Anda di halaman 1dari 20

KEBANGKITAN DAN PERKEMBANGAN

MADRASAH DI INDONESIA

Oleh:
Mad Sobirin, S.A.N., M.M.

A. Pendahuluan

Kebangkitan dan perkembangan madrasah di Indonesia tidak bisa dilepaskan


dari upaya pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Sistem halaqah yang
semula digunakan di surau, pesantren, dan lembaga sejenisnya, diperbaharui
dengan sistem klasikal. Dari belajar secara bersama-sama, dirubah menjadi belajar
berkelas dan bertingkat. Murid-murid duduk menurut kelas dan tingkat sesuai
dengan kemampuan dan pengalamannya. Dengan demikian, pendidikan dan
pengajaran diharapkan dapat berjalan dengan lebih baik.

Satu hal yang menarik dari fenomena madrasah di Indonesia bila


dibandingkan dengan fenomena madrasah di Timur Tengah adalah, munculnya
madrasah yang merupakan perkembangan dan peningkatan dari surau maupun
pesantren adalah akibat sentuhan dengan sistem pendidikan modern Barat yang
dikembangkan oleh kolonial. Sementara di Timur Tengah, madrasah merupakan
bentuk baru yang final dari perkembangan institusi rumah, masjid, dan kuttab.

Perubahan dari sistem halaqah menuju sistem klasikal ini juga dibarengi
dengan perubahan hal-hal yang terkait dengan itu, misalnya metode pengarajan,
kurikulum, pelaksanaan pengajaran, administrasi, dan pola pembiayaan. Adanya
perubahan sistem ini tidak berarti bahwa sistem pendidikan lama hilang sama sekali,
akan tetapi ada lembaga pendidikan yang di samping memberikan pendidikan
berdasarkan sistem lama, juga memberikan sistem baru, dan bahkan ada yang
senantiasa mempertahankan sistem lamanya, atau mendirikan lembaga baru
dengan sistem yang baru pula.

Pembaharuan sistem pendidikan Islam ini setidaknya disebabkan oleh tiga


hal; Pertama, Semakin banyaknya kaum muslimin yang dapat menunaikan ibadah
haji dan meneruskan domisilinya untuk menuntut ilmu. Setelah mereka kembali ke
tanah air, mereka berusaha untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang
diketahui di Tanah suci. Hal pertama ini menimbulkan hal yang kedua, masuknya
cita-fikiran modern dalam Islam pada abad ke-20. Beberapa kalangan Islam
menganggap penting soal administrasi dan organisasi, maka wajar kalau mereka

1
mencoba memulai pengajaran yang terorganisasi disertai kurikulum yang jelas.
Ketiga, Adanya semangat nasionalisme dan patriotisme dari Umat Islam, di samping
pengaruh sistem pendidikan Barat, sekolah nagari, yang mempunyai program yang
lebih terkoordinasi dan sistematis dan mampu menghasilkan lulusan yang terampil.

B. Permasalahan

Sejalan dengan perkembangan zaman yang terus membawakan perubahan-


perubahan, eksistensi madrasah di Indonesia tidak terlepas dari penyesuaian-
penyesuaian, dari yang semula bersifat eksklutif menjadi lembaga pendidikan yang
lebih terbuka, baik dari sudut kelembagaan, metodologi, kurikulum, maupun
pengelolaannya. Eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia
tergolong fenomena modern yaitu dimulai sekitar awal abad 20. Madrasah di
Indonesia bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari
lembaga pendidikan pesantren dan surau.

Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang kebangkitan dan
perkembangan madrasah di Indonesia. Dimulai dari masa sebelum kemerdekaan
Republik Indonesia (penjajahan Belanda dan Jepang) sampai dengan masa sesudah
kemerdekaan Republik Indonesia (Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi).

2
D. Pengertian Madrasah

Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat"
(zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai
"tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Kata
"madrasah" jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, memiliki arti "sekolah”
kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia,
melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola. Kendatipun secara teknis, yakni
dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan
sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah,
melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di
mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama
dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).

Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-


ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di
sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri
pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan
bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai
lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk
memberikan pelajaran agama dan keagamaan.

E. Perkembangan Madrasah pada Masa Sebelum Kemerdekaan Republik


Indonesia

1. Masa Penjajahan Belanda

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda Madrasah memulai proses


pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan dikalangan umat Islam.
Latar belakang kelahiran madrasah itu bertumpu pada dua faktor penting.
Pertama, pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematik dan kurang
memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Kedua, laju perkembangan
sekolah-sekolah ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan
membawakan watak sekulerisme sehingga harus diimbangi dengan sistem
pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan
terencana.
Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola respon umat
Islam yang lebih progresif, tidak semata-mata defensif, terhadap politik pendidikan

3
Hindia Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya,
madrasah tumbuh di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu
semakin banyak. Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap
pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan
timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar.

Bagi pemerintahan penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya


bersifat pedagogis kultural tetapi juga psikologis politis. Pandangan ini pada satu
pihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam
upaya mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda
dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan
lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi dipihak lain, pandangan di
atas juga mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan
lembaga pendidikan Islam seperti madrasah.

Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi


pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan
para guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak semua
orang, meskipun ahli ilmu agama dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan.
Latar belakang Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan
sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu
perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh
perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakam pelajaran serius bagi
pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan Ordonansi Guru itu.

Ordonansi Guru dinilai umat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar
membatasi perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus
peran penting Islam di Indonesia. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru
agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan Kristenisasi dengan alasan
ketertiban dan keamanan.

Dalam perkembangannya Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan


dari keharusan guru agama mendapatkan surat ijin menjadi keharusan guru
agama itu cukup melapor dan memberitahu saja. Ordonansi Guru yang
diperbaharui ini diberlakukan secara lebih luas di berbagai wilayah, baik diluar
Jawa maupun luar Jawa. Namun demikian, sebagaimana pernah terjadi
sebelumnya, Ordonasi Guru inipun sering disalahgunakan oleh pemerintah lokal
untuk menghambat gerakan umat Islam. Peristiwa yang dialami oleh kalangan

4
Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu Palembang membuktikan adanya
maksud negatif di balik Ordonansi Guru tersebut. Pada waktu itu, Pengurus Pusat
akan meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tetapi tiba-tiba dilarang
padahal sebelumnya sudah diberitahukan rencana kegiatan itu kepada Residen
Palembang.

Selain Ordonansi Guru pemerintah Hindia Belanda juga memberlakukan


Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan
pendidikan harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari pemerintah. Laporan-
laporan mengenai kurikulum dan keadaam sekolahpun harus diberikan secara
berkala. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup
kegiatan pendidikan dikalangan masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga
pendidikan Islam yang masih belum tertata, Ordonansi itu dengan sendirinya
menjadi faktor penghambat. Reaksi negatif terhadap Ordonansi Sekolah Liar ini
juga datang dari para penyelenggera pendidikan diluar gerakan Islam.

Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu dapat
dikelompokkan dalam dua corak: (1) defensif dan (2) progresif. Corak defensif
ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda
itu terhadap sistem pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam sistem pendidikan
tradisional pesantren yang sepenuhnya ,mengambil jarak dengan pemerintah
penjajah. Di samping mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga
mengembangkan kurikilum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada
pembinaan mental keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri
sebagai lembaga pendidikan yang menjadi benteng pertahanan umat atas
penetrasi penjajah, khususnya dalam bidang pendidikan. Dengan posisi defensif
ini, pesantren pada kenyataannya memang bebas dari campur tangan pemerintah
Hindia Belanda, meskipun dengan resiko harus terasing dari perkembangan
masyarakat modern.

Corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa
tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijaksanaan diskriminatif.
Usaha umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana
mencapai kesetaraan dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun
kurikulum. Ketergantungan pada tekanan penjajah justru akam melemahkan posisi
umat Islam sendiri. Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus
menerus, akan semakin memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya

5
mengembangkan lembega-lembaga pendidikan secara mandiri yang produknya
sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak tercerabut dari akar
keagamaannya. Wujud konkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan berkembangnya
sekolah Islam atau madrasah diberbagai wilayah, baik di Jawa maupun di luar
Jawa.

Terlepas dari kedua responsi di atas, umat Islam pada umumnya menolak
segala bentuk ordonansi yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Umat
Islam menyatakan keberatan terhadap ordonansi sehingga mereka membuat
reaksi yang cukup keras. Di Minangkabau sebuah pertemuan khusus umat Islam
dilaksanakan untuk membahas masalah ini dan berakhir dengan keputusan untuk
menentangnya.

Di bawah pengawasan dan ordonansi yang ketat oleh pemerintah Hindia


Belanda, madrasah mulai tumbuh. Terdapat beberapa madrasah yang
memperoleh pengakuan pemerintah meskipun masih merupakan pengakuan yang
setengah-setengah. Tetapi pada umumnya madrasah-madrasah itu berdiri
semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan
legitimasi dari pemerintah. Kebutuhan sebagian rakyat untuk mengenyam
pendidikan akhirmya terpenuhi melalui madrasah, sementera pemerintah
melakukan pembatasan-pembatasan dalam sekolah-sekolah yang didirikannya
sebagai wujud dari kebijaksanaan diskriminatifnya

2. Masa Penjajahan Jepang

Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih


berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi.
Walaupun diakui lebih memberikan kebebasan dari penjajahan Belanda, tetapi
kebijakan dasar pemeintaahan penjajah Jepang berorientasi pada penguatan
kekuasaannya di Indonesia. Pemerintahan Jepang memegang kendali yang
sangat ketat dalam program-program pendidikan di Indonesia, walaupun dalam
kenyataannya menghadapi kendala kurangnya tenaga pengajar yang memenuhi
kriteria. Untuk memutus hubungan dengan pemerintahan Belanda, Jepang
menghapuskan sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Bahasa Indonesia bahkan
digunakan secara luas di lingkungan pendidikan. Kurikulum dan pendidikan pun
dirubah.

6
Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam, pemerintahan Jepang
mengeluarkan kebijakan yang mengeluarkan bantuan dana bagi sekolah dan
madrasah. Berbeda dengan pemerintahan Belanda, Jepang membiarkan
dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa
pemerintahan sebelumnya. Hal ini dilakukan karena kenyataan bahwa
pengawasan pemerintahan Jepang sendiri tidak mampu menjangkau pesantren
dan madrasah yang sebagian besar berlokasi di daerah-daerah terpencil. Namun
demikian pemerintahan Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu
memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendudukan Jepang di
Indonesia.

Untuk mengamankan kepentingannya, pemerintahan Jepang lebih banyak


mengangkat kalangan priyayi dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama
pejabat-pejabat seperti itu tentu saja lebih dapat bekerjasama dengan
pemerintahan Jepang karena mereka tidak memiliki perhatian yang serius
terhadap pentingnya gerakan pendidikan Islam di Indonesia. Kantor ini bertugas
antara lain mengorganisasikan pertemuan dan pembinaan guru-guru agama.
Meskipun dengan alasan pembinaan kecakapan, tetapi usaha itu pada dasarnya
bertujuan agar pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah maupun
pesantren tetap dalam kontrol pemerintah.

Respon umat Islam terhadap kebijakan pemerintahan Jepang nampaknya


lebih progresif. Menghadapi politik pendidikan Jepang, kalangan ulama di
Minangkabau bersepakat mendirikan Majelis Islam Tinggi Minangkabau. Dipimpin
oleh M.Jamil Jambek dan Mahmud Yunus, Majelis ini berusaha
mengkoordinasikan pendidikan agama, baik di madrasah maupun di sekolah.
Dalam hal kurikulum, majelis ini membuat rancangan yang menjamin standart
mutu pendidkan agama. Pemerintahn Jepang memberikan pertimbangan yang
cukup serius terhadap setiap rancangan dan usulan dari Majelis Islam Tinggi,
khususnya dalam bidang pendidikan.

Pada masa penjajahan Jepang, pengembangan Madrasah Awaliyah


digalakkan secara luas. Majelis Islam Tinggi menjadi penggagas dan sekaligus
penggerak utama untuk berdirinya madrasah-madrasah awaliyah yang
diperuntukkan bagi anak-anak berusia minimal 7 tahun. Program pendidikan pada
madrasah awaliyah itu lebih ditekankan pada pembinaan keagamaan dan
diselenggarakan pada sore hari. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan anak-anak yang pada umumnya mengikuti sekolah pada pagi hari.

7
F. Madrasah pada Masa Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia

1. Masa Orde Lama


Pada era Orde Lama, pengaturan dua sistem pendidikan diupayakan untuk
dihapus. Paling tidak ada tiga usaha yang dilakukan. Pertama, memasukkan
pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah negeri maupun
swasta melalui pelajaran agama. Kedua, memasukkan ilmu pengetahuan umum
ke dalam kurikulum pendidikan di madrasah. Ketiga, mendirikan sekolah
Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk memproduksi guru agama bagi sekolah
umum maupun madrasah.

Tidak heran kalau perkembangan madrasah berlangsung sangat cepat.


Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI),
pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan umum. Paling
tidak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri di Madrasah Ibtidaiyah.

Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah Tsanawiyah (MTs)


terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa. Sedangkan di tingkat berikutnya
atau Madrasah Aliyah (MA) terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah
peserta pendidikan ini merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan
di Indonesia.

Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah swasta berubah


statusnya menjadi madrasah negeri. Alhasil, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA
yang menjadi madrasah negeri. Konsekuensi, manajemen madrasah secara total
bergeser dari masyarakat ke pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen
madrasah masih dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan.

2. Masa Orde Baru

Pada awal pemerintahan Orde Baru, pendekatan legal formal yang


dijalankannya tidak memberikan dukungan pada madrasah. Tahun 1972 Presiden
Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34 Tahun 1972 dan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1974 yang mengatur madrasah di
bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)-
sebelumnya, dikelola Menteri Agama.

8
Reaksi yang muncul di kalangan muslim sangat keras. Kebijakan itu dinilai
sebagai usaha sekulerisme dan menghilangkan madrasah dari sistem pendidikan
di Indonesia. Untuk menenangkan reaksi tersebut, pemerintah kemudian
mengeluarkan keputusan bersama antara Mendikbud, Menteri Agama (Menag),
dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Isinya, mengembalikan status pengelolaan
madrasah di bawah Menteri Agama, tetapi harus memasukkan kurikulum umum
yang sudah ditentukan pemerintah.

Kalau kita perhatikan, kurikulum yang diterapkan ini bersifat sentralistik.


Akibatnya, segenap variabilitas yang lahir dari budaya lokal diabaikan. Otoritas
pendidikan juga meng-abaikan berbagai persepsi serta preferensi yang hidup di
luar dirinya. Tidak heran kalau peran masyarakat sebagai bagian dari komunitas
pendidikan makin lama semakin menghilang.

Secara legal, madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional


sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di
tingkat MI, siswanya mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun
1999, terdapat 21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak
swasta. Di MTs pendaftarnya mencapai 18,35 persen dari total siswa tingkat
lanjutan pertama. Tahun 1999 terdapat 9.860 madrasah dan sekitar 88,1
persennya merupakan madrasah milik swasta.

Jadi, pada tingkat pendidikan dasar sistem pendidikan madrasah didominasi


oleh swasta. Padahal, jumlah SD swasta yang dikelola Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) hanya enam persen. Sementara di tingkat lanjutan pertama,
sekolah swasta hanya 46 persen. Angka ini menjadi bukti bahwa peran
masyarakat di madrasah sebenarnya masih sangat besar. Namun, masyarakat
tidak memiliki kebebasan untuk mengelola dengan caranya sendiri, karena hampir
semua hal yang berkaitan dengan pendidikan sudah ditentukan oleh pemegang
otoritas pendidikan.

Harus diakui bahwa jika pemerintah ingin menyukseskan wajib belajar


sembilan tahun, maka peran madrasah swasta tidak bisa dikesampingkan begitu
saja. Saat ini, 15 persen lembaga penyelenggara pendidikan dengan kurikulum
umum adalah madrasah dan sekitar 91,1 persennya dikelola swasta.

9
3. Masa Orde Reformasi

Pada masa reformasi, UU No. 20/2003 tentang UUSPN khususnya Pasal 17


Ayat 2 dan Pasal 18 Ayat 3, madrasah diakui statusnya sederajat dengan sekolah
umum. Namun, pemerintah masih enggan memberikan bantuan, apalagi pernah
beredar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh Ma`ruf, tanggal 21 September
2005 No. 903/2429/SJ tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 yang melarang
pemerintah daerah mengalokasikan APBD kepada organisasi vertikal (termasuk
terhadap madrasah).

Reformasi kemudian melahirkan PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan


Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pada PP ini terdapat Pasal 12 ayat (1) yang
menyebutkan pemerintah daerah memberi bantuan sumber daya pendidikan
kepada pendidikan keagamaan. Anehnya, PP ini pun masih dianggap angin lalu.
Masih banyak pemerintah daerah yang belum memberikan perimbangan dana
kepada madrasah. Dana 20% pendidikan di APBD masih menjadikan madrasah
sebagai sisipan.

Setelah reformasi digulirkan pada 1998, spektrum reformasi politik


memancar ke mana-mana, termasuk ke wilayah pendidikan keagamaan.
Madrasah harus mulai memikirkan posisinya di dunia pendidikan, nilai
kehadirannya dan menyadari hak-haknya yang selama Orde Baru dimarjinalkan
secara tidak adil- untuk mulai bangkit.

Kini saatnya era baru madrasah, yang ditandai dengan pembenahan internal
di tahun-tahun mendatang. Kurikulum yang digunakan pun sama, tetap bercirikan
madrasah, namun telah diperkaya dengan penggunaan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) 2006.

G. Kebijakan Pemerintah tentang Pendidikan dan Problematika yang Ditimbulkan

Madrasah dalam khazanah kehidupan manusia Indonesia merupakan


fenomena budaya yang berusia satu abad lebih, bahkan bukan salah satu wujud
entitas budaya Indonesia yang dengan sendirinya menjalani proses sosialisasi yang
relatif intensif. Indikasinya adalah kenyataan bahwa wujud entitas budaya ini telah
diakui dan diterima kehadirannya. Secara berangsur-angsur ia telah memasuki arus
utama pembangunan bangsa menjelang abad-20.

10
Melihat kenyataan sejarah, kita tentunya bangga dengan sistem dan lembaga
pendidikan Islam madrasah yang ada di Indonesia. Apalagi dengan metode dan
kurikulum pelajarannya yang sudah mengadaptasi sistem pendidikan serta kurikulum
pelajaran umum. Peran dan kontribusi madrasah yang begitu besar itu pada gilirannya
sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang mulai
resmi berdiri 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan
politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen Agama dalam
bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama
diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri.

Sungguhpun pendidikan Islam di Indonesia telah berjalan lama dan mempunyai


sejarah yang panjang, namun dirasakan pendidikan Islam masih tersisih dari Sistem
Pendidikan Nasional. Keadaan ini berlangsung sampai dengan dikeluarkannya
peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1946 dan peraturan Menteri Agama No.7
tahun 1950, serta Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri ( Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri dalam Negeri) tahun 1975, tentang
penyetaraan pendidikan madrasah serta peningkatan mutu madrasah, yang berusaha
mengembalikan mainstream pendidikan nasional.

SKB Tiga Menteri merinci bagian-bagian yang menunjukkan kesetaraan


madrasah dengan sekolah. Dalam Bab I pasal I, ayat (2) misalnya dinyatakan bahwa
madrasah itu mempunyai tiga tingkatan:
a. Madrasah Ibtidaiyah, setingkat dengan Sekolah Dasar.
b. Madrasah Tsanawiyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama.
c. Madrasah Aliyah, setingkat dengan Sekolah Menengah Atas.

Selanjutnya mengenai pengelolaan dan pembinaan dinyatakan dalam Bab IV


pasal 4 sebagai berikut:
a. Pengelolaan Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
b. Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
c. Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum dilakukan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri.

Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah,


karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum
yang sederajat, kedua, lulusan sekolah madrasah dapat melanjutkan ke sekolah
umum yang setingkat lebih tinggi, ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah
umum yang setingkat.

11
Dengan terbitnya SKB tiga Menteri itu madrasah memperoleh definisi yang
semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun
pengelolaannya tetap berada di bawah Departemen Agama. Madrasah sebagai
lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem
pendidikan nasional. Munculnya SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri) menandakan bahwa
eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah umum.

Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga dinilai sebagai
langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik dari status, nilai ijazah maupun
kurikulumnya Di dalam salah satu diktum pertimbangkan SKB tersebut disebutkan
perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada
madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah-
sekolah umum dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Ditinjau dari pelaksanaan, SKB Tiga Menteri memiliki beberapa problema


antara lain:
a. Tenaga pengajar.
Salah satu problema yang dihadapi oleh madrasah SKB Tiga Menteri adalah
masih kekurangan guru baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kekurangan
guru ini terasa sekali pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika,
dan mata pelajaran umum lainnya. Usaha mengatasi kekurangan ini telah
diusahakan dengan jalan membuka jurusan Tadris pada Fakultas Tarbiyah di
sebahagian IAIN
b. Sarana dan fasilitas.
Karena Madrsah mempunyai jurusan, maka diperlukanlah labolatorium, serta
sarana dan fasilitas lain yang memadai untuk menunjang keberhasilan proses
belajar mengajar, untuk itu diperlukan dana yang memadai pula. Tetapi
kebanyakan madrasah mempunyai dana yang terbatas, sehingga dengan
demikian sarana yang dimiliki masih terbatas pula.
c. Waktu/ jam pelajaran
Madrasah SKB Tiga Menteri ini tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja,
tetapi juga ilmu-ilmu umum bahkan pada tingkat Aliyah dibuka program studi ilmu-
ilmu fisika, biologi, ilmu-ilmu sosial dan pengetahuan budaya. Berdasarkan uraian
tersebut, maka otomatis dibutuhkan waktu belajar yang semestinya lebih banyak
dari sekolah umum.

12
d. Dana
Madrasah-madrasah baik swasta maupun negeri di Indonesia pada umumnya
masih kekurangan dana. Untuk menanggulangi kekurangan dana ini dapat
diupayakan antara lain membentuk kerjasama antara orang tua, guru dan
pemerintah yang lebih terprogram.
e. Organisasi
Sebaiknya untuk meningkatkan mutu madrasah dibentuk badan kerjasama antara
Departemen Agama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Dari Departemen
Pendidikan nasional Nasional dihaarapkan banyak bantuan dalam bidang tenaga
pengajar dan lain sebagainya.

Lalu pada perkembangan selanjutnya, akhir dekade 1980-an dunia


pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang
sistem Pendidikan Nasional, Madrasah memposisikan diri sebagai lembaga yang
memadukan ilmu-ilmu diniyah dengan ilmu-ilmu sosial/humaniora dan ilmu-ilmu
kealaman. Eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam semakin
mendapatkan tempatnya. Tetapi ini yang menjadi problema ketika format
madrasah dari waktu ke waktu semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi
keislaman terus mengalami perubahan.

Berikut ini adalah contoh kurikulum yang diajarkan di madrasah Ibtidaiyah


yang merupakan perpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama:
1. Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan.
2. Pendidikan Agama Islam:
a. Qur’an Hadits
b. Aqidah Akhlak
c. Fiqh
d. Sejarah kebudayaan Islam
e. Bahasa Arab
3. Bahasa Indonesia
4. Matematika
5. Ilmu Pengetahuan Alam
6. Ilmu Pengetahuan Sosial
7. Kerajinan Tangan dan Kesenian
8. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan
9. Bahasa Inggris
10. Muatan Lokal.

13
Dari sudut pandang pengalokasian waktu kurikulum tersebut perbandingan
nya adalah 30% tuk mata pelajaran agama dan 70% untuk mata pelajaran umum.
Sebenarnya sangat tidak memuaskan untuk para siswa yang menginginkan
belajar agama di madrasah, karena alokasi waktu yang sedikit dibandingkan mata
pelajaran umum. Tapi memang begitulah adanya madrasah, yang kalau bisa
dikatakan setengah-setengah dalam menyajikan kurikulum. Tidak untuk menjadi
ilmuan juga tidak untuk menjadi agamawan. Jika ingin menjadi ilmuan sekolah
umum tempatnya, dan jika ingin menjadi agamawan, pesantren lah tempatnya.
Madrasah merupakan perpaduan antara sekolah umum dan pesantren.

Memang diakui secara jujur bahwa hasil perpaduan utuh tersebut belum
dapat diraih oleh madrasah, disebabkan adanya problem intern dan ekstern.
Problem yang bersifat intern meliputi tenaga pengajar, sarana, waktu, dana dan
organisasi pengelola. Sedangkan problem ekstern adalah hubungan madrasah
dengan lembaga-lembaga di luar Departemen Agama.

Meskipun pemerintah melalui Departemen Agama sudah banyak melakukan


perubahan dan perumusan kebijakan di sana-sini untuk memajukan madrasah,
namun itu belum terlalu berhasil jika dibandingkan dengan sekolah umum yang
dikelola oleh Departemen Pendidikan.

Realitasnya, masyarakat hingga periode 90-an masih mempunyai sense of


interest yang tinggi untuk masuk ke sekolah-sekolah umum yang dinilainya
mempunyai prestise yang lebih baik daripada madrasah. Lebih dari itu, dengan
masuk ke sekolah-sekolah umum, masa depan siswa akan lebih terjamin
ketimbang masuk ke madrasah. Hal itu bisa jadi disebabkan oleh image yang
menggambarkan lulusan-lulusan madrasah tidak mampu bersaing dengan
lulusan-lulusan dari sekolah-sekolah umum. Lulusan madrasah hanya mampu
menjadi seorang guru agama atau ustdaz, begitu juga sebaliknya.

Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, madrasah tidak


lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut antara
lain:
1. Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan madrasah
bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui bahwa pesantren
merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia.

14
2. Terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah
diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara kurikulum yang
relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai
pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan madrasah
diniyah

Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, madrasah belum


memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan lainnya. Diakui
bahwa model pendidikan madrasah di dalam perundang-undangan negara,
memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia. Dualisme pendidikan
di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat diselesaikan hingga
sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan sistem pengajarannya
tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang sempit cenderung
membuka gap antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Seakan-akan
muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam (kafir). Padahal dikhotomi keilmuan ini
justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan Islam untuk berusaha
menyatukan keduanya.

Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajerialnya,


khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top
manager yaitu kepala madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus). Meskipun
telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager tersebut, yakni
kepala madrasah memegang kendali akademik sedangkan ketua yayasan
(pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana, sering di dalam praktik
terjadi overlapping. Praktek manajemen di madrasah sering menunjukkan model
manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik.
Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan
peningkatan kualitas pendidikan.

Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami


sebagai sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah
pada ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah
atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.

Kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri pun tampaknya


juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap tersebut meliputi
beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa
dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik langsung maupun tidak

15
langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini karena munculnya SKB tiga
menteri tersebut belum diimbangi penyediaan guru, buku-buku dan peralatan lain
dari departemen terkait

H. Madrasah Merespon Tantangan Globalisasi

Sebelum mengalami perkembangan seperti sekarang ini, madrasah hanya


diperuntukkan bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Namun sejak
mulai mengadopsi sistem pendidikan moderen yang berasal dari Barat sambil tetap
mempertahankan yang sudah ada dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang
mendukung iklim pembelajaran siswa dan pengajaran siswa, madrasah (atau sekolah
Islam) sekarang sudah sangat diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke
atas. Apalagi madrasah sekarang ini sudah banyak yang menjalankan apa yang
disebut sebagai English Daily. Semua guru dan siswa dalam kegiatan belajar
mengajar harus berbicara dalam bahasa Inggris, seperti Madrasah Pembangunan UIN
Jakarta, MTs Negeri 12 Jakarta, MTs N 1 Jakarta.

Kemampuan bahasa asing yang bagus di era globalisasi seperti sekarang ini
mutlak diperlukan. Oleh karena itu, di beberapa madrasah dan sekolah Islam itu
kemudian tidak hanya memberikan pengetahuan bahasa Inggris saja. Lebih dari itu,
pengetahuan bahasa asing lainnya juga absolut diajarkan oleh madrasah seperti
bahasa Arab misalnya. Atau bahasa Jepang, Mandarin dan lainnya pada tingkat
Madrasah Aliyah, contohnya Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, MA Nurul Jadid
Paiton, dll.

Di samping itu, dalam menghadapi era globalisasi, madrasah sebagai institusi


pendidikan Islam tidak lantas cukup merasa puas atas keberhasilan yang telah
dicapainya dengan memberikan pengetahuan bahasa asing kepada para siswanya
dan desain kurikulum pendidikan yang kompatibel dan memang dibutuhkan oleh
madrasah.

Akan tetapi, justru madrasah harus terus berpikir ulang secara berkelanjutan
yang mengarah kepada progresivitas madrasah dan para siswanya. Oleh karena itu,
dalam pendidikan madrasah memang sangat diperlukan pendidikan keterampilan.
Pendidikan keterampilan ini bisa berbentuk kegiatan ekstra kurikuler atau kegiatan
intra kurikuler yang berupa pelatihan atau kursus komputer, tari, menulis, musik,
teknik, montir, lukis, jurnalistik atau mungkin juga kegiatan olahraga seperti sepak
bola, basket, bulu tangkis, catur dan lain sebagainya. Dari pendidikan keterampilan

16
nantinya diharapkan akan berguna ketika para siswa lulus dari madrasah. Karena jika
sudah dibekali dengan pendidikan keterampilan, ketika ada siswa yang tidak dapat
melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi seperti universitas misalnya,
maka siswa dengan bekal keterampilan yang sudah pernah didapatnya ketika di
madrasah tidak akan kesulitan lagi dalam upaya mencari pekerjaan.

Jadi, sangat penting bagi madrasah untuk mengembangkan pendidikan


keterampilan tersebut. Sebab, dengan begitu siswa akan langsung dapat
mengamalkan ilmunya setelah lulus dari madrasah atau sekolah Islam.
Namun semua itu tentunya harus dilakukan secara profesional.

Dengan adanya pendidikan keterampilan di sekolah-sekolah Islam atau


madrasah, lulusan madrasah diharapkan mampu merespon tantangan dunia global
yang semakin kompetitif. Dan nama serta citra madrasah juga tetap akan terjaga.
Karena ternyata alumni-alumni madrasah mempunyai kompetensi yang tidak kalah
kualitasnya dengan alumni sekolah-sekolah umum.

17
I. PENUTUP

1. KESIMPULAN

Kata madrasah berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar, kata
madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah, lebih dikhusus lagi sekolah-
sekolah agama Islam. Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan di Indonesia
yang mampu menkombinasikan pendidikan yang bersifat keislaman dan pendidikan
yang bersifat umum. Madrasah di merupakan fenomena baru dari lembaga pendidikan
Islam yang ada di Indonesia, yang kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20.

Latar belakang kelahiran madrasah di Indonesia bertumpu pada dua faktor


penting. Pertama, pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematik dan kurang
memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Kedua, laju perkembangan
sekolah-sekolah ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan
membawakan watak sekulerisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan
Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana.

Madrasah di Indonesia, asal usulnya berasal dari pendidikan yang


diselenggarakan masyarakat baik berupa surau, pesantren, rangkang, maupun
lainnya. Madrasah muncul karena adanya tantangan dari Belanda sehubungan
dengan politik etisnya, di samping juga didorong adanya usaha penyempurnaan
sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan
yang sama dengan sekolah umum terutama kesempatan kerja pada pemerintah
kolonial Belanda serta adanya sikap mental pada sementara golongan Islam,
khususnya para santri yang terpukau kepada Barat di bidang ilmu, ekonomi, dan
tehnologi.

Kebangkitan dan perkembangan madrasah di Indonesia, banyak mendapat


pengaruh dari para ilmuwan dari timur tengah dan para jama`ah jaji yang bermukim di
tanah suci, dan juga sistem pendidikan yang dikembangkan oleh kolonial di
Nusantara. Selain itu, para ulama banyak yang berjasa dalam kebangkitan dan
perkembangan madrasah di Indonesia. Demikian pula organisasi-organisasi islam
banyak mendirikan madrasah, atau setidaknya sekolah yang ditambah mata pelajaran
agama, antara lain: Muhammadiyah, Jam`iyat al-Khair, Al-Irsyad, Mathla` al- Anwar,
Persatuan Umat Islam, PERTI, Nahdlatul Ulama, dan Jamiyatul Wasiliyah.

18
2. SARAN

Langkah-langkah yang perlu direalisasikan oleh madrasah dalam kaitannya


dengan peningkatan mutu madrasah di Indonesia yang dibuktikan dengan output yang
berkualitas adalah sebagai berikut:
1. Akuntabilitas Proses
Untuk meningkatkan mutu madrasah, maka upaya yang paling efektif dengan cara
peningkatan akuntabilitas proses pendidikannya. Akuntabilitas proses diharapkan
benar-benar mampu menjamin madrasah yang dapat menjaga dan meningkatkan
mutunya secara progresif dan terus menerus. Mutu disini tidak hanya menyangkut
masalah isi saja, melainkan juga kesesuaian metodologi pembelajaran.
2. Profesionalisme
Profesionalisme merupakan aspek penting lainya untuk menentukan kualitas
pendidikan. Selama ini di madrasah belum sepenuhnya menempatkan para
professional secara memadai untuk menunjang kegiatannya. Dengan kata lain
bahwa para personil madrasah yang profesional merupakan tumpuan
keberhasilan suatu sistem yang berkualitas.
3. Meningkatkan Anggaran Biaya
Berkenaan dengan pembiayaan madrasah, maka perlu upaya sistimatis dan
terprogram untuk memperjuangkan anggaran pendidikan lebih besar dari keadaan
sekarang, sehingga pos-pos pengeluaran untuk kepentingan peningkatan mutu
madrasah dapat terpenuhi secara baik, seperti pengadaan sarana dan prasarana
madrasah yang sampai saat ini masih belum memenuhi harapan.
4. Meningkatkan Peran serta Masyarakat.
Menyadari akan pentingnya peran serta masyarakat dalm peningkatan mutu
madrasah, maka peranserta masyarakat haruslah dimaknai secara luas, yang
tidak hanya memberikan kontribusi secara finansial yang sebanyak-banyaknya
bagi kepentingan madrasah seperti yang dilakukan Komite Madrasah atau BP3
selama ini, namun juga sama pentingnya yaitu keterlibatan masyarakat dalam
memerankan dirinya sebagai pengendali kualitas madrasah.
5. Evaluasi Diri
Istilah evaluasi diri saat ini dipakai pada perguruan tinggi untuk mengukur
kemajuan dan apa yang telah dicapai dan aspek-aspek lainnya yang perlu
diperbaiki. Evaluasi diri ini merupakan keadaan dimana kita dapat melihat tingkat
keberhasilan proses pendidikan yang berlangsung di madrasah serta
kelemahannya sehingga dapat segera diperbaiki.

19
DAFTAR PUSTAKA

Djamas, Nurhayati. 2008. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan.


Jakarta: Rajawali Press.

Fadjar, Malik. 1998. Madrasah dan Tantangan Modrenitas. Bandung: Mizan.

Maksum. 1999. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Putra Daulay, Haidar. 2021. Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan
Madrasah. Yogyakata: Tiara Wacana.

Putra Daulay, Haidar. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Putra Daulay, Haidar. 2004. Dinamika Pendidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media.

Rahim, Husni. 2000. Arah Baru Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2000.

Saleh, Abdurrahman. 2000. Pendidikan Agama dan Keagamaan Visi, Misi, dan Aksi.
Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa.

S. Nasution. 2008. Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara.

Yunus, Mahmud. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara.

20

Anda mungkin juga menyukai