipelopori oleh kaum muda Nahdalatul Ulama. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya gerakan
pembaharuan Islam khususnya di Indonesia tidak melihat bagaimana main idea pada sebuah
organisasi Islam, namun geliat sosial-kemasyarakatan-lah yang sebenarnya menjadi faktor
kunci terhadap perkembangan gerakan pembaharuan Islam ini baik di tingkatan teoritis
maupun praktis.

Saran
Setelah melakukan kajian ini ada beberapa hal yang patut menjadi bahan pertimbangan
baik dari segi akademis maupun agamis. Dimana gerakan pembaharuan yang dilakukan
organisasi Nahdlatul Ulama ini mengajarkan bahwa proses keilmuan dan keagamaan dapat
berjalan secara beriringan. Artinya bahwa pembelajaran melalui proses berpikir dapat
dikembangkan seluas-luasnya namun tetap berpegang teguh pada pedoman agama. Dan
pemaknaan bahwa agama sebagai pedoman hidup memiliki sifat yang fleksibel dan dinamis.
Tafsir dan intepretasi terhadap doktrin keagamaan berjalan sesuai dengan perkembangan dan
perubahan jaman.
DAFTAR PUSTAKA

Ananta Toer, Pramudya. Mangir. 2000.Jakarta: KPG,

‘Abduh, Muhammad, Rislah Taud, Terj. B. Michel dan Mustafa Abdul Raziq (Paris: t.t.p,
1925),

Achmad Hasyim Muzadi dkk, Profil dan DIrektori Nahlatul Ulama dari masa ke masa
(Jakarta: PT.Yellow Multi Media, 2009) hlm. 34-35.

A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (jakarta: Rajawali, 1988) Abdullah, Taufik,
Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996),

Alfaruqi, Jabir, Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah. NU, Fundamentalisme, dan
Liberalisme. harian Kompas, 28 Juli 2006

Azra, Azyumardi, Suplemen Republika, Kamis, 14 Maret 2002,

Donald Eugene Smith. Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis (Jakarta:
Rajawali Press, 1985)

Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat (Jakarta: LP3S, 1996)

Ummatin, Khoiro. Sejarah Islam dan Budaya Lokal; Kearifan Islam atas Tradisi
Masyarakat. 2015. (Kalimedia: Yogyakarta)

Muhammad Azhar, Fiqh Peradaban (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001)

A. Sunarto AS, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No.2, Oktober 2013

Desertasi. Ahmad Ali Riyadi. Gerakan Pembaharuan Islam Kaum Muda Nahdlatul Ulama
(NU) di Indonesia 1990-2005. Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2006,
hlm. 219
http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,6-t,sejarah-.phpx, terakhir
diakses pada 1 Desember 2015

http://www.nu.or.id/pahamkeagamaan-.phpx, terakhir diakses pada 1 Desember 2015

https://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_%27Ulama, terakhir diakses pada 1 Desember


2015

Said Aqil Siradj .NU, Tradisi dan Kebebasan Pikir, http://www.nu.or.id/, terakhir diakses
pada 5 Desember 2015

Tedi Kholiludin, NU dan Tradisi Pembaharuan, http://elsaonline.com/?p=885

Anda mungkin juga menyukai